Anda di halaman 1dari 62

1

ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 1)


Pentingnya Mengenal Siapa Manusia

Pengertian mengenai siapa manusia itu penting sekali, sebab pengertian ini menentukan dan
sangat mempengaruhi seluruh perilaku hidup seseorang. Bila seseorang mengenal dirinya menurut
Alkitab, maka buahnya antara lain:
Pertama, dapat menempatkan dirinya secara benar dihadapan Tuhan.
Menempatkan diri secara benar di hadapan Tuhan artinya mengerti bagaimana seharusnya
bersikap terhadap Tuhan. Sama seperti anak dapat bersikap lebih benar terhadap orang tua kalau
mengenal siapa dirinya sebagai anak. Dengan mengenal siapa dirinya dihadapan Tuhan maka
seseorang akan berusaha mengenal lebih mendalam siapa Tuhan bagi dirinya dan siapa dirinya bagi
Tuhan. Dengan demikian ia akan dapat menghormati Tuhan dengan benar. Hal ini merupakan fondasi
utama untuk bersekutu dengan Tuhan, baik di bumi maupun di kekekalan nanti.
Kedua, dapat memperlakukan dirinya sendiri dan sesamanya dengan benar.
Orang yang tidak mengenal dirinya sendiri tidak akan dapat menghargai dirinya dengan benar. Ia
tidak memanusiakan dirinya sendiri. Ia juga tidak akan dapat mengasihi dirinya sendiri dengan benar.
Ini berarti ia membinasakan dirinya sendiri. Padahal mengasihi diri sendiri adalah pijakan atau dasar
mengasihi sesama manusia. Jadi, orang yang tidak mengasihi dirinya sendiri, tidak akan bisa
mengasihi sesamanya. Ia tidak akan dapat bersikap benar terhadap sesamanya. Orang yang tidak
memanusiakan dirinya juga tidak memanusiakan orang lain.
Ketiga, mengelola alam yang diciptakan Tuhan dengan baik.
Manusia yang mengenal dirinya sebagai makhluk ciptaan yang diciptakan untuk melayani Tuhan,
akan mengelola alam ciptaan Tuhan sebagai tanggung jawabnya. Adapun kalau alam kita hari ini
menjadi rusak karena perbuatan manusia, hal itu disebabkan manusia tidak mengenal dirinya yang
harus bertanggung jawab mengelola alam dan melestarikannya secara bertanggung jawab dan bijak.
Pada umumnya, manusia tidak memahami atau tidak mau mengerti bahwa tanggung jawab untuk
menyelamatkan alam ini ada dalam tanggung jawabnya. Keserakahan manusia dan egoismenya telah
merusak eko sistem bumi ini dalam skala yang makin besar. Hari ini, banyak bencana alam yang
disebabkan oleh kelakuan manusia itu sendiri.
Jadi, pengertian mengenal siapa manusia dapat menjadi landasan hubungan antara Allah dan
umat, hubungan antar sesama, dan antara manusia dengan lingkungan alam. Tanpa landasan
hubungan ini, maka kehidupan akan menjadi rusak. Landasan hubungan ini merupakan petunjuk
pelaksanaan/ penyelenggaraan kehidupan bagi manusia di bumi ini. Pemahaman seseorang
mengenai siapa sebenarnya manusia itu menurut Alkitab juga menjadi dasar pertimbangan etis yaitu
pengertian mengenai apa yang baik dan yang buruk. Seseorang yang tidak mengenal dirinya tidak
akan pernah menjadi manusia yang memiliki moral sesuai dengan moral yang Tuhan kehendaki.
Hewan tidak memiliki landasan etika atau pertimbangan etis sebab hewan tidak mengenal siapa
dirinya. Dalam hal ini orang percaya harus sungguh-sungguh belajar mengenal siapa dirinya menurut
kebenaran Alkitab.
Kejatuhan manusia ke dalam dosa bukan saja membuat manusia tidak lagi memiliki standar
kebenaran dan kesucian yang Tuhan kehendaki (Rom 3:23), tetapi manusia juga telah kehilangan
pengetahuan mengenai dirinya atau kehilangan pengetahuan mengenai rencana Allah, hendak
menjadi manusia macam apakah yang Tuhan kehendaki. Keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus
merupakan proses agar ditemukannya kembali pengetahuan mengenai manusia yang dikehendaki
Allah. Itulah sebabnya orang percaya harus belajar untuk mengenal dengan benar siapa manusia
menurut Alkitab. Selain itu harus berusaha untuk bertumbuh menjadi manusia seperti yang
dikehendaki oleh Allah. Oleh sebab itu, selama tiga setengah tahun Tuhan Yesus mengajarkan
2

kebenaran yang membuka mata pengertian manusia untuk memahami manusia macam apakah yang
dikehendaki oleh Bapa di Sorga. Dan Tuhan Yesus sendiri sebagai teladan untuk semua orang yang
bersedia gambar dirinya dipulihkan melalui proses pemuridan.

Manusia adalah Gambar Allah.


Pandangan yang benar mengenai siapa manusia tertulis dalam kitab Kejadian 1:26-27. Manusia
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Bila dipertanyakan: Dalam hal mana manusia segambar
dengan Allah? Pertanyaan ini sebenarnya sukar untuk dijawab. Tetapi segambar disini pasti lebih
menunjuk kepada unsur rohaniah atau batiniahnya, sebab Allah adalah Roh (Yoh 4:24). Tetapi bila
dipersoalkan bentuk apakah yang sering ditampilkan Tuhan di Kerajaan Sorga atau dimanapun, maka
jawaban yang paling logis adalah bentuk manusia seperti kita ini. Itulah sebabnya Tuhan memilih
bentuk fisik seperti ini sebagai bentuk yang paling sempurna (Kej 1:31).
Kata-kata yang digunakan untuk gambar dan rupa didalam teks asli Alkitab yaitu dalam bahasa Ibrani
adalah tselem dan demuth. Tselem hendak menunjuk gambar dalam arti unsur-unsur dasar yang
dimiliki Allah juga dimiliki manusia yaitu pikiran, perasaan, kehendak, kekekalan dan hakekat kerja.
Adapun Demuth adalah keserupaan yang menunjuk kepada kualitas atas unsur-unsur tersebut.
Keserupaan dengan Allah yang dimiliki manusia bukan sesuatu yang statis tetapi bisa progresif.
Banyak penjelasan para theolog mengenai dua kata tersebut. Tetapi pada umumnya kata tselem
dan demuth diartikan tunggal (bersinonim), bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah (Ing,
In His own image. Latin, Imago Dei similitudo). Segambar dengan Allah diartikan sederhana sebagai
“mirip seperti Tuhan sendiri”. Gambar Allah atas manusia inilah yang memberi nilai pada manusia
(The image of God is what makes man). Gambar Allah merupakan sesuatu yang interen didalam diri
manusia, sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari diri manusia. Itulah sebabnya walaupun manusia
sudah jatuh dalam dosa, tidak dinyatakan bahwa gambar Allah itu tidak hilang sama sekali (Kej 9:6;
Yak 3:9). Pengertian ini penting, sebab dalam proses keselamatan, gambar Allah yang rusak ini akan
dipulihkan kembali (restituio imaginis Dei – Pemulihan gambar Allah).
Di dalam diri manusia terdapat unsur-unsur yang juga ada di dalam diri Allah, tentu dalam diri
Allah skalanya sempurna. Manusia memiliki kecerdasan (rasio) atau intelektual. Hal ini memampukan
manusia rasionalisasi, berpikir, berlogika, menganalisa dan lain sebagainya. Oleh karena keberadaan
(eksistensi) inilah maka para penganut teori evolusi menyatakan bahwa manusia adalah binatang
menyusui yang cerdas, dalam hal ini mereka hanya memandang dari satu sisi saja. Pikiran harus
digunakan semaksimal mungkin untuk mengenal Tuhan dan mengelola hasil karya-Nya.
Manusia memiliki perasaan dan emosi. Hal inilah yang membuat manusia dapat memiliki rasa
sayang, benci, cemburu, cinta, marah, dan lain-lain. Perasaan inilah yang membuat manusia dapat
berinteraksi atau hubungan timbal balik dengan Tuhan dan sesama dalam satu suasana hubungan
yang saling mempengaruhi.
Manusia memiliki kehendak (will) yang memampukan untuk berniat bersekutu dengan Allah,
melayani dan mengabdi kepada-Nya. Kehendak manusia ini adalah kehendak bebas (liberum
arbitrium), maksudnya bahwa manusia dengan kehendaknya dapat memilih mematuhi Tuhan atau
memberontak kepada-Nya. Kejadian 3 yang mengisahkan kejatuhan manusia memberi bukti jelas
bahwa manusia adalah makhluk yang bebas. Kenyataan ini menyeret manusia kepada resiko
kehidupan yang sangat tinggi, sebab manusia diperhadapkan kepada pilihan antara terang atau
gelap, sorga atau neraka, Tuhan atau setan (penjelasan lebih lengkap mengenai hal ini ada pada
bahasan khusus yang mengambil judul Kehendak Bebas). Segambar dengan Allah juga ditunjukkan
dengan kenyataan bahwa manusia memiliki unsur kekekalan dan memiliki hakekat kerja (dijelaskan
pada bahasan khusus).
3

Antropologi Alkitab (pelajaran 2)


Manusia adalah Makhluk Ciptaan

Dalam kitab Kejadian terdapat prinsip yang harus diperhatikan, berkaitan dengan hakekat
manusia. Manusia adalah hasil ciptaan Allah (Kej 1:26-27; 2:7). Manusia adalah hasil karya dari
tangan agung Pencipta. Untuk ini harus dicamkan bahwa bagaimanapun manusia berbeda dengan
Allah. Allah adalah Pencipta dan manusia adalah makhluk ciptaan hasil karya-Nya. Manusia
diciptakan dari apa yang tidak ada menjadi ada, baik bahan maupun idenya. Dalam bahasa Ibrani
salah satu kata untuk diciptakan, yang digunakan dalam kitab Kejadian adalah bara. Kata ini
artinya menciptakan tanpa bahan. Manusia diciptakan dari apa yang tidak ada (Latin, Creatio ex
nihilo). Kesadaran terhadap fakta creatio ex nihilo akan membuat seseorang bersikap rendah hati
dihadapan Tuhan semesta alam. Siapakah manusia? Manusia ada karena tangan yang
merancangnya. Manusia adalah umat yang menyembah dan memuja, adapun Pencipta adalah
Allah yang menjadi obyek pemujaan dan penyembahan. Allah tidak pernah berubah menjadi
manusia secara permanen atau sebaliknya. Kalau Allah Anak yaitu Tuhan Yesus turun ke bumi, Ia
hanya sementara waktu menjadi manusia, kemudian Ia kembali ke Sorga. Dalam hal ini nyata
bahwa manusia bukanlah eksistensi yang berdiri sendiri (indipenden).
Manusia ada karena Allah yang menghendaki manusia itu ada. Manusia diciptakan dengan cara
yang sangat unik, tidak seperti ciptaan-Nya yang lain. Manusia diciptakan dengan tangan Tuhan
sendiri (Kej 2:7). Kata menciptakan atau membentuk dalam Kejadian 2:7 adalah Yatser (Ibr), yang
mengandung pengertian aktivitas yang kreatif. Allah membentuk yang juga berarti mengukir (to
carve). Didalam kata Yatser mengandung unsur seni. Allah menghembuskan nafas ke lubang
hidung manusia, sehingga manusia menjadi makhluk hidup. Manusia bukanlah hasil proses evolusi
dari binatang tingkat rendah kepada bentuk binatang tingkat tinggi. Tetapi manusia adalah hasil
karya tangan Tuhan yang ajaib. Pengakuan ini penting, agar orang percaya tidak terhanyut oleh
filsafat dunia yang menolak keberadaan Allah (nihilistic) dan tidak mengakui bahwa Allah lah yang
menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Dengan demikian teori Evolusi ilmiah (Naturalis
evolution) adalah teori yang menyesatkan, dan memicu orang menjadi atheis (tidak percaya
eksistensi Allah).
Manusia adalah makhluk ciptaan berarti bahwa manusia ada di bumi ini bukan kecelakaan atau
kebetulan. Manusia mengandung atau memuat maksud tujuan ilahi. Manusia dirancang untuk
suatu maksud tertentu atau untuk suatu alasan tertentu. Maksud atau alasan itu harus ditemukan
setiap orang. Menemukan maksud atau alasan manusia diciptakan barulah manusia menemukan
tujuan hidup ini. Tanpa menemukan maksud dan alasan tersebut, maka seseorang tidak menjadi
manusia yang dimaksud Allah. Coba renungkan, mengapa tidak menjadi kucing? Untuk ini setiap
individu harus mulai serius bertanya dan mempersoalkan, what is the reason we live? (Apa tujuan
aku hidup). What on earth am I here for? (Untuk apa aku ada di bumi ini). Bila seseorang sadar
bahwa ia adalah hasil karya Tuhan maka ia akan cenderung mengabdi kepada Tuhan. Sama seperti
seorang anak yang sadar bahwa ia menjadi besar dan berprestasi karena orang tua, maka ia akan
4

cenderung mengabdi kepada orang tua. Manusia akhir jaman tidak mau tahu bahwa langit dan
bumi diciptakan oleh Tuhan termasuk manusia didalamnya (2 Pet 3:5). Kelompok manusia seperti
itu pasti hidup dalam pemberontakan kepada Tuhan. Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan mendorong seseorang membangun terus menerus hubungan yang proporsional atau yang
benar dengan Tuhan sebagai Pencipta. Hal ini dapat menghindarkan praktek memutarbalikkan
hirarki (urut-urutan prioritas hidup). Urutan pertama dalam hidup adalah Tuhan, bukan materi
atau sesuatu yang lain. Memang seharusnya segala sesuatu yang dilakukan harus bagi Tuhan,
sebab segala sesuatu dari Dia, oleh Dia dan bagi Dia (Rom 11:36; 1 Kor 10:31).
Manusia tidak berhak hidup untuk dirinya sendiri, manusia harus hidup hanya bagi Dia yang
menciptakannya. Bila tidak demikian berarti suatu pemberontakan terhadap Penciptanya.
Pendewasaan rohani harus menggiring umat kepada kesadaran ini. Pada tingkat kedewasaan
tertentu kita akan memiliki pengakuan demikian: Allah ada bukan untukku, tetapi aku ada untuk
Tuhan (God doesn’t exist for me, I exist for the Lord). Sampai pada pengakuan ini manusia
mengenal dirinya dengan benar. Bila belum, manusia masih berkatagori sebagai “tidak tahu diri”.
Ternyata lebih banyak orang Kristen yang kekanak-kanakan sehingga dalam hubungannya dengan
Tuhan bersikap seperti anak-anak kecil terhadap orang tuanya. Ia memandang orang tua ada
untuk anak. Karenanya kita temukan banyak anak-anak yang tahunya hanya menuntut orang tua
untuk melakukan apa saja yang anak itu inginkan. Prinsip ini harus kita pahami dan kita belajar
untuk mengenakannya: God doesn’t exist for me, I exist for The Lord. Pada saat kita sampai pada
pengakuan ini kita berhasil menempatkan diri sebagai hamba bagi Tuhan dimiliki-Nya. Selanjutnya
Tuhan Yesus menjadi Tuan dan majikan kita. Inilah sebenarnya tujuan kekristenan itu. Manusia
adalah makhluk ciptaan. Bukan ada tanpa sebab. Ada Pencipta yang menciptakannya (Kej 1 dan 2).
Ini adalah harga mati yang harus diakui dan diterima setiap orang. Sampai kapanpun dan
dimanapun seseorang berada, ia harus mengakui bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan.
Berkenaan dengan hal ini ada beberapa rumusan:
• Sebagai makhluk ciptaan harus menemukan tujuan hidupnya.
• Sebagai makhluk ciptaan adalah hamba Tuhan.
• Sebagai makhluk ciptaan ia harus mencari hubungan yang baik dengan Penciptanya. Sebagai
makhluk ciptaan ia harus mempersoalkan: Untuk apa dirinya diciptakan.
Tuhan sebagai Sang Arsitek Agung tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa tujuan. Tujuan hidup
manusia tidak ditemukan di dalam apapun juga, tetapi ditemukan di dalam Tuhan sebagai
Penciptanya. Untuk ini harus meneliti Alkitab untuk menemukan tujuan hidup manusia. Meneliti
Alkitab sama dengan belajar theologi. Kegiatan ini tidak mengharuskan seseorang masuk sekolah
tinggi theologi. Sebagai makhluk ciptaan, bagaimanapun ia adalah hamba. Bagaimanapun manusia
tidak pernah menjadi majikan. Penciptanya yang menjadi tuan atas dirinya. Ia tidak pernah
menjadi hamba merdeka, tetapi selalu terbelenggu oleh Tuhan sebagai penciptanya. Bila
seseorang mau bebas dari Tuhan ia akan terbelenggu oleh majikan yang lain. Satu-satunya tuan di
luar Tuhan adalah Lucifer, Penguasa kegelapan yang sangat jahat. Banyak orang berharap
dapat merdeka atau hidup suka-suka sendiri tanpa dikuasai atau didominasi oleh Tuhan, tetapi
juga tidak dikuasai setan. Hal ini tidak mungkin bisa terjadi. Bagaimanapun seseorang harus
memilih menjadi hamba Tuhan atau hamba setan. Jadi, sampai kapanpun manusia adalah hamba.
5

Hamba Tuhan atau hamba setan. Ketidakjelasan posisi seseorang bisa dipastikan sudah menjadi
hamba setan. Sekilas kebenaran ini nampak sangat sederhana tetapi sebenarnya tidak sederhana.
Hal ini akan menggiring kita melayani Tuhan. Pengakuan bahwa kita adalah makhluk ciptaan.
Dengan pengakuan ini maka kita harus kehilangan hak dan kehilangan kebebasan. Penolakan
terhadap realitas ini berarti pemberontakan.
Sebagai makhluk ciptaan ia harus hidup sebagai makhluk ciptaan. Pada kenyataannya kita
menemukan kenyataan orang yang menolak keberadaan Tuhan yang pada hakekatnya juga
menolak realitas bahwa manusia adalah makhluk ciptaan. Bagaimanapun manusia adalah makhluk
yang terbelenggu, terbelenggu oleh Tuhan atau terbelenggu oleh setan. Dalam kesibukan
kehidupan, banyak orang sudah lupa tidak menyadari bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan.
Banyak orang tidak peduli terhadap kenyataan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan. Hal ini
akan memicu seseorang tenggelam dengan berbagai kesenangan dan cita-cita yang membuat
Tuhan tersingkir.
Bahkan bila merasa membutuhkan Tuhan, itupun hanya karena hendak memakai Tuhan sebagai
alat guna meraih sesuatu (Yak 4:1-4). Akhirnya, manusia tidak berbakti kepada Tuhan, memenuhi
rencanaNya tetapi menjadikan hal lain sebagai tujuan. Sebagai makhluk ciptaan ia harus mencari
hubungan yang baik dengan Penciptanya. Mengapa demikian? Sebab manusia tidak bisa hidup
dengan benar tanpa persekutuan dengan Penciptanya. Sejak semula Tuhan menciptakan manusia
memang hanya untuk menjadi sekutu-Nya. Pengakuan yang jujur dan benar bahwa kita adalah
makhluk ciptaan yang dimiliki Tuhan secara penuh membuahkan hal-hal ini. Memiliki kerendahan
hati yang benar. Sebab bila kita mengakui bahwa kita adalah ciptaan maka apa yang kita bisa
banggakan? Bahwa segala sesuatu dari Dia (Maz 139:13-16). Dengan demikian kita dapat
menghormati Tuhan.
Kesombongan manusia hari ini berakar pada ketidak-sediaannya mengakui bawa dirinya adalah
makhluk ciptaan. Tanpa Pencipta kita adalah debu (Maz 103:14). Mengapa kita sukar bersikap
rendah hati dihadapan Tuhan. Sebab kita tidak tahu hukum realitas ini (Yes 40:15). Kita merasa
tidak memiliki. Pengakuan ini akan membuahkan: Pertama, kita rela mempersembahkan segenap
hidup untuk kesukaan-Nya atau kepentingan-Nya. Dan kalau kita berbuat sesuatu bagi Tuhan kita
tidak merasa memberi tetapi kita mengembalikan (Mat 22:21). Kedua, kalau kita kehilangan
segala sesuatu kita tidak merasa sakit. Kita dapat tabah seperti Ayub (Ayub 1:21). Dalam
kesadaran terus menerus bahwa kita akan kembali kepada pemilik (Pengkh 12:7). Inilah yang
membuat kita lebih berhati-hati dalam menjalani hidup ini. Kesadaran inilah yang membuat
seseorang beribadah dengan benar kepada Tuhan.
5

Hamba Tuhan atau hamba setan. Ketidakjelasan posisi seseorang bisa dipastikan sudah menjadi
hamba setan. Sekilas kebenaran ini nampak sangat sederhana tetapi sebenarnya tidak sederhana.
Hal ini akan menggiring kita melayani Tuhan. Pengakuan bahwa kita adalah makhluk ciptaan.
Dengan pengakuan ini maka kita harus kehilangan hak dan kehilangan kebebasan. Penolakan
terhadap realitas ini berarti pemberontakan.
Sebagai makhluk ciptaan ia harus hidup sebagai makhluk ciptaan. Pada kenyataannya kita
menemukan kenyataan orang yang menolak keberadaan Tuhan yang pada hakekatnya juga
menolak realitas bahwa manusia adalah makhluk ciptaan. Bagaimanapun manusia adalah makhluk
yang terbelenggu, terbelenggu oleh Tuhan atau terbelenggu oleh setan. Dalam kesibukan
kehidupan, banyak orang sudah lupa tidak menyadari bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan.
Banyak orang tidak peduli terhadap kenyataan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan. Hal ini
akan memicu seseorang tenggelam dengan berbagai kesenangan dan cita-cita yang membuat
Tuhan tersingkir.
Bahkan bila merasa membutuhkan Tuhan, itupun hanya karena hendak memakai Tuhan sebagai
alat guna meraih sesuatu (Yak 4:1-4). Akhirnya, manusia tidak berbakti kepada Tuhan, memenuhi
rencanaNya tetapi menjadikan hal lain sebagai tujuan. Sebagai makhluk ciptaan ia harus mencari
hubungan yang baik dengan Penciptanya. Mengapa demikian? Sebab manusia tidak bisa hidup
dengan benar tanpa persekutuan dengan Penciptanya. Sejak semula Tuhan menciptakan manusia
memang hanya untuk menjadi sekutu-Nya. Pengakuan yang jujur dan benar bahwa kita adalah
makhluk ciptaan yang dimiliki Tuhan secara penuh membuahkan hal-hal ini. Memiliki kerendahan
hati yang benar. Sebab bila kita mengakui bahwa kita adalah ciptaan maka apa yang kita bisa
banggakan? Bahwa segala sesuatu dari Dia (Maz 139:13-16). Dengan demikian kita dapat
menghormati Tuhan.
Kesombongan manusia hari ini berakar pada ketidak-sediaannya mengakui bawa dirinya adalah
makhluk ciptaan. Tanpa Pencipta kita adalah debu (Maz 103:14). Mengapa kita sukar bersikap
rendah hati dihadapan Tuhan. Sebab kita tidak tahu hukum realitas ini (Yes 40:15). Kita merasa
tidak memiliki. Pengakuan ini akan membuahkan: Pertama, kita rela mempersembahkan segenap
hidup untuk kesukaan-Nya atau kepentingan-Nya. Dan kalau kita berbuat sesuatu bagi Tuhan kita
tidak merasa memberi tetapi kita mengembalikan (Mat 22:21). Kedua, kalau kita kehilangan
segala sesuatu kita tidak merasa sakit. Kita dapat tabah seperti Ayub (Ayub 1:21). Dalam
kesadaran terus menerus bahwa kita akan kembali kepada pemilik (Pengkh 12:7). Inilah yang
membuat kita lebih berhati-hati dalam menjalani hidup ini. Kesadaran inilah yang membuat
seseorang beribadah dengan benar kepada Tuhan.
7

Di tempat inilah diselenggarakan persembahan korban anak-anak kepada Dewa Molokh yang
menjijikkan dihadapan Tuhan (2Taw 28:3; 33:6).
Karena upacara-upacara yang pernah diadakan ditempat tersebut, maka tempat dan nama itu
menjadi lambang api neraka. Api yang digunakan membakar anak-anak yang dikorbankan bagi
dewa Molokh memberi inspirasi neraka. Tempat tersebut juga dikenal sebagai “lembah
pembunuhan atau pembinasaan” (Yer 7:31-32) the valley of Slaughter. Bagi orang Yahudi kata
“gehenna” biasanya hampir selalu menunjuk tempat penyiksaan. Tempat yang disediakan bagi
orang-orang jahat. Dalam Alkitab bahasa Indonesia “gehenna” yang diterjemahkan “neraka”,
ditulis 12 kali, 11 diantaranya diucapkan Tuhan Yesus sendiri (Mat 5:22 – Tetapi Aku berkata
kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata
kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil!
harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala; Mat 5:29,30 – Maka jika matamu yang
kanan menyesatkan engkau, cungkil dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari
anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika
tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik
bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.
Matius 10:28 – Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi
yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan
baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka). Ayat-ayat lain dalam Alkitab Perjanjian Baru yang
menyebut neraka antara lain: Mat 18:9; 23:15,33; Mark 9:43,45,47; Luk 12:5; Yak 3:6.
Kata gehenna sering disertai keterangan tambahan dengan kalimat “api yang menyala-nyala” atau
kata “api”. Hal ini menunjukkan bahwa tempat ini adalah tempat hukuman kekal (Ing. Everlasting
Punishment). Gehenna ini bisa menunjuk tempat terakhir penghukuman setelah penghakiman.
Kata gehenna dalam bahasa Inggris diterjemahkan “hell”. Konsep tentang tempat penghukuman
yang diilustrasikan secara dramatis mengerikan, ini baru muncul dalam Perjanjian Baru. Dalam
Perjanjian Lama “syeol” tidak selalu dianggap menjadi tempat penyiksaan atau tempat
penghukuman. Kalaupun syeol juga diartikan sebagai tempat penghukuman tetapi tidak
diilustrasikan secara dramatis mengerikan seperti gehenna. Gehenna inilah tempat pembuangan
permanen bagi mereka yang tidak diperkenan tinggal dalam kerajaan Bapa.
Sebaliknya kerajaan sorga adalah kekekalan yang indah selama-lamanya (Wahyu 22:5; 7:17; 21:4).
Itulah sebabnya Paulus berkata bahwa penderitaan jaman sekarang tidak ada artinya dibanding
dengan kemuliaan yang akan kita terima (Roma 8:18). Manusia memiliki unsur kekekalan yang
dari Allah (Kej 2:7). Karena Tuhan adalah kekal, maka manusia yang diciptakan menurut gambar
diri-Nya untuk juga keberadaan yang sama. Ketika manusia diciptakan, padanya Tuhan
menghembuskan nafas hidup kedalam hidungnya. Nafas yang dihembuskan Allah kepada manusia
adalah unsur kekekalan dalam diri manusia sehingga manusia berkeadaan sebagai makhluk yang
kekal. Tidak ada sesuatu yang lebih dahsyat dalam kehidupan ini lebih dari fakta kekekalan
tersebut.
Karena fakta ini maka Tuhan Yesus berkata dalam Matius 16:26: “Apa gunanya seorang
memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya
8

sebagai ganti nyawanya”. Nyawa dalam teks aslinya adalah “psuke” (jiwa). Dalam jiwa ada pikiran,
perasaan dan kehendak. Kebinasaan dalam teks ini maksudnya adalah bahwa keterpisahan dari
Tuhan juga mengakibatkan manusia tidak dapat menikmati dan mengembangkan pikiran,
perasaan dan kehendaknya baik di bumi maupun di kekekalan (langit baru dan bumi yang baru).
Jiwanya dibelenggu oleh iblis dalam penderitaan abadi. Mati bukanlah seperti orang tidur. Setelah
mengalami kematian secara jasmani, manusia mengalami kesadaran kekal yaitu sengsara kekal
atau bahagia kekal (Dan 10:2; Why 20:13-15). Oleh karena itu harus dimengerti bila satu jiwa
bertobat maka malaikat di sorga bersukacita (Luk 15:7).
Dengan keberadaannya sebagai makhluk kekal, manusia harus bertanggung jawab atas pilihan dan
keputusan-keputusannya. Kehidupan ini benar-benar sebuah keadaan yang beresiko tinggi, sebab
manusia diperhadapkan kepada Sorga kekal atau Neraka kekal. Dengan kesadaran terhadap fakta
ini, maka seseorang akan lebih berhati-hati dalam mengarungi lautan kehidupan ini.
Kehidupan harus diterima bukan sebagai “gambling”, seperti judi yang sifatnya spekulatif atau
untung-untungan. Masuk sorga abadi bukanlah keberuntungan dan masuk neraka kekal bukanlah
kecelakaan. Nasib kekal manusia adalah pilihan dan tanggung jawab. Setiap orang harus
menetapkan apakah ia akan bersama dengan Tuhan dalam kekekalan atau terbuang dari hadirat-
Nya selama-lamanya, di kegelapan abadi. Orang yang mengabaikan fakta ini adalah orang-orang
bodoh yang tidak berakal. Sesungguhnya sejak hidup di dunia ini sudah nampak gejala-gejala
seseorang akan beroleh kemuliaan kekal atau kehinaan kekal. Dari keputusan, pilihan dan
tindakan hidup seseorang nampak apakah ia menuju kerajaan Terang atau kerajaan Kegelapan
yang kekal.
Kata hidup tidak bertepi sama artinya dengan life is unlimited. Ini adalah rahasia kehidupan yang
penting untuk dimengerti dan direnungkan. Mengapa penting, sebab berangkat dari pemahaman
kita tentang hidup yang tidak bertepi ini kita menyelenggarakan hidup kita. Banyak orang tidak
mengerti atau tidak mau mengerti rahasia kehidupan ini. Tidak mengerti rahasia hidup ini berarti
berjalan dalam kegelapan. Mengapa hidup ini adalah tidak terbatas, apa artinya? Pemahaman ini
berangkat dari kenyataan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan yang sangat
dahsyat. Kedahsyatan manusia adalah bahwa manusia diciptakan menurut gambar-Nya. Pertama,
manusia adalah makhluk kekal. Dalam Kejadian 2:7, Allah menghembuskan nafas (nismat khayim)
sehingga manusia menjadi makhluk yang kekal. Kedua, manusia adalah makhluk yang diberi Tuhan
kehendak bebas. Dengan kehendak bebas tersebut manusia menentukan nasibnya atau keadaan
hidupnya. Keberadaan ini mengandung resiko yang luar biasa dahsyatnya.
Manusia diperhadapkan kepada sorga kekal atau neraka kekal. Sorga kekal atau neraka kekal
berarti dalam hal ini manusia dibawa kepada kemungkinan tinggal dalam persekutuan dengan
Tuhan di kekekalan-Nya atau tinggal bersama dengan musuh Allah yaitu iblis di kekekalannya.
Manusia diperhadapkan kepada kemungkinan kebahagiaan yang tidak terbatas tak terbayangkan
atau siksaan yang tidak terbatas dan tidak terbayangkan. Tuhan Yesus mengidentifikasikan tempat
itu sebagai tempat berapi dimana ulat tidak mati (Mark 9:44, 46, 48). Dalam hidup manusia hari
ini, manusia berdosa diberi kesempatan bertobat dan berbalik kepada Tuhan kemudian
mengalami perbaikan dan penyempurnaan yang tidak terbatas, atau kalau manusia menolak
9

bertobat akan menjadi rusak tidak terbatas. Bagi yang mau bertobat dan dimuridkan diproses
kepada kebaikan atau kesempurnaan tidak terbatas sebagai mana Kristus kesempurnaan-Nya
tidak terbatas. Sebaliknya kalau seseorang menolak bertobat maka ia dirusak oleh iblis kerusakan
yang tidak terbatas sebagaimana iblis kejahatannya tidak terbatas.
Oleh karena dalam hidup ini kita berhadapan dengan Tuhan yang tidak terbatas maka kita
diperhadapkan pula kepada hal-hal yang tidak terbatas pula. Manusia diperhadapkan kepada
hidup yang dihujani anugerah yang tidak terbatas atau laknat yang tak terbatas. Hidup ini bisa
menjadi manis atau pahit. Manis tak terbatas atau pahit tidak terbatas. Seseorang bisa dipakai
Tuhan tidak terbatas sesuai dengan anugerah yang Tuhan percayakan kepada seseorang atau
dipakai iblis tidak terbatas pula. Menyadari hal ini maka kita bisa mengerti betapa luar biasa hidup
ini. Hidup tidak bisa atau tidak boleh diperlakukan secara sembrono atau ceroboh. Oleh karena itu
Paulus berkata dalam Efesus 5:15-17: “Karena itu perhatikan dengan seksama bagaimana kamu
hidup, janganlah seperti orang bebal tetapi seperti orang arif atau bijaksana…..sebab itu janganlah
kamu bodoh tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan”. “Perhatikan dengan
seksama bagaimana kamu hidup” dalam teks aslinya berbunyi: blepete oun akribos pos
peripatiete. Pos peripatiete – bagaimana kebiasaan sikapmu – How ye walk. Tuhan menghendaki
agar kita menghargai hidup ini dengan cara hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan berjalan
dengan Tuhan. Alkitab menuntun kita kepada jalan ini.
Pertimbangan Manusia.
Hanya manusia makhluk hidup yang memiliki kemampuan tinggi mempertimbangkan sesuatu
dalam keputusan dan tindakan-tindakannya. Jadi apa yang dimiliki dan dialami seseorang hari ini
hampir seluruhnya adalah buah dari pertimbangan hidup masing-masing individu. Keadaan Lucifer
(latin: Lousifur), malaikat yang jatuh adalah hasil dari pertimbangannya. Ternyata malaikat yang
diciptakan Tuhan adalah pribadi yang memiliki kehendak bebas. Malaikat memiliki kebebasan
dalam mengambil keputusan. Malaikat bukanlah seperti benda yang dapat diremote kontrol guna
mengatur dan menguasainya. Hal ini terbukti dengan adanya malaikat yang jatuh. Jatuh artinya
tidak dengar kepada Allah, diantara mereka memberontak kepada Allah, Penciptanya. Demikian
pula dengan keadaan Adam dan Hawa keluar dari Taman Eden juga hasil pertimbangannya.
Dengan demikian kita harus sadari betapa besar peran pertimbangan seseorang dalam
menentukan nasib atau takdirnya. Betapa sering kita mengalami keruwetan dan kesukaran-
kesukaran hidup karena pertimbangan kita yang salah.
Kalau akibat pertimbangan yang salah hanya kita alami dalam hidup di dunia ini hal itu bukanlah
masalah besar. Tetapi kalau akibat pertimbangan yang salah harus ditelan dalam kekekalan, maka
hal ini menjadi masalah yang benar-benar dahsyat. Kalau manusia tidak dibangkitkan bukan
masalah tetapi kalau ada realitas kebangkitan maka hal itu menjadi masalah yang sangat besar
(jika orang mati tidak dibangkitkan, maka “marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati”
1Kor 15:32; Dan 12:2: some will enjoy eternal life, and some will sufer eternal disgrace).
Bandingkan Wahyu 21:13-15. Oleh karena pertimbangan hidup seseorang menentukan nasib
kekalnya maka betapa harus benar dan tepat atau teliti pertimbangan kita. Pertimbangan hidup
manusia sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan segala sesuatu yang mempengaruhinya. Itulah
8

sebagai ganti nyawanya”. Nyawa dalam teks aslinya adalah “psuke” (jiwa). Dalam jiwa ada pikiran,
perasaan dan kehendak. Kebinasaan dalam teks ini maksudnya adalah bahwa keterpisahan dari
Tuhan juga mengakibatkan manusia tidak dapat menikmati dan mengembangkan pikiran,
perasaan dan kehendaknya baik di bumi maupun di kekekalan (langit baru dan bumi yang baru).
Jiwanya dibelenggu oleh iblis dalam penderitaan abadi. Mati bukanlah seperti orang tidur. Setelah
mengalami kematian secara jasmani, manusia mengalami kesadaran kekal yaitu sengsara kekal
atau bahagia kekal (Dan 10:2; Why 20:13-15). Oleh karena itu harus dimengerti bila satu jiwa
bertobat maka malaikat di sorga bersukacita (Luk 15:7).
Dengan keberadaannya sebagai makhluk kekal, manusia harus bertanggung jawab atas pilihan dan
keputusan-keputusannya. Kehidupan ini benar-benar sebuah keadaan yang beresiko tinggi, sebab
manusia diperhadapkan kepada Sorga kekal atau Neraka kekal. Dengan kesadaran terhadap fakta
ini, maka seseorang akan lebih berhati-hati dalam mengarungi lautan kehidupan ini.
Kehidupan harus diterima bukan sebagai “gambling”, seperti judi yang sifatnya spekulatif atau
untung-untungan. Masuk sorga abadi bukanlah keberuntungan dan masuk neraka kekal bukanlah
kecelakaan. Nasib kekal manusia adalah pilihan dan tanggung jawab. Setiap orang harus
menetapkan apakah ia akan bersama dengan Tuhan dalam kekekalan atau terbuang dari hadirat-
Nya selama-lamanya, di kegelapan abadi. Orang yang mengabaikan fakta ini adalah orang-orang
bodoh yang tidak berakal. Sesungguhnya sejak hidup di dunia ini sudah nampak gejala-gejala
seseorang akan beroleh kemuliaan kekal atau kehinaan kekal. Dari keputusan, pilihan dan
tindakan hidup seseorang nampak apakah ia menuju kerajaan Terang atau kerajaan Kegelapan
yang kekal.
Kata hidup tidak bertepi sama artinya dengan life is unlimited. Ini adalah rahasia kehidupan yang
penting untuk dimengerti dan direnungkan. Mengapa penting, sebab berangkat dari pemahaman
kita tentang hidup yang tidak bertepi ini kita menyelenggarakan hidup kita. Banyak orang tidak
mengerti atau tidak mau mengerti rahasia kehidupan ini. Tidak mengerti rahasia hidup ini berarti
berjalan dalam kegelapan. Mengapa hidup ini adalah tidak terbatas, apa artinya? Pemahaman ini
berangkat dari kenyataan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan yang sangat
dahsyat. Kedahsyatan manusia adalah bahwa manusia diciptakan menurut gambar-Nya. Pertama,
manusia adalah makhluk kekal. Dalam Kejadian 2:7, Allah menghembuskan nafas (nismat khayim)
sehingga manusia menjadi makhluk yang kekal. Kedua, manusia adalah makhluk yang diberi Tuhan
kehendak bebas. Dengan kehendak bebas tersebut manusia menentukan nasibnya atau keadaan
hidupnya. Keberadaan ini mengandung resiko yang luar biasa dahsyatnya.
Manusia diperhadapkan kepada sorga kekal atau neraka kekal. Sorga kekal atau neraka kekal
berarti dalam hal ini manusia dibawa kepada kemungkinan tinggal dalam persekutuan dengan
Tuhan di kekekalan-Nya atau tinggal bersama dengan musuh Allah yaitu iblis di kekekalannya.
Manusia diperhadapkan kepada kemungkinan kebahagiaan yang tidak terbatas tak terbayangkan
atau siksaan yang tidak terbatas dan tidak terbayangkan. Tuhan Yesus mengidentifikasikan tempat
itu sebagai tempat berapi dimana ulat tidak mati (Mark 9:44, 46, 48). Dalam hidup manusia hari
ini, manusia berdosa diberi kesempatan bertobat dan berbalik kepada Tuhan kemudian
mengalami perbaikan dan penyempurnaan yang tidak terbatas, atau kalau manusia menolak
11

ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 4)


Struktur Permanen Manusia

Trikhotomi dan Dikhotomi.


Dalam sejarah gereja terjadi pergumulan mengenai struktur permanen manusia. Ini merupakan
rahasia kehidupan yang tidak mudah diuraikan dan ditemukan formulasinya dengan sempurna.
Dalam hal ini telah ditemukan dua pandangan yang diakui oleh gereja-gereja, yaitu teori
dikhotomi dan trikhotomi. Gereja-gereja Barat pada umumnya menerima teori dikhotomi, bahwa
manusia terdiri dari 2 unsur yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah atau unsur materi dan
non materi. Tetapi gereja-gereja di timur menganut pandangan teori trikhotomi, bahwa manusia
terdiri dari 3 unsur yaitu roh (unsur religius), jiwa (unsur psikhologis) dan tubuh (unsur fisik). Tentu
masing-masing pandangan memiliki argumentasi yang menggunakan landasan Alkitab. Sangat
besar kemungkinan pandangan gereja di Barat dipengaruhi filsafat Yunani yang ikut memberi
warna theologinya. Filsafat Yunani lebih sering membagi manusia dalam 2 realitas, yaitu realitas
yang kelihatan atau materi dan realitas yang tidak kelihatan, yaitu dunia ide yang dianggap lebih
mulia.
Pandangan lain yang cukup populer adalah pandangan monisme. Monisme berpandangan bahwa
manusia merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Menurut pandangan ini manusia tidak
dapat dibagi atas beberapa unsur. Menurut faham ini, sebutan tubuh, jiwa dan roh hanya sebagai
sinonim. Monisme menolak dualisme atau trialisme atas diri manusia. Oleh sebab itu Monisme
juga tidak percaya adanya kenyataan keadaan sementara (intermediate state), yaitu terpisahnya
jiwa dan roh dari tubuh pada saat kematian sampai Tuhan Yesus datang kembali. Disini manusia
dipandang sebagai kesatuan secara psiko-fisik.
Sebenarnya memang sukar untuk mengatakan bahwa manusia ini terdiri dari 2 atau 3 unsur.
Sebab kalau mencoba untuk membagi manusia secara mutlak dalam beberapa unsur atau unit
maka bisa jatuh dalam kebingungan, sebab manusia sebuah personalitas totalitas yang tidak
terpisahkan, tetapi juga bukan satu dalam arti hanya berunsur satu komponen saja seperti
pandangan monisme. Berdasarkan berita Alkitab ternyata memang ada unsur-unsur yang
tergabung dalam diri makhluk yang disebut manusia ini. Unsur-unsur ini adalah roh, jiwa dan
tubuh (1Tes 5:23), ini disebut trikhotomi yang oleh para penganut teori dikhotomi cukup dibagi 2
saja yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah (2Kor 4:16). Dalam teori dikhotomi roh dan jiwa
disatukan.
Terbentuknya Jiwa Manusia.
Sebagai kerangka untuk memahami struktur permanen manusia ini, maka perlu dijelaskan
bagaimana Tuhan menciptakan manusia. Tuhan menghembuskan nafas hidup ke sosok tubuh
manusia yang terbuat dari tanah liat, kemudian manusia menjadi makhluk yang hidup. Roh dari
Allah kontak dengan tubuh, maka manusia menjadi makhluk yang hidup (Kej 2:7). Jiwa eksis atau
tercipta akibat pertemuan antara roh dan tubuh. Jadi persenyawaan antara tubuh dan roh inilah
12

terbentuk jiwa. Untuk meneguhkan pandangan ini, perlulah kita amati proses terjadinya manusia
melalui proses kelahiran.
Dalam proses pembuahan, sperma (benih pria) bertemu dengan ovum atau sel telur(benih
wanita). Pertemuan ini menghasilkan zygot yang akan menjadi janin. Zygot inilah bakal tubuh
manusia yang tidak kelihatan kalau tidak menggunakan kaca pembesar. Dalam zygot terdapat roh,
itulah sebabnya bisa dikatakan bahwa kehidupan sudah dimulai sejak pada janin. Pada waktu bayi
baru lahir, ia sudah memiliki tubuh dan roh, tetapi jiwanya belum lengkap atau belum sadar
sepenuhnya. Seiring dengan perjalanan waktu, jiwa menjadi lengkap atau memiliki kesadaran.
Kalau dianalogikan, pada lampu terdapat beberapa komponen yaitu komponen fisik yang
kelihatan, arus listrik dan terang atau cahaya. Pertemuan antara arus listrik dan komponen fisik
menghasilkan terang. Terang atau cahaya lampu itu ada karena pertemuan antara arus listrik dan
komponen yang kelihatan. Terang itu adalah Jiwa. Jiwa adalah kesadaran (self consciousness).
Jiwa inilah tempat pikiran, perasaan dan kehendak manusia mengendalikan seluruh tubuh atau
kehidupan seseorang. Pada waktu bayi lahir jiwa atau kesadarannya belum lengkap, tetapi seiring
dengan perjalanan waktu kesadarannya menjadi lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa bukan
sesuatu yang statis tetapi progresif sejajar dengan pertumbuhan fisik.
Roh Manusia adalah Roh dari Allah.
Dalam Kejadian 2:7 diungkapkan cara Tuhan menciptakan manusia. Setelah Tuhan membentuk
fisik atau tubuh manusia, lalu Tuhan menghembuskan nafas hidup kedalam hidungnya;
demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Kata “nafas hidup”(breath of life) dalam
teks aslinya adalah nishmat chayiym. Kata chayiym adalah bentuk jamak dari chay yang artinya
hidup.
Mengapa dikatakan chayiym bukan chay saja? Jawabannya ada 2 kemungkinan:
1. Menunjukkan bahwa didalam diri manusia ada 2 komponen kehidupan, yaitu roh dari Allah
dan nyawa yang disebut insan manusia yang bertalian dengan panca indra dan keinginan
daging. Dengan penjelasan ini dapat dimengerti mengapa Paulus berbicara mengenai
keinginan daging dan keinginan roh (Gal 5:1-26).
2. Bahwa Tuhan menempatkan roh yang bersifat jamak dalam diri manusia. Inilah yang
membuat manusia mampu menggandakan rohnya melalui proses perkawinan sehingga dapat
dilahirkan manusia lain dengan jenis roh manusia yang sama.
Seandainya manusia tidak menerima hembusan nafas Allah, apakah manusia bisa menjadi
makhluk yang bernyawa? Mengapa tidak bisa? Bukankah hewan diciptakan Tuhan tanpa
hembusan nafas juga menjadi makhluk hidup yang bernyawa (Kej 1:21-24). Seandainya manusia
tidak menerima hembusan nafas Allah, manusia menjadi binatang yang cantik dan ganteng.
Fisiknya manusia tetapi karakternya tidak berbeda jauh dengan hewan. Dalam hal ini dapat dilihat
perbedaan yang sangat menyolok antara manusia dengan hewan, manusia menerima hembusan
nafas Allah sedangkan binatang tidak. Hanya manusia yang memiliki roh dari Allah, tetapi binatang
tidak memiliki roh dari Allah. Oleh sebab itu kualitas hidup manusia harus lebih tinggi dari kualitas
hidup binatang. Manusia adalah mahkota dari ciptaan Allah. Kenyataan ini sangat luar biasa.
Apa arti hembusan (Ibr. Wayipach) dari Allah dalam Kejadian 2:7? Kalau manusia menghembuskan
udara, ia perlu menarik oksigen terlebih dahulu, tetapi kalau Allah tentu tidak. Kalau Allah
13

menghembuskan sesuatu, maka ada sesuatu yang keluar dari diri-Nya. Inilah “roh” dari Allah itu.
Itulah sebabnya dikatakan bahwa debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali
kepada Allah yang memberi karunia (Pkh 12:7). Kata kembali dalam teks aslinya ” shuwb” yang
berarti juga kembali kepada asalnya. Oleh penjelasan ini maka dapat dimengerti yang dimaksud
oleh kitab Ibrani bahwa Allah disebut sebagai Bapa segala roh. Dari Allah mengalir atau keluar roh
yang menjadi roh manusia (Ibr 12:9). Roh dari Allah yang menjadi roh manusia inilah yang
membuat keberadaan manusia seturut dengan gambar dengan Allah dan memiliki kemampuan
untuk mengerti kehendak Tuhan, apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna.
Roh manusia yang berasal dari Allah bukan hanya kekuatan yang menghidupkan tetapi juga
memuat pikiran, perasaan dan kehendak yang sesuai dengan Allah. Di dalam roh manusia ini
terdapat nurani yang terdalam yang menyuarakan suara Tuhan. Itulah sebabnya Amsal
mengatakan bahwa roh manusia adalah terang TUHAN, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya
(Amsal 20:27). Kata roh manusia dalam teks aslinya adalah nashamah sama dengan kata dalam
Kejadian 2:7. Karena roh manusia adalah dari Tuhan maka Tuhan begitu perhatian terhadap
keselamatan manusia. Begitu besar perhatiannya kepada manusia sehingga Ia memberikan diri-
Nya sendiri untuk keselamatan manusia itu. Apa yang membuat-Nya begitu gelisah terhadap
keadaan manusia? Mengapa binatang tidak mendapat perlakuan seperti ini? Berkenaan dengan
hal ini, haruslah diperhatikan apa yang dikatakan Yakobus 4:5, Firman Tuhan berkata: Janganlah
kamu menyangka, bahwa Kitab Suci tanpa alasan berkata: “Roh yang ditempatkan Allah di dalam
diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!” Roh yang dimaksud dalam teks ini adalah roh manusia
bukan Roh Allah.
Tuhan memperhatikan manusia sedemikian rupa karena Tuhan mengingini roh yang ditempatkan-
Nya di dalam diri manusia tidak terseret jiwanya menuju kegelapan abadi. Sangat mengerikan
kalau roh diseret oleh jiwa yang rusak menuju api kekal, sebab setelah tubuh manusia tidak
berfungsi, maka roh yang telah menyatu dengan jiwa akan terseret pula. Iblis berusaha merusak
jiwa dengan mengisi segala keinginan yang bertentangan dengan kehendak Allah (Yak 4:1-4). Jadi
kalau Tuhan mengingini roh yang ditempatkan dalam diri manusia dengan cemburu bukan tanpa
alasan, Ia bertindak demikian sebab roh dalam diri manusia adalah berasal dari pada-Nya (Pkh
12:7). Tuhan tidak menghendaki roh manusia yang tidak bisa mati itu dikuasai oleh pihak lain.
Itulah sebabnya dikatakan diingini-Nya dengan cemburu. Jiwa inilah yang menjadi kontrol atau
yang mengendalikan kehidupan. Jadi, bagaimana keadaan hidup seseorang tergantung dari
kualitas jiwanya. Kualitas jiwa tergantung dari inputnya atau apa yang mempengaruhi atau
menguasainya, apakah kehendak daging atau kehendak roh. Kalau jiwa menjadi rusak karena
masukan dunia sekitar dan dorongan kedagingan maka kalau manusia mati maka roh akan
menyatu dalam jiwa masuk neraka. Harus dicatat, bahwa jiwa akan menyatu dengan roh dalam
keabadian.
11

ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 4)


Struktur Permanen Manusia

Trikhotomi dan Dikhotomi.


Dalam sejarah gereja terjadi pergumulan mengenai struktur permanen manusia. Ini merupakan
rahasia kehidupan yang tidak mudah diuraikan dan ditemukan formulasinya dengan sempurna.
Dalam hal ini telah ditemukan dua pandangan yang diakui oleh gereja-gereja, yaitu teori
dikhotomi dan trikhotomi. Gereja-gereja Barat pada umumnya menerima teori dikhotomi, bahwa
manusia terdiri dari 2 unsur yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah atau unsur materi dan
non materi. Tetapi gereja-gereja di timur menganut pandangan teori trikhotomi, bahwa manusia
terdiri dari 3 unsur yaitu roh (unsur religius), jiwa (unsur psikhologis) dan tubuh (unsur fisik). Tentu
masing-masing pandangan memiliki argumentasi yang menggunakan landasan Alkitab. Sangat
besar kemungkinan pandangan gereja di Barat dipengaruhi filsafat Yunani yang ikut memberi
warna theologinya. Filsafat Yunani lebih sering membagi manusia dalam 2 realitas, yaitu realitas
yang kelihatan atau materi dan realitas yang tidak kelihatan, yaitu dunia ide yang dianggap lebih
mulia.
Pandangan lain yang cukup populer adalah pandangan monisme. Monisme berpandangan bahwa
manusia merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Menurut pandangan ini manusia tidak
dapat dibagi atas beberapa unsur. Menurut faham ini, sebutan tubuh, jiwa dan roh hanya sebagai
sinonim. Monisme menolak dualisme atau trialisme atas diri manusia. Oleh sebab itu Monisme
juga tidak percaya adanya kenyataan keadaan sementara (intermediate state), yaitu terpisahnya
jiwa dan roh dari tubuh pada saat kematian sampai Tuhan Yesus datang kembali. Disini manusia
dipandang sebagai kesatuan secara psiko-fisik.
Sebenarnya memang sukar untuk mengatakan bahwa manusia ini terdiri dari 2 atau 3 unsur.
Sebab kalau mencoba untuk membagi manusia secara mutlak dalam beberapa unsur atau unit
maka bisa jatuh dalam kebingungan, sebab manusia sebuah personalitas totalitas yang tidak
terpisahkan, tetapi juga bukan satu dalam arti hanya berunsur satu komponen saja seperti
pandangan monisme. Berdasarkan berita Alkitab ternyata memang ada unsur-unsur yang
tergabung dalam diri makhluk yang disebut manusia ini. Unsur-unsur ini adalah roh, jiwa dan
tubuh (1Tes 5:23), ini disebut trikhotomi yang oleh para penganut teori dikhotomi cukup dibagi 2
saja yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah (2Kor 4:16). Dalam teori dikhotomi roh dan jiwa
disatukan.
Terbentuknya Jiwa Manusia.
Sebagai kerangka untuk memahami struktur permanen manusia ini, maka perlu dijelaskan
bagaimana Tuhan menciptakan manusia. Tuhan menghembuskan nafas hidup ke sosok tubuh
manusia yang terbuat dari tanah liat, kemudian manusia menjadi makhluk yang hidup. Roh dari
Allah kontak dengan tubuh, maka manusia menjadi makhluk yang hidup (Kej 2:7). Jiwa eksis atau
tercipta akibat pertemuan antara roh dan tubuh. Jadi persenyawaan antara tubuh dan roh inilah
15

habitatnya.
Manusia bekerja dengan kerelaan, kesadaran dan kesengajaan sebagai pengabdian kepada Tuhan,
yaitu sebagai kawan sekerja Allah dengan hakekat yang sama dalam bekerja.
Hakekat bekerja bernilai kekal.
Sekalipun manusia sudah jatuh didalam dosa tetapi perintah untuk kerja ini tidak pernah
dibatalkan Tuhan. Hal ini nyata dari hukum yang ke delapan yang berbunyi: “Jangan mencuri”
salah satu signal petunjuk yang jelas bahwa manusia bukan saja dipanggil untuk menghargai milik
orang lain tetapi juga harus bekerja mencari “milik” dan nafkah dari keringat dan tenaganya
sendiri. Oleh sebab itu barang siapa tidak mau bekerja, padahal ia mampu bekerja maka ia telah
melanggar perintah-Nya dan berbuat dosa kepada Tuhan serta menyangkal hakekatnya sendiri.
Seorang yang menolak bekerja berarti tidak menerima dirinya sebagai manusia dengan
kebesarannya sebagai oknum yang berhakekat seperti Tuhan yaitu “oknum yang bekerja”. Perlu
dijelaskan disini bahwa Kerajaan Sorga nanti bukanlah alam roh, seperti alam hantu. Tuhan Yesus
memperagakan tubuh kebangkitan-Nya, bukan tubuh maya yang tidak berdaging. Hantu tidak
berdaging, tetapi tubuh kebangkitan yang dimiliki Yesus dan dimiliki semua orang yang
dibangkitkan benar-benar berdaging. Alkitab tegas mengatakan bahwa Dia, Allah semesta alam
bukanlah Allah orang mati tetapi Allah orang hidup.
Kerajaan Sorga adalah alam fisik yang dapat berinteraksi dengan “indra” tubuh kebangkitan. Pada
akhirnya nanti, realitas hidup adalah realitas fisik, bukan alam roh, sebab semua manusia akan
dibangkitkan dan Tuhan Yesus sendiri akan tampil dengan tubuh kebangkitan-Nya. Sorga, dalam
bahasa Ibraninya samayim dan dalam bahasa Yunaninya ouranos menunjuk “langit” (alam
semesta yang tidak terbatas). Langit disini bukanlah “sky” (langit yang melingkupi bumi kita),
tetapi “heaven” yaitu alam semesta dengan gugusan planet-planet yang tidak terbatas jumlahnya.
Didalam kerajaan sorga nanti, alam semesta yang tidak terbatas tersebut menjadi sarana
kreatifitas kerja tanpa batas bagi manusia yang telah disempurnakan. Dalam hal ini manusia di
dunia yang akan datang nanti akan tetap bekerja mengelola alam semesta yang tak bertepi.
Dengan demikian nyatalah bahwa Tuhan merancang hakekat kerja dalam diri manusia bukan
hanya untuk digunakan di bumi kecil ini dan yang sementara tetapi juga untuk dunia yang akan
datang yang luas tak terbatas di kekekalan. Manusia yang tidak mau bekerja hari ini dengan motif
kerja yang benar, tidak akan dipekerjakan Tuhan di kekekalan.
Kerja sebagai sukacita ibadah.
Kerja mempunyai arti dan nilai lengkap bukan hanya ditempatkan dalam rencana penciptaan alam
semesta tetapi juga dalam rencana Allah untuk menyelamatkan dunia ini melalui karya salib
Kristus. Manusia bukan saja dipercayai untuk mengelola alam semesta, tetapi di jaman
penggenapan (jaman Injil diberitakan) umat pilihan juga dipercayai untuk terlibat dalam
penerusan karya keselamatan dalam Yesus Kristus. Dalam hal yang kedua ini manusia dilibatkan
untuk mengambil bagian dalam rencana penyelamatan Allah atas dunia ini. Manusia menjadi
16

kawan sekerja Allah bukan saja dalam meneruskan karya penciptaan, tetapi juga dalam karya
penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus atas orang berdosa. Itulah sebabnya karya penyelamatan
Allah melalui korban Kristus dalam keadaan “belum selesai”, atau dalam keadaan “harus
diteruskan”. Karya keselamatan tidak boleh berhenti hanya di bukit Kalvari tetapi harus sampai ke
ujung bumi. Dalam hal ini jelaslah bahwa setiap orang percaya dipanggil untuk turut serta dalam
pelebaran kerajaan Allah, penginjilan yaitu memperkenalkan Yesus kepada orang yang belum
mengenal Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat dan pendewasaan rohani umat Tuhan yaitu mereka
yang sudah percaya melalui proses pemuridan.
Untuk penyelenggaraan pelebaran Kerajaan Allah ini atau pelayanan pekerjaan Tuhan dibutuhkan
berbagai sarana, dari manusia sebagai pelakunya sampai fasilitas pelayanan (uang, transportasi,
gedung, alat musik untuk ibadah dan lain sebagainya). Anak-anak Tuhan dipanggil untuk bekerja
mencari nafkah guna kehidupannya sendiri dan menyediakan fasilitas pelayanan tersebut.
Sesuai dengan kasih karunia, kerja manusia telah disucikan menjadi kerja yang kekal, maksudnya
bahwa kerja manusia bagi Allah adalah kerja yang berdampak dalam kekekalan (Yoh 15:16).
Berdampak kekal disini maksudnya adalah bahwa hasil kerja anak-anak Tuhan untuk memenuhi
kebutuhan pelayanan diperhitungkan Tuhan di Kerajaan-Nya yang kekal nanti. Dalam hal ini
manusia diperkenankan menjadi kawan sekerja Allah. Inilah maksud dan tujuan kekal Allah
menciptakan manusia. Ditempat masing-masing sesuai dengan panggilan khusus yang diemban
anak-anak-Nya sebagai pedagang, arsitek, dokter, guru, petani dan lain sebagainya, semuanya
memberi diri bagi kepentingan penerusan karya salib Tuhan bagi dunia ini. Ditempat masing-
masing mereka memerankan panggilan secara sinergi (menggabungkan kekuatan) untuk
kepentingan Kerajaan Allah.
Bila terjadi demikian, yaitu seluruh kerja kita diperuntukkan bagi Tuhan maka kerja tidak lagi
menjadi beban dan susah payah, kerja merupakan sukacita pengabdian bagi Tuhan. Kerja seperti
ini adalah kerja yang sangat menggembirakan sebab Tuhan pasti memberkati dan hasil jerih payah
dalam kerja tersebut diperhitungkan oleh Tuhan di kekekalan. Dengan demikian kita dapati bahwa
ukuran sukses kerja dan kehidupan seseorang terletak pada:
Apakah dengan melakukan pekerjaan tersebut dan hasil pekerjaan tersebut nama Tuhan
dipermuliakan, pekerjaan Tuhan dalam penerusan karya salib Tuhan diatas muka bumi ini benar-
benar didukung. Oleh sebab itu, kerja harus dibersihkan dari motif-motif yang salah, yang dapat
merusak arti, nilai dan tujuan kerja. Seperti yang kita tahu bahwa akibat dosa maka motif kerja
manusia telah dirusak.
Hidup adalah ibadah kepada Tuhan.
Hari ini pada umumnya orang masih memisahkan antara ibadah kepada Tuhan dan kehidupan
setiap hari. Mereka beranggapan bahwa ibadah kepada Tuhan adalah bagian dari hidup ini. Itulah
sebabnya mereka membedakan antara kegiatan yang bersangkut-paut dengan Tuhan seperti doa,
menyanyi lagu rohani, ke gereja dengan kegiatan yang tidak bersangkut-paut dengan Tuhan
17

seperti bekerja di kantor, rekreasi dengan keluarga, olah raga, makan, minum dan lain-lain.
Pemisahan atau perbedaan ini biasa disebut juga antara yang rohani dan duniawi. Bila kita masih
memiliki anggapan atau sikap berpikir seperti ini, berarti kita belum mengerti kebenaran. Kita
tidak boleh lupa bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Bukan oleh iblis. Dunia ini tidak najis atau
berdosa. Sebab yang berdosa adalah manusia dan yang disebut najis adalah perbuatan dan
produknya yang bertentangan dengan prinsip kebenaran Tuhan. Hendaknya kita tidak sesat
seperti aliran agama-agama tertentu yang memandang dunia ini jahat, harus dijauhi. Karena orang
yang mau hidup suci menjauhi dunia dengan segala kegiatannya. Termasuk tidak menikah
(catatan: menikah itu kudus sebab Tuhan yang menciptakan seks. Bila ada orang/hamba Tuhan
yang tidak menikah, itu bukan karena menikah itu najis lalu kita menganggap mereka lebih suci
tetapi karena demi kepentingan kerajaan sorga ia tidak menikah).
Yang menjadi masalah terbesar dalam hidup kita sekarang ini adalah menterjemahkan iman dalam
kehidupan. Bukan dalam pengakuan atau ritual. Itulah yang dilakukan dalam agama-agama pada
umumnya. Seluruh gerak hidup kita adalah kebaktian dan penyembahan kepada Tuhan. Dalam
Roma 12:1-2, sebenarnya sudah jelas bagaimana seharusnya kita menterjemahkan iman kita.
Banyak orang ibadahnya masih dalam wujud ritual atau upacara. Upacara kita adalah seluruh
hidup ini. Ini berarti:
Seluruh hidup kita telah dimiliki Tuhan. Pengakuan ini ditandai dengan kesediaannya tidak
mencari penghormatan apapun dari dunia ini. Segala sesuatu dari Dia oleh Dia dan bagi Dia (Rom
11:36). Kalau hidup kita dimiliki Tuhan maka tidak ada pujian atau sanjungan yang kita layak
terima. Semuanya harus dikembalikan kepada Tuhan. Hal ini adalah sikap hati. Yang penting
bagaimana hati kita memberi penghormatan kepada Tuhan. Seluruh gerak kita adalah pengabdian
kepada Tuhan. Kesediaan menggunakan hidup ini untuk melayani Tuhan. Untuk kesenangan hati-
Nya. Inilah yang dikatakan Paulus bahwa apapun yang kita lakukan kita memuliakan Tuhan (1Kor
10:31). Inilah sebenarnya irama yang benar, seluruh hidup kita adalah irama menyembah Tuhan
(Luk 4:8).
14

ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 5)


Hakekat manusia sama dengan Allah dalam bekerja

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan oleh Allah yang memiliki keberadaan
seperti Allah sendiri, yaitu seturut gambar dengan Allah (Imago Dei). Salah satu hakekat yang
dimiliki Allah adalah bahwa Allah adalah Allah yang bekerja. Allah bukanlah Allah yang tidak
berkehendak, bukan Allah yang diam tanpa karya. Ia adalah Allah yang aktif berkarya, penuh
inisiatif dan bekerja. Demikianlah, sebagaimana Allah adalah Allah yang bekerja maka manusia
juga adalah manusia yang bekerja. Kerja merupakan unsur hakekat manusia yang dijadikan
menurut gambar Allah (The nature of man is a worker).
Oleh karena kerja adalah suatu unsur hakekat manusia, maka kerja itu juga merupakan perintah
Allah. Allah dapat memerintahkan manusia untuk bekerja sebab manusia memiliki potensi dan
natur atau kodrat demikian. Oleh karena manusia adalah seorang pekerja maka bumi ini
diciptakan Tuhan dalam keadaan yang “harus masih diteruskan”. Manusia menerima mandat dari
Tuhan untuk mengelola bumi ini (Kej 2:15). Ini bukan berarti Allah tidak mampu menyelesaikan
atau meneruskan pekerjaan-Nya. Disini Allah melibatkan manusia sebagai pekerja untuk bekerja
mengelola hasil karya-Nya. Bila tidak demikian yaitu diadakannya peluang untuk bekerja, maka
berarti Allah membunuh hakekat manusia itu sendiri. Perintah kerja dari Tuhan untuk manusia
merupakan petunjuk bahwa Tuhan konsekuen dengan maksudnya menjadikan manusia kawan
sekerja-Nya dalam mengelola alam semesta ini.
Manusia bekerja mengembangkan diri bertalian dengan fasilitas alam semesta yang Tuhan telah
ciptakan. Inilah yang disebut sebagai mandat untuk berbudaya. Oleh karena manusia yang
diciptakan Allah adalah seorang pekerja, maka bekerja mempunyai tempat didalam rencana Allah
yang Agung. Dunia ini diciptakan dalam keadaan yang belum dikerjakan, memerlukan tangan
manusia yang harus mengelolanya (Kej 1:27-28; 2:5). Oleh sebab itu hendaknya tidak berpikir
bahwa ketika Adam dan Hawa di Eden hanya makan minum tanpa kerja. Ketika manusia memberi
nama binatang, yaitu tatkala Allah membawa semua binatang untuk dinamai oleh manusia,
Alkitab membuktikan bahwa di Eden pun manusia sudah mulai bekerja (Kej 2:19-20). Perintah
kepada manusia didalam Kejadian 2:15 untuk mengelola bumi merupakan bukti nyata bahwa
manusia sudah berkarya (berbudaya) sejak didalam Eden. Kalimat “mengusahakan dan
memelihara” di Kejadian 2:15 dalam teks aslinya “laabdaah uwishaamaraah” (Ing. To dress it and
to keep it), mendandani dan memelihara atau menjaganya. Manusia menjadi manager (pengelola)
atas bumi ini.
Hal tersebut itulah yang membedakan manusia dari hewan atau makhluk lain. Hewan atau
makhluk lain bergerak hidup hanya sekedar memenuhi siklus kehidupan sesuai dengan
19

bagi kemuliaan Allah (1Kor 10:31). Ketika seseorang membuat sesamanya menemukan hidup,
yaitu kehidupan di bumi ini dengan baik dan mengenal keselamatan dalam Yesus Kristus, itu
berarti seseorang melakukan sebagian dari memuliakan Tuhan.
Orang percaya yang terus bertumbuh dalam iman akan sampai pada prinsip hidup: Bagiku hidup
adalah Kristus (Fil 1:21). Hal inilah yang menjadikan hidup seseorang berbunga-bunga dengan
indahnya. Ketika seseorang melepaskan hidupnya bagi Kristus, maka ia memiliki hidup yang
berkualitas tinggi. Kehidupan seperti ini tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi harus
mengalami dan merasakannya sendiri.
3. Sebagai makhluk yang segambar dengan Allah manusia harus hidup dalam persekutuan dengan
Tuhan.
Sebab inilah yang menjadi tujuan (telos) utama Allah menciptakan manusia, yaitu agar manusia
hidup dalam persekutuan dengan diri-Nya. Diciptakannya manusia segambar dan serupa dengan
diri-Nya dimaksudkan agar manusia dapat mengimbangi Tuhan dan dapat menjadi teman
interaksi-Nya. Kalau manusia sekualitas dengan monyet, manusia tidak berkapasitas sebagai
teman interaksi-Nya. Jadi, kalau manusia tidak hidup dalam persekutuan dengan Tuhan, maka ia
mengkhianati Tuhan. Untuk itu manusia harus mematuhi perintah-perintah-Nya, hidup dalam
ketaatan terus menerus sehingga dapat mengerti kehendak Tuhan untuk dilakukannya dan hidup
dalam persekutuan yang benar dengan Dia.
Diantara perintah-Nya adalah agar manusia mengelola bumi ini sebagai mandataris Allah supaya
tercipta keharmonisan antara alam ciptaan Allah dengan makhluk yang hidup di bumi ini.
Selanjutnya dalam jaman anugerah, manusia tebusan dipanggil untuk meneruskan karya
keselamatan Kristus bagi umat manusia lain yang belum menerima Injil. Hidup dalam persekutuan
dengan Tuhan adalah hidup dalam persekutuan dalam penyelenggaraan karya-Nya. Bagi orang
percaya, harus mengambil bagian dalam pelebaran Kerajaan Allah di muka bumi. Mengusahakan
bagaimana orang mengenal keselamatan dalam Yesus Kristus dan didewasakan. Seorang yang
tidak turut terlibat dalam pekerjaan-Nya tidak akan bisa hidup dalam persekutuan dengan
Tuhan.Persekutuan itu juga harus persekutuan dalam penderitaan-Nya (Fil 3:9-11).
Ini adalah suatu kehormatan yang luar biasa. Persekutuan dengan Tuhan merupakan firdaus itu.
Tidak ada taman indah dalam kehidupan ini selain Firdaus-Nya, yaitu hidup dalam persekutuan
dengan Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata: Aku datang, supaya mereka mempunyai
hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10). Kelimpahan tersebut adalah
damai sejahtera Tuhan yang tiada tara (Yoh 14:27). Tetapi damai sejahtera ini tidak dapat
dinikmati kalau seorang tidak memiliki karakter yang telah diubah dan tidak mengerti kehendak
Tuhan.
20

ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 7)


Takdir dan Kehendak Bebas.

Pengertian Takdir.
Kata “takdir” ini tidak asing bagi telinga kita, bahkan akrab dimulut banyak orang disekitar kita.
Untuk mengomentari suatu realita yang dialami seseorang, mereka biasa menggunakan kata ini.
Kata takdir dalam pemahaman umum biasanya mendapat isi atau dimengerti sebagai penentuan
ilahi. Kata takdir biasanya disejajarkan maknanya dengan kata nasib, dalam bahasa Inggris
diterjemahkan fate atau destiny. Kata takdir sangat populer dilingkungan orang-orang beragama,
karena kata ini bertalian dengan “oknum” yang diakui sebagai berkuasa menentukan apa yang
terjadi atas hidup masing-masing individu manusia secara mikro dan atas alam kosmos (alam
semesta) ini secara makro. Baik yang terjadi atas seseorang maupun yang melibatkan alam
semesta dan mempengaruhi banyak orang seperti misalnya bencana alam. Oknum yang
menentukan segala peristiwa dalam kehidupan tersebut adalah Tuhan, obyek iman agama. Dibalik
kata takdir diisyaratkan jelas adanya penentuan ilahi dalam segala kejadian atau peristiwa, sebuah
“devine decree”.
Jadi takdir dimengerti sebagai penentuan suatu peristiwa atau kejadian yang berlangsung dalam
hidup manusia berdasarkan kedaulatan kebebasan kehendak dan kebijaksanaan Tuhan yang
mutlak atau absolut. Dalam bahasa Inggris kata takdir bisa diterjemahkan predestination yang
artinya penentuan sebelumnya atau ditentukan lebih dahulu. Sebelum suatu peristiwa terjadi,
segala sesuatunya sudah ditentukan oleh Tuhan untuk berlangsung.
Oleh karena segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya, maka dengan demikian nampak
gambar dalam bingkai bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini adalah skenario dari
Sutradara Agung yaitu Tuhan. Dalam hal ini sekaligus Tuhan berperan sebagai penulis cerita dan
“ki dalang” yang mengatur setiap peran kehidupan dalam pentas panggung sandiwara. Lebih
tegas lagi bila kita obyektif memandang hidup dengan kacamata ini, maka berarti Tuhan berlaku
sebagai pengatur remote kontrol dan manusia menjadi robot yang bisa dikendalikan oleh remote
tersebut tanpa kebebasan kesempatan memilih suatu pilihan.
Pemahaman diatas ini pada akhirnya bisa membangun pandangan bahwa pengertian dan
pertimbangan ratio manusia untuk mengambil keputusan menjadi sia-sia. Semua sudah diatur
dalam fragmen yang tidak akan keluar atau terlepas dari alur cerita yang ditentukan atau
ditetapkan. Akhirnya anjuran untuk menemukan peran dan tempat dihadapan Tuhan, menjadi
panggilan untuk percaya dan terima saja setiap peran yang akan ditemukan secara otomatis.
Semua sudah diatur oleh The Invisible Hand, tangan yang tidak kelihatan, yaitu tangan Tuhan yang
mengerjakannya sendiri tanpa bantuan dan peran manusia sama sekali. Dalam memahami
pengertian takdir, pada umumnya orang berasumsi bahwa manusia tidak memiliki kedaulatan
sama sekali dalam menentukan keadaan hidupnya, sebab Tuhan telah mempersiapkan segala
21

kejadian yang akan dialami atau dilaluinya dalam hidup. Manusia hanya menerima apa yang
disediakan baginya.
Demikianlah kita dapati bila seorang mengalami musibah misalnya suatu kecelakaan, kematian
orang yang dikasihinya, jatuh miskin, sakit yang tidak tersembuhkan sampai kematian dan lain
lain, maka mereka menerimanya sebagai takdir. Didalamnya Tuhan dianggap sebagai kausalitas
prima (penyebab utama), kasarnya “biang masalah”. Menjadi berkembang lagi dalam kasus lain
disimpulkan bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, sehat sakit, kaya miskin, gemuk kurus, sorga dan
neraka atas seseorang hanya Tuhan yang menentukan.
Biasanya pengakuan terhadap realitas takdir ini dianggap sebagai kesadaran akan kebesaran
Tuhan, mengakui supremasi atau keunggulan Tuhan, menyadari bahwa manusia hanya hamba,
manusia tidak boleh melawan apa yang Tuhan sudah tentukan. Penerimaan realitas takdir
dianggap sebagai tanda pengabdian. Pada prinsipnya umat hanya menerima saja dengan pasrah
tanpa memberontak apa yang dialaminya, sebab Tuhan yang menentukan. Umat dikehendaki
untuk diam saja. Pasrah. Diam, titik. Konsep ini tidak benar..
Manusia adalah Makhluk yang Bertanggung Jawab.
Bila kita berbicara mengenai takdir maka mau tidak mau kita harus belajar mengenai hakekat
manusia sekaligus menyinggung mengenai hakekat Allah. Berangkat dari pemahaman tentang
hakekat manusia maka kita dapat memiliki pijakan pandangan terhadap masalah takdir. Salah satu
persoalan yang harus dibedah menyangkut hakekat manusia adalah: Apakah kemutlakan
“kedaulatan Allah” (Sovereignty of God) mengakibatkan manusia tidak memiliki kehendak bebas
sama sekali. Sekaligus dipertanyakan apakah kedaulatan Allah menenggelamkan manusia secara
fatalistis didalam “penentuan” segala sesuatu yang harus hanya diterima saja oleh manusia tanpa
dapat menolak atau menghindarinya. Tetapi sebaliknya kalau manusia memiliki kehendak bebas,
sejauh mana kebebasannya tersebut atau apa batas kehendak bebasnya.
Banyak orang berpendirian bahwa oleh karena Allah adalah Allah yang Maha Kuasa, Allah yang
tidak perlu diatur atau dinasehati oleh siapapun, maka Ia tidak akan membuat keliru dalam
rencana-Nya, sehingga manusia sepatutnya hanya menerima apa saja yang Allah perlakukan tanpa
memiliki pilihan. Pilihan Allah adalah pilihan yang terbaik dan pasti terlaksana. Karena Allah adalah
Allah yang tidak terbatas, bahwa Ia adalah Allah yang berdaulat maka kehendak dan rencana-Nya
tidak dapat dibatalkan oleh siapapun dan dengan kuasa apapun, jadi apapun yang dialami
manusia adalah rancangan-Nya. Dengan kewewenangan-Nya yang tidak terbatas Allah bertindak
“sesuka-suka-Nya” tanpa ada yang dapat mencegah.
Berpijak pada anggapan diatas ini berarti manusia akan selalu diperhadapkan dengan keadaan
yang tidak dapat ditolaknya. Konsep ini sekilas sangat luhur dan agung, akurat dan Alkitabiah
tetapi konsep ini menghilangkan unsur kebebasan yang Allah telah taruh dalam diri manusia.
Dengan demikian menghilangkan tanggung jawab yang masing-masing individu harus pikul.
Masalah yang bisa muncul kemudian adalah, apakah manusia masih dianggap sebagai manusia
yang berkualitas bila dengan keadaan tanpa kehendak bebas untuk memilih dan
bertanggungjawab atas segala tindakannya.
17

seperti bekerja di kantor, rekreasi dengan keluarga, olah raga, makan, minum dan lain-lain.
Pemisahan atau perbedaan ini biasa disebut juga antara yang rohani dan duniawi. Bila kita masih
memiliki anggapan atau sikap berpikir seperti ini, berarti kita belum mengerti kebenaran. Kita
tidak boleh lupa bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Bukan oleh iblis. Dunia ini tidak najis atau
berdosa. Sebab yang berdosa adalah manusia dan yang disebut najis adalah perbuatan dan
produknya yang bertentangan dengan prinsip kebenaran Tuhan. Hendaknya kita tidak sesat
seperti aliran agama-agama tertentu yang memandang dunia ini jahat, harus dijauhi. Karena orang
yang mau hidup suci menjauhi dunia dengan segala kegiatannya. Termasuk tidak menikah
(catatan: menikah itu kudus sebab Tuhan yang menciptakan seks. Bila ada orang/hamba Tuhan
yang tidak menikah, itu bukan karena menikah itu najis lalu kita menganggap mereka lebih suci
tetapi karena demi kepentingan kerajaan sorga ia tidak menikah).
Yang menjadi masalah terbesar dalam hidup kita sekarang ini adalah menterjemahkan iman dalam
kehidupan. Bukan dalam pengakuan atau ritual. Itulah yang dilakukan dalam agama-agama pada
umumnya. Seluruh gerak hidup kita adalah kebaktian dan penyembahan kepada Tuhan. Dalam
Roma 12:1-2, sebenarnya sudah jelas bagaimana seharusnya kita menterjemahkan iman kita.
Banyak orang ibadahnya masih dalam wujud ritual atau upacara. Upacara kita adalah seluruh
hidup ini. Ini berarti:
Seluruh hidup kita telah dimiliki Tuhan. Pengakuan ini ditandai dengan kesediaannya tidak
mencari penghormatan apapun dari dunia ini. Segala sesuatu dari Dia oleh Dia dan bagi Dia (Rom
11:36). Kalau hidup kita dimiliki Tuhan maka tidak ada pujian atau sanjungan yang kita layak
terima. Semuanya harus dikembalikan kepada Tuhan. Hal ini adalah sikap hati. Yang penting
bagaimana hati kita memberi penghormatan kepada Tuhan. Seluruh gerak kita adalah pengabdian
kepada Tuhan. Kesediaan menggunakan hidup ini untuk melayani Tuhan. Untuk kesenangan hati-
Nya. Inilah yang dikatakan Paulus bahwa apapun yang kita lakukan kita memuliakan Tuhan (1Kor
10:31). Inilah sebenarnya irama yang benar, seluruh hidup kita adalah irama menyembah Tuhan
(Luk 4:8).
23

menjamah pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat, tetapi tidak menyembunyikan pohon
tersebut merupakan signal yang jelas adanya kebebasan memilih. Didalamnya Tuhan menghargai
keputusan yang diambil oleh manusia tersebut, baik benar maupun salah, baik penurutan maupun
pemberontakan. Jelas bahwa kebebasan kehendak ini ditunjukkan Tuhan melalui keberadaan
pohon “pengetahuan tentang yang baik dan jahat” yang ada di dalam Eden dan manusia bebas
memetiknya (Kej 2). Dosa yang dimulai datang dari godaan “ular” yang ditanggapi Hawa
merupakan tindakan yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan memilih atau
mengambil keputusan. Mentaati Tuhan atau memberontak kepada-Nya (Kej 3). Tentu Tuhan
berkuasa menghindarkan manusia dari kejatuhan, namun Tuhan tidak melakukannya. Ini juga
merupakan wujud konsistensi, keadilan dan “fair”nya Tuhan terhadap apa yang ditetapkannya.
Dalam kedaulatan-Nya yang tidak terbatas Tuhan masih memberi peluang manusia untuk
bertindak berdasarkan pertimbangannya sendiri. Tindakan manusia inilah “taburan” yang satu kali
harus dituainya. Dalam hal ini jelas bahwa manusia bukanlah makhluk yang netral. Tetapi manusia
adalah makhluk yang harus mengambil keputusan. Peristiwa di taman Eden jelas menunjukkan
bahwa Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk menentukan kehidupannya. Dari
peristiwa di Eden itulah nampak jelas Allah memberi tanggungjawab kepada manusia. Dalam
tanggungjawab terkandung pengertian penyebab dari apa yang dialami manusia. Orang
bertanggungjawab atas sesuatu yang disebabkan oleh keputusan dari tindakannya. Orang yang
tidak menjadi penyebab dari suatu akibat tidak bertanggungjawab atas sesuatu. Jadi bagaimana
harus bertanggungjawab kepada Tuhan sementara keadaan hidupnya adalah keadaan yang tidak
dapat ditolaknya, semua ditentukan dan ditetapkan untuk diselami.
Dalam kekristenan hal “kebebasan” manusia mempunyai tempat yang penting, yang harus
dipahami. Ajaran takdir adalah pengajaran yang mengesampingkan “nilai” manusia. Kebebasan
sangat memberi nilai atas manusia. Dalam hal ini kita mengerti mengapa penghakiman dan upah
merupakan realitas ilahi. Ada sorga dan neraka. Dengan memahami kebenaran ini kita akan
menjadi hati-hati dalam hidup, tidak ceroboh dan tanpa perhitungan. Hukum “tabur tuai”
merupakan realitas ilahi yang tidak dapat dihindari oleh siapapun (Gal 6:7-9). Dalam Gal 6:7 ini
dimulai dengan kalimat: Jangan sesat. Dalam teks bahasa Yunaninya: me planasthe – be not
deceive. Dalam salah satu terjemahan bahasa Inggris: do not deceive your selves. Pemikiran yang
salah merupakan potensi penyesatan yang harus diwaspadai. Kalau Tuhan sendiri yang
memperingatkan kita, itu berarti hal akibat penyesatan tersebut adalah suatu bahaya besar. Oleh
sebab itu betapa pentingnya kita mengerti kebenaran Firman Tuhan (2 Pet 1:3) dan pembaharuan
pikiran setiap hari untuk memahami kebenaran-Nya (Rom 12:2). Terdapatnya banyak orang
Kristen yang mempercayai konsep takdir disebabkan kemiskinannya memahami kebenaran Allah
dalam Alkitab.
Sungguh sangat menyedihkan kalau ada orang Kristen yang ketika terjebak dalam suatu masalah
sulit menyalahkan Tuhan dengan perkataan: semua ini takdir dari Tuhan. Sudah digariskan dari
Yang Maha Kuasa. Hukum tabur tuai ini mirip dengan konsep “karma” dalam suatu agama. Hanya
bedanya “karma” sangat fatalistik, maksudnya setiap tindakan ada akibatnya tanpa bisa
diperbaiki, tetapi dalam Kekristenan anak-anak Tuhan sudah lepas dari hukuman dan setiap
24

kesalahan ada pengampunan bila kita menyelesaikannya, tentu walau akibat dari kesalahan
tersebut harus ditelannya bukan sebagai hukuman tetapi disiplin. Daud berdosa kepada Tuhan
dengan mengambil istri bawahannya, ia bertobat dan Tuhan mengampuni Daud. Tetapi akibat
kesalahan itu Daud harus menanggungnya. Dan itu sangat menyakitkan.
Hukum tabur tuai adalah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan mempunyai akibat. Kenyataan
ini berangkat dari 2 hal:
1. Allah adalah Allah yang telah memberi kehendak bebas kepada manusia. Dan Ia sendiri
konsekuen dengan kebebasan yang telah diberikan itu. Sebagai buktinya, Allah meletakkan
pohon ujian di taman Eden. Oleh sebab itu nasib manusia ditangan manusia itu sendiri.
2. Allah adalah Allah yang adil yang menuntut pertanggungjawaban atas setiap tindakan
seseorang. Keadilan Allah tidak bertentangan dengan kasih-Nya. Oleh sebab itu manusia
adalah makhluk yang hidup dibawah bayang-bayang keadilan Allah. Penyaliban Tuhan Yesus
adalah bukti penggenapan tuntutan keadilan Allah yang harus ditegakkan dan hal ini
memuaskan hati Allah Bapa.
Dengan penjelasan ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang harus
bertanggungjawab (Roma 14:12). Konsep takdir yang sering kita dengar dalam pergaulan
bukanlah konsep Alkitab, bahkan itu bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan. Manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Keadaan manusia bukanlah hasil dari penentuan
nasib atau takdir. Oleh karenanya dunia ini bukan panggung sandiwara, tetapi medan
pergumulan antara memilih yang jahat atau yang baik. Keberuntungan atau kemalangan.
Kehidupan atau kebinasaan. Tuaian dari apa yang kita tabur itu bisa kita tuai baik selama hidup
dalam dunia maupun sesudah mati (2 Kor 5:10).
Oleh sebab itu kita tidak boleh hidup ceroboh, perhatikan kalimat dalam Gal 6:7, Allah tidak dapat
dipermainkan, no one makes a fool God, God is not mocked. Manusia berurusan dengan Allah dan
tidak dapat menghindarinya. Semua yang kita lakukan dalam hidup ini menimbulkan reaksi dan
tindakan Allah atas diri kita. Sebab kita adalah hasil karya-Nya. Ia sebagai hakim yang adil untuk
memberkati orang yang hidup dalam kebenaran dan menghukum orang yang tidak hidup dalam
kebenaran.
Orang-orang bebal yang tidak peduli Allah dan penghakiman-Nya suatu hari kelak akan
berhadapan kepada kenyataan yang tidak pernah ia duga. Pada waktu itu penyesalan baru datang
tetapi semua sudah terlambat. Oleh sebab itu Tuhan menganjurkan kita untuk menabur didalam
Roh, maksudnya mengikuti kehendak Allah. Tentu hal ini akan menghasilkan buah Roh (Gal 5:22).
Tetapi sebaliknya kalau menabur dalam daging, tentu menghasilkan buah-buah daging maka ia
tidak akan memperoleh bagian dalam kerajaan Allah (Gal 5:19-21). Kebenaran Firman Tuhan dan
hukum-hukum-Nya sebenarnya membawa manusia kepada kehidupan yang berkelimpahan.
Secara tidak langsung hukum “tabur tuai” ini juga dipaparkan oleh pemazmur dalam Mazmur 73,
bahwa pada akhirnya orang fasik akan jatuh dan hancur. Bila manusia tidak memiliki kehendak
bebas dan hidupnya ditentukan oleh takdir, Tuhan Yesus tidak akan berkata “bertobatlah kamu”,
kumpulkan harta di sorga dan lain sebagainya.
Salah satu pra-anggapan bagi penelitian etika adalah keyakinan bahwa manusia ialah makhluk
yang bebas dan bertanggungjawab. Dua kata ini memiliki hubungan timbal balik. Manusia disebut
25

sebagai makhluk yang bertanggungjawab apabila manusia bereksistensi sebagai makhluk yang
bebas. Manusia sebagai makhluk yang bebas, oleh karena itu ia harus bertanggungjawab.
Seandainya tidak demikian maka mustahillah menilai manusia secara etis. Oleh sebab manusia
adalah makhluk yang bertanggungjawab (responsible) maka manusia juga adalah makhluk yang
memikul gugatan (imputabilitas). Dengan realitas ini manusia tidak boleh ceroboh atau sembrono
atas setiap perilakunya, sebab apa yang ditabur orang itu juga akan dituainya (Gal 6:7).
Jadi kalau ada seorang ibu yang menyesali perkawinannya dengan seorang pria yang ternyata
tidak setia, lalu ia berkata bahwa keadaan tersebut adalah nasibnya, sudah ditakdirkan dari yang
maha kuasa. Ibu ini sesat. Ibu ini sesungguhnya sedang menuai apa yang ia tabur. Mengapa ia
memilih menikah dengan pria tersebut? Mengapa tidak dengan pria lain? Bukankah di dunia ini
ada banyak pria? Jadi keadaan ibu yang sulit tersebut haruslah diterima sebagai konsekuensi
pilihannya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, makanlah bubur itu! Dalam hal ini kita harus belajar
bertanggung jawab atas pilihan dan keputusan kita sendiri.
Hendaknya kita tidak membela kebodohan kita dalam mengambil keputusan dengan alasan takdir.
Dengan demikian kita mencoba hendak melemparkan atau memindahkan kesalahan yang kita
lakukan kepada Tuhan. Dalam hal ini Tuhan yang dipersalahkan. Kita menuduh Tuhan sebagai
sumber kesulitan dan kesusahan kita. Pada hal apa yang kita alami adalah buah dari keputusan
kita sendiri secara pribadi. Kesalahan memilih jodoh jangan ditimpakan kepada Tuhan. Terimalah
sebagai kesalahan kita sendiri, tetapi juga jangan lari dari kenyataan. Tetap pertahankan rumah
tangga semaksimal mungkin. Kenyataan yang kita lihat banyak perceraian yang timbul dari
penyesalan atau salah pilih jodohnya. Bila kita menyadari arti tanggungjawab maka kita akan
berusaha mempertahankan rumah tangga. Itulah konsekuensi kehidupan. Jika kita tidak berani
memikul tanggungjawab dengan segala konsekuensi-konsekuensinya, jangan menjadi manusia.
Bagaimana kalau suatu hari ada seorang siswa sekolah tidak naik kelas, lalu berkata: “Ini adalah
cobaan dari Tuhan. Tuhan sudah mentakdirkan”. Sikap ini sungguh merupakan kebodohan. Ia
harus bertanya mengapa ia tidak naik kelas. Sudah belajar rajinkah selama ini atau belum. Sama
dengan kasus seorang yang jatuh sakit, misalnya sakit jantung. Jangan menyalahkan Tuhan dengan
alasan takdir. Perhatikan pola makan orang tersebut. Kalau seseorang tidak memiliki pola makan
yang baik, menimbun kolestrol, lemak dalam darah-tryglicerid, maka saluran darahnya tersumbat
maka berbagai penyakit berat mengancamnya, diantaranya sakit jantung, stroke, dan lain lain.
Sama dengan kasus ketika seseorang mengalami musibah kecelakaan. Ia tidak mudah berkata:
bahwa semua ini takdir. Kalau ia mengendarai mobil tidak siap, yaitu dalam kondisi tubuh letih,
mata mengantuk, dengan kecepatan tinggi, dan lain lain tentu lebih dekat bahaya, atau karena
malas memeriksa tekanan angin ban mobil sehingga pecah di jalan tol. Dengan memahami
kebenaran ini maka kita harus mulai tidak mudah menyalahkan keadaan atau Tuhan karena
takdir-Nya, tetapi memeriksa diri dengan seksama, bukan tidak mungkin keadaan buruk yang kita
alami karena kesalahan kita sendiri. Konsep salah mengenai takdir ini bisa menyebabkan kurang
bahkan mungkin tidak adanya dorongan yang memacu manusia untuk mengembangkan diri sesuai
dengan rencana Tuhan. Oleh karena tanggung jawab individu tidak jelas maka hal ini
20

ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 7)


Takdir dan Kehendak Bebas.

Pengertian Takdir.
Kata “takdir” ini tidak asing bagi telinga kita, bahkan akrab dimulut banyak orang disekitar kita.
Untuk mengomentari suatu realita yang dialami seseorang, mereka biasa menggunakan kata ini.
Kata takdir dalam pemahaman umum biasanya mendapat isi atau dimengerti sebagai penentuan
ilahi. Kata takdir biasanya disejajarkan maknanya dengan kata nasib, dalam bahasa Inggris
diterjemahkan fate atau destiny. Kata takdir sangat populer dilingkungan orang-orang beragama,
karena kata ini bertalian dengan “oknum” yang diakui sebagai berkuasa menentukan apa yang
terjadi atas hidup masing-masing individu manusia secara mikro dan atas alam kosmos (alam
semesta) ini secara makro. Baik yang terjadi atas seseorang maupun yang melibatkan alam
semesta dan mempengaruhi banyak orang seperti misalnya bencana alam. Oknum yang
menentukan segala peristiwa dalam kehidupan tersebut adalah Tuhan, obyek iman agama. Dibalik
kata takdir diisyaratkan jelas adanya penentuan ilahi dalam segala kejadian atau peristiwa, sebuah
“devine decree”.
Jadi takdir dimengerti sebagai penentuan suatu peristiwa atau kejadian yang berlangsung dalam
hidup manusia berdasarkan kedaulatan kebebasan kehendak dan kebijaksanaan Tuhan yang
mutlak atau absolut. Dalam bahasa Inggris kata takdir bisa diterjemahkan predestination yang
artinya penentuan sebelumnya atau ditentukan lebih dahulu. Sebelum suatu peristiwa terjadi,
segala sesuatunya sudah ditentukan oleh Tuhan untuk berlangsung.
Oleh karena segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya, maka dengan demikian nampak
gambar dalam bingkai bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini adalah skenario dari
Sutradara Agung yaitu Tuhan. Dalam hal ini sekaligus Tuhan berperan sebagai penulis cerita dan
“ki dalang” yang mengatur setiap peran kehidupan dalam pentas panggung sandiwara. Lebih
tegas lagi bila kita obyektif memandang hidup dengan kacamata ini, maka berarti Tuhan berlaku
sebagai pengatur remote kontrol dan manusia menjadi robot yang bisa dikendalikan oleh remote
tersebut tanpa kebebasan kesempatan memilih suatu pilihan.
Pemahaman diatas ini pada akhirnya bisa membangun pandangan bahwa pengertian dan
pertimbangan ratio manusia untuk mengambil keputusan menjadi sia-sia. Semua sudah diatur
dalam fragmen yang tidak akan keluar atau terlepas dari alur cerita yang ditentukan atau
ditetapkan. Akhirnya anjuran untuk menemukan peran dan tempat dihadapan Tuhan, menjadi
panggilan untuk percaya dan terima saja setiap peran yang akan ditemukan secara otomatis.
Semua sudah diatur oleh The Invisible Hand, tangan yang tidak kelihatan, yaitu tangan Tuhan yang
mengerjakannya sendiri tanpa bantuan dan peran manusia sama sekali. Dalam memahami
pengertian takdir, pada umumnya orang berasumsi bahwa manusia tidak memiliki kedaulatan
sama sekali dalam menentukan keadaan hidupnya, sebab Tuhan telah mempersiapkan segala
27

ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 8)


Progresifitas Manusia

Ketika Tuhan menciptakan manusia, tidak dikatakan bahwa manusia adalah manusia yang
sempurna. Mengapa? Kalau keadaan manusia sempurna berarti manusia tidak bisa berbuat dosa
dan tidak perlu pertumbuhan atau perubahan lagi. Dikatakan segambar dengan Allah berarti
manusia memiliki kemampuan seperti Allah tetapi tidak dikatakan manusia sama dengan Allah
(Kej 1:26-27). Ketidaksamaannya dengan Allah adalah bahwa Allah tidak mungkin berbuat sesuatu
yang salah atau jahat. Allah sudah sempurna sehingga tidak perlu ada perubahan dan
perkembangan. Sedangkan manusia bisa melakukan sesuatu yang salah sebab manusia diberi
kehendak bebas. Ini sama seperti malaikat. Malaikat pun diberi kehendak bebas. Selain itu
manusia juga memiliki potensi untuk berubah dan mengalami perkembangan.
Dalam Alkitab tidak dijelaskan sampai seberapa jauh segambar dengan Allah yang dimaksud
Alkitab tersebut. Juga tidak ditulis sampai sejauh mana manusia dapat mengembangkan diri. Ini
bisa berarti, selain potensi moralnya yang luar biasa, manusia juga memiliki kemampuan yang luar
biasa seperti kemampuan Allah sendiri untuk mengelola ciptaan-Nya. Tentu kemampuan manusia
tidak akan sama dengan Allah, sebab manusia adalah ciptaan yang permanen hidup dalam
kekuasaan Allah. Manusia adalah hamba dan Allah adalah Majikan. Manusia diciptakan untuk
mengabdi kepada-Nya.
Dari kenyataan bahwa keadaan bumi harus dikembangkan (Kej 1:28-29) dan dalam proses
penciptaan Tuhan menciptakan dengan tahapan-tahapan yang ketat, maka bukan tidak tertutup
kemungkinan manusia secara individu juga harus mengembangkan diri sedemikian rupa. Sehingga
manusia menjadi dewasa atau mengembangkan semua potensi yang telah ditaruh Tuhan di dalam
dirinya untuk dapat menemukan dan mengembangkan alam ciptaan Tuhan, yaitu potensi
moralnya dan potensi yang lain.
Potensi moral artinya bahwa manusia dapat mengembangkan diri dapat memiliki moral yang
makin sempurna seperti Bapa di Sorga. Bagaimana seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa,
apakah manusia tidak mengerti apa yang baik dan apa yang jahat? Apakah manusia dapat
memahami apa yang baik dan jahat baru setelah berbuat dosa? Kemungkinan yang paling bisa
diterima adalah bahwa melalui perjalanan waktu manusia dapat menjadi dewasa dan lebih
bijaksana. Jadi, manusia juga bisa mengalami proses untuk menjadi dewasa atau lebih sempurna.
Seandainya manusia dapat melampaui cobaan di taman Eden, bisa jadi manusia dapat
mengungguli Iblis. Manusia menjadi lebih cerdas dan lebih sempurna dalam moralnya. Barangkali
ada pergumulan lain menghadapi pencobaan selain apa yang dikisahkan dalam Kejadian 3. Melalui
segala pergumulan dan berjalannya waktu, manusia dapat menjadi sempurna. Penjelasan ini sulit
diterima sebab selama ini pengertian kita, bahwa manusia yang diciptakan Tuhan adalah manusia
28

yang sempurna yang tidak perlu ada perkembangan lagi. Bukan tidak mungkin, akhirnya manusia
dapat mengetahui apa yang baik dan jahat seperti Tuhan tetapi tidak berbuat jahat.
Mari kita renungkan. Mengapa manusia jatuh dalam dosa menghadapi pencobaan iblis? Apakah
manusia diciptakan hanya dengan kemampuan seperti itu? Logikanya, manusia diperlengkapi
kemampuan untuk menang atau mengungguli musuh. Tetapi kemampuan itu harus dipertahankan
dengan cara yang tidak melanggar apa yang diperintahkan Tuhan dan ditingkatkan sehingga tidak
bisa jatuh dalam dosa.
Dalam ketulusan hati Tuhan dan kesucian-Nya, pasti Tuhan tidak merancang manusia untuk jatuh
dalam dosa. Lebih kita yakin bahwa Tuhan menghendaki manusia menjadi teman atau sahabat
sekutu-Nya di keabadian, tanpa harus berbuat dosa. Lebih besar kemungkinan bagi manusia
bahwa manusia harus mengalami proses pendewasaan atau penyempurnaan sehingga bisa tidak
akan berbuat dosa melanggar kehendak-Nya, dari pada pemikiran bahwa manusia diciptakan
dalam kondisi tidak bisa berubah lagi. Statis dan ternyata diciptakan kalah unggul dengan iblis.
Pemahaman ini penting, agar orang percaya yang sekarang ini terpilih mengembangkan diri untuk
menjadi sempurna seperti Bapa.
Pengembangan ini bisa saja terus berlanjut dalam dunia yang akan datang. Hal ini didasarkan pada
pernyataan Paulus bahwa baik diam di dalam tubuh ini maupun di luarnya ia berusaha untuk
berkenan kepada-Nya (2 Kor 5:10). Penjelasan yang terakhir ini tidak terlalu penting. Boleh
diyakini boleh tidak, tetapi yang penting orang percaya harus bersedia diubahkan terus oleh
Tuhan selama hidup di bumi ini. Orang yang bersedia diubahkan Tuhan adalah orang yang layak
menerima kemuliaan. Walaupun manusia sudah jatuh dalam dosa tetapi manusia masih bisa
berkarya sangat menakjubkan. Hari ini kita dapat menyaksikan ilmu pengetahuan dan tehnologi
yang ditemukan manusia sangat menakjubkan. Inilah makhluk cerdas yang Tuhan ciptakan. Tidak
bisa dibayangkan betapa dahsyatnya, seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa. Betapa luar
biasa prestasi yang akan dicapai manusia untuk mengelola bumi ini dan atas semua ciptaan Tuhan
yang lain, yaitu kalau manusia tidak jatuh dalam dosa. Dalam hal ini Tuhan tidak membuat
pembatasan. Kalau manusia dijadikan kawan sekerja Allah, tentu manusia dilengkapi dengan
segala kemampuan yang luar biasa.
Ternyata alam yang diciptakan Tuhan ini menyimpan berjuta misteri kekayaan yang bisa tiada
batas. Sebab Allah yang menciptakan alam ini adalah Allah yang Maha cerdas maka hasil karya-
Nya pun pasti luar biasa. Karena alam adalah karya dari pribadi yang Maha cerdas, maka manusia
juga harus cerdas. Kecerdasan manusia harus dapat mengimbangi kecerdasan Tuhan yang
menciptakan alam semesta ini. Tentu mengimbangi disini bukan melampaui. Itulah sebabnya
manusia harus menandatangani “kontrak kerja” dengan Tuhan (Kej 2:15). Manusia harus bekerja
dan menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Dan dalam kerja tersebut manusia
mengembangkan diri, yaitu potensi di dalam diri selain potensi moralnya.
Hal ini sejajar dengan kenyataan bahwa cara Tuhan menciptakan alam semesta ini juga dalam
tahapan-tahapan proses yang ketat dari hari pertama sampai hari ke enam. Hal kedua, bahwa
bumi diciptakan dalam keadaan yang masih harus digarap. Tidak statis tetapi berpotensi progresif.
Tentu progresif sesuai dengan jadwal Tuhan dan untuk kemuliaan-Nya. Dalam kitab Kejadian
29

dikisahkan keturunan Kain orang berdosa lebih berprestasi dari pada keturunan Set yang benar
(Kej 4:20-22). Apakah dalam hal ini keturunan Set lebih bodoh? Tentu tidak. Keturunan Set dalam
jalur kehendak Tuhan sehingga progresifitas mereka juga progresifitas yang baik, sesuai dengan
irama Tuhan. Hari ini kita melihat progresifitas manusia yang tidak terkendali. Satu sisi tehnologi
berkembang, tetapi tidak membuat manusia benar-benar nyaman dan aman. Hal ini tidak akan
terjadi di dunia yang akan datang.
Sekarang ini kita dapat membuktikan bahwa dibalik apa yang kelihatan mudah oleh mata manusia,
Tuhan menaruh kekayaan alam yang tiada terbatas. Ini adalah tehnologi Tuhan atau kecerdasan
Tuhan yang harus ditemukan oleh manusia dan manusia harus menemukan dan mengelolanya
secara bijaksana. Seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa, manusia beranak-pinak akan
memenuhi bumi. Tentu saja manusia yang tidak bisa mati akan membuat bumi tidak mampu
menampung populasi manusia. Bagaimana penyelesaiannya? Tentu mudah sekali, sebab manusia
yang tidak berdosa dengan kecerdasan seperti Allah mampu menanggulanginya.
Pengertian jatuh dalam dosa harus dipahami dengan benar dan lengkap. Kalau kejatuhan itu
membuat manusia kehilangan kemuliaan Allah (Rom 3:23), itu berarti dalam segala aspeknya
manusia telah gagal mencapai standar yang Tuhan rancang. Manusianya sendiri telah rusak, tidak
memiliki keadaan segambar dengan Allah dan bumi dalam keadaan terhukum (Kej 3). Ini adalah
kondisi yang tidak dikehendaki oleh Tuhan. Keadaan manusia dan bumi ini telah jatuh, jauh dari
standar kesempurnaan Tuhan. Keselamatan dalam Yesus Kristus memiliki proyeksi ini, bahwa
manusia akan dibawa kepada rancangan semula Allah di langit baru dan bumi yang baru. Hal ini
dikemukakan untuk membawa kita kepada keyakinan bahwa di balik dunia hari ini yaitu di langit
baru dan bumi baru nanti, standar kesempurnaan kehidupan yang dirancang semula, sebelum
manusia jatuh dalam dosa akan diwujudkan oleh Tuhan. Tuhan tidak pernah gagal atas apa yang
direncanakan (Ayub 42:2)
Dunia yang kita huni hari ini adalah dunia yang jauh dari standar kemakmuran dan keindahan
yang Tuhan maksudkan. Kalau kita mengingininya berarti kita menganggap Tuhan “bodoh”, sebab
kita menganggap bahwa hanya kualitas rendah yang dapat diciptakan-Nya dan disediakannya
bagi kita. Apa yang dapat dimiliki manusia hari ini tidak ada artinya dengan apa yang Tuhan
sediakan nanti di belakang langit biru. Jadi, Alkitab berkata: Apa gunanya seorang memperoleh
seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan diri sendiri? (Luk 9:25). Keindahan apapun
dan dalam jumlah sebanyak apapun tidak ada artinya dengan kesempatan melewati hari kekal di
langit baru dan bumi yang baru nanti bersama dengan Tuhan.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus datang ke dunia untuk menggoncangkan dunia dengan segala
goncangan agar manusia tidak merasa betah di bumi dan merindukan dunia lain yang lebih baik
(Mat 10:34; Luk 12:49). Tuhan Yesus lah yang mampu membuka meterai yang membuat kuda-
kuda dapat keluar dan membawa perubahan di bumi, perang, kelaparan, pembunuhan dan lain
sebagainya (Why 5-8). Segala sesuatu ini harus terjadi sebelum datangnya jaman baru, jaman
penuh dengan kesengsaraan (Mat 24:8).
Dapat dimengerti kalau manusia yang diselamatkan adalah manusia yang berani melepaskan diri
dari segala milik agar dapat dimuridkan atau didewasakan atau dirubah. Manusia yang tidak bisa
23

menjamah pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat, tetapi tidak menyembunyikan pohon
tersebut merupakan signal yang jelas adanya kebebasan memilih. Didalamnya Tuhan menghargai
keputusan yang diambil oleh manusia tersebut, baik benar maupun salah, baik penurutan maupun
pemberontakan. Jelas bahwa kebebasan kehendak ini ditunjukkan Tuhan melalui keberadaan
pohon “pengetahuan tentang yang baik dan jahat” yang ada di dalam Eden dan manusia bebas
memetiknya (Kej 2). Dosa yang dimulai datang dari godaan “ular” yang ditanggapi Hawa
merupakan tindakan yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan memilih atau
mengambil keputusan. Mentaati Tuhan atau memberontak kepada-Nya (Kej 3). Tentu Tuhan
berkuasa menghindarkan manusia dari kejatuhan, namun Tuhan tidak melakukannya. Ini juga
merupakan wujud konsistensi, keadilan dan “fair”nya Tuhan terhadap apa yang ditetapkannya.
Dalam kedaulatan-Nya yang tidak terbatas Tuhan masih memberi peluang manusia untuk
bertindak berdasarkan pertimbangannya sendiri. Tindakan manusia inilah “taburan” yang satu kali
harus dituainya. Dalam hal ini jelas bahwa manusia bukanlah makhluk yang netral. Tetapi manusia
adalah makhluk yang harus mengambil keputusan. Peristiwa di taman Eden jelas menunjukkan
bahwa Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk menentukan kehidupannya. Dari
peristiwa di Eden itulah nampak jelas Allah memberi tanggungjawab kepada manusia. Dalam
tanggungjawab terkandung pengertian penyebab dari apa yang dialami manusia. Orang
bertanggungjawab atas sesuatu yang disebabkan oleh keputusan dari tindakannya. Orang yang
tidak menjadi penyebab dari suatu akibat tidak bertanggungjawab atas sesuatu. Jadi bagaimana
harus bertanggungjawab kepada Tuhan sementara keadaan hidupnya adalah keadaan yang tidak
dapat ditolaknya, semua ditentukan dan ditetapkan untuk diselami.
Dalam kekristenan hal “kebebasan” manusia mempunyai tempat yang penting, yang harus
dipahami. Ajaran takdir adalah pengajaran yang mengesampingkan “nilai” manusia. Kebebasan
sangat memberi nilai atas manusia. Dalam hal ini kita mengerti mengapa penghakiman dan upah
merupakan realitas ilahi. Ada sorga dan neraka. Dengan memahami kebenaran ini kita akan
menjadi hati-hati dalam hidup, tidak ceroboh dan tanpa perhitungan. Hukum “tabur tuai”
merupakan realitas ilahi yang tidak dapat dihindari oleh siapapun (Gal 6:7-9). Dalam Gal 6:7 ini
dimulai dengan kalimat: Jangan sesat. Dalam teks bahasa Yunaninya: me planasthe – be not
deceive. Dalam salah satu terjemahan bahasa Inggris: do not deceive your selves. Pemikiran yang
salah merupakan potensi penyesatan yang harus diwaspadai. Kalau Tuhan sendiri yang
memperingatkan kita, itu berarti hal akibat penyesatan tersebut adalah suatu bahaya besar. Oleh
sebab itu betapa pentingnya kita mengerti kebenaran Firman Tuhan (2 Pet 1:3) dan pembaharuan
pikiran setiap hari untuk memahami kebenaran-Nya (Rom 12:2). Terdapatnya banyak orang
Kristen yang mempercayai konsep takdir disebabkan kemiskinannya memahami kebenaran Allah
dalam Alkitab.
Sungguh sangat menyedihkan kalau ada orang Kristen yang ketika terjebak dalam suatu masalah
sulit menyalahkan Tuhan dengan perkataan: semua ini takdir dari Tuhan. Sudah digariskan dari
Yang Maha Kuasa. Hukum tabur tuai ini mirip dengan konsep “karma” dalam suatu agama. Hanya
bedanya “karma” sangat fatalistik, maksudnya setiap tindakan ada akibatnya tanpa bisa
diperbaiki, tetapi dalam Kekristenan anak-anak Tuhan sudah lepas dari hukuman dan setiap
31

ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 9)


Pemulihan Gambar Diri (Bagian 1)

Manusia sedang mengalami krisis gambar diri. Gambar diri adalah pengertian seseorang mengenai
siapa dirinya dan harus menjadi apa atau bagaimana dirinya sendiri tersebut. Krisis gambar diri
adalah kegagalan seseorang mengenal siapa dan bagaimana dirinya di hadapan Tuhan. Apabila
pandangan seseorang mengenai manusia salah, maka salahlah semua gerak hidupnya. Krisis ini
akan melahirkan berbagai krisis kehidupan lainnya.
Dua Aspek Gambar diri
Dewasa ini banyak orang sedang berbicara mengenai gambar diri, baik di dalam maupun di luar
lingkungan gereja. Tampillah penceramah-penceramah, pembicara-pembicara dan pengkotbah-
pengkotbah yang mengambil tema ini sebagai isi percakapannya. Dalam pelatihan-pelatihan para
pemimpin dan pejabat gereja, tema ini juga diangkat ke permukaan sebagai bahan ajarannya.
Rupanya banyak orang sudah menganggap pokok ini penting. Apakah sebenarnya yang dimaksud
dengan gambar diri itu (self image)? Gambar diri adalah pemahaman seseorang mengenai siapa
dirinya? (Who he is) dan harus menjadi apa atau bagaimana dirinya tersebut (self esteem).
Jadi, gambar diri dimiliki dua aspek:
 Aspek present atau kekinian (who I am now).
 Aspek future atau yang akan datang (who I will be).

Aspek present atau kekinian


yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya saat ini. Setiap orang memiliki penilaian atau
harga terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini ada orang yang menilai dirinya terlalu tinggi, tetapi
ada juga yang memandang dirinya terlalu rendah. Orang yang memandang dirinya tinggi
cenderung percaya diri dan merasa yakin pasti diterima siapapun dan dimanapun. Hal-hal ini
biasanya dianggap positif, pada hal belum tentu. Orang yang percaya diri bukan berarti telah
memiliki gambar diri yang benar.
Sebaliknya kalau seseorang memandang dirinya rendah, maka akan cenderung rendah diri atau
minder. Orang yang minder sebenarnya adalah orang sombong dari sudut yang berbeda. Orang
yang rendah diri adalah orang yang menetapkan suatu standar. Karena tidak mencapai standar
tersebut maka ia menjadi minder. Orang minder tidak menerima diri sebagai mana adanya. Itulah
letak kesombongannya. Kalau ia menerima keberadaannya, maka ia tidak minder. Orang yang
memandang diri terlalu rendah bukan saja cenderung minder tetapi juga mudah memiliki
perasaan tertolak dan perasaaan tertolak dan perasaan negative lainnya. Perbaikan atas hal ini
bukan saja mengembalikan penilaian atas dirinya secara proporsional, sehingga tidak minder,
tidak merasa tertolak dan lain sebagainya, tetapi mengenakan pikiran dan perasaan Kristus.
32

Ceramah mengenai gambar diri yang diajarkan sering tidak memiliki ukuran yang jelas. Percaya
diri dianggap sebagai tanda seorang yang sudah menemukan gambar diri. Bila demikian
ukurannya, maka ini bukanlah kebenaran Alkitab. Ini hanyalah pengembangan kepribadian yang
juga diajarkan oleh para motivator umum. Pengembangan kepribadian bila diajarkan tanpa
kebenaran Injil akan membangun sikap humanisme (berpusat kepada diri sendiri) dan tidak
mengembangkan pola hidup seperti yang disaksikan Paulus yaitu “hidupku bukan aku lagi” (Gal
2:19-20). Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki kembali gambar Allah yang rusak
dalam dirinya. Tuhan Yesuslah teladannya. Itulah sebabnya orang percaya harus mengenakan
pikiran dan perasaan Kristus Yesus.

Aspek future atau akan datang


yaitu bagaimana seseorang akan membawa dirinya (self esteem). Gambaran dalam diri seseorang
dapat menjadi apa atau bagaimana dirinya di kemudian hari. Aspek ini sangat diperankan oleh
filosofi orang tersebut. Kalau ia memandang kekayaan adalah nilai tertinggi maka bayangan
dirinya adalah menjadi orang kaya. Kalau ia memandang gelar adalah nilai tertinggi, maka ia
berusaha mencapai jenjang pendidikan tertentu untuk dapat meraih gelar. Kalau ia memandang
kedudukan adalah nilai tertinggi kehidupan, ia berusaha menjadi orang terhormat, baik di
gelanggang politik maupun di bidang lain. Dan manusia terus bergerak untuk menjadi seseorang
seperti yang diidolakan.
Apa yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya adalah proses meniru. Dari generasi ke
generasi proses ini berlangsung secara otomatis. Pola pikir dan gaya hidup seseorang pada
umumnya meniru apa yang sudah dilakukan orang sebelumnya dan apa yang dilihat dari
lingkungannya. Ini yang disebut oleh Petrus sebagai cara hidup yang diwariskan oleh nenek
moyang (1 Pet 1:18-19). Inilah proses membangun gambar diri yang salah.
Semua orang berjuang untuk menjadi seseorang seperti yang diidolakan. Idola manusia pada
umumnya adalah menjadi orang yang berlimpah harta, berpendidikan tinggi, berpangkat,
berpenampilan menarik, cantik atau ganteng dan lain sebagainya. Pada umumnya orang tua juga
mendorong anak-anaknya mengidolakan apa yang diidamkan oleh mereka. Kalau orang tua
mengidolakan profesi dokter maka anaknya diusahakan untuk menjadi dokter. Kalau orang tua
mengidolakan ilmu, maka ia mendisain anaknya untuk menjadi ilmuwan. Dari kecil setiap anak
manusia sudah dijejali obsesi-obsesi dan segala cita-cita yang berpusat kepada diri sendiri atau
berpusat kepada ausia (anthroposentris). Gambar diri yang dibangun oleh seseorang untuk dapat
diwujudkan secara konkret dalam kehidupan ini pada umumnya adalah menjadi sosok yang
dikagumi, dipuja dan dihormati manusia lain.
Banyak orang mati dalam dosa dan kegelapan, tahun-tahun umur hidupnya hanya digunakan
untuk membangun gambar diri yang salah. Inilah yang disebut “disorientasi” yaitu hidup dengan
fokus yang salah. Hal ini yang akan menyeret seseorang hidup dalam kesia-siaan (Pengk 1:2).
Menjadi pintar, kaya, berkedudukan, terhormat, terkenal sebenarnya tidak salah tetapi
masalahnya adalah untuk apa semua itu? Bila prestasi kehidupan ini hanya untuk supaya dikagumi
manusia lain dan berharap bisa menikmati kebahagiaan, maka ini adalah suatu penyesatan. Tuhan
33

Yesus menyatakan bahwa apa yang dikagumi manusia dibenci oleh Allah (Luk 16:15) dan hidup
manusia tidak tergantung dari kekayaannya (Luk 12:15). Selanjutnya, Alkitab juga mengajarkan
agar orang percaya tidak boleh menjadi sama dengan dunia ini (Roma 12:2).
Gambar Diri yang Benar Secara Umum dan Khusus.
Ada dua macam gambar diri yang benar.
Gambar diri secara umum dan gambar diri secara khusus.
Secara umum
artinya gambar diri yang mengacu atau menunjuk kepada manusia yang dikehendaki Allah, dalam
hal ini Tuhan Yesus sebagai teladan-Nya (Fil 2:4-7). Untuk ini Injil harus dibedah dan digali untuk
menemukan gambaran yang jelas, manusia macam apakah yang dikehendaki oleh Bapa itu.
Gambaran mengenai manusia yang dikehendaki oleh Bapa adalah standar umum. Dalam hal ini
semua orang percaya memiliki peta gambar diri yang sama yaitu mengacu kepada pribadi Tuhan
Yesus Kristus sebagai model atau prototipenya. Gambar diri ini bisa disebut sebagai landasan
utama dan umum dari gambar diri untuk semua orang percaya.
Gambar diri secara khusus
artinya kehendak Tuhan kepada masing-masing individu untuk menjadi sosok pribadi macam
apakah masing-masing individu itu. Dalam hal ini setiap orang memiliki gambar diri yang berbeda-
beda. Tidak ada yang sama. Setiap orang memuat atau memikul rencana Allah secara khusus dan
istimewa. Oleh sebab itu, hendaknya kita tidak membandingkan keadaan diri kita dengan orang
lain.
Setiap orang dirancang Tuhan dengan keadaannya yang khas, unik dan luar biasa. Sesuai dengan
keberadaannya tersebut Tuhan memiliki rencana untuk dapat digenapi pada masing-masing
individu. Dalam hal ini masing-masing orang memiliki peta diri yang berbeda. Disini nyata
kebijaksanaan Tuhan sekaligus kreativitasnya menciptakan manusia dengan keberadaannya yang
bermacam-macam modelnya. Tidak ada 2 orang yang sama di dunia ini sekalipun mereka anak
kembar. Mari renungkan, betapa dahsyat, bahwa di kenyataan jagad raya ini hanya ada seorang,
yaitu anda. Dalam hal ini tidak seorangpun dapat dan boleh menghakimi sesamanya, sebab Tuhan
yang Maha Tahu, satu-satunya yang berhak menggelar penghakiman-Nya.

Peran Waktu
Sering kita mendengar orang berkata dan bermotto, bahwa bukan awal perjalanan yang
menentukan tetapi akhir perjalanan. Karena hampir semua orang setuju dengan pernyataan
tersebut, maka banyak orang Kristen pun ikut-ikutan setuju. Apakah pernyataan ini benar? Apakah
akhir perjalanan hidup seseorang menentukan segalanya. Pernyataan tersebut mengesankan
bahwa hanya saat-saat terakhir kehidupan seseorang yang menentukan nasib kekalnya. Bila
konsep ini dibenarkan, maka ada kecenderungan untuk tidak mulai berjaga-jaga mempersiapkan
diri jauh-jauh hari sebelum mendekati hari kematian atau menghadap tahta pengadilan Tuhan. Ini
adalah sebuah kecerobohan, sebab seseorang tidak pernah tahu kapan saat terakhir hidupnya.
Itulah sebabnya Tuhan jarang sekali memberitahu kapan seseorang dipanggil-Nya pulang. Hal ini
paralel dengan hari kedatangan Tuhan. Tidak seorangpun tahu kapan kedatangan-Nya yang kedua
26

menyebabkan manusia puas dengan kualitas rohaninya. Ia tidak terpacu bertumbuh secara luar
biasa. Tidak terpacu memeriksa diri dengan seksama.
Dari sudut pandangan etika kebebasan perlu ada. Sebab bila menolak kenyataan manusia sebagai
makhluk yang memiliki unsur kebebasan, maka etika tidak dapat tampil sewajarnya. Dalam hidup
setiap orang, kebebasan adalah suatu unsur hakiki yang tidak dapat disangkal. Semua manusia
mengalami kebebasan justru karena kita manusia dan kebebasan merupakan suatu realitas yang
sangat kompleks. Tidak sedikit penganguran bukan karena dosa struktural masyarakat atau
kelalaian pemerintah mengatur rakyatnya, tetapi juga karena kemalasan atau tidak profesionalnya
seseorang mengembangkan bidang-bidang tertentu di masyarakat. Banyak kemiskinan menyergap
seseorang karena kemalasan dan tidak tekun atau cacat mental lain. Kalau seseorang tidak
bersedia berinteraksi dengan masyarakat secara santun dan dengan baik, suka marah, gampang
tersinggung, tidak jujur atau tidak dapat dipercayai maka dimanapun dia berada cenderung ditolak
oleh lingkungannya, ini awal dari kehancuran dan kemiskinan. Tentu dalam hal ini jangan
membela keadaan yang sukar tersebut dengan alasan takdir.
Kehidupan, bukan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan merupakan tantangan yang
menuntut keberanian dan tanggung jawab. Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh
mengelak bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Alkitab dengan jelas menunjukkan
bahwa setiap orang harus memberi pertanggunganjawab kepada Allah (Mat 12:36; Rom 14:12;
Ibr 4:13; 1 Pet 4:5; Why 20:12). Dalam ayat-ayat ini manusia ditampilkan sebagai makhluk yang
tergugat.
Dalam hal ini kita disadarkan bahwa hidup ini bukan sebuah “game” murahan, tetapi sebuah
medan laga yang beresiko tinggi, high risk. Manusia juga sangat berperan dalam menentukan
keadaannya, jodoh lebih banyak ditangan manusia dari pada dalam pimpinan Tuhan atau ditangan
Tuhan, juga kematian dini bukan karena takdir tetapi karena kesalahannya yaitu tidak menjaga
kesehatannya, sembrono mengendarai kendaraan dll.
Jadi kalau tidak salah pilih jodoh, mengertilah bagaimana memilih jodoh yang baik. Pemilihan
jodoh adalah hal yang sangat penting dalam hidup. Kalau mau menjadi kaya perlu bekerja rajin,
sekolah giat, jujur dan makin profesional dan ahli dibidangnya. Kalau mau tidak sakit perlu
memperhatikan pola makan, olah raga yang teratur istirahat yang cukup, dan lain lain. Kalau mau
berhasil tentu perlu membayar harganya. Harga keberhasilan dalam Alkitab dikemukakan: Carilah
dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.
35

detiknya mengerjakan kemuliaan yang sangat berarti. Kalau 70 tahun dibanding 7 milyar tahun,
satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang sangat besar. Kalau 70 tahun dibanding 7 trilyun
tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan sangat-sangat besar. Dan kalau 70 tahun dibanding
dengan kekekalan, maka satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang tiada tara. Mata perhatian
kita tidak boleh hanya memandang detik terakhir hidup ini dan menilainya lebih berarti, seolah-
olah hanya detik terakhir yang menentukan nasib kekal. Yang menentukan nasib kekal manusia
bukan hanya akhir perjalanan hidupnya tetapi sepanjang perjalanan hidupnya. Kalau awalnya
sudah salah, sulit pada pertengahan menjadi benar. Awalnya benar saja belum tentu
pertengahannya benar. Apalagi kalau awalnya sudah salah, maka kesalahan akan terjadi terus
sampai akhir.
Harus diingat bahwa tidak seorangpun tahu kapan detik terakhirnya. Setiap detik adalah
momentum (Kairos) yang berharga yang memuat pelajaran rohani yang berharga, sesuai dengan
jadwal pembentukan yang Tuhan susun seperti kurikulum (kronos). Itulah sebabnya Firman Tuhan
menyatakan bahwa kita harus menggunakan waktu yang ada sebab hari-hari ini adalah jahat (Ef
5:16). Satu detik kita memiliki arti yang sangat berharga, karena itu bagian dari durasi (hora), urut-
urutan (kronos) dan kesempatan (kairos) yang Tuhan berikan. Bila menggunakan waktu itu dengan
baik maka waktu itu membawa manusia kepada kemuliaan. Harus kita ingat bahwa waktu (hora)
kita makin berkurang, kesempatan-kesempatan (kairos) dapat berlalu tanpa hasil dan urut-urutan
pembentukan Tuhan atas kita menjadi sia-sia.
Betapa berharganya waktu kita. Detik demi detik berlalu, Tuhan menunggu anak-anak-Nya untuk
menggunakan kesempatan hidup ini untuk meraih berkat kesulungan yang dimiliki orang percaya
yaitu kesempatan untuk sempurna agar bisa dipermuliakan bersama-sama dengan Yesus. Tetapi
kenyataan yang ada orang Kristen yang menukar hak kesulungannya dengan semangkuk makanan.
Ini adalah percabulan rohani. Hal ini tindakan mengkhianati Tuhan. Suatu hari nanti orang-orang
seperti tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri (Ibr 12:16-17). Jadi bukan hanya detik
terakhir yang menentukan tetapi juga semua detik hidup yang diberikan Tuhan kepadanya.

Perjuangan Membangun Gambar Diri


Mengapa dikalangan orang Kristen terdapat pemahaman bahwa yang penting adalah akhir
perjalanan. Harus diakui ada suatu pengertian yang salah mengenai keselamatan yang ada dalam
pikiran banyak orang Kristen. Keselamatan dianggap begitu murahan dan gampangan (Luk 13:22-
29). Inilah yang menyebabkan banyak orang Kristen memiliki hidup kerohanian yang tidak
bermutu. Dari pernyataan-pernyataan Tuhan di perikop ini jelaslah dapat disimpulkan bahwa
“keselamatan bukan sesuatu yang gampangan dan murahan.” Perhatikan ucapan Tuhan Yesus:
Berjuanglah. Kata ini dalam teks aslinya adalah “agonizeste” artinya struggle atau strive (berjuang
atau berusaha dengan keras). Pengertiannya yang lain adalah labor fervently (bekerja dengan
bersemangat atau bernyala-nyala). Pemahaman keselamatan yang salah disebabkan pula
intepretasi yang salah terhadap fragmen di kayu salib, yaitu keselamatan yang diterima oleh salah
satu penjahat disamping Tuhan Yesus (Luk 23:39-43). Hanya mengucapkan: “Ingatlah aku kalau
36

Engkau datang sebagai Raja”, ia sudah selamat. Banyak orang tidak memahami bahwa penjahat
tersebut memiliki ” sikap hati yang luar biasa”, yang karenanya ia layak menerima keselamatan.
Beberapa hal yang menunjukkan sikap hatinya nampak dalam beberapa pernyataan yang
diucapkan di kayu salib tersebut: Ia mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah Mesias, Sang Juru
Selamat dan Yesus berkuasa menyelamatkan dirinya di kekekalan. Ia percaya bahwa Yesuslah
Raja. Pada saat orang-orang meninggalkan Tuhan Yesus, bahkan murid-murid Yesus menyangsikan
Dia adalah Mesias, justru ia satu-satunya yang masih percaya pada waktu itu. Apakah kita masih
bisa mempertahankan iman Kristen dalam keadaan terjepit, atau bisa-bisa menyangkal Yesus
seperti Petrus. Kesetiaan sampai akhir yang menentukan keselamatan seseorang, tetapi ini tidak
hanya ditentukan oleh menit-menit. Kemenangan petinju bukan hanya pada menit-menit terakhir
ketika ada di ring tinju tetapi hari-hari panjang pada waktu ia mempersiapkan diri bertinju di ring
tinjunya.
Penjahat ini menerima dengan rela hukuman salib terhadap dirinya. Ia merasa bahwa ia pantas
menerimanya. Ini menunjuk pengakuan dosanya yang tulus dan jujur. Sukar mengatakan bahwa
penjahat ini tidak bertobat. Inilah pertobatan yang sesungguhnya, bukan pertobatan yang semu.
Tidak mungkin sikap hati seperti ini dapat dimilikinya secara mendadak. Tentu ia telah
membangunnya melalui detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun-tahun yang panjang.
Apa yang dilakukan penjahat ini adalah peta perjalanan yang telah dilaluinya. Ia bukan penjahat
kriminal tetapi penjahat politik di mata penjajah, yaitu kekaisaran Roma. Oleh sebab itu detik
terakhir penjahat ini bukan merupakan penentu satu-satunya keselamatannya. Dari sikap
penjahat yang baik ini kita menemukan suatu gambar diri yang melayakkan ia dibawa ke Firdaus,
sedangkan penjahat yang tidak baik memiliki gambar diri yang tidak layak di bawa ke Firdaus.
Pelajaran berharga lain yang kita peroleh dari penjahat di samping salib Tuhan itu adalah dari
pernyataan-pernyataan penjahat tersebut di kayu salibnya menunjukkan hormatnya kepada
Tuhan Yesus (Luk 23:39-43). Rupanya penjahat ini sudah mengenal Tuhan Yesus sebelum
penyaliban mereka. Itulah sebabnya ia dapat membela Tuhan Yesus dan mengatakan bahwa Yesus
tidak bersalah. Hal ini bukan diperolehnya dalam sehari tetapi tahun-tahun yang panjang dalam
perjuangan yang benar-benar serius.
Penjahat yang baik ini tidak mempersoalkan masalah dunia fana tetapi ia mempersoalkan perkara-
perkara sorgawi, yaitu Firdaus. Sukar mengatakan ia tidak rohani. Sebagai perbandingan adalah
teman penjahatnya yang mempersoalkan bagaimana ia bisa turun dari salib itu, ia masih
mempersoalkan bagaimana menikmati hidup di dunia ini. Sedangkan penjahat yang baik ini tidak.
Dari pernyataannya nampak kualitas sikap hati yang melayakkan ia masuk Firdaus. Inilah yang
dimaksud dengan: Mendahulukan kerajaan Allah (Mat 6:33), dan mencari perkara-perkara yang
diatas (Kol 3:1-4). Dalam kondisi yang terjepit seperti penjahat ini, ia masih memandang Kerajaan
Tuhan Yesus Kristus.
Ia tidak hanyut dalam keduniawian. Ia memiliki kepribadian sorgawi.
Ia tidak menghujat Tuhan Yesus, di tengah situasi frustasi yang dialaminya. Ia tidak
mempersalahkan Tuhan dan memaksa Tuhan menolongnya. Ia tidak egois. Ia mengakui bahwa
Tuhan Yesus tidak bersalah, lebih lanjut. Ia mengadakan pembelaan untuk Tuhan Yesus.
37

Ia tidak memikirkan nasibnya tetapi kepentingan Tuhan Yesus. Ini adalah hal yang paling istimewa
dalam diri penjahat saleh ini. Pembelaannya kepada Tuhan adalah motif dasar hidup dan
pelayanan kita kepada Tuhan. Coba kita periksa apakah diri kita telah memiliki pembelaan yang
sedemikian ini kepada Tuhan. Dalam keadaan yang terjepit seperti penjahat tersebut, Ia masih
memikirkan kepentingan Tuhan walau ia sendiri memiliki kepentingan. Inilah sebenarnya landasan
pelayanan yang benar kepada Tuhan. Orang-orang seperti ini pantas mendapat mahkota. Jadi
kalau kita melayani pekerjaan Tuhan, motivasi inilah yang harus bertahta di hati kita.
Tuhan tentu tidak sembrono mempersilahkan penjahat disampingnya masuk Firdaus tanpa
memenuhi kriteria penghuni Firdaus. Kalau penjahat tersebut masih bermental penjahat masakan
disamakan dengan orang-orang saleh di sorga. Penjahat adalah status lahiriahnya tetapi
mentalnya penduduk Firdaus. Dengan melihat sikap hati penjahat disamping Tuhan, penjahat
saleh ini kita belajar sikap hati yang hati yang benar yang harus kita miliki dihadapan Tuhan.
Kualitas rohani penjahat ini pasti bukan dibangun dalam beberapa jam. Ia bukan penjahat kriminal
karena kejahatan yang dilakukan tetapi penjahat politik. Ia ditangkap karena membela Yahwe
Allah Israel.
29

dikisahkan keturunan Kain orang berdosa lebih berprestasi dari pada keturunan Set yang benar
(Kej 4:20-22). Apakah dalam hal ini keturunan Set lebih bodoh? Tentu tidak. Keturunan Set dalam
jalur kehendak Tuhan sehingga progresifitas mereka juga progresifitas yang baik, sesuai dengan
irama Tuhan. Hari ini kita melihat progresifitas manusia yang tidak terkendali. Satu sisi tehnologi
berkembang, tetapi tidak membuat manusia benar-benar nyaman dan aman. Hal ini tidak akan
terjadi di dunia yang akan datang.
Sekarang ini kita dapat membuktikan bahwa dibalik apa yang kelihatan mudah oleh mata manusia,
Tuhan menaruh kekayaan alam yang tiada terbatas. Ini adalah tehnologi Tuhan atau kecerdasan
Tuhan yang harus ditemukan oleh manusia dan manusia harus menemukan dan mengelolanya
secara bijaksana. Seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa, manusia beranak-pinak akan
memenuhi bumi. Tentu saja manusia yang tidak bisa mati akan membuat bumi tidak mampu
menampung populasi manusia. Bagaimana penyelesaiannya? Tentu mudah sekali, sebab manusia
yang tidak berdosa dengan kecerdasan seperti Allah mampu menanggulanginya.
Pengertian jatuh dalam dosa harus dipahami dengan benar dan lengkap. Kalau kejatuhan itu
membuat manusia kehilangan kemuliaan Allah (Rom 3:23), itu berarti dalam segala aspeknya
manusia telah gagal mencapai standar yang Tuhan rancang. Manusianya sendiri telah rusak, tidak
memiliki keadaan segambar dengan Allah dan bumi dalam keadaan terhukum (Kej 3). Ini adalah
kondisi yang tidak dikehendaki oleh Tuhan. Keadaan manusia dan bumi ini telah jatuh, jauh dari
standar kesempurnaan Tuhan. Keselamatan dalam Yesus Kristus memiliki proyeksi ini, bahwa
manusia akan dibawa kepada rancangan semula Allah di langit baru dan bumi yang baru. Hal ini
dikemukakan untuk membawa kita kepada keyakinan bahwa di balik dunia hari ini yaitu di langit
baru dan bumi baru nanti, standar kesempurnaan kehidupan yang dirancang semula, sebelum
manusia jatuh dalam dosa akan diwujudkan oleh Tuhan. Tuhan tidak pernah gagal atas apa yang
direncanakan (Ayub 42:2)
Dunia yang kita huni hari ini adalah dunia yang jauh dari standar kemakmuran dan keindahan
yang Tuhan maksudkan. Kalau kita mengingininya berarti kita menganggap Tuhan “bodoh”, sebab
kita menganggap bahwa hanya kualitas rendah yang dapat diciptakan-Nya dan disediakannya
bagi kita. Apa yang dapat dimiliki manusia hari ini tidak ada artinya dengan apa yang Tuhan
sediakan nanti di belakang langit biru. Jadi, Alkitab berkata: Apa gunanya seorang memperoleh
seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan diri sendiri? (Luk 9:25). Keindahan apapun
dan dalam jumlah sebanyak apapun tidak ada artinya dengan kesempatan melewati hari kekal di
langit baru dan bumi yang baru nanti bersama dengan Tuhan.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus datang ke dunia untuk menggoncangkan dunia dengan segala
goncangan agar manusia tidak merasa betah di bumi dan merindukan dunia lain yang lebih baik
(Mat 10:34; Luk 12:49). Tuhan Yesus lah yang mampu membuka meterai yang membuat kuda-
kuda dapat keluar dan membawa perubahan di bumi, perang, kelaparan, pembunuhan dan lain
sebagainya (Why 5-8). Segala sesuatu ini harus terjadi sebelum datangnya jaman baru, jaman
penuh dengan kesengsaraan (Mat 24:8).
Dapat dimengerti kalau manusia yang diselamatkan adalah manusia yang berani melepaskan diri
dari segala milik agar dapat dimuridkan atau didewasakan atau dirubah. Manusia yang tidak bisa
39

dan apa yang Tuhan kehendaki; bisa menjadi apa setiap individu menurut Dia atau sesuai dengan
rencana-Nya. Tanpa mengerti apa yang Tuhan Yesus ajarkan, maka seseorang tidak akan
menemukan gambar diri yang benar
Keadaan Tidak Berpotensi.
Sebenarnya pada dasarnya manusia yang telah jatuh dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah
(Rom 3:23), terlahir dalam keadaan yang tidak berpotensi sama sekali untuk memilih dan
mengenal gambar diri yang benar. Ini bagian dari dosa warisan yang diterima setiap anak-anak
Adam (Maz 51:7). Jadi adalah keliru, kalau orang berpendirian bahwa ada manusia yang dapat
mengenal gambar dirinya tanpa mengenal kebenaran Injil. Adam sendiri telah kehilangan
kesempatan untuk menemukan gambar dirinya dengan benar dan bertumbuh menuju keserupaan
dengan Allah lebih baik. Oleh karena kejatuhan manusia pertama tersebut maka semua
keturunannya telah kehilangan kesempatan untuk memiliki pengetahuan mengenai gambar
dirinya, sampai Tuhan Yesus menyelamatkannya.
Kejatuhan manusia dalam dosa karena bujukan iblis untuk menjadi seperti Allah (Kej 3:1-6),
menunjukkan manusia belum mengenal gambar diri dengan benar. Kalau manusia memahami
gambar diri dengan benar, maka ia tidak akan makan buah yang terlarang untuk dimakan
tersebut. Siapakah sebenarnya manusia itu? Manusia adalah mahkota ciptaan Allah (ciptaan Allah
dengan kualitas tertinggi). Raja di bumi atas kuasa yang Tuhan berikan. Manusia diberikan
kemampuan untuk menaklukkan bumi (Kej 1:28). Pasti didalamnya termasuk semua rintangan
yang merintangi penyelenggaraan pemerintahannya. Kemungkinan potensi terbesar yang akan
mengganggu pemerintahan manusia adalah malaikat-malaikat pemberontak yang dibuang ke
bumi (Why12:4)
Dengan mandat menaklukkan bumi berarti manusia diberi kesanggupan untuk mengalahkan iblis.
Apakah manusia bisa menaklukkan iblis? Mengapa tidak? Tentu bisa, sebab tidak mungkin Bapa
merancang kejatuhan manusia ke dalam dosa, kemudian mengutus Tuhan Yesus Kristus untuk
mengalahkan iblis.
Manusialah yang seharusnya dapat mengalahkan iblis. Banyak orang menganggap bahwa
inkarnasi Allah Anak menjadi manusia adalah skenario Allah yang pasti harus dilakukan. Ini juga
berarti bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah rancangan Tuhan. Tuhan dianggap
sebagai sumber bencana. Sesungguhnya manusia dirancang untuk bersekutu dalam kurun waktu
yang tidak terbatas. Tuhan menciptakan manusia hanya untuk hidup dalam persekutuan dengan
Dia dan pengabdian kepada-Nya selamanya. Betapa dahsyat mahkluk ini. Gambar diri ini rupanya
belum ditemukan Adam dengan sempurna atau dengan baik sehingga ia masih bisa terkecoh oleh
iblis, yaitu tergoda untuk menjadi sama seperti Tuhan, akhirnya jatuh. Dengan menemukan
gambar diri secara utuh dan benar manusia tidak akan jatuh dalam dosa. Manusia dirancang
seperti Bapa-Nya, yaitu Allah sendiri.
Tidak Statis
Seandainya Adam tidak berbuat dosa, maka melalui perjalanan waktu yang tidak terbatas manusia
akan mengenal dirinya dengan benar. Manusia bisa mencapai keserupaan dengan Bapa lebih baik
dan memahami apa yang baik dan buruk tanpa harus berbuat dosa terlebih dahulu. Tetapi
40

rancangan ini tertunda karena kejatuhannya. Sekarang, di dalam dan melalui kehidupan anak-
anak Allah, Tuhan hendak kembali menggenapkan rancangan-Nya, yaitu menciptakan manusia
menurut gambar-Nya dan terus bertumbuh sampai menemukan gambar dirinya dengan benar
dan sempurna.
Dan begitu banyak pandangan mengenai gambar dan rupa Allah (tselem dan demuth) yang
diungkapkan Kejadian 1:26-27, terdapat kemungkinan bahwa pengertian gambar adalah
keserupaan yang diperoleh sejak penciptaan atau sejak lahir sedangkan rupamenunjuk
keserupaan yang diperoleh belakangan. Kata-kata yang digunakan untuk gambar dan rupa di
dalam teks asli Alkitab yaitu dalam bahasa Ibrani adalah tselem dandemuth.
Tselem hendak menunjuk gambar dalam arti unsur-unsur dasar yang dimiliki Allah juga dimiliki
manusia yaitu pikiran, perasaan, kehendak, kekekalan dan hakekat kerja. Adapun Demuth adalah
keserupaan yang menunjuk kepada kualitas atas unsur-unsur tersebut. Keserupaan dengan Allah
yang dimiliki manusia bukan sesuatu yang statis tetapi bisa progresif. Walaupun pandangan ini
tidak mudah untuk menjadi pijakan, tetapi faktanya jelas, yaitu bahwa manusia pertama yang
diciptakan “memiliki peluang untuk berkembang atau progresif”. Pemahaman ini sulit diterima
karena konsep orang selama ini adalah bahwa keberadaan manusia yang diciptakan sudah selesai.
Satu entitas yang tidak bisa berkembang lagi secara intelektual maupun aspek lainnya, termasuk
moralnya. Bila demikian, berarti tidak akan ada perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Bila intelektual bisa berkembang maka bukan tidak mungkin hal ini sebangun atau parallel dengan
perkembangan moral manusia yang sama artinya dengan makin ditemukan gambar dirinya.
Landasan yang lain terhadap pandangan ini adalah bahwa manusia tidak mungkin diciptakan
dengan kondisi statis dan tidak mampu mengungguli iblis. Kalau manusia sampai jatuh dalam
dosa atau kalah terhadap iblis, itu juga karena pilihannya bukan karena kemampuannya. Kalau
manusia memilih taat, maka proses penyempurnaan akan terus berlangsung sampai tingkat
dimana iblis tidak akan bisa mengunggulinya atau menjatuhkan. Dalam hal ini jelas sekali, bahwa
manusia seharusnya dapat mengalahkan iblis. Manusia harus mengembangkan diri, menemukan
gambar diri yang luar biasa yaitu segambar dan serupa dengan Allah, sampai tidak bisa jatuh
dalam dosa.
Keselamatan dalam Yesus Kristus membuka peluang manusia dapat belajar mengenal dirinya
dengan benar dan mengembangkannya sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki (Mat 5:48).
Pernyataan Tuhan Yesus bahwa orang percaya harus sempurna seperti Bapa di Sorga sebenarnya
sama dengan panggilan untuk menemukan gambar diri yang Allah Bapa kehendaki. Dan gambar
diri yang ditemukan adalah “kesempurnaan Bapa di Sorga”.
Pergumulan untuk menemukan gambar diri ini belum tuntas diselesaikan oleh Adam. Sekiranya
Adam bertumbuh dalam pengembangan gambar diri, yaitu kesempurnaan seperti Bapa di Sorga,
pastilah ia tidak jatuh dalam dosa. Kalau manusia bisa sempurna seperti Bapa berarti iblis tidak
akan mampu mengungguli-Nya. Rancangan Tuhan adalah bahwa manusia dapat mengungguli
musuh dengan keberadaan segambar dan serupa dengan Allah. Dengan demikian istilah “krisis
gambar diri” harus dikoreksi dan dipahami dengan pemahaman yang baru. Sebab kalau dikatakan
krisis, seolah-olah pernah terjadi atau ada suatu masa dimana manusia pernah memiliki gambar
41

diri yang sempurna, padahal dari fakta sejarah sebelum Anak Allah datang, manusia belum sempat
sampai kepada tingkat mengungguli iblis. Kalaupun harus digunakan kata “krisis”, ini harus dalam
pengertian bahwa manusia memang belum mencapai gambar diri yang dikehendaki oleh Allah,
sementara waktu atau kesempatan untuk menerima restorasi atau pemulihan gambar diri
(deadline) semakin dekat.
Jadi pengertian yang benar mengenai kata krisis gambar diri bukan mengembalikan gambar diri
yang rusak, seolah-olah manusia pernah mencapai gambar diri yang ideal atau sempurna dan
telah menetap permanen dalam dirinya, tetapi mengembalikan proses penyempurnaan untuk
menemukan gambar diri yang telah gagal oleh manusia pertama. Adam pertama gagal, Adam
terakhir yaitu Tuhan Yesus Kristus berhasil (Luk 2:52). Dengan keberhasilan Adam terakhir
menemukan gambar diri seperti yang Bapa kehendaki (Mat 3:17), maka orang percaya dan
mengikut Dia diberi kemungkinan untuk berhasil juga, sama seperti Dia (Rom 8:29). Dengan
demikian panggilan untuk sempurna seperti Bapa adalah meneruskan proses penyempurnaan
manusia yang tertunda oleh Adam. Kedatangan Tuhan Yesus sebagai Adam terakhir dari
dimulainya kembali proses pencarian gambar diri oleh manusia yang diciptakan segambar dengan
Allah agar sempurna seperti Bapa di Sorga. Melalui dan di dalam Dia, Bapa menciptakan manusia-
manusia baru yang akan dapat menjadi kesukaan Bapa. Dengan demikian bukan hanya kepada
Tuhan Yesus. Bapa menyatakan bahwa Bapa berkenan, tetapi juga kepada orang percaya yang
menemukan gambar dirinya seperti Yesus.
32

Ceramah mengenai gambar diri yang diajarkan sering tidak memiliki ukuran yang jelas. Percaya
diri dianggap sebagai tanda seorang yang sudah menemukan gambar diri. Bila demikian
ukurannya, maka ini bukanlah kebenaran Alkitab. Ini hanyalah pengembangan kepribadian yang
juga diajarkan oleh para motivator umum. Pengembangan kepribadian bila diajarkan tanpa
kebenaran Injil akan membangun sikap humanisme (berpusat kepada diri sendiri) dan tidak
mengembangkan pola hidup seperti yang disaksikan Paulus yaitu “hidupku bukan aku lagi” (Gal
2:19-20). Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki kembali gambar Allah yang rusak
dalam dirinya. Tuhan Yesuslah teladannya. Itulah sebabnya orang percaya harus mengenakan
pikiran dan perasaan Kristus Yesus.

Aspek future atau akan datang


yaitu bagaimana seseorang akan membawa dirinya (self esteem). Gambaran dalam diri seseorang
dapat menjadi apa atau bagaimana dirinya di kemudian hari. Aspek ini sangat diperankan oleh
filosofi orang tersebut. Kalau ia memandang kekayaan adalah nilai tertinggi maka bayangan
dirinya adalah menjadi orang kaya. Kalau ia memandang gelar adalah nilai tertinggi, maka ia
berusaha mencapai jenjang pendidikan tertentu untuk dapat meraih gelar. Kalau ia memandang
kedudukan adalah nilai tertinggi kehidupan, ia berusaha menjadi orang terhormat, baik di
gelanggang politik maupun di bidang lain. Dan manusia terus bergerak untuk menjadi seseorang
seperti yang diidolakan.
Apa yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya adalah proses meniru. Dari generasi ke
generasi proses ini berlangsung secara otomatis. Pola pikir dan gaya hidup seseorang pada
umumnya meniru apa yang sudah dilakukan orang sebelumnya dan apa yang dilihat dari
lingkungannya. Ini yang disebut oleh Petrus sebagai cara hidup yang diwariskan oleh nenek
moyang (1 Pet 1:18-19). Inilah proses membangun gambar diri yang salah.
Semua orang berjuang untuk menjadi seseorang seperti yang diidolakan. Idola manusia pada
umumnya adalah menjadi orang yang berlimpah harta, berpendidikan tinggi, berpangkat,
berpenampilan menarik, cantik atau ganteng dan lain sebagainya. Pada umumnya orang tua juga
mendorong anak-anaknya mengidolakan apa yang diidamkan oleh mereka. Kalau orang tua
mengidolakan profesi dokter maka anaknya diusahakan untuk menjadi dokter. Kalau orang tua
mengidolakan ilmu, maka ia mendisain anaknya untuk menjadi ilmuwan. Dari kecil setiap anak
manusia sudah dijejali obsesi-obsesi dan segala cita-cita yang berpusat kepada diri sendiri atau
berpusat kepada ausia (anthroposentris). Gambar diri yang dibangun oleh seseorang untuk dapat
diwujudkan secara konkret dalam kehidupan ini pada umumnya adalah menjadi sosok yang
dikagumi, dipuja dan dihormati manusia lain.
Banyak orang mati dalam dosa dan kegelapan, tahun-tahun umur hidupnya hanya digunakan
untuk membangun gambar diri yang salah. Inilah yang disebut “disorientasi” yaitu hidup dengan
fokus yang salah. Hal ini yang akan menyeret seseorang hidup dalam kesia-siaan (Pengk 1:2).
Menjadi pintar, kaya, berkedudukan, terhormat, terkenal sebenarnya tidak salah tetapi
masalahnya adalah untuk apa semua itu? Bila prestasi kehidupan ini hanya untuk supaya dikagumi
manusia lain dan berharap bisa menikmati kebahagiaan, maka ini adalah suatu penyesatan. Tuhan
43

yang salah yang tertanam dalam benaknya. Gambar diri ini diperoleh dari apa yang didengar dan
dilihat pada orang tua dan lingkungannya. Semua ini membangun konsep gambar diri seseorang.
Selama ini yang dipahami sebagai penyangkalan diri adalah sikap yang menolak perbuatan salah
yang dikategorikan melanggar moral dan kesediaan melakukan hukum yang dianggap sebagai
standar moral. Ini sebenarnya belum bisa dikatakan penyangkalan diri tetapi pertarakan.
Penyangkalan diri adalah sikap yang menolak semua filosofi hidup yang dipahami oleh orang tua
dan lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Filosofi hidup yang diwariskan kepada
kita pada umumnya adalah perjuangan untuk meraih keberhasilan melalui sekolah, kuliah,
berkarir, berdagang, mencari nafkah dengan berbagai profesi, menikah, mempunyai anak,
membesarkan anak, mencari menantu, ikut membesarkan cucu dan lain sebagainya.
Semua itu dilakukan untuk meraih apa yang disebut sebagai keberhasilan atau paling tidak sebuah
kelayakan atau kewajaran hidup. Anak-anak Tuhan dipanggil untuk mengabdi kepada Tuhan. Baik
makan atau minum, atau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan
Allah (1Kor 10:31). Anak Tuhan memang harus sekolah, kuliah, berkarir, dagang, menikah dan lain
sebagainya, tetapi semua itu harus dilakukan bagi Tuhan yang telah menebus kita dan membeli
kita dengan darah-Nya.
Ke Tingkat yang Lebih Tinggi
Sebenarnya jiwa manusia penuh dengan perbendaharaan yang busuk yang tidak membangun diri
menjadi manusia yang tidak dikehendaki oleh Allah. Perbendaharaan itu antara lain: keserakahan,
kesombongan atau mau dihormati, kebencian, ambisi memerintah orang lain atau mau berkuasa,
tidak mau menerima orang lain sebagaimana adanya dlsb. Inilah yang membuat gambar diri
manusia semakin jauh dari gambar diri ideal yang harus dicapai oleh setiap individu.
Perbendaharaan jiwa yang busuk tersebut juga merupakan penyakit jiwa yang tidak mudah
disembuhkan. Banyak orang merasa sudah sembuh dari hal-hal itu, tetapi sebenarnya belum.
Karena kecerdasan dan kelicikan hati seseorang, maka manifestasi dari kebusukan jiwanya tidak
mudah dikenali, bahkan oleh dirinya sendiri. Pendidikan budi pekerti, pengembangan kepribadian
dan berbagai ajaran etika sering hanya memoles bagian luarnya tetapi tidak memperbaharui
sampai kedalaman. Pada dasarnya orang-orang seperti itu belum hidup baru dalam Tuhan seperi
yang dikemukakan dalam 2Kor 5:17. Kepada orang-orang seperti itu Tuhan menyatakan bahwa
mereka tidak dikenal atau tidak dapat dinikmati oleh Tuhan (Mat 7:21-23). Keadaan mereka jauh
dari standar kesucian atau kebenaran Tuhan.
Bagaimana seseorang bisa mengenal, bahwa dirinya masih jauh dari standar kesucian atau
kebenaran Tuhan? Ia harus memiliki kesungguhan untuk mencapai standar hidup yang luar biasa.
Ia tidak boleh merasa puas dengan kebaikan yang telah ia capai. Ia harus selalu bertanya: Apakah
ada yang lebih baik dari apa yang sudah kucapai hari ini, seperti pertanyaan orang muda yang kaya
dalam Matius 19:20: “Semuanya itu telah saya lakukan, apa lagi yang masih kurang”? Hanya orang
yang haus dan lapar akan kebenaran yang akan dipuaskan (Mat 5:6).
Orang yang selalu ingin mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam kesucian Tuhan yang akan
memperoleh jawaban. Bagaimana seseorang dapat dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi kalau ia
sendiri tidak memiliki keinginan untuk mencapainya. Banyak orang yang tidak memiliki kerinduan
44

untuk mencapai tingkat kesucian atau kebenaran yang lebih tinggi disebabkan karena
menganggap hal itu tidak terlalu penting. Bagi mereka segala kesenangan hidup lebih berarti dan
membahagiakan. Tanpa disadari, mereka merendahkan nilai-nilai kesucian dan kebenaran Tuhan
serta mencampakkannya seperti sampah. Pada dasarnya mereka menghina Tuhan. Tetapi mereka
tidak merasa demikian, sebab mereka masih melakukan kegiatan gereja dan dihargai oleh
sesamanya sebagai orang baik. Inilah orang-orang yang tidak mendahulukan Kerajaan Sorga,
walaupun kadang-kadang mereka mendahulukan gereja. Kerinduan untuk mencapai tingkat yang
lebih tinggi harus berangkat dari diri sendiri. Hal ini tidak bisa dipaksakan. Ini adalah pilihan. Bila
seseorang menunda memilih hari ini, maka ia tidak akan memiliki kerinduan tersebut untuk
selamanya. Sia-sia hidup ini.
Semakin menjadi pribadi yang dikehendaki oleh Tuhan atau menemukan gambar diri yang benar
sama artinya dengan semakin meningkatnya kesucian dan kebenaran Tuhan dalam hidup
seseorang. Hal ini rentang atau jaraknya bisa tidak terbatas. Seandainya seseorang memiliki waktu
umur hidupnya 1000 tahun, waktu itupun tidak akan cukup untuk menjangkau kesucian dan
kebenaran Tuhan yang tersedia bagi manusia. Sangat mungkin, perkembangan kesucian dan
kebenaran Tuhan dalam hidup seseorang akan berlanjut nanti di langit baru dan bumi yang baru.
Tetapi ini hanya dialami oleh orang-orang yang selama hidup di dunia ini menghargainya.
Menghargai kesucian dan kebenaran Tuhan berarti berusaha untuk melakukan kehendak Tuhan
apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna (Rom 12:2). Orang-orang seperti ini tidak curiga
terhadap Tuhan Yesus dan kehendak-Nya bahwa kita harus sempurna seperti Bapa (Mat 5:48).
Sayang sekali banyak orang mau memiliki rumah, mobil, kehormatan, pangkat dan fasilitas lain
yang serba terbaik, tetapi tidak merindukan kehidupan rohani yang terbaik. Inilah yang Alkitab
katakan sebagai orang-orang bodoh (Luk 12:15-21). Inilah orang-orang yang menukar hak
kesulungannya dengan semangkuk makanan (Ibr 12:16-17). Kebodohan itu barulah disadari ketika
seseorang menutup mata, ternyata ia miskin dalam keabadian. Penyesalan atas hal ini hanya bisa
digambarkan dengan ratap tangis dan kertak gigi. Jadi, kalau Tuhan berfirman: kumpulkan harta di
Sorga, itu dimaksud agar kita membenahi jiwa kita untuk diisi kebenaran Tuhan, menggantikan
segala yang busuk yang ada di dalamnya. Nasihat Tuhan untuk mengumpulkan harta di Sorga
berkenaan dengan kotbah Tuhan Yesus di Bukit (Mat 5-7), yaitu ketika Tuhan meletakan dasar
moral untuk umat Perjanjian Baru. Bila jiwa seseorang diisi kebenaran Tuhan, maka ekspresi dari
jiwa yang bersih tersebut akan pasti dirasakan manusia di sekitarnya.
Kesempatan ini hanya diberikan kepada umat Perjanjian Baru. Umat Perjanjian Lama tidak
memiliki kesempatan ini dan mereka tidak sanggup untuk melakukannya, karena mereka tidak
memiliki kuasa untuk hidup sebagai anak-anak Tuhan (Yoh 1:2-13). Kuasa untuk hidup sebagai
anak-anak Tuhan adalah kemampuan untuk hidup dalam pimpinan roh (Rom 8:14). Dan Tuhan
hanya menyediakan paket ini untuk orang yang percaya. Jadi kalau seseorang mau hidup baik-baik
saja, maka ia tidak perlu menjadi orang Kristen. Orang Kristen adalah manusia yang dipanggil
untuk mencapai standar kesucian dan kebenaran Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan menghendaki kita
mempersoalkan hal ini lebih dari mempersoalkan hal lain. Mengutamakan Kerajaan Sorga tidak
akan mengganggu kegiatan hidup kita setiap hari, bahkan sebaliknya Tuhan akan membuat
45

masalah pemenuhan kebutuhan jasmani kita tidak mengganggu pergumulan untuk mencapai
standar kesucian dan kebenaran Tuhan.
35

detiknya mengerjakan kemuliaan yang sangat berarti. Kalau 70 tahun dibanding 7 milyar tahun,
satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang sangat besar. Kalau 70 tahun dibanding 7 trilyun
tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan sangat-sangat besar. Dan kalau 70 tahun dibanding
dengan kekekalan, maka satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang tiada tara. Mata perhatian
kita tidak boleh hanya memandang detik terakhir hidup ini dan menilainya lebih berarti, seolah-
olah hanya detik terakhir yang menentukan nasib kekal. Yang menentukan nasib kekal manusia
bukan hanya akhir perjalanan hidupnya tetapi sepanjang perjalanan hidupnya. Kalau awalnya
sudah salah, sulit pada pertengahan menjadi benar. Awalnya benar saja belum tentu
pertengahannya benar. Apalagi kalau awalnya sudah salah, maka kesalahan akan terjadi terus
sampai akhir.
Harus diingat bahwa tidak seorangpun tahu kapan detik terakhirnya. Setiap detik adalah
momentum (Kairos) yang berharga yang memuat pelajaran rohani yang berharga, sesuai dengan
jadwal pembentukan yang Tuhan susun seperti kurikulum (kronos). Itulah sebabnya Firman Tuhan
menyatakan bahwa kita harus menggunakan waktu yang ada sebab hari-hari ini adalah jahat (Ef
5:16). Satu detik kita memiliki arti yang sangat berharga, karena itu bagian dari durasi (hora), urut-
urutan (kronos) dan kesempatan (kairos) yang Tuhan berikan. Bila menggunakan waktu itu dengan
baik maka waktu itu membawa manusia kepada kemuliaan. Harus kita ingat bahwa waktu (hora)
kita makin berkurang, kesempatan-kesempatan (kairos) dapat berlalu tanpa hasil dan urut-urutan
pembentukan Tuhan atas kita menjadi sia-sia.
Betapa berharganya waktu kita. Detik demi detik berlalu, Tuhan menunggu anak-anak-Nya untuk
menggunakan kesempatan hidup ini untuk meraih berkat kesulungan yang dimiliki orang percaya
yaitu kesempatan untuk sempurna agar bisa dipermuliakan bersama-sama dengan Yesus. Tetapi
kenyataan yang ada orang Kristen yang menukar hak kesulungannya dengan semangkuk makanan.
Ini adalah percabulan rohani. Hal ini tindakan mengkhianati Tuhan. Suatu hari nanti orang-orang
seperti tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri (Ibr 12:16-17). Jadi bukan hanya detik
terakhir yang menentukan tetapi juga semua detik hidup yang diberikan Tuhan kepadanya.

Perjuangan Membangun Gambar Diri


Mengapa dikalangan orang Kristen terdapat pemahaman bahwa yang penting adalah akhir
perjalanan. Harus diakui ada suatu pengertian yang salah mengenai keselamatan yang ada dalam
pikiran banyak orang Kristen. Keselamatan dianggap begitu murahan dan gampangan (Luk 13:22-
29). Inilah yang menyebabkan banyak orang Kristen memiliki hidup kerohanian yang tidak
bermutu. Dari pernyataan-pernyataan Tuhan di perikop ini jelaslah dapat disimpulkan bahwa
“keselamatan bukan sesuatu yang gampangan dan murahan.” Perhatikan ucapan Tuhan Yesus:
Berjuanglah. Kata ini dalam teks aslinya adalah “agonizeste” artinya struggle atau strive (berjuang
atau berusaha dengan keras). Pengertiannya yang lain adalah labor fervently (bekerja dengan
bersemangat atau bernyala-nyala). Pemahaman keselamatan yang salah disebabkan pula
intepretasi yang salah terhadap fragmen di kayu salib, yaitu keselamatan yang diterima oleh salah
satu penjahat disamping Tuhan Yesus (Luk 23:39-43). Hanya mengucapkan: “Ingatlah aku kalau
47

Kebaikan secara umum adalah kebaikan yang telah dimiliki orang kaya yang mengingini hidup
kekal dalam Matius 19:16-26. Ia seorang yang telah melakukan hukum Taurat. Orang seperti ini
hidupnya berkualitas secara umum, tetapi masih kurang satu lagi untuk memiliki hidup yang kekal
atau hidup yang berkualitas menurut Tuhan. Satu lagi itu adalah mengikuti perkataan Tuhan Yesus
(Mar 10:21). Tuhan menghendaki kita bukan saja menjadi baik tetapi sempurna. Inilah manusia
unggul menurut Tuhan itu (Mat 5:48).
Mengapa harus memiliki kebaikan secara umum terlebih dahulu? Hal ini terjadi sebab manusia
harus menjadi manusia yang cukup memadai, yaitu sehat dalam berbagai aspek hidupnya atau
manusia yang utuh barulah dapat dibangun menjadi manusia yang sempurna. Manusia yang utuh
maksudnya adalah manusia yang pikirannya atau mentalnya sehat, jasmaninya sehat dan
lingkungan juga mendukung. Lingkungan yang mendukung bukan berarti harus keadaan yang
berlimpah materi, tanpa masalah dan menyenangkan. Tetapi kondisi yang kondusif menurut
Tuhan untuk pemulihan gambar diri. Dalam pertimbangan Tuhan ada kondisi-kondisi tertentu
yang efektif mengubah dan membentuk seseorang menjadi pribadi seperti yang dikehendaki-Nya.
Dalam hal ini Tuhan mengajar kita untuk mengucap syukur dalam segala keadaan sebab situasi
yang Tuhan ijinkan terjadi dalam hidup kita mendatangkan kebaikan bagi kita (Rom 8:28).
Pikiran atau mental yang sehat dibangun melalui pendidikan yang baik, baik formal (pendidikan
umum, akademis) maupun informal yaitu lingkungan dan keluarga. Pikiran yang tidak sehat tidak
akan membuat seseorang mampu mengerti pikiran Tuhan atau kebenaran-kebenaran Firman
Tuhan. Tuhan adalah pribadi yang cerdas, hasil karya dan kebesaran-Nya juga lahir dari
kecerdasan-Nya. Oleh sebab itu untuk memahami kecerdasan Tuhan seseorang harus
mengimbangi Tuhan dengan memiliki kecerdasan semaksimal mungkin. Ingat, hanya orang yang
mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi yang dapat mengerti kebenaran-kebenaran-Nya.
Untuk menggali kebenaran Firman Tuhan dibutuhkan perangkat-perangkat antara lain: logika yang
diasah, kemampuan memahami bahasa, terutama bahasa sendiri yang dipakai untuk menulis
Alkitab. Lebih lengkap lagi kalau mampu memahami bahasa asli Alkitab (bahasa Ibrani dan
Yunani). Logika yaitu kemampuan berpikir atau pemahaman tentang penalaran yang berdasarkan
logika deduktif maupun induktif. Lebih lengkap lagi kalau seseorang dilengkapi dengan statistiknya
yaitu sarana berpikir yang membantu seseorang menemukan kesimpulan-kesimpulan dari
kebenaran Alkitab secara induktif dan fakta-fakta empirisnya.
Seseorang yang menggunakan logika dengan baik akan terhindar dari manipulasi-manipulasi
dalam emosinya yang dapat menciptakan pemalsuan-pemalsuan. Kenyataan inilah yang banyak
terdapat dalam kegiatan keagamaan. Kalau di kalangan orang Kristen lebih banyak pada gereja
aliran Pentakosta, kharismatik dan sejenisnya.
Dalam hal ini dibutuhkan pendidikan yang baik yang membiasakan seseorang memiliki nalar yang
baik untuk menganalisa Alkitab. Tentu dalam hal ini nalar bukan segalanya, tetapi suatu bagian
yang sangat penting. Fakta dalam kehidupan ini, negara atau bangsa yang tidak menggunakan
logikanya atau rationya dengan baik, selain miskin karena tidak menjadi negara yang maju tetapi
juga negara yang penuh konflik, kejahatan moral dalam gelanggang politik, diskriminasi, ketidak-
adilan dan kebejatan lainnya. Hal ini sangat diperankan atau dipengaruhi oleh filosofi hidupnya,
48

dan filosofi hidup sangat ditentukan oleh kepercayaan atau agama yang dianutnya. Keadaan suatu
masyarakat dapat menjadi tolak ukur kebenaran kepercayaannya.
Di lapangan, sering kita jumpai orang-orang yang kualitas hidupnya secara umum saja sudah
rendah, tetapi mereka dengan alasan dipimpin Roh Kudus atau menerima karunia Roh Kudus
mengajar dan membimbing orang lain yang kualitas umumnya bisa lebih baik. Disini terjadi proses
pembodohan. Mengapa hal ini terjadi? Sebab banyak orang berpikir bahwa kebaikannya secara
umum yang dimiliki dalam kehidupan ini karena tidak berkaitan dengan kegiatan gereja atau
agama dianggap sebagai tidak bermutu. Padahal kebaikan secara umum juga bagian dari proses
penyempurnaan untuk menjadi manusia unggul menurut Tuhan. Kalau secara umum seseorang
sudah tidak baik atau tidak berkualitas, maka seseorang tidak akan mencapai keunggulan di
hadapan Tuhan.
Kehancuran kehidupan umat Tuhan dewasa ini disebabkan oleh karena umat dimentor oleh
orang-orang yang sebenarnya belum memiliki kebaikan secara umum yang memadai. Mereka
adalah orang-orang gagal dalam “market place”, kemudian melarikan diri dalam pelayanan gereja
untuk memiliki kemudahan-kemudahan hidup. Biasanya orang-orang seperti ini akan menjadi
“dukun-dukun dalam gereja”. Mereka tidak mengajarkan kebenaran kepada umat tetapi “menjual
jasa”. Hal ini mirip dengan praktek perdukunan dalam masyarakat. Banyak orang-orang
berpendidikan tinggi yang memiliki kualitas yang baik datang kepada dukun-dukun yang
pendidikan SMP saja tidak lulus. Kelebihan mereka adalah “sakti” dan memiliki kedekatan dengan
“sumber kuasa” yang dapat memberi solusi bagi masyrakat.
Manusia unggul menurut Tuhan adalah orang-orang yang mengembangkan semua potensi yang
ada padanya. Itulah ibadah yang sejati. Pada umumnya orang masih memisahkan antara ibadah
kepada Tuhan dan kehidupan setiap hari. Mereka beranggapan bahwa ibadah kepada Tuhan
adalah bagian dari hidup ini. Itulah sebabnya mereka membedakan antara kegiatan yang
bersangkut paut dengan Tuhan seperti berdoa, menyanyi lagu rohani, ke gereja dengan kegiatan
yang tidak bersangkut paut dengan Tuhan seperti bekerja di kantor, rekreasi dengan keluarga,
olah raga, makan, minum dlsb. Pemisahan atau pembedaan ini biasa disebut juga antara yang
rohani dan duniawi. Bila kita masih memiliki anggapan atau sikap berpikir seperti ini, berarti kita
belum mengerti kebenaran.
Kita tidak boleh lupa bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Bukan oleh iblis. Dunia ini tidak najis
atau berdosa. Sebab yang berdosa adalah manusia dan yang disebut najis adalah segala perbuatan
dan produknya yang bertentangan dengan prinsip kebenaran Tuhan. Hendaknya kita tidak sesat
seperti aliran agama-agama tertentu yang memandang dunia ini jahat, harus dijauhi. Karenanya
orang yang mau hidup suci menjauhi dunia dengan segala kegiatannya. Termasuk tidak menikah
padahal menikah itu kudus sebab Tuhan yang menciptakan seks. Dalam hal ini berumah tangga
juga panggilan dari Tuhan (mandate prokreasi), karenanya kita harus membangun rumah tangga
sesuai dengan pola Tuhan. Orang yang gagal berumah tangga karena kesalahan atau
kebodohannya sulit untuk menjadi pelayan Tuhan yan baik. Perlu pertobatan dan pemulihan yang
signifikan.
49

Dalam Kejadian 1:28-29, Tuhan berfirman agar kita mengelola dunia ini. Perintah untuk mengelola
dunia ini sebagai penyelenggara kehidupan di bumi ini merupakan perintah kudus yang rohani
yang tidak boleh kita identifikasi sebagai duniawi. Itulah sebabnya kita tidak boleh membedakan
profesi duniawi dan rohani diukur dari jenis pekerjaan itu semata-mata. Karenanya pula kita tidak
boleh merasa kurang kudus hanya karena kita memiliki profesi bukan pendeta atau tidak memiliki
kegiatan di gereja. Dalam Roma 12:1-2, Paulus menjelaskan arti ibadah yaitu mempersembahkan
tubuh sebagai korban yang hidup, kudus dan yang berkenan. Ini artinya membudidayakan tubuh
untuk kepentingan kehidupan sesuai dengan maksud Tuhan dan tidak menggunakan tubuh dalam
bentuk perbuatan yang melanggar Firman Tuhan. Untuk ini merupakan kewajiban agar anak-anak
Tuhan meningkatkan kualitas kemampuan kerja dalam membudidayakan semua potensi yang ada
di dalam dirinya dan belajar kebenaran Alkitab untuk mengerti bagaimana menggunakan tubuh
sesuai dengan Firman Tuhan.
Seorang aktivis gereja jangan merasa lebih kudus hanya karena memiliki tugas dalam gereja
sebagai penerima tamu, mengedarkan kantong persembahan, sebagai majelis dll. Hidup
seseorang rohani atau tidak, bukan ditentukan oleh aktivitasnya didalam gereja. Tetapi motivasi
kehidupan orang itu. Yang penting disini adalah bahwa seseorang harus mengerti kebenaran
Firman Tuhan sehingga sampai kepada motivasi hidup yang benar yaitu hidup bagi Tuhan (Fil
1:21). Orang tidak akan memiliki motivasi hidup bagi Tuhan, kalau ia tidak bertumbuh dalam
pengenalan akan Tuhan dari kebenaran Firman-Nya yang ditulis dalam Alkitab. Sekalipun ia
seorang pejabat gereja kalau tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan ia belum mampu
hidup bagi Tuhan. Oleh sebab itu kita harus bertumbuh sehingga kita hidup hanya bagi Tuhan saja
(Fil 1:21).
38

ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 10)


Pemulihan Gambar Diri (Bagian 2)

Mampu Merubah Diri dan Lingkungannya.


Hanya mahkluk manusia yang memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri dan
kemampuan menentukan keadaannya. Mahkluk lain tidak memiliki kemampuan ini. Belajar
mengenal diri dan memahami bagaimana seharusnya menjadi manusia yang sesuai rancangan
Penciptanya, sebenarnya sama dengan usaha untuk memanusiakan manusia, sebab kejatuhan
manusia ke dalam dosa membuat manusia telah tidak menjadi manusia seperti yang dikehendaki
Penciptanya. Manusia yang dikehendaki Allah adalah manusia yang memiliki gambar diri seperti
yang Tuhan kehendaki. Jadi, kalau manusia belum menjadi manusia seperti yang dikehendaki
Tuhan berarti ia belum menjadi manusia yang ideal menurut Tuhan. Sebelum Tuhan menciptakan
manusia, Tuhan telah membuat rancangan mengenai “model” manusia yang diinginkan-Nya. Tidak
mungkin Tuhan menciptakan tanpa rancangan. Seperti yang diinformasikan Alkitab bahwa dalam
penciptaan manusia, Tuhan menciptakan dengan musyawarah (Kej 1:26).
Selain mengenal dirinya sendiri, manusia juga mampu merubah diri dan mengubah keadaan
sekelilingnya. Itulah sebabnya kalau kita belajar mengenai gambar diri, hal ini dimaksudkan agar
kita bukan saja mampu mengenal diri kita sendiri tetapi juga mengusahakan diri agar menjadi
manusia seperti yang dikehendaki oleh Tuhan Sang Pencipta sehingga mampu mengubah
keadaan. Keadaan diri kita dan keadaan lingkungan kita, baik manusia maupun alamnya. Dalam
hal ini yang dibutuhkan adalah mengenal diri dengan jujur, memahami bagaimana manusia yang
dikehendaki Tuhan.Seorang yang belajar mengenal siapa dirinya (siapa manusia), berarti ia
bersedia menerima panggilan untuk bertobat dan diperbaharui agar menjadi manusia sesuai
dengan rancangan-Nya. Semua orang pasti memiliki konsep gambar diri di dalam hidupnya dan
harapan atau cita-cita bakal menjadi apa dirinya nanti.
Dari seluruh sikap hidup seseorang, apa yang menjadi hasrat dan cita-citanya nampak konsep
gambar dirinya. Sulitlah seseorang menyembunyikan konsep gambar dirinya di mata manusia lain.
Disini sebenarnya gambar diri seseorang akan sangat mudah terbaca oleh sesamanya. Berkenaan
dengan hal ini, Tuhan Yesus berkata bahwa dari buahnya kita mengenal seseorang (Mat 7:16). Dari
seluruh tindakan hidup seseorang nampak peta kehidupan seseorang. Gambar diri seseorang juga
tidak bisa dipisahkan dari pemahamannya mengenai kehidupan. Justru konsepnya mengenai
kehidupan ini sangat mempengaruhi dan menentukan gambar dirinya. Ide-ide yang diserap
seseorang akan menjadi pemikiran, pemikiran akan menjadi konsep. Konsep yang dimiliki
merupakan substansi dari jiwa yang membangun gambar diri. Misalnya, kalau seseorang
menganggap bahwa nilai tertinggi kehidupan adalah harta, maka ketika memiliki banyak harta
maka ia merasa dirinya sukses atau terhormat. Kalau ia miskin, maka ia merasa diri gagal, tidak
berarti dan menjadi rendah diri.
Selanjutnya ia akan memburu kekayaan agar ia menjadi “sosok orang kaya”, sebab baginya
menjadi orang kaya adalah bentuk keberhasilan kehidupan. Jadi, ketika Tuhan Yesus mengajarkan
kebenaran, maka kebenaran itu akan membangun konsep gambar diri yang benar menurut Tuhan
51

penganut teori dikhotomi cukup dibagi 2 saja, yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah. Dalam
teori dikhotomi roh dan jiwa disatukan.
Bila kita mengamati Alkitab manusia yang diciptakan segambar dengan Allah, keberadaan yang
lahiriah (daging, tubuh jasmaniah) bukanlah satu-satunya yang membuat manusia dapat
dinyatakan sebagai mahkluk manusia. Manusia juga memiliki roh dan jiwa. Oleh karena manusia
harus mengelola bumi ini sebagai “manager” maka manusia diberi baju atau kemah (2Kor 5:1-2),
dengan demikian manusia dapat bersentuhan dengan “alam lahiriah” ini dan mengelolanya.
Tubuh yang diciptakan oleh Allah dari debu dengan 5 indera merupakan bagian hidup manusia
yang memampukan manusia berhubungan dengan dunia materi (world conciousness).
Persenyawaan antara tubuh dan roh inilah ada jiwa. Jiwa inilah unsur batiniah manusia dimana
pikiran, tubuh dan roh beraksi. Jadi Allah menjadikan manusia sebagai mahkluk hidup (living soul)
dari kesatuan tubuh dan nafas hidup. Jiwa inilah tempat perasaan, kehendak dan pikiran atau akal
budi. Disini manusia mampu memiliki kesadaran diri (self consciousness). Didalam kesadaran diri
inilah perasaan “berdetak” atau bereaksi dan beraksi. Jiwa manusia bertumbuh seiring dengan
perkembangan fisik manusia. Dalam jiwa inilah ada kesadaran. Ketika manusia lahir ia sudah
memiliki jiwa, tetapi jiwanya belum “sadar”, si “aku” nya belum sadar. Seiring dengan waktu maka
kesadaran jiwa atau si “aku” bertumbuh, didalamnya termasuk kesadaran tentang diri sehingga
seseorang memiliki “harga diri”.
Kualitas Perasaan Manusia.
Warna jiwa seseorang menentukan kualitas “perasaan” seseorang. Masalahnya sekarang adalah
banyak jiwa yang sakit, itulah yang disebut tidak berkualitas. Bila jiwa sakit maka perasaannya juga
sakit, cacat, luka atau tidak dewasa. Akar dari kerusakan hidup manusia adalah karena dosa (Rom
3:23).

Adapun yang mempengaruhi kualitas atau warna perasaan seseorang dapat dijelaskan sebagai
berikut:
 Faktor keturunan. Bagaimanapun karakter orang tua terwariskan kepada anak. Anak-anak
“merekam” karakter orang tua didalam dirinya.
 Lingkungan. Antara lain pendidikan, keluarga, pergaulan dan lainnya.
 Pengalaman masa lalu. Pengalaman ini sangat memberi pengaruh terhadap pembentukan jiwa
didalamnya termasuk perasaan.
Dalam hal ini ilmu jiwa juga mengakui, bahwa pengalaman masa lalu seseorang membentuk
kepribadian seseorang termasuk perasaannya. Karena faktor-faktor diatas ini perasaan seseorang
terbentuk. Ada orang yang gampang tersinggung, gila hormat, rendah diri, merasa tertolak,
gampang marah dan lainnya. Bila perasaan yang sakit ini belum disembuhkan maka kehadiran
orang tersebut akan melukai orang lain pula. Dalam gereja mereka menjadi sumber persoalan
atau sumber kesulitan banyak orang dalam pelayanan.
Sebagaimana tubuh dan roh dapat sakit, jiwa juga dapat sakit. Sakitnya tubuh karena virus dan
bakteri. Roh sakit atau mati karena dosa (Ef 2:1). Jiwa sakit dapat dikarenakan oleh peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang. Pengalaman-pengalaman masa lalu tersebut adalah
pengalaman-pengalaman yang menyakitkan dan seseorang tidak mampu mengantisipasinya,
52

misalnya: penolakkan dari orang tua dan lingkungan, kekecewaan akibat penghianatan, melihat
kejadian-kejadian yang menakutkan, pelecehan seksual, kemiskinan, penderitaan yang
berkepanjangan dan lain sebagainya.
Inilah yang dimaksud dengan luka batin (Yes 61:1,3 kata remuk disini adalah “bruises”, sama
dengan pengertiannya dengan luka. Sejajar dengan Mazmur 147:3). Pengalaman-pengalaman
tersebut dapat membentuk kepribadian seseorang, termasuk mempengaruhi perasaannya. Selain
beberapa faktor yang membentuk perasaan maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi
perasaan seseorang antara lain: fisik dan suasana jiwa pada waktu tertentu. Oleh sebab itu pada
waktu fisik terganggu dan suasana jiwa tidak baik hendaknya kita tidak mengambil keputusan.
Pemulihan Jiwa.
Berbicara mengenai keselamatan jiwa, maka kita tidak bisa memisahkan dengan pemulihan jiwa
itu sendiri. Ini juga disebut sebagai pemulihan gambar diri. Pemulihan jiwa berorientasi mengenai
pemulihan atau perbaikan karakter, kepribadian maupun moral seseorang. Dalam pemulihan jiwa
juga ada perbaikan karakter (feeling atau sense).
Pemulihan ini bisa terjadi melalui pertobatan yang sungguh-sungguh dengan menerima Tuhan
Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Selanjutnya Firman Tuhan dan pelayanan pembinaan
pribadi intensif dan terpadu mendewasakan perasaan seseorang. Seseorang dapat dikatakan
rohani bila perasaannya matang dan dewasa. Supaya rumah tangga utuh, pelayanan maju,
hubungan dengan sesama harmonis. Oleh sebab itu gereja harus membina jemaat melalui
pemberitaan Firman Tuhan dan berbagai saluran untuk mendewasakan perasaan.
Allah sangat memperhatikan luka jiwa seseorang. Tuhan hendak tampil sebagai penyembuh (Yer
30:17; Maz 147:3), sebab menjadi kehendak Allah agar kita hidup tidak bercacat, termasuk juga
jiwa kita (1 Tes 5:23-24; Yak 1:4). Kita berharga dimata Tuhan (Yes 43:1-4a). Allah akan
menyediakan fasilitas kesembuhannya, tetapi dari pihak kita Allah menuntut langkah-langkah
guna menyambut kesembuhan tersebut.
 Menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi. Dalam hal ini roh manusia dihidupkan
dahulu melalui kelahiran baru. Kelahiran baru inilah potensi seseorang beroleh kemungkinan
untuk memperoleh pemulihan jiwa dan rohnya (Yoh 1:12; Ef 1:13; 2Pet 1:3-4).
 Firman Tuhan mampu menghapus masa lalu kita dengan segala akibatnya terhadap jiwa kita (Mat
4:3,4; Rom 12:1-2; Yak 1:21). Firman berkuasa menyucikan kita dari segala sampah akibat masa
lalu dalam jiwa.
 Doa, Pujian dan Penyembahan Persekutuan dengan Allah dalam doa, pujian dan penyembahan
memberikan sukacita ilahi. Kegembiraan inilah merupakan kebutuhan utama setiap jiwa kita.
Inilah damai sejahtera yang dijanjikan oleh Yesus (Yoh 14:27). Damai sejahtera Allah yang
melampaui segala akal (Fil 4:7). Dalam doa, pujian dan penyembahan inilah seseorang dapat
bertemu dengan Tuhan dan menerima lawatan-Nya (Yoh 21:15-19).
 Dipenuhi Roh Kudus. Dalam pengalaman rasul Petrus kita menemukan bahwa setelah ia dipenuhi
Roh Kudus, ia menjadi kuat (Kis 12:7). Ia tidak menjadi trauma dengan apa yang sudah terjadi.
Jiwanya begitu teduh, bahkan diujung ancaman hukuman mati.
 Persekutuan dengan orang percaya (Ibr 10:25). Persekutuan dengan orang percaya merupakan
obat mujarab memulihkan hati yang luka, sebab dalam persekutuan tersebut terjalin hubungan
kasih (Yoh 13:34,35; 15:11,12; Fil 2:1-5). Dalam hal ini gereja, keluarga dan persekutuan kita
antara satu dengan yang lain haruslah merupakan persekutuan dimana setiap anggotanya
53

menikmati belai kasih Kristus. Ini merupakan kebutuhan jiwa manusia. Oleh sebab itu setiap kita
harus menyadari bahwa semua kita berharga dimata Allah.
Harga Sebuah Perasaan.
Kita harus sadar bahwa tatkala kita bertobat maka Tuhan telah menebus kita sepenuhnya
termasuk perasaan kita. Oleh sebab itu kita tidak boleh menghargai diri kita secara berlebihan
sehingga kita lupa bahwa kita bukan milik kita sendiri. Dalam keluarga, pergaulan dan pelayanan
harga sebuah perasaan pada prinsipnya adalah “kesombongan”. Oleh sebab kita tidak mau
dianggap rendah, miskin, bodoh maka kita bersikap menolak atau menentang secara “frontal”.
Dalam kehidupan sering hal ini menjadi awal sebuah bencana.
Banyak orang yang memanjakan perasaannya sehingga ia mengorbankan kepentingan yang besar.
Hal ini terjadi sebab pribadi orang tersebut tidak matang, perasaannya masih sakit belum sehat.
Dalam hal ini kita harus mengerti bahwa penyaliban diri, bukan hanya menyangkut keinginan-
keinginan yang bertentangan dengan Firman Tuhan, tetapi juga perasaan-perasaan negatif. Kita
tidak boleh memanjakan perasaan demi kepuasan diri. Perasaan tidak boleh dihargai demi
kepuasan diri. Bila Tuhan Yesus menjadi Tuhan, maka Ia juga majikan atau penguasa atas perasaan
kita maka demi kepentingan Tuhan kita rela berbuat apa saja.
Berapakah harga perasaan kita sebenarnya? Seharga salib Tuhan Yesus, sebab kita telah disalibkan
bersama Kristus. Kita telah dikuburkan bersama dengan Dia dan dibangkitkan dalam hidup yang
baru (Rom 6:4). Bila kita menyadari hal ini maka kita tidak akan memanjakan perasaan dan
memberi harga mahal yang akhirnya menyebabkan kita gagal menjadi berkat bagi orang lain.
Proses Pendewasaan Perasaan.
Untuk mendewasakan perasaan kita, Tuhan menggunakan pengalaman-pengalaman hidup kita.
Dalam hal ini berlaku Firman Tuhan besi menajamkan besi. Dalam Amsal 27:17 terdapat kalimat
“besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya. (Niv. As iron sharpens iron so one man
sharpens another). Apa artinya ini. Harus dimengerti dan diterima kebenaran ini: bahwa dalam
pembentukan kita menuju kesempurnaan yang dikerjakan Tuhan melalui Roh-Nya, Allah
menggunakan manusia disekitar kita untuk proses tersebut. Besi menajamkan besi, manusia
ditajamkan oleh sesamanya. Ditajamkan disini maksudnya adalah dibuat makin dewasa,
sempurna, matang dan berkenan kepada Allah. Allah memakai manusia lain untuk itu. Allah tidak
memakai monyet atau hewan lain.
Anggapan yang keliru bahwa cukup melalui nasihat pembacaan Alkitab, buku-buku rohani, kotbah
pendeta kita secara otomatis menjadi sempurna. Ini baru sebagian. Kebenaran Firman yang kita
dengar dan pelajari harus dimatangkan dan dikenakan dalam kehidupan melalui berbagai
benturan yang terjadi dalam hidup ini. Perhatikan bagaimana tokoh-tokoh iman dalam Perjanjian
Lama disempurnakan Tuhan.
Yusuf harus ditajamkan oleh saudara-saudaranya. Kalau ia hanya tinggal dirumah Yakub ayahnya,
mimpi yang ia terima yang merupakan janji besar dari Tuhan tidak akan terealisir. Ia ditajamkan
oleh Ruben dan abang-abangnya yang lain. Ia ditajamkan oleh Nyonya Potifar. Ia ditajamkan oleh
pejabat minuman raja yang melupakan budi baiknya.
41

diri yang sempurna, padahal dari fakta sejarah sebelum Anak Allah datang, manusia belum sempat
sampai kepada tingkat mengungguli iblis. Kalaupun harus digunakan kata “krisis”, ini harus dalam
pengertian bahwa manusia memang belum mencapai gambar diri yang dikehendaki oleh Allah,
sementara waktu atau kesempatan untuk menerima restorasi atau pemulihan gambar diri
(deadline) semakin dekat.
Jadi pengertian yang benar mengenai kata krisis gambar diri bukan mengembalikan gambar diri
yang rusak, seolah-olah manusia pernah mencapai gambar diri yang ideal atau sempurna dan
telah menetap permanen dalam dirinya, tetapi mengembalikan proses penyempurnaan untuk
menemukan gambar diri yang telah gagal oleh manusia pertama. Adam pertama gagal, Adam
terakhir yaitu Tuhan Yesus Kristus berhasil (Luk 2:52). Dengan keberhasilan Adam terakhir
menemukan gambar diri seperti yang Bapa kehendaki (Mat 3:17), maka orang percaya dan
mengikut Dia diberi kemungkinan untuk berhasil juga, sama seperti Dia (Rom 8:29). Dengan
demikian panggilan untuk sempurna seperti Bapa adalah meneruskan proses penyempurnaan
manusia yang tertunda oleh Adam. Kedatangan Tuhan Yesus sebagai Adam terakhir dari
dimulainya kembali proses pencarian gambar diri oleh manusia yang diciptakan segambar dengan
Allah agar sempurna seperti Bapa di Sorga. Melalui dan di dalam Dia, Bapa menciptakan manusia-
manusia baru yang akan dapat menjadi kesukaan Bapa. Dengan demikian bukan hanya kepada
Tuhan Yesus. Bapa menyatakan bahwa Bapa berkenan, tetapi juga kepada orang percaya yang
menemukan gambar dirinya seperti Yesus.
55

ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 14)


Pemulihan Gambar Diri. (Bagian 6)

Harga Diri dan Kerendahan Hati.


Harga diri artinya kesadaran akan berapa nilai atau penghargaan yang diberikan kepada diri
sendiri. Nilai harga diri seseorang bisa ditentukan oleh bermacam-macam ukuran sesuai dengan
filosofi hidup seseorang. Ada yang menilai diri dengan materi atau kekayaan. Ada yang menilai diri
dengan pendidikan. Ada yang menilai diri dengan pangkat. Ada yang menilai diri dengan
“keakuan” (aku adalah aku. Aku terhormat, aku harus dihargai). Orang-orang seperti ini akan
mudah terluka kalau direndahkan oleh siapapun. Mereka biasanya menuntut untuk dihargai orang
lain.
Harga diri bertalian dengan perasaan, sebab ketika nilai yang diberikan orang kepada dirinya tidak
seperti yang diharapkan maka ia tersinggung atau terluka karena merasa direndahkan. Harga diri
inilah yang membuat seseorang menuntut orang memperlakukan dirinya sedemikian rupa sesuai
dengan keinginannya. Kita harus sadar bahwa tatkala kita bertobat maka Tuhan telah menebus
kita semuanya. Oleh sebab itu kita tidak boleh menghargai diri kita secara berlebihan sehingga kita
lupa bahwa kita bukan milik kita sendiri.
Dalam keluarga, pergaulan dan pelayanan memasang tarif harga diri pada prinsipnya adalah
“kesombongan”. Oleh sebab tidak mau dianggap rendah, miskin, bodoh maka bersikap menolak
atau menentang secara “frontal” bila diperlakukan seperti itu. Dalam kehidupan sering hal ini
menjadi awal sebuah bencana. Banyak orang yang memanjakan perasaannya sehingga ia
mengorbankan kepentingan yang besar. Hal ini terjadi sebab pribadi orang tersebut tidak matang,
perasaannya masih sakit, belum sehat. Dalam hal ini kita harus mengerti bahwa penyaliban diri,
bukan hanya menyangkut keinginan-keinginan yang bertentangan dengan Firman Tuhan, tetapi
juga perasaan dalam menilai diri. Kita tidak boleh memanjakan perasaan demi kepuasan diri. Bila
Tuhan Yesus menjadi Tuhan juga atas kita maka demi kepentingan Tuhan kita rela tidak memiliki
harga diri.
Dalam Filipi 2:5 tertulis. Dalam teks bahasa Indonesia diterjemahkan Hendaklah kamu dalam
hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus. Kata
touto (tauto) dapat diterjemahkan this (ini). Kata touto (tauto) memiliki kasus atau keterangan
“demonstrative accusative neuter singular”, kata yang memberi impresi tekanan pada kalimat
yang mengikutinya. Ternyata kalimat yang mendahului kata touto (tauto) adalah nasihat Paulus
kepada jemaat Filipi bertalian dengan hidup bersama dalam jemaat Tuhan. Nasihat tersebut
tertulis: Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada
kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah
kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan
sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang
menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya
memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga (Fil 2:1-4).
56

Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa panggilan untuk meneladani Kristus bertalian dengan
hidup bersama-sama dengan orang lain. Hal ini dimaksudkan bahwa meneladani gaya hidup
Kristus bertujuan agar seseorang menjadi berkat bagi orang lain, dimanapun berada
mendatangkan keuntungan bagi orang lain dalam bingkai pelayanan pekerjaan Tuhan.
Serupa Dengan Dia Dalam Kematian-Nya (Fil 3:10)
Dalam suratnya Paulus menulis: Persekutuan dalam penderitaan-Nya supaya aku menjadi serupa
dengan Dia dalam kematian-Nya. Serupa dengan Dia dalam kematian-Nya pada dasarnya adalah
kehidupan yang ditujukan untuk kepentingan kerajaan Allah sepenuhnya. Kata mati dalam teks
aslinya disini adalah thanaton kata yang sama digunakan dalam Kolose 3:3; kamu telah mati.
Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang dapat diterjemahkan mati; thanatos, anairsis dan
teleute. Dalam Kolose 3:3, Alkitab berkata: “Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi
bersama dengan Kristus di dalam Allah”. Kata thanatos hendak menunjukkan bahwa kehidupan
yang lama telah digantikan sama sekali, fokus hidup harus berubah sama sekali.
Berapakah harga perasaan kita sebenarnya? Seharga salib Tuhan Yesus, sebab kita telah disalibkan
bersama Kristus. Kita telah dikuburkan bersama dengan Dia dan dibangkitkan dalam hidup yang
baru (Roma 6:4). Bila kita menyadari hal ini maka kita tidak akan memanjakan perasaan dan
memberi harga mahal yang akhirnya menyebabkan kita gagal menjadi berkat bagi orang lain.
Salah satu kebutuhan jiwa manusia selain rasa aman, dikasihi dll, juga rasa dihargai, “berharga”.
Merupakan persoalan kalau seseorang sudah merasa tidak dihargai oleh lingkungannya, maka ia
cenderung berbuat semaunya, sesuka hatinya dan tidak memperdulikan lingkungan. Orang seperti
ini cenderung rusak moralnya. Tetapi jauh lebih berbahaya dan menyedihkan kalau seseorang
merasa tidak berharga di mata Tuhan. Di dalam Mat 10:28-31 kita temukan akibat seseorang yang
merasa tidak berharga di mata Tuhan.
Ada satu keistimewaan yang dimiliki Yesus yang juga menunjukkan kedewasaan dan
kematangannya. Tuhan Yesus juga mengalami proses pertumbuhan yaitu melepaskan hak demi
kepentingan orang lain (Luk 2:52). Ini merupakan salah satu ciri dari kedewasaan seorang anak
Tuhan pula. Sikap seperti ini harus pula kita teladani. Pelepasan hak yang dilakukan Yesus
dijelaskan dalam Filipi 2:5-8. Dalam fragmen kongkrit yang dicatat Alkitab kita menemukan antara
lain: Ia mencuci kaki murid-murid (Yoh 13). Ia berkata bahwa Ia datang sebagai pelayan (Mat
20:28; Luk 22:27).
Memperhatikan kebenaran ini, bagaimanakah kita mengenakannya secara kongkrit dalam hidup
kita. Orang percaya yang dewasa adalah orang percaya yang juga rela melepaskan hak-haknya dan
memberi pengabdiannya bagi Tuhan dan sesama. Kita harus rela memberi tanpa menerima
bahkan rela memberi lebih dari apa yang dikehendaki orang lain. Bukankah Tuhan juga memberi
lebih dari apa yang kita doakan (Mat 5:40-42). Kita rela menghargai tetapi tidak dihargai.
Kerendahan hati berpangkal pada kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang baik dari dalam hidup
kita. Mengakui diri sebagai manusia berdosa. Inilah jalan kepada pertobatan yang benar (Luk 18:9-
14), Mat 5:3). Dalam hal ini agama sebuah bentuk kesombongan yang membawa manusia justru
menyalibkan Kristus. Kita diselamatkan bukan karena perbuatan baik (Ef 2:8-9; Fil 3:8-9).
57

Kerendahan hati berpangkal pada pengakuan bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Allah
(Mat 23:8-12). Dalam persekutuan umat Perjanjian Baru, harus terjalin suatu ikatan persaudaraan
dimana Kristus ditinggikan. Panggilan guru, pemimpin, penyelamat haruslah huruf kecil. Kita
semua hanya alat. Sesungguhnya Allah yang mengerjakan.
Kerendahan hati berpangkal pada sikap tidak meninggikan diri sendiri (Luk 14:7-11). Menjadi
kebiasaan manusia pada umumnya mencari hormat bagi dirinya sendiri dengan segala rekayasa
yang dibuatnya. Yesus adalah Allah sendiri yang tentu saja memiliki segala kemuliaan, kekuasaan
dan kehormatan sebagai Allah Yang Maha Tinggi. Kesediaan meninggalkan tahta kemuliaan-Nya
adalah kerelaan kehilangan hak-hak-Nya. Dalam sejarah kehidupan Tuhan Yesus selama dalam
dunia ini dengan memakai tubuh daging (sarkos), menampilkan kehidupan yang diwarnai dengan
penderitaan baik secara fisik maupun psikis, yang semua itu merupakan ekspresi dari kerelaan
kehilangan hak-hak-Nya.
Yesus terhina diantara manusia, hal ini menunjukkan kerelaan-Nya kehilangan kehormatan. Ketika
Maria mulai mengandung, Yusuf tunangan Maria sudah berprasangka bahwa kehamilan Maria
adalah aib. Itulah sebabnya Yusuf dengan diam-diam hendak meninggalkan Maria (Mat 1:18-19).
Ini berarti tuduhan yang ditujukan kepada bayi Yesus adalah “anak haram”. Dari hal ini, Anak Allah
yang akan lahir, bagian dari proses inkarnasi-Nya sudah tidak memiliki kehormatan, pada hal Ia
adalah pribadi yang paling terhormat. Tentu proses ini sudah ada dalam pengetahuan Tuhan
sebelum berinkarnasi, tetapi Ia bersedia.
Dalam perjalanan hidup-Nya selama 3,5 tahun, Ia juga telah kehilangan kehormatan-Nya dimata
sebagian besar orang-orang Yahudi. Dalam suatu kesempatan Ia dituduh sebagai orang gila (Mar
3:21), juga dituduh menggunakan kuasa Beelzebul dalam mengusir setan (Luk 11:15). Dengan
tuduhan tersebut, maka Yesus telah didakwa sebagai kerasukan setan. Kehormatan-Nya dimata
manusia menjadi hancur sama sekali ketika Ia harus menghadapi panggilan Pilatus, imam besar
dan Herodes (Mat 26:48-75). Penduduk Yerusalem meneriakkan seruan yang sangat menyakitkan,
agar Yesus disalibkan. Akhirnya Ia disalib dengan tuduhan sebagai penghujat Allah dan penyesat
rakyat agar melawan Kaisar. Ia disalib dengan penilaian publik sebagai penjahat besar dan
dipandang sebagai terkutuk (Gal 3:13). Dalam hal ini jelas bahwa Ia merelakan kemuliaan hilang
untuk sementara waktu. Yesus benar-benar rela kehilangan reputasi, harga diri dan prestise.
Dalam suatu percakapan Yesus berkata: “Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan,
atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu
sebagai pelayan. Dari pernyataan Yesus ini jelas sekali menunjukkan bahwa Ia rela kehilangan hak
kehormatan yang dimiliki-Nya sebagai Tuhan yang datang dari tempat Yang Maha Tinggi. Ekspresi
kerelaan kehilangan hak dihormati manusia juga ditunjukkan dengan tindakan-Nya mencuci kaki
murid-murid-Nya dalam suatu perjamuan terakhir sebelum Yesus menghadapi penderitaan,
kematian dan kebangkitan-Nya (Yoh 13). Narasi pembasuhan kaki sungguh mengejutkan. Narasi
ini berlatar belakang pra-paskah. Robert Kysar menyatakan bahwa peristiwa pembebasan yang
Allah kerjakan bagi umat-Nya dalam beberapa hal merupakan sebuah pra-tanda bagi makna
tindakan Allah dalam Kristus. Sikap Tuhan Yesus yang merendahkan diri sedemikian rupa itu,
dinyatakan oleh Donald S. Whitney sebagai Hamba yang sempurna.
44

untuk mencapai tingkat kesucian atau kebenaran yang lebih tinggi disebabkan karena
menganggap hal itu tidak terlalu penting. Bagi mereka segala kesenangan hidup lebih berarti dan
membahagiakan. Tanpa disadari, mereka merendahkan nilai-nilai kesucian dan kebenaran Tuhan
serta mencampakkannya seperti sampah. Pada dasarnya mereka menghina Tuhan. Tetapi mereka
tidak merasa demikian, sebab mereka masih melakukan kegiatan gereja dan dihargai oleh
sesamanya sebagai orang baik. Inilah orang-orang yang tidak mendahulukan Kerajaan Sorga,
walaupun kadang-kadang mereka mendahulukan gereja. Kerinduan untuk mencapai tingkat yang
lebih tinggi harus berangkat dari diri sendiri. Hal ini tidak bisa dipaksakan. Ini adalah pilihan. Bila
seseorang menunda memilih hari ini, maka ia tidak akan memiliki kerinduan tersebut untuk
selamanya. Sia-sia hidup ini.
Semakin menjadi pribadi yang dikehendaki oleh Tuhan atau menemukan gambar diri yang benar
sama artinya dengan semakin meningkatnya kesucian dan kebenaran Tuhan dalam hidup
seseorang. Hal ini rentang atau jaraknya bisa tidak terbatas. Seandainya seseorang memiliki waktu
umur hidupnya 1000 tahun, waktu itupun tidak akan cukup untuk menjangkau kesucian dan
kebenaran Tuhan yang tersedia bagi manusia. Sangat mungkin, perkembangan kesucian dan
kebenaran Tuhan dalam hidup seseorang akan berlanjut nanti di langit baru dan bumi yang baru.
Tetapi ini hanya dialami oleh orang-orang yang selama hidup di dunia ini menghargainya.
Menghargai kesucian dan kebenaran Tuhan berarti berusaha untuk melakukan kehendak Tuhan
apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna (Rom 12:2). Orang-orang seperti ini tidak curiga
terhadap Tuhan Yesus dan kehendak-Nya bahwa kita harus sempurna seperti Bapa (Mat 5:48).
Sayang sekali banyak orang mau memiliki rumah, mobil, kehormatan, pangkat dan fasilitas lain
yang serba terbaik, tetapi tidak merindukan kehidupan rohani yang terbaik. Inilah yang Alkitab
katakan sebagai orang-orang bodoh (Luk 12:15-21). Inilah orang-orang yang menukar hak
kesulungannya dengan semangkuk makanan (Ibr 12:16-17). Kebodohan itu barulah disadari ketika
seseorang menutup mata, ternyata ia miskin dalam keabadian. Penyesalan atas hal ini hanya bisa
digambarkan dengan ratap tangis dan kertak gigi. Jadi, kalau Tuhan berfirman: kumpulkan harta di
Sorga, itu dimaksud agar kita membenahi jiwa kita untuk diisi kebenaran Tuhan, menggantikan
segala yang busuk yang ada di dalamnya. Nasihat Tuhan untuk mengumpulkan harta di Sorga
berkenaan dengan kotbah Tuhan Yesus di Bukit (Mat 5-7), yaitu ketika Tuhan meletakan dasar
moral untuk umat Perjanjian Baru. Bila jiwa seseorang diisi kebenaran Tuhan, maka ekspresi dari
jiwa yang bersih tersebut akan pasti dirasakan manusia di sekitarnya.
Kesempatan ini hanya diberikan kepada umat Perjanjian Baru. Umat Perjanjian Lama tidak
memiliki kesempatan ini dan mereka tidak sanggup untuk melakukannya, karena mereka tidak
memiliki kuasa untuk hidup sebagai anak-anak Tuhan (Yoh 1:2-13). Kuasa untuk hidup sebagai
anak-anak Tuhan adalah kemampuan untuk hidup dalam pimpinan roh (Rom 8:14). Dan Tuhan
hanya menyediakan paket ini untuk orang yang percaya. Jadi kalau seseorang mau hidup baik-baik
saja, maka ia tidak perlu menjadi orang Kristen. Orang Kristen adalah manusia yang dipanggil
untuk mencapai standar kesucian dan kebenaran Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan menghendaki kita
mempersoalkan hal ini lebih dari mempersoalkan hal lain. Mengutamakan Kerajaan Sorga tidak
akan mengganggu kegiatan hidup kita setiap hari, bahkan sebaliknya Tuhan akan membuat
59

jawaban dari segala kebutuhan dan pertanyaannya. Untuk hal ini manusia dituntut untuk
tidak menaruh pengharapan dari sumber lain. Menaruh pengharapan pada sumber lain
merupakan bentuk penghianatan yang mendatangkan kutuk. Dari uraian ini dapat dimengerti
mengapa Allah menentang kehendak bangsa Israel yang meminta seorang raja, sebab Allah
merekalah sebenarnya Raja mereka. Pribadi yang menjadi tumpuan semua rakyat Israel.
Pengakuan aku percaya kepada Allah Bapa khalik langit dan bumi harus merupakan
pengakuan hidup setiap hari yang dapat dilihat setiap orang. Demikianlah umat harus hidup
dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat kehidupan.
3. Kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup
yang mengatur kehidupan setiap individu. Bila seseorang sadar akan hal ini maka ia akan
belajar taurat Tuhan, hukum Tuhan untuk tunduk di bawah pengaturannya. Ia sadar bahwa ia
tidak ada di daerah tak bertuan, tetapi ada di daerah yang bertuan kepada Tuhan Yesus
Kristus, Tuhan semesta alam, Allah Israel. Setiap orang percaya harus mengakui bahwa Allah
adalah Tuhan diatas segala Tuhan, Penguasa alam semesta dan tidak ada sesuatu atau
seseorang yang dapat disamakan dengan Dia. Allah harus diakui sebagai Penguasa Satu-
satunya yang harus dipatuhi. Bapa segala roh yang harus ditaati (Ib 12:9). Maksud ketaatan
adalah agar manusia hidup sesuai dengan moral-Nya. Allah adalah Allah yang bermoral dan Ia
menghendaki umat-Nya hidup sesuai dengan moral-Nya (1 Pet 1:13-16). Dalam hal ini harus
disadari, kalau Tuhan memberikan hukum-hukum-Nya bukan semata-mata supaya hati Tuhan
disenangkan dengan hukum-hukum yang dibuat-Nya untuk ditaati manusia. Tetapi landasan
pertama adalah agar manusia hidup dalam moral-Nya, karena manusia tidak akan memiliki
kehidupan yang berkualitas tanpa hidup didalam moral-Nya. Kalau manusia itu mengakui
Allah adalah Penguasanya dan Tuannya yang dijunjung tinggi dengan segala kehormatan,
maka ia dengan rela dan sukacita melakukan segala kehendak-Nya. Menuruti hukum-Nya
dengan setia secara berkesinambungan adalah ibadah yang sejati dan yang dikehendaki Allah
(Ams 5:24; Rom 12:1-2). Ketidaktaatan kepada Tuhanlah yang menyebabkan tercemar dan
kecemaran ini akan memisahkan dirinya dengan Tuhan. Disini hubungan manusia dengan
Tuhan menjadi tidak harmonis (Yes 59:1-3). Oleh sebab itu hal melakukan hukum Tuhan
hendaknya tidak diterima bukan sekedar sebagi kewajiban tetapi sebagai kebutuhan.
4. Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang
hidup menjadi obyek pemujaan dan penyembahan. Untuk dapat memiliki sikap hati yang
benar memuji dan menyembah Tuhan, seseorang harus sadar batas antara Allah dan umat
tidak terhalangi. Dia adalah Allah yang Maha Tinggi dan manusia adalah ciptaan-Nya. Allah di
dalam Alkitab menyatakan dengan tegas bahwa diri-Nyalah yang harus menjadi obyek
penyembahan manusia ciptaan-Nya. Dalam Perjanjian Lama telah nampak embrio jelas bahwa
Tuhan adalah sumber pengharapan yang menjadi pusat pujian, bukan alam, sekalipun bangsa
Israel sangat bergantung pada alam. Hal ini seharusnya menjadi pijakan kuat umat Perjanjian
Baru bersikap terhadap Allah semesta alam. Bila seseorang beranggapan demikian, niscaya
dalam memuji, memuja dan menyembah Allah dilakukannya dengan terpaksa dan tidak ada
sukacita yang sejati. Dengan demikian pujian, pemujaan dan penyembahannya kepada Tuhan
tidak berkenan kepada Tuhan. Pujian dan penyembahan demikian ini terdapat dalam banyak
agama-agama kafir, dimana umat memuji, memuja dan menyembah ilah dengan terpaksa dan
dengan takut-takut terhadap hukuman sang dewa atau allahnya. Kalau seseorang sadar dan
memahami bahwa Allah adalah pribadi yang Maha Mulia maka dalam memuji, memuja dan
menyembah Allah dilakukannya dengan cinta kasih, kerelaan dan sukacita. Untuk dapat
menaikkan pujian dan penyembahan serta sanjungan, seseorang harus memiliki kerendahan
hati yang dalam. Kerendahan hati disini berangkat dari kesadaran bahwa kita adalah “hamba”,
60

dan Dia adalah Tuan diatas segala tuan. Setiap orang percaya harus merendahkan diri
sepenuhnya kepada Tuhan. Ini bukan semata-mata mengenai kesanggupan menyanyikan lagu
rohani, atau mengucapkan kalimat penyembahan yang diberi nada. Kerendahan hati ini
adalah sikap hati, sesuatu yang bersifat batiniah. Bertalian dengan hal ini hambatan atau
halangan seseorang memuji, menyanjung dan menyembah Allah adalah penilaian yang tidak
tepat atas diri, pengagungan diri dan ketidak-sediaan menundukkan diri dihadapan Allah.
Kesadaran ini akan membuat seseorang dengan tegas menolak segala bentuk pengkultusan
atas dirinya. Pengkultusan diri baik secara terang-terangan maupun terselubung adalah sikap
penolakan terhadap Tuhan sebagai satu-satunya yang layak disembah. Keberhasilan, sukses
dan segala prestasi pelayanan hendaknya tidak menjadi alasan untuk meninggikan diri.
61
47

Kebaikan secara umum adalah kebaikan yang telah dimiliki orang kaya yang mengingini hidup
kekal dalam Matius 19:16-26. Ia seorang yang telah melakukan hukum Taurat. Orang seperti ini
hidupnya berkualitas secara umum, tetapi masih kurang satu lagi untuk memiliki hidup yang kekal
atau hidup yang berkualitas menurut Tuhan. Satu lagi itu adalah mengikuti perkataan Tuhan Yesus
(Mar 10:21). Tuhan menghendaki kita bukan saja menjadi baik tetapi sempurna. Inilah manusia
unggul menurut Tuhan itu (Mat 5:48).
Mengapa harus memiliki kebaikan secara umum terlebih dahulu? Hal ini terjadi sebab manusia
harus menjadi manusia yang cukup memadai, yaitu sehat dalam berbagai aspek hidupnya atau
manusia yang utuh barulah dapat dibangun menjadi manusia yang sempurna. Manusia yang utuh
maksudnya adalah manusia yang pikirannya atau mentalnya sehat, jasmaninya sehat dan
lingkungan juga mendukung. Lingkungan yang mendukung bukan berarti harus keadaan yang
berlimpah materi, tanpa masalah dan menyenangkan. Tetapi kondisi yang kondusif menurut
Tuhan untuk pemulihan gambar diri. Dalam pertimbangan Tuhan ada kondisi-kondisi tertentu
yang efektif mengubah dan membentuk seseorang menjadi pribadi seperti yang dikehendaki-Nya.
Dalam hal ini Tuhan mengajar kita untuk mengucap syukur dalam segala keadaan sebab situasi
yang Tuhan ijinkan terjadi dalam hidup kita mendatangkan kebaikan bagi kita (Rom 8:28).
Pikiran atau mental yang sehat dibangun melalui pendidikan yang baik, baik formal (pendidikan
umum, akademis) maupun informal yaitu lingkungan dan keluarga. Pikiran yang tidak sehat tidak
akan membuat seseorang mampu mengerti pikiran Tuhan atau kebenaran-kebenaran Firman
Tuhan. Tuhan adalah pribadi yang cerdas, hasil karya dan kebesaran-Nya juga lahir dari
kecerdasan-Nya. Oleh sebab itu untuk memahami kecerdasan Tuhan seseorang harus
mengimbangi Tuhan dengan memiliki kecerdasan semaksimal mungkin. Ingat, hanya orang yang
mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi yang dapat mengerti kebenaran-kebenaran-Nya.
Untuk menggali kebenaran Firman Tuhan dibutuhkan perangkat-perangkat antara lain: logika yang
diasah, kemampuan memahami bahasa, terutama bahasa sendiri yang dipakai untuk menulis
Alkitab. Lebih lengkap lagi kalau mampu memahami bahasa asli Alkitab (bahasa Ibrani dan
Yunani). Logika yaitu kemampuan berpikir atau pemahaman tentang penalaran yang berdasarkan
logika deduktif maupun induktif. Lebih lengkap lagi kalau seseorang dilengkapi dengan statistiknya
yaitu sarana berpikir yang membantu seseorang menemukan kesimpulan-kesimpulan dari
kebenaran Alkitab secara induktif dan fakta-fakta empirisnya.
Seseorang yang menggunakan logika dengan baik akan terhindar dari manipulasi-manipulasi
dalam emosinya yang dapat menciptakan pemalsuan-pemalsuan. Kenyataan inilah yang banyak
terdapat dalam kegiatan keagamaan. Kalau di kalangan orang Kristen lebih banyak pada gereja
aliran Pentakosta, kharismatik dan sejenisnya.
Dalam hal ini dibutuhkan pendidikan yang baik yang membiasakan seseorang memiliki nalar yang
baik untuk menganalisa Alkitab. Tentu dalam hal ini nalar bukan segalanya, tetapi suatu bagian
yang sangat penting. Fakta dalam kehidupan ini, negara atau bangsa yang tidak menggunakan
logikanya atau rationya dengan baik, selain miskin karena tidak menjadi negara yang maju tetapi
juga negara yang penuh konflik, kejahatan moral dalam gelanggang politik, diskriminasi, ketidak-
adilan dan kebejatan lainnya. Hal ini sangat diperankan atau dipengaruhi oleh filosofi hidupnya,

Anda mungkin juga menyukai