Anda di halaman 1dari 14

Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen

Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

Menelusuri Jejak Misi Teologi Interkultural Dalam Pelayanan


Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID)
Yandri Yohanes Pesik
(Universitas Kristen Duta Wacana Fakultas Teologi)
(Email: yandripesik@gmail.com)

Abstract
Culture is a contemporary issue that has received the attention of the
Church in mission. The GPID is a mainstream church with ethnic and
ethnic diversity. The author uses the theory of Robert J. Schreiter to
bring together the diverse cultures of the mission approach. This type
of research is library research and the method used is a qualitative
analysis of ethnic and ethnic diversity in carrying out missions. In
carrying out a mission, there are several things that need to be
considered by the church in the context of religion and culture, the
context of poverty, the context of injustice and Intercultural Theology
are things that need to be done in the context of missions in
conducting meetings with religion, theology, and with other churches.
Keywords: Donggala Protestant Church, mission, culture,
intercultural theology

Abstrak

Kebudayaan merupakan isu kontemporer yang mendapat perhatian


Gereja dalam misi. GPID adalah gereja arus utama yang memiliki
keanekaragaman etnis dan suku. Penulis menggunakan teori Robert J.
Schreiter untuk mempertemukan kebudayaan yang berbeda dari
pendekatan misi. Jenis penelitian yang digunakan adalah library research
atau penelitian kepustakaan dan metode yang digunakan adalah analisis
kualitatif terhadap keanekaragaman suku dan etnis dalam melakukan
misi. Dalam melakukan misi ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh gereja konteks agama dan budaya, konteks
kemiskinan, konteks ketidakadilan dan Teologi Interkultural
merupakan hal yang perlu dilakukan dalam konteks misi dalam
melakukan pertemuan dengan agama lain, dengan teologi lain, dan
dengan gereja lain.

Kata-kata kunci : Gereja Protestan Donggala, misi, budaya,


teologi intercultural

1
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

Pendahuluan bersama dengan Gereja Protestan


Indonesia Di Gorontalo (GPIG) dan
Sinode GPID adalah salah satu
Gereja Protestan Indonesia di Buol Toli-
Sinode yang merupakan anggota
toli (GPIBT) resmi menjadi gereja
PGI.GPID adalah singkatan dari Gereja
mandiri di bawah naungan Gereja
Protestan Indonesia Donggala dari
Protestan di Indonesia (GPI). Namun,
namanya sudah bisa diketahui bahwa
pelaksanaan kemandirian tersebut di
GPID adalah juga anggota GPI (selain
Gereja Protestan Indonesia di Donggala
menjadi anggota PGI). Gereja Protestan
barulah berjalan mulai tanggal 4 April
Indonesia Donggala sebenarnya adalah
19652, yakni dengan dilangsungkannya
bekas gereja yang dahulu dilayani oleh
pentahbisan Gereja Protestan Indonesia
Gereja Protestan Indonesia. Namun
di Donggala (GPID) yang bertempat di
Sejak 1 Januari 1937 pelayanan terhadap
Gereja Pniel Palu. Pentahbisan itu
Gereja di daerah Donggala ini diserahkan
dihadiri oleh Pnt. H. B. Kaunang (BPS
oleh Gereja Protestan Di Indonesia (GPI)
GMIM), Pdt. Daandel, Pdt. Daan Wenas,
kepada GMIM untuk menjadi daerah
Pdt. Y. Wokas dan yang lainnya
penginjilan GMIM seiring dengan
Sejak tahun 1965 Gereja Protestan
pemisahan administratif di Gereja
Indonesia di Donggala (GPID) menjadi
Protestan di Indonesia pada akhir tahun
gereja yang mandiri di mana
1934. GPID adalah bagian dari GPI
pelayanannya meliputi
sesuai pernyataan BaPeAm GPI no. Bap.
daerah Kabupaten Donggala (Donggala,
8/Sek/69. Dengan demikian Badan
Palu dan Parigi). Sesuai dengan tata
Hukum Gereja Protestan Indonesia
gereja, GPID memiliki tujuan yakni;
Donggala adalah sama dengan Badan
terwujudnya suatu persekutuan orang-
Hukum Gereja Protestan di Indonesia
orang percaya yang takut, taat, dan setia
Staatblad no. 19 tanggal 15 Mei
kepada Allah Yang Maha Kuasa Khalik
19271 yang berlaku Sejak tahun 1969.
semesta alam dan yang bertanggung
Setelah diresmikan secara simbolis
jawab untuk membangun masyarakat,
pada tanggal 18 Desember 1964, Gereja
Protestan Indonesia Donggala (GPID) 2
Dan dalam perkembangannya tanggal 4 April
ditetapkan sebagai hari ulang tahun GPID yang
tahun 2015 kemarin telah memasuki tahun
1
Lihat, Tata Gereja GPID tahun 2003. Tubelium atau usia pelayan yang ke-50 tahun.

2
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

bangsa dan negara menuju kehidupan nama GPID, jika sebelumnya gereja ini
yang adil, sejahtera, bersatu sesuai diberi nama Gereja Protestan Indonesia
dengan kesaksian Alkitab3 Di Donggala, maka kata ”di” dihapus.
Pada waktu lahirnya sebagai satu Kemudian nama gereja ini menjadi
Sinode Mandiri, pelayanan GPID Gereja Protestan Indonesia Donggala.6
meliputi 6 wilayah, 48 jemaat yang terdiri Kata Donggala menunjuk pada
dari 1933 KK dan 11. 600 jiwa. Keenam tempat dimana GPID melakukan
wilayah tersebut dilayani oleh 8 orang pelayanannya meskipun disaat sekarang
Pendeta dan 3 orang Guru Injil. Sekarang daerah Donggala (dulunya Kabupaten
GPID tersebar di wilayah pelayanan Donggala) sudah mengalami banyak
Sulawesi Tengah meliputi 4 kabupaten pemekaran akan tetapi GPID tetap
dan 1 kotamadya. Empat Kabupaten itu memakai nama Donggala tidak
adalah Kabupaten Donggala4, Kabupaten menggantinya dengan kata Palu sebagai
Poso, Kabupaten Parigi-Moutong dan ibukota Sulawesi Tengah. Hal ini
Kabupaten Sigi serta Kotamadya Palu berkaitan dengan GPID mau menghargai
(yang diasumsikan sebagai pusat karena “sejarah” karena pada awalnya terbentuk
Kantor sinode bertempat di Kota Palu). daerah Donggala-lah yang menjadi pusat
Jemaat GPID terus berkembang, tercatat dimana pelayanan GPID dimulai. Pada
Jemaat GPID berjumlah 176 jemaat dan mulanya, sebelum adanya pemekaran-
41 ribu jiwa warga jemaat dan dilayani pemekaran daerah secara khusus di
oleh 119 pendeta aktif dan 11 orang Sulawesi tengah, daerah yang meliputi
vikaris5. Pada tahun 1969 dalam Sidang Kabupaten Donggala, Sigi, Parimo dan
Sinode GPID diputuskan perobahan kota Palu merupakan satu daerah
pemerintahan yang dikenal dengan
3 ”Daerah Donggala”. Daerah Donggala
Lihat Tata Gereja GPID tahun 2003 Bab II pasal
5.
4 6
Dongga seperti yang sampaikan sebelumnya Alasan utama penghapusan kata “di” pada nama
dulunya menjadi pusat dan sebagai induk dari GPID adalah karena seringkali menimbulkan
dua kabupaten yang lain yaitu, kabupaten Parigi- interpretasi yang keliru dengan memahami
moutong dan kabupaten Sigi dan juga kotamadya bahwa gereja ini hanya terdapat di Donggala
Palu. saja. Padahal pada GPID sendiri melayani bukan
5
Data berdasarkan laporan LITBANG (penelitian hanya di Donggala saja melainkan di Kabupaten
dan pengembangan) GPID pada waktu perayaan Donggala. Selanjutnya kata “Donggala” diartikan
Yubelium GPID bersinode tanggal 4 April tahun bukan lagi menunjukkan tempat tetapi adalah
2015. sebuah nama

3
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

inilah yang kelak merupakan daerah di mula dilakukan oleh beberapa orang
mana GPID melayani hingga masa kini7. warga GPID yang berasal dari Abo8 yang
Meskipun pada beberapa kali sidang merantau ke Kalimantan sebagai pencari
sinode baik itu sidang tahunan ataupun rotan. Sesampainya di Kalimantan orang-
sidang Am, isyu untuk perubahan nama orang ini kemudian berbaur dengan
tetap ada, akan tetapi dalam masyarakat setempat dan mulai
perkembangannya hingga sekarang GPID memberitakan Injil kepada mereka yang
tetap konsisten dengan mempertahankan pada masa itu masih memeluk agama
nama Donggala. suku. Kemudian tahun 1982 GPID
menyanggupi permintaan warga GPID
GPID dan Keberagaman Budaya yang telah merasa berhasil mengabarkan
Injil di Kalimantan dengan mengutus Pdt.
Seperti telah disampaikan diatas salah I Gusti Bagus Sudiadjana untuk
satu keunikan sinode GPID adalah warga membabtis 89 orang suku Dayak.
jemaat yang berlatarbelakang dari kurang Selanjutnya GPID menempatkan tenaga
lebih 35 suku dan sub suku yang ada di pelayan untuk memelihara jemaat
Indonesia. Hal ini tentu tidak lepas dari tersebut. Jemaat tersebut malah
sejarah pelayanan dan sejarah pekabaran berkembang dengan pesat sehingga
Injil yang terjadi di wilayah Sulawesi kemudian menjadi dua jemaat yang
tengah. Bertambahnya jumlah jemaat mandiri9. Di samping itu, pertumbuhan
tersebut tidak terlepas dari upaya jumlah jemaat dan pelayan juga terjadi
pekabaran Injil yang dilakukan, baik oleh akibat arus transmigrasi yang terus
pelayan-pelayan Khusus maupun oleh meningkat ke daerah Donggala baik yang
warga jemaat sendiri[65]. Bahkan dalam diprakarsai pemerintah maupun dalam
sejarahnya, GPID pernah membuka transmigrasi spontan. Misalnya saja
wilayah pekabaran Injil di Kalimantan
timur, tepatnya di Kabupaten Kutai. 8
Abo adalah salah satu wilayah pelayanan GPID
yang terletak di daerah pesisir pantai barat
Pekabaran Injil di tempat tersebut mula-
Sulawesi tengah.
9
Karena faktor geografis yang sangat jauh dan
terbatasnya dana yang dimiliki GPID, maka
7
http://pendeta- jemaat GPID yang terdapat di Kalimantan
bendrio.blogspot.co.id/2012/01/sejarah-singkat- tersebut dikemudian hari diserahkan kepada
gereja-protestan.html GPIB.

4
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

pada tahun 1968 jumlah transmigrasi dari begitu banyak etnis dan suku. GPID
meningkat tajam di daerah Parigi selatan mempunyai jemaat yang terdiri dari 90-
tepatnya di Tolai. Ternyata transmigrasi 100 % orang bali, yang anggotanya
ini diprakarsai oleh seorang kepala desa bersuku Toraja, yang anggota atau
yakni Tumakaka. Ternyata para peserta warganya bersuku Minahasa, dan ada
transmigrasi ini sebagian besar adalah juga yang bersuku Sangihe-Talaud serta
orang-orang Kristen dari Bali, maka ada juga yang anggotanya bersuku Jawa
setelah mereka tiba di daerah Donggala serta jemaat yang dalam satu jemaat
yakni di Parigi selatan mereka kemudian anggotanya beragam suku belum di
11
menjadi warga GPID dan ada juga yang tambah dari jemaat yang anggotanya
menjadi warga GKST Program suku dan sub suku lokal Sulawesi tengah.
transmigrasi selanjutnya seperti Hal ini menjadi tantangan
transmigrasi dari Pulau Jawa yang tersendiri bagi pendeta ketika menjadi
ditempatkan di Tirtasari, Kota raya dan bagian pelayanan GPID. Karena lulusan
transmigrasi lokal pada tahun 1977 dalam Pendeta GPID berasal dari latar belakang
kerja sama dengan PGIW Sulutteng yakni yang juga cenderung Hybrid berasal dari
mereka yang kemudian ditempatkan di suku yang berbeda dan juga tradisi yang
Sigega. Selain dalam transmigrasi lokal berbeda akan tetapi lahir dan besar di
maupun nasional, ada juga dikarenakan daerah Sulawesi Tengah. Tantangan
migrasi karena bencana alam, seperti terbesar ketika menjadi seorang pendeta
halnya komunitas orang-orang Sangihe di sinode GPID adalah kemampuan untuk
yang terdapat di Kopi Lambunu10 beradaptasi dalam lingkup pelayanan
GPID dalam kondisi multietnisnya.
Dari penjelasan diatas sekarang
11
bisa sedikit diketahui apa yang Suku dan Sub Suku Lokal Sulawesi Tengah
diantaranya : Suku Kaili yang berdomisili di
menyebabkan warga jemaat GPID terdiri daerah Palu dan Lembah Palu, etnis suku Tajio
yang berdomisili didaerah pantai timur wilayah
utara (menagarah ke arah Sulawesi utara), etnis
10
Orang-orang Sangihe di Kopi semula adalah suku Kulawi yang bermukim di daerah lembah
pengungsi akibat meletusnya gunung merapi Kulawi, etnis suku Pendau yang bermukim di
Siau. Mereka pertama-tama mengungsi ke daerah pesisir pantai barat Sulawesi, etnis suku
Londoun di mana saudara-saudara mereka telah Mori yang bermukim di daerah kabupaten poso
lebi dulu menetap di sana, yakni sejak zaman (di wilayah Kabupaten Poso yang mayoritas
kolonial Belanda tahun 1939. Mereka termasuk terdapat jemaat GKST, GPID mempunyai 3
dalam proyek kolonisasi pemerintah Belanda. jemaat).

5
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

Tantangan ini yang bagi penulis disebut suku Tajio dan satunya lagi dari
ketika seorang pendeta atau calon sub suku lokal yang berbeda yang disebut
pendeta mampu melewatinya disitulah etnis suku Lauje13).
proses teologi interkultural terjadi. Untuk Dalam konteks ini prinsip
lebih lanjut membahas tentang hal itu “perjumpaan” menjadi kata kunci untuk
terlebih dahulu kita akan melihat dan memulai sebuah adaptasi dan proses
menelusuri model pelayanan yang Pelayanan. Kalau dihubungkan dengan
berkembang di GPID. teori Robert Schreiter kita bisa
memahami perjumpaan itu dalam
Model Pelayanan GPID penjelasan hermeneutic interkultural.
Mengakomodir Perjumpaan antar Menurut Schreiter Hermeneutik
budaya. interkultural mengisyaratkan perjumpaan
Berdasarkan pengalaman penulis dan pemaknaan budaya yang berbeda
yang menjadi Pendeta di GPID sejak terbangun melalui proses komunikasi
tahun 2006. Dengan kondisi setiap 5 interkultural. Proses ini membutuhkan
tahun mutasi12 dari satu jemaat ke jemaat penafsiran untuk melakukan komunikasi
yang lain menuntut seorang Pendeta interkultural. Hermeneutik Interkultural
untuk beradapatasi dengan kultur atau adalah upaya mengeksplorasi kondisi
budaya setempat. Dalam hal ini seorang yang memungkinkan terjadinya
Pendeta yang adalah suku A harus bisa komunikasi melintasi batas-batas
mempelajari jemaat yang terdiri dari suku perbedaan budaya. Alasannya, setiap
B yang berbeda dengan etnis dari pendeta budaya memiliki sistem dan pemaknaan
itu sendiri. Bahkan penulis pernah berbeda satu dengan lainnya.
melayani di tiga jemaat yang mempunyai
3 etnis yang berbeda (satunya jemaat 13
Jemaat dari etnis Tajio dan Lauje ini bermukim
100% dari etnis Sangihe-Talaud, satunya di pegunungan daerah pantai utara, dan
sebagaian besar berpenghasilan sebagai petani
lagi dari etnis sub suku Lokal yang yang mengolah lahan (kebun) dan juga lewat
usah mencari rotan di gunung.Dalam Pelayanan
12
GPID sesuai yang tercantum di Tata Gereja GPID jemaat suku Lauje ditetapkan sebagai
sampai periode sekarang masih dalam Jemaat Pekabaran Injil atau jemaat binaan. Akses
memberlakukan sistem mutasi pelayan yang menuju kedua jemaat ini juga sangat sulit karena
berlaku setelah sidang Am sinode (5 tahun sekali, terletak diaderah pegunungan (pengetahuan ini
mekipun juga sering kali terjadi mutasi apabila berdasarkan pengalaman pribadi penulis
ada vikaris yang baru ditahbiskan jadi pendeta) melayani didaeah ini kurang lebih 3 tahun)

6
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

Pada dasarnya setiap kebudayaan dengan metode bertanya dan menghargai,


memiliki tiga dimensi utama sebagai artinya bertanya tentang symbol-simbol
pembeda. Pertama, kebudayaan memiliki tertentu atau perilaku tertentu yang ada
ide – ide (ideational). Kedua, kebudayaan dalam budaya itu, secara khusus tentang
berisi performa dalam beragam bentuk bahasa, karena bahasa adalah alat
ritual yang mengikat setiap anggota komunikasi sehingga menjadi penting
kebudayaan menjadi satu. Dimensi ini untuk dipahami. Penghargaan terwujud
memberi ruang berpartisipasi, ketika apa yang menjadi ciri khas dari
membentuk dan menentukan sejarah suku tertentu berbeda dengan apa yang
maupun nilai. Ketiga, kebudayaan kita “hidupi” dalam pemahaman kita
berwujud materiil yaitu artefak dan sendiri.
simbol sebagai sumber identitas seperti Lebih lanjut tentang komunikasi
bahasa, makanan, pakaian, musik dan ini Schreiter mengutarakan, Dalam proses
arsitektur. Ketiga dimensi ini membuat komunikasi interkultural, hermeneutik
produk kebudayaan memiliki kekhasan memberi perhatian pada aspek semiotika
yang berbeda satu dengan lainnya.14 kebudayaan. Semiotika kebudayaan
Menurut penulis dari apa yang adalah metode untuk meneliti
diuraikan oleh Schreiter tentang kebudayaan sebagai struktur dan proses
hemeneutik interkelutural, sesungguhnya komunikasi. Pendekatan ini memberi
sudah dilakukan oleh sebagaian besar perhatian pada tanda - tanda (yunani:
Pendeta di GPID. Tiga dimensi yang semeia) yang membawa pesan melalui
dipaparkan oleh Schreiter dilakukan sarana (kode-kode) kebudayaan. Tujuan
sirkulasi pesan dalam kebudayaan adalah
14
Lihat Robert J. Schreiter, “2. Intercultural menciptakan identitas yang
Hermeneutics : Issus and Prospects”, dalam id. mengimplikasi pembangunan solidaritas
The New Catholicity : Theology between the
Global and the Local, (Maryknoll, New York : kelompok dan integrasi informasi baru
Orbis Books, 1998-2),h. 29 diringkas dalam
Bahasa Indonesia dalam : Kees de Jong, yang diterima dalam kebudayaan.
“Pekabaran Injil Dalam Konteks Masyarakat
Berdasarkan segi semiotika, tantangan
Multikultural Pluralistik” dalam Wijayatsih,
Hendri, Prabowo Gunawan Adi dan hermeneutik interkultural dirumuskan
Purwaningtyas Rimukti, eds, Memahami
Kebenaran Yang Lain Sebagai Upaya sebagai berikut: bagimana pesan yang
Pembaharuan Hidup Bersama, Yogyakarta: TPK,
Mission 21. 2010.h. 348-349
sama dikomunikasikan dengan kode

7
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

berbeda dan memanfaatkan campuran di satu tempat yang kulturnya berbeda


tanda dari dua kebudayaan berbeda.15 dengan kultur Pendeta itu sendiri. Model
Dari apa yang disampaikan oleh Pelayanan GPID sesungguhnya adalah
Schreiter bisa dikatakan percampuran model pelayanan yang mengakomodir
yang terjadi antara kultur seorang pendeta kultur atau kebudayaan satu daerah
dan kultur jemaat yang dilayani dengan keberadaan pendeta diwilayah itu,
membentuk “identitas” lain yang dan menjadikan “Alkitab” sebagai media
mengakomodir keduanya. Bahkan dalam perjumpaan tanpa meninggalkan corak
pengalaman penulis yang terjadi adalah kultur masing-masing.
tidak hanya perjumpaan dua kultur
(kultur pendeta dan kultur daerah/jemaat Perjumpaan antar Agama.
dimana pendeta itu melayani) saja tetapi
Seperti telah diuraikan dalam sejarah
tiga kultur yang berbeda. Kultur ketiga
singkat berdirinya GPID dan lingkup
adalah kultur yang dibawa oleh pendeta
pelayanan GID tidak lepas dari relasi atau
sebelumnya yang juga mempunyai latar
perjumpaan dengan agama lain.
belakang yang berbeda. Secara tidak
Sejak abad ke- 16 Daerah Parigi pada
langsung jemaat-jemaat di GPID terus
dasarnya telah menjalin hubungan di
berinteraksi dengan relasi interkultural
bidang ekonomi dengan dunia luar. Pada
sehingga “percampuran” itupun
catatan kaki yang ditulis oleh A. C. Cruyt
mempengaruhi model pelayanan yang
yang diterjemahkan oleh S. Tobogu yang
dilakukan disatu jemaat. Penulis yakin
berjudul ”Sejarah Kerajaan Lokal Di
sebagian besar pendeta yang
Sulawesi” menjelaskan bahwa Portugis
diperhadapkan dengan perjumpaan
pertamakali menginjakkan kaki di Parigi
interkultural dalam pelayanannya tidak
pada tanggal 15 Januari 1515 tepatnya
sepenuhnya belajar lewat pemahaman
di Binangga. Portugis membawa armada
Schreiter akan tetapi bagi penulis
perangnya dari Mindanao Philipina. Pada
tahapan-tahapan yang disampaikan oleh
saat itu, Portugis gagal menaklukkan
Schreiter ini sesungguhnya mewakili apa
Binangga. Menurut Supri Na’a dan juga
yang sudah dilakukan oleh Pendeta GPID
Hi. Hasim Marasobu, malah dicurigai
ketika harus memulai sebuah pelayanan
bahwa raja Parigi yang pertama dilantik
15
Ibid. h. 29-30 dan h. 348-349

8
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

oleh seorang Portugis yang bernama masyarakat lokal yang muslim. Dalam
Fransisco Le Sa yang melakukan perkembangannya pada masa
pengembaraan ke Parigi pada tanggal 26 pemerintahan Raja Magau Janggau (Raja
Desember 151716, walaupun data berjanggut) di Kerajaan Parigi orang-
tersebut dibantah oleh banyak kalangan, orang utusan dari GMIM Sulawesi Utara
namun dari sini dapat dicatat bahwa datang ke Parigi dan mengajarkan baca
kemungkinan besar daerah Parigi telah tulis kepada Raja dan keluarganya. Itulah
dimasuki oleh negara luar jauh sebelum sebabnya ketika pada tahun 1998 sempat
kedatangan kolonial Belanda. Bahkan terjadi ketegangan atau konflik SARA di
pertengahan abad ke- 17 Portugis telah daerah Poso, konflik tidak melebar
memiliki sebuah gudang di Parigi. sampai daerah Parigi. Hal ini disebabkan
Kemudian gudang tersebut ditutup dan orang-orang Kaili yang menajdi
ditinggalkan pada tahun 1663. masayarakat lokal Parigi yang beragama
Kendatipun demikian hingga saat ini Muslim melindungi warga kristen yang
belum ditemukan bukti bahwa ada di daerah Parigi kaena bagi mereka
kekristenan telah pernah ada di daerah orang-orang Kristen (dalam hal ini dari
Parigi sebelum ekspansi Belanda. etnis Minahasa) pernah berjasa pada raja
Kendatipun Belanda telah berkuasa di diwaktu dulu sehingga raja mereka bisa
kerajaan Parigi sejak masa baca tulis.17
pemerintahan Magau Rajangguni (1880-
Sampai sekarang kekristenan di wilayah
1897), namun tidak pernah terdengar
Parigi (khusunya GPID) berkembang
adanya pekabaran Injil kepada
pesat dan berdampingan dengan
masyarakat setempat yang mayoritas
masyarakat Lokal yang Muslim dan juga
telah beragama Islam. Dari uraian sejarha
berdampingan dengan transmigran dari
ini bisa disimpulkan bahwa perjumpaan
Bali yang beragama Hindu. Dalam
orang-orang Portugis yang kemungkinan
perkembangannya di Kabupaten Parigi
besar kristen sudah terjadi dengan
Moutong berdiri FKUB (Forum
16
Supri Na’a, Arkham M. Pibete, Sejarah
Parigi, Hal. 11-13. Band. Hi. Hasim 17
Informasi didapatkan dari Opa M.Rugian
Marasobu,Sejarah Budaya Dan Hukum Adat (Informasi didapat penulis sewaktu penulis
Kerajaan Parigi, (Parigi: Perpustakaan Kabupaten menjadi vikaris dan melayani kurang lebih 6
Parigi Moutong), hal. 1. tahun diwilayah parigi)

9
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

Kerukunan Umat Beragama) serta dan dinamika yang terjadi dalam


berusah dibentuk juga di tingkat kehidupan masyarakat, bahkan di era
kecamatan. modern ini, dengan perkembangan
teknologi, persinggungan antara
Memang agak sulit untuk melacak
kebudayaan dan agama berbeda semakin
kapan awal mula terjadinya pertemuan
meningkat.
antara kebudayaan-kebudayaan dan
agama-agama berbeda. Termasuk fakta Misiologi Yang Ada Dalam Pelayanan
(yang mungkin juga diragukan beberapa GPID.
pihak) bahwa bangsa Portugis sudah
Dalam perkembangannya Misi
menginjakan kakinya di daerah pesisir
yang berkembang di GPID adalah model
pantai Parigi sebelum ekspansi Belanda,
misi yang diadopsi dari rumusan PGI dan
sehingga benarlah apa yang dikatakan
juga pengaruh dari GMIM sebagai
Kees De Jong. Jong berpendapat bahwa
“induk” dari GPID. Akan tetapi
pertemuan (antara agama atau budaya)
pengaruh GKPB juga sangat kuat karena
tersebut sudah terjadi dari awal mula
data terakhir mencatat jemaat etnis Bali
sejarah kemanusiaan.18Ia menjelaskan
tersebar hampir disemua wilayah
bahwa dalam kebudayaan purba
pelayanan GPID dan orang-orang Krsten
sebenarnya tidak terjadi pemisahan antara
Bali ini awalnya berasal dari GKPB
kebudayaan dan agama, hal itu masih
sebelum mereka menjadi bagian GPID.
merupakan satu kesatuan.19Pertemuan
GKPB sendiri punya latar belakang misi
yang sudah terjadi sejak awal mula
yang berbeda dengan GPID. Kalau
sejarah kemanusiaan tersebut terus-
pengaruh GMIM cenderung
menerus terjadi hingga saat ini.
mengakomodir budaya bukan melawan
Pertemuan antara kebudayaan dan agama
budaya lokal, sedangkan misi kekristenan
yang berbeda didukung oleh pergerakan
di Bali berbeda. Hal ini sejalan dengan
18
Kees de Jong, “Teologi (Misi) Interkultural”, ungkapan Niluh Suartini dalam Tesisnya
dalam Kees de Jong & Yusak Tridarmanto (eds.), yang telah dibukukan yang berjudul “
Teologi dalam Silang Budaya: Menguak Makna
Teologi Interkultural serta peranannya Bagi Iman Dalam Kebersamaan” Menghidupi
Upaya Berolah Teologi di Tengah-Tengah
Pluralisme Masyarakat Indonesia (Yogyakarta: perjumpaan agama dalam konteks Piling.
TPK, 2015), hal. 23.
19 Dalam buku itu Suartni menulis,
Ibid., hal. 24.

10
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

Sejak awal berdirinya, GKPB sudah Suku Toraja yang bermukim di daerah
melaksanakan tugas pemberitaan
Injil.GKPB sebagai gereja lokal yang disebut Palolo23
merupakan bagian integral dari
masyarakat Bali, kendati diakui Kesimpulan
kehadiran gereja masih terasing dari
kehidupan masyarakat Bali.
Keterasingan gereja telah Kondisi GPID dan
bertumbuhsejak generasi pertama wilayah/tempat GPID tumbuh dan
ketika masuk UZV20 (Utrchtsche
Zendings Vereeninging), C.M.A berkembang secara umum adalah multi
(Christian Missionary Alliance).
etnis atau kepelbagaian budaya dan
C.M.A21dipelopori Tsang To Hang
menolak tegas budaya Bali karena agama. Warga GPID juga masih banyak
dinilai bertentangan dengan Injil.
Indoktrinisasi C.M.A berpengaruh yang miskin bahkan bisa dikatakan
terhadap komunitas Kristen saat itu.22 kemiskinan sebagai salah satu yang
Dua keberadaan misi yang menjadi tantangan pelayanan dari GPID,
mempengaruhi GPID dalam hal ini sejalan dengan ungkapan Pieris
pelayanannya dan dalam menerapkan bahwa konteks Asia secara umum adalah
misinya. Tidak bisa dipungkiri meskipun Kepelbagaian agama dan budaya serta
GPID multi etnis (kurang lebih 30-an kemiskinan. Menurut Aloysius Pieris,
suku dan sub suku) akan tetapi ada 4 konteks Asia secara umum terdiri dari
suku yang cukup dominan yaitu etnis dua masalah, yaitu kemiskinan dan
Minahasa dan Sangihe –Talaud yang reigiositas agama. Dan baginya kedua
berasal dari Sulawesi Utara, etnis dari masalah ini adalah maslah yang
Bali, Suku lokal (Kulawi) yang mendesak namun juga sangat kompleks24,
bermukim di daerah pegunungan dan baginya kekristenan tidak hanya harus
menjawab kedua masalah itu, melainkan
harus menjawab kedua masalah itu secara
20
UZV adalah Perhimpunan Missi Utrech atau bersama-sama. Sedangkan menurut Gerit
lembaga Zending dari Belanda,
memperkenalkan Injil pertama di Bali. Lebih Singgih konteks Indonesai tidak hanya
lanjut akan dibahas dalam bab III poin 3.1.1.
21
C.M.A adalah lembaga Zending kedua yang “terwakilkan” dengan dua realitas tadi
memperoleh izin datang ke Bali dan bekerja
terbatas di kalangan orang Tionghoa. Lebih
23
lanjut akan dibahas dalam bagian bab III poin Daerah Kulawi dan palolo adalah bagian dari
3.1.2. Kabupaten Sigi yang sebagian besar meliputi
22
Ni Luh Suartni, “Iman Dalam Kebersamaan” daerah pegunungan.
24
Menghidupi Perjumpaan Agama Dalam Konteks Aloysius Pieris, “Berteologi Dalam Konteks
Piling,(Jogjakarta: PT.Kanisius,2016) h,2 Asia”,(Yogyakarta: Kanisius,1996), hal.11

11
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

akan tetapi ada lima realitas yang permasalahan yang sedang terjadi
menjadi kontes Indonesia. Geritt disekitarnya.26
Singgih25 dalam hal ini melihat ada lima
Sayangnyan dalam Pelayanan
permasalahan penting menyangkut
GPID tidak ada rumusan yang jelas untuk
konteks Gereja (Indonesia). Yang
mengakomodir kondisi ini. Rumusan
pertama konteks kepelbagaian budaya
pelayanan masih sangat kaku kalaupun
dan agama, yang kedua konteks
dibeberapa jemaat mengalami “model”
kemiskinan yang parah, yang ketiga
yang berbeda lebih disebabkan karena
konteks Penderitaan dan bencana
kemapuan masing-masing Pendeta dalam
(bencana alam dan korbannya), yang
melayani. Dalam hal ini menurut penulis
keempat konteks ketidakadilan dan
kritik dan masukan buat GPID
diskriminasi termasuk didalamnya
menghadapi konteksnya dan menghadapi
ketidakadilan gender dan terakhir konteks
tantangan perkembangan jaman harus
keruskan ekologi yang parah. Penulis
bisa merumuskan model berteologi yang
setuju dengan pendapat Gerit Singgih
sesuai atau mengakomodir perbedaan
karena GPID juga diperhadapkan dengan
budaya dan perbedaan agama yang ada
kondisi itu.
dalam pelayanan GPID.
Konteks inilah yang ada dalam
GPID harus bisa melihat
pelayanan GPID,sehingga diperlukan
keberagaman budaya dan agama dalam
misisologi yang kontekstual untuk
lingkup pelayanannya sebagai suatu ciri
melaksanakan pelayanan. Menurut Gerit
khas dan juga kekuatan dalam pelayanan.
Singgih Gereja yang kontekstual adalah
Bahkan menurut penulis teologi
Gereja yang sadar akan konteks, dengan
interkultural menjadi hal pemting bagi
mengetahui konteksnya Gereja tidak akan
pelayanan GPID hal ini sejalan dengan
bersusah-susah untuk menyadari
apa yang disampaikan oleh Volker
Kuster. Kuster memetakan Teologi
Interkultural menjadi tiga, yakni
pertemuan dengan agama lain, dengan
25
Emanuel Gerit Singgih,”Mengantisipasi Masa
depan. Berteologi dalam Konteks di awal teologi lain, dan dengan gereja lain. Ia
Milenium III” (Jakarta :BPK Gunung
26
Mulia,2005),h.58. Singgih, “Mengantisipasi Masa Depan”,h.56-58

12
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

menjelaskan bahwa Teologi Interkultural Intinya, teologi interkultural


adalah teologi hermeneutik yang
merupakan keharusan, karena bertanya tentang penafsiran iman
pertemuan-pertemuan ini dapat Kristen dalam setiap konteks dan
mencari jejak-jejak karya
mengakibatkan pergesekan yang memicu keselamatan Allah dalam
sejarah………Teologi
kekerasan. Dalam konteks Indonesia, interkultural adalah ruang sah
menurut penulis pemetaannya dapat untuk menemukan pengalaman
iman bersama Allah, proses
ditambah dengan perjumpaan dengan interaksi ak berkesudahan dan tak
pernah selesai28
kebudayaan/suku lain. Karena pertemuan
antar kebudayaan/suku yang berbeda Dengan kata lain teologi

merupakan bagian dari interkultural juga, interkultural adalah misi itu sendiri,

dan dapat menjadi pemicu kekerasan GPID harus menantang dirinya untuk

juga27.Mengembangkan misiologi yang mewujudkan pelayanan yang kontesktual

berdasarkan teologi interkultural menjadi dan juga interkultural. Mengutip Frans

sebuah keharusan bagi pelayanan GPID, Wijsen dan Robert Schreiter, Jong

apalagi mengingat daerah pelayanan menuliskan bahwa tidak lagi ada satu

GPID sering kali berpotensi konflik teologi universal, tetapi semua teologi

imbas dari peristiwa Poso. Perbedaan adalah lokal, tetapi dalam konteks global

bisa memicu kekerasan akan tetapi jika semua teologi harus berhubungan satu

perbedaan diakomodir secara baik bukan sama lain, itulah arti inter dari kata

untuk diseragamkan akan menjadi teologi interkultural.29

harmoni yang indah.


“let us be a maestro of the love within
our religion,
GPID harus bisa melihat kata kunci then having learned our religion well,
dalam pelayanannya adalah let us go further and learn how to play,
like members of an orchestra,
‘Perjumpaan” dan dalam perjumpaan itu with other religions in harmony
diperlukan proses interkultural. Bahkan together.”
Ajahn Brahm
Suartini menegaskan :
28
Suartini,”“Iman Dalam Kebersamaan”,h.82
29
Kees de Jong, “Teologi (Misi) Interkultural”,
dalam Kees de Jong & Yusak Tridarmanto (eds.),
27
Volker Kuster, “Intercultural Theology is a Teologi dalam Silang Budaya: Menguak Makna
Must”, (International Bulletin of Missionary Teologi Interkultural serta peranannya Bagi
Research, Vol. 38, No. 4), p. 171-174. Upaya Berolah Teologi di Tengah-Tengah
Pluralisme Masyarakat Indonesia, hal. 33.

13
Tepian Jurnal Misiologi Dan Komunikasi Kristen
Desember 2021; 2(2): 1-14

eISSN : 2798-4931

Awal Milenium III, Jakarta :


BPK, 2004
Kepustakaan
Suartni,Ni luh, “Iman Dalam
Jong,Kees De, “Teologi (Misi) Kebersamaan” Menghidupi
Interkultural”, dalam Kees de Perjumpaan Agama Dalam
Jong & Yusak Tridarmanto (eds.), Konteks Piling,Jogjakarta:
Teologi dalam Silang Budaya: PT.Kanisius,2016
Menguak Makna Teologi Supri Na’a, Arkham M. Pibete, Sejarah
Interkultural serta peranannya Parigi, Band. Hi. Hasim
Bagi Upaya Berolah Teologi di Marasobu,Sejarah Budaya Dan
Tengah-Tengah Pluralisme Hukum Adat Kerajaan Parigi,
Masyarakat Indonesia. Parigi: Perpustakaan Kabupaten
Yogyakarta: TPK,2015 Parigi Moutong.
Kuster,Voler “Intercultural Theology is a Wijsen, Frans., “Intercultural Theology
Must”, International Bulletin of and the Mission of the Church”,
Missionary Research Artikel Exchane 30, 2001
Pieris, Aloysius, “Berteologi Dalam
Konteks Asia”,Yogyakarta: SUMBER LAIN
Kanisius,1996, hal.11 Tata Gereja GPID tahun 2003
Schreiter, J. Robert., “Intercultural Arsip Panitia Perayaan Yubelium Sinode
Hermeneutics : Issues and GPID
Prospects”, dalam The New
Catholicity : Theology between SUMBER INTERNET
the Global and the local, http://pendeta-
bendrio.blogspot.co.id/2012/01/sejarah-
Maryknoll, New York : Orbis
singkat-gereja-protestan.html
Books, 1998.

Singgih, Emmanuel Gerrit.,


Mengantisipasi Masa Depan
Berteologi Dalam Konteks di

14

Anda mungkin juga menyukai