Memahami bencana
Berbagai bencana disebutkan dalam Alkitab. Kadang, kita diberi penjelasan mengapa bencana terjadi, dan
kadang tidak. Pada bagian ini kita mengamati beberapa perbedaan alasan kejadian bencana.
Bencana sebagai akibat hubungan yang rusak
Banyak kejadian bencana yang disebutkan dalam Alkitab tidak memunculkan alasan tertentu. Bencana
tersebut adalah hasil dari runtuhnya dunia tempat di mana kita tinggal. Dalam Kejadian 3 kita membaca
bahwa, karena orang berpaling dari Tuhan dan ingin hidup dengan cara mereka sendiri, rusaknya hubungan
antara manusia dan Tuhan, antar manusia dan manusia, dan antara orang dan penciptaan.
Oleh karena itu, bencana dipicu oleh ancaman/bahaya kejadian 'alam' atau apa yang disebut 'kehendak
Tuhan' sering berakar pada dosa manusia. Hal ini karena orang telah dibuat rentan oleh tindakan mereka
sendiri dan orang-orang lain, karena ketidaksetaraan, ketidakadilan dan keserakahan.
Orang Kristen dapat dipengaruhi oleh bencana seperti halnya orang lain. Orang Kristen bisa sakit dan mati,
mereka dirampok dan diperkosa, mereka mengalami kecelakaan dan dapat terbunuh, atau kehilangan orang-
orang terkasih, karena bahaya alam. Orang Kristen selalu aman di tangan Tuhan karena di surga sana tidak
akan ada lagi kematian atau penderitaan. Namun, hingga saat itu, orang Kristen hidup di dunia, dan
karenanya menderita akibat dari dosa.
Bencana sebagai penghakiman Alkitab jarang menyebutkan hubungan antara dosa yang spesifik dan bencana.
Banyak dari para nabi menyatakan bencana sebagai konsekuensi dari menyembah berhala. Contoh yang
terkenal Allah membawa bencana sebagai penghakiman adalah banjir/air bah.
Kejadian 6-8.
Di sini, banjir adalah penghakiman langsung dan universal pada diri manusia karena dosa mereka. Setelah
banjir, Allah bersumpah untuk tidak membawa seperti bencana universal pada bumi dan umatnya lagi. Ini
tidak berarti bahwa tidak akan ada bencana alam, tetapi bahwa bencana akan terbatas dampaknya.
Bencana sebagai panggilan untuk berpaling kepada Allah
Ulangan 28:15-68 adalah salah satu contoh ancaman bencana dari Allah untuk memanggil orang-orangNya
untuk beralih ke dia dan mentaati Dia. Dalam kitab Yunus, kita membaca bahwa Tuhan tidak menghancurkan
kota Niniwe seperti ancamanNya, karena setelah nubuatan Yunus, orang bertobat dan berbalik dari jalan
mereka yang jahat.
Walaupun kadang-kadang Tuhan menggunakan bencana sebagai penghakiman pada orang berdosa, atau
membawa orang kembali kepadanya, kita tidak boleh lupa bahwa kita semua (bahkan jika kita tidak pernah
terpengaruh oleh bencana) suatu hari akan dihakimi oleh Allah. Bencana itu dapat bertindak sebagai
pengingat akan rusaknya dunia di mana kita hidup dan kebutuhan akan dipulihkannya hubungan kita dengan
Pencipta.
Bagaimana motivasi Kristen untuk membantu mereka yang membutuhkan berbeda dari motivasi lembaga
emanusiaan sekuler?
Mikha 6:8 adalah motivasi kunci untuk kedua membawa kasih sayang setelah bencana telah terjadi, dan
melakukan upaya untuk menghentikan bencana terjadi. Tuhan membutuhkan:
Komitmen untuk keadilan, Bencana sering sebagai akibat ketidakadilan seperti keserakahan dan
ketimpangan. Melalui advokasi bekerja, orang Kristen dapat menantang ini sebagai hubungan tidak adil dan
membuat orang kurang rentan terhadap bahaya.
Cinta belas kasihan Kita harus memiliki belas kasih bagi mereka yang menderita. Kita harus berbelas kasih
kepada sesama, terlepas dari budaya mereka, agama, jenis kelamin, usia atau kemampuan, mengingat bahwa
semua orang sama-sama berharga bagi Allah (Kejadian 1:27).
Gereja merupakan tempat yang baik, baik ketika membantu pada saat bencana dan untuk mengambil
tindakan untuk mengurangi kerentanan masyarakat terhadap bahaya. Hal ini karena gereja ada di tingkat
akar rumput dan anggota-anggotanya memiliki berbagai keterampilan yang diperlukan dan sumber daya.
Lembaga bantuan Kristen harus bekerja sama dengan gereja lokal, karena gereja lokal dapat
mempertahankan pekerjaan bila badan bantuan bergerak
Sadarkah Saudara bahwa alam tempat tinggal kita ini makin rusak? Dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup
tanggal 5 Juni yang lalu, banyak orang menyoroti kerusakan lingkungan hidup. Kita merasakan bumi yang
makin panas, banjir, serta pencemaran udara, air, dan tanah; semua itu adalah masalah yang menimbulkan
banyak dampak negatif bagi manusia. Gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan dan eksploitasi alam
yang berlebihan telah membuat alam ini berduka. Lingkungan hidup menjadi rusak dan terjadilah
ketidakadilan ekologi.
Mengapa lingkungan hidup kita menjadi rusak? Adakah cara pandang dan sikap manusia yang salah terhadap
alam? Tentu saja. Pemahaman dan cara pandang orang terhadap lingkungan hidup memengaruhi sikap
mereka dalam memperlakukan alam. Misalnya ada pandangan bahwa manusia adalah pusat alam semesta
(anthroposentris). Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem.
Alam dilihat hanya sebagai objek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.
Alam hanya bernilai sejauh menunjang kepentingan manusia. Tentu pandangan seperti itu menghasilkan
sikap yang tidak bersahabat dengan alam.
Lalu, bagaimanakah pandangan kita (orang Kristen) terhadap alam atau lingkungan hidup? Alkitab sebagai
sumber nilai dan moral kristiani menjadi pijakan dalam memandang dan mengapresiasi alam. Alkitab
sebenarnya mengajak manusia memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ciptaan Allah lainnya,
termasuk alam atau lingkungan hidup.
Dengan memerhatikan kajian teologis di atas, maka melahirkan teologi kontekstual-ekologis sebagai berikut.
1. Teologi Ciptaan
Teologi ciptaan menekankan karya Allah yang memberikan hidup kepada seluruh ciptaan (Mazmur 104).
Dalam hal ini, manusia dilihat sebagai bagian integral dari alam bersama tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
ciptaan lainnya. Tanggung jawab manusia adalah bekerja untuk Tuhan dalam memelihara dan mengelola
lingkungan hidup, bukan mendominasi apalagi mengeksploitasinya. Teologi seperti ini juga pernah
dirumuskan dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992.
2. Solidaritas dengan Alam
Kesadaran bahwa seluruh ciptaan berharga di mata Tuhan, membawa kita untuk membangun sikap
solidaritas dengan alam. Kita memperlakukan lingkungan hidup sebagai sesama ciptaan yang harus dikasihi,
dijaga, dipelihara, dan dipedulikan. Kita mencintai dan memperlakukan lingkungan hidup dengan sentuhan
kasih sebagaimana sikap Tuhan. Kita membangun solidaritas baru dengan alam yang telah rusak.
3. Spiritualitas Ekologis
Spiritualitas ini dibangun dengan dasar penghayatan iman bahwa semua ciptaan diselamatkan dan dibaharui
oleh Tuhan. Pembaharuan itu menciptakan kehidupan yang harmonis. Spiritualitas ekologis memunyai dasar
pada pengalaman manusiawi yang berhadapan dengan kehancuran lingkungan hidup sekaligus berhadapan
dengan pengalaman akan yang Mahakudus, yang mengatasi segalanya. Dalam pengalaman ini, kita dipanggil
untuk secara kreatif memelihara kualitas kehidupan, dipanggil untuk bersama Sang Penyelenggara hidup ikut
serta mengusahakan syalom, kesejahteraan bersama dengan seluruh alam. Spiritualitas ekologis terwujud
dalam macam-macam tindakan etis sebagai wujud tanggung jawab untuk ikut memelihara lingkungan hidup.
Konkretnya, apa yang dapat gereja lakukan untuk mewujudkan pandangan teologi seperti tersebut di atas?
Selama ini gereja hanya berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan kebaktian atau kegiatan lain yang melayani
manusia. Sudah saatnya gereja menyadari bahwa gereja memiliki tugas panggilan menjaga keutuhan ciptaan
atau kelestarian lingkungan hidup, misalnya dengan membuat program-program sebagai berikut.
1. Pembinaan tentang Kesadaran Ekologis
Pembinaan ini merupakan upaya gereja untuk mengingatkan anggotanya bahwa alam adalah ciptaan Allah
yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikannya. Misalnya dalam PA atau pembinaan khusus
dan tema-tema kebaktian.
2. Perayaan Lingkungan Hidup dalam Liturgi
Misalnya membuat ibadah khusus untuk merayakan Hari Lingkungan Hidup. Dalam ibadah, ada baiknya kita
melakukan penyesalan dosa yang dilakukan terhadap alam semesta karena ulah manusia yang telah merusak
alam. Penting juga untuk menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu rohani yang bertemakan alam.
3. Menyuarakan Suara Kenabian terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup
Gereja perlu menyuarakan kritik atau memberikan masukan-masukan bagi masyarakat atau pun pemerintah
terkait dengan upaya melestarikan lingkungan hidup.
4. Menata Lingkungan Gereja dengan Memerhatikan Keseimbangan Ekologis.
Misalnya jangan habiskan tanah untuk mendirikan bangunan, tapi berikan ruang untuk tanam-tanaman. Kita
bisa membangun lingkungan gereja yang hijau dan asri.
5. Gerakan Penanaman Pohon bagi Seluruh Warga Gereja
6. Mengajak Anggota Jemaat Membudayakan Gaya Hidup yang Ramah dan Dekat dengan Alam.
Misalnya dengan memisahkan sampah plastik, membuat lingkungan sekitar rumah menjadi hijau dengan
tanam-tanaman.
7. Membangun Kerja Sama dengan Lembaga atau Kelompok Pencinta Alam.
Misalnya WALHI, untuk memperjuangkan pembangunan yang berwawasan ekologis.