Anda di halaman 1dari 4

Penulis: James Barr

Penerbit: BPK Gunung Mulia 1995

Beberapa waktu belakangan ini dunia perbukuan Indonesia dimarakkan oleh

terbitnya buku-buku yang mengulas injil-injil non-kanonik dan penemuan teks-teks

kuno yang berkaitan langsung maupun tak langsung, atau sekadar dikait-kaitkan,

dengan teks-teks Alkitab. Tanggapan publik pembaca pun beraneka ragam. Ada yang

tenang-tenang saja; ada yang kritis namun terarah secara positif; ada pula yang mencak-

mencak. Semua tanggapan itu wajar saja. Karena eksistensi Alkitab diakui memiliki

tautan erat dengan persoalan beriman. Beriman itu sendiri [telah] dianggap sebagai

hakikat sakral dalam diri manusia, yang terhubung dengan realitas ilahi (Supreme

Being).

Dalam karyanya ini, James Barr menjelaskan secara padat dan rinci sejumlah isu

dan persoalan yang menggayut di sekeliling Alkitab, terutama tentang historisitas teks-

teks, proses penerimaan dan adaptasi teks-teks tersebut dalam prinsip-prinsip ajaran

gereja, serta tentu saja persoalan tafsir teks dalam konteks masyarakat modern.

Pertanyaan-pertanyaan seputar Alkitab diulas pada awal bukunya (pasal I). Sementara

pada pasal II, Barr memaparkan beberapa konsep yang memengaruhi perspektif orang

Kristen mengenai Alkitab: pengilhaman, firman Allah, kewibawaan dan fungsi.

Menurut saya, inilah pilar-pilar argumentasi Barr yang memperlihatkan sikapnya

terhadap Alkitab. “Pengilhaman” menurut Barr tidak identik dengan “ketak-mungkinan-

salah”, bahkan sebaiknya dibuang dalam teologi modern. Sebab menurutnya, apakah

memang benar bahwa Allah tidak sanggup berkomunikasi dengan manusia melalui teks-

teks yang mengandung kesalahan-kesalahan? Pengilhaman juga digunakan dalam

bidang kesusastraan. Pengilhaman dalam arti demikian tidak berarti bahan kesusastraan

tersebut bebas dari kesalahan historis atau teologis. Istilah pengilhaman di sini lebih
mengandung arti keluhuran, pemikiran yang mendalam, dinamika yang

mengomunikasikan perasaan dan pengertian (hlm. 28).

Sebagai “Firman Allah”, Barr berkeyakinan bahwa pengarang Alkitab bukanlah

saksi-saksi objektif tentang berbagai kejadian yang tidak mengena (relevan) dengan

mereka pribadi. Firman Allah itu tidak identik dengan Alkitab. Akan tetapi, Alkitab

tetap merupakan jembatan yang mutlak perlu untuk mengantar kita kepada Firman

Allah. Seluruh Alkitab merupakan firman manusia yang dipengaruhi oleh berbagai

ketegangan, kelemahan dan kesalahan yang melekat pada hasil karya manusia. Namun,

dari segi lain, pemberitaan Alkitab tidak imanen dalam kebudayaan manusia dan karena

itu Alkitab harus diselidiki dengan metode-metode yang peka terhadap kemungkinan

mendengarkan firman Allah itu.

Sementara itu, dalam mencari penjelasan tentang landasan kewibawaan Alkitab,

Barr berpendapat bahwa kewibawaan Alkitab sebenarnya tidak terletak dalam Alkitab

itu sendiri, tetapi di luar Alkitab. Artinya, kewibawaan Alkitab diperoleh bukan dari

hakikatnya sendiri, melainkan dari peristiwa-peristiwa yang diceritakannya. Peristiwa-

peristiwa itulah yang menjadi landasan iman dan keselamatan orang Kristen. Namun

demikian, Barr agak keberatan dengan konsep kewibawaan Alkitab. Ia memahaminya

sebagai konsep yang tidak cocok dengan struktur intelektual yang menentukan pola-

pola teologi modern. Konteks masa kini bukanlah konteks kewibawaan, melainkan

konteks oikumene. Teologi masa kini pada prinsipnya adalah teologi pluralistis. Meski

membawa beberapa keuntungan, konsep kewibawaan tidak lagi memadai sebagai

konsep dasar yang dapat melandasi diskusi tentang peranan Alkitab dalam iman dan

hidup Kekristenan.

Pada penjelasan mengenai fungsi, Barr berpendapat bahwa persoalan tentang

Alkitab telah terutama menjadi persoalan tentang proses-proses, yaitu: proses-proses

manakah yang tepat dalam menafsirkan Alkitab dan proses-proses yang patut dipakai
dalam mengaitkan teks Alkitab dengan persoalan-persoalan modern. Proses-proses

tersebut dapat dijelaskan sebagai fungsi-fungsi yang dijalankan oleh oknum-oknum

tertentu dalam tugasnya berkenaan dengan Alkitab. Misalnya, fungsi para ahli sejarah,

fungsi para ahli teologi alkitabiah, fungsi para ahli teologi sistematika, fungsi para

pengkhotbah, dsb.

Dalam uraian selanjutnya, James Barr menghadapkan keempat pilar tersebut

dengan benturan-benturan yang terjadi dalam konteks masyarakat modern seputar

Alkitab. Sejauh mana Alkitab menjadi “norma” akan nampak dalam hubungannya

dengan konsep teologi. Bagi Barr, pengenaan norma skriptura itu dapat berfungsi secara

lebih positif serta aktif ketika norma itu memainkan peranan sepanjang proses

berteologi, dengan menguji tiap-tiap unsur, sewaktu unsur tersebut sedang dipikirkan.

Norma tersebut ikut memberi petunjuk tentang urutan unsur-unsur yang harus dibahas,

dan tentang kategori-kategori yang dapat digunakan, serta kaitan antara kategori dengan

kategori.

Buku ini sejatinya hendak membawa kita pada persoalan-persoalan mendasar

mengenai proses memahami pesan Alkitab dalam suatu konteks ruang dan waktu yang

berubah. Atau yang oleh Barr diperhadapkan sebagai “masyarakat modern”. Saya

melihat bahwa konsep modern menurut Barr ini masih mengandung absurditas yang

perlu dikerangkai dalam struktur berpikir yang lebih global. Artinya, modernitas tidak

dipahami dalam kerangka pikir masyarakat Barat dengan pendekatan yang teknis-

mekanis, tetapi dipahami sebagai berkembangnya kesadaran-kesadaran baru untuk

mencermati dampak berbagai perubahan saat ini bagi kemanusiaan dan religiositasnya.

Menempatkan Alkitab dalam dunia modern, tidak begitu saja terpahami sebagai

polarisasi “kitab tua” dan “aktualitas” sastrawinya. Betapapun, Alkitab mempunyai

tempat yang unik dalam iman kristiani, yang karenanya mesti diakui pula telah memberi

spirit untuk bertahan dalam gerak zaman dan perubahan sosial. Bagaimana kita – yang
hidup di abad ini – memahami Alkitab? Silakan menemukan jawabnya bersama James

Barr.

Anda mungkin juga menyukai