Anda di halaman 1dari 3

Nama : Maurithania Rakinaung

Nim : 17 10 542
Prodi : Kependetaan
Mk : Teologi Kontekstual

Tanggapan Tentang Dari Israel Ke Asia


Alkitab Juga Mempunyai Konteks
Biasanya dari kalangan Reformatoris biasanya baru bisa lega ketika apa
yang bisa dilakukan itu bisa juga dibuktikan sesuai dengan apa yang dilakukan
oleh Yesus dan Nabi-nabi di dalam Alkitab. Namun kenyataannya bahwa sering
kali di seleksi dalam hal ini. Misalnya gereja masa kini yang wajib memberikan
persembahan persepuluhan karena di dalam Alkitab disebutkan. Namun sabda
Yesus, orang yang mau ikut Dia harus meninggalkan segala sesuatu. Ini sebagai
salah satu kontekstualisasi dalam Alkitab.
Dalam kontekstualisasi PL contohnya Bait Allah yang dibangun di
Yerusalem oleh raja Salomo (1Raj.6:1-38; 7:13-51). Menikuti arsitektur kuil-kuil
Kanaan. Bahkan yang merancang dan membangunnya adalah orang kiriman dari
raja Hiram, raja Tirus. Ketika kita membacanya maka ada dua tiang yaitu Yakhin
dan Boas serta bejana raksasa yang berisi air bernama “laut”, fungsi peralatan ini
tidak jelas, hanya menunukan hakikat sebuah kuil sebagai mikrokosmos.
Perbadaannya dengan kuil-kuil Kanaan adalah dalam ruang mahakudus tidak ada
citra apapun yang disembah hanya terdapat tabut perjanjian sebagai symbol
kehadiran ilahi yang dijaga oleh kerubim (mahkluk yang digambarkan sebagai
campuran manusia, ular, dan burung) yang juga terdapat di kuil-kuil Kanaan.
Tabut ini adalah barang sakral yang dahulunya, dan diarak sepanjang
pengembaraan di padang gurun. Jadi jika di tempatkan pada bangunan permanen
itu memperlihatkan bagaiman orang mencoba menyelesaikan ketegangan antara
ibadat masa lampau dengan ibadat masa kini, hal ini paling tidak juga
memperlihatkan bahwa Yahweh, Allah pemimpin pengembaraan itu berkenan
berdiam dalam lingkup sebuah kota.
Dalam perkebangannya perbedaan tersebut bias manjadi kabur, dari waktu
ke waktu misalnya upacara-upacara yang terjadi di Bait Allah , yang pada
hakikatnya tidak berbeda dari upacara-upacara di kuil-kuil Kanaan. Misalnya
Praktik pelacuran bakti di Bait Utara-Betel (Hos. 4:14); Yerobeam mencoba
menempatkan citra lembu emas di tempat yang sama (1Raj. 12:25-33). Dan
contoh-contoh yang lain. Itu berarti bahwa proses kontekstualisasi itu berupa
pengambilalihan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku umum itu bias menimbulkan
berbagai reaksi tajam karena persoalan ini begitu sensitive.
 Kontektualisasi PB (Kis. 15:1-29) Sidang di Yerusalem, dimana Paulus
dan Barnabas memprotes tuntutan orang Kristen keturunan Yahudi agar orang
Kristen non-Yahudi diharuskan melakukan sunat, kita sekarang ini seringkali
berpendapat hal ini soalnya praktisnya saja. Namun, masalahnya sangat
serius.  Yaitu dengan membatal kankewajiban sunat bagi orang Kristen non-
Yahudi, terjadi juga perubahan yang esensial dalam pemahaman diri jemaat. Yaitu
ada “diskontinuitas” antara jemaat pra-Yerusalem dan paskah-Yerusalem ! sunat
bukan lagi ciri keselamatan. Dan akhirnya keselamatan tidak berciri apapun.
Bahwa keselamatan Allah itu ada pada setiap bangsa-bangsa. Hal ini bararti
peraturan agamawi yang sudah mendarah daging, misalnya makanan haram dan
halal dll itu disingkirkan, yang secara sederhana dapat di artikan bahwa seluruh
system yang mengatur tentang identitas, kemurnian, kalangsungan bangsa Yahudi
terhadap bangsa-bangsa lain seperti terlihat dalam kitab Imamat tidak lagi relevan
bagi kehidupan iman Kristen.
Uraian di atas menunjukan bahwa baik PL dan PB mempunyai konteks.
Namun, hal ini justru menimbulkan masalah yang agak sulit, meskipun penganjur-
penganjur kontekstualisasi dari kalangan Protestan tadi mengakui adanya konteks
pada Alkitab, mereka mapartahankan bahwa konteks masa kini harus diukur dan
dinilai menurut Alkitab, karena ada yang menyebabkan menyangkut dengan
keyakinan bahwa Alkitab mempunyai wibawa entah sebagai Firman Allah
(Fundamentalisme) maupun sebagai sarana Inspirasi ilahi (Non-
Fundamentalisme).
Untuk menyelesaikan permasalahan ini maka :
1.       Pandangan Bruce J. Nicholls.
Bruce J. Nicholls berpendapat untuk menjawab persoalan di atas bahwa apa
yang terdapat dalam Alkitab adalah sesuatu yang tidak bersifat kebudayaan tetapi
bersifat supra-kebudayaan yaitu fakta bahwa suatu kebuadayaan tertentu
(kebudayaan Ibarani) menjadi unik karena melalui kebudayaan tersebut Allah
menyatakan diri melalui Firman-Nya. Dalam menanggapi hal ini maka :
Pertama; kita harus mengakui bahwa setiap pribadi adalah unik. Dengan
sendirinya kita juga dapat mengatakan bahwa setiap kebudayaan, bahkan setiap
agama mempunyai keunikan masing-masing.
Kedua; pernyataan dan pembuktian bahwa Allah yang menyatakan diri
melalui Israel kuno dengan  melalui kebudayaan dan lingkungan orang Ibrani
tidak perlu untuk disangkali.Dengan demikian maksud dari Bruce J. Nicholls
adalah bahwa Allah yang menyatakan diri melalui Israel itu dalam kondisi dan
waktu tertentu yang sudah ditentukannya. Dan baginya juga pasti ada alasan
tertentu yang menyebabkan Allah memilih untuk menyetakan diri melalui
kebudayaan tertentu dan bukan kebudayaan yang lain. Demikian juga penyataan
diri Allah melaui Yesus yang artinya ada alas an juga mengapa Allah berinkarnasi
dalam wujud seorang laki-laki Yesus.
Namun gagasan Bruce J. Nicholls ini sudah melangkah  jauh dari yang kita
dapatkan dalam Alkitab, karena : Pertama; dalam PL kita tidak tahu mengapa
Allah memilih Abraham, yang kita tahu hanya Allah menyuruh Abraham untuk
keluar dan pergi. Kedua ; mengenai inkarnasi Allah dalam wujud laki-laki Bruce
J. Nicholls terlalu gegabah dalam hal ini jika tujuan Yesus adalah untuk agama
“kafir” sebenarnya wujud laki-laki sama “amoral” dengan wujud perempuan,
namun bukan itu persoalanya. Lagi pula, bukankah inkarnasi itu justru terjadi
karena dunia yang “amoral ini ? jika Allah takut pada dunia ini maka tidak aka
nada inkarnasi dan tidaka akan ada keslamatan.
Dengan pendapat Bruce J. Nicholls di atas maka konsep “supra-
kebudayaan”  tidaklah memuaskan karena tidak dapat dipergunakan untuk
mempertahankan Alkitab sebagap patokan untuk menilai kontekstualisasi, hal ini
yang tidak akan ketemu dengan gaya tafsir modern terhadap Alkitab dan hal ini
juga merupakan contoh yang tidak patut untuk di ikuti. Namun ada juga teolog-
teolog Asia yang bahkan lebih buruk dari pada Bruce J. Nicholls ini.
Tiga tahap penting dalam kontekstualisasi :
1.       Penilaian konteks Alkitab
2.       Konteks tradisi sistematis-dogmatis
3.       Konteks setempat masa kini.

Anda mungkin juga menyukai