Anda di halaman 1dari 2

Dalam 

khotbah-Nya di bukit, Yesus mengingatkan secara keras bahaya dari


kemarahan. Yesus berkata, “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya
harus dihukum …” (Mat 5:22). Konteks dari bagian ini adalah teguran yang
Yesus berikan kepada intepretasi yang salah terhadap Taurat, yang
dilakukan oleh orang farisi. Terhadap intepretasi yang salah terhadap
hukum “jangan membunuh”, Yesus menekankan bahwa perintah ini tidak
saja dilanggar ketika seseorang membunuh orang lain, tetapi apabila hati
atau pikiran seseorang -didorong oleh kemarahannya- bermaksud untuk
membunuh seseorang, hal itu juga merupakan suatu dosa. Jadi, Yesus
memperingatkan akan bahaya dari kemrahan yang berkelanjutan
(dendam).

Apakah Yesus sendiri tidak pernah marah? Tidak. Beberapa bagian Alkitab
mencatat bahwa Yesus pun pernah marah (Mar 3:5;10:14). Salah satu kisah
yang sangat menarik untuk diperhatikan adalah ketika Yesus memporak-
porandakan meja-kursi orang-orang yang berjual beli di halaman bait Allah
(Markus 11:15-19). Yesus tentu tidak melakukan semunya itu dengan ekspresi
muka yang tenang, ia pasti marah dan sangat marah.

Beberapa pelajaran dapat ditarik dari marah (tetapi tidak berdosa) yang
dialami oleh Tuhan Yesus. Pertama, kemarahan Yesus mempunyai alasan
yang sangat kuat dan signifikan. Bait Allah seharusnyalah digunakan
sebagai tempat beribadah dan bukan tempat untuk berjual beli. Kedua,
kemarahan Yesus ditujukan pada orang yang “tepat”. Yesus tidak marah
kepada semua orang yang ada di bait Allah, tetapi hanya kepada mereka
yang berjual beli di halaman bait Allah. Ketiga, Yesus tidak dikuasai oleh
kemarahannya, tetapi Yesuslah yang menguasai kemarahan-Nya. Yesus
terlebih dahulu mengusir orang-orang yang berjual beli, baru kemudian
menjungkir-balikan meja-kursi milik para pedagang tersebut. Dari kisah ini,
kita mendapatkan pedoman bagaimana marah tetapi tidak berdosa.
Apabila kita marah hendaknya hal itu dikarenakan suatu alasan yang
sangat kuat dan signifikan, kemarahan tersebut ditujukan pada orang yang
“tepat”, dan diekspresikan dengan cara yang tepat pula.
Rasul Paulus pun mengajarkan, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah
kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam sebelum padam
amarahmu.” Hal ini berarti: pertama, kemarahan itu sendiri bukanlah suatu
dosa. Boleh menjadi marah, tetapi jangan sampai karena kemarahan itu,
kita melakukan suatu dosa. Kedua, jangan marah secara berlarut-larut.
Apabila marah terhadap seseorang, secepat mungkin harus diselesaikan
masalahnya. Jangan membiarkan kemarahan menjadi suatu dendam.

Anda mungkin juga menyukai