Anda di halaman 1dari 5

Manusia Sebagai Homo Religiosus

Manusia pada dasarnya merupakan homo religiosus, manusia religius, menurut

Mircea Eliade.1 Presuposisi inilah yang menjadi dasar bagi penyelidikan filosofis

selanjutnya tentang manusia. Homo religiosus yang dimaksudkan di sini,

nantinya, merujuk pada konsepsi ‘manusia kuno’ (archaic human) yang menjadi

model arketipe (ideal) bagi manusia religius. Kemudian Eliade akan

membandingkan manusia kuno (MK) dengan manusia modern (MM) sebagai

oposisinya. Dualitas konsep ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan suatu

modus vivendi, pandangan dunia, bagi masing-masing tipe manusia di atas; serta

mengindikasikan perangai masing-masing manusia zamannya. MK mewakili

pandangan dunia ‘yang kudus’; sebaliknya, MM merepresentasikan ‘yang profan’.

Pembedaan tersebut sebenarnya tak terlalu sulit untuk dipahami. Apabila

MK meyakini bahwa fenomena, kenyataan yang menampakkan diri, sebagai

manifestasi dari Yang Kudus. Karenanya, realitas yang riil adalah Yang Kudus itu

sendiri, dan bukanlah kenyataan kasat mata. Sehingga kegiatan yang dilaksanakan

MK, intensinya untuk memanggil Yang Sakral. Sementara MM memiliki

paradigma positivistik, yang karenanya, semua peristiwa atau pengalaman

individual direduksi ke dalam kategori saintifik. Sehingga semua kegiatan

1
Sebagai catatan, Eliade bukanlah seorang reduksionis ketika mengkaji agama. Ia enggan untuk
memaparkan agama secara fragmentaris (terpotong-potong), misalnya mendefinisikan perilaku
keagamaan menurut hubungannya dengan ekonomi, politik, atau budaya tertentu, yang melihat
agama ‘dari luar’. Eliade melakukan pendeketan yang sama sekali lain. Dia menganalisa agama
secara fenomenologis, dalam arti menelusuri apa yang esensial daripada agama itu sendiri. Atau,
memahami agama ‘dari dalam’ sebelum dilakukannya segala mecam refleksi konseptual atasnya
(baca= agama).
manusiawi MM haruslah bisa diverifikasi secara positif untuk dinyatakan sebagai

benar-benar riil: realitas didesakralisasikan habis-habisan.

Sesungguhnya MK ini haus akan kekuatan dan realitas. Realitas yang

dimaksud di sini, ialah realitas lain yang mengatasi atau melampaui ruang dan

waktu duniawi. Waktu yang kerapkali dipahami sebagai serangkaian jam demi

jam, hari demi hari, dan seterusnya.2 Tapi, bukan waktu [dan ruang] seperti itulah

yang dicita-citakan MK. MK mengidamkan suatu kesadaran yang meta-historis.

Artinya, manusia kuno (baca= religius) percaya bahwa terdapat kenyataan

adiduniawi yang dapat diakses melalui ritual atau bacaan tertentu, sederhananya,

melalui prosesi sakral. Sehingga pelaku tersebut mampu mencapai alam kudus

yang menunjukkan hirofani, hierophany (manifestasi daripada Yang Kudus).3

Entah hirofani itu mengejawantah dalam bentuk berkat tertentu atau penampakan

alamiah semisal hujan atau angin kencang. Selain menginginkan perasaan ekstase

yang demikian itu, MK juga memiliki keunikan lain terkait ruang dan waktu.

Ciri khas lainnya dari religiositas manusia kuno terletak pada sakralisasi

ruang dan waktu tertentu. Misalnya, pengudusan hari Jum’at atau Minggu, di

mana di hari-hari tersebut umat kuno merayakan ritual tertentu menyambung

datangnya Yang Kudus. Karakteristik seperti ini, bagi Eliade, dapat kita temukan

dalam pola kehidupan manusia modern, misalnya perayaan tahun baru,

mengadakan demonstrasi pada hari buruh, dan lain sebagainya. Karenanya, bagi
2
Dalam istilah Heidegger disebut dengan ‘waktu vulgar’, vulgäres Zeitverständnis, yang
dimengerti sebagai konsepsi banal tentang waktu. Sederhananya, waktu yang telah terkalkulasikan
seperti ’24 jam’, ’30 hari’, ‘lama’, ‘sebentar’, dan semacamnya.
3
Eliade, M. (1957) The Sacred and The Profane: The Nature of Religion (Terj. oleh Willard R. Trask). New
York: Harvest, Brace & World., hal. 151.
Eliade sendiri tidak ada manusia yang sepenuhnya profan (keduniawian, hubb al-

dunya), selalu dapat ditemui secercah atau bahkan satu percikan spiritualitas pada

manusia.4

Implikasi dari pembedaan ini terletak pada bagaimana dua tipe manusia itu

menghadapi kenyataan. Bahwa MM tidak mampu mengelak dari teror sejarah dan

kejahatan. MM merasakan dirinya terbelenggu oleh sejarah, karenanya gerak

perjuangan mereka sebenarnya untuk menaklukkan teror sejarah mereka sendiri.

Itulah mengapa MM, pada nantinya, takluk terhadap sejarah tertentu. Ini

dibuktikan misalnya dalam teori sejarah atau filsafat, di mana dirumuskan suatu

teori untuk menghadapi problem spesifik seperti soal pembagian kerja atau

stratifikasi sosial, yang ujung-ujungnya menawarkan solusi yang tidak

memuaskan.5 Alih-alih tunduk pada teror demikian, MK optimis menghadapi

segala rintangan di hidupnya tanpa penderitaan sekalipun. Ini dikarenakan mereka

memercayai kalau Yang Kudus memberinya kekuatan, bahkan kekuatan untuk

menghadapi peristiwa yang kejam. Sebab MK mempunyai keyakinan kuat,

apabila alam semesta ini pada mulanya merupakan kosmos (keteraturan) yang

diciptakan oleh Yang Kudus.6

4
Mirdamadi, Y. (2015) “The Plurality of the Sacred—Critical Remarks on Mircea Eliade’s
Conception of the Sacred”, dalam Open Journal of Philosophy, vol. 5. UK: University of
Edinburgh., hal. 398.
5
Ibid., hal. 399.
6
Bdk. Sastrapratedja. M. (2008) “Manusia dalam Bahasa Mitik-Simbolik”, dalam Dunia,
Manusia, dan Tuhan: Antologi Pencerahan Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.,
hal. 127.
Dari paragraf di atas dapat diambil kesimpulan kalau, manusia modern

menawarkan solusi teoritis historis, sementara manusia kuno menghadirkan

keyakinan meta-historis kuat kalau dirinya mampu melampaui persoalan duniawi

apapun bentuknya. Karenanya, Eliade memberikan sikap kalau menganggap

apakah kepercayaan seperti itu fiktif dan/atau irasional, relevan atau tidak, tidak

menjadi persoalan lagi. Baginya apa yang penting, ialah:7

…by virtue of this view, tens of millions of men were able, for century

after century, to endure great historical pressures without despairing,

without committing suicide or falling into that spiritual aridity that always

brings with it a relativistic or nihilistic view of history.8

7
Op. Cit., hal. 399.
8
Eliade, M. (1957) The Sacred and The Profane: The Nature of Religion., hal. 151.
Referensi

Eliade, M. (1957) The Sacred and The Profane: The Nature of Religion (Terj.
oleh Willard R. Trask). New York: Harvest, Brace & World., hal. 151.
Mirdamadi, Y. (2015) “The Plurality of the Sacred—Critical Remarks on Mircea
Eliade’s Conception of the Sacred”, dalam Open Journal of Philosophy,
vol. 5. UK: University of Edinburgh., hal. 398-9.
Sastrapratedja. M. (2008) “Manusia dalam Bahasa Mitik-Simbolik”, dalam
Dunia, Manusia, dan Tuhan: Antologi Pencerahan Filsafat dan Teologi.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius., hal. 127.

Anda mungkin juga menyukai