Alkitab Juga Mempunyai Konteks Biasanya dari kalangan Reformatoris biasanya baru bisa lega ketika apa yang bisa dilakukan itu bisa juga dibuktikan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Yesus dan Nabi-nabi di dalam Alkitab. Namun kenyataannya bahwa sering kali di seleksi dalam hal ini. Misalnya gereja masa kini yang wajib memberikan persembahan persepuluhan karena di dalam Alkitab disebutkan. Namun sabda Yesus, orang yang mau ikut Dia harus meninggalkan segala sesuatu. Ini sebagai salah satu kontekstualisasi dalam Alkitab. Dalam kontekstualisasi PL contohnya Bait Allah yang dibangun di Yerusalem oleh raja Salomo (1Raj.6:1-38; 7:13-51). Menikuti arsitektur kuil-kuil Kanaan. Bahkan yang merancang dan membangunnya adalah orang kiriman dari raja Hiram, raja Tirus. Ketika kita membacanya maka ada dua tiang yaitu Yakhin dan Boas serta bejana raksasa yang berisi air bernama “laut”, fungsi peralatan ini tidak jelas, hanya menunukan hakikat sebuah kuil sebagai mikrokosmos. Perbadaannya dengan kuil-kuil Kanaan adalah dalam ruang mahakudus tidak ada citra apapun yang disembah hanya terdapat tabut perjanjian sebagai symbol kehadiran ilahi yang dijaga oleh kerubim (mahkluk yang digambarkan sebagai campuran manusia, ular, dan burung) yang juga terdapat di kuil-kuil Kanaan. Tabut ini adalah barang sakral yang dahulunya, dan diarak sepanjang pengembaraan di padang gurun. Jadi jika di tempatkan pada bangunan permanen itu memperlihatkan bagaiman orang mencoba menyelesaikan ketegangan antara ibadat masa lampau dengan ibadat masa kini, hal ini paling tidak juga memperlihatkan bahwa Yahweh, Allah pemimpin pengembaraan itu berkenan berdiam dalam lingkup sebuah kota. Dalam perkebangannya perbedaan tersebut bias manjadi kabur, dari waktu ke waktu misalnya upacara-upacara yang terjadi di Bait Allah , yang pada hakikatnya tidak berbeda dari upacara-upacara di kuil-kuil Kanaan. Misalnya Praktik pelacuran bakti di Bait Utara-Betel (Hos. 4:14); Yerobeam mencoba menempatkan citra lembu emas di tempat yang sama (1Raj. 12:25-33). Dan contoh-contoh yang lain. Itu berarti bahwa proses kontekstualisasi itu berupa pengambilalihan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku umum itu bias menimbulkan berbagai reaksi tajam karena persoalan ini begitu sensitive. Kontektualisasi PB (Kis. 15:1-29) Sidang di Yerusalem, dimana Paulus dan Barnabas memprotes tuntutan orang Kristen keturunan Yahudi agar orang Kristen non-Yahudi diharuskan melakukan sunat, kita sekarang ini seringkali berpendapat hal ini soalnya praktisnya saja. Namun, masalahnya sangat serius. Yaitu dengan membatal kankewajiban sunat bagi orang Kristen non- Yahudi, terjadi juga perubahan yang esensial dalam pemahaman diri jemaat. Yaitu ada “diskontinuitas” antara jemaat pra-Yerusalem dan paskah-Yerusalem ! sunat bukan lagi ciri keselamatan. Dan akhirnya keselamatan tidak berciri apapun. Bahwa keselamatan Allah itu ada pada setiap bangsa-bangsa. Hal ini bararti peraturan agamawi yang sudah mendarah daging, misalnya makanan haram dan halal dll itu disingkirkan, yang secara sederhana dapat di artikan bahwa seluruh system yang mengatur tentang identitas, kemurnian, kalangsungan bangsa Yahudi terhadap bangsa-bangsa lain seperti terlihat dalam kitab Imamat tidak lagi relevan bagi kehidupan iman Kristen. Uraian di atas menunjukan bahwa baik PL dan PB mempunyai konteks. Namun, hal ini justru menimbulkan masalah yang agak sulit, meskipun penganjur- penganjur kontekstualisasi dari kalangan Protestan tadi mengakui adanya konteks pada Alkitab, mereka mapartahankan bahwa konteks masa kini harus diukur dan dinilai menurut Alkitab, karena ada yang menyebabkan menyangkut dengan keyakinan bahwa Alkitab mempunyai wibawa entah sebagai Firman Allah (Fundamentalisme) maupun sebagai sarana Inspirasi ilahi (Non- Fundamentalisme). Untuk menyelesaikan permasalahan ini maka : 1. Pandangan Bruce J. Nicholls. Bruce J. Nicholls berpendapat untuk menjawab persoalan di atas bahwa apa yang terdapat dalam Alkitab adalah sesuatu yang tidak bersifat kebudayaan tetapi bersifat supra-kebudayaan yaitu fakta bahwa suatu kebuadayaan tertentu (kebudayaan Ibarani) menjadi unik karena melalui kebudayaan tersebut Allah menyatakan diri melalui Firman-Nya. Dalam menanggapi hal ini maka : Pertama; kita harus mengakui bahwa setiap pribadi adalah unik. Dengan sendirinya kita juga dapat mengatakan bahwa setiap kebudayaan, bahkan setiap agama mempunyai keunikan masing-masing. Kedua; pernyataan dan pembuktian bahwa Allah yang menyatakan diri melalui Israel kuno dengan melalui kebudayaan dan lingkungan orang Ibrani tidak perlu untuk disangkali.Dengan demikian maksud dari Bruce J. Nicholls adalah bahwa Allah yang menyatakan diri melalui Israel itu dalam kondisi dan waktu tertentu yang sudah ditentukannya. Dan baginya juga pasti ada alasan tertentu yang menyebabkan Allah memilih untuk menyetakan diri melalui kebudayaan tertentu dan bukan kebudayaan yang lain. Demikian juga penyataan diri Allah melaui Yesus yang artinya ada alas an juga mengapa Allah berinkarnasi dalam wujud seorang laki-laki Yesus. Namun gagasan Bruce J. Nicholls ini sudah melangkah jauh dari yang kita dapatkan dalam Alkitab, karena : Pertama; dalam PL kita tidak tahu mengapa Allah memilih Abraham, yang kita tahu hanya Allah menyuruh Abraham untuk keluar dan pergi. Kedua ; mengenai inkarnasi Allah dalam wujud laki-laki Bruce J. Nicholls terlalu gegabah dalam hal ini jika tujuan Yesus adalah untuk agama “kafir” sebenarnya wujud laki-laki sama “amoral” dengan wujud perempuan, namun bukan itu persoalanya. Lagi pula, bukankah inkarnasi itu justru terjadi karena dunia yang “amoral ini ? jika Allah takut pada dunia ini maka tidak aka nada inkarnasi dan tidaka akan ada keslamatan. Dengan pendapat Bruce J. Nicholls di atas maka konsep “supra- kebudayaan” tidaklah memuaskan karena tidak dapat dipergunakan untuk mempertahankan Alkitab sebagap patokan untuk menilai kontekstualisasi, hal ini yang tidak akan ketemu dengan gaya tafsir modern terhadap Alkitab dan hal ini juga merupakan contoh yang tidak patut untuk di ikuti. Namun ada juga teolog- teolog Asia yang bahkan lebih buruk dari pada Bruce J. Nicholls ini. Tiga tahap penting dalam kontekstualisasi : 1. Penilaian konteks Alkitab 2. Konteks tradisi sistematis-dogmatis 3. Konteks setempat masa kini.