Anda di halaman 1dari 15

Theodorus Benyamin Sibarani

Aku adalah Aku dengan segala Keakuanku


Selasa, 30 April 2013

Fungsi Konseling Pastoral dalam Praktik Pelayanan


Kristen

Menurut Aart Martin Van Beek (1987), Konseling Pastoral –


Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong Di Indonesia. 
h.10-12, ada beberapa fungsi dari konseling pastoral, yaitu: 

 
1. Fungsi Menyembuhkan
Konseli sering mempunyai perasaan yang belum pernah
diungkapkan secara lengkap. Barangkali dia pernah
mengalami suatu trauma psikis seperti kehilangan seseorang
atau pernah menyaksikan sesuatu yang mengerikan seperti
perang atau pembunuhan-pembunuhan atau mengalami
kecelakaan bis. Atau ia merasa bersalah karena pernah
melakukan sesuatu yang tidak etis terhadap teman hidupnya,
padahal teman hidup itu sudah tidak ada lagi. Atau dia
menyimpan rasa dendam tanpa ada habisnya.
Fungsi menyembuhkan dari konseling pastoral dapat
menolong konseli untuk menyembuhkan hatinya. Tidak
jarang tekanan batin konseli menimbulkan penyakit
psikosomatis seperti colitis atau penyakit jantung, penyakit
maag, dan sebagainya. Doa yang singkat sesudah percakapan
selesai biasanya juga ikut menolong. 
2. Fungsi Menopang
Konseli yang menghadapi krisis psikis atau penderita yang
diserang oleh rasa sakit yang tajam sekali sulit diajak
berbicara melalui percakapan yang mendalam. Pada
umumnya konselor dan konseli hanya dapat berfokus pada
masalah inti. Tanggapan-tanggapan dari konselor adalah
singkat, tepat dan menekankan perasaan konseli. Kehadiran
yang baik dan komunikasi non-lisan dari konselor banyak
menolong sebab biasanya konseli sangat gelisah.  
3. Fungsi Membimbing
Para konseli di Indonesia cenderung untuk mengharapkan
fungsi ini dari proses pertolongan. Mereka ingin diberi jalan
keluar. Sayang sekali para konselor terlalu sering sanggup
untuk memberikan nasihat yang setengah matang dan tidak
mampu memenuhi harapan itu. Sepatutnya fungsi
membimbing ini muncul dalam usaha menolong konseli
untuk mengambil keputusan-keputusan mengenai hidupnya
sendiri : keputusan mengenai profesi yang dipilih, mengenai
teman hidup yang cocok dan seterusnya.
Ternyata kerap kehidupan memaksa kita untuk mengambil
keputusan dalam menghadapi dilema yang kompleks sekali.
Untuk menghindari saran-saran dari konselor yang belum
dipertimbangkan secara mendalam, sebaiknya konselor
bersama konseli meneliti semua alternatif secara lengkap.
4. Memperbaiki Hubungan
Hampir semua persoalan konseli sedikit banyak
menyangkut hubungan dengan orang lain. Jikalau hubungan
itu tidak diperhatikan oleh konselor pelayanannya dapat
menjadi tidak relevan. Oleh sebab itu (khususnya di
Indonesia) kita membutuhkan fungsi konseling pastoral yang
menjamin konselor ikut berkecimpung dalam menyelesaikan
ketegangan yang timbul dalam hubungan itu. Kesulitan
komunikasi biasanya merupakan persoalan yang paling
mendasar. Sebaiknya, konselor tidak memihak kepada
konseli atau sebaliknya anggota-anggota keluarganya atau
temannya. Dalam menolong proses komunikasi, semua orang
yang terlibat menjadi konseli. Kita menjadi perantara yang
netral, perantara yang berkewajiban untuk secara terus
menerus membuka jalur komunikasi timbal balik.
Hendaknya konselor minta kepada konseli-konseli yang
terlibat dalam permasalahan untuk satu per satu
menyampaikan pendapat dan perasaan mereka kepada
temannya, BUKAN kepada konselor. Kemudian konseli yang
kedua diminta oleh konselor untuk mengulang yang
dikatakan oleh konseli pertama. Berikutnya konseli pertama
memberitahu apakah maksudnya telah ditangkap dengan
baik oleh konseli kedua (andaikata konseli kedua belum
mengerti), prosedur ini perlu diteruskan sampai konseli
pertama sudah puas. Bilamana pendapat dan perasaan
konseli pertama telah dipahami secara memuaskan oleh
konseli kedua, konseli kedua dipersilakan oleh konselor untuk
mengutarakan pendapat dan perasaannya lalu konseli
pertama mengulang. Sebaiknya konselor tidak membiarkan
adanya tanggapan langsung dari salah satu konseli terhadap
yang dikatakan oleh konseli yang lain sebelum tugas
mengulang selesai dulu.
Perbaikan komunikasi ini tentu perlu disesuaikan dengan
keadaan dan kebudayaan para konseli. Penting sekali semua
konseli menerima konselor sebagai perantara, apalagi
sebagai perantara yang harus tegas, walaupun tidak keras. 
5. Mengasuh/Memelihara
Diharapkan bahwa konseli akan berkembang dan terus
menerus menjadi lebih dewasa di dalam menghadapi
masalah-masalah hidup. Seharusnya konselor tidak hanya
punya tujuan meringankan penderitaan konseli untuk
sementara saja dengan risiko besok masalahnya kembali lagi,
tetapi konselor perlu memperkuat konseli.
Fungsi ini sebenarnya hampir selalu dapat keluar dalam
konseling. Itu alasannya untuk tidak perlu banyak menasehati
konseli dan untuk menegaskan tanggung jawab konseli dalam
menolong diri sendiri. Apabila konseli tidak membutuhkan
kita lagi, kita sudah berhasil. Jangan konselor menciptakan
ketergantungan konseli pada diri konselor, sebab itu hanya
membuat konseli lebih lemah.
Nusantara Intercultural Ministry
Minggu, 27 Juli 2014

Sejarah Pelayanan Pastoral

SEJARAH PELAYANAN PASTORAL


oleh: Calvin Dachi, SSi., MAIE., MTh

A.     Pendahuluan

           Tulisan ini merupakan sebuah studi terhadap sejarah pelayanan pastoral dari beberapa
sumber.  Sumber-sumber utama yang membicarakan sejarah pelayanan pastoral ini adalah
buku Pastoral Care in Historical Perspective yang ditulis William A Clebsch dan Charles R. Jaekle dan
buku Teologi Penggembalaan: Sebuah Pengantar yang ditulis oleh Derek J. Tidball.  Alasan untuk
memilih kedua buku ini adalah karena penulis menilai bahwa kedua buku ini berusaha untuk
membahas sejarah pelayanan Pastoral dengan cukup komprehensif dan dengan pendekatan yang
cukup berbeda.   Penulis lain yang membicarakan sejarah pelayanan pastoral adalah Seward Hiltner.
[1]  Dalam bukunya Pengantar untuk Teologi pastoral Hiltner memberikan bab khusus untuk
membicarakan sejarah pastoral itu sendiri.  Namun pembahasan sejarah pelayanan Pastoral oleh
Hiltner ini kurang menyeluruh karena hanya melihat sejarah pelayanan Pastoral sejak jaman
Reformasi gereja dan lebih focus pada apa yang melatari kelahiran teologi pastoral dan
perkembangan studi teologi pastoral selanjutnya. 

           Dalam Pastoral Care in Historical Perspective, Clebsch dan Jaekle membagi periode sejarah
pelayanan pastoral dalam 8 periode dengan perhatian khusus fungsi pastoral apa yang dominan
dalam setiap periode.  Fungsi-fungsi pastoral yang dimaksud oleh Clebsch dan Jaekle adalah empat
fungsi pastoral sebagai berikut:

1.       Healing (Menyembuhkan)

2.      Sustaining (Mendukung/Menopang)

3.      Guiding (Membimbing)

4.      Reconciling (Memulihkan)

           Dapat dipastikan bahwa dalam setiap periode pastoral pelayan-pelayan kekristenan
menyembuhkan (healing) dan mendukung (sustaining) dan membimbing (guiding) dan memuihkan
(reconciling) orang-orang yang dalam kebingungan/masalah.  Namun setiap periode juga
memperlihatkan bahwa salah satu fungsi itu lebih menonjol dari yang lainnya.

           Disamping itu, dalam sejarah, ke empat fungsi pastoral itu juga dioperasikan dengan berbagai
modus dan cara.  Mis.: di awal abad pertengahan pelajaran katekisasi dalam dasar etika Kristen
bersama dengan penyesalan dosa-dosa dan hukuman yang sesuai adalah cara yang dominan dalam
membimbing umat. 
           Berbeda dengan Clebsch dan Jaekle,  dalam buku Teologi Penggembalaan: Sebuah
Pengantar, Tidball membagi sejarah pelayanan pastoral dalam 5 periode.   Dalam ke lima periode
pelayanan pastoral ini, Tidball lebih memperhatikan perkembangan pelayanan pastoral dari waktu
ke waktu berdasarkan apa yang dikerjakan atau yang harus dikerjakan oleh para gembala atau
pejabat gerejawi.  Kesamaan Tidball dengan Clebsch adalah bahwa keduanya memperlihatkan
bagaimana konteks historis pastoral turut mempengaruhi pelayanan pastoral dalam setiap periode.

B.  Sejarah Pelayanan Pastoral menurut Clebsch dan Jaekle

I.                   Kekristenan Primitif: Mendukung/menopang (sustaining) dalam gereja Primitif.

 Era pertama ini berakhir pada tahun 160 M.  Cirinya pada penekanan sustaining souls (mendukung
atau menopang jiwa-jiwa) untuk bisa melalui perubahan hidup di dunia yang dipercayai orang
Kristen mula-mula akan berlangsung cepat kepada akhir. 

Pada masa ini sikap orang Kristen sangat dipengaruhi oleh harapan bahwa kedatangan Yesus kedua
kali sudah dekat dan kesudahan dari keseluruh dunia.  Karena itu para gembala cenderung
menasehatkan para budak untuk bersabar dengan keadaan meraka, para janda tetap menjanda,
yang belum nikah tetap tidak menikah dan seterusnya.  Peringatan bahwa waktunya adalah singkat 
dan akhir zaman sudah dekat sangat kuat dalam kekristenan primitive.  Karena pengampunan ilahi
telah diterima oleh orang-orang percaya yang telah dibaptis, maka mereka diharuskan untuk
menjalani hidup yang suci.  Namun dipertengahan abad ke 2, muncul masalah dosa pasca baptisan. 
Hermas dalam bukunya The Shepherd   mencatat bahwa pengampunan tersedia bagi mereka yang
berdosa sesudah dibaptis, tetapi hanya untuk dosa yang kurang menyedihkan (dosa yang tidak
berat).[2]

II.                Di bawah penindasan: Pemulihan selama Penganiayaan.

Dalam era penganiayaan sekitar 180-306 M fungsi pemulihan (reconciling) orang-orang yang
bermasalah kepada Allah dan kepada gereja menjadi lebih penting dari pada fungsi
mendukung/menopang (sustaining).  Kekaisaran Romawi menuntut kesetiaan orang-orang Kristen
terhadap kekaisaran.  Masalah  terjadi ketika kesetiaan orang Kristen itu dituntut dengan cara
partisipasi kultus Romawi.  Karena orang kristen sering menolak untuk ikut dalam kultus kekaisaran
Romawi, maka mereka dianiaya.  Dalam keadaan ini, banyak orang Kristen yang kompromi.  Karena
itu, selama periode ini para gembala bekerja keras untuk menentukan tingkat dan jenis penolakan
orang Kristen yang dapat diampuni.  Fungsi utama pastoral dalam keadaan ini adalah memulihkan
(reconciling) orang yang mengingkari imannya untuk kembali ke gereja. Kemudian pengampunan
pasca baptisan hanya diizinkan jika mereka melakukan dosa yang tidak tergolong dosa berat  
(penyembahan berhala, berzinah dan membunuh).

III.             Kebudayaan Kristen:  Pembimbingan (Guidance) dalam Kerajaan Gerejawi.

 Periode ketiga dicirikan oleh pembimbingan (guiding) orang-orang Kristen untuk berperilaku sesuai
dengan kebudayaan Kristen yang baru.  Periode ini terjadi ketika kekristen menjadi agama resmi di
bawah kekaisaran Constantinus Agung, dan berlanjut di dalam kekristenan Timur melalui budaya
Byzantine.  Pada periode ini, kekristenan berfungsi sebagai pemersatu masyarakat dan gereja
bertanggung jawab untuk kesatuan dogmatis dan keseragaman gereja.  Oleh karena itu, fungsi
pastoral yang ditekankan adalah fungsi membimbing (guiding).  Pada masa ini juga banyak fungsi
pastoral menjadi lebih formal.  Pelayanan penyembuhan (healing) terpusat pada pengurapan
dengan minyak suci, dan pelayanan pemulihan (reconciling) sebagian besar menjadi persoalan
pengaturan dan pemaksaan kebijakan gerejawi yang standar.  Sedangkan pelayanan untuk member
dukungan/topangan (sustaining) hanya focus pada masalah khusus pribadi seperti dukacita dan
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.  Semuanya ini dilakukan dalam rangka memperkuat
Pembimbingan.

IV.             Abad-abad Kegelapan.  Pembimbingan orang Eropa secara Induktif.

 Di Barat, di awal abad ke 5 gereja menghadapi tugas raksasa untuk menarik gerombolan-
geromnblan masyarakat primitive yang mendiami wilayah eropa Barat.  Fungsi pembimbingan
ternyata cocok untuk meyakinkan masyarakat barbar  agar mau menerima penjelasan, diagnose dan
perbaikan dari agama Kristen untuk mengatasi masalah-masalah mereka.  Gereja mengembangkan
pembimbingan yang bersifat induktif.

            Pemeliharaan jiwa berlangsung di biara-biara menjadi standar penggembalaan.  Gagasan


biara menimbulkan skema perkembangan rohani yang dapat mematikan kesombongan dan
memunculkan kerendahan hati.

V.                Umat Kristen Medieval  dan Penyembuhan Skaramental.  Era ini membawa pemeliharaan pastoral
dalam system sakramen yang dirancang untuk menyembuhkan semua penyakit yang menyerang
setiap segmen kehidupan umat.  Hal ini terjadi karena pada akhir abad ke 11, gereja Katolik telah
menyebarkan kehidupan masyarakat Eropa.  Peneguhan agama menjadi dasar dibangunnya ikatan
social.  Universalitas dan kesatuan gereja disimbolkan dalam Kepausan dan Kekaisaran Romawi. 
Pemeliharaan jiwa-jiwa dipusatkan berdasarkan kuasa dari anugerah yang ilahi untuk
menyembuhkan gangguan atas eksistensi manusia.  Para pastor menawarkan penyembuhan ini
dengan sarana yang opbjektif, wujud skaramental dari anugerah itu.

VI.             Pembaharuan dan Reformasi.  Bangkitnya individualism Renaissance dan Reformasi mendorong


timbulnya perhatian atas cure of souls dimana pelayanan pastoral lebih mengutamakan pemulihan
seseorang secara individu kepada Allah yang benar.  Sebelumnya, pemulihan mengambil bentuk
sebagai perantara bagi umat atau sebagai pertolongan untuk mendapatkan pengampunan ilahi
secara mistis lewat sakramen.  Di abad ke 16 ini para gembala dan gereja memanfaatkan fungsi
pemulihan dengan cara disicipline.   Tangga rohani yang dipakai di biara sekarang diterapkan juga
kepada para pendeta dan awam kelas menengah. 

Fungsi pemulihan diinterpretasikan dengan berbagai cara.  Seorang Kardinal Italia  memahami
pemulihan sebagai pembenaran dosa-dosa individu di hadapan Tuhan.  Calvin mengembangkan
system disiplin gereja dengan cara dimana pemulihan hubungan dengan Allah melibatkan pemulihan
hubungan dengan orang percaya lainnya.  William Tyndale memahami rekonsiliasi (pemulihan)
dengan Allah untuk memulai hidup dalam pemulihan horizontal.
VII.          Pemberian dukungan di zaman Pencerahan.  Penggembalaan Kristen focus dengan tajam pada
pemberian dukungan/topangan saat mereka melalui pengkhianatan dan perangkap-perangkap dari
dunia jahat yang mengancam.

Seorang tokoh zaman ini, yaitu Baxter mendefinisikan penggembalaan jiwa-jiwa mengandung dua
hal:

1.      Menyingkapkan kepada manusia bahwa kebahagiaan, atau kebaikan utama haruslah menjadi tujuan
akhir mereka.

2.      Memperkenalkan kepada mereka cara-cara yang benar untuk pencapai tujuan ini, dan menolong
mereka untuk menggunakannya dan menghalangi mereka melakukan yang sebaliknya.

VIII.       Era Pasca-umat Kristen.  Munculnya lingkungan baru sebagai akibat revolusi di akhir abad 18 dan
awal abad 19 yang menentang masyarakat Kristen yang sudah terbentuk sebelumnya.  Peradaban
barat modern mendesak agama sebagai urusan pribadi.  Karena agama adalah urusan  pribadi, maka
keanggotaan gereja ditempatkan berdasarkan kerelaan dan menimbulkan keragaman dalam hal
fungsi pembimbingan gerejawi, keputusan yang beranekaragam terhadap orang-orang yang
bermasalah yang kemudian akan member dasar bagi psikologi dan psikologi agama. 

C.  Tinjauan Sejarah Teologi Pastoral menurut Derek J. Tidbal

I.                    Abad-abad permulaan

Tidball mengatakan, bahwa pada abad-abad permulaan ada empat faktor utama yang menentukan
bentuk pelayanan pastoral:

-          Proses-proses pelembagaan yang alami

-          Perpecahan dan penjelasan untuk mempertahankan iman yang ortodoks

-          Budaya dan intelektual pada zaman itu

-          Gereja sebagai minoritas yang dianiaya

Periode Pasca Rasuli

Dari surat-surat Ignatius:  pada masa ini terjadi pemisahan antara pejabat gereja dan kaum awam 
Bentuk pelayanan pastoral adalah penekanan akan perlunya menaati para pejabat gerejawi. 
Motivasi pelayanan untuk melindungi kawanan domba.   Tugas pastoral yang terutama  adalah
mengajar. 

Dari tulisan Polikarpus, sktr tahun 110M, kita mengetahui bahwa tugas pejabat gerejawi
ialah menemukan kembali orang-orang yangh tersesat, memperhatikan orang yang lemah dan tidak
melalaikan janda, yatim piatu dan orang miskin.  Sedangkan Klemens menekankan tugas pejabat
gerejawi sebagai pendidik dan penuntun.  Cyprianus dalam pelayanannya sangat menonjolkan
tanggung jawaba pemeliharaan pastoral.  Perkembangan selanjutnya, uskup ditempatkan dalam
puncak kekuasaan:  Dalam disiplin sebagai hakim, dalam doktrin sebagi pengajar, dalam
penggembalaan sebagai pengkhotbah.

Periode Paska Konstantinus

Kaisar Konstantinus bertobat tahun 312 dan iman Kristen menjadi agama resmi kekaisaran Romawi.  
Pada masa ini pelayanan penggembalaan dianggap sebagai panggilan yang tinggi dan kudus.  
Tuntutan terhadap gembala cukup tinggi: gembala tidak boleh tercemar,  dalam kesucian dan harus
memiliki sifat-sifat seorang malaikaf.  Gembala tidak hidup bagi dirinya sendiri tetapi bagi sejumlah
besar orang. 

            Gembala juga digambarkan sebagai pemandu yang dengan terampil mengemudi kapal
gereja.  Banyak orang yang mengharapkan pimpinan dari gembala agar mereka dengan selamat
melalui badai, arus dan rintangan-rintangan.  Tugas penggembalaan juga dikiaskan dengan istilah
medis sebagai tugas mengobati/menyembuhkan.

Agustinus dari Hippo merumuskan tugasnya sebagai gembala sbb.: Memarahi orang yang
menimbulkan percekcokan, menghibur orang  kecil hati, membela orang yang lemah, menyanggah
para  penentang, waspada terhdapa berbag ai jebakan, mengajar orang yang tidak bnerpengatuan,
mengajarkan orang yang tidak berpengathuan, menolong orang yang miskin, membebaskan ornag
tertindas dsb.  Ia mengatakan: “Berkhotbah, membantah, menegur, membangun, selalu siap sedia
untuk menolong setiap orang, itulah beban berat yang saya pikul”.

Bagi Agustinus, pelayanan bersifat sacramental.  Ia percaya bahwa sakramen-sakramen dapat


diadakn di luar gereja yang benar tetapi tidak berhasil guna.  Akibatnya muncul pandangan bahwa
sifat-sifat pribadi pelayan sakramen itu kurang penting bagi keabsahan sakramen.  Keabsahan
sakramen ditentukan oleh satu-satunya gereja yang benar, bukan oleh pelayan itu. 

II.                Abad Pertengahan

Para pejabat gereja memasuki abad pertengahan dilengkapi dengan karya Gregorius Agung
berjudul Pastoral Rule.  Namun kerohanian pejabat gereja telah merosot karena gereja terikat
dengan masalah-masalah duniawi.  Usaha perbaikan muncul dan praktek pastoral dirumuskan oleh
Innocentius III sebagai memberi makan kepada kawanan domba melalui teladan pribadi, melalui
ajaran dan melalui sakramen dengan hikmat ilahi dan kesetiaan yang tinggi kepada iman rasuli. 
Innocentius sangat mengerti arti penting penggembalaan para pejabat gereja dengan mengatakan
“Sang gembala harus rajin dalam melaksanakan pemeliharaan pastoralnya agar tidak ada domba
yang sakit dalam kandang yang dapat menularkan penyakitnya.” 

III.             Refomasi dan Warisannya

Dua persoalan besar reformasi:  Bagaimana aku mendapat Allah yang pemurah? Dan “Dimanakah
aku temukan gereja yang sejati?”  Berdasarkan ini, terjadi perubahan pelayanan pastoral dalam
Reformasi.
Luther berkata bahwa gereja sejati ditemukan dimana saja firman Allah diberitakan.  Tanda yang
pasti untuk mengenalki suatu jemaat Kriosten adalah bahwa disana Injil yang murni diberitakan. 
Oleh karena itu, pelayanan menjadi pelayanan Firman dan gembala menjadi pengajar kawanan
domba, bukan penyalur  sakramen-sakramen.  Pemeliharaan pastoral mengambil bentuk penerapan
firman Allah pada berbagai kebutuhan umat dan dorongan kepada umat untuk percaya pada firman
itu.

            Salah satu tema dalam bimbingan pastoral yang menonjol dari Luther  adalh penghiburan. 
Manusia membutuhkan penghiburan tidak hanya saat menghadapi penyakit atau kematian tetapi
ketika menghadapi kebimbangan, kepoutusasaan, kekacauan dan pencobaan menyerang rohnya .

Martin Bucer

Martin Bucer menulis tentang pelayanan pastoral dalam karyanya  Tentang Pemeliharaan Jiwa-
jiwa.   Berdasarkan Yehezkiel 34, Bucer berpendapat bahwa gembala harus:

a.       Membawa kepada Kristus dan ke dalam gereja, orang-orang yang tersesat karena dosa atau
kesalahan.

b.      Memulihkan kembali mereka yang telah mundur

c.       Memulihkan kembali mereka yang telah jatuh ke dalam dosa meskipun masih tetap di gereja

d.      Memulihkan orang-orang yang lemah dan sakit dan perlu dikembalikan kesehatan, kekuatan dan
kehidupan kristennya sekali lagi

e.       Memelihara serta meneguhkan mereka yang sedang mengikut Kristus.

Yohanes Calvin

Yohanes Calvin lebih dikenal sebagai teolog akademis dan penegak disiplin gereja, tetapi buka
sebagai seorang gembala atau pengkhotbah.  Namun, buku-buku tafsirannya penuh dengan ulasan-
ulasan pastoral dan surat-suratnya penuh dengan wawasan gembala.  Calvin juga terlibat dalam
pekerjaan pastoral karena tahun 1550-1559 ia memimpin 170 upacara pernikahan dan sekitar 50
upacara baptisan. 

            Menurut Calvin, pekerjaan gembala adalah “memberitakan firman Allah, mengajar, menegur,
menasehati, mengecam, baik di muka umum maupun secara pribadi, melaksanakan sakramen dan
menjatuhkan hukuman terhadap saudara seiman bersama dengan para penatua dan rekan kerja.

Richard Baxter (1615-1691)

Baxter adalah seorang tokoh dalam roformasi yang pernah menjadi kurator di Kidderminster,
kemudian pindah menjadi pendeta tentara selama lima tahun di Coventry dan dengan the New
Model Army.  Kemudian dia diminta kembali oleh jemaat sebagai vikaris Kidderminster pada tahun
1647.

            Dalam karyanya The Reformed Pastor Baxter menjelaskan falsafah pelayanannya.    Menurut


Baxter, pelayanan menuntut “ketrampilan, tekad dan kerajinan yang tidak kendor” dan bukan beban
yang ditanggungkan di atas bahu seorang anak.  Sang gembala haruslah seorang yang sudah
bertobat.  Kalau tidak, maka pelayanan khotbah tidak akan menyelamatkan dirinya bahkan dapat
meninabobokan dia dalam kerohanian palsu dan memberikesan seolah dia sudah selamat.

            Seorang gembala perlu dewasa secara rohani, mengejar kesalehan serta harus bersemangat
secara rohani.  Jika kerohaniannya dingin, maka kerohanian kawanan donmba pun akan demikian. 
Oleh karena itu, jika kerohaniannya surut, ia dapat membangun dirinya dengan disiplin rohani,
dengan membaca buku yang membangkitkan semangat atau bermeditasi tentang sesuatu hal yang
besar.  Mengabaikan disiplin-disiplin tidak hanya berbahaya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi
umatnya.

            Ada tujuh sasaran pelayanan gembala.Yang paling penting adalah berusaha membawa orang
yang beklum bertobat kepada pertobatan.  Kedua: member pengarahan kepada orang-orang yangh
mencari kebenaran dan menyadari dosanya.  Ketiga, membangun mefreka yang sudah di dalam
Kristus.  Keempat, keluarga-keluarga perlu diperhatikan.  Kelima, orang sakit dikunjungi.  Keenam,
orang yang bersalah perlu ditegur.  Ketujuh, sang gembala perlu sungguh-sungguh dalam
melaksanakan disiplkin gereja.  

George Herbert (Anglikan, 1593-1633)

Akibat reformasi, di kalangan gereja-gereja Anglikan muncul minat baru untuk meningkatkan mutu
perawatan rohani dan standar pelayanan.  Salah seorang tokohnya adalah George Herbert yang
menulis The Country Pastor.  Herbert mengatakan: “seorang gembala adalah wakil kristus untuk
menjadikan manusia taat kepada Allah.”  Oleh karena itu, tingkah lakunya haruslah kudus, adil, bijak,
tidak memihak, berani, sungguh-sungguh, sabar, dan menyangkal diri.  Kalau ia sudah menikah,
rumah tangganya akan menjadi pola bagi jemaatnya.  Ia harus menjadi pusat kehidupan jemaat,
menyenangi adat klebiasaannya yang lama kalau tidak merugikan gereja. Ia harus menunjukkan
pengetahuan tentang masalah pedesaan seperti bercocok tanam dan memelihara ternak, tetapi juga
bertindak sebagai guru, advokat dan domter bagi umatnya.

            Tugas rohani gembala terutama tiga.

a.       Memimpin ibadah jemaat dan melayankan sakramen-sakramen, baik di gereja maupun kepada
orang-orang sakit di rumah karena “ini merupakan penawar yang menenangkan dan ampuh bagi
jiwa-jiwa yang sakit karena dosa.”

b.      Ia harus mengajar umat dalam soal-soal iman melalui berkhotbah dan ketekisasi.

c.       Kunjungan.  Pada hari minggu , sesudah melakukan tugas-tugas umum “sisa waktu dipakai untuk
mendamaikan tetangga-tetangga yang berselisih atau mengunjungi orang sakit, atau dengan
menegur dan menasehati jemaat yang tidak dapat atau tidak dicapai oleh khotbahnya.

Kaum Puritan

Di antara orang-orang  puritan berkembang minat yang luas terhadap konseling rohani yang
membicarakan masalah seperti rasa tertekan, ketiadaan keyakinan, penderitaan, pencobaan dan
kejatuhan dalam dosa.  Tokoh-tokohnya adalah John Owen, Thomas Brook, Richard Sibbes, Robert
Bolton, Thomas Manton, Thomas Goodwin dan William Gurnall menggunakan perspektif pastoral ini
dalam tulisan-tulisan mereka mengenai teologi.
Tiga pokok pemikiran mengenai pendekatan mereka.  Pertama, sebelum petunjuk atau nasehat
apapun diberikan, perlu untuk mengetahui keadaan rohani orang yang mencari bimbingan.  Ada
perbedaan dalam cara menangani seorang anak terang yang berjalan dalam kegelapan dan seorang
anak gelap yang berjalan dalam terang.  Penanganan untuk yang pertama adalah dengan memeriksa
secara teliti berbagai penyebab persoalannya disusul dengan penerapan alkitab dan petunjuk
tentang langkah-langkah praktis yang harus diambil.  Kasus yang kedua tidak dapat diberikan
penawar apapun sebelum ia lebih dahulu menerima hidup dalam Kristus. 

Kedua, Orang-orang puritan bekerja berdasarkan apa yang sekarang diseb ut pendekatan studi
kasus.  Pendekatan kepada masalah dilakukan dengan cermat.  Masalah dijelaskan dan kemudian
semua penyebabnya dicatat dan ditelaah.  Jawaban selalu didasarkan pada Kitab Suci.

Ketiga, penawarannya terdiri atas penerapan kitab suci dan juga atas petunjuk praktis.  Orang yang
terbukti memiliki iman yang membenarkan, akan didorong untuk melihat maksud-maksud Allah
yang lebih luas dalam mengizinkan pengalamannya, sebelum ia dinasehati untuk percaya janji-janji
atau ajaran-ajaran Kitab Suci yang sesuai.  Tetapi diselang seling penelaahan Kitab Suci, juga diberi
nasihat praktis.  Mis, kepada orang-orang yang tidak memiliki keyakinan, mereka harus giat
menggunakan kasih karunia, taat, merenungkan jangkauan kemurahan Allah, memeriksa perbedaan
antara orang percaya dengan yang tidak percaya, berusaha untuk bertumbuh dalam kasih karunia,
menemukan apakah yang kurang dalam hal-hal berikut, seperti kasih atau pengetahuan, yang
seharusnya menyertai keselamatan.

IV.             Kebangunan Rohani Injili

Kebangunan rohani Injili menghidupkan perhatian kepada sifat dasar dan pekerjaan pelayanan.   
Pemahaman tentang perawatan pastoral pada periode ini diungkapkan oleh John Wesley sebagai
tugas menyelamatkan jiwa-jiwa.  John Wesley lebih lanjut berkata:  tidak hanya membawa jiwa-jiwa
untuk percaya kepada Kristus, tetapi membangun mereka dalam iman yang kudus.  Wesley
berpendapat, bahwa setelah orang dibawa kepada Kristus, pada saat itulah perawatan yang utama
dimulai.

            Mengingat begitu banyaknya orang yang bertobat dalam kebangunan rohani yang
dilayaninya, John Wesley mempersatukan petobat-petobat itu dalam perhimpunan-perhimpunan. 
Di dalam perhimpunan-perhimpunan itu mereka mempraktekkan disiplin rohani, mendorong untuk
menghadiri ibadah umum dan bertumbuh dalam kesucian.

            Di bawah perhimpunan ini, beroperasi dua kelompok atau sel yang lebih kecil.   Kelompok sel
yang pertama adalah pertemuan kelas, yang menyediakan perawatan pastoral bagi semua anggota
perhimpunan dan sekaligus sebagai pelaksana disiplin.  Di dalam pertemuan kelas diberikan nasehat,
teguran, hiburan dan pengarahan serta persembahan  uang untuk menolong orang miskin. 
Kelompok sel yang kedua adalah kumpulan kecil dimana orang dapat saling mencurahkan perasaan
dan saling memperbaiki serta mengobati.

V.                Aliran-aliran abad ke-20

Yang terpenting dalam perkembangan teologi pastoral abad ke-20 adalah terjalinnya hubungan
antara teologi pastoral dengan psikologi.  Hal ini terjadi sesudah Perang Dunia II dimana pendekatan-
pendekatan baru kepada konseling diperkenalkan.  Tokohnya yang sangat berpengaruh adalag
Seward Hiltner. 

Menurut Hiltner, teologi pastoral adalah teori teologi yang dihasilkan oleh telaah tentang pekerjaan
sang gembala dan gereja ditinjau dari perspektif penggembalaan. Ia menolak pandangan tradisional
yang memahami pastoral berhubungan dengan disiplin, penghiburan dan pembangunan jemaat. 
Justru isi utama disiplin ini menyangkut penyembuhan, pemeliharaan dan pembimbingan.

            Hiltner tidak hanya mengorganisasikan kembali disiplin dalam kaitannya dengan aspek-aspek
lain teologi, tetapi juga membuat terobosan dalam metode yang dipakainya.  Ia menekankan
pentingnya metode studi kasus dimana interpretasi atas kasus harus memperhitungkan bahwa
manusia adalah makhluk yang terintegrasi dalam konteks social tertentu. 

            Menurut Hiltner, penyembuhan meliputi pemulihan keutuhan fungsional, suatu kondisi yang
karena satu atau lain sebab, telah hilang.  Dalam proses penyembuhan, orang itu harus diperlakukan
sebagai manusia utuh dab bahwa jiwa tidak dipisahkan dari dimensi-dimensi hidup lainnya.  Dalam
kasus dimana tidak ,mungkin terjadi pemulihan total, maka gembala melaksanakan fungsi
pemeliharaan.  Dua situasi dimana pelayanan semacam ini diperlukan, yaitu dalam hal kehilangan
anggota keluarga dan ketika menghadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan.   Tujuan
pelayanan pemeliharaan adalah menolong orang tersebut menemukan keberanian untuk
menghadapi situasinya dan member dia semangat baru.

Teologi penggembalaan Injili

Salah satu tokohnya adalah Eduard Thurneysen.  Dalam bukunya A Theology of Pastoral Care dia
berkata bahwa factor eksklusif pemeliharaan pastoral adalah Firman Allah.  Inti teologi pastoral
adalah mengkomunikasikan Firman Allah yang terutama dilakukan melalui khotbah.  Dia hanya
mengakui satu teknik pemeliharaan pastoral yaitu percakapan.  Walaupun Thurneysen memberi
tempat eksklusif padaFirman Allah, ia tidak mengesampingkan psikologi dan psikiatri.  Ia melihat
ilmu-ilmu ini sebagai alat bantu yang menolong pemahaman kita tentang manusia. 

            Berbeda dengan Thurnesen, tokoh injili lainnya, Jay Adams menolak bantuan psikologi dan
psikiatri dalam konseling Kristen.  Adams berusaha memunculkan kembali apa yang dianggapnya
sebagai kerangka alkitabiah bagi pemeliharaan pastoral.  Ia berargumentasi bahwa penyebab utama
dari semua persoalan kita adalah dosa.  Semua penderitaan dan duka cita dapat dirunut kembali
pada dosa Adam.  Tugas konselor adalah menghadapkan konseli dengan dosanya dan dengan
tuntutan-tuntutan Allah dan cara untuk menghasilkan perubahan. 

Metode utama yang ditekankannya adalah metode konfrontasi dalam arti konfrontasi dengan
prinsip-prinsip dan praktek alkitabiah.  Metode ini menekankan bahwa manusia harus berani
menghadapi tanggung jawabnya atas dosa dan kalau ia berbuat demikian ada harapan bahwa ia
dapat berubah karena ia setuju dengan keputusan Allah tentang kehidupannya dan siap untuk
mengalami perubahan.  Setelah masalah dikenali dari perspektif alkitab dan tanggung jawab
diterima, maka program perubahan dapat dibuat oleh konselor untuk membantu konseli berhenti
berkelakuan buruk dan melakukan perilaku yang benar. 

Perubahan yang dihasilkan adalah perubahan yang mendalam,  yang dikerjakan oleh Roh Kudus
sebagai pihak utama yang terlibat dalam semua konesling.  Perubahan itu mendalam karena
mengubah sikap dan emosi seseorang.
D.  Penutup

            Tinjauan sejarah pelayanan pastoral di atas memperlihatkan bahwa dari waktu ke waktu
gereja mengembangkan pelayanan pastoral secara kreatif untuk menolong jemaat agar tetap kudus
dan mengalami pertumbuhan secara rohani dalam tantangan dan konteks yang terus berubah.  
Clebsch dan Tidball mengingatkan kita bahwa dalam setiap periode, gereja mengalami tantangan
yang berbeda yang menuntut gereja untuk mengembangkan pelayanan pastoral yang relevan sesuai
dengan jamannya.  Sejarah memperlihatkan bahwa pendekatan penggembalaan yang dilayankan
oleh gereja ternyata berbeda-beda dari waktu ke waktu.

Howard Clinebell mengatakan bahwa tujuan dari seluruh penggembalaan dam konseling
pastoral adalah untuk membebaskan, memperkuat dan memelihara keutuhan hidup yang berpusat
pada Roh.[3]  Untuk mencapai tujuan dalam penggembalaan, maka tugas kita adalah mengenali
tantangan dan konteks dimana kita berada sekarang dan memutuskan fungsi pastoral seperti apa
yang sebaiknya dijalankan dalam penggembalaan, metode dan bentuk pelayanan seperti apa yang
efektif untuk menolong jemaat agar dapat memiliki keutuhan hidup yang berpusat pada Roh yang
merupakan tujua dari seluruh penggembalaan.  Sejarah pelayanan pastoral memperlihatkan bahwa
kita tidak bisa begitu meneruskan pendekatan-pendekatan yang selama ini telah dilakukan dalam
pelayanan pastoral karena mungkin sudah tidak relevan lagi dengan jaman kita. 

Daftar Pustaka

Clebsch, William A dan Charles R., Pastoral Care in Historical Perspective.  New Jersey:  Jason
Aronson Inc. 1983

van den End, Th., Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas.  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.

Hiltner, Seward, “Pengantar untuk Teologi Pastoral” dalam Homes, Tjaard G. dan E. Gerrit
Singgih, Teologi dan Praksis Pastoral: Antologi Teologi Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia dan
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Tidball, Derek J.,  Teologi Penggembalaan: Suatu Pengantar. Diterj. oleh: M. Rumkeny.  Malang:
Penerbit Gandum Mas, 2002.

[1] Buku ini dijadikan sebagai satu bagian tersendiri dalam buku Teologi dan Praksis Teologi Pastoral:
Antologi Teologi Pastoral, ed.: Tjaard G. Homes dan E. Gerrit Singgih yanbg diterbitkan oleh BPK
Gunung Mulia dan Penerbit Kanisius Yogyakarta.

[2] Lihat juga Harta dalam Bejana,  hal. 30 yang menyatakan bahwa kalau anggota jemaat kedapatan
berbuat dosa, ia dikucilkan dari jemaat.  Dan pada abad ke 2 seseorang tidak diberi kesempatan
untuk menyesal dan kembali kepangkuan gereja jika melakukan dosa berat (murtad, pembunuhan,
berzinah). 

[3] Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral.  Jakarta: BPK


Gunung Mulia dan Yogyakarta: Kanisius, 2002, p. 33.
Unknown di 21.45
Berbagi

Tidak ada komentar:


Posting Komentar


Beranda

Lihat versi web


Mengenai Saya

Unknown
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai