Anda di halaman 1dari 12

Hari ini kita membahas satu kalimat, yang bisa dikategorikan “The Hard Sayings

of Jesus” (kalimat Tuhan Yesus yang sulit/ kontroversial), yaitu kali ini mengenai
dosa menghujat Roh Kudus. Kalimat ini bukan cuma  kalimat problematik yang
membingungkan –koq bisa ada dosa yang Tuhan tidak sanggup atau tidak mau
ampuni– namun juga menghantui kita, karena kita jadi bertanya-tanya apa benar
ada dosa yang tidak diampuni, dosa apakah itu, dan jangan-jangan kita sendiri
pernah melakukan dosa itu. Kita akan membahas 3 hal, yang pertama: problem
dari pengampunan, yang kedua: kuasa dari pertobatan, yang ketiga: siapakah
penghujatnya.

Mat. 12:32 “Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia,


ia akan diampuni, tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di
dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datangpun tidak.” Waktu membaca
kalimat-kalimat kontroversial dari Tuhan Yesus, ada satu kecenderungan yang
perlu kita sadari, yaitu berhubung ini termasuk ‘hot topic’, kita selalu ingin
langsung masuk ke inti permasalahan; dalam hal ini kita ingin langsung bertanya:
“apa dosanya”. Bahaya kecenderungan ini, kalau kita terlalu tergesa-gesa
membahas ‘apa dosanya’, kita mungkin kehilangan bagian lain yang juga
penting. Oleh sebab itu kita coba berfokus lebih dulu pada bagian sebelumnya.

Ayat 32 a: “Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia, ia


akan diampuni”. Ini kalimat yang sangat penting, karena kata ‘Anak Manusia’
yang Kristus pakai di sini bukanlah istilah rendahan. Istilah ini diambil dari Daniel
7, tentang seorang figur yang datang berhiaskan awan-awan dari langit,
berkuasa atas segala bangsa, suku bangsa, dan bahasa kerajaannya kekal,
kekuasaanya kekal tidak akan lenyap, kerajaannya tidak akan musnah. Ini satu
istilah rajawi (royalty), mengacu pada seorang raja yang sangat besar.

Kita tahu, gambaran raja-raja zaman dulu adalah seseorang yang keagungannya
amat sangat dijaga. Ester tidak bisa datang menghadap raja kalau tidak
dipanggil, dan jika melakukan itu maka hukumannya hukuman mati; kecuali raja
mengulurkan tongkat, baru dia selamat. Selain itu, gambaran raja-raja zaman
dulu adalah seseorang yang Saudara tidak boleh pergi membelakangi dia (jadi
harus jalan mundur), tidak boleh menatap matanya, dan kalimat-kalimat Saudara
kepadanya harus dipenuhi dengan pujian, seperti “O, raja, hidup selama-
lamanya”, dsb. Maka waktu Tuhan Yesus mengatakan “Anak Manusia”, berarti
Dia mengatakan, “Saya ini Raja, Raja atas segala raja, karena kuasa Saya
bukan atas satu dua bangsa melainkan atas seluruh bangsa, suku bangsa, dan
bahasa. Kalau kamu mengucapkan sesuatu yang menentang Saya, Saya akan
ampuni.“ Aneh. Di sini baru kita menangkap betapa luar biasa, Tuhan Yesus
seakan mengatakan, “Saya ini Raja, tapi Saya bukan raja manusia.” Dan hal ini
bisa kita lihat langsung dari hidup-Nya. Di satu sisi Tuhan Yesus mengatakan
bahwa Dia akan menghakimi langit dan bumi, Dia ada sebelum Abraham, dst.,
tapi di sisi lain Dia mendekati anak-anak kecil, menyentuh orang-orang kusta,
makan bersama-sama orang-orang buangan masyarakat; dan di atas kayu salib,
ketika orang-orang mengucapkan saksi dusta, hinaan, caci-maki kepada Dia,
respons-Nya adalah: “Bapa ampunilah mereka”. Kalau kita tergesa-gesa
langsung lompat ke pembicaraan dosa apa yang tidak bisa diampuni tadi, kita
jadi kehilangan bagian pertama yang sangat menakjubkan ini, yang menyatakan
bahwa Allah adalah Allah yang di dalam diri-Nya ada keluasan hati yang luar
biasa. Dia punya keinginan yang begitu limpah untuk mengampuni, keluasan
hati-Nya begitu tidak terbatas, tidak ada yang tidak Dia ampuni, termasuk
mereka yang menginjak-injak Dia, memaku Dia, menombak Dia, mengkhianati
Dia, membunuh Dia. Jadi masih kurang apa??

Bagian ini juga mengajak kita untuk melihat bagian berikutnya –tentang
menghujat Roh Kudus tidak bisa diampuni– dengan perspektif yang lain.
Mengapa menghujat Roh Kudus tidak bisa diampuni? Satu hal yang pasti, bukan
karena Allah tidak mau mengampuni, atau Allah kurang ada hati untuk
mengampuni –Saudara sudah melihat itu di bagian pertama tadi. Jadi
bagaimana? Bukankah Allah mahakuasa, kalau Yesus bisa mengampuni segala
dosa dan ada keluasan hati yang tidak terbatas, mengapa tetap ada dosa yang
tidak bisa diampuni?

Dalam hal ini, yang perlu kita bereskan adalah bahwa Allah tidak pernah bilang
“bisa melakukan segala sesuatu”. Ada hal-hal yang Alkitab jelas mengatakan
bahwa Allah tidak bisa melakukan. Allah tidak bisa berdusta (Ibr. 6: 18). Allah
tidak bisa menyangkal diri-Nya sendiri (2 Tim. 2: 13). Satu analogi yang terbatas,
misalnya Saudara digebukin orang sampai babak-belur masuk rumah sakit; lalu
polisi sudah menangkap penjahatnya, dan menanyakan kepada Saudara detail
kejadiannya. Saudara kemudian mengatakan, “Saya sudah ampuni orang itu,
jangan apa-apakan dia”. Di sini, polisi yang beres akan bilang, “Saudara mau
ampuni, silakan, tapi ini bukan cuma masalah perasaanmu pribadi,  ini masalah
ketertiban masyarakat, kita tidak bisa punya masyarakat yang sehat kalau orang
berbuat seperti ini tidak ada hukuman.” Intinya, ini bukan masalah perasaan
Saudara pribadi, ini jauh lebih besar daripada sekedar masalah pribadimu. Dan
kita bisa mengatakan bahwa Allah juga demikian, namun dalam level kosmik.
Allah mengatakan, “Saya tidak ada masalah pribadi dengan kamu, tapi ada
sesuatu dalam struktur ciptaan yang Saya ciptakan, yang menuntut keadilan dan
kebenaran, yang tidak bisa dihapus begitu saja. “ Maksudnya apa? Kalau Allah
ikut aturan, jadi tidak mahakuasa dong?? Jawabannya: tetap mahakuasa, karena
ini aturan yang Dia ciptakan sendiri. Oleh sebab itu, ini tidak menyalahi
kemahakuasaan Allah, ini sesuai dengan 2 Tim. 2: 13 bahwa Allah tidak akan
menyangkal diri-Nya, tidak akan menyangkal yang Dia berikan.
Saudara, yang bisa kita renungkan dari ketegangan antara 2 kalimat ini, adalah
bahwa bagian ini mengajak kita untuk menyadari pengampunan bukanlah
sesuatu yang gampang, pengampunan itu sesuatu yang tidak otomatis. Hanya
karena Allah kita penuh kasih, keluasan hati-Nya tidak terbatas, dan bahkan rela
dibunuh, itu tidak berarti semua orang lalu bisa mendapatkan pengampunan
secara otomatis, karena itu bukan ajaran Alkitab. Dr. Martyn Llyod Jones, salah
seorang pengkotbah Reformed yang sangat konservatif, mengejutkan banyak
orang dalam satu kotbahnya ketika dia mengatakan: “Saya mengatakan ini tetap
dengan rasa takut dan rasa hormat kepada Tuhan, tapi saya akan
mengatakannya, bahwa pengampunan adalah sesuatu yang problematik,
bahkan bagi Allah”. Argumennya, karena di Kejadian 1 Allah mengatakan “jadilah
terang”, lalu terang langsung jadi –tidak ada problem– tapi di Kejadian 3, Allah
mengatakan “jadilah keselamatan/ pengampunan”, lalu perlu ratusan bahkan
ribuan tahun sampai keselamatan/ pengampunan itu benar-benar terjadi.

Pengampunan itu tidak otomatis; ini satu hal yang penting. Mengapa secara
umum ada 2 tipe reaksi orang mendengar kisah Yesus, tentang Tuhan Yesus
datang, menderita, mati, bangkit bagi kita? Respons tipe pertama, mengatakan,
“ya, saya sudah lama tahu itu, saya sudah percaya koq”, lalu hidupnya begitu-
begitu saja, masih  tetap cemas, masih tetap insecure, masih tetap didorong hal
yang itu-itu lagi, tidak ada perubahan. Tipe yang kedua, waktu mendengar kisah
Tuhan Yesus, mata mereka seperti terbuka, seperti ada gempa bumi yang
menjungkir-balikkan hidup mereka dan hidup mereka langsung berubah. Koq
bisa? Perbedaannya di mana? Salah satu kunci yang membedakan adalah tipe
yang pertama menganggap pengampunan adalah sesuatu yang mudah, yang
wajar, yang otomatis, yang biasa. Saya pernah satu ketika di pesawat sedang
membereskan barang-barang saya di kabin yang di atas, lalu tanpa sengaja satu
tas kecil jatuh menimpa kepala penumpang di bawahnya (seorang ibu bule).
Saya berkali-kali bilang, “I’m very sorry, I’m very sorry”, tapi orang itu cuma
melihat saya dengan tajam lalu buang muka tidak mengatakan satu patah kata
pun. Saudara tahu respon saya? Sakit hati! Mengapa? Karena dalam budaya
kita, kita terbiasa kalau minta maaf artinya harus dimaafkan. Kita mungkin pikir
ini lumrah, tapi bagi orang-orang di luar ‘adalah hak saya untuk mau maafkan
atau tidak; kamu sudah berbuat salah, kamu minta maaf tidak berarti saya akan
maafkan, itu bukan hal yang normal’.

Kalau Saudara pernah benar-benar bergumul untuk minta maaf, dan pernah
benar-benar bergumul untuk memaafkan orang, maka Saudara baru tahu bahwa
pengampunan itu tidak otomatis, tidak wajar, lumrah, biasa-biasa; sama sekali
tidak. Pengampunan itu sesuatu yang berat. Miroslav Volf bahkan mengatakan
dalam salah satu bukunya, bahwa pengampunan itu selalu ada sifat kejutan
(surprise), aneh, irasional, asing. Meskipun dunia tahu, bahwa akan lebih baik
bagi orang-orang kalau saling mengampuni, tetapi ketika kita benar-benar
bergumul dengan pengampunan, kita baru tahu kalau pengampunan itu sesuatu
yang ajaib, sesuatu yang membuat kita mengatakan, “koq bisa??” Itulah hal
pertama yang bisa kita renungkan tentang Allah kita dari bagian ini. Meskipun
Allah itu punya keluasan hati tidak terbatas, tidak berarti pengampunan itu
otomatis, simpel semudah membalik telapak tangan. Pengampunan adalah
sesuatu yang problematik bahkan bagi Allah. Dan waktu kita memikirkan hal ini,
harusnya membuat kita hidupnya berbeda.

Kita masuk ke bagian kedua, mengenai dosa apa sebenarnya yang dimaksud
ayat tadi. Ini bukan bagian yang mudah, tapi lebih dari itu, saya ingin mengajak
Saudara merenungkan kuasa/ pentingnya/ bobotnya suatu pengakuan dosa.
Ayat 31: “Sebab itu Aku berkata kepadamu: Segala dosa dan hujat manusia
akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni.” Sekilas
kita merasa 2 kalimat ini kontradiktif; klausa pertama: semua akan diampuni,
klausa kedua: hujat terhadap Roh Kudus tidak diampuni. Apa maksudnya? Saya
akan memberikan satu kunci, klausa pertama dapat Saudara mengerti sebagai
hal yang eksternal, dan klausa yang kedua sebagai hal yang internal.

Klausa yang pertama: ‘semua hujat dan dosa akan diampuni’, ini bicara secara
eksternal. Alkitab mau mengatakan bahwa tidak ada satupun dosa –kata-kata,
tindakan, perbuatan— yang tidak bisa diampuni, semuanya bisa diampuni. Ini
sesuai dengan teologi yang kita lihat di seluruh Alkitab. Daud membunuh orang
demi mendapatkan istrinya, dan ujungnya adalah pengampunan. Paulus
menyiksa jemaat Tuhan yang Tuhan anggap sebagai tubuh-Nya sendiri, lalu
ujungnya juga pengampunan. Di Yesaya 1: 18 kita membaca, ‘meskipun dosamu
semerah kirmizi, tapi Aku bisa memulihkannya menjadi putih seperti salju’. Kain
kirmizi adalah kain yang pewarnaannya kualitas nomor satu, tahan cuaca, tahan
usia, warnanya tidak akan pernah pudar, dsb., tapi itu pun bisa jadi putih seperti
salju, jadi maksudnya semua dosa akan bisa diampuni. Di Mazmur 25 Daud
mengatakan, ‘ampunilah kesalahanku ya, Tuhan, sebab besar kesalahanku itu’.
Mengapa Daud tidak mengatakan, ‘ampunilah kesalahanku, Tuhan, meskipun
aku berdosa besar’? Aneh. Kalau bilang ‘ampuni utang gua dong, sebab utang
gua gede’ itu aneh; tapi kalau ‘ampuni utang gua dong, meskipun utang gua
gede’, itu normal. Ini berarti Daud punya pengenalan akan Tuhan, yang berbeda
dengan kita. Daud mengenal Tuhan sebagai Tuhan yang justru lebih ada
kemungkinan berbelas kasihan ketika melihat dosa yang besar. Ini sesuai
dengan yang kita lihat dalam seluruh Alkitab, bahwa semua tindakan dosa tidak
ada yang tidak bisa diampuni, pada dirinya sendiri.

Klausa yang kedua: ‘tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni’, kita
melihatnya secara lebih internal. Apa pekerjaan Roh Kudus secara internal?
Salah satunya, Yohanes 16 mengatakan: ‘Roh Kebenaran itu menginsafkan
manusia akan dosa mereka’ Roh Kudus bekerja secara internal, berarti
membawa manusia untuk menyadari dan mengakui dosa mereka di hadapan
Tuhan dan manusia. Dengan demikian, jika proses penyadaran dan pengakuan
dosa ini kita tentang, kita lawan, kita tolak –jika kita menolak mengaku dosa dan
keberdosaan kita– maka tidak heran kalau kita tidak akan mendapat
pengampunan. Itulah yang kita mengerti ketika membaca bagian ini secara
internal.

Di semua bagian paralel ayat ini –dalam Markus dan Lukas—menghujat Roh
Kudus tidak pernah ditempatkan dalam level yang sama dengan semua dosa
yang lain. Di situ bukan sedang mengatakan bahwa  dosa A sampai X diampuni,
tapi dosa Z tidak. Yang dikatakan adalah dosa A sampai Z diampuni, tapi
menghujat Roh Kudus tidak bisa. Menghujat Roh Kudus itu kategorinya berbeda.
Kita bisa mengatakannya demikian: menghujat Roh Kudus itu tidak bakal
diampuni, karena inilah sumber pengampunan dari dosa A sampai Z. Dengan
kata lain, secara eksternal, berbicara tentang dosanya itu sendiri –perbuatan
dosanya—semua bisa diampuni; tapi kalau secara internal pekerjaan Roh Kudus
yang membuat kita menyadari dan mengakui dosa-dosa itu kita tolak, tentu tidak
heran bahwa tidak ada dosa yang bisa diampuni.

Dari mana tafsiran soal eksternal dan internal ini? Tafsiran ini kita dapatkan
kalau kita melihat konteks ketika kalimat ini diucapkan. Kalau kita
memperhatikan seluruh pasal Matius 12 tadi, kira-kira kalimat ini muncul dalam
konteks seperti apa? Di awal pasal ini, Tuhan Yesus mendeklarasikan diri-Nya
sebagai Tuan atas Sabat, Dia itu Mesias. Berikutnya ada cerita mengenai Dia
menyembuhkan orang, dan di situ Matius langsung mengutip nubuatan Yesaya
yang digenapi oleh Tuhan Yesus, Dia itu Mesias. Ketiga, ada cerita Tuhan Yesus
menyembuhkan orang yang kerasukan setan, maka sekali lagi ini menujukkan
Dia itu Mesias. Jadi yang terjadi adalah persis sebelum kalimat Tuhan Yesus
keluar dari mulut-Nya, Roh Kudus sedang bekerja di tengah-tengah orang
Yahudi dan para pemimpin agama untuk meyakinkan mereka mengenai identitas
Yesus, bahwa Dia itu Mesias. Kalau mereka mau menerima Yesus sebagai
Mesias, berarti orang Farisi itu harus mengakui kesalahan konsep mesianik
mereka, karena mereka merasa mesias tidak seperti Yesus ini. Kalau mereka
menerima, berarti mereka harus mengaku dosa, mereka harus insaf akan dosa
mereka. Ini pekerjaan Roh Kudus, bahwa mereka sedang diajak bertobat, tapi
orang-orang Farisi berkeras hati, mereka menolak hal ini, mereka menentang hal
ini, dan mereka mengeluarkan penjelasan alternatif yaitu Dia mengusir setan
dengan kuasa penghulu setan. Itulah sebabnya ada tafsiran eksternal dan
internal tadi.
Melalui bagian ini, Alkitab hendak mengatakan satu teologi, bahwa kuasa/ bobot
dari pertobatan dan pengakuan dosa itu sangat besar, bahwa pertobatan dan
pengakuan dosa dalam iman Kristen mempunyai tempat yang sangat tinggi dan
penting. Salah satu lubang besar dalam pola pikir orang Protestan hari ini, yaitu
berpikir pertobatan tidak terlalu penting, demikian juga pengakuan dosa. Kita
sudah diajarkan semuanya adalah by grace alone (oleh karena anugerah), jadi
kita pasif saja, semuanya karya Tuhan saja. Tapi dalam bagian ini kita melihat
bahwa Allah kita tidak bicara pesan seperti itu, there is no forgiveness without
repentance. Tidak ada pengampunan tanpa pertobatan, tanpa pengakuan dosa.
Dalam 1 Yohanes 1: 9 dikatakan: “Jika kita mengaku dosa kita , maka Ia adalah
setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan
kita dari segala kejahatan.”

Ketika Saudara mengerti bagian ini bicara secara eksternal dan internal, maka
Saudara melihat bagian ini tidak ada kontradiksi. Benar bahwa semua perbuatan
dosa bisa diampuni, tetapi tanpa pertobatan dan pengakuan dosa, tidak ada
perbuatan dosa yang bisa diampuni. Sangat logis, karena karya Roh Kudus
adalah mengajak atau membuat kita mengaku dosa dan keberdosaan kita
sepenuhnya, tanpa cari kambing hitam, tanpa main korting. Sehingga tidak heran
jika proses ini tidak jalan, maka tidak ada dosa yang bisa diampuni. Inilah
struktur/ aturan main yang Tuhan ciptakan. Menghujat Roh Kudus adalah
dengan menolak mengaku dosa, menolak untuk insaf, menolak untuk bertobat.
Dan ini bukan dalam hal pertobatan yang sekali untuk selama-lamanya,
melainkan pertobatan sehari-hari. Dalil pertama dari 95 dalil Luther berbunyi: “All
of life is repentance” –pertobatan , pengakuan dosa, insaf akan dosa, itu
mencakup seluruh hidup. Luther mengatakan, pertobatan dan pengakuan dosa
bagi seorang Kristen bukanlah sesuatu yang sekali-sekali, bukan sesuatu yang
dilakukan saat kita jatuh, melainkan sesuatu yang normal dan rutin, bukan hanya
untuk situasi-situasi yang buruk, tapi bahkan untuk situasi yang baik.

Dengan pertobatan dan pengakuan dosa, maka semua dosa ada titik terang,
termasuk dosa yang paling besar. Tanpa pengakuan dosa, dosa yang terkecil
pun akan menghancurkan hidup seseorang. Contoh dalam pernikahan, misalnya
Saudara bertengkar dengan pasangan, dan Saudara menganggap salahnya
pasangan 90%, salah Saudara cuma 10%, lalu Saudara tidak mau mengakui,
maka tidak akan ada perbaikan meskipun salah Saudara cuma 10%. Tapi kalau
Saudara datang kepada pasangan dan berkata, “saya minta maaf; sekecil
apapun, saya ada andil dalam kekusutan ini”, maka begitu ada pengakuan dosa,
sekecil apapun salah Saudara, kekusutan itu mulai terurai. Pengakuan dosa
sangat berkuasa, pengakuan dosa membuat segala sesuatu jadi lebih terang.
Tanpa pengakuan dosa, siang bolong pun bisa jadi gelap gulita.
Contoh lain, Saudara merasa pahit dan kecewa pada pasangan, tapi Saudara
menolak untuk mengakuinya. Waktu pasangan mau pergi dan berpamitan, “Saya
pergi, ya”, Saudara jawab, “Pergi saja!” Akhirnya pasangan Saudara merasa ada
sesuatu yang tidak beres dan tidak jadi pergi; tapi Saudara tetap tidak mau
mengakui. Ini jadi problematik; karena tidak diakui, maka tidak bisa dihadapi.
Bukan cuma orang lain tidak bisa menghadapinya, Saudara pun tidak bisa
menghadapi dosa tersebut, tidak ada kuasa untuk menghadapi kepahitan dan
kekecewaan yang Saudara alami karena tidak mau mengakuinya. Inilah
kekuatan sebuah pengakuan. Kalau kita tidak pernah membiasakan pengakuan
dosa, dengan mengatakan yang menjadi dosa kita itu, kita tidak akan ada
kemampuan untuk menghadapi dosa tersebut. Inilah pentingnya pengakuan
dosa dalam hidup sehari-hari orang Kristen. Sedangkan kalau Saudara
mengatakannya –“saya sebenarnya merasa seperti ini dan itu”—maka di situ
baru ada bentuknya, karena kata-kata itu membuat yang tadinya tersembunyi
menjadi nyata, dan selanjutnya orang lain –dan Saudara sendiri– bisa
mengevaluasi. Saudara sendiri jadi bisa menghadapi hal ini. Tanpa pengakuan
dosa, tidak ada harapan. Dengan pengakuan dosa, segala sesuatu ada titik
terang. Inilah kebenaran Alkitab yang riil dalam hidup kita.

Kuasa dari pertobatan dan pengakuan dosa bukanlah cuma memaksa kita,
melainkan memampukan kita untuk bisa menghadapi dosa kita. Tidak ada
pengakuan, tidak ada kemungkinan perbaikan juga. Pernah satu kali dalam KKR
Regional, Pendeta Billy sedang berkotbah kepada anak-anak, lalu  hujan turun
deras sekali sementara ruangan itu atapnya seng sehingga berisik luar biasa.
Hamba Tuhan yang lain bersama panitia berdoa habis-habisan minta hujan
berhenti karena takut orang tidak bisa dengar kotbah sama sekali, tapi tetap
tidak berhenti. Selesai kotbah, Pendeta Billy mengatakan, “Enak ya, hujan
seperti ini, kita dengar firman Tuhan jadi lebih adem.” Hamba Tuhan yang lain itu
menceritakan kepada saya, dan dia bilang: “Saya jadi sadar, saya salah, saya
sudah memaksakan satu gambaran dalam pikiran saya yang harusnya terjadi,
dan ternyata bukan itu yang Tuhan mau, mungkin bukan itu juga yang terbaik.”
Dan hal kedua –yang lebih penting– dia mengatakan bahwa dirinya tidak akan
bisa menyadari kebenaran ini, kalau dia tidak mengakui permintaan doa yang
salah tadi. Seandainya dari awal dia berkata ‘Tuhan, mau hujan berhenti, ya oke,
mau hujan terus, ya oke, kehendak-Mu jadilah Tuhan’, yang secara doktrin
benar, maka tidak bakal ada pertobatan.

Itu sebabnya –kalau mau pakai kalimat kasar– saya bisa mengatakan “tidak
semua Mazmur teologinya benar”. Ada kalimat-kalimat yang benar-benar seperti
curahan hati terdalam, misalnya pemazmur mengatakan: ‘Tuhan, gua ini sudah
mau mati, Lu harus selamatkan gua, karena kalau gua mati, Lu bisa apa sama
orang mati’. Itu teologi yang seperti melawan Tuhan, yang ngawur, seakan-akan
mengatakan ‘di dalam dunia orang mati Kamu tidak berkuasa’; tapi itu ada di
dalam Mazmur. Tuhan sengaja menjaga dan menyimpan mazmur-mazmur
seperti ini supaya kita tahu satu hal, yaitu pelajaran yang sama yang kita lihat
juga dalam kitab Ayub, bahwa Tuhan lebih mementingkan orang yang jujur di
hadapan Dia daripada orang yang doktrinnya benar tapi tidak jujur. Waktu kita
mengakui konsep kita yang miring di hadapan Tuhan, yang terjadi adalah
pertobatan, perbaikan, koreksi. Kita orang Indonesia sudah terbiasa tidak jujur
dengan perasaan kita, terbiasa takut mengakui isi hati kita di hadapan orang lain,
apalagi yang jelek-jelek. Tapi konklusi Alkitab adalah truth telling; pengakuan
dosa (confession) itu sangat penting, bobotnya sangat besar dalam kehidupan
orang Kristen, karena kebohongan yang paling berbahaya bukanlah kebohongan
orang lain terhadap Saudara, melainkan kebohongan Saudara terhadap diri
Saudara sendiri.

Menghujat Roh Kudus adalah menolak untuk bertobat, menolak untuk mengakui
keberdosaan dan dosa-dosa kita, oleh sebab itu dosa tidak bisa diampuni. Kalau
begitu, berarti kita aman dong, karena kita orang Kristen yang sudah datang ke
gereja, artinya kita orang-orang yang tidak ada problem dalam hal mengakui
dosa-dosa. Benarkah demikian? Kita akan masuk ke bagian terakhir, yaitu “siapa
penghujatnya”.

Kita perlu meneliti konteksnya, kepada siapa Tuhan Yesus mengucapkan kalimat
tersebut. Dengan memperhatikan 3 paralel bagian ini dalam Injil sinoptik, satu-
satunya jenis orang yang diperingatkan dengan kalimat ini adalah orang-orang
beragama. Di Matius 12 dan Markus 3, Dia mengatakan kalimat ini kepada
orang-orang Farisi. Di Lukas 12, bagian awal dikatakan ‘Yesus mulai mengajar
pertama-tama, kepada murid-murid-Nya’. Dan Alkitab kita penuh dengan tema-
tema seperti ini; Ibrani 6:4 dikatakan: “Mereka yang pernah diterangi hatinya,
yang pernah mengecap karunia surgawi, dan yang pernah mendapat bagian
dalam Roh Kudus, namun yang murtad lagi, tidak mungkin diperbarui sekali lagi
sedemikian, sehingga mereka bertobat.” Matius 7: 22-23 “Pada hari terakhir
banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami
bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan
mengadakan mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus-
terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal engkau!
Enyahlah daripada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Semua manusia bisa
menolak dan menentang pekerjaan Roh Kudus, tapi Alkitab menunjukkan,
hampir selalu orang-orang beragama, orang-orang yang mengaku diri sebagai
pengikut Kristus, justru yang lebih berbahaya dalam hal ini.

Dalam Perjanjian Baru waktu Tuhan Yesus berurusan dengan orang, hampir
selalu dengan 2 jenis orang; ada Simon orang Farisi dan perempuan berzinah,
ada Nikodemus orang Farisi dan perempuan Samaria, ada si kakak yang tinggal
di rumah dan ada si anak yang hilang yang pergi berfoya-foya. Selalu ada
kontras antara orang yang hidup beragama, bermoral, ikut pelayanan, percaya
Alkitab, versus orang-orang yang hidupnya rusak, kacau, sampah masyarakat.
Tuhan Yesus memanggil keduanya, dan hampir setiap kali –jika tidak mau
dikatakan ‘setiap kali’—yang berespons lebih cepat, lebih dulu, dan dalam
beberapa kasus cuma satu-satunya yang berespons, selalu tidak pernah orang
yang beragama. Kalau melihat teologi Perjanjian Baru, indikasinya adalah orang
lebih mungkin menolak Injil kalau dia seorang yang beragama dan bermoral.
Mengapa? Karena waktu kita mau belajar sesuatu yang baru (learn), kita harus
membuang yang lama (unlearn). Ini satu hal yang sulit. Lebih gampang mengajar
orang yang gelasnya kosong daripada yang gelasnya penuh; idiom dalam
bahasa Inggris mengatakan: “you cannot teach an old dog, new tricks” (Anda
tidak bisa mengajarkan anjing yang tua, trik-trik yang baru). Itu sebabnya anak-
anak lebih gampang diajar daripada orang-orang tua, karena orang tua sudah
merasa tahu.

Saudara dan saya adalah orang-orang yang paling berada dalam bahaya dosa
ini. Pengalaman di gereja-gereja, diaken yang biasanya paling sulit bekerja
sama, yang pelayanannya kurang berbuah, adalah diaken yang sudah merasa
tahu sistem gereja yang benar seperti apa, yang sebenarnya tidak ada dasar
Alkitabnya, hanya bawaan dari cara gereja yang sebelumnya, atau
kepengurusan yang sebelumnya, atau apapun yang dia sudah terbiasa. Dan
ketika diajak melihat sistem yang baru, prinsip Alkitab yang baru, mereka
menolak, menentang, sampai muncul kalimat, “Pusing berurusan dengan hamba
Tuhan seperti ini, apa-apa buka ayat.“ Ini mirip kalimat orang Farisi tadi. Maka
tidak heran dalam hal ini yang lebih berpotensi untuk menolak karya Roh Kudus,
menolak mengaku dosa, menolak berbalik arah, justru adalah orang-orang yang
beragama, yang katanya menjadi pengikut Kristus –Saudara, dan saya.

Di dalam cerita “Anak yang Hilang”, baik si kakak maupun si adik, dua-duanya
terhilang secara rohani. Tapi mengapa si kakak sulit sekali melihat hal ini?
Karena dia cuma terhilang secara rohani, tidak pernah terhilang secara jasmani;
dia ada di situ, dia melayani ayahnya, taat kepada ayahnya, dan pada akhirnya
inilah yang membuat dia gagal menyadari keterhilangannya secara rohani. Si
adik terhilang secara rohani dan juga terhilang secara jasmani, sehingga
gampang untuk dia mengakui bahwa dirinya terhilang. Orang-orang yang
menghujat Roh Kudus adalah orang-orang yang beragama, yang mungkin sudah
dibaptis, yang naik dalam kepemimpinan, yang belajar Alkitab, yang sangat aktif
di gereja, yang merasa dirinya sudah tahu padahal sebenarnya tidak.
Ada satu cerita dari Dr. John Gerstner —seorang hamba Tuhan– ketika dia
berkotbah kepada pemuda-pemudi yang mau menyerahkan diri jadi hamba
Tuhan. Dia mengatakan demikian: Tahun 1930-an di Amerika, dia mengenal
seorang wanita yang mau menyerahkan hidup jadi misionaris. Selepas SMA, dia
masuk sebuah seminari. Dia memilih seminari yang khusus, yang baik,
doktrinnya jelas, pelatihan misinya serius. Dan dia memilih kehidupan seperti ini
dengan mengetahui realita bahwa menjadi misionaris itu berbahaya. Sekitar
tahun 1930-an itu banyak sekali misionaris mati dibunuh atau mati oleh sakit
penyakit, karena itu adalah zamannya misionaris baru buka jalan, masih banyak
yang tidak tahu medan, tidak tahu harus bawa obat apa, masih meraba-raba
kultur daerah yang didatangi seperti apa. Dia juga diberitahu bahwa untuk jadi
misionaris, dia harus dilatih Alkitab dan dilatih budaya setempat. Dan satu lagi,
bahwa dia perlu suami. Tanpa suami, seminari tidak bisa mengirim dia karena
berbahaya sekali kalau seorang perempuan pergi sendirian, maka harus ada tim;
dan paling baik adalah bersama suami. Lalu malam itu dia berlutut di hadapan
Tuhan, “Tuhan, saya menyerahkan kemudi hidup saya, saya memberikan
Engkau segala sesuatu, saya tidak peduli mengenai keamanan, kenyamanan,
dan semua itu; saya akan mendapatkan semua pelatihan yang saya perlu. Satu
hal yang saya perlu dari Engkau, Tuhan, saya perlu suami, bukan untuk diri
saya, tapi untuk saya bisa melayani Engkau. Tuhan, tolong berikan saya suami.”
Lalu dia masuk seminari, dan dia jelas mau belajar apa. Dia ambil homiletika,
hermeneutika, topik penginjilan lintas budaya, dll. semua yang penting, lalu
setelah 4 tahun lulus, dia  melanjutkan ke sekolah yang khusus melatih
penginjilan untuk misionaris. Dan, dia belum ada suami, bahkan belum ada
pacar. Masa depan tampak mulai suram. Satu semester, dua semester lewat,
belum juga ada suami, belum ada pacar. Makin suram. Malam sebelum dia lulus,
masih belum ada suami, belum ada pacar. Dia kembali berlutut, tapi sekarang
mendidih dengan amarah, “Tuhan, apa-apaan ini?? Tidak ada harapan. Engkau
mau saya bagaimana? Ganti profesi? Sudah tidak bisa. Sejak SMA seluruh
hidupku kuberikan untuk ini, tidak ada satu inci pun yang tidak kupersembahkan
kepada-Mu. Sudah 6 tahun sekolah, kalau tidak bisa berangkat, jadi mau
ngapain?? Tidak ada skill yang lain, tidak ada latihan yang lain, tidak ada tempat
lain yang akan mau terima. Aku memberikan semua bagi-Mu, hanya satu hal
yang kuminta, dan Kau tidak memberikan! Mengapa Engkau bisa
memperlakukanku seperti ini??” Dia bergumul berat.

Tapi, yang luar biasa adalah –Dr. John Gerstner mengatakan—pada malam itu
wanita ini tahu satu hal. Dia sadar, bahwa hidupnya jadi begitu suram, begitu
gelap, itu bukan karena dia mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan yang
tidak bertanggung jawab, tapi karena dia tidak pernah benar-benar menyerahkan
hidupnya kepada Tuhan. Hidupnya gelap bukan karena dia pernah
menyerahkan, melainkan karena dia tidak pernah menyerahkan. Wanita ini
menyadari bahwa dia telah membuat satu gambaran, satu ide, tentang hidup
yang bermakna, yang dia paksakan kepada Tuhan; dan karena itu sesuatu yang
baik, masakan Tuhan tidak mau memberinya. Dia menyadari, dia minta itu bukan
demi Tuhan, tapi karena di ujungnya nanti dia akan bisa mengelus dada sambil
mengatakan “saya tahu, hidup saya ada arti, hidup saya bermakna”. Dengan
kata lain, dia menggunakan Tuhan untuk mewujudkan keinginan hatinya.
Caranya dengan sebisa mungkin memberikan hidupnya bagi Tuhan, sehingga
ujungnya supaya Tuhan merasa berutang kepada dia, sehingga dia berhak
mengatakan: “Saya sudah memberikan semua ini, apa yang Kau beri padaku?”
Akhirnya malam itu dia kembali berlutut dengan air mata, “Tuhan, Engkau yang
mahatahu, mahabijaksana, aku menyerahkan hidupku kepada-Mu sekarang.”
Dan di situlah momen wanita ini benar-benar bebas.

Ini bukan cerita inspirasional. Ini cerita untuk menelanjangi Saudara dan saya. Di
akhir ceritanya, Dr. John Gerstner mengatakan kepada pemuda-pemudi: Jika
anak perempuan yang rela menghabiskan sepertiga hidupnya untuk latihan jadi
misionaris dan meninggalkan banyak hal –rasa aman, kesenangan, ini dan itu–
demi menjadi misionaris, ternyata baru pada akhirnya sadar dirinya tidak pernah
memberikan hidupnya bagi Tuhan, apakah kamu bisa mengatakan ‘aku telah
memberikan hidupku bagi Tuhan’ ? Kalau dia saja tidak bisa, apalagi kamu,
apalagi saya.

Anak perempuan tadi pada akhirnya berdoa ‘aku menyerahkan diriku karena
Engkau adalah Allah yang mahabijaksana dan Allah yang mahabaik’. Mari
perhatikan apa artinya ini buat kita. Kalau Tuhan mahabijaksana, itu berarti kita
akan melakukan semua yang Dia perintahkan, menerima semua situasi yang
Tuhan berikan tanpa bertanya, tanpa komplain, meskipun kita tidak suka. Kita
tahu Alkitab tidak boleh dipotong-potong seperti kue, lalu kita comot-comot ambil
mana yang mau. Hidup Saudara juga demikian, karena hidup Saudara adalah
kehendak Tuhan. Mungkin Saudara tidak merasa main comot-comot firman
Tuhan dalam hidup Saudara, tapi bagaimana dengan soal menyerahkan
perpuluhan? Bagaimana dengan kalimat “menunggu waktu Tuhan” yang kita
ucapkan? Bagaimana dengan urusan mengikuti otoritas kepemimpinan Gereja –
manusia-manusia terbatas itu yang mungkin tidak lebih baik dari Saudara, yang
ditaruh Tuhan sebagai pemimpin? Ini bukan hanya problem Saudara, tapi saya
juga. Hati-hati, dalam saat-saat seperti ini, sangat mudah kita menolak/
menentang pekerjaan Roh Kudus.

Sedikit sharing, saya dari dulu tahu bahwa saya dipanggil jadi dosen/ pengajar,
karena saya orang yang lebih ada pemikiran/ lebih intelektual daripada people
person. Jadi saya bilang kepada Tuhan, “Tuhan, saya baiknya mengajar, fokus
ke STT atau STRIJ semacam itu.” Sementara rekan saya, Vikaris Ivan, justru
orang yang hatinya untuk jemaat. Dia ingin jadi gembala, masuk ke dalam seluk-
beluk hidup jemaat, jadi orang yang berada di tengah-tengah orang lain. Dia
tidak terlalu tertarik dengan gelar Ph. D., tidak tertarik meneliti isu-isu teologis
yang mendalam. Tapi waktu kami berdiskusi, kami baru sadar satu hal, ternyata
keadaannya terbalik. Dia yang ingin jadi gembala, tidak dikasih oleh Tuhan –
tepatnya oleh sinode—untuk pegang jemaat. Dia pelayanan di persekutuan
remaja yang cuma kotbah, hit and run, tidak pegang jemaat, dan sehari-harinya
kerja di STT sebagai staf adiministrasi mengatur ini itu, menemani profesor-
profesor dari luar, dan sekarang disuruh ambil Ph. D., yang sebenarnya dia tidak
ingin semua itu.  Sebaliknya, saya yang ingin semua itu, justru disuruh melayani
dalam jemaat ini 5 tahun. Dalam perbincangan kami, kami jadi menyadari satu
hal, bahwa Tuhan pakai situasi-situasi yang aneh ini justru untuk membawa
berkat bagi jemaat Tuhan, yang mungkin lebih besar daripada kalau kami
dibiarkan mengejar hal-hal yang menjadi keinginan kami masing-masing.

Saudara sebagai jemaat atau diaken mungkin tidak disuruh sampai sejauh itu,
tapi pilihannya adalah: kita mau mengakui dosa kita, menuruti gerakan Roh
Kudus di hati kita untuk menyadari di balik semua situasi ada tangan Tuhan, atau
kita mau bikin cerita alternatif/ penjelasan alternatif. Celaka kalau tidak ada
pengakuan dosa seperti itu dalam hidup kita sehari-hari.

Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)

Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading

Anda mungkin juga menyukai