eISSN : 2798-4931
Abstract
Culture is a contemporary issue that has received the attention of the
Church in mission. The GPID is a mainstream church with ethnic and
ethnic diversity. The author uses the theory of Robert J. Schreiter to
bring together the diverse cultures of the mission approach. This type
of research is library research and the method used is a qualitative
analysis of ethnic and ethnic diversity in carrying out missions. In
carrying out a mission, there are several things that need to be
considered by the church in the context of religion and culture, the
context of poverty, the context of injustice and Intercultural Theology
are things that need to be done in the context of missions in
conducting meetings with religion, theology, and with other churches.
Keywords: Donggala Protestant Church, mission, culture,
intercultural theology
Abstrak
1
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
2
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
bangsa dan negara menuju kehidupan nama GPID, jika sebelumnya gereja ini
yang adil, sejahtera, bersatu sesuai diberi nama Gereja Protestan Indonesia
dengan kesaksian Alkitab3 Di Donggala, maka kata ”di” dihapus.
Pada waktu lahirnya sebagai satu Kemudian nama gereja ini menjadi
Sinode Mandiri, pelayanan GPID Gereja Protestan Indonesia Donggala.6
meliputi 6 wilayah, 48 jemaat yang terdiri Kata Donggala menunjuk pada
dari 1933 KK dan 11. 600 jiwa. Keenam tempat dimana GPID melakukan
wilayah tersebut dilayani oleh 8 orang pelayanannya meskipun disaat sekarang
Pendeta dan 3 orang Guru Injil. Sekarang daerah Donggala (dulunya Kabupaten
GPID tersebar di wilayah pelayanan Donggala) sudah mengalami banyak
Sulawesi Tengah meliputi 4 kabupaten pemekaran akan tetapi GPID tetap
dan 1 kotamadya. Empat Kabupaten itu memakai nama Donggala tidak
adalah Kabupaten Donggala4, Kabupaten menggantinya dengan kata Palu sebagai
Poso, Kabupaten Parigi-Moutong dan ibukota Sulawesi Tengah. Hal ini
Kabupaten Sigi serta Kotamadya Palu berkaitan dengan GPID mau menghargai
(yang diasumsikan sebagai pusat karena “sejarah” karena pada awalnya terbentuk
Kantor sinode bertempat di Kota Palu). daerah Donggala-lah yang menjadi pusat
Jemaat GPID terus berkembang, tercatat dimana pelayanan GPID dimulai. Pada
Jemaat GPID berjumlah 176 jemaat dan mulanya, sebelum adanya pemekaran-
41 ribu jiwa warga jemaat dan dilayani pemekaran daerah secara khusus di
oleh 119 pendeta aktif dan 11 orang Sulawesi tengah, daerah yang meliputi
vikaris5. Pada tahun 1969 dalam Sidang Kabupaten Donggala, Sigi, Parimo dan
Sinode GPID diputuskan perobahan kota Palu merupakan satu daerah
pemerintahan yang dikenal dengan
3 ”Daerah Donggala”. Daerah Donggala
Lihat Tata Gereja GPID tahun 2003 Bab II pasal
5.
4 6
Dongga seperti yang sampaikan sebelumnya Alasan utama penghapusan kata “di” pada nama
dulunya menjadi pusat dan sebagai induk dari GPID adalah karena seringkali menimbulkan
dua kabupaten yang lain yaitu, kabupaten Parigi- interpretasi yang keliru dengan memahami
moutong dan kabupaten Sigi dan juga kotamadya bahwa gereja ini hanya terdapat di Donggala
Palu. saja. Padahal pada GPID sendiri melayani bukan
5
Data berdasarkan laporan LITBANG (penelitian hanya di Donggala saja melainkan di Kabupaten
dan pengembangan) GPID pada waktu perayaan Donggala. Selanjutnya kata “Donggala” diartikan
Yubelium GPID bersinode tanggal 4 April tahun bukan lagi menunjukkan tempat tetapi adalah
2015. sebuah nama
3
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
inilah yang kelak merupakan daerah di mula dilakukan oleh beberapa orang
mana GPID melayani hingga masa kini7. warga GPID yang berasal dari Abo8 yang
Meskipun pada beberapa kali sidang merantau ke Kalimantan sebagai pencari
sinode baik itu sidang tahunan ataupun rotan. Sesampainya di Kalimantan orang-
sidang Am, isyu untuk perubahan nama orang ini kemudian berbaur dengan
tetap ada, akan tetapi dalam masyarakat setempat dan mulai
perkembangannya hingga sekarang GPID memberitakan Injil kepada mereka yang
tetap konsisten dengan mempertahankan pada masa itu masih memeluk agama
nama Donggala. suku. Kemudian tahun 1982 GPID
menyanggupi permintaan warga GPID
GPID dan Keberagaman Budaya yang telah merasa berhasil mengabarkan
Injil di Kalimantan dengan mengutus Pdt.
Seperti telah disampaikan diatas salah I Gusti Bagus Sudiadjana untuk
satu keunikan sinode GPID adalah warga membabtis 89 orang suku Dayak.
jemaat yang berlatarbelakang dari kurang Selanjutnya GPID menempatkan tenaga
lebih 35 suku dan sub suku yang ada di pelayan untuk memelihara jemaat
Indonesia. Hal ini tentu tidak lepas dari tersebut. Jemaat tersebut malah
sejarah pelayanan dan sejarah pekabaran berkembang dengan pesat sehingga
Injil yang terjadi di wilayah Sulawesi kemudian menjadi dua jemaat yang
tengah. Bertambahnya jumlah jemaat mandiri9. Di samping itu, pertumbuhan
tersebut tidak terlepas dari upaya jumlah jemaat dan pelayan juga terjadi
pekabaran Injil yang dilakukan, baik oleh akibat arus transmigrasi yang terus
pelayan-pelayan Khusus maupun oleh meningkat ke daerah Donggala baik yang
warga jemaat sendiri[65]. Bahkan dalam diprakarsai pemerintah maupun dalam
sejarahnya, GPID pernah membuka transmigrasi spontan. Misalnya saja
wilayah pekabaran Injil di Kalimantan
timur, tepatnya di Kabupaten Kutai. 8
Abo adalah salah satu wilayah pelayanan GPID
yang terletak di daerah pesisir pantai barat
Pekabaran Injil di tempat tersebut mula-
Sulawesi tengah.
9
Karena faktor geografis yang sangat jauh dan
terbatasnya dana yang dimiliki GPID, maka
7
http://pendeta- jemaat GPID yang terdapat di Kalimantan
bendrio.blogspot.co.id/2012/01/sejarah-singkat- tersebut dikemudian hari diserahkan kepada
gereja-protestan.html GPIB.
4
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
pada tahun 1968 jumlah transmigrasi dari begitu banyak etnis dan suku. GPID
meningkat tajam di daerah Parigi selatan mempunyai jemaat yang terdiri dari 90-
tepatnya di Tolai. Ternyata transmigrasi 100 % orang bali, yang anggotanya
ini diprakarsai oleh seorang kepala desa bersuku Toraja, yang anggota atau
yakni Tumakaka. Ternyata para peserta warganya bersuku Minahasa, dan ada
transmigrasi ini sebagian besar adalah juga yang bersuku Sangihe-Talaud serta
orang-orang Kristen dari Bali, maka ada juga yang anggotanya bersuku Jawa
setelah mereka tiba di daerah Donggala serta jemaat yang dalam satu jemaat
yakni di Parigi selatan mereka kemudian anggotanya beragam suku belum di
11
menjadi warga GPID dan ada juga yang tambah dari jemaat yang anggotanya
menjadi warga GKST Program suku dan sub suku lokal Sulawesi tengah.
transmigrasi selanjutnya seperti Hal ini menjadi tantangan
transmigrasi dari Pulau Jawa yang tersendiri bagi pendeta ketika menjadi
ditempatkan di Tirtasari, Kota raya dan bagian pelayanan GPID. Karena lulusan
transmigrasi lokal pada tahun 1977 dalam Pendeta GPID berasal dari latar belakang
kerja sama dengan PGIW Sulutteng yakni yang juga cenderung Hybrid berasal dari
mereka yang kemudian ditempatkan di suku yang berbeda dan juga tradisi yang
Sigega. Selain dalam transmigrasi lokal berbeda akan tetapi lahir dan besar di
maupun nasional, ada juga dikarenakan daerah Sulawesi Tengah. Tantangan
migrasi karena bencana alam, seperti terbesar ketika menjadi seorang pendeta
halnya komunitas orang-orang Sangihe di sinode GPID adalah kemampuan untuk
yang terdapat di Kopi Lambunu10 beradaptasi dalam lingkup pelayanan
GPID dalam kondisi multietnisnya.
Dari penjelasan diatas sekarang
11
bisa sedikit diketahui apa yang Suku dan Sub Suku Lokal Sulawesi Tengah
diantaranya : Suku Kaili yang berdomisili di
menyebabkan warga jemaat GPID terdiri daerah Palu dan Lembah Palu, etnis suku Tajio
yang berdomisili didaerah pantai timur wilayah
utara (menagarah ke arah Sulawesi utara), etnis
10
Orang-orang Sangihe di Kopi semula adalah suku Kulawi yang bermukim di daerah lembah
pengungsi akibat meletusnya gunung merapi Kulawi, etnis suku Pendau yang bermukim di
Siau. Mereka pertama-tama mengungsi ke daerah pesisir pantai barat Sulawesi, etnis suku
Londoun di mana saudara-saudara mereka telah Mori yang bermukim di daerah kabupaten poso
lebi dulu menetap di sana, yakni sejak zaman (di wilayah Kabupaten Poso yang mayoritas
kolonial Belanda tahun 1939. Mereka termasuk terdapat jemaat GKST, GPID mempunyai 3
dalam proyek kolonisasi pemerintah Belanda. jemaat).
5
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
Tantangan ini yang bagi penulis disebut suku Tajio dan satunya lagi dari
ketika seorang pendeta atau calon sub suku lokal yang berbeda yang disebut
pendeta mampu melewatinya disitulah etnis suku Lauje13).
proses teologi interkultural terjadi. Untuk Dalam konteks ini prinsip
lebih lanjut membahas tentang hal itu “perjumpaan” menjadi kata kunci untuk
terlebih dahulu kita akan melihat dan memulai sebuah adaptasi dan proses
menelusuri model pelayanan yang Pelayanan. Kalau dihubungkan dengan
berkembang di GPID. teori Robert Schreiter kita bisa
memahami perjumpaan itu dalam
Model Pelayanan GPID penjelasan hermeneutic interkultural.
Mengakomodir Perjumpaan antar Menurut Schreiter Hermeneutik
budaya. interkultural mengisyaratkan perjumpaan
Berdasarkan pengalaman penulis dan pemaknaan budaya yang berbeda
yang menjadi Pendeta di GPID sejak terbangun melalui proses komunikasi
tahun 2006. Dengan kondisi setiap 5 interkultural. Proses ini membutuhkan
tahun mutasi12 dari satu jemaat ke jemaat penafsiran untuk melakukan komunikasi
yang lain menuntut seorang Pendeta interkultural. Hermeneutik Interkultural
untuk beradapatasi dengan kultur atau adalah upaya mengeksplorasi kondisi
budaya setempat. Dalam hal ini seorang yang memungkinkan terjadinya
Pendeta yang adalah suku A harus bisa komunikasi melintasi batas-batas
mempelajari jemaat yang terdiri dari suku perbedaan budaya. Alasannya, setiap
B yang berbeda dengan etnis dari pendeta budaya memiliki sistem dan pemaknaan
itu sendiri. Bahkan penulis pernah berbeda satu dengan lainnya.
melayani di tiga jemaat yang mempunyai
3 etnis yang berbeda (satunya jemaat 13
Jemaat dari etnis Tajio dan Lauje ini bermukim
100% dari etnis Sangihe-Talaud, satunya di pegunungan daerah pantai utara, dan
sebagaian besar berpenghasilan sebagai petani
lagi dari etnis sub suku Lokal yang yang mengolah lahan (kebun) dan juga lewat
usah mencari rotan di gunung.Dalam Pelayanan
12
GPID sesuai yang tercantum di Tata Gereja GPID jemaat suku Lauje ditetapkan sebagai
sampai periode sekarang masih dalam Jemaat Pekabaran Injil atau jemaat binaan. Akses
memberlakukan sistem mutasi pelayan yang menuju kedua jemaat ini juga sangat sulit karena
berlaku setelah sidang Am sinode (5 tahun sekali, terletak diaderah pegunungan (pengetahuan ini
mekipun juga sering kali terjadi mutasi apabila berdasarkan pengalaman pribadi penulis
ada vikaris yang baru ditahbiskan jadi pendeta) melayani didaeah ini kurang lebih 3 tahun)
6
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
7
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
8
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
oleh seorang Portugis yang bernama masyarakat lokal yang muslim. Dalam
Fransisco Le Sa yang melakukan perkembangannya pada masa
pengembaraan ke Parigi pada tanggal 26 pemerintahan Raja Magau Janggau (Raja
Desember 151716, walaupun data berjanggut) di Kerajaan Parigi orang-
tersebut dibantah oleh banyak kalangan, orang utusan dari GMIM Sulawesi Utara
namun dari sini dapat dicatat bahwa datang ke Parigi dan mengajarkan baca
kemungkinan besar daerah Parigi telah tulis kepada Raja dan keluarganya. Itulah
dimasuki oleh negara luar jauh sebelum sebabnya ketika pada tahun 1998 sempat
kedatangan kolonial Belanda. Bahkan terjadi ketegangan atau konflik SARA di
pertengahan abad ke- 17 Portugis telah daerah Poso, konflik tidak melebar
memiliki sebuah gudang di Parigi. sampai daerah Parigi. Hal ini disebabkan
Kemudian gudang tersebut ditutup dan orang-orang Kaili yang menajdi
ditinggalkan pada tahun 1663. masayarakat lokal Parigi yang beragama
Kendatipun demikian hingga saat ini Muslim melindungi warga kristen yang
belum ditemukan bukti bahwa ada di daerah Parigi kaena bagi mereka
kekristenan telah pernah ada di daerah orang-orang Kristen (dalam hal ini dari
Parigi sebelum ekspansi Belanda. etnis Minahasa) pernah berjasa pada raja
Kendatipun Belanda telah berkuasa di diwaktu dulu sehingga raja mereka bisa
kerajaan Parigi sejak masa baca tulis.17
pemerintahan Magau Rajangguni (1880-
Sampai sekarang kekristenan di wilayah
1897), namun tidak pernah terdengar
Parigi (khusunya GPID) berkembang
adanya pekabaran Injil kepada
pesat dan berdampingan dengan
masyarakat setempat yang mayoritas
masyarakat Lokal yang Muslim dan juga
telah beragama Islam. Dari uraian sejarha
berdampingan dengan transmigran dari
ini bisa disimpulkan bahwa perjumpaan
Bali yang beragama Hindu. Dalam
orang-orang Portugis yang kemungkinan
perkembangannya di Kabupaten Parigi
besar kristen sudah terjadi dengan
Moutong berdiri FKUB (Forum
16
Supri Na’a, Arkham M. Pibete, Sejarah
Parigi, Hal. 11-13. Band. Hi. Hasim 17
Informasi didapatkan dari Opa M.Rugian
Marasobu,Sejarah Budaya Dan Hukum Adat (Informasi didapat penulis sewaktu penulis
Kerajaan Parigi, (Parigi: Perpustakaan Kabupaten menjadi vikaris dan melayani kurang lebih 6
Parigi Moutong), hal. 1. tahun diwilayah parigi)
9
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
10
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
Sejak awal berdirinya, GKPB sudah Suku Toraja yang bermukim di daerah
melaksanakan tugas pemberitaan
Injil.GKPB sebagai gereja lokal yang disebut Palolo23
merupakan bagian integral dari
masyarakat Bali, kendati diakui Kesimpulan
kehadiran gereja masih terasing dari
kehidupan masyarakat Bali.
Keterasingan gereja telah Kondisi GPID dan
bertumbuhsejak generasi pertama wilayah/tempat GPID tumbuh dan
ketika masuk UZV20 (Utrchtsche
Zendings Vereeninging), C.M.A berkembang secara umum adalah multi
(Christian Missionary Alliance).
etnis atau kepelbagaian budaya dan
C.M.A21dipelopori Tsang To Hang
menolak tegas budaya Bali karena agama. Warga GPID juga masih banyak
dinilai bertentangan dengan Injil.
Indoktrinisasi C.M.A berpengaruh yang miskin bahkan bisa dikatakan
terhadap komunitas Kristen saat itu.22 kemiskinan sebagai salah satu yang
Dua keberadaan misi yang menjadi tantangan pelayanan dari GPID,
mempengaruhi GPID dalam hal ini sejalan dengan ungkapan Pieris
pelayanannya dan dalam menerapkan bahwa konteks Asia secara umum adalah
misinya. Tidak bisa dipungkiri meskipun Kepelbagaian agama dan budaya serta
GPID multi etnis (kurang lebih 30-an kemiskinan. Menurut Aloysius Pieris,
suku dan sub suku) akan tetapi ada 4 konteks Asia secara umum terdiri dari
suku yang cukup dominan yaitu etnis dua masalah, yaitu kemiskinan dan
Minahasa dan Sangihe –Talaud yang reigiositas agama. Dan baginya kedua
berasal dari Sulawesi Utara, etnis dari masalah ini adalah maslah yang
Bali, Suku lokal (Kulawi) yang mendesak namun juga sangat kompleks24,
bermukim di daerah pegunungan dan baginya kekristenan tidak hanya harus
menjawab kedua masalah itu, melainkan
harus menjawab kedua masalah itu secara
20
UZV adalah Perhimpunan Missi Utrech atau bersama-sama. Sedangkan menurut Gerit
lembaga Zending dari Belanda,
memperkenalkan Injil pertama di Bali. Lebih Singgih konteks Indonesai tidak hanya
lanjut akan dibahas dalam bab III poin 3.1.1.
21
C.M.A adalah lembaga Zending kedua yang “terwakilkan” dengan dua realitas tadi
memperoleh izin datang ke Bali dan bekerja
terbatas di kalangan orang Tionghoa. Lebih
23
lanjut akan dibahas dalam bagian bab III poin Daerah Kulawi dan palolo adalah bagian dari
3.1.2. Kabupaten Sigi yang sebagian besar meliputi
22
Ni Luh Suartni, “Iman Dalam Kebersamaan” daerah pegunungan.
24
Menghidupi Perjumpaan Agama Dalam Konteks Aloysius Pieris, “Berteologi Dalam Konteks
Piling,(Jogjakarta: PT.Kanisius,2016) h,2 Asia”,(Yogyakarta: Kanisius,1996), hal.11
11
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
akan tetapi ada lima realitas yang permasalahan yang sedang terjadi
menjadi kontes Indonesia. Geritt disekitarnya.26
Singgih25 dalam hal ini melihat ada lima
Sayangnyan dalam Pelayanan
permasalahan penting menyangkut
GPID tidak ada rumusan yang jelas untuk
konteks Gereja (Indonesia). Yang
mengakomodir kondisi ini. Rumusan
pertama konteks kepelbagaian budaya
pelayanan masih sangat kaku kalaupun
dan agama, yang kedua konteks
dibeberapa jemaat mengalami “model”
kemiskinan yang parah, yang ketiga
yang berbeda lebih disebabkan karena
konteks Penderitaan dan bencana
kemapuan masing-masing Pendeta dalam
(bencana alam dan korbannya), yang
melayani. Dalam hal ini menurut penulis
keempat konteks ketidakadilan dan
kritik dan masukan buat GPID
diskriminasi termasuk didalamnya
menghadapi konteksnya dan menghadapi
ketidakadilan gender dan terakhir konteks
tantangan perkembangan jaman harus
keruskan ekologi yang parah. Penulis
bisa merumuskan model berteologi yang
setuju dengan pendapat Gerit Singgih
sesuai atau mengakomodir perbedaan
karena GPID juga diperhadapkan dengan
budaya dan perbedaan agama yang ada
kondisi itu.
dalam pelayanan GPID.
Konteks inilah yang ada dalam
GPID harus bisa melihat
pelayanan GPID,sehingga diperlukan
keberagaman budaya dan agama dalam
misisologi yang kontekstual untuk
lingkup pelayanannya sebagai suatu ciri
melaksanakan pelayanan. Menurut Gerit
khas dan juga kekuatan dalam pelayanan.
Singgih Gereja yang kontekstual adalah
Bahkan menurut penulis teologi
Gereja yang sadar akan konteks, dengan
interkultural menjadi hal pemting bagi
mengetahui konteksnya Gereja tidak akan
pelayanan GPID hal ini sejalan dengan
bersusah-susah untuk menyadari
apa yang disampaikan oleh Volker
Kuster. Kuster memetakan Teologi
Interkultural menjadi tiga, yakni
pertemuan dengan agama lain, dengan
25
Emanuel Gerit Singgih,”Mengantisipasi Masa
depan. Berteologi dalam Konteks di awal teologi lain, dan dengan gereja lain. Ia
Milenium III” (Jakarta :BPK Gunung
26
Mulia,2005),h.58. Singgih, “Mengantisipasi Masa Depan”,h.56-58
12
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
merupakan bagian dari interkultural juga, interkultural adalah misi itu sendiri,
dan dapat menjadi pemicu kekerasan GPID harus menantang dirinya untuk
sebuah keharusan bagi pelayanan GPID, Wijsen dan Robert Schreiter, Jong
apalagi mengingat daerah pelayanan menuliskan bahwa tidak lagi ada satu
GPID sering kali berpotensi konflik teologi universal, tetapi semua teologi
imbas dari peristiwa Poso. Perbedaan adalah lokal, tetapi dalam konteks global
bisa memicu kekerasan akan tetapi jika semua teologi harus berhubungan satu
perbedaan diakomodir secara baik bukan sama lain, itulah arti inter dari kata
13
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14
eISSN : 2798-4931
14