Anda di halaman 1dari 20

Teologi Perjanjian Lama II

Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

TEOLOGI PERJANJIAN LAMA 2


Dr. Marthin Steven Lumingkewas

Pendahuluan

Walaupun pembahasan institusi religi Israel tidak bisa terlepas dari aspek social
lainnya, namun, pembahasan mengenai kultus disini lebih menunjuk kepada suatu
kegiatan individual ataupun sekelompok orang yang mengekspresikan kehidupan
religiusnya dalam suatu aturan-aturan baku, tempat-tempat yang telah ditetapkan, dan
dalam waktu tertentu. Ritual Israel memiliki banyak persamaan dengan ritual agama
bangsa-bangsa sekitarnya, dengan beberapa perbedaan siknifikan dalam ritual Israel yang
tidak terdapat dalam ritual mereka, sepert: pertama, Israel hanya menyembah satu Allah
walaupun termanifestasi dalam banyak tempat-tempat suci. Kedua, Israel menyembah
Allah yang dinyatakan sebagai Allah hidup yang mengadakan ikatan perjanjian dengan
umatNya. Ketiga, Israel tidak mengenal Allah dalam bentuk image dalam ritual
penyembahan mereka. Bukti bahwa Israel memiliki image dalam kultus mereka
dikemudian hari tidak berarti alam pemikirannya sama mengenai hal-hal transenden
dengan orang Kanaan, terutama image.

Part IV
Religious Institutions

Bab 1: Semitic Sanctuaries


Sudah menjadi karakteristik agama Semit dan Yunani bahwa tempat kudus (holy
place) bukan sebatas altar dimana korban diberikan dan penyembahan dilakukan, namun,
setiap tempat suci kuno tersebut memiliki lokasi khusus yang dikelilingi oleh halaman
atau daerah tertentu yang menjadi bagian dari ibadah tersebut, dan altar menjadi salah
satu bagiannya. Terdapat batas-batas tertentu yang membedakan kultus ibadah dengan
daerah lain pada umumnya. Contoh di Israel adalah beberapa tempat suci seperti Gilgal,
dan di Arab seperti Mekkah yang menempati daerah tertentu dengan batas-batas yang
dibuat untuk menandai daerah penyembahan/ ibadah tersebut sebagai daerah yang
dikhususkan untuk ibadah.
Dibuatnya suatu tempat suci bukan merupakan keputusan (ide) manusia, akan
tetapi selalu berdasarkan dua hal yaitu: pertama adanya manifestasi nyata yang bersifat
keilahian; seperti pernah hadirnya dewa di tempat tersebut, atau pernah ada suatu
perintah, tanda-tanda ajaib, atau manifestasi implicit dari sang ilahi. Tanda-tanda ini bisa
seperti Teofani, mata air yang dianggap keramat, pohon-pohon yang dikeramatkan
(seperti pohon oak dalam 1 Sam. 10:3), tempat-tempat tinggi seperti gunung yang dikenal
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

dalam budaya Semit sebagai tempat kediaman allah (gunung Shapan dalam mitologi
kanaan sebagai kediaman Ba’al, gunung Sion atau Karmel dalam kepercayaan Israel
sebagai tempat kediaman Yahweh). Tempat-tempat seperti ini oleh orang Semit selalu
mendapatkan perhatian besar dan sering menjadi pusat kultus penyembahan karena
dipercaya…allah atau dewa pernah memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk di
sana.
Dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Semit (termasuk di dalamnya Israel),
membangun tempat-tempat tertentu untuk menjadi pusat ibadah mereka, seperti Zigurat
yang dibangun seperti Piramid, dan bait suci yang bisa berarti istana, juga rumah atau
rumah ibadah seperti bait suci Yerusalem, serta tempat tinggi (bamoth) yang identik
dengan gundukan tanah yang tinggi atau bukit tertentu. Ide dari pembuatan semua
tempat suci ini adalah untuk membawa allah lebih dekat dengan para penyembahnya.
Tempat-tempat tersebut pada akhirnya menjadi symbol tempat kediaman dan kehadiran
allah di dunia.

Bab 2: The First Israelite Sanctuaries


Sanctuaries seperti Sikhem, Betel, Mambre, dan Beersheba, merupakan
sanctuaries yang selalu dihubungkan dengan para Patriakh. Tempat-tempat ini dibangun
ketika munculnya manifestasi ilahi Allah kepada Abraham, Ishak, dan Yakub yang
biasanya selalu berdekatan dengan sebatang pohon. Sikhem, Betel, dan Mambre
merupakan dua tempat dimana Abraham bertemu dengan Allah. Bethel merupakan
tempat Yakub bertemu dengan Allah, sekaligus menjadi tempat dimana Yeroboam
membangun altar tandingan Yerusalem. Sedangkan Ishak diceritakan bertemu Allahnya
dalam suatu mimpi. Pada-pada masa selanjutnya, tempat-tempat tersebut sering dikutuk
oleh para nabi Yahweh karena menjadi tempat berlangsungnya praktek-praktek budaya
Kanaan yang membuat Israel mensinkretis Yahweh.
Di padang gurun, umat Israel memiliki satu sanctuary yang disebut kemah
pertemuan (kemah Musa), tempat dimana Yahweh dan Musa bertemu empat mata.
Kemah ini bukan merupakan tempat kediaman Yahweh karena kitab Ibrani dengan jelas
mendeskripsikan bagaimana Yahweh hanya datang dan pergi dari kemah tersebut.
Tradisi Elohis menempatkan kemah di luar perkampungan Israel, sedangkan tradisi Imam
menempatkan kemah dalam perkampungan Israel, namun kedua tradisi tersebut sama
dalam aturan bahwa umat Israel harus menjaga kesuciannya dalam perkampungan
mereka.
Kemah pertemuan selalu dihubungkan dengan tabut perjanjian dalam sejarah
Deuteronomis, namun dalam penulisan Priestly, kemah tidak pernah dihubungkan dengan
tabut Allah. Jika dalam tradisi Priestly kemah dan tabut tidak pernah berkoneksi, apakah
ada kemungkinan mereka berasal dari tradisi berbeda? Setelah membahas sejarah
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

perkembangan kemah suci dan tabut perjanjian, De Vaux mengambil kesimpulan bahwa
kedua tradisi itu tidak terpisah! Tabut perjanjian memerlukan tempat untuk bernaung,
dan tempat bernaung paling cocok di padang gurun adalah kemah suci. Sebaliknya
kemah suci harus melindungi/ memayungi sesuatu… dan sesuatu tersebut haruslah tabut
perjanjian tentunya! Penulis melihat kesimpulan De Vaux ini paling baik sampai saat ini.
Kitab Ibrani mencatat beberapa tempat kultus orang Kanaan yang dianeksasi
orang Israel pasca keluaran Mesir. Melalui penguasaan beberapa kultus Kanaan inilah
model penyembahan umat Israel dikembangkan dengan tentunya meminjam pola dan
konsep penduduk local. Tempat-tempat tersebut adalah Gilgal yang berada di antara
Yerikho dan Jordan, namun lokasi persisnya tidak dapat ditentukan. Juga disebutkan
mengenai Shiloh, dimana Yahweh muncul dengan nama Yahweh Sebaoth. Tempat ini
nampaknya menggantikan posisi Gilgal sebagai pusat kultus ibadah. Selanjutnya kita
menemukan Mispah, Gibeon, Oprah dalam cerita Gideon, serta Dan. Pada bagian akhir
kita menemukan Yerusalem yang menjadi sanctuary terakhir yang ditemukan pada
periode awal Israel dimana Daud menempatkan tabut perjanjian di sana sebagai symbol
kelanjutan dari tradisi religi 12 suku, sekaligus menjadi tempat dimana kultus Yahweh
terserap dalam kultus el’elyon, yang kemudian oleh Daud dibangun altar yang menjadi
permulaan dari pembangunan bait suci dikemudian hari oleh Salomo.

Bab 3: The Temple at Jerusalem


Bait Allah Yerusalem dibangun pada masa Salomo dengan tiga bagian utama
yaitu: ulam yang merupakan bagian depan, hekal merupakan ruang suci dimana altar
persembahan dupa berada, dan debir yang adalah ruang maha suci tempat diletakkannya
tabut Allah. Untuk arsitektur bangunan ini, De Vaux berseberangan pendapat dengan
majoritas sarjana biblika yang percaya Mesir memberikan pengaruh kuat pada model
bangunan ini. Sebaliknya, ia lebih yakin bahwa pengaruh Fenisia tampak dominant pada
bait Allah tersebut. Hal ini semakin diperjelas dengan model bait Allah tersebut yang
menempel pada istana (sedangkan bait suci mesir lebih otonom).
De Vaux juga melihat bahwa bait suci Yerusalem yang menjadi national
sanctuary secara otomatis terikat erat dengan sistem politik dan keagamaan bangsa. Hal
ini bisa terlihat dari begitu dominannya raja-raja Israel dan Yehuda mengintervensi bait
suci. Pendeknya, bait suci Yerusalem merupakan refleksi dari kehidupan social, politik,
ekonomi dan keagamaan Israel. Signifikansi bait suci ini masih terlihat ketika Israel
kembali dari pembuangan dimana mereka mengharapkan berdirinya kembali bait suci
mereka (namun tidak pernah terjadi) sebagai pertanda direstorasinya sistem teokrasi di
Israel.
De Vaux juga melihat nuansa teologis bait suci Yerusalem sebagai pertama,
tempat dimana Allah hadir di tengah umatnya, kedua, bait suci merupakan tanda
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

pemilihan Allah atas suatu umat. Jika Allah mau berdiam dan menjadi Allah umat
tersebut, maka, otomatis mereka adalah umat pilihan Allah. Ketiga, institusi bait suci ini
dapat menghindarkan Israel dari sinkretisme.

Bab 4: The Centralization of the Cult


Pada periode hakim-hakim dan masa awal monarki, di Israel terdapat banyak
sanctuary. Ada Sikem tempat dimana federasi dibentuk, juga ada Shiloh dan Gibeon
(Mispah). Jika suku-suku Israel memiliki banyak tempat peribadatan kepada Yahweh,
sah saja karena variasi ini umum terjadi pada perubahan social suatu masyarakat.
Perubahan dari masyarakat nomaden kedalam masyarakat kota mengakibatkan sistem
ikatan tribal Israel semakin melemah, sebaliknya sistem klan semakin kuat. Mulai
muncul otonomi-otonomi dibeberapa daerah, hal ini mempengaruhi sistem peribadatan
karena lebih concern kepada wilayah atau kota tertentu. Otonomi politik membawa
pengaruh pada otonomi religius; hasilnya adalah munculnya banyak tempat-tempat
peribadatan.
Mulai pada masa Salomo, bait suci Yerusalem diupayakan menjadi central
sanctuary dan mesin persatuan politik menggantikan Shiloh, Mispah, dan lain sebagainya,
namun praktek ini tidak berjalan mulus karena setelah Salomo wafat, Yeroboam
mendirikan bait suci tandingan di Betel dan Dan, belum lagi “high places (bamoth) yang
banyak bertebaran di Israel saat itu.
Selanjutnya Yosiah melakukan usaha untuk membuat Yerusalem kembali menjadi
pusat ibadah Israel dengan menolak segala bentuk penyembahan kepada baal dan asherah
yang dilanjutkan dengan membongkar semua bamoth yang bertebaran di seluruh negeri
dalam apa yang disebut “reformasi deuteronomis.” Efek dari reformasi ini bahkan masih
terasa pada masa Israel dalam pembuangan. Di Babel dan Asyur, orang Israel tidak
pernah mendirikan bait suci karena segala pengharapan mereka hanya kepada bait suci
Yerusalem. Namun, hal ini tidak berlaku kepada orang-orang Israel yang melarikan diri
ke Mesir (Elam), dari catatan papyrus yang ada, mereka nampaknya mendirikan bait suci
yang pasti melanggar larangan deuteronomi mengenai “tidak boleh membangun bait suci
selain di Yerusalem.”

Bab 5: The Priestly Office


Pada masa Patriak tidak ada lembaga keimamatan. Lembaga ini baru terbentuk
saat Israel secara social telah terbentuk menjadi negara.1 Jabatan imam di Israel
merupakan jabatan resmi (official); artinya para imam ditunjuk/ ditetapkan oleh manusia
tanpa intervensi bersifat ilahi. Konsekuensinya, imam di Israel bukanlah bersifat sukarela

1
Walaupun cerita Kejadian 25 dan 28 mengindikasikan adal lembaga keimamatan pada masa Patriakh,
namun ekspresi normal dari kedua kejadian tersebut adalah Ribkah dan Yakub pergi ke bait suci untuk
menerima oracle dari Allah
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

(ordain), melainkan mereka memulai pekerjaan mereka di sanctuary melalui penetapan


yuridiksi tanpa adanya peneguhan bersifat religius (karunia atau kuasa-kuasa khusus yang
diterima), namun tetap saja mereka dibuat kadosh karena pekerjaan mereka tersebut (lihat
Im. 21:6; Kel. 28:36; Bil. 8:14; Ul. 10:8, dll).
Peran para imam yang selalu identik dengan orang yang memberikan “oracles”,
teridentifikasi dengan torah yang isinya instruksi-instruksi pendek namun khusus, 2 yang
datang dari Allah dan dipercayakan kepada mereka untuk diinterpretasi dan disampaikan
kepada jemaat. Para imam akhirnya identik dengan torah; yang merupakan koleksi dari
aturan, ajaran, dan perintah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dimana para
imam yang menginterpretasikannya dengan harapan manusia akan lebih giat lagi dalam
ibadah mereka kepada Allah; dalam hal ini para imam menjadi pengajar moral sekaligus
agama. Dengan kata lain, mereka identik dengan torah; pengetahuan Allah (da‘at) yang
dipercayakan kepada mereka untuk ditafsirkan dan diajarkan.3
Pada akhirnya ketika kita melihat para imam memainkan peran sebagai pemberi
oracle, maka ia sedang menyampaikan pesan dari Allah! Ketika ia sedang menjelaskan
torah, maka ia sedang menyampaikan suatu pengajaran yang dari Allah! Kedua hal ini
menunjukkan perannya sebagai representasi Allah. Namun, ketika ia sedang memberikan
korban persembahan di altar (darah dan korban), atau korban bakaran lainnya, maka ia
sedang bertindak sebagai wakil dari petisi orang percaya kepada Allah; artinya mereka
adalah mediator antara Allah dan manusia. Agama torah dengan para imam ini hilang
pada saat Israel kembali dari pembuangan karena diganti “taurat baru” dan para rabbi.
Namun peran imam muncul kembali dalam diri Yesus yang hadir sebagai “mediator”
antara Allah dan manusia.

Bab 6: The Levites


Levite atau lewi memiliki etimologi yang berarti “diputar”, “menemani seseorang,
menempel pada seseorang (Kej. 29:34; Bil. 18:2,4)”, dan “diberikan, dipinjamkan (Bil.
3:12; 8:16, 1 sam 1:28) ” Dari beberapa pengertian tersebut, nampaknya yang paling
tepat adalah istilah “menempel” (dalam hal ini menempel kepada Allah). Istilah Levi
bukanlah istilah yang menekankan “fungsi”, melainkan nama geneologi dari anak Yakub.
Itulah sebabnya nama Lewi sering dibedakan dengan para imam. Pembedaan ini jelas
terlihat dari beberapa teks yang membedakan mereka dengan para imam sekaligus teks
tersebut membawa ketidak jelasan dalam interpretasinya. Dalam Bilangan3:6-9, kaum
Lewi ditempatkan untuk melayani imam Harun dan anak-anaknya. Namun menurut
Keluaran 32:25-29, mereka dipilih sebagai oposisi dari keimamatan Harun kerena

2
Torah yang artinya selalu dihubungkan dengan “hukum” nampaknya kurang begitu cocok dengan asal
kata torah yarah yang lebih cocok bila diartikan “instruksi-instruksi.”
3
Para nabi diidentikkan dengan dabar; karena firman! juru bicara Allah, yang mendapat inspirasi Allah
untuk memberikan pesan khusus dalam suatu keadaan khusus; dia adalah instrument dimana Allah
menyatakan dirinya.
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

idolatry yang dilakukannya. Sedangkan teks Ulangan 10:6-9, menjelaskan karena Harun
meninggal, maka Lewi di pilih oleh Musa menjadi imam.
Dalam perjalanan sejarahnya, kaum Lewi ini nampaknya memiliki otoritas untuk
menjalankan fungsi sebagai imam di bait suci seluruh Israel, sehingga mereka dapat
melakukan pekerjaan para imam.”4 Peran mereka sebagai imam pada akhirnya mendapat
beberapa perlakuan khusus, seperti dibangunnya kota-kota khusus untuk kaum Lewi, dan
menerima perpuluhan dari suku-suku lain.
Walaupun kaum Lewi dapat melakukan fungsi keimamatan, mereka tetap
dibedakan dengan para imam itu sendiri dalam kepenulisan Yehuda. Hal ini jelas terlihat
dari kitab Raja-Raja yang memang tidak tertarik secara politis untuk menceritakan peran
kaum Lewi karena kitab ini merupakan hasil karya kaum imam Deuteronomis yang lebih
tertarik dengan keimamatan Yehuda di Yerusalem. Kaum Lewi yang menjadi imam di
bamoth tidak bisa bekerja di altar Yahweh di Yerusalem (2 Raj. 23:9, 21-23, dll).
Bahkan dalam berita Yehezkiel (Yeh. 40: 45-46, 45:4-5), ia membedakan para imam
yang harus melayani di bait suci (kaum Lewi), dan para imam yang melayani altar (kaum
Zadoq). Ada dapur khusus bagi kaum Zadoq yang melayani korban penghapusan dosa,
dan dapur khusus bagi para imam (Lewi) yang melayani bait suci. Ada area sekitar bait
suci yang dikhususkan bagi kaum Imam Sadoq yang setia, dan ada area khusus bagi
kaum Lewi (yang kurang setia?) dalam Yeh.48:11-14. Namun kedua kaum ini walaupun
berbeda tetap disebut “imam” dalam Yeh. 40:45-46. Perbedaan ini nampaknya efek dari
reformasi Hezekiah dan Yosiah yang menempatkan Yerusalem sebagai pusat ibadah.
Konsekuensinya para imam (mayoritas kaum Lewi) yang bertindak sebagai imam di
tempat-tempat ibadah yang bertebaran diseluruh Israel dan Yehuda; terutama yang
melayani di bamoth dianggap menyimpang dari torah. Akibatnya para imam dari kaum
Lewi ini banyak dibawa ke Yerusalem dan dibunuh pada masa Yosiah (2 Raj. 23:8; 19-
20). Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa Kaum Lewi memang berbeda dengan
para imam pada umumnya, walaupun mereka dapat menjalankan peran sebagai imam.
Mereka hanya memiliki second position jika dihubungkan dengan para imam. Itulah
sebabnya mengapa mereka tidak terlalu tertarik untuk kembali dari pembuangan. Dalam
catatan Esdras 2:40 dan Neh. 7:43, hanya ada 74 orang lewi dibandingkan 4.289 imam
yang kembali pulang. Dan pada masa para Rabbi, kita melihat bagaimana kaum Lewi ini
berusaha meningkatkan status mereka supaya bisa setara dengan status para imam
lainnya.

4
Namun Alkitab juga mencatat bahwa ada beberapa nama di luar suku Lewi yang memainkan peran
sebagai Imam. Sebut saja Mikah dari Efraim yang mengangkat anaknya menjadi Imam (Hakim 17:5).
Samuel dari suku Efraim yang menjadi hakim dan imam orang Israel (1 sam 7:9,dll). Eleazer orang Kiryat
Yearim yang menjadi imam untuk menjaga tabut Allah, Daud dari Yehuda yang sering disebut imam, dan
Ira dari suku Manaseh yagn juga menjadi imam (2 Sam. 20:36).
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

Bab 7: The Priesthood in Jerusalem Under The Monarchy


Walaupun banyak sanctuary di Israel, namun tidak ada catatan mengenai aktivitas
imam di tempat-tempat tersebut, kecuali di Yerusalem. Hal ini lebih disebabkan sumber
informasi mengenai aktivitas para imam yang tercatat di kitab Raja-Raja dan Samuel
yang berfokus pada Yerusalem menghindar untuk membahas aktivitasi imam di luar
Yerusalem.
Berbicara mengenai imam dan keimamatan di monarki Israel tentunya tidak bisa
terlepas dari peranan imam Ebyatar (sisa nabi di Nob yang dibantai Saul, kemudian jadi
abdi Daud), dan imam Sadoq. Pada masa selanjutnya Sadoq dan keturunannyalah yang
tetap bertahan di bait suci Yerusalem, sebab Ebyatar dibuang oleh Salomo karena
mendukung Adonia, sedangkan Sadoq mendukung Salomo.5
Istilah “imam besar” (hakkohen hagaddol) ditemukan empat kali dalm teks pre-
exilic (2 Raj.12:11; 22:4,8; dan 23:4), kelihatannya merupakan hasil modifikasi hari
kemudian sebab istilah “imam besar” tidak dikenal pada masa pre-exilic. Namun
demikian para imam di bait Allah memiliki seorang pemimpin yang disebut “kepala
pemimpin” (kohen harosh) dalam 2 Raj.25:18 yang memiliki parallel dengan Yer. 52:24,
serta dalam 2 taw 19:11; 24:26, formula ini diperluas dalam 2 Taw 31:10. 6 Dibawah
kohen harosh terdapat wakil kepala atau kohen mishme. Setelah mereka, masih terdapat
“Penjaga gerbang” yang merupakan pejabat senior dari para imam ini (2 Raj. 23:4;
25:18), dengan tugas mengumpulkan persembahan dari masyarakat (2 Raj.12:10; 22:4).
Inilah sistem hirarki bait suci Yerusalem
Sudah menjadi peraturan umum bahwa para imam hidup dari persembahan yang
datang dari masyarakat. Hal ini terlihat dari cerita anak-anak imam Eli saat menerima
korban persembahan masyarakat saat itu. Kesalahan mereka bukan karena mengambil
korban persembahan, melainkan mereka mengambil korban sebelum lemak yang biasa
diberikan kepada Allah dibakar terlebih dahulu. Dengan kata lain mereka melayani diri
mereka sebelum melayani Allah. Para Imam menurut 2 Raj 12:5-17; 22:3-7, juga
menerima persembahan uang dari masyarakat yang datang. Uang yang terkumpul ini
mereka Pergunakan untuk keperluan pribadi dan dipergunakan juga untuk maintenance
bait Allah, akan tetapi bagian terbesar operasional bait Allah menjadi tanggung jawab
raja karena bait suci merupakan state sanctuary.
Dalam Sejarah Israel, hanya para imam yang bisa berada di bait Allah, sedangkan
para nabi nampaknya tidak pernah memainkan peran di bait Allah. Yehezkiel merupakan
nabi, namun aktivitasnya berlangsung setelah bait suci runtuh; Yeremiah juga seorang

5
Walaupun banyak teori berkenaan dengan asal muasal Sadoq, namun tidak ada satu teoripun yang dapat
menjelaskan dengan tepat dari mana Sadoq berasal…asal muasalnya tetap menjadi rahasia sampai saat ini.
6
Istilah kohen harosh disini berbeda dengan istilah “imam besar” pada masa setelah pembuangan. Kohen
harosh hanya berarti ia seorang pemimpin yang memimpin para imam di Yerusalem dan harus bertanggung
jawab kepada raja (2 Raj.12:8; 16:10). Sedangkan imam besar post exilic merupakan pemimpin agama
sekaligus pemimpin sipil yang dapat bertindak seperti seorang raja dalam suatu kerajaan.
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

nabi yang juga seorang imam, namun karena ia keturunan Ebyatar, maka dia tidak pernah
diijinkan untuk menjalankan aktivitas kenabiannya di bait suci; juga fakta bahwa Yesaya
mendapat tugas di bait Allah tidak berarti ia secara resmi menjadi nabi di bait suci.
Kesimpulannya tidak pernah ada nabi dan peran kenabian yang berlangsung di bait suci,
Sebaliknya nabi dan para imam sering bertentangan satu dengan lainnya.

Bab 8: The Priesthood After The Exile


Kejatuhan Yerusalem menghilangkan peran para imam dari kaum Zadoq dan
kaum Lewi. Akan tetapi karena tidak semua kaum Lewi berhasil diangkut dalam
pembuangan, maka mereka masih melakukan ritual-ritual selayaknya bait allah masih ada
(dan cenderung sinkretis pada masa-masa kemudian) di Israel (Za. 7:1-13; Yer.41:4-5).
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, ketika kembali dari pembuangan, hanya sedikit dari
kaum Lewi yang mau kembali pulang, namun penulis kitab Tawarikh nampakanya
memberikan perhatian besar kepada kaum Lewi post exilic. Dalam 1 Tawarikh 15-16,
tugas kaum Lewi dijelaskan memegang peran penting dalam bait Allah. Tabut allah
harus dibawa oleh kaum Lewi (1 Taw. 15:2), mereka harus menjaga tabut Allah sampai
bait Allah selesai dibangun (1 Taw.16:4 dst). Ketika para imam tetap tinggal di Gibeon
dalam kemah pertemuan (1 Taw.16;39), kaum Lewi dan tidak termasuk para imam (1
Raj.8:3) membawa tabut Allah menuju bait suci Salomo (2 Taw.5:4; 35:3). Tentu saja
ide ini bukan berasal dari kepenulisan Priest, sebab Priest menulis kaum Lewi yang
menunggu kemah pertemuan (Bil.1:50; 3:8; Ul.10:8). Dengan ini nampaknya setelah
pembuangan, penulis Tawarikh mencoba memberikan dukungan bagi peran dan fungsi
kaum Lewi, dan tentu saja ini bertentangan dengan berita Priest yang menetapkan kaum
Lewi hanya sekedar penunggu Kemah pertemuan sekaligus melayani kaum Harun yang
menjadi imam (1 Taw. 2:26-28).
Selain itu, peranan para penyanyi dan penjaga gerbang yang muncul pada masa
pre exilic, muncul kembali pada masa post exilic. Hal ini semakin diperkuat ketika
mereka dimasukkan dalam golongan Lewi dalam penulisan Esdras, sekaligus menetapkan
fungsi lain kaum Lewi, selain mereka juga menjadi hakim, pegawai sipil, membantu
kaum Harun dalam administrasi bait suci dan menjadi pengajar torah.
Dengan telah berakhirnya era monarki di Israel, maka, Israel dipimpin oleh
seorang imam besar yang berbeda fungsi dan peran dengan imam besar masa pre exilic.
Para imam besar ini dinobatkan dan diurapi layaknya pengangkatan raja pre exilic untuk
menjadi pemimpin sipil sekaligus religius. Dalam catatan sejarah Yahudi, terdapat 28
imam yang pernah diangkat sebagai imam besar di Israel era post exilic. Namun
pembahasan De Vaux soal imam dan peran/ fungsinya setelah pembuangan ini kurang
lengkap apabila dibandingkan dengan karya Michael E. Stone dan Shemaryahu Talmon,
yang sama-sama membahas soal ini dengan lebih lengkap.
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

Bab 9: Altars
Altar merupakan elemen penting sejak jaman Patriakh sampai dengan post exilic
di Israel karena selalu berkenaan dengan Sanctuary. Apabila seseorang berkata “aku
mendirikan altar bagi Allah,” artinya ia sedang membangun sanctuary!
Altar di Israel ada yang dibangun di sanctuary, namun ada juga yang dibangun di
luar sanctuary, seperti altar Gideon (Hak.6:19-23), dan altar yang dibangun Menoah
untuk pengorbanan dalam Hakim 13:19-20. Altar biasanya terbuat dari batu yang dibuat
datar untuk memudahkan upacara pengorbanan. Altar tidak boleh dibuat dari besi karena
jika dibuat dari batu, maka yang mempersembahkan korban akan berumur panjang,
sedangkan jika dari besi atau logam, maka akan berumur pendek. Altar dalam sanctuary
atau bait Allah biasanya terdiri dari 2 bagian. Bagian pertama adalah untuk korban
bakaran (Kel.27:1-8; 38:1-7), dan yang kedua altar untuk korban wewangian (Kel.30:1-5;
37:25-28). Namun pada masa Salomo, altar untuk wewangian (dupa), dibuat dari
tembaga. Hal ini memicu editor 1 Raja 6-7 memprotes altar semacam ini. Dan pada
pemerintahan raja Ahaz, ia mengganti altar salomo ini kembali kebentuk semula dengan
mempergunakan batu.
Pada masa bait suci post exilic, sangat sedikit informasi mengenai altar yang
dibangun orang Israel post exilic, namun nampaknya Cuma satu altar yang dibuat yaitu
altar untuk wewangian yang terbuat dari emas yang pada masa Antiokus dijarah
kemudian digantikan dengan altar untuk persembahan kepada Zeus pada pada tahun167
SM. Dan baru pada masa Makkabe, altar Zeus ini dibongkar digantikan altar baru yang
dipergunakan untuk ibadah kepada Yahweh.
Altar memiliki tiga signifikansi teologis. Pertama, altar merupakan “hati” dari bait
suci. Idenya adalah; api harus selalu menyala di altar (Im.6:5-6; 2 Mak.1:18-36), seperti
lampu yang harus menyala di bait Allah (Kel. 27:20-21; Im.24:2-4). Kedua, altar
merupakan tanda kehadiran Allah. Ketiga, altar merupakan instrumen mediasi. Seremoni
yang dilakukan di altar oleh manusia yang diberikan kepada Allah, dan Allah membalas
dalam bentuk berkat (Kel.20:24). Jadi ikatan perjanjian antara Allah dan manusia ini
tetap terjaga, atau dibangun kembali di atas altar persembahan.

Bab 10: The Ritual of Sacrifice


Israel memiliki beberapa bentuk persembahan korban (sacrifice), antara lain:
1. Korban bakaran (olah), dimana semua korban dibakar habis. Dalam Imamat 1,
korban harus binatang jantan yang tidak bercacat (Lembu atau burung: Im. 22:17-25)),
yang dipersembahkan oleh seseorang atau kelompok dalam keadaan ritual kudus. Untuk
korban lembu, domba atau kambing, pembantaian dilakukan oleh orang yang
mempersembahkan korban itu sendiri dengan memotong lehernya diluar altar 7 dan
7
Pemotongan korban hanya bisa dilakukan oleh para imam atau Lewi apabila persembahan korban bersifat
public (2 taw. 29:22,24,34; Ez.44:11). Jadi peranan Imam hanya dimulai ketikan korban telah dibawah ke
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

menumpangkan tangan di atas korban persembahan tersebut. 8 De Vaux mencatat olah


juga sering disertai dengan minhah, yaitu persembahan tepung yang telah diolah dengan
minyak dan anggur (Im.23:18), dilanjutkan dengan membakar tepung tersebut dan anggur
dituangkan disekitar kaki altar seperti darah korban (Si.50:15).
2. Kemudian ada juga yang disebut Persembahan korban komuni. Jenis ini dibagi
tiga macam yaitu: todah persembahan pujian (Im.7:12-15; 22:29-30), Nedabah korban
sukarela (Im.7:16-17; 22:18-230, dan neder korban nazar. Perbedaan dari ketiga bentuk
korban ini tidak terlalu jelas. Prinsip dan karakteristik dari jenis persembahan ini adalah
fakta korban dibagi antara Allah, imam, dan orang yang mempersembahkan korban
tersebut. Korban dibakar, namun dimungkingkan adanya korban binatang betina, juga
ada toleransi jika korban itu cacat sedikit (nedabah Im.22;23). Semua isi perut binatang
dan lemak diberikan bagi Tuhan, imam mengambil bagian dada (tenupah; menimbang)
dan kaki kanan (terumah; sample). Sisa dari korban persembahan dimakan oleh yang
mempersembahkan beserta kerabat yang diundangnya namun harus dalam keadaan
kudus.9
3. Selanjutnya kita menemukan jenis persembahan korban yang disebut korban
penghapus dosa. Jenis ini terbagi dua yaitu pertama hatta’th, yang artinya korban
penghapus dosa dimana darah menjadi symbol penting. Darah diambil oleh imam
dibawa kedalam tempat kudus dan dipercikkan tujuh kali di tirai yang memisahkan
tempat paling kudus, kemudian imam menggosok setiap ujung altar persembahan
wewangian dengan darah, selanjutnya ia menumpahkan darah dikaki altar korban
bakaran. Semua ini dilakukan jika ia harus menghapus dosa seluruh masyarakat atau
imam besar. Jika dosa dilakukan oleh pribadi atau pemimpin biasa, maka darah
ditempatkan dalam tabung (horn) di altar pembakaran, dan sisanya dituangkan
didasarnya; dalam keduanya tidak ada yang dimasukkan ke ruang kudus. Makna dari
semua ini adalah “darah yang menghapus dosa karena dalam darah ada kehidupan” (He.
9:22> without the shedding of blood, there is no forgiveness at all). Selanjutnya, De
Vaux juga melihat seseorang tidak bisa menikmati korban persembahannya apabila
korban yang diberikan adalah penghapus dosanya, melainkan menjadi milik imam.
Demikian juga imam tidak bisa memakan korban yang ia persembahkan sendiri bagi
penghapus dosanya, karena korban itu harus dibakar habis. Yang kedua disebut Korban
reparasi atau an’asham (Im. 5:14-26; 7:1-6), dan bentuk dari korban jenis ini sama
dengan korban penghapus dosa (Im.7:7) dengan sedikit perbedaan yaitu: (1) persembahan
jenis ini diberikan secara individual, jadi darah juga tidak pernah dibawah keruang kudus

atas altar, termasuk di dalamnya menumpahkan darah di sekeliling altar.


8
Penumpangan tangan ini tidak bermaksud ada “kekuatan magis’ yang keluar dari tangan yang
menumpangkan tangan, atau dosa si pemberi korban telah berpindah kepada binatang tersebut (walaupun
ada aturannya dalam Im.16:21), melainkan ini suatu tindakan tulus bahwa korban berasal dari orang yang
menumpangkan tangan tersebut, dan korban yang nantinya akan dipersembahkan tersebut atas namanya.
9
Todah harus dimakan pada hari dimana dikorbankan (Im. 7:15), namun Nedabah dan Neder dapat
dimakan dihari kemudian dan jikan masih ada sisa harus dibakar pada hari ketiga (Im.7:16-17).
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

sekaligus korban tidak pernah dibakar di luar sanctuary. (2) korban haruslah biri-biri
jantan, (3) dalam kasus tertentu harus ada uang denda yang dibayarkan (Im.5:14-16; 21-
26). Namun, seperti biasa perbedaan dari kedua jenis persembahan korban ini dalam
ranah praktek sulit dibedakan karena korban yang sama bisa berlaku terbalik jika jaman
berubah. Untuk itu diperlukan penelitian kritik literary supaya mendapatkan penjelasan
memadai dari teks-teks tersebut.
Selain itu, Israel juga memiliki beberapa jenis persembahan korban seperti korban
sayur-sayuran, korban roti tak beragi, korban tepung yang khusus untuk para imam yang
kesemua ini disebut azkarah. Dan terakhir ada korban yang disebut korban wangi-
wangian yang hanya muncul setelah Israel kembali dari pembuangan yang dipraktekkan
pada masa para rabbi.

Bab 11: The History of Sacrifice in Israel


Sintesa Wellhausen Mengenai sejarah sacrifice di Israel patut mendapat perhatian
kita. Ia membagi tiga model sacrifice Israel dalam tiga periode berbeda sebagai berikut:
Pertama, Periode dari sebelum reformasi deuteronomi sampai reformasi pada 621
SM. Pada periode ini orang tidak terlalu memperdulikan mengenai ritual; perhatian
mereka lebih “kepada siapa persembahan diberikan, dan bukan bagaimana
memberikannya.” Model sacrifice yang ada hanya korban bakaran dan komuni (yang
terakhir yang paling sering digunakan). Situasi ini menurut Wellhausen banyak terlihat
dalam kitab-kitab sejarah, tulisan para nabi abad 8-7 SM, dan dari sumber Elohis serta
Yahwisti di Pentatuk.
Kedua, Dengan dimulainya reformasi Yosiah, ritual dari sacrifice tidak berubah,
kecuali dalam satu hal penting: semua bentuk sacrifice harus dilakukan di Yerusalem.
Aturan baru ini menciptakan unifikasi ritual sacrifice karena semua bentuk ritual di
sanctuaries yang tersebar di seantero Israel, termasuk bamoth harus difusi di Yerusalem.
Hal ini terlihat dalam berita deuteronomis.
Ketiga, ketika Israel masih dalam pembuangan dan sekembalinya dari
pembuangan, tren baru muncul; di tengah-tengah umat muncul suatu gairah besar akan
ritual. Gejala ini terlihat dari berita-berita Yehezkiel saat memberikan deskripsi yang
harus diikuti ketika bait Allah yang baru akan (telah?) direstorasi.
Namun pandangan Wellhausen cukup menimbulkan masalah karena catatan
Deuteronomis sangat sedikit menyinggung perihal ritual dan sacrifice, kecuali Ulangan
12 dan 18. Hal ini semakin diperjelas dengan ritual yang dilakukan Israel post exilic
yang masih memiliki nilai-nilai ritual kuno yang sudah ada bahkan sebelum Israel belum
terbentuk menjadi negara. Untuk itu, De Vaux berargumentasi bahwa bentuk sacrifice
offerings and perfumes, dan untuk beberapa bentuk korban persembahan mempergunakan
binatang, merupakan suatu kontinuitas dari suatu kultus yang dipraktekkan pada masa
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

monarki dan tetap dipergunakan sampai pada masa setelah pembuangan, 10 karena bentuk
paling esensi dari kultus post exilic juga ditemukan pada masa pre exilic; dengan
tentunya terjadi beberapa perkembangan misalnya; sebelum pembuangan, sacrifice
komuni lebih dominant dari korban bakaran, tetapi setelah pembuangan, korban bakaran
menjadi lebih dominant dan signifikan dalam ritual Israel. Juga kita melihat setelah
pembuangan, sacrifice khusus untuk penebusan dosa berkembang dan pada akhirnya nilai
penebusan dosa ini dilekatkan kepada ritual korban bakaran (Im.1:4); selain itu juga
melihat hubungan antara korban sayur-sayuran dengan korban komuni lebih diperjelas;
dan untuk korban persembahan wewangian, ada percampuran baru yang dijelaskan,
dimana bentuk dan penamaannya diperbaharui. Perubahan-perubahan ini walaupun di
beberapa segi kelihatan ekstrim namun masih terikat korelasi dengan bentuk ancient
sacrifice sebelumnya.

Bab 12: The Origin of Israel Ritual


Bab sebelumnya menjelaskan mengenai ritual Israel yang bernuasa ancient origin.
Kesimpulan ini dapat dilihat dari ritual Israel dengan negara-negara tetangganya karena
terlihat adanya kesamaan dalam praktek kultus tersebut (ritual).
Mesopotamia nampaknya tidak memberikan banyak kontribusi dalam ritual
sacrifice Israel. Dalam budaya Mesopotami, darah tidak memainkan peran penting, dan
bahkan diragukan apakah darah pernah dipergunakan dalam ritual mereka. Juga tidak
menemukan model ritual pembakaran korban di atas altar dari kedua budaya tersebut.
Sebaliknya, pada bangsa Amon dan Moab (Kanaan) yang digambarkan alkitab, praktek
pembakaran di atas altar dan pemercikan atau penumpahan darah dapat terlihat. Disini
kita bisa melihata Naaman yang non Israel mempersembahkan Olah dan Zebah kepada
allah lain, dan berjanji bahwa dihari mendatang akan diberikan pula kepada Yahweh (2
Raj. 11:8). Deskripsi Elia di gunung Karmel dengan para nabi Ba’al dan Asherah
menunjukkan bahwa masing-masing pihak mengadakan ritual yang sama. Yehu dalam 2
Raj. 10:18-27, nampaknya mengikuti model ritual Kanaan yang ia adakan karena zebah
and olah disebutkan dibagian ini. Dan apabila kita melihat catatan Alkitab, terdapat
persamaan fundamental dalam bentuk sacrifice Kanaan dan Israel; namun teks biblical
tidak dapat membuktikan apakah teknis pelaksanaannya sama dari kedua bentuk ritual
ini.
Melihat jauh kebelakang saat masih di padang gurun, sebagai bangsa semi nomad,
Israel hanya memiliki bentuk ritual persembahan wewangian dan korban binatang
penebus salah tanpa dibakar dengan darah sebagai instrument penting. Diketahui setelah
mereka memasuki tanah Kanaan, olah dan zebah yang milik orang Kanaan mereka
adopsi digabungkan ritual darah yang sudah mereka miliki sebelumnya.

10
Teori ini tentunya berlawanan dengan presuposisi evolusi Wellhausen yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa sistem sacrifice Kanaan memiliki kesamaan
dengan sistem yang ada di Israel11 karena sama-sama mempersembahkan olah dan zebah,
persembahan sayuran dan wewangian, dan dalam beberapa kasus, terdapat korban
persembahan manusia di Israel yang diadopsi dari kultur Kanaan (2 Raj.16:3) 12 namun
ditentang oleh 2 Raj. 17:31 dan Ul. 12:31 sebagai praktek penyembahan berhala (yang
pada akhirnya ditentang juga oleh Deuteronomis, Imamat, dan para nabi). Yang sudah
pasti adalah kedua sistem budaya ini nampaknya berkembang independent dan
terminologinya tidaklah sama persis. Dari kesemuanya ini, khususnya korban
persembahan dimana manusia yang dikorbankan, sampai saat ini masih jadi perdebatan
apakah pernah legal dipraktekkan di Israel atau tidak.

Bab 13: The Religious Significance of Sacrifice


Untuk mencegah penafsiran yang kurang tepat mengenai sacrifice di Israel yang
biasa dilakukan sejarawan perbandingan agama yang sering mendeskripsikan sacrifice
Israel, praktek dan idenya dengan melakukan analogy dengan ritual kepercayaan lain
(bangsa), yang pada akhirnya menarik suatu kesimpulan dari perbandingan tersebut. Juga
para teolog yang cenderung menggunakan ide sacrifice dalam Perjanjian Baru untuk
menjelaskan teori sacrifice dalam Perjanjian Lama yang hasilnya; kedua pendekatan ini
menghilangkan esensi yang tepat dari model sacrifice itu sendiri; maka, De Vaux
mengajak kita untuk melihat sacrifice sebagai one act in many aspects, dengan ini kita
harus hati-hati dengan setiap penjelasan yang sederhana.
Sacrifice bukan sekedar “gift”, dan bukan juga sekedar bersekutu dengan Allah,
serta hanya sekedar penghapusan dosa: ada banyak motif dibaliknya, yang dinyatakan
sekaligus and satisfies several imperative instincts of the religious conscience.
De Vaux menekankan signifikansi sacrifice di Israel dalam tiga bagian yaitu:
pertama, hadiah yang bukan sekedar upeti kepada Allah, melainkan suatu hadiah yang
memiliki nilai etika bagi korban yang dipersembahkan karena sangat dibutuhkan manusia
tetapi justru diberikan kepada Allah. Yang kedua adalah komuni. Agama bukan sekedar
bagaimana kita bergantung kepada Allah, namun juga termasuk di dalamnya bersekutu
dengan Dia. Hal ini tidak berarti secara fisik manusia bersekutu dengan Allah,
sebaliknya ikatan perjanjian antara yang disembah dan yang menyembah didirikan
(diperbaharui) dalam komuni tersebut. Yang ketiga adalah penghapusan dosa. Hal ini
diperlukan jika manusia telah berdosa; akibat dosa, ia memerlukan anugerah
pengampunan untuk membangun kembali hubungannya yang telah rusak dengan Allah.
Inilah yang menjadi tujuan korban penghapusan dosa dimana darah menjadi elemen
penting dalam ritual ini.
11
Dalam perjalanannya, kedua sistem ini berkembang secara independent dan terminologinya tidaklah
sama.
12
Referensi berita ini dapat terlihat pada beberapa ayat sebagai berikut: Im.18:21; 20:2-5; 2 Raj 23:10; Yer
32;35; 30:33, 2 Raj. 16:3;17;31;21;26; Yer. 3:24; 7:31; 19:5; Ul.12, dan Ezra 23:39
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

Apabila memperhatikan berita para nabi seperti Yesaya 1:11-17, Yeremia 6:20;
7:21-22; Amos 5:21-27 Micah 6:6-8, yang menentang sacrifice yang dilakukan orang
Israel dengan menekankan mereka lebih baik melakukan kebenaran dan keadilan
daripada sacrifice, haruslah dilihat bahwa para nabi tersebut tidaklah menentang sacrifice
sebagai suatu system ibadah, melainkan sikap umat yang justru hasilnya bertolak
belakang dengan yang diharapkan muncul dari sacrifice tersebut. Artinya, ada sudut lain
yang dibidik para nabi tersebut melalui penulis berita nabi, hikmat dan hokum.

Bab 14: Secondary Acts of the Cult


Dalam Perjanjian Lama, Liturgi doa bukan terpisah dari praktek kultus. Sacrifice
merupakan pusat ibadah, dan tindakan nyata dari sacrifice tersebut adalah doa.13 Orang
Israel biasanya berdoa di bait Allah yang terbagi tiga yaitu doa pagi, siang dan malam.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, yang terus dipraktekkan hanyalah doa pagi dan
malam. Saat di pembuangan, orang Israel berdoa dengan menghadap ke Yerusalem
sebagai kota sucinya (1 Raj. 8:44, 48; Dan 6:11). Budaya ini dilegalkan pada masa
Judaisme; diajarkan dalam setiap sinagog. Beberapa teks mengindikasikan orang Israel
berdoa dengan berbagai macam gesture seperti: berdiri (1Sam.1:26; 1 Raj.8:22;
Yer.18:20), dengan berlutut (2 Taw 6:13), dengan mencium tanah (Maz.95:6), dengan
tangan diangkat keatas (1 Raj.8:22, 54; Maz.28:2).
Bentuk lain dari ibadah sekunder Israel adalah pembersihan dan penyucian. Hal
ini termasuk penyucian karena kusta. Penyakit kusta yang dimaksud di Alkitab bukanlah
penyakit kusta yang kita kenal dalam term modern saat ini, melainkan jenis kusta seperti
dijelaskan dalam Imamat 13:1-44. Para imam yang menentukan apakah seseorang
terjangkit kusta atau tidak. Penilaian yang diberikan tidak dari sudut medis (dokter),
melainkan tafsiran dari dari “hukum.” Selain orang, pakaian juga bisa kena kusta.
Apabila tidak dapat dibersihkan, maka harus dibakar (Im.13: 47-59). Rumah juga dapat
dianggap bisa kena kusta. Jika tidak bisa dibersihkan, maka rumah tersebut harus
dibongkar (Im.14:33-53). Pentingnya ritual penyucian dan pembersihan dalam diri orang
Israel, membawa mereka yang sudah kembali dari pembuangan mencaplok darimana saja
sumber yang berbicara mengenai pembersihan dan penyucian kemudian memasukkannya
dalam hukum keimamatan mereka, yang pada akhirnya menjadi kuk yang membebani
orang percaya. Hal ini diprotes Yesus karena membuat orang sulit masuk kerajaan Allah
(Mat.23:13) bandingkan dengan Matius 15:10-20 dan Roma 14:14).

Bab 15: The Liturgical Calender


Di Israel, seperti juga dibangsa-bangsa lain, ada berbagai macam pesta perayaan,
yang walaupun tidak dirayakan sebagai peristiwa bersifat religi, namun memiliki karakter

13
Dalam Perjanjian Lama, sulit membedakan antara doa pribadi dan doa kolektif.
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

religi di dalamnya. Beberapa di antaranya adalah: (a), persembahan harian (Kel. 29:38-
42; Bil. 28:2-8) yang harus memberikan 2 ekor domba disertai dengan roti dan anggur
sebagai korban bakaran pagi dan petang. Keluaran 30:7-8, mengindikasikan harus juga
disertai dengan persembahan dupa di altar. (b), sabat (bagian ini akan dibahas pada bab
selanjutnya), walau demikian, model pelayanan ini sama dengan persembahan harian
yang memberikan 2 ekor domba sebagai korban bakaran. (c), ritual bulan baru (Bil.
28:11-15), ritual ini mensyaratkan bahwa setiap Lunar month, korban bakaran berupa 1
ekor sapi jantan, satu ekor biri-biri jantan, satu ekor kambing, dan 7 ekor domba harus
diberikan sebagai korban persembahan (penghapusan dosa sekaligus).
Dari tiga model pesta perayaan ini, kita mendapatkan beberapa penjelasan
simpang siur dari berita Alkitab; khususnya dari kepenulisan Elohist (Kel.34:14-17),
Yahwist (Kel.34:18-23), Deuteronomist, dari kitab hukum kekudusan (Im.23), Yehezkiel
(Yeh. 45:18-25), dan Bilangan (Bil. 28-29). Dari kesimpangsiuran ini, membuat penulis
tidak memberikan perhatian penuh pada bab ini. Perhatian lebih diberikan pada bab
selanjutnya yang khusus membahas hari sabat…. di bawah ini.

Bab 16: The Sabbath Day


Etimologi “Sabbath”, sampai saat ini tetap membuka pintu penafsiran bagi para
penafsir. Beberapa penulis seperti Theopilus dan Lactantius, percaya bahwa kata ini
berasal dari istilah ibrani sheba‘, yang berarti tujuh; namun ‘ayin yang dipergunakan
disini merupakan konsonan kuat, oleh karena itu, etimologi ini mustahil dipergunakan.
Ada juga yang tetap mempertahankan kata Sabbath sebagai “tujuh” yang diambil dari
bahasa Akkadian shibbitu yang berarti lipat tujuh dan shappatu yang berarti tujuh.
Namun testimoni ini sulit dipakai karena kebanyakan institusi religi Ibrani berkorelasi
dengan Mesopotamia dan bukan Akkadian (walaupun dua bangsa ini menempati daerah
yang sama). Dalam etimologi Ibrani, shabah berarti berhenti (intransitive); hari dimana
manusia berhenti bekerja. Namun formasi dari kata benda (shabbath) ini jadi tidak
berurutan atau irregular; akibatnya bentuk regular term ini menjadi Shebeth yang
mempunyai pengertian aktif; sedangkan shabbath tidak memiliki pengertian aktif yang
mensignifikasi transitivnya. Jika begini, lantas arti Sabbath apa?
Jika etimologinya sudah sedemikian sulit, maka asal muasal institusi ini rupanya
lebih sulit lagi. Dengan mempelajari bahwa kalender Sabbath ini sudah ada dan
dipraktekkan jauh sebelum Israel berinteraksi dengan Babilonia, maka sulit jika institusi
ini dikatakan berasal dari Babilonia. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Israel
mengadopsi dari orang Kanaan ketika mereka mulai menetap di daerah ini? Sampai saat
ini tidak ada informasinya. Demikian juga hipotesis yang memperkirakan Sabbath
diperoleh Israel dari suku Keni saat mereka ada di padang gurun, tetap sulit dibuktikan
karena hipotesis ini memiliki kelemahan disana sini. Namun demikian, Sabbath bisa
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

dikatakan bukan asli milik Israel, konsep ini berasal dari luar Israel yang tidak bisa
ditentukan dari bangsa mana dan sejak kapan diadopsi.
Akan tetapi, dari manapun asal dan etimologinya, Sabbath memiliki arti khusus
dalam insitutusi ibadah Israel. Dalam bentuk originalnya yang ada dalam dekalog, berita
Sabbath tidak mendapat komentar. Baru pada hari kemudian, motive dimasukkan,
namun motif ini merefleksikan dua latar belakang yang berbeda dalam pemikirannya,
yaitu:
 Dalam Ulangan 5: 14b-15, Manusia dan social aspek mendapat perhatian serius
dalam konteks “beristirahat.” Sabbath dalam bagian ini juga dihubungkan dengan
sejarah keselamatan (Ul.5:15), dimana Israel dibawa ketanah perjanjian tempat
mereka beristirahat dan menemukan menuhah setelah mengalami perbudakan di
Mesir dan penderitaan di padang gurun (Ul.6;23).
 Keluaran 20:11, menambahkan dekalog dengan statement; karena Yahweh
membutuhkan 6 hari untuk membuat langit, bumi, laut dan semua isinya, dan
pada hari yang ketujuh ia beristirahat. Itulah sebabnya Yahweh memberkati hari
Sabbath dan menguduskannya. Koneksi antara penciptaan dan sabbath dibangun
dalam hukum yang tercatat di Keluaran 31:12-17, dan berasal dari tradisi Priest:
Sabbath merupakan tanda kekal antara Yahweh dan umatnya dalam ikatan
perjanjian yang kekal karena Allah telah menguduskannya.

Kedua motif ini berhubungan dengan ikatan perjanjian: perbedaannya


adalah Ulangan melihat aspek manusia perjanjian, sedangkan Keluaran
menekankan kepada Allah perjanjian. Posisi terakhir ini lebih bersifat telogis, dan
sebagai konsekuensinya Priests tradition menekankan karakter religius pada Sabbath
(Im.23:3,38; Kel.31:15; 20:11; Yes.58:13-14; Yer.17:19-27, dll).
Setelah pembuangan, Yahudi melihat Sabbath sebagai hari perayaan yang harus
dimuliakan (Yes.58:13); korban khusus mulai diberikan di bait suci yang disertai dengan
penambahan aturan-aturan baru. Aturan-aturan ini pada masa Makkabe semakin
diperketat untuk dijalankan seluruh umat Yahudi saat itu. Bahkan pada masa Yesus,
orang Farisi masih menambah banyak items dalam frame Sabbath yang justru memberi
beban baru bagi umat (Yoh. 5:10; Mark.3:2; Luk. 13:14; Mat.12:2; Kpr.1:12). Yesus
sendiri tidak mengutuk Sabbath (Luk.4:16; Mat.24:20), namun ia mengutuk pikiran
sempit dari para regulator sabbath tersebut (Mark.3:4; Luk.13:15-16). Bagi Yesus,
Sabbath dibuat untuk manusia bukan sebaliknya (Mark. 2:27)! ik Setuju.

Bab 17: The Ancient Feasts of Israel


Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

Ada empat perayaan besar di Israel kuno yang dihubungkan dengan ziarah ke
Yerusalem yaitu: Perayaan Paskah, Perayaan Roti tak Beragi, Perayaan Tujuh Minggu,
dan Tabernakel.
1) Perayaan Paskah. Kata Ibrani untuk paskah adalah pesah.14 Jika kita
meninggalkan etimologinya, kita mendapati bahwa Perayaan Paskah Israel tidak pernah
mengandung nuansa Pengampunan atau penebusan dosa. Paskah merupakan ritual yang
biasa dilakukan para gembala. Merupakan bentuk perayaan yang biasa dilakukan oleh
orang nomad atau semi nomad, dimana tidak ada altar, tidak ada imam, dan darah
memainkan peran yang sangat penting (sama seperti perayaan yang biasa dilakukan orang
Arab). Teks alkitab yang paling jelas menegaskan paskah nampaknya bersumber dari
Priestly dan Yeh.45:21. Selain itu kita hanya bisa yakin bahwa Paskah merupakan ibadah
sangat kuno dari masyarakat kuno yang pada akhirnya dimiliki orang Israel.
2) Perayaan Roti Tak Beragi. Kata Ibraninya adalah massoth yang berarti tidak
beragi atau tidak difermentasi. Referensi perayaan ini terdapat dalam kel. 23:15; 24:18.
Perayaan ini sangat bernuansa Kanaan: para petani berkumpul ditempat suci seperti
Sikhem dan Bethel pada masa gandum dituai untuk berpesta dan menikmati hasil-hasil
pertanian dan perkebunan lainnya. Semua yang beragi tidak diijinkan karena hasil panen
yang baru tidak boleh dicampur dengan yang lama. 15 Awalnya seluruh persembahan dan
ucapan terima-kasih karena telah diberikan tanah yang subur dan hasil panen baik
diberikan kepada Ba’al. Konsep ini kemudian diadopsi orang Israel dengan membuat
perubahan sana-sini. Pertama, seluruh perayaan ditujukan kepada Yahweh saja, kedua,
penggantian nama tempat dimana perayaan tersebut diadakan (Kel. 23:19, menyebut
mengenai rumah Tuhan), dan ketiga, Historisasi perayaan ini disangkutkan sebagai
bagian dari perayaan Israel.16 Semua tradisi Pentatuk menghubungkan perayaan Roti
Tidak Beragi (Kel.23:15;34:18; Ul.16:3), atau Paskah (Ul.16:1,6), dan Keluaran 12:23-27
dan 39 (tradisi Yahwistik), serta Keluaran 12;12-13, 17 (tradisi Priestly), dengan keluaran
dari Mesir. Teks yang paling jelas terdapat dalam Keluaran pasal 12.
3) Hari Raya Tujuh Minggu. Hari raya ini ditandai dengan suatu sukacita; karena
masyarakat dengan gembira mempersembahkan korban wajib maupun sukarela, termasuk
hasil sulung panen mereka. Nuansa perayaannya yang agrikultur khas Kanaan
mengindikasi perayaan ini di adopsi dari penduduk sekitar Israel dan diberi nuansa
Yahwisme. Walaupun perayaan ini dihubungkan dengan sejarah keselamatan (Kel.19:1),
tetapi dalam masyarakat ortodox Yahudi, pesta ini hanya merupakan perayaan sekunder,
sebab dalam Misnah, perayaan ini menempati posisi sekunder dalam pembahasan.
4) Perayaan Tabernakel (tent). Dalam bahasa Ibrani perayaan ini disebut Sukkoth
(Ul.16, Im.23, Esd.3:4). Ini merupakan perayaan paling penting dan paling ramai dari
14
Sulit untuk menyimpulkan arti dari kata ini, karena etimologinya masih hangat dalam perdebatan.
15
John H, Walton, Chronological and Background Charts of the Old testamens, (Grand Rapids, Michigan:
Zondervan Publishing House, 1994), Hal. 19
16
John Pedersen, Israel It’s Life and Culture, (London, Oxford: University Press, 1926), Hal. 40-60
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

model perayaan-perayaan sebelumnya yang diselenggarakan sekitar bulan September-


Oktober (Kel.23:16 bd Kel 34:22).17 Karakter dari perayaan ini adalah pesta petani saat
mengumpulkan hasil panen yang diproduksi di ladang. Kraus menyebutnya sebagai hag
hasokkah (festifal pondok daun), yang dikemudian hari diberi nuansa Yahweh dengan
berganti menjadi hag yhwh.18 Nuansa perayaannya yang khas Pertanian ini
mengindikasikan bahwa perayaan ini juga diambil oleh masyarakat Israel dari orang
Kanaan dengan bentuk lamanya hag hasokkah, yang dikemudian hari diberi nuansa hag
yhwh yang khas Israel.
Sama seperti perayaan-perayaan sebelumnya, perayaan ini juga dimasukkan
dalam sejarah keselamatan: Israel harus hidup di hut (Sukkoth), dalam memori bahwa
Yahweh juga membuat nenek moyang mereka tetap hidup di Sukkoth saat di padang
gurun. Namun ini bukanlah pengertian utama karena Israel hidup di tenda saat dipadang
gurun. Hut disini nampaknya gambaran Israel yang sudah settle di Kanaan yang
kemudian dikorelasikan dengan cerita Yakub yang membuat rumah dan hut (Kej.33:17).

Bab 18: The Later Feasts


Pada bagian terakhir ini, masih ada banyak perayaan dalam liturgy Israel , namun
penulis hanya memasukkan tiga perayaan yang dianggap penting dan masih dipraktekkan
pada masa-masa akhir Perjanjian Lama (bahkan sampai saat ini), yaitu: Atonement,
Hanukkah, dan Purim.
1. Perayaan Atonement. Perayaan ini dimulai dengan puasa dan pengakuan dosa
yang dilanjutkan dengan mengadakan sharing di bait Allah, disertai dengan memberikan
persembahan khusus seperti kerbau atau sapi untuk penebusan dosa.
2. Perayaan Hanukkah. Perayaan ini disebut perayaan “dedikasi atau pembaharuan.”
Latar belakang perayaan ini adalah penyucian kembali bait suci Yerusalem karena telah
dinodai oleh Antiokus Epifani yang mendirikan altar Zeus di bait Allah ketika ia
menguasainya. Setelah Makkabe berhasil menguasai kembali tempat ini, ia langsung
mendirikan kembali altar yang baru dan mengadakan upacara penyucian (1 Mak.1:54;
Dan.9:27; 11:31). Hari inilah yang dikenal selanjutnya sebagai hari raya Hanukkah.
3. Perayaan Purim. Latar belakang perayaan ini adalah peristiwa yang dialami
Esther dan Mordechai. Orang Israel tiap tahun merayakan Purim untuk memperingati
terbebasnya mereka dari rencana jahat Haman dengan datang ke bait Allah membacakan
kitab Esther, dan pada bagian akhir segenap umat bersama sama mengucapkan kutukan
“terkutuklah Haman”, yang dilanjutkan dengan ucapan berkat “diberkatilah Mordechai
dan Israel.”. Pesta perayaan ini begitu meriah karena setiap rumah wajib memasang
lampu berwarna-warni selama 8 hari berurutan. Orang Israel dalam pesta ini
17
Walaupun kedua pencatatan ini menunjukkan pertentangan, namun tidak perlu untuk melihat
kontradiksinya karena perayaan-perayaan seperti ini selalu dilakukan berdasarkan waktu panen yang tidak
tetap.
18
Hans Joachim Kraus, Worship in Ancient Israel, (Oxford: Basic Blackwell, 1965), Hal. 63
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

diperbolehkan untuk minum sampai mabuk sampai tidak bisa lagi membedakan antara
kalimat “terkutuklah Haman” dengan kalimat “diberkatilah Mordechai dan Israel”.
Konsekuensinya: perayaan ini sama sekali tidak bersifat religius; apalagi memiliki
karakter religius.
Kesimpulan

Buku kedua De Vaux Religious Institutions dimulai dengan pembahasan


mengenai Semitic sanctuaries, yang di dalamnya termasuk membahas mengenai beberapa
tempat yang dikategorikan “sacred” baik oleh orang Israel maupun non Israel seperti;
Bethel, Sikhem, Bamoth, serta sanctuaries yang tersebar di sekitar Asia Timur dekat.
Pembahasan ini sangat sistematis karena De Vaux pertama-tama membahas beberapa
kultus yang menjadi milik orang Israel saat mereka telah di Kanaan, namun tempat-
tempat ini sebetulnya milik orang Kanaan. Tempat-tempat tersebut misalnya seperti
Gilgal, Shiloh, Giobeon, Oprah, Jerusalem, Dan, serta Oprah.
Pembahasan dilanjutkan dengan berfokus kepada bait suci yang berada di
Yerusalem. Dalam hal ini De Vaux jelas menggunakan pendekatan Sosial-Antropologi
ketika ia membahas mengenai bait suci Salomo; sejarah maupun teologinya. Nuansa
Politis juga coba ia gambarkan ketika memasuki pembahasan mengenai sentralisasi bait
suci yang dilakukan oleh Salomo dan diulang kembali olah Yosia. Penguasaan politis ini
digambarkan De Vaux mendapat perlawanan dari kaum Israel yang diwakili Jeroboam
dengan mendirikan kultus tandingan di Bethel dan Dan. Penulis berkeyakinan bahwa
kultus di Dan dan Bethel ini sebetulnya tetap beroperasi saat salomo menjadi raja Israel
dan Yehuda. Jeroboam hanya menempelkan symbol yuridis saja saat ia
memproklamirkan kedua sanctuaries tersebut, selain tentu saja secara politis-ekonomis ia
tidak mengakui Yerusalem sebagai satu-satunya tempat Yahweh hadir.
Nuansa politis-ekonomis ini semakin kental diperlihatkan De Vaux ketika ia
sudah masuk dalam pembahasan berita dari sumber Deuteronomis dan Priestly mengenai
bait suci dan officenya. Berita dari kedua sumber ini yang mewakili Yehuda jelas
memperlihatkan diskredisasi terhadap mayoritas sumber berita Israel. Hal ini bahkan
semakin jelas terlihat ketika membahas keimamatan di bait suci. Dalam berita
Deuteronomis dan Priestly, secara gamblang De Vaux memperlihatkan diskriminasi yang
diberitakan penulis-penulis Yehuda mengenai peran kaum Lewi. Mereka lebih tertarik
membahas para imam yang diwakili wangsa Zadoq sebagai agen resmi kerajaan dalam
hal oracles torah. Konsekuensinya, posisi para imam dengan kaum Lewi (yang juga bisa
berperan sebagai imam) menjadi berbeda karena ternyata orang Israel membedakan
dengan tajam para Imam dan kaum Lewi. Sebaliknya berita Tawarikh yang lebih
condong kepada Israel justru menempatkan kaum Lewi diposisi yang lebih penting.
Teologi Perjanjian Lama II
Dr. Marthin Steven Lumingkewas, M.Div

Pada bagian selanjutnya, pembahasan mengarah kepada sistem keimamatan


setelah pembuangan dan ritual-ritualnya. Nampaknya sistem keimamatan setelah
pembuangan memiliki perbedaan signifikan dengan sebelum pembuangan dalam fungsi
dan perannya. Garis besarnya adalah sistem keimamatan post exilic lebih mengarah
kepada torah baru yang dibakukan sehingga menutup segala pintu prophesy karena semua
mengacu kepada torah sebagai catatan baku. Para imam itu sendiri secara gradual
menempatkan diri mereka menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin public.
Sedangkan sistem keimamatan pre-exilic masih mengandalkan berita prophesy selain
oracles, sekaligus mereka harus bertanggungg jawab kepada Raja.
Bentuk-betuk sacrifice juga mendapat perhatian penting disini. Dengan mengacu
kepada bentuk sacrifice post exilic, De Vaux mencoba merekonstruksi bentuk sacrifice
pre exilic. Hasilnya, ia percaya bahwa bentuk sacrifice offerings and perfumes, dan
untuk beberapa bentuk korban persembahan yang mempergunakan binatang, merupakan
suatu kontinuitas dari suatu kultus yang dipraktekkan pada masa monarki dan tetap
dipergunakan sampai pada masa setelah pembuangan, karena bentuk paling esensi dari
kultus post exilic juga ditemukan pada masa pre exilic; dengan tentunya terjadi beberapa
perkembangan misalnya; sebelum pembuangan, sacrifice komuni lebih dominant dari
korban bakaran, tetapi setelah pembuangan, korban bakaran menjadi lebih dominant dan
signifikan dalam ritual Israel. Juga kita melihat setelah pembuangan, sacrifice khusus
untuk penebusan dosa berkembang dan pada akhirnya nilai penebusan dosa ini dilekatkan
kepada ritual korban bakaran (Im.1:4); selain itu juga melihat hubungan antara korban
sayur-sayuran dengan korban komuni lebih diperjelas; dan untuk korban persembahan
wewangian, ada percampuran baru yang dijelaskan, dimana bentuk dan penamaannya
diperbaharui. Perubahan-perubahan ini walaupun di beberapa segi kelihatan ekstrim
namun masih terikat korelasi dengan bentuk ancient sacrifice sebelumnya.
Bagian terakhir yang dibahas De Vaux adalah beberapa pesta perayaan seperti:
Perayaan Sabbath, Perayaan Tabenakel, Perayaan Tujuh Minggu, Perayaan Atonemen,
Hanukah, Purim, dan lain sebagainya. Yang menarik disini adalah, ternyata sebagian
besar Perayaan itu (semuanya) tidak bisa dikatakan origin Israel; melainkan diperoleh
dari bangsa lain (Kanaan) ketika bangsa ini harus beradaptasi dengan bangsa-bangsa
sekitarnya. Dibagian inilah secara explicit pendekatan Sosial-Antopologi De Vaux
memperlihatkan hasil nyata.

Anda mungkin juga menyukai