Anda di halaman 1dari 7

Dihadapan penderitaan yang sejak berabad-abad melimpah diatas dunia ini,

ajaran agama Kristiani tentang Allah yang mahakuasa dan maha baik

tidaklah meyakinkan…”[1]

Max Horkheimer

Bentuk ateisme yang paling sering ditemukan dewasa ini adalah penolakan adanya Tuhan berdasarkan
fakta adanya penderitaan yang dialami manusia. Penolakan itu mendasarkan diri pada satu titik, yakni
jika Allah, dengan segala kualitasnya yang serba Maha-, sungguh ada, mengapa ada penderitaan yang
dialami oleh manusia? Penderitaan tersebut bukan hanya dialami oleh manusia karena kesalahan
mereka sendiri, tetapi oleh manusia-manusia yang notabene tidak bersalah, seperti anak-anak kecil, dan
sebagainya. Tulisan ini mau memaknai pemahaman filosofis macam itu dengan pendekatan yang lebih
bersifat eksistensialis. Artinya, eksistensi Tuhan tidak dipahami sebagai sebuah entitas yang ikut campur
secara langsung di dalam pergulatan dunia manusia, melainkan Tuhan sebagai entitas yang membantu
manusia untuk mengintegrasikan penderitaannya ke dalam keseluruhan pengalaman hidupnya sebagai
manusia, sehingga penderitaan tersebut tidak membuat manusia menjadi runtuh, melainkan semakin
matang sebagai manusia yang dewasa. Tesis ini mungkin masih mengundang pertanyaan lebih jauh.
Akan tetapi, tesis ini, pada hemat saya, bisa memberikan kontribusi pada diskursus tentang eksistensi
Tuhan dan penderitaan manusia. Selamat mengikuti.

“…Saya tidak akan berpanjang-panjang, tetapi saya akan berbicara sekeras dan segigih mungkin.
Kejahatan ada. Ini adalah sebuah fakta. Dengan membabi buta ia membabat baik yang tak bersalah
maupun yang bersalah. Ia menimpa anak-anak. Itu saja. Itu cukup. Masalahnya telah beres. Tak ada
apapun atau seorang pun yang akan membebaskan Allah dari derita anak kecil, si buyung yang tidak
bersalah; betul, tidak ada, selain fakta bahwa ia tidak ada…”[2]

Ingatan kita masih segar atas bencana tsunami yang menelan begitu banyak korban, baik itu materi
maupun jiwa, di Aceh Desember 2004 lalu. “…Diantara segala kepiluan, kebalauan, dan kepanikan
melakukan apa saja yang mungkin dalam menghadapi katastrofi dasyat, sebagaimana gempa dan
tsunami di Aceh Desember 2004 lalu, biasanya selalu mendekam pertanyaan besar; apa mau Tuhan
dengan semua ini…” tulis Haidar Bagir dalam salah satu artikel di Kompas.

Jauh sebelum itu, tahun 1940-1945, di Jerman, sekitar 6 juta orang Yahudi tewas di dalam kamar gas atas
perintah Hitler. Begitu banyak tragedi di masa silam, yang terjadi menimpa manusia. Pengalaman-
pengalaman negatif tersebut sungguh membekas dalam benak kolektif kita sebagai manusia.

Menyimak begitu banyak fakta negatif penderitaan dalam hidup manusia, kita mungkin bertanya-tanya,
dimana Tuhan, yang diyakini Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Kasih, ketika penderitaan berdarah tersebut
terjadi? Pertanyaan itulah yang merangsang keheranan saya ketika pertama kali menulis paper ini.
Berbagai argumen dan kontra argumen telah diajukan. Tapi, itu semua tidak dapat memuaskan
keheranan dan rasa ingin tahu yang ada di dalam diri saya. Rasa heran, terkejut, sedih atas nasib manusia
yang serba tidak jelas, atas fakta adanya manusia yang mampu melakukan kejahatan yang begitu besar,
sehingga menciptakan penderitaan yang juga begitu besar bagi manusia lainnya. Keheranan dan
keterkejutan akan melimpahnya kejahatan dan penderitaan yang ada di muka bumi ini mendorong saya
untuk mempertanyakan kemahakuasaan Allah, kemaharahiman Allah. Mungkinkah ada Tuhan yang
membiarkan adanya penderitaan di dunia ini? Jika kita menempatkan seluruh pertanyaan tersebut
dalam konteks filsafat, pertanyaan tersebut menyangkut masalah teodisea, yakni masalah bagaimana
memahami sifat keadilan Allah berhadapan dengan fakta adanya penderitaan.

Di sisi lain, kita dapat saja berpendapat bahwa penderitaan bukanlah sesuatu yang cukup penting untuk
direfleksikan, apalagi kalau dikaitkan dengan pertanyaan tentang Tuhan. Setidaknya begitulah yang
dikatakan oleh Rabbi E. Davidovic ketika ia di Auschwitz diajukan

mengapa. Ia berkata, “…tidak. tidak. Saya sama sekali tidak berpikir tentang apa pun. Disana kami tidak
berfilsafat. Kami hanya berupaya: bagaimana kami masing-masing dapat bertahan dari hari ke hari…”[3]
Bagi dia, satu-satunya reaksi yang dapat dianggap sah ketika manusia berhadapan dengan penderitaan
adalah berjuang memeranginya. Ketika tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, sang penderita haruslah
bertahan dalam solidaritas dengan mereka yang menderita, itu tentunya kalau dia mau bertahan terus
dalam penderitaannya. Walaupun begitu, peran refleksi dalam konteks ini tetaplah penting. Refleksi
filosofis tentang penderitaan sama sekali tidak mau menggantikan peran praksis. Refleksi memiliki
sumbangannya sendiri. Hal itu tentunya juga demi praksis yang lebih manusiawi dan konsisten. Peran
refleksi tidaklah tergantikan, terutama ketika orang berhadapan dengan fakta adanya penderitaan.

Dari sudut teologi, persoalan teodisea sudah dibuka ketika kita membaca penderitaan yang dialami oleh
seorang yang saleh. Orang itu adalah Ayub. Ayub berseru, “…Aku telah bosan hidup,…Aku berseru minta
tolong kepadaMu, tetapi Engkau tidak menjawab; aku berdiri menanti, tetapi Engkau tidak
menghiraukan aku… Anak panah dari Yang Mahakuasa tertancap dalam tubuhku… semuanya itu sama
saja, itulah sebabnya aku berkata: Yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya
dibinasakanNya…”[4]

Epikuros merumuskan problem ini dengan, pada hemat saya, baik sekali. Dia menulis, “…Atau Allah mau
meniadakan kejahatan tetapi Ia tidak dapat, atau Ia dapat tetapi tidak mau, atau IA tidak mau dan tidak
dapat, atau Ia mau dan dapat melakukannya. Jika Ia mau, tetapi tidak melakukannya, berarti Ia lemah,
tetapi itu tidak sesuai dengan hakekat Allah. Jika Ia dapat melakukannya, tetapi tidak mau, berarti Ia
buruk hati; tetapi ini pun tidak sesuai dengan hakekat Allah. Jika Ia tidak mau dan tidak dapat, berarti Ia
sekaligus buruk hati dan lemah; tetapi kalau begitu Ia bukan Allah. Bila ia mau dan dapat – memang
begitulah seharusnya Allah- maka dari manakah asalnya kejahatan, dan mengapa Ia tidak
menghapuskannya?”[5] Dengan ini, fakta bahwa penderitaan merupakan batu sandungan paling berat
bagi mereka yang mau percaya kepada Allah tidak dapat diragukan lagi.

Filsafat sudah sejak lama bergulat dengan masalah ini. Dalam bukunya, Leahy berpendapat bahwa fakta
bahwa dalam dunia ada kejahatan dan penderitaan merupakan sebab utama orang menjadi ragu-ragu
apakah memang ada Allah yang baik, yang menciptakan dan memelihara alam raya dengan manusia
yang ada didalamnya.[6] Seluruh masalah eksistensi Allah dan penderitaan manusia ini dapat dirangkum
dalam satu pertanyaan, apakah sebab yang mendorong Allah untuk membiarkan adanya kejahatan dan
penderitaan merajalela dalam dunia, yang kita percayai diciptakanNya?[7]

Leibniz menyebut masalah ini sebagai masalah teodisea. Kata teodisea ini berasal dari kata theos yang
artinya Allah, dan dike yang artinya keadilan. Secara singkat dapat dirangkum sebagai, masalah
pembenaran keadilan Allah. Mengapa kita mempersoalkan keadilan Allah dihadapan sidang manusia?
Karena Allah dipahami sebagai pencipta alam raya bersama dengan manusia dan seluruh isinya, serta
bertanggung jawab penuh akan dinamika dan keselamatan ciptaanNya. Pemahaman seperti itu tentunya
bertabrakan dengan fakta bahwa ada begitu banyak kejahatan, keburukan, penderitaan yang
berlangsung di dalam alam ciptaanNya itu, terutama yang dialami oleh mereka-mereka yang tak
bersalah. Hal inilah yang sesungguhnya menjadi masalah utama. Apakah fakta seperti itu adil? Apakah
Allah bisa dibilang maha adil jika Ia membiarkan kejadian-kejadian negatif tersebut terjadi?

Inti masalah penderitaan sebenarnya sudah sangat sempurna dirumuskan oleh Epikuros dalam kutipan
diatas. Solusi atas masalah penderitaan juga tidak bisa begitu saja dilemparkan kepada manusia.
Manusia tidak pernah dapat sempurna dalam melakukan suatu tindakan yang positif, selalu ada pamrih,
ada kelemahan, ada kekurangan di berbagai celah. Manusia terbatas dalam kemampuan fisik, dalam
kejernihan berpikir, dalam kedewasaan emosional, dan sebagainya. Oleh karena itu, manusia tidak akan
pernah menjadi sempurna dalam semua tindakan yang dilakukannya. Hal itu tentunya berbeda dengan
hakekat Allah. Allah, kalau dia memang ada, tidak terbatas sedikit pun. Dalam konteks inilah para filsuf,
dalam kesepakatan dengan para teolog agama-agama teistik, sejak semula sudah menyetujui bahwa
Allah itu adalah maha-tahu, maha-kuasa, maha-adil, maha-kasih, dan sebagainya.[8]

Dari titik inilah lahir pertanyaan, mengapa ada penderitaan? Apakah Allah tidak dapat mencipta dan
mengembangkan manusia tanpa menyiksa manusia itu sendiri? Apakah Allah tidak dapat menciptakan
alam semesta tanpa penderitaan? Apakah IA tidak dapat, atau tidak mau? Keduanya tidak dapat
dibenarkan. Jack Miles merumuskan masalahnya begini, adanya penderitaan di dunia ciptaanNya
merupakan masalah Allah yang paling besar.[9]

Persoalan tersebut semakin mendesak dengan nyatanya fakta bahwa begitu melimpahnya penderitaan
yang ada di dalam dunia.[10] Hal itu juga bisa berarti, mengapa ada orang atau kelompok tertentu yang
tertimpa penderitaan tanpa dapat mengalami hal positif sama sekali. Artinya, terlalu banyak penderitaan
yang terjadi pada orang-orang yang tidak bersalah, terlalu banyak darah yang dicurahkan secara sia-sia
oleh penderitaan. Fakta tersebut semakin mempersulit untuk menjelaskan mengapa Allah, yang diyakini
maha-kuasa dan maha-kasih, membiarkan kejahatan dan penderitaan seperti itu berlangsung.

Yang harus diperhatikan adalah, bahwa masalah pembenaran keadilan Allah ini tidaklah muncul di
lingkungan semua agama. Bagi masyarakat yang menganut pandangan dualisme, kita dapat melihat
adanya prinsip baik dan prinsip buruk, sehingga penderitaa memang harus diandaikan ada. Masalah
teodisea hanya muncul jika Allah dipahami sebagai realitas personal-dialogal, dan bila setiap orang
secara personal memiliki nilai pada dirinya sendiri di hadapan Allah maupun manusia lainnya. Eksistensi
penderitaan menjadi masalah ketika Allah dipahami sebagai realitas yang peduli pada manusia, yang
adil, yang berbelas kasih, yang membebaskan, yang suka mengampuni, yang menyembuhkan. Atas dasar
penghayatan Allah sebagai realitas yang menyelamatkan dan menyembuhkan inilah penderitaan atas
manusia-manusia yang tak bersalah semakin tidak dapat dimengerti.

Berbagai Argumentasi yang Menolak Eksistensi Allah

Kalau kita mau menyimpulkan, perjalanan teodisea pada jaman modern akan bermuara pada penolakan
secara radikal eksistensi Allah. Penolakan itu dilakukan lebih atas dasar kepantasan moral dari sudut
pandang manusia. Bertitik tolak dari itu, Emmanuel Levinas mengatakan, “…kelemahan dan
ketidakmahakuasaan Tuhan disini memiliki korban manusia yang sangat banyak. Pantaskan kita
mengatakannya demikian?…Tahukah anda, saya tidak mengerti perihal kemahakuasaan Allah, sekarang
ini, setelah Auschwitz… kataku: harganya terlalu mahal, dan korban itu bukanlah Allah, melainkan
kemanusiaan… kenosis dalam ketidakmahakuasaan ini memakan terlalu banyak korban manusia…”[11]
Argumentasi yang senada, menolak kepantasan moral Allah, juga dapat kita temukan pada tulisan Ernst
Bloch. Bagi Bloch, kisah Ayub dalam kitab suci dapat dimengerti sebagai sebuah pesan bahwa seorang
manusia melampaui Allahnya karena kesadaran moralnya bertahan di hadapan Allah, yang notabene
adalah hakim yang meragukan. “…Dalam kitab Ayub mulailah sebuah pembalikan nilai yang luar biasa…:
seorang manusia dapat lebih baik, dapat berperilaku lebih baik daripada Allahnya… Kesadaran moral
Ayub bertahan dihadapan Yahwe, Hakim yang meragukan…seorang manusia melampaui, ya mengatasi
Allahnya (dari kaca mata moral), itulah logika kitab Ayub…”[12] Bloch ingin menegaskan bahwa setelah
Ayub, setiap bentuk argumentasi pembenaran atas keadilan Allah menjadi meragukan. “…Allah yang
sungguh-sungguh mahakuasa dan mahabaik tidak akan berdiam diri dan nampak lelah dan lemah. Baik
terhadap pendosa, apalagi, sebagaimana ditunjukkan oleh Ayub- terhadap mereka yang benar dan
adil…”[13] Apakah Allah dapat disebut kudus dan suci kalau ia, secara moral, lemah? Dapatkah Allah
yang secara moral lemah dan ragu-ragu, tidak cukup tegas memihak yang lemah dan menderita, menjadi
Allah bagi manusia?

Jawaban atas berbagai argumentasi diatas cukup jelas, bahwa Allah telah kehilangan kepantasannya
untuk dipercaya di mata manusia, karena Ia berdiam diri ketika penderitaan terjadi di depan mataNya.
Hal itu bertentangan dengan hakekatNya yang mahakuasa, Ia ternyata tidak mampu atau tidak mau
mencegah ketidakadilan terhadap mereka-mereka yang tak bersalah, tidak mampu menghapuskan
penderitaan. “…penolakan untuk melakukan intervensi sungguh tidak bermoral. Kendati saya ini mahluk
terbatas, namun saya lebih bermoral daripada Dia, karena saya berontak terhadap situasi semacam itu.
Sama saja kalau dikatakan bahwa IA tidak ada, sebab Allah yang tidak bermoral itu sama dengan
ketiadaan Allah…”[14] Di titik inilah Stendhal merumuskan sebuah diktum termasyur yang konon
membuat Nietzsche iri, “…Satu-satunya alasan untuk memaafkan Allah adalah dengan menegaskan,
bahwa Ia tidak ada…”[15] Odo Marquard juga bependapat searah dengan Stendhal, bahwa demi
kemuliaan Allah, sebaiknya Ia tidak ada saja. Dalam konteks ini sebenarnya mau ditegaskan bahwa yang
menjadi subyek sejarah bukanlah Allah, melainkan manusia. Ini adalah konsekuensi logis dari optimisme
modernitas pencerahan atas konsep emansipasi dan otonomi manusia. Manusia modern dengan
otonomi dan rasionyalah, dan bukan Allah, yang akan membawa sejarah manusia menuju
kesempurnaannya, yakni penghapusan segala bentuk penderitaan. Leahy merangkum gerak teodisea
modern itu dengan baik sekali, “…Rasa berontak terhadap kejahatan telah menyebabkan orang
menyangkal Tuhan, justru karena mereka percaya akan kemutlakkan kebaikan moral itu sendiri…” Leahy
juga menambahkan, “…sedemikian transendenlah nilai moral itu, sampai orang ateis lebih suka
menyangkal Allah daripada menlihat nilai moral berkompromi dengan kejahatan…kewajiban itu
sedemikian kuatnya, sehingga orang merasa perlu menyangkal Allah atas nama kewajiban itu…”, dengan
kata lain, “…seseorang menyangkal Allah untuk tetap setia kepada kemutlakkan nilai moral
tersebut…”[16] Begitulah problem pembenaran keadilan Allah dapat diatasi dengan menghilangkan
salah satu premis dasarnya, yakni eksistensi Allah. Dengan demikian, Allah telah mati.

Pertanyaan menentukan berikutnya adalah, apa yang terjadi setelah Allah mati? Pertanyaan tersebut
semakin mendesak ketika dihadapkan pada fakta bahwa penderitaan ternyata tetap ada, bahkan
penderitaan tersebut tampil dalam bentuk yang baru dan lebih mengerikan? Dengan menyatakan bahwa
Allah telah mati, permasalahan teodisea tidak otomatis terselesaikan, manusia tidak otomatis
terbebaskan. Ketika Allah dinyatakan mati, manusia kehilangan tempat tujuannya untuk berkeluh kesah,
manusia kehilangan tempat untuk mendapatkan penghiburan dalam menghadapi penderitaan yang
terjadi di dalam hidupnya. Siapa kini yang bertanggung jawab, setelah Allah disingkirkan, atas segala
penderitaan yang tetap melimpah dalam sejarah manusia ini? Pencerahan telah membawa manusia
untuk menempati tahta yang dulunya dipegang oleh Allah. Dengan paham emansipasi dan kebebasan,
manusia kini berdiri sebagai subyek dari sejarah, dialah yang bertanggung jawab atas segala penderitaan,
dan juga kemajuan kualitas kehidupan manusia yang terjadi di muka bumi ini. “…dengan demikian
situasinya menjadi cukup pelik, bahkan tidak menentu lagi. Kemutlakan yang ilahi diganti dengan
kemutlakan yang manusiawi, tapi zat mutlak baru ini tidak berdaya berhadapan dengan kejahatan,
karena kejahatan itu sedemikian menggunung sehingga menimbulkan kekagetan dan rasa
berontak…”[17] Manusia, yang kini menduduki tahta Allah itu, ternyata, “…sama sekali tidak memadai
untuk menghadapi masalah kejahatan yang merupakan skandal: sebab manusia sama sekali bukan
korban kejahatan tetapi juga pelaku kejahatan…”[18] Mungkin benar kata Nietzsche, tindakan kita
membunuh Allah adalah tindakan yang terlalu besar bagi kita.

…kemana sekarang dunia ini bergerak? Kemana kita bergerak? …Masih adakah atas dan bawah?
Tidakkah kita menjadi tersesat dalam ketiadaan yang tanpa batas? Tidakkah kita terjerat di dalam ruang
yang kosong? Tidakkah dunia kita menjadi lebih dingin? Tidakkah malam-malam kita menjadi lebih
gelap?…bagaimana kita sang pembunuh Allah menghibur diri kita sendiri? Yang mahasuci dan
mahakuasa yang sampai kini dimiiki dunia, telah berlumuran darah karena pisau kita…tidakkah
perbuatan ini terlalu besar untuk kita? Tidak ada perbuatan yang lebih besar?…” demikian tulis Nietzche.
[19]

Filsuf yang banyak membicarakan tema ini adalah Albert Camus. Bagi dia, hidup di dunia ini sangatlah
terbatas, bahkan bisa dikatakan bahwa hidup ini absurd. Akan tetapi, absurditas hidup itu sama sekali
tidak boleh dihadapi dengan keputusasaan, sebaliknya hidup harus dihadapi dengan sikap heroik. Harus
diakui, kita bisa saja mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah mitos-mitos dimana begitu
banyak kenyataan pahit yang menimbulkan penderitaan disembunyikan. Sejak abad ke-18, hilangnya
mitos-mitos itu telah membawa perubahan besar pada seluruh cara manusia memandang dunianya,
karena kematian kini menjadi tanpa harapan, tanpa makna. Di titik itulah Camus mengajak kita untuk
menerima kematian yang tanpa harapan dan tanpa makna itu dengan lapang dada, menerima
keterbatasan kita tanpa jatuh ke dalam keputusasaan.[20]

Dalam novelnya yang berjudul Sampar, Camus melukiskan salah seorang tokohnya, yakni Dr. Rieux,
sebagai seorang dokter yang terus berjuang sekuat tenaga untuk mengatasi wabah sampar, walaupun
dia tahu bahwa pada akhirnya semua usahanya akan sia-sia juga. Dengan kata lain, walaupun dia tahu
bahwa dia akan kalah, Dr. Rieux tetap saja terus melakukan apapun yang dapat dilakukan untuk
mengatasi wabah sampar tersebut.
Dalam kaca matanya, sampar bukanlah hanya sekedar penyakit, atau wabah. Hidup ini sendiri adalah
sampar! “…satu kegagalan yang terus menerus…”[21] itulah makna sampar bagi Dr. Rieux. Hidup ini
memang absurd, tapi idealisme moral untuk terus berjuang tetaplah harus dipertahankan. Oleh karena
itu, Dr. Rieux tetap bertahan dalam upayanya memerangi sampar, walaupun ditinggalkan oleh teman-
temannya. Ketika salah seorang sahabatnya mengingatkan bahwa perjuangan melawan “…akan selalu
bersifat sementara saja, begitu saja…”[22] Dr. Rieux menyetujuinya sambil menambahkan, “…tetapi itu
bukan alasan untuk menghentikkan perjuangan…”[23] Nilai-nilai moral harus tetap diperjuangkan,
walaupun dunia ini sebagai keseluruhan adalah absurd dan tanpa makna. Inilah inti dari nilai heroik yang
dithawarkan Camus.

Heroisme seperti itu memang sangat mengagumkan. Akan tetapi, dapat dipastikan akan segera muncul
pertanyaan seperti ini di dalam benak kita, berhadapan dengan absuditas hidup manusia, dengan fakta
bahwa satu-satunya yang pasti adalah fakta bahwa kita akan terus gagal, akankah klaim etis dengan
perjuangan nilai-nilai moralnya layak untuk dihayati dan dihidupi? Mampukah kita mempertahankan
solidaritas kita dengan mereka yang menderita, terutama ketika kita mengetahui bahwa solidaritas itu
pun pada akhirnya akan sia-sia saja? Masihkan kita memiliki kekuatan untuk berjuang, ketika absurditas
eksistensi manusia ternyata begitu definitif? Jawaban yang mungkin muncul mungkin adalah tidak,
manusia tidak akan mampu bertahan. Tanpa harapan dan makna akan Allah, yang akan
menyempurnakan segalanya, ia tidak akan mampu bertahan menghadapi begitu melimpahnya
penderitaan. Solidaritas terhadap mereka yang menderita rupanya menuntut suatu harapan dan makna
yang tidak dapat diperolehnya sendiri, melainkan hanya didapatkan dari Allah.

Anda mungkin juga menyukai