Anda di halaman 1dari 10

2.1.7.2.2.

Kemarahan

Kata kemarahan berasal dari kata marah yang berarti sangat tidak senang, berang dan

gusar. Kemarahan berarti keadaan marah. 157 Kemarahan adalah tanggapan fisik dan emosioal atas

pengalaman dan situasi.158 Kemarahan boleh disebut sebagai naik pitam, jengkel, sikap

bermusuhan, kesal atau sengit. Pada waktu marah, tubuh terus bekerja melalui reaksi fisikologis

yang terjadi dengan sendirinya, tubuh mengubah emosi menjadi energi. Bila amarah mencapai

puncaknya seluruh tubuh dipompa. Dipersiapkan untuk bertindak. Websterss Now World

Dictionary,159 mendefenisikan, kamarahan adalah perasaan yang tidak menyenangkan akibat dari

luka penganiayaan, perlakuan dan biasanya menunjukkan hasrat itu sndiri untuk melawan

perasaan tersebut. Kemarahan adalah suatu emosi, suatu reaksi yang tidak disengaja terhadap

suatu situasi atau kejadian yang tidak menyenangkan.

Menurut para ahli ilmu jiwa, kemarahan adalah “the chief saboteur of the mind” yaitu

factor yang utama yang seringkali melumpuhkan kerja akal manusia yang sehat, seperti yang

dikatakan oleh Albert Mehrabian dalam bukunya “The Three Dimension of emositional

Reaction”. Kemarahan dapat bersifat dskriptip (merusak) khususnya kalau merupakan ekpresi

emosi yang tidak terkendalikan, bisa juga bersifat konstruktif (membangun) kalau motivasi kita

untuk mengoreksi kesalahan atau mengingatkan kita untuk dapat berfikir secara lebih baik.

Umumnya kemarahan merupakan akibat dari terhambatnya suatu keinginan atau perjalanan

hidup.160 Kemarahan juga merupakan penggerak di dalam diri seseorang. Kemarahan dapat

mendorong seseorang untuk membenci, merusak, menghancurkan, merendahkan, menolak,

memaki, mencemarkan, mengutuk dan melumpuhkan.

2.1.7.2.2.1. Perpekstif Alkitab Tentang Kemarahan

Kata kemarahan dalam Perjanjian Lama adalah (Ibr.Av) berarti air muka, yang digunakan

45 kali bagi manusia, 177 kali untuk kemuliaan Tuhan. 161 Dalam Perjanjian Baru, kata yang
157
W.J.S. Porwadarminta, Op.Cit., hlm. 630
158
Sue Burnham, Emosi Dalam Kehidupan, Jakarta: BPK-Gunung Muli, 1997, hlm. 92
159
Imelda V.G. Villar, Self-Empowermwnt Through Anger and Burnout Management, Manila: St Scholasticas
College, 1998, pg.8
160
Norman H. Wright, Op.Cip., hlm. 74. Ia menyebutkan bahwa kemarahan dapat menimbulkan ketengangan dan
kepenatan dalam fisik.
161
Kezman, The International Standart Bible Encylopedia, Michigan: Grand Rapids, 1987, pg, 135

71
dipakai adalah thumas (Yun.Τυμας). Kata ini menjelaskan kemarahan sebagai keributan yang

bergejolak atau gejolak perasaan yang mendidih. Tipe kemarahan ini berkobar dalam ledakan

yang tiba-tiba. Ini adalah luapan kemarahan dari dalam dan serupa dengan korek api yang dengan

cepat menyala dalam kobaran tetapi lalu padam dengan cepat. Tipe kemarahan seperti ini

terdapat dalam Efesus 4:31 dan Galatia 5:20. Kata yang paling sering dipakai dalam Perjanjian

Baru untuk kemarahan adalaah orge (οργε), yang mempunyai arti sebagai suatu sikap yang lebih

mapan dan tahan lama dimana sikap itu lebih lambat dalam penyerangannya tetapi bertahan, dan

sering kali mencakup balas dendam. 162 Dalam bahasa Iggeris, dipakai kata wrath, kata yang

menyatakan secara tidak langsung perasaan yang egois, kedengkian atau membalas dendam.

Alkitab membedakan kemarahan ilahi (divine anger). Kemarahan Allah ditujukan pada

dosa dan manusia yang berdosa, dan selalu selaras dengan kasih dan anugrahNya (Nah. 1:2-3).

Jadi, kemarahan sebagai atiribute Allah, tidak selamanya negatif. Kemurkaan Tuhan adalah

jawaban dari kekudusanNya terhadap penebusan dosa. Terutama sekali mencapai puncak di

dalam tindakan, maka itu disebut “Kemurkaan-Nya”. Kemarahan Tuhan dalam Perjajian Lama.

Banyak ditemukan dalam kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Ulangan dan Mazmur. Alkitab juga

berbicara tentang kemarahan manusia (human anger) yaitu keadaan emosi yang seringkali

cenderung merusak, buruk, berbahaya, merugikan bagi orang lain maupun bagi diri sendiri, dan

membuka pintu pada dosa. Hal itu sering terjadi kerana salah menafsirkan suatu keadaan tertentu,

sehingga tafsirannya tersebut mengakibatkan perasaan tertentu dalam dirinya. Namun, Alkitab

juga menyatakan bahwa kemarahan manusia bisa postif dan terbebas dari dosa (ef. 4:26). Yakub

B. Susabda,163 mengatakan Alkitab menyaksikan human anger sebagai berikut:

a. Human anger sesuatu yang normal dan tidak selalu terikat oleh dosa. Dalam hal

ini, Allah menciptakan manusia dengan perlengkapan emosi termasuk anger. Oleh

karena itu, anger dapat menjadi keadaan emosi yang positif, misalnya kemarahan

Tuhan Yesus kepada orang-orang Farisi (Mrk. 3-5), Elia yang ditegur Allah oleh

karena tidak memarahi anak-anaknya (1 Sam. 3:13)

b. Human anger adalah suatu yang buruk dan merusak. Alkitab mengatakan

bahwa segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman adalah dosa (Rm. 14:23). Alkitab
162
Agus M. Hardjana, 35 Cara Mengurangi Stres, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm. 84
163
Yakub B. Susabda, Op.Cit., hlm. 7-8

72
menyaksikan betapa anger seringkali diidentikkan dengan dosa (Pkh. 7-9; Mzm.

37:8), oleh karena itu harus dikuasai (Ams. 16:32) dan dibersihkan dari unsur-unsur

dosanya (Ef. 4:31; Kol. 3:8)

c. Human Anger yang buruk membawa kepada dosa yang lebih besar. Alkitab

mengatakan marah, tetapi jangan berbuat dosa (Ef. 4:26), berarti ada kemarahan yang

tidak berakibat dosa dan ada pula kemarahan yang membawa kedalam perbuatan-

perbuatan dosa yang lebih besar, misalnya pembalasan dendam, kebencian, sakit hati,

dan sebagainya (Rm. 12:15), pelampiasan kemarahan baik dalam bentuk kata-kata

maupun perbuatan (Ams. 29:11-22; 1 Sam. 20:30-33)

d. Human anger dapat dikontrol dan diarahkan untuk kebaikan. Dalam Alkitab

terutama kitab Mazmur, banyak kesaksian betapa human anger dapat dikontrol dan

diarahkan untuk kebaikan. Misalnya, kesaksian pemazmur marah karena melihat

orang-orang jahat kelihatannya lebih berbahagia, tetapi kemarahan itu direfleksikan

dalam bentuk pergumulan iman kepada Allah (Mzm. 73). Alkitab tidak mengajarkan

orang percaya untuk selalu mematikan anger. Ada bagian-bagian Alkitab dimana jelas

sekali disaksikan betapa menyelesaikan anger secara positif sekali disaksikan betapa

menyelesaikan anger secara positif yang dapat dilakukan dengan keterbukaan (2 Tim.

4:2), dengan pemerbian hukuman (Ams. 23:13-14;2 Tim. 5:20), asalkan tindakan itu

terkontrol dengan sadar 9Yak. 1:19).

Didalam kitab Amsal, manusia diminta supaya jangan mengerjakan kemarahan (15:1;

27:4) dan mengurangi kemarahan (15:18; 16:32 19:11). Penulis Amsal juga mengingatkan

pembacanya untuk berhati-hati dalam bergaul dengan orang yang cepat marah (22:24). Larangan

ini disebutkan karena “sipemarah menimbulkan pertengkaran” (29:22). Yang dikecam disini

bukanlah itu sendiri, tetapi mengecam sifat lekas marah dan secara terus meneruh marah. 164

Tidak ada yang salah dengan perasaan marah itu sendiri. Yang merusak adlaah bagaimana

mengekspresikan kemarahan, misalnya dalam tindakan kekerasan terhadap orang lain, merusak

barang-barang. Kemarahan itu juga salah dan merusak jika seseorang, itu menyimpan kemarahan

dan mengizinkannya memupuk dalam dirinya sampai ia senantiasa hidup dalam kemarahan.
164
Wahyu Prudya, Kemarahan: Bis Tetapi Bukan Kebiasaan, dalam 5 Roti 2 Ikan, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
1996, hlm.2

73
Kemarahn yang ditekan bisa meledak dalam satu saat sebab kemarahan yang terperangkap dalam

diri seseorang mencari penyelesaian dan diekspresikan.

Sejalan dengan hal di atas Susabda juga mengatakan bahwa kemarahan bisa merupakan

sesuatu yang destructive (merusak) khususnya kalau merupakan ekspresi emosi yang tidak

terkendalikan ; bisa juga merupakan sesuatu yang construktive (membangun) akalu memotivir

kita untuk mengkoreksi kesalahan atau mengingatkan kita untuk dapat berfikir secara lebih

baik.165

2.1.7.2.2.3. Penyebab Kemarahan

Salah satu penyebab terjadinya kemarahan adalah peristiwa dukacita atau kehilangan

orang yang kita kasihi. Jadi kemarahan adalah tanggapan yang terjadi ketika seseorang lehilangan

orang yang dikasihinya. Ada kemarahan yang ditujukan kepada para dokter karena tidak dapat

berbuat lebih banyak, juga kepada staf rumah sakit karena tidak lebih memperhatikan almarhum,

dan kemarahan terhadap almarhum. Orang tersebut merasa ditinggalkan. Kemarahan juga dapat

terjadi kepada Tuhan yang mengijinkan terjadinya hal itu. Waktu itu perasaan dan penyesalamn

yang dalam meresap dalam hati karena perasaan kemarahan-kemarahan yang spontan itu. 166

Frank B. Minirth dan Paul D. Meir juga menyatakan bahwa tahap kedua yang dialami

oleh semua orang ketiak mengalami kehilangan yang berarti adalah reaksi marah yang ditujukan

terhadap orang lain terhadap dirinya sendiri. Bahkan mereka marah terhadap orang yang sudah

meninggal, meskipun ia tidak bisa berbuat apa pun dalam situasi tersebut. Pada tahap ini bisa

juga melibatkan kemarahan kepada Allah yang dianggap mengijinkan hal itu terjadi. 167 Dari

penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa penyebab terjadinya kemarahan itu salah satunya

adalah peristiwa dukacita, kehilangan atau meninggalnya orang yang kita kasihi. Dan hal ini

dialami oleh setiap manusia walaupun mungkin volumenya yang berbeda antara satu dengan

yang lain.

2.1.7.2.2.3. Pelampiasan Kemarahan

165
Yakub B. Susabda, Op.Cit., hlm. 6
166
Norman H. Wright, Op.Cit., hlm. 157
167
Frank B. Minirth & Paul D. Meier, Kebahagian Sebuah Pilihan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000, hlm. 29

74
Pengaruh emosi (kemarahan) yang mengalir ke seluruh tubuh dapat menimbulkan

kekuatan yang tidak terduga yang sering kali di ekspresikan dalam bentuk perlawanan fisik,

sumpah serapah, dan macam-macam bentuk negatif lainnya. 168 Sebahagian orang memilih untuk

menyembunyikan kemarahannya dan ada juga melampiaskan kemarahan mereka dengan

berbagai cara, misalnya dengan melahap makanan dalam jumlah besar, melampiaskan kemarahan

kepada orang lain, berolah raga, memukuli bantal dan yang lain-lain. 169 Pelampiasan kemarahan

dapat juga dalam bentuk Withdrawal (menarik diri dari lingkungan), menyimpan kemarahan,

mencari kambing hitam, coba menyelesaikan dengan cara sendiri.170

1. Withdrawal (menarik diri dari lingkungan)

Ketika suami mereka telah meninggal dalam beberapa waktu biasanya lebih kurang setahun

para janda sering melampiaskan kemarahan mereka dengan tidak mau lagi ikut ambil bagian

dalam persekutuan-persekutuan di gereja bahkan acara-acara yang bersifat umum pun seperti

pesta adat, perstiwa kematian, mereka cenderung menarik diri dan tidak mau hadir dengan

alasan mengingatkan mereka kepada almarhum suaminya.

2. Menyimpan Kemarahan itu

Yang bersangkutan bisa tersenyum gembira dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa, padahal

dengan menyimpan kemarahan seringkali masalah yang lebih serius muncul kemudian. Dan

hal ini menggejala dalam gejala-gejala fisik seperti sakit kepala, gangguan pencernaan,

tekanan darah tinggi, serangan jantung, dsb.

3. Mencari Kambing Hitam

Biasanya kemarahan yang tidak terselesaikan akan orang yang bersangkutan untuk mencari

kambing hitam, siapa yang dapat dipersalahkan atau mencari obyek pengganti dari

kemarahannya. Bisa anggota keluarganya, teman-teman sekantornya, pemerintah bahkan

Tuhan itu sendiri.

4. Coba Menyelesaikan dengan Caranya Sendiri

Umumnya hal seperti ini ialah mereka menyelesaikan kemarahannya dengan membalas pada

sumber kemarahannya. Kalau misalnya mereka anggap dalam peristiwa kematian suaminya

168
Garry R. C ollins, Konseling Kristen Yang Efektif, Jakarta: Imanuel, 2004, hlm. 141
169
Sue Burnnham, Op.Cit., hlm. 11-12
170
Yakub B. Susabda, OP.Cit., hlm. 11-12

75
Tuhan itu tidak adil misalnya, mereka tidak mau lagi berdoa, mambaca firman dan

sebagainya.

Pada janda cenderung untuk memadamkan perasaan dan tingkah laku yang berhubungan

dengan perasaan marah, maka perasaan ini terpendam dan tidak dapat keluar secara sehat. Pada

waktu mereka tidak mengakui perasaan marah atau tidak mau mengungkapkannya, perasaan itu

menggumpul. Perempuan yang menyimpan perasaan-perasaannya dalam hati cenderung menarik

diri dan menderita depresi.171 Di dalam batin, perasaan yang disimpan itu tidak mati, tidak pula

terus bersembunyi. Perasaan itu justru merembes keluar lewat jalan lain. Apabila kemarahan

yang ditekan adalah factor penyebab depresi yang dialami para janda tentu dia membutuhkan

pertolongan orang lain untuk melepaskan kemarahannya.

2.1.7.2.2.4. Dampak kemarahan

Kemarahan yang memuncak dan terpendam karena perasaan “terluka” akan berakibat sangat

buruk bagi individu, baik itu secara fisik, psikis maupun emosionalnya. 172 Saat kemaraham mulai

memuncak hamper tidak mampu untuk melakukan tindakan-tindakan yang produktif. Kemarahan

melumpuhkan semua akal sehat manusia.

Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kemarahan dapat membuat seseorang sakit

secara fisik yaitu sakit kepala, terganggunya pencernaan dan harus dirawat di rumah sakit.

Kemarahan juga dapat menjadi pemicu depresi dan keadaan depresi dapat menjadikan seseorang

terganggu secar psikis. Keadaan emosional mereka juga terganggu sehingga mereka murah

tersinggung yang pada akhirnya menyebabkan hubungan dengan orang lain terganggu bahkan

permusuhan dengan orang lain. Kemarahan yang sering atau kemarahan yang hebat dapat

menghasilkan sakit jantung atau penyakit serangan jantung yang fatal. 173 Hal yang sama juga

diungkapkan oleh Ichiro Kawachi,174 dari Harvard School of Public Health, melalu penelitiannya

171
Sue Burnham, Op.Cit. hal. 95
172
Hadi P. Sahardjo, Konseling Krisis dan Terapi Singkat, Bandung: Pionir Jaya, 2006, hal. 103
173
Weisinger (1985) mengatakan bahwa tingkat awal pada kemarahan yang timbul adalah keteganga. Saat seseorang
merasa tertekan, orang lebih mudah untuk terpancing. Otot tegang, sakit kepala dan sesak di dada. Jika tingkat
ketegangan terlalu memuncak, seseorang mungkin memandang gangguan kecil sebagai bencana besar yang
mengakibatkan keluarnya energi dengan sia-sia. Juga Hay (1996) mengatakan bahwa jika seseorang meneruskan
keyakinannya bahwa ketertekanan tidak dapat diterima akan menjadikannya naik darah (marah). Perasaan di dalam
tubuh menegangkan tulang sendi dan otot. Keteganga-ketegangan ini akan bertumbuk menjadi kemarahan selama
bertahun-tahun. Kemarahan dapat menjadi penyakit seperti radang sendi, komplikasi dan bahkan kanker. Lih. Imelda
V.G.Villar, Op.Cit.., pg.49
174
Don Colbert, Op.Cit.., hal. 45

76
bahwa yang menghubungkan kemarahan dan penyakit jantung koroner. Ia menulis resiko

serangan jantung di antara para pasien yang dikuasai kemarahan tampaknya sama kuatnya

dengan tekanan darah tinggi atau kebiasaan merokok. Para peneliti medis lainnya juga telah

melaporkan hubungan kemarahan dengan penyakit jantung. Permusuhan dan kemarahan secara

langsung berhubungan dengan rasa sakit dalam diri sejumlah orang. Kesaksian Alkitan mengenai

hal ini ada tertulis dalam Yeremia 15 :17-18 dan Mazmur 129:2-3:

“Tidak pernah aku duduk beria-ria dalam pertemuan orang-orang yang bersanda gurau;

karena tekanan tanganMu aku duduk sendiran, sebab Engkau telah memenuhi aku dengan geram.

Mengapakah penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan?

Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai” (Yer.

15:17-18)

“Mereka telah cukup menyesakkan aku sejak masa mudaku, tetapi mereka tidak dapat

mengalahkan aku. Di atas punggungku pembajak pembajak membajak, membuat panjang alur

bajak mereka” (Maz. 129:2-3).

Geram tentu saja merupakan suatu bentuk kemarahan. Menurut Miriam, kemarahan berarti sangat

tertekan sehingga menyebabkan penderitaan atau sengsara yang berkelanjutan. Kemarahan

pemazmur secara langsung menyebabkan pengaruh yang menyakitkan pada punggungnya. Bukan

hanya Alkitab mengatakan bahwa kemarahan berhubungan dengan rasa sakit pada diri seseorang,

tetapi ilmu pengetahuan juga mengatakan hal yang sama. Dr John Sarno, 175 seseorang professor

dibidang obat-obatan rehabilitas klinis melalui penelitiannya, dia menemukan bahwa sakit

punggung karena kejang dan penyakit punggung kronis sering kali merupakan akibat dari

ketegangan, stress, kecemasan, frustasi dan kemarahan terpendam. Ia berteori bahwa ketegangan

mempengaruhi sirkulasi darah ke otot-otot punggung. Ketegangan menyebabkan pembuluh-

pembuluh darah yang menyerupai otot-otot dan urat-urat saraf punggung mengerut, sehingga

mengurangi suplai darah dan oksigen ke jaringan-jaringan. Akibatnya, kejang yang menyakitkan.

2.2. Kerangka Konseptual

175
Ibid., hal. 57

77
Kehilangan adalah krisis manusia yang universal, yang menyerang setiap orang, cepat atau

lambat. Bila kematian atau suatu kehilangan hebat lainnya menyerang, tanggapan yang biasa

muncul shock (mati rasa yang alamiah) bercampur dengan perasaaan yang tidak berdasarkan

kenyataan, seperti dalam suatu mimpi buruk dan yang akan hilang sesudah terbanun. Pikiran

masih belum dapat menerima rasa sakit yang luar biasa itu, yaitu bahwa orang yang dikasihi itu

sudah benar-benar mati. Setelah penguburan dan keluarga mulai pergi barulah terasa bahwa

orang yang dikasihi itu sudah benar-benar mati. Dan mulailah kedukaan, sedih, kesepian,

kemarahan dan sebagainya menyelinap dan menguasai kehidupan orang yang ditinggalkan.

Demikianlah yang dialami oleh janda yang baru ditinggalkan suaminya. Mereka mengalami

guncangan. Beberapa hari, minggu, bulan kemudian mulai merasakan dan menerima realitas

bahwa suaminya telah meninggal. Pengalaman ini sungguh menyakitkan, dan mulai timbul rasa

bersalah, marah, kebencian, kerinduan, keputusasaan, kehampaan, kesepian, ketakutan atau

kekuatiran dan juga gejala-gejala fisik yang menurun. Yang mana itu semua merupakan cirri-ciri

dari depresi dan kemarahan. Jika kedukaan atau kemarahan dan depresi ini ditekan, maka

menjadi beban yang berat bagi para janda. Makin lama penyembuhan ditunda makin besarlah

resiko depresi dan kemarahan menguasai kehidupannya. Untuk itu, sangat perlu memperhatikan

dan melakukan pelayanan yang khusus bagi mereka seperti pendampungan pastoral konseling.

Ketika penulis melakukan pendampingan, hadir, memberikan bantuan praktis dan penghiburan

rohani kepada para janda, mereka sangat terhibur. Hal ini dapat penulis rasakan dari penerimaan

mereka.

Pada kunjungan berikutnya, penulis mencoba mendengar dengan tanggap, dan menanyakan

tentang perasaan-perasaan mereka terhadap suaminya, kenangan-kenangan dan sifat yang paling

mereka hargai dari suaminya, berapa sering mereka memikirkannya atau menangis. Hal ini

pemulis lakukan untuk mendorong terjadinya katarsis pada diri janda tersebut. Dalam

mengungkapkan perasaan-perasaan mereka, tidak jarang mereka menangis, bahkan ada yang

memukul-mukul tangannya ke pahanya. Bahkan mereka mengeluarkan kemarahan mereka atau

kebencian mereka dengan kata-kata, “Kau sudah enak disana, aku menderita disini mengurus

anak yang kau tinggalkan”. Tapi setelah puas menangis dan mengungkapkan perasaan-

perasaannya, para janda itu mulai nampak lebih tenang, lebih segar dan lebih dapat menguasai

78
diri. Para perkunjungan selanjutnya, mereka kelihatannya sudah pasrah dan mulai memberanikan

diri untuk memasuki hubungan baru seperti ke persekutuan tanpa suami serta mulai kelihatan

semangatnya untuk menjalani hari-harinya.

Pastoral konseling yang dilakukan sangat signifikan menurukan tingkat depresi dan kemarahan

yang mereka alami. Dan itu terjadi karena ada yang memperhatikan dan menghibur mereka juga

mendengarkan serta mendorong mereka untuk melepaskan, mengungkapkan perasaan-perasaan

yang mereka alami. Karena ketika mereka kehilangan suami, mereka sangat membutuhkan orang

yang memahami, mengerti dan menanggapi perasaan-perasaan mereka.

2.3. Pengajuan Hipotesa

Hipotesa merupakan kesimpulan sementara. Kesimpulan tersebut ada kecendrungan untuk benar

tetapi belum pasti. Sehubungan dengan itu Winarno Surakhmad mengatakan 176 Hipotesis adalah

suatu kesimpulan, tetapi kesimpulan ini belum final, masih harus dibuktikan kebenarannya.

Hipotesis adalah suatu jawaban yang dianggap besar kemungkinannya untuk menjadi jawaban

yang benar apabila dengan data yang terarah serta disimpulkan bahwa hipotesis itu benar sebagai

konklusi yang sangat sementara sifatnya. Selanjutnya Kartini Kartono juga mengemukakan 177

sebuah hipotesis itu jawaban sementara dari suatu penelitian yang harus diuki kebenarannya

dengan jelas research. Oleh karena itu, hipotesis adalah jawaban sementara yang mungkin benar

dan mungkin salah. Ia akan ditola jika faktanya menyangkal, jadi hipotesisnya adalah salah. Dan

hipotesisnya akan diterima jika faktanya akan membuktikan kebenarannya. Berdasarkan hal di

atas, maka penulis membuat hipotesis karya ilmiah ini sebagai berikut : “Jika para Janda

mendapatkan pelayanan pastoral konseling, maka itu akan menurunkan depresi dan

kemarahan mereka.

176
Winarno Surakhmad : Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1985, hal. 168
177
Kartini Kartono: Pengantar Metodologi Penelitian Sosial, Bandung: Tarsito, 1986, hal. 70

79
80

Anda mungkin juga menyukai