Anda di halaman 1dari 3

BAB III

PENUTUP

I. Pendapat

Sebagai seorang sejarawan serta seorang teolog yang telah mengkaji sejarah
keagamaan, Mircea Eliade memaparkan pemikirian bahwa inti suatu agama terdapat
pada dialetikany (hubungan “cause and effect”) antara sakral dan profan. Bagi
masyarakat Barat dan Timur dua hal ini berbeda. Baig masyarakat Barat, Sakral dan
Profanitas merupakan suatu hal yang kontradiktif dan tidak dapat di satukan. Bagi
masyarakat Timur baik Sakral dan Profanitas merupakan satu kesatuan yang
menciptakan sinergisitas. Penjelasan Eliade dapat dilihat dalam bukunya ​The Sacred
and The Profane ​dan ​Pattern in Comparative Religion. ​Buku dibuat berdasrkan pada
pembelajaran Eliade terhadap agama-agama dalam konteks tempat, waktu dan alam
yang berbeda.

Sebutan “sakral” bagi Eliade merupakan suatu penjelasan yang paling cocok
dalam beraga. Menurutnya, agama dan beragama adalah pengalaman pada apa
yang disebut dengan Yang Sakral. Jika kita menekuni kehidupan orang yang
beragama, maka kita akan menemukan bahwa dunia ini penuh dengan hierofani.
Bagi manusia beagama Yang Sakral akan menampakkan diri pada bena-benda
dunia. Dalam konteks ini kita melihat dari sisi sejarah agama dari yang paling
pra-sejarah sampai yang paling modern dan setiap agama mengakui bahwa adanya
hierofani pada tiap agama dari yang paling dasar sampai yang paling tertinggi.

Meski kesimpulan Eliade terluat kontradiktif, Eliade tidak mempunyai maksud


untuk merdekusi tentang Yang Sakral dan Yang Profan. Bagi Eliade setiap agama
memiliki konsep tersendiri mengenai bagaimana Yang Sakral dan Yang Profan
secara nyata. Penambahan dari Eliade menyimpulkan bahwa Yang Sakral adalah
suatu pengalaman atau area yang takhayul atau supernatural, sesuatu yang luar
biasa dan tidak mudah terlupakan. Yang Sakral dalam arti luas, tidak selalu
berhubugnan dengan agama, ia bisa saja berbentuk sebagai suatu bentuk material
yang dapat dirasakan, didengar ataupun dilihat melalui media pengalaman (tindakan,
tempat, kebiasaan yang dianggap sakral).

II. Sakralitas

Dalam hubungannya dengan Yang Sakral Eliade membagi fenomena ini


menjadi tiga bidang, di antaranya:

1.) Sakralitas ruang.


Bagi manusia beragama, ruang tidak selalu sama sebab ada
ruang-ruang tertentu yang dianggap sakral, yang makna dan energinya
berbeda dengan ruangan yang lain. Dari kesakralan ruang ini maka ruang ini
memiliki struktur serta keteguhan sendiri. Pemahaman manusia modern
justru berbeda dnegna manusia beragama. Bagi manusia modern, suatu
ruangan memiliki kesamaan dan netralitas. Akan tetapi mereka juga tetap
memberikan pemaknaan spesial terhadap tempat tertentu seperti, tanah
kelahiran ataupun tempat yang memberikan memori tertentu.
Ruang yang sakral sungguh dihayati oleh kaum beragama karena
ruang sakral itu memberikan pendasaran bagi dunia (​kosmisasi), ​dan diyakini
sebagai poros dunia ​(axis mundi).​ Ruang suci seperti, masjid, gereja, kuil,
gunung maupun langit dan laut. Manusia beragama tidak akan menempati
ruang terntu bila tidak ditemukannya sinegisitas antara manusia itu dengan
Yang Sakral.

2.) Sakralitas Waktu


Seperti halnya ruang, walaupun tidak selalu sama. Waktu juga dibagi
atas dasar yang Sakral dan Profan. Menurut Eliade, perbedaan hakekat
kedua waktu adalah waktu yang sakral sifatnya reversibel, atau dapat diulang
kembali sedangkan waktu profan adalah waktu yang tidak dapat diulang
kembali dan telah terjadi. Waktu sakral bukan berdasarkan pada waktu
historis melainkan pada pendasaran kita terhadap waktu. Waktu sakral itu
muncul ketika dewa-dewa melakukan kontak secara langsung dengan dunia
melalui perbuatan-perbuatan nya.

3.) Sakralitas Alam


Banyak hierofani yang terjadi pada alam. Dan beberapa hierofani
yang penting, seperti berikut: Langit; merupakan hierofani yang diyakini
sebagai rumah Yang Maha Kuasa yakni surga. Langit juga lambang
keabadiaan karena ia tidak pernah berubah. Kemudian Matahari; merupakan
simbol religius kuno. Ia diyakini pemberi terang, yang kemudian dimisalkan
dengan arti kelahira Yesus dimana Yesus merupakan matahari yang tak
terkalahkan. Selain langit dan dan matahari, batu juga disakralkan. Batu bagi
sebagian melambangkan kekuasaan dan kemuliaan serta keabadiaan sebab
ia tegak lurus, kokoh dan tanpa waktu perubahan. Terakhir salah satu
sakralitas yang paling penting adalah Bumi. Bumi diberbagai suku diakui
sebagai ibu pertiwi sebab ia memungkinkan adanya kelahiran.

III. Kesimpulan

Dalam pemikiran Eliade diatas, baik lebih ataupun kurangnya terdapat pemikiran dan
perspektif terhadap tata kelakuan ​homo religious​ itu yang rasanya terlalu hati-hati serta
pemahaman kurang luas. Pemikiran Eliade didasarkan pengalaman historikal dan masanya
dalam menempuh kehidupan Hinduisme akan tetapi sebagai seorang teolog yang bersifat
“Universal”, Eliade kurang memperhatikan aspek-aspek agama-agama lain dari berbagai
dunia terutama pada agama-agama Timur.

Akan tetapi, berdasarkan berbagai pengalaman religius akan yang sakral itu. Dapat
disimpulkan pemikiran Eliade bila dipahami lebih dalam lagi memberikan suatu sumbangan
berharga bagi dunia yang tengah mengalami kehancuran dari berbagai sisi. Bagaimana
manusia beragama menghormati lingkungan, suku dan ras sebagai rumah tinggal dan
bagian kreasi Yang Maha Kuasa menjadi motivasi bagi manusia untuk lebih akrab dan
bertoleransi terhadap sesama.

Anda mungkin juga menyukai