Anda di halaman 1dari 10

Alkitab memiliki keunikan tersendiri, yang tak tersaingi oleh kitab lain manapun yang

pernah ada di dunia ini. Sekalipun Alkitab ditulis oleh lebih dari 40 orang, dengan latar
belakang yang berbeda, tapi keselarasan dan kontinuitasnya terpelihara. Para penulis yang
terpilih itu, terdiri dari raja-raja, petani, filsuf, nelayan, dokter, negarawan, sarjana, penyair,
dan lain-lain.
Mereka hidup di negeri yang berbeda dan dengan pengalaman yang berbeda pula.
Mereka tidak dalam satu generasi sehingga tidak pernah mengadakan pertemuan,
konsultasi, seminar, lokakarya, konferensi, atau yang semacamnya untuk suatu persetujuan
atau kesepakatan mengenai pembagian tugas, materi, tujuan dan alamat penulisan. Alkitab
ditulis dalam satu periode sejarah yang cukup panjang, memakan waktu kurang lebih 1.600
tahun. Tak dapat disangkal bahwa kumpulan dari 66 kitab ini merupakan kitab yang paling
banyak dibaca dan terus-menerus dibaca; paling banyak bahasa terjemahan, paling banyak
jilid penerbitan, dan paling banyak mempengaruhi hidup manusia. Tak terhitung orang yang
rela menjadi martir, rela dianiaya, dan rela mengorbankan apa saja karena keyakinannya
berdasar Alkitab. Sementara yang lain meninggalkan kehidupan yang jahat, dan yang lain
lagi dikuatkan dari keputusasaan karena keyakinan akan Alkitab sebagai firman Allah.
Sampai sekarang Alkitab terus diselidiki dan dipermasalahkan apakah layak
mendapat perhatian istimewa dibandingkan dengan kitab-kitab lain di dunia ini, dan
bagaimana relevansinya dengan kehidupan manusia dan dunia yang terus berubah. Timbul
pro-kontra di antara para sarjana Alkitab (teolog), sehingga mereka mengorbankan banyak
waktu untuk membela atau sebaliknya ”menyerang” Alkitab. Dalam studi teologi sistematika
masalah ini dibahas khusus dalam sektor bibliologi. Pewahyuan Firman Tuhan, otoritas
Alkitab, kanonisasi, infalibilitas (infallibility) dan ineransi (inerrancy) Alkitab merupakan
pokok-pokok dari doktrin Alkitab yang sangat penting untuk dimengerti. Selain itu hal-hal
yang berkaitan dengan naskah asli dan terjemahan Alkitab juga menjadi hal yang esensial
bagi kehidupan kekristenan.  
Salah satu pokok yang dipermasalahkan adalah keyakinan tradisional bahwa Alkitab
adalah firman Allah yang tanpa kesalahan (Inerrancy) dalam naskah aslinya, bukan hanya
doktrin melainkan juga fakta sejarah dan kehidupan.
Nampaknya yang menjadi harapan dewasa ini adalah kesediaan dari teolog-teolog
rasionalis, naturalis, modernis, liberalis atau ekumenis untuk memberi tempat pada aspek
adikodrati ketika memahami Alkitab dengan suatu metode pendekatan tertentu. Di pihak
lain, teolog-teolog konservatif, tradisional, fundamentalis atau evangelikalis perlu secara
bertanggung jawab dalam pengungkapan kebenaran Alkitab tanpa mengabaikan
pertimbangan rasio, sebab Alkitab meliputi kodrati dan adikodrati.
Suatu kenyataan yang menyedihkan adalah ketika mendengar ada orang-orang yang
menyelidiki Alkitab bukan untuk semakin tunduk pada otoritasnya, melainkan berusaha
untuk mendaftarkan semua kesalahan dan pertentangan yang menurut pendapat mereka
terdapat di dalam Alkitab.

Pengertain Innerancy
Kata ”inerrant” berasal dari kata kerja dasar bahasa Latin ”errare” yang
mengimplikasikan sesuatu yang menjauhi kebenaran, sehingga kata ”inerrant” menyatakan
kualitas yang bebas dari kesalahan. Ineransi Alkitab adalah suatu doktrin yang menyatakan
bahwa "Alkitab, dalam bentuk naskah aslinya, tidak mengandung kesalahan atau seratus
persen benar" atau "Kitab Suci dalam naskah aslinya tidak membenarkan apapun yang
bertentangan dengan fakta."
Inerrancy adalah Ketaksalahan Alkitab. Istilah ”Inerrancy” (ketaksalahan)
diterjemahkan oleh Boeker dengan tiga kata dalam bahasa Indonesia, yaitu ”tak dapat
salah.”[1]  Penulis memilih istilah ”ketaksalahan” supaya tetap satu kata saja dan dengan
demikian akan lebih mudah untuk menggunakan istilah itu secara berulang-ulang.
Sedangkan menurut Feinberg istilah ”inerrancy” adalah kata yang relatif baru dalam
bahasa Inggris. Ia mengatakan bahwa istilah ini seolah-olah merupakan transliterasi dari
kata Latin ”inerratia” bentuk partisip dari kata kerja ”inerro” tapi sebenarnya bukan.
[2]  Feinberg menyelidiki istilah ini dari kamus ”Oxford English-Dictionary.” Di dalamnya
disebutkan bahwa Boethius, yang hidup pada akhir abad keenam dan permulaan abad
ketujuh, telah menggunakan istilah latin ”inerratum” dalam pengertian ”ketidak-adaan salah.”
Disebutkan juga Thomas Hardwell Horne telah menggunakan kata benda ”inerrancy” pada
bukunya yang berjudul ”Introduction to the Critical Study and Knowledge of the Holy
Scriptures.”[3]
Dalam kamus Oxford, istilah ”inerrancy” diberi definisi: ”kualitas atau kondisi dari
keberadaan yang tanpa salah atau tidak salah; bebas dari kesalahan.”
Sedangkan ”inerrant” berarti ”tidak berbuat kesalahan.” Sebaliknya
istilah ”errant” didefinisikan: ”tindakan atau keadaan yang salah”; ”keadaan salah dalam
pandangan”; ”suatu yang dilakukan secara tidak tepat karena ketidaktahuan atau karena
tidak hati-hati; suatu kesalahan.”[4]
Beberapa teolog Injili, tidak setuju dengan penggunaan istilah ”inerrancy”. Misalnya
Lasor tidak setuju karena istilah ini meniadakan konsep negatif. Ridderbos dan Piepkorn
mengatakan bahwa istilah ini tidak Alkitabiah. Pinnock mengatakan bahwa istilah ini hanya
dihubungkan dengan naskah asli dan tidak menegaskan kewibawaan teks Alkitab yang
digunakan.[5] Istilah-istilah yang mereka usulkan ialah ”inspirasi”, ”ketiadaan cacat”, ”tak
dapat keliru”, dan ”tak terdapat penipuan.” Tapi Feinberg menganggap bahwa
istilah ”inerrancy” yang lebih tepat, sesuai dengan gambaran data Alkitab. Sebab sisi positif
dari istilah ini mengatakan bahwa Alkitab benar seluruhnya. Data Alkitab dapat dilihat dalam
Mazmur 119, ”Tauratmu benar” (ay. 142): ”Segala perintah-Mu adalah benar” (ay. 151);
”FirmanMu adalah kebenaran” (ay. 160). Juga dalam Amsal 30:5, ”Firman Allah adalah
kebenaran.” Dengan dasar ini pula Feinberg memberi definisi sebagai berikut:
”Ketaksalahan berarti bahwa bila semua fakta Alkitab dalam tulisan aslinya diketahui dan
ditafsirkan dengan semestinya, segala sesuatu akan terbukti benar seluruhnya dan
dikokohkan, apakah menyangkut doktrin atau moralitas atau sosial, fisik atau ilmu
pengetahun.”[6]
Bagi Lindsell, istilah ”infallible” (tak dapat keliru) dan ”inerrant” (tak dapat salah)
adalah dua kata bersinonim, yang dapat dipertukarkan. Ia menggunakan kedua kata itu
secara bergantian untuk membicarakan pokok mengenai Alkitab, dalam hal dapat dipercaya,
berwibawa, dan sebagainya.[7] Dalam diskusi mengenai ketaksalahan Alkitab, kata-kata
kunci dan penting yang berhubungan erat dengannya adalah meliputi istilah ‘penyataan’,
‘pengilhaman’, ‘penerangan’, ‘kewibawaan’, dan ‘penafsiran’.[8] Menurut Geisler, pengajaran
mengenai ketaksalahan Alkitab merupakan unsur dasar dari kewibawaan Alkitab dan
sesuatu yang diperlukan demi gereja Kristus yang sehat, dalam suatu usaha memenangkan
gereja kembali kepada posisi sejarah.[9]
Ketaksalahan Alkitab yang dibicarakan dalam tulisan ini adalah ketaksalahan
naskah-naskah asli (original authographs), bukan pada naskah salinan atau versi-versi
terjemahan Alkitab.

Beberapa Pandangan tentang Inerrancy Alkitab

Beberapa pandangan mengenai Alkitab bisa salah (errancy), sehingga dapat


mengetahui letak permasalahan sebelum membahas masalah ketaksalahan Alkitab.
Pandangan ortodoks yang percaya Alkitab adalah Firman Allah yang merupakan kebenaran
yang absolut dan obyektif, mendapat tantangan baik dari pandangan liberal/neo-liberal dan
pandangan neo-ortodoks.
Pandangan liberal menyatakan bahwa ada bagian-bagian dari Alkitab yang
merupakan Firman Allah, tetapi bagian-bagian lainnya hanyalah perkataan manusia. Mereka
bahkan percaya bahwa mereka dapat menentukan bagi mereka sendiri bagian mana yang
benar dan yang salah.
Pandangan neo-ortodoks percaya bahwa seluruh bagian Alkitab merupakan
perkataan manusia yang mungkin salah, tetapi ketika seseorang membaca Alkitab, Tuhan
dengan cara-Nya memakai setiap perkataan itu sehingga melalui kata-kata tersebut, sang
pembaca menerima di dalam akal pikirannya perkataan Tuhan Allah yang benar.
Berdasarkan konsep yang demikian maka bagi mereka ada bagian tertentu dari Akitab yang
bagi satu orang merupakan Firman Tuhan sedangkan bagi orang lain bagian tersebut bukan
Firman Tuhan.
Pandangan ortodoks secara tegas menyatakan bahwa keseluruhan Alkitab (setiap
kata dari Akitab) adalah Firman Allah yang menyatakan kebenaran dari Tuhan. Tidak ada
bagian dari Alkitab yang tidak diinspirasikan Allah. Alkitab adalah Firman Allah.
Pandangan Kaum Islam terhadap inerrancy dan errancy Alkitab. Terdapat nuansa
tersendiri dalam pandangan Islam, karena pengakuan akan adanya dua macam Alkitab,
yaitu Alkitab yang tanpa salah (inerrancy) dan yang dapat salah (errancy).
Berikutnya khusus tentang contoh bagaimana mencari solusi berhubungan dengan
perkara-perkara yang tidak bersesuaian dalam Alkitab, yang sering digolongkan sebagai
kesalahan-kesalahan oleh penganut errancy Alkitab. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa bagian-bagian tertentu dalam Alkitab yang masih dipersoalkan, karena dianggap
kesalahan, sebenarnya hanyalah merupakan kesulitan-kesulitan yang belum terjangkau oleh
akal manusia, yang memang terbatas itu.
Selanjutnya pandangan dari tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga Injili, yang
memegang teguh pengakuan akan inerrancy Alkitab, untuk mendapat gambaran dari
perkembangan historis, seberapa banyak dan luasnya jangkauan, serta berapa lama
pengakuan tersebut diterima. Hal ini dapat memberikan bukti bahwa orang-orang beriman
dari kalangan cerdik cendekia sekalipun, yang juga memberi tempat terhormat bagi rasio,
dari generasi ke generasi, memegang teguh pengakuan akan ketaksalahan Alkitab. Jadi
pengakuan ketaksalahan Alkitab bukan dari pertimbangan iman semata-mata, melainkan
juga rasio.
Klimaksnya adalah pengajaran dari Alkitab sendiri, dengan mengambil sample
pengajaran Tuhan Yesus, Rasul Paulus, dan Rasul Petrus. Pengajaran dari ketiga tokoh
penting ini dianggap paling representatif untuk penyelidikan tentang pengajaran Alkitab
sendiri tentang ketaksalahan Alkitab. Meskipun ada hukum yang menolak kesaksian atau
pembenaran dari diri sendiri tentang status kebenaran dirinya, tapi Alkitab bukan ”diri
sendiri”, melainkan kumpulan 66 kitab yang ditulis oleh puluhan orang dalam jangka waktu
ribuan tahun. Alkitab bukan suatu tulisan hasil rekayasa orang tertentu, tapi ada tuntunan
super-natural dalam jangka waktu yang panjang bagi para penulis, karena itu pengajaran
dari Alkitab sendiri merupakan argumentasi terkuat dan otoritas tertinggi.

Kesimpulan 

Memahami Alkitab sebagai firman Allah yang innerant atau tidak, sangat ditentukan


oleh bagaimana penerimaan kita terhadap Alkitab itu sendiri. Jika kita mempercayainya
sebagai firman Allah yang hidup, berwibawa dan memiliki otoritas, maka dengan sendirinya
prinsip inerrancy Alkitab diterima, demikian sebaliknya.
Sekalipun serangan terhadap Alkitab selalu ada disepanjang sejarah kehidupan
manusia, jika diamati, maka berbagai serangan itu sebetulnya hanya bersifat pengulangan
dari apa yang pernah berlangsung di masa lampau. Melalui serangan demi serangan
tersebut, Alkitab justru telah mampu membuktikan kehandalan dirinya di sepanjang sejarah
umat manusia. Sifat ilahi yang dibawanya sejak proses pembentukannya di dalam kanon
bahkan jauh ke belakang, saat penulisnya mulai menggoreskan pena dalam proses
pengilhaman, telah membuat Alkitab tahan uji dan membela dirinya sendiri. Hal itu
membuktikan bahwa Alkitab memiliki otoritas dan kewibawaan yang tak tergoyahkan
sebagai sebuah firman Allah.
Meskipun terdapat beberapa ketidaksesuaian antar bagian dalam Alkitab, maupun
antara bagian Alkitab dengan bukti-bukti luar, seperti ilmu pengetahuan modern dan sejarah,
namun ketidaksesuaian itu tidak membuat posisi Alkitab menjadi dapat salah. Setiap bentuk
ketidaksesuaian merupakan kesulitan-kesulitan yang perlu diselidiki secara lebih mendalam,
dengan memperhatikan konteks penulis dan penulisan. Ketidaksesuaian ini juga
menunjukkan betapa Alkitab adalah wahyu dari sang Maha Sempurna kepada manusia
yang tidak sempurna, sehingga wajar apabila ada kesukaran-kesukaran pemahaman yang
dialami.
Jadi doktrin Inerrancy Alkitab berarti Alkitab adalah firman yang diwahyukan oleh
Allah sendiri dan diilhamkan Roh Kudus kepada para penulisnya sehingga naskah aslinya
memiliki kualitas yang bebas dari kesalahan, bukan hanya dalam hal yang berkaitan dengan
moral dan kerohanian tetapi juga termasuk hal yang berkaitan dengan sejarah, geografi, dan
ilmu pengetahuan. Alkitab tidak dapat salah secara verbal, baik dalam bagian-bagian yang
memuat peristiwa sejarah, maupun yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Sebab para
penulis naskah asli Alkitab dilindungi Allah ketika menuangkan berita Allah dengan kata-kata
mereka sendiri.
Soal ineransi (ketanpasalahan, ketidakbersalahan) Alkitab merupakan sutu permasalahan yang
tidak pernah ada habisnya, khususnya semenjak munculnya metode-metode penafsiran higher
criticism  di Eropa pada abad 18 yang lalu. Selanjutnya dibawa ke gereja-gereja  di seluruh dunia
yang mencapai puncaknya pada awal abad ke-20, berbarengan dengan munculnya reaksi kaum
fundamentalis. Pada waktu ini gereja dan dunia kekristenan memang mengalami kegoncangan, karena
banyak teolog dan mahasiswa sekolah teologi yang meragukan Alkitab sebagai firman Allah yang
berotoritas. Mereka banyak yang beranggapan  bahwa Alkitab itu hanyalah tulisan manusia belaka,
oleh karenanya banyak mengandung kesalahan fakta historis dan ada kekeliruan dalam ajaran.
Pengaruh kaum modernis itu hingga kini masih sangat terasa—khusunya di gereja-gereja “arus
utama”, ketika para pendetanya mengkritik Alkitab ‘bersalah’ sebelum mampu membuktikan
kesalahannya.  Itulah sebabnya dalam menghadapi hal ini pada akhirnya kelompok-kelompok injili
lalu kembali menegaskan tentang ketanpasalahan (ineransi) Alkitab.

Definisi Ineransi

Beberapa sarjana terdahulu mengatakan bahwa inerrancy  bisa disinonimkan dengan


inspirasi.  Maksudnya, dengan mengatakan bahwa jika Alkitab itu diinspirasikan oleh Allah maka
secara langsung menunjukkan  bahwa Alkitab itu mutlak akurat dan tanpa salah. Dua orang sarjana
yang berpendapat demikian adalah B.B. Warfield dan Charles Hodge. Meskipun harus diakui bahwa
pendapat semacam ini akhirnya bisa membingungkan.[1]  Yang kedua adalah
kata indefectibility sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kung. Indefectibility  berarti tinggal tetap
dalam kebenarannya kendatipun bisa salah dalam penerapan doktrin terhadap Alkitab. Kata lain yang
bisa disejajarkan adalah infallibility yang sudah memiliki sejarah panjang dalam teologi Kristen.

Soal ineransi memang dapat dianggap sebagai suatu istilah yang relatif kontemporer dalam
perbendaharaan doktrin Kristen. Namun itu bukan berarti bahwa  bahwa ajaran Alkitab sebagai
firman Allah  yang sempurna dan tanpa salah itu baru muncul di zaman ini. Karena sebenarnya sejak
zaman gereja mula-mula—bahkan sejak zaman raul-rasul—persoalan  ini sudah muncul. Hanya saja
istilah yang dipakai adalah kata “infalibel” yang menyatakan dan menekankan pada kebenaran
Alkitab. Perubahan istilah dan tema pembahasan injili tentang doktrin inereransi dimulai pada awal
abad ke-20 oleh B.B. Warfield ketika dia berhadapan dengan kaum rasionalis dengan metode 
radikalnya yang menentang ortodoksi Kekristenan.  Semenjak itulah istilah inerrancy lebih populer
daripada infallibility—meskipun pada kenyataannya kedua kata itu sering dipertukartempatkan dengan
pengertian yang sama. Namun menurut Joseph Tong, ide infalibilitas (ketidakkeliruan) Alkitab itu
mengandung tiga unsur utama, yaitu: (1) Alkitab adalah tidak  memalsukan dan tidak  bersalah. (2)
Alkitab adalah tidak  gagal dan dapat dipercaya. (3) Alkitab adalah tidak  bersalah dan adalah
kebenaran.[2]

Kontroversi, Ketidakcocokan dan Kontradiksi

Perbedaan tulisan-tulisan Alkitab biasanya dianggap sebagai “kontroversi”, “ketidakcocokan”


atau “kontradiksi”, bagi sebagian orang masih dianggap sebagai suatu dugaan. Namun banyak juga
yang langsung menuduhnya sebagai suatu kesalahan (error) secara membabi buta. Beberapa
perbedaan istilah, teks, dan versi (dalam kitab-kitab Injil), dugaan ketidakcocokan angka (Kej 11:26;
Kis 7:4; Za 11:12, 13; Mat 27:9, dll); anggapan ketidaklengkapan kronologis, ketidaksamaan waktu;
dugaan ketidaksesuaian secara etis (2Sam 24:1; 1 Taw 21:1) dll yang seringkali memang dikesankan
memiliki banyak kontradiksi atau ketidakcocokan, sehingga dianggap sebagai sebuah kebersalahan
Alkitab. Meskipun sebenarnya lebih banyak sarjana Kristen yang telah meneliti ayat-ayat tersebut
dengan seksama yang akhirnya bisa membuktikan bahwa ayat-ayat tersebut sebenarnya tidak 
berkontradiksi. Hal tersebut bukanlah suatu kesalahan ketika direinterpretasi dalam makna sensus
pleniornya.[3] Itulah sebabnya maka sejak semula kaum injili hanya memandang fenomena
ketidakcocokan teks-teks tersebut sebagai “kesulian-kesulitan”  daripada sebagai kesalahan Alkitab.
Dengan demikian berarti ada niatan untuk memecahkan kesulitan tersebut  tanpa buru-buru
menganggapnya sebagai suatu kesalahan.

     Itulah sebabnya maka orang  percaya seharusnya tidak  langsung  menilai fakta-fakta sulit
yang muncul dalam Alkitab itu sebagai suatu kesalahan. Karena kemungkinan besar adalah pengertian
kita yang memang terbatas ini tidak  memadai untuk bisa mengerti maksud penulis secara
menyeluruh, oleh karena perbedaan yang jauh antara zaman Alkitab dengan zaman kini. Togardo
Siburian menyebutkan bahwa kesalahan yang mungkin  terjadi seringkali lebih mengarah pada
pengertian keterbatasan pembaca  akan kesulitan ayat-ayat, dikarenakan ketidaksabaran dalam
penyelidikan Alkitab, kemudian langsung menghakimi sebagai “Alkitab penuh kesalahan,”  layaknya
musuh-musuh Kristen atau para pembenci Alkitab.[4]

Oleh karena itu tidak  bisa diterima begitu saja jika ada pihak-pihak yang mencoba untuk
memberikan kesan, dugaan, anggapan atau bahkan tuduhan atas fenomena kebersalahan Alkitab.
Melainkan harus diselidiki secara komprehensif, sehingga diperoleh fakta dan kebenaran Alkitab yang
sesungguhnya. Karena seringkali anggapan kontradiksi dan ketidakcocokan yang terdapat dalam
Alkitab itu sebenarnya dapat dijelaskan secara eksegetis dengan prinsip umum grammatical
historical guna mendapatkan pengertian yang  sesungguhnya dalam konteks usus loquendi (kebiasaan
masa lalunya).  D.A. Carson menggarisbawahi pendapat Bernard Ramm ketika menuliskan bahwa
penafsiran yang memadai haruslah mempertimbangkan aspek-aspek: leksikal, gramatikal, kultural,
teologis, historis, geografis serta pembenaran lainnya.[5]

Pandangan-Pandangan yang Salah Tentang Inspirasi

Gary Cramptom dalam bukunya: Verbum Dei [6] mencatat paling tidak  ada 6 (enam) pandangan
yang salah tentang inspirasi, yang secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:

1). Dinamis. Para penulis Alkitab digerakkan oleh Roh Kudus  pada satu tingkat kehidupan
Kristen yang lebih tinggi, sehingga mereka dapat melihat hal-hal dengan lebih jelas dari kebanyakan
orang percaya. Tetapi hal ini tidak  menyebabkan adanya  suatu tulisan yang dinafaskan oleh Allah.
Hanya manusianya  yang diinspirasikan dan pemenuhan Roh Kudus yang dinamis ini  mempengaruhi
keseluruhan hidup mereka secara permanen. Hal ini ditolak oleh Galatia 2:11 dst. Dalam bahasa 
William Menzies,  ini sebenanya berarti  tidak  menyampaikan kebenaran yang bersifat proporsisi.[7]

2). Parsial. Hanya bagian-bagian tertentu Alkitab  yang diinspirasikan. Cara yang biasanya


digunakan untuk memandang hal ini yaitu dengan menganggap bahwa ajaran-ajaran moral/religius
adalah dinafaskan oleh Allah, tetapi ajaran yang ilmiah, historis dan yang lainnya tidak  dinafaskan
oleh Allah (lihat 2Tim 3:16,17).
3) Konseptual. Hanya konsep-konsep Alkitab saja yang diinspirasikan,  dan bukan pada kata-kata
yang ada di dalamnya (lihat 2Tim 3:16). Jadi manusia penerima ilham atau inspirasi Allah tetap dapat
dilihat karakter pribadinya

4) Alami (natural).  Para penulis Alkitab hanya dianggap sebagai orang-orang yang sangat jenius.
Bagaimana pun karya mereka tidak  dapat dipertimbangkan sebagai karya yang berasal-usul Illahi
(lihat Yer 1:1,2,9).

5) Dapat salah. Teori yang mengatakan bahwa Alkitab sendiri diinspirasikan, tetapi tidak  tanpa
kesalahan. Maka, menurut pandangan ini Allah mungkin menginspirasikan kesalahan (lihat Yoh
17:17).

6) Neo Ortodoks. Alkitab ditulis oleh manusia yang sudah jatuh oleh karena itu pasti mengandung
kesalahan. Pandangan ini mengasumsikan bahwa segala sesuatu yang manusia lakukan dicemari oleh
dosa. Jika konsep ini ditarik hingga kesimpulan akhir, maka manusia tidak  dapat menjumlahkan dua
ditambah dua dan menghasilkan jawaban empat. Fakta bahwa manusia berdosa tidak  berarti bahwa ia
harus selalu berdosa, tidak  berarti bahwa ia harus selalu berdosa dalam setiap tindakannya (lihat Yer 
1:1,2,9).

Doktrin Ineransi

     Ineransi didefinisikan sebagai “kualitas bebas dari kesalahan” yang dimiliki Alkitab. Doktrin
ineransi ini mengajarkan bahwa Alkitab bebas dari kesalahan. Firman Allah tidak  dapat salah dan
tidak  menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan fakta. René Paché menyebutkan dua istilah yang
sebenarnya bisa dipertukartempatkan, yaitu ineransi (inerrancy)  dan infalibiliti (infallibility).[8] 
Ada beberapa orang yang berusaha untuk  mempertentangkan doktrin ineransi dengan  doktrin
infalibiliti, padahal kedua doktrin ini pada dasarnya mengajarkan hal yang  sama tentang Alkitab,
yakni: Alkitab adalah mutlak benar, tanpa cacat.[9]. Jakob van Bruggen menyebutnya sebagai “tak
mengandung kesalahan” menjadi syibolet (Hak 12:6) yang menunjuk pada sifat yang sesuai dengan
ajaran yang benar.[10]  Dengan demikian,  menurut van Bruggen maka Alkitab itu “layak
dipercaya” [11], yang menurut saya (penulis), Alkitab itu tidak  hanya sekedar layak dipercaya, tetapi
bahkan mutlak “harus” dipercaya.

     Meskipun demikian harus diakui bahwa doktrin ini tidak  mengajarkan kalau  masing-masing
terjemahan Alkitab itu sempurna dalam terjemahannya. Juga tidak  mengajarkan bahwa tidak  ada
kesalahan yang kadang-kadang dilakukan penyalin, yang dapat ditemukan dalam teks yang telah
dilindungi demi kita. Pada waktu berbicara tentang infalibilitas atau ineransi Alkitab, berarti kita sama
dengan membicarakan tentang manuskrip yang asli.

Pengakuan Iman Westminster memberikan rumusan yang sangat bagus, “seluruh kitab Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru, dalam keseluruhan Kitab Suci atau firman Allah yang tertulis” (I.2),
“semua yang diberikan oleh ilham (inspirasi) Allah” di mana Dia adalah penulisnya sendiri,
menjadikannya “kebenaran dalam diri-Nya” (I.4). “Kitab-kitab dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru—dalam dirinya—adalah mutlak benar dan memiliki otoritas ilahi”[12]

Aspek Pengilhaman dan Konsep Ineransi Alkitab

Perlu disadari bahwa konsep ineransi itu  tidak  berdiri sendiri, namun saling terkait secara
koheren dengan konsep-konsep bibliologis lainnya seperti: wahyu khusus inskripturasi, pengilhaman,
kewibawaan, wahyu proporsional, infalibilitas Alkitab dsb. yang  pada dasarnya semua itu mendasari
pengakuan iman gerejawi, bahwa Alkitab itu adalah firman Allah.  B.B. Warfield mengatakan bahwa,
“apa yang dikatakan Alkitab adalah perkataan Allah melalui agen manusia dan tanpa salah dalam hal
apa pun, di dalam naskah aslinya. Sedangan pengilhaman  verbal adalah sarananya, di mana Alkitab
dimengerti sebagai perlindungan Allah dalam menuliskan firman-Nya, lewaat ide dan kata-kata
manusia, sehingga tidak  mungkin bersalah. Inilah keunikan pengilhaman Kristen, mengandung
kepengarangan berganda (bukan dua) dalam tindakan “saling yang menyepakati” (concursive
operation).[13] Ini  berarti bahwa Allah adalah penyebab utama dan pertama, sedangkan penulis kitab
itu “hanya” sebagai penyebab sekunder dalam proses supranatural.  Ini berarti bahwa  meskipun
manusia  itu memiliki kelemahan dan kemungkinan untuk  keliru, namun ketika menuliskan Alkitab,
ia tidak  dapat bersalah dalam kebebasannya sebagai pribadi yang utuh sehingga tidak  bisa dianggap
sebagai robot belaka. Dengan demikian dalam konsep pengilhaman tersebut, terjadilah “ineransi
total”—dan bukan ineransi mutlak sebagaimana sering diucapkan oleh kaum fundamentalis—dari  
Allah. Salah besar kalau David Robert Ord dan Robert B. Coote memberikan kesimpulan bahwa
karena, “Paulus tidak pernah mengklaim bahwa Alkitab itu tidak mungkin salah (ineransi Alkitab),
yang mereka mau tegaskan ialah bahwa ada pengilhaman.”[14]   Maksud dari pernyataan ini ialah
bahwa mereka memang mengakui bahwa, “Paulus mengalami ilham dari Allah karena apa yang
ditulisnya memang bernafaskan kehidupan dari Allah. Penglihatan tentang apa yang Allah kerjakan
dalam sejarah dan makna kehadiran gereja  dalam dunia ini adalah suatu visi yang datang dari Allah.
“Namun,” tambahnya, “mengatakannya sebagai suatu yang ‘tidak  mungkin salah’ tentu akan
mengejutkan Paulus sendiri.”[15] Intinya sebenarnya mereka mau mengatakan bahwa Paulus sendiri
tidak  mengakui adanya ineransi itu, sehingga kita pun akan salah dengan mempercayai doktrin
ineransi Alkitab. Ini sangat bertentangan dengan pendapat dua sarjana lainnya, William W. Menzies
dan Stanley M. Horton yang mengatakan sebaliknya, yakni bahwa Yesus sendiri “telah menerima
inspirasi penuh seluruh Perjanjian Lama (artinya Alkitab, pen), ketika Ia mengucapkan deklarasi-Nya
yang luas, ‘Kitab Suci tidak  dapat dibatalkan’ (Yoh 10:35; Mat 5:18). “[16]  Mereka menegaskan
bahwa pandangan ini yang disebut sebagai pengilhaman plenary  (menyeluruh) dan verbal  (sampai
dengan kata-kata).[17]

Inilah contoh sarjana yang membela doktrin inetransi Alkitab, meskipun penulis (saya sendiri)
kurang setuju dengan istilah pengilhaman secara verbal, karena itu akan selbih menjurus pada
pendiktean mekanis di mana Allah berbicara melalui manusia sampai kepribadian individualnya
ditekan. Melainkan dengan ilham Roh Allah sendiri yang menyatakan kebenaran kepada , manusia
yang tetap dalam keberadaannya sebagai manusia “sebagaimana adanya” sehingga apa yang 
dituliskannya tidak  mungkin salah, namun tetap menunjukkan sikap, kepribadian, karakter serta
kosakata masing-masing  penulisnya yang bsa dibedakan dengan jelas (perlu diingat bahwa Alkitab
ditulis oleh lebih dari 40 penulis dengan latar belakang keluarga,  pendidikan, pekerjaan atau jabatan
yang berbeda).  Dalam bukunya The Canon of Scripture, F.F.Bruce juga mengakui adanya ineransi
sehingga terjadi kanonisasi Alkitab dengan mengambil contoh-contoh para tokoh penting dan bapa-
bapa gereja, seperti:Clement dari Roma yang mengakui bahwa tulisan-tulisan Paulus sebagai “true
inspiration”. Demikian pula totoh-tokoh seperti Irenaeus dan Origen yang juga mengakui serta
menerima kemutlakan Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) sebagai firman Allah yang tidak
salah.[18]

Makna Ontologis Konsep Ineransi Alkitab


Pencarian makna ontologism adalah suatu refleksi atas konsep pengetahuan yang paling umum,
konkret, luas mendalam, dasar, total, ultima tentang suatu realitas yang ada, sehingga dikatakan
sebagai pengetahuan yang universal dan mutlak.[19]  Hal itu berarti bahwa  kebenaran dalam tingkat
ontologism, konsep ineransi tersebut tidak  hanya hadir dalam pikiran manusia (in mind), yakni
apakah menolak atau menerima bahwa  Alkitab itu tidak  bersalah atau keliru, melainkan juga niscaya
hadir dalam realitas sesungguhnya.  Dalam hal ini realitas ontologis selalu  mempertrimbangkan
kenyataan yang ada di belakang kosep tentang ineransi tersebut,  misalnya Allah yang tidak  mungkin 
bersalah dan mahabenar, Allah yang mewahyukan diri-Nya sendiri dalam dalam kalimat-kalimat
proporsional, melalui bahasa dan budaya khusus manusia. Jadi jelas bahwa ide tentang kesempurnaan
Alkitab itu mendasari konsep yang hadir dalam pikiran manusia, dalam hal ini adalah firman Allah
sebagai kebenaran yang berotoritas. Gagasan kesempurnaan sebagai prediksi bagi firman Allah dalam
hal ini membuat keniscayaan ineransi menjadi semakin mutlak dipercaya karena secara  rasional
Alkitab sebagai firman Allah memang mengandung segala kepastian kesempurnaan. Oleh karenanya
secara konseptual kesempurnaan Allah tidak  dapat digagalkan oleh kelemahan manusia, karena yang
menjadi “penggagas” Alkitab itu adalah Allah sendiri  yang ngin menyatakan diri-Nya kepada
manusia. Sebaliknya, secara supranatral, maksud Allah tidak  mungkin dibelokkan  oleh keinginan
manusia  yang penuh dengan kelemahan ini.  Ini berarti bahwa  kesempurnaan Allah dalam kehendak-
Nya untuk menyatakan diri-Nya sendiri tidak  mungkin bisa digagalkan oleh manusia yang serba
terbatas dalam seluruh keberadaan dan kemampuannya, dikarenakan proses supranaturalisasi dalam
pengilhaman Alkitab yang organik tersebut. Dengan demikian maka kita dapat mematahkan deduksi
silogisme dari mereka yang anti terhadap ineransi dengan pemikiran bahwa:

 Karena manusia adalah berdosa dan penuh kelemahan


 Dan Alkitab itu ditulis oleh manusia
 Maka itu berarti bahwa Alkitab pasti penuh kesalahan
Kalau berdasarkan premis seperti ini pasti adalah suatu pengambilan kesimpulan yang terburu-
buru dan ngawur. Kalau mau jujur, seharusnya yang dikedepankan harus dimulai dari Allah serta
aspek supranatural dalam penulisan Alkitab tersebut, sehingga kalimat itu akan berbunyi demikian:

 Allah adalah benar (Roma 3;4)


 Alkitab itu dinafaskan oleh Allah (2 Timotius 3:16)
 Maka Alkitab pasti benar
Itulah sebabnya maka saya tidak  sependapat dengan James Barr yang mengatakan bahwa,
“skriptura (Alkitab, pen.) diilhamkan, namun berstatus “mungkin salah” juga.[20]  Meskipun
menggunakan kata “mungkin”, tetapi ini sudah jelas hal ini menunjukkan sikap keraguan terhadap
ketidakbersalahan Alkitab sebagaimana yang kita percayai.

Simpulan

Meskipun serangan terus bertubi-tubi terhadap kebenaran mutlak Alkitab—baik dari orang-orang
yang tidak  percaya maupun orang-orang yang mengatakan diri Kristen tapi justru mengikari
kebenaran firman Tuhan—tetapi Alkitab tidak  akan pernah digoyahkan karena kebenaran dirinya
yang adalah firman Allah yang hidup. Terbukti bahwa selama berabad-abad Alkitab tetap bisa
bertahan dan telah mengubah jutaan orang mengalami perubahan  hidup  baru yang berkemenangan
setelah perjumpaannya dengan Tuhan melalui firman Tuhan. Oleh karena itu tanpa dibela sekalipun
Alkitab telah dapat membela dirinya dalam kebenaran yang dimilikinya. Pendapat-pendapat yang
meragukan dan mengritik Alkitab justru semakin menunjukkan betapan luasnya kebenaran Allah dan
keterbatasan manusia. Meragukan—apalagi tidak  mempercayai—Alkitab  sebagai firman Allah yang
benar sama saja dengan menghilangkan kekristenan yang  mendasarkan iman  dan kepercayaannya
atas firman Tuhan. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Jakob van Bruggen bahwa: “Siapa yang
menyerang sesuatu yang dapat dipercaya dan bersifat histories dari kanon, telah memotong dahan
yang ia duduki.[21] Sehingga sampai kapan pun motto reformatories: sola fide, sola gracia, sola
scriptura  akan tetap berkumandang seriring dengan kekekalan firman Allah  sampai Tuhan Yesus
Kristus, Firman Yang Benar dan Hidup itu datang kembali. Soli Deo Gloria.

Anda mungkin juga menyukai