Anda di halaman 1dari 3

Anugerah di Tengah Gelap

Pedoman:

Semua yang Allah predestinasikan pada hidup, dan hanya mereka saja, Dia berkenan, pada waktu
yang Dia tetapkan dan setujui, memanggil secara efektif; dengan Firman dan Roh-Nya; keluar dari
keadaan berdosa dan maut yang merupakan keadaan mereka oleh naturnya, kepada anugerah dan
keselamatan oleh Yesus Kristus; mencerahkan pikiran mereka secara rohani dan menyelamatkan
untuk mengerti hal- hal yang dari Allah; menyingkirkan hati bat mereka dan memberikan kepada
mereka hati dari daging; membaharui kehendak mereka, dan, dengan kekuatan-Nya yang
mahakuasa menetapkan pada yang baik; dan secara efektif menarik mereka pada Yesus Kristus;
namun sedemikian rupa sehingga mereka secara bebas, dibuat sukarela oleh anugerah-Nya.

-Pengakuan Iman Westminster, Bab X, Pasal 1

Pembahasan:

Kita dapat mengakui adanya suatu hasrat dalam diri manusia yang mendorong mereka untuk
menginginkan hal ini dan itu. Meskipun hasrat tersebut memiliki intensitas yang berbeda-beda pada
tiap orang, sebagai sebuah agregat, mereka menyatu menjadi suatu daya kuat yang mendorong
manusia untuk bergerak. Sebagian menghasilkan inovasi dan perkembangan, sebagian lainnya
melahirkan kerusakan dan kemunduran.

Suatu kutipan menarik dapat kita temukan dalam novela George Orwell yang berjudul Animal Farm (
1945). Dalam novela tersebut dikisahkan Major, seekor babi tua yang menjadi figur guru dan tetua b
agi para binatang yang hidup di peternakan Manor Farm. Major berkata, “Manusia adalah satu-
satunya makhluk, yang mengonsumsi tanpa memproduksi.” Perkataan tersebut kemudian dilanjutka
n oleh Major dengan penggambaran manusia sebagai tiran kejam dan rakus yang meraup segala ses
uatu demi keuntungan pribadinya.

Nada sinis Major mungkin memberi impresi pesimistis, akan manusia. Bayangkan saja, ada makhluk
yang mengonsumsi, namun tidak memproduksi. Artinya, yang dilakukan hanyalah merampas dan
merampas. Tentu tidak mutlak demikian pada setiap kasus. Tapi mari coba menangkap hal yang
dapat terkomunikasikan oleh perkataan tersebut. Tidakkah hal ini sering kita temukan? Tak perlu
jauh-jauh Ingatkah ketika kita kecil? Ketika kita menghabiskan makanan yang dibawa pulang oleh
Ayah tanpa menyisakan untuk yang lain? Padahal, makanan tersebut ia beli dengan uang yang ia
hasilkan dari pekerjaannya. Secara longgar, hal ini membuktikan kalimat pesimistis Major tadi.
Tendensi mengonsumsi tanpa memproduksi. Hasrat untuk memakan makanan enak ternyata lahir
dari kerakusan.

Tetapi ada ironi yang muncul dalam kelanjutan kisah para binatang di Manor Farm (yang sebetulnya
merupakan alegori komunisme Rusia awal abad ke-20). Seiring berjalannya waktu, para babi yang
mencitrakan diri sebagai rekan baik hati ternyata memperbudak binatang-binatang lain hingga tak
segan membunuh salah satu binatang yang mendedikasikan hidupnya bagi “perjuangan” mereka.
Mari lihat ironi ini sebagai kontradiksi pencitraan diri dengan tindakan aktual.

Kita tidak bisa menyangkal ada kebaikan-kebaikan relatif yang dimiliki manusia, paling tidak pada
level idealisme nya. Sebagai contoh, persoalan inklusivitas. Inklusivitas tentu dapat dipandang
sebagai suatu nilai yang agung. Suatu impian akan adanya keharmonisan dan kesatuan memiliki daya
pikat luar biasa yang dapat membakar api semangat dalam diri banyak orang. Kalimat tadi tidak
dimaksudkan sebagai sesuatu yang sarkastis. Keharmonisan dan kesatuan sungguh adalah suatu hal
yang agung dan layak diperjuangkan. Tetapi kemudian kita menemukan fenomena yang disebut
sebagai cancel culture. Fenomena dimana orang beramai-ramai memberi sanksi sosial terhadap figur
yang pada masa lalunya melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang dinilai salah. Istilah
sanksi sosial pun kadang kurang mengkomunikasikan fenomena tersebut karena yang terjadi
umumnya adalah usaha untuk menghancurkan hidup figur tersebut. Ironisnya adalah, mereka yang
melakukan hal ini melabeli diri sebagai orang-orang inklusif sementara alasannya adalah karena
akibat tindakan atau perkataan sang figur, orang-orang yang “terdampak” (diberi tanda kutip karena
seringkali yang dimaksud adalah ketersinggungan) menjadi terganggu kenyamanan hidupnya.
Pencitraan diri sebagai pejuang idealisme agung pada aktualitasnya ternyata merupakan tindakan
balas dendam “bagi kepentingan kaum yang tertindas”.

Setelah mengamati kedua kasus tadi, pertanyaan yang menjadi relevan adalah: apakah
sesungguhnya manusia memiliki sifat beranugerah yang merupakan bentuk dari kasih? Kesulitan
menjawab pertanyaan tersebut menjadi muncul ketika kita melibatkan setidaknya satu
pertimbangan.

Kristus menyatakan kondisi hati manusia sebagai sumber dari kejahatan-kejahatan (Mrk. 7:21).
Tanpa mengabaikan fakta adanya kebaikan-kebaikan relatif yang dilakukan manusia, pernyataan
“manusia adalah makhluk beranugerah” menjadi sulit dinyatakan dengan kesungguhan yang penuh,
dalam terang pernyataan Kristus tersebut. Ketika hati seseorang, yang menjadi titik sentral dari
kehidupannya, adalah sesuatu yang juga menghasilkan kejahatan (Yer. 17:9, Rm. 1:24), bagaimana
mungkin kita mengharapkan suatu anugerah yang sejati dapat dihasilkan? Kesulitan menjadi
semakin nyata saat dalam keadaan yang berdosa, hati manusia adalah hati yang bodoh dan menjadi
gelap (Rm. 1:21). Berkelit dengan alasan “ketidaksempurnaan” tidak bisa menjadi pembelaan yang
berarti. Dalam kondisi seperti ini, tindakan manusia bukan sekedar memiliki defisiensi atau
"kekurangsempurnaan". Tetapi, lebih lagi, ketercemaran. Artinya, berapa besarpun usaha seseorang
melakukan suatu kebaikan, produknya tetaplah bagai kain kotor (Yes. 64:6). Bayangkan sehelai kain
mahal yang dibuat oleh penenun hebat. Tentu tidak akan ada yang meragukan kualitasnya. Namun
bagaimana apabila kain tersebut kotor? Pokok permasalahannya bukanlah kain tersebut “kurang
kain”. Melainkan, adanya kotoran.

Ketika berhenti di sini, tampak kita seperti berada pada jalan yang buntu. Tetapi demikianlah
kenyataannya. Kita berputar-putar tanpa habis dalam lingkaran kehancuran. Kecuali ada intervensi
dari luar, dari pihak yang tidak memiliki permasalahan serupa, kebuntuan ini tidak dapat dipecahkan.
Intervensi inilah yang secara mati-matian kita butuhkan dan sukacita menjadi respon yang
seharusnya tak terhindarkan jika hal tersebut sungguh terjadi.

Di tengah kegelapan yang amat kelam, intervensi tersebut datang dan dilakukan oleh tak lain, Sang
Khalik langit dan bumi. Karya keselamatan yang dipersiapkan Bapa, digenapkan Anak, dan
diterapkan Roh Kudus adalah solusi bagi kebuntuan tadi. Selain sukacita akan hadirnya solusi,
sukacita menjadi semakin besar karena solusi tersebut adalah solusi yang efektif. Anugerah Allah
yang secara ampuh menarik manusia kepada rencana keselamatan-Nya menjadi pengharapan yang
pasti (Yoh 12:32; Rm. 8:30). Kita telah menyadari bahwa manusia, bila dibiarkan menurut hikmatnya
sendiri, tidak bisa diandalkan (Yoh. 6:44). Kebergantungan pada kehendak yang berasal secara
natural dari manusia pun sebagai akibatnya tidak dapat diandalkan (Rm. 3:11, 8:6; Yoh. 6:44; 1 Kor.
2:14). Tetapi, karena segalanya adalah karya dari Dia (Ef. 2:8-9; 2 Tim. 19), yang segala jalan-Nya adil
(Mzm. 145:17), yang adalah kasih (1 Yoh. 4:16), dan yang adalah jalan dan kebenaran dan hidup itu
sendiri (Yoh. 14:6), kita bisa, bersama seluruh orang yang diselamatkan dari segala zaman dan
tempat (Ibr. 2:17), bersukacita atas keselamatan-Nya yang agung (Hab. 3:18 dan berseru segala
kemuliaan hanya bagi Allah (Rm. 11:36; 1 Tim. 1:17) hingga pada kegenapan waktu dimana Dia akan
mempersatukan segala sesuatu (Ef. 1:9-10).

Anda mungkin juga menyukai