Anda di halaman 1dari 10

BAB

MEMPERKENALKAN FORMASI SPIRITUAL


“Jauh di dalam Diri” dan Cara Yesus

Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar


kehidupan.

K ita hidup dari hati kita.


Bagian dari diri kita yang mendorong dan mengatur hidup kita bukanlah fisik kita. Ini adalah fakta, andai pun
kita menyangkalnya. Anda memiliki roh di dalam diri Anda dan roh itu telah terbentuk. Roh memiliki karakter
khusus. Saya memiliki roh dan roh itu telah terbentuk. Hal ini berlaku bagi setiap orang.
Roh manusia merupakan aspek mendasar setiap manusia yang tak terhindarkan; roh mencuplik karakter yang
mana pun dari pengalaman dan pilihan-pilihan yang kita pernah hidupi atau kita buat di masa lalu. Ini yang
dimaksud sebagai “dibentuk.”
Hidup kita dan bagaimana kita menemukan dunia masa kini dan masa depan hampir seluruhnya merupakan
hasil sederhana dari apa yang ada di kedalaman keberadaan kita, yakni dalam roh, kehendak, atau hati kita. Dari
sana kita melihat dunia dan menafsrikan kenyataan. Dari sanalah kita menciptakan pilihan-pilihan kita,
melaksanakannya dalam bentuk tindakan, mengusahakannya untuk mengubah dunia kita. kita hidup dari kedalaman
kita yang sebagian besar tidak kita pahami.
Sebagian kita mungkin berkata, “Apakah maksud Anda bahwa setiap malapetaka individu atau bencana
kolektif yang mengisi pengalaman manusia bukanlah ditimpakan ke kita dari luar? Bahwa malapetaka tersebut
tidaklah terjadi pada kita?”
Ya. Itulah yang saya maksudkan. Di dunia saat ini, kelaparan, perang, dan epidemi nyaris seluruhnya
merupakan hasil pilihan manusia, yaitu merupakan ekspresi dari roh manusia. Meskipun ada berbagai penjelasan
yang memadai, secara umum hal tersebut adalah benar.
Malapetaka yang bersifat pribadi pun sangat dipengaruhi oleh pilihan-pilihan manusia, baik diri kita sendiri
ataupun orang lain. Dan apakah malapetaka itu merupakan kasus khusus, situasi yang membuat kita menemukan diri
sendiri tidaklah pernah sepenting respons kita terhadapnya yang muncul dari sisi “spiritual” kita. Hati yang dipupuk
secara seksama yang ditolong oleh anugerah Allah akan melihat peristiwa yang belum terjadi, mencegah, atau
mengubah sebagian besar situasi menyakitkan yang orang lain hadapi seperti anak-anak tidak berdaya yang
mengatakan “Mengapa?”
Alkitab penuh dengan hikmat atas masalah-masalah ini. itu sebabnya kita menyebut sebagian besar kitab-
kitab PL sbgm “literatur hikmat.” Yesus merangkum semua kitab itu dalam ajaran-Nya. Dia adalah kekuatan dan
hikmat Allah (1 Korintus 1:24). Misalnya, Dia memberi tahu kita, " Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan
kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." (Matius 6:33). Dan “"Setiap orang yang
mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya
di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak
rubuh sebab didirikan di atas batu”(Matius 7: 24-25).
Oleh karena itu, kebutuhan terbesar yang Anda dan saya miliki — yaitu kebutuhan terbesar humanitas
kolektif — adalah renovasi hati kita. Tempat spiritual di dalam diri kita yang merupakan asal muasal pandangan,
pilihan, dan tindakan telah dibentuk oleh dunia yang jauh dari Tuhan. Saat ini, tempat itu harus ditransformasi.
Sesungguhnya satu-satunya harapan umat manusia terletak pada kenyataan bahwa sebagaimana dimensi
spiritual kita dapat dibentuk, maka spiritual kita pun dapat ditransformasi. Pada masa sekarang dan selama berabad-
abad, hal ini telah diakui oleh setiap orang yang telah memikirkan secara mendalam tentang kondisi kita — sejak
Musa, Salomo, Socrates, dan Spinoza, hingga Marx, Nietzsche, Freud, Oprah, dan para feminis serta para tokoh
lingkungan saat ini. Kami benar-benar melanjutkan pemberitaan mengenai kemungkinan dan kebutuhan ini dari
mimbar kami. Perbedaan pendapat hanyalah menyangkut apa kebutuhan-kebutuhan jiwa kita yang harus diubah dan
bagaimanakah perubahan itu dapat dilakukan.

REVOLUSI YESUS
DAN PADA KEDUA POIN ini terletak relevansi tentang Yesus yang tak terelakkan terhadap kehidupan
manusia. Sekitar dua ribu tahun yang lalu Yesus mengumpulkan sekelompok kecil teman dan peserta pelatihan-Nya
di lereng bukit Galilea dan mengirim mereka untuk “mengajar semua bangsa” —yaitu, untuk menjadikan semua
kelompok etnis sebagai murid bagi-Nya dari. Tujuan-Nya akhirnya adalah untuk membimbing semua kehidupan
manusia di bumi ke pada hikmat, kebaikan, dan kuasa-Nya sebagai bagian dari rencana Allah yang kekal bagi
semesta ini.
Kita tidak boleh membuat kesalahan mengenai hal itu. Dengan mengirimkan murid-murid-Nya, Ia memulai
revolusi dunia yang terus berlangsung dan tanpa henti: revolusi yang masih terus berproses dan akan terus berlanjut
sampai kehendak Tuhan terjadi di bumi sama seperti di surga. Saat revolusi ini memuncak, semua kekuatan jahat
yang dikenal oleh umat manusia akan dikalahkan, lalu kebaikan Tuhan akan dikenal, diterima, dan ditaati dengan
sukacita dalam setiap aspek kehidupan manusia.1 Dia telah memilih untuk menuntaskan hal ini melalui, dan
sebagian, oleh murid-murid-Nya.
Bahkan sekarang benar, sebagaimana dikatakan oleh malaikat Serafim kepada Yesaya dalam penglihatannya,
bahwa “seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya,” kemuliaan Tuhan yang kudus atas semesta alam (Yesaya 6: 3). Tetapi
harinya belum tiba ketika “bumi akan penuh dengan pengetahuan tentang kemuliaan TUHAN, seperti air yang
menutupi dasar laut” (Habakuk 2:14, penekanan dari penulis).
Revolusi Yesus adalah pertama-tama dan secara terus menerus merupakan revolusi hati atau jiwa manusia.
Revolusi itu bukanlah berlangsung melalui pembentukan institusi sosial dan hukum, yaitu yang merupakan bentuk
luar eksistensi kita, yang bertujuan agar revolusi ini kemudian memaksakan tatanan kehidupan yang baik pada
manusia yang berada di bawah kekuasaan mereka. Sebaliknya, revolusi-Nya merupakan revolusi karakter yang
berlangsung dengan mengubah orang dari dalam melalui hubungan pribadi yang berkelanjutan dengan Allah di
dalam Kristus dan dengan satu sama lain. Revolusi ini mengubah gagasan-gagasan, keyakinan, perasaan, dan
kebiasaan untuk memilih, demikian juga dengan kecenderungan tubuh serta relasi sosial mereka. Revolusi Yesus
menembus hingga lapisan terdalam jiwa mereka. Pengaturan sosial yang bersifat eksternal mungkin bermanfaat
untuk tujuan ini, namun pengaturan sosial bukan merupakan tujuan, apalagi sebagai bagian fundamental dari sarana.
Di sisi lain, oleh perubahan ilahi yang mendalam, struktur sosial secara natural ditransformasi sedemikian
sehingga “keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:24).
Aliran seperti itu tidaklah mengalir melalui jiwa yang rusak. Sebaliknya, yang direnovasi yang berada “di dalam”
tidaklah bekerja sama dengan aliran ketidakbenaran publik. Aliran ketidakbenaran akan menghalanginya, atau
menyulitkannya. Hanya itu yang dapat dilakukannya.
T. S. Eliot pernah menggambarkan usaha manusia saat ini sebagai upaya menemukan sistem keteraturan
yang sedemikian sempurna sehingga kita tidak harus menjadi baik. Sebaliknya, Jalan Yesus memberi tahu kita
bahwa sejumlah sistem — tentu tidak semuanya — akan bekerja dengan baik jika kita benar-benar baik. Dan kita
kemudian bebas mencari yang lebih baik dan yang terbaik.
Ketidakmampuan "sistem" ini adalah alasan utama mengapa Yesus tidak mengirim murid-muridnya untuk
memulai pemerintahan atau bahkan gereja sebagaimana yang kita kenal saat ini, yang selalu menyuarakan dengan
kuat unsur-unsur sistem yang dibuat manusia. Sebaliknya, mereka membangun tempat pijakan pribadi, perkataan,
dan kuasanya di tengah-tengah manusia yang gagal dan sia-sia. Mereka harus menghadirkan kerajaan beserta
Rajanya pada setiap sudut kehidupan manusia hanya dengan hidup secara penuh dalam kerajaan-Nya bersama-Nya.
Mereka yang menerima Dia sebagai Tuhan yang hidup dan pengajar seumur hidup mereka merupakan
“orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya” (Kolose 3:12) dan akan belajar bagaimana “supaya
kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang
bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia,
sambil berpegang pada firman kehidupan” (Filipi 2: 15-16).
Gereja-gereja, yakni persekutuan lokal orang-orang seperti itu, adalah hasilnya secara alami. Gereja bukanlah
kerajaan Allah, melainkan adalah ekspresi utama dan tak terelakkan, pos terdepan, dan instrumen kehadiran kerajaan

1
Allah di antara kita. Mereka adalah “masyarakat”nya Yesus yang terbit di Yerusalem, di Yudea, di Samaria, sampai
ke ujung bumi (Kisah Para Rasul 1: 8), karena realitas Kristus hadir dalam kehidupan manusia biasa. Proses ini
berkelanjutan dan belumlah tuntas saat ini, “Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi
kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya" (Matius 24:14).

“Bagian Dalam” Manusia

MELALUI KEHADIRAN kerajaan-Nya, Yesus menjawab kebutuhan terdalam kepribadian manusia akan
kebenaran, ketetapan, dan tujuan. Jika kita mengesampingkannya, kita masih menghadapi pertanyaan yang tak
terhindarkan: Apa yang membuat hidup kita berjalan berlangsung sebagaimana adanya? Apa yang membuat
kehidupan berjalan sebagaimana yang seharusnya? Ketidakmampuan menemukan jawaban-jawaban yang memadai
membuat kita tanpa kemudi di tengah lautan peristiwa di sekeliling kita maupun ide serta kekuatan apa pun yang
melanda kita. Dan pada dasarnya itulah situasi manusia. Anda dapat melihat hal tersebut mengelilingi kita hari demi
hari.
Selama berabad-abad para cendekia berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, dan mereka sepakat
dengan penemuan yang telah dinyatakan di sini, bahwa yang paling utama mengenai bagaimana kehidupan berjalan
serta harus berjalan adalah apa yang siapakah kita yang berada “di dalam” diri kita. Tentu saja baik yang baik
maupun yang buruk akan menimpa kita. Namun mengenai apa arti hidup kita, sebagian besar kalau bukan
seluruhnya, adalah tentang siapakah kita yang ada di dalam, yaitu setidaknya bagi mereka yang telah mencapai usia
lanjut. Yang ada “di dalam” inilah ajang pembentukan spiritual, dan kemudian, transformasi.
Yang ada di dalam adalah pikiran-pikiran, perasaan, tujuan; serta sumber-sumber yang lebih dalam, apa pun
itu. Kehidupan yang kita hidupi melalui momen, jam, hari, dan tahun-tahun kita memancar dari kedalaman yang
tersembunyi. Apa yang ada di "hati" kita merupakan hal yang lebih penting dibanding apa pun yang membuat kita
menjadi siapakah dan menjadi apakah kita. Syair lagu lama berbunyi, “Kamu di sini di pelukanku, namun di
manakah hatimu?” Inilah hal yang sungguh penting, bukan sekadar perihal relasi individual, melainkan juga
mengenai hidup secara keseluruhan.
Penulis Oscar Wilde suatu kali berujar bahwa setiap orang pada usia empat puluh memiliki wajah yang layak
mereka peroleh. Kata-kata ini merupakan kebenaran yang sungguh dalam, kalau bukan menyakitkan. Namun hal ini
sungguh berlaku bagi “yang di dalam” yang tercermin dari wajah, yaitu pada hati dan juga jiwa, dan bukan pada
wajah semata sebagai area permukaan tubuh semata. Jika hanya sekadar tubuh yang dimaksudkan, tentunya hal itu
tidaklah banyak artinya.
Nah, tepat di permukaan kesadaran dari “dunia dalam” kita terletak beberapa pikiran-pikiran, perasaan, niat,
dan rencana-rencana kita. Hal-hal ini kita sadari dan cukup jelas terlihat oleh orang lain maupun diri kita. Dengan
kata lain, kita secara sadar menghampiri dunia dan tindakan kita yang berada di dalamnya.
Tetapi aspek yang ada di permukaan ini juga merupakan indikasi yang baik tentang sifat umum
ketidaksadaran “spiritual yang berada jauh di dalam,” yakni dari apa sajakah hal itu dibuat. Namun bagaimanapun,
pikiran, perasaan, dan niat yang kita sadari hanyalah bagian kecil saja dari sesuatu yang sungguh-sungguh ada di
kedalaman diri kita; dan hal itu sering kali bukanlah yang paling mengungkapkan siapa diri kita sesungguhnya dan
mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan.
Apa yang sebenarnya kita pikirkan, apa yang sesungguhnya kita rasakan, dan apa yang kita benar-benar akan
lakukan dalam keadaan yang dapat diduga dan yang tak terduga mungkin tidak kita sendiri atau orang-orang yang
akrab dengan kita dapat ketahui sepenuhnya. Kita mungkin berpapasan satu sama lain, bahkan berpapasan dengan
diri kita sendiri, dan jika Anda dapat membayangkannya: seperti “kapal di malam hari.” Kita melakukannya
sepanjang waktu.
Dimensi tersembunyi setiap kehidupan manusia tidaklah terlihat oleh orang lain, bahkan tidak pula dapat
dipahami sepenuhnya oleh diri kita sendiri. Kita biasanya hanya tahu serba sedikit tentang hal-hal yang bergerak
dalam jiwa kita sendiri, mengenai tingkat terdalam dalam hidup kita, atau perihal apa yang mendorongnya. “Batin”
kita luar biasa kompleks dan halus, bahkan licik. Batin kita mengisi hidupnya sendiri. Hanya Tuhan yang
mengetahui kedalaman kita, mengenai siapakah diri kita, dan tentang apa yang kita akan lakukan.
Itu sebabnya pemazmur berseru memohon pertolongan Tuhan untuk mengurus: dirinya sendiri! “Selidikilah
aku, ya Allah.” “Biarlah Engkau berkenan akan . . . renungan hatiku, ya Tuhan.” “Perbaruilah batinku dengan roh
yang teguh!” Pada titik tertentu, diri saya “yang berada jauh di dalam” (hati saya) terbentuk dan saya pun berada
dalam belas kasihnya. Hanya Allah yang dapat menyelamatkan saya.
ASPEK “SPIRITUAL”MANUSIA
SAYA TELAH MEMBICARAKAN mengenai dunia tersembunyi dari diri sebagai sisi spiritual kita. Kata
"spiritual", "roh", dan "spiritualitas" telah menjadi semakin umum saat ini, dan hal ini tak terhindarkan. Tetapi kata-
kata tersebut sering tidak jelas maknanya dan hal ini dapat membahayakan. Ketidakjelasan makna dapat membuat
kita bingung dan hancur. “Spiritual” tidak otomatis berarti “baik.” Kita harus benar-benar berhati-hati dengan istilah
ini. Meskipun demikian, pengertian “spiritual” yang hanya berarti “nonfisik,” dunia tersembunyi atau dunia dalam
pada diri manusia memang benar-benar adalah spiritual.
Menariknya, seluruh kemajuan pengetahuan ilmiah kita yang bagus, produk pemikiran manusia yang
membanggakan, tidaklah memberitahu kita apa-apa mengenai kehidupan dunia dalam manusia. Hal yang sama juga
terjadi pada semua bidang studi yang berusaha mendasarkan diri pada pengetahuan itu. Sains paling banyak hanya
mampu mengindikasikan beberapa korelasi yang menarik dan penting antara kehidupan dunia dalam kita dengan
peristiwa-peristiwa dalam dunia fisik dan sosial yang berjalan bersamanya.
Hal ini karena pokok bahasan sains tepatnya adalah dunia luar, bersifat fisik, terukur, dan merupakan dunia
yang teramati secara kasat mata oleh publik: yaitu yang sering kita katakan secara umum sebagai dunia
“pancaindra.” Sifat dunia fisik ini memiliki jenis realitas yang sepenuhnya berbeda dengan sisi spiritual
kemanusiaan, yang tetap “tersembunyi” yang tidak akan pernah dapat teramati dalam dunia fisik. Saat ini, hal
tersebut merupakan cerita lama, namun sering ditekan atau dilupakan. Sains kehilangan hati.
Sisi “spiritual” kita, paradoksnya, tidaklah pernah sepenuhnya lenyap dari pikiran kita, meskipun hal tersebut
tidak tertangkap oleh pancaindra kita. Spiritual senantiasa berada di tepi, jika bukan berada di pusat, kesadaran kita.
Benar-benar spiritual merupakan satu-satunya hal yang dirayakan (atau diturunkan derajatnya) dalam seni, biografi,
dan sejarah, dan dalam sebagian besar tulisan-tulisan populer di majalah dan sebagainya. Mereka terus-menerus
menekankan pada apa yang orang pikirkan dan rasakan, pada apa yang mungkin atau harus mereka lakukan dan
mengapa mereka melakukannya, dan pada jenis karakter yang mereka miliki. Manusia tidak “bergosip” tentang hal
yang lain, dan saat ini, banyak yang disebut sebagai “berita” sebenarnya semata-mata adalah gosip.
Tetapi hal itu hanyalah menekankan mengenai kita yang menyadari terus akan sisi kehidupan spiritual. Kita
segera mengetahui bahwa memang itulah yang sesungguhnya bermakna. Kita lebih menaruh perhatian pada hal
tersebut pada diri kita dan orang lain melebihi apa pun juga. Ada hikmat yang dalam dalam hal ini, meskipun sering
diselewengkan. Sebab spiritual adalah kehidupan kita semata, tidak peduli apa pun teori besar yang kita anut atau
apa yang kita mungkin katakan ketika berupaya menjadi “intelektual,” “memiliki pengetahuan yang baik,” maupun
“up-to-date.”
Minat yang tidak dapat dilenyapkan ini menjelaskan mengapa di beberapa dekade sekarang ini dan dengan
banyak cara, spiritual dalam pengertian kemanusiaan yang inklusif, berulang kali mendesakkan dirinya ke garis
depan kesadaran kita. Dari pemberontakan seni dan budaya tahun enam puluhan hingga environmentalisme dan
"spiritualitas" yang tak terhitung jumlahnya di tahun sembilan puluhan, dari era baru budaya pop hingga
posmodernisme perguruan tinggi, protes yang membesar dari kedalaman kemanusiaan baru-baru ini meneriaki kita
bahwa fisik dan sisi publik alam semesta manusia tidaklah mampu menopang keberadaan kita. “Manusia hidup
bukan dari roti saja.” Kita sebaiknya mendengarkan, tidak peduli siapa pun yang berbicara.
Tentu saja ini adalah kata-kata Yesus. Dan jalan-Nya adalah jalan kebenaran bagi hati atau jiwa. Bila kita
berjalan bersama-Nya, kita harus berjalan dengan-Nya pada level interior. Hanya sedikit orang yang benar-benar
tidak memahami hal ini tentang-Nya. Ia menyelamatkan kita melalui restorasi realistik hati kita kepada Allah dan
kemudian tinggal bersama Bapa-Nya melalui Roh ilahi. Dengan demikian, hati yang direnovasi dan yang dihuni
adalah satu-satunya harapan nyata umat manusia di bumi.
Pernyataan bahwa " Manusia hidup bukan dari roti saja" diadaptasi oleh Yesus dari sejarah pengalaman
orang Yahudi bersama Tuhan. Di antara perihal yang lain, Yesus merupakan ekspresi yang paling dalam dan kuat
pengalaman itu. Namun pengalaman itu juga diberi makna baru dan mendalam melalui kematian dan kebangkitan-
Nya. Melaluinya, Ia membangun tatanan kehidupan baru yang radikal di bumi di dalam kerajaan Allah. Tatanan
baru itu bebas dari bentuk etnik atau budaya yang mana pun. Segenap manusia dapat menghidupi kehidupan dari
hati yang direnovasi sekarang dengan terus menerus memberi asupan kepada diri sendiri melalui kehadiran-Nya
secara pribadi, saat ini dalam dunia kita, melampaui kematian-Nya dan kematian diri kita.
Berlawanan dengan yang banyak orang katakan dewasa ini, pembebasan (keselamatan) kita tidaklah muncul
dari kedalaman manusia yang berkabut, yaitu dari sumber kehidupan alami kita, baik meliputi ataupun tidak
meliputi “roh ilahi” atau “ketidaksadaran kolektif.” Tetapi Yesus masuk ke dalam dan melalui yang sangat dalam
itu, apa pun isinya, untuk dibawa pulang kepada Allah. Di sana pun, Ia adalah Tuhan. Renovasi spiritual dan
“spiritualitas” dari Yesus tidak lain adalah invasi realitas kemanusiaan natural oleh kehidupan supranatural “yang
berasal dari atas.”

SPIRITUALITAS DAN FORMASI SPIRITUAL SEBAGAI KEMANUSIAAN SEMATA


DENGAN KONTRAS YANG TAJAM, SPIRITUALITAS dan formasi spiritual sering kali dipahami saat ini
sebagai masalah yang sepenuhnya adalah urusan manusia. "Melampaui yang ada di dalam” disangka sebagai
dimensi atau kekuatan manusia yang bila kita kelola dengan benar, akan mentransformasi kehidupan kita menjadi
kehidupan ilahi. Atau sedikitnya akan mengantarkan kita berpaling dari eksistensi manusia yang kacau dan hancur,
mungkin paling tidak dari kecanduan yang menghancurkan hidup seperti alkohol, pekerjaan, seks, narkoba, atau
kekerasan. Kita dilanda oleh buku-buku, program, dan seminar-seminar yang mendasarkan diri pada asumsi ini.
Jadi, misalnya sekarang ini orang mendengar kata “spiritualitas” yang digambarkan sebagai “relasi kita
dengan apa saja yang paling penting dalam hidup kita.” Atau mungkin sebagai “proses menjadi pribadi yang positif
dan kreatif.” Kata-kata ini diambil dari tulisan-tulisan masa kini dan tulisan-tulisan itu mewakili arus pemikiran dan
budaya manusia yang mendalam.2
Kami tentu saja tidak bermaksud mencemooh hal yang baik, dan kami berterima kasih atas apa pun yang
benar-benar menolong umat manusia dalam keputusasaan mereka di bumi ini. Tiada yang lain yang dapat
dibandingkan dengan roh Yesus. Kasih yang terus menerus mengalir dari Allah kepada setiap manusia yang pernah
hidup, adakalanya di tempat dan posisi yang Allah sendiri tidak sukai, tetaplah membawa dampak yang baik.
Namun apakah spiritualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menghasilkan renovasi hati
yang sesungguhnya dapat diupayakan melalui usaha manusia semata patutlah dipertanyakan. Salah dalam hal
tersebut membawa akibat yang teramat serius.
Kita dapat yakin akan hal ini: pembentukan, dan kemudian transformasi kehidupan batin manusia, yang
darinya eksistensi luar kita mengalir, adalah masalah manusia yang tak terhindarkan. Formasi spiritual, tanpa
peduli konteks religius atau tradisinya secara khusus, adalah proses yang olehnya roh manusia atau kehendaknya
diberi “bentuk” atau karakter tertentu. Proses itu terjadi pada setiap orang. Orang-orang yang paling tercela
maupun yang paling dihormati pun memiliki formasi spiritual. Teroris sebagaimana juga orang suci merupakan hasil
dari formasi spiritual. Jiwa atau hati mereka telah terbentuk. Titik.
Masing-masing kita menjadi jenis orang tertentu di kedalaman keberadaan kita, kita memperoleh karakter
jenis tertentu. Dan itu adalah hasil dari proses formasi spiritual sebagaimana pemahaman umum manusia yang
diterapkan pada setiap orang, baik mereka kehendaki ataupun tidak. Beruntung atau berbaagialah mereka yang
mampu menemukan atau diberi jalan hidup yang membentuk roh dan dunia batin menurut cara yang benar-benar
kuat dan baik dan yang terarah pada Tuhan.
Seiring dengan itu, pembentukan serta pembentukan kembali kehidupan batin merupakan problem yang ada
sepanjang usia kemanusiaan itu sendiri; dan catatan paling awal tentang pemikiran manusia menyaksikan dengan
fasih tentang pergulatan manusia untuk memecahkan problem itu,3 namun tingkat keberhasilannya, haruslah
dikatakan, sangatlah terbatas.
Benar bahwa pada beberapa titik tertentu dalam sejarah manusia memperlihatkan keberhasilan yang lebih
banyak pada peningkatan jiwa manusia. Namun titik rendah jauh lebih banyak dibanding titik yang tinggi, dan rata-
ratanya sangatlah rendah. Masyarakat dunia berada dalam keadaan putus asa saat ini dalam upaya menghasilkan
orang-orang yang hanya mampu menghadapi kehidupan mereka di bumi menurut cara yang non-destruktif. Hal ini
berlaku baik di Amerika Utara maupun Eropa seperti halnya di bagian lain dunia, meskipun pergumulan mengambil
bentuk yang berbeda secara superfisial di berbagai area. Dalam hal spiritual, benar-benar tidak ada “Dunia Ketiga.”
Seluruhnya adalah Dunia Ketiga.

MERAIH YANG MELAMPAUI MANUSIA SEMATA


JADI, TRANSFORMASI SPIRITUAL, renovasi hati manusia, adalah problem manusia yang tak terhindarkan yang
tanpa solusi dari manusia. Kami tidak merasa puas dengan menunjukkan hal ini. ada yang dapat dipelajari
2

3
dari sebuah survei tentang sejarah dunia, budaya dunia, dan usaha-usaha masa lalu dan masa kini untuk
menangani kehidupan manusia melalui agama, pendidikan, hukum, dan medis. Dan pengamatan ini,
sayangnya, teguh berdiri ketika kita mempertimbangkan banyak teknik yang diajarkan oleh berbagai aliran
psikologi dan pandangan spiritualitas yang saling bersaing pada masa kita sekarang.
Transformasi sejati keseluruhan pribadi seseorang menuju kebaikan dan kuasa terlihat pada diri Yesus dan
“Abba” Bapa-Nya, yaitu satu-satunya transformasi yang memadai terhadap diri (self) manusia, tetaplah menjadi
tujuan hidup manusia yang dibutuhkan. Namun hal itu ada di luar jangkauan program-program transformasi batin
yang hanya mengandalkan roh manusia, sekalipun jiwa manusia itu sendiri diperlakukan sebagai yang paling ilahi.
Kenyataan tentang semua ini tidak terlihat oleh kekristenan yang bertaraf sangat rendah yang saat ini berada
di hadapan masyarakat umum. Level rendah itu menjelaskan mengenai mengapakah saat ini ada sedemikian banyak
psikolog dan tokoh spiritualitas yang saling bersaing di bidang itu, sering pula dipimpin atau didominasi oleh
mantan orang Kristen yang telah meninggalkan bentuk-bentuk kekristenan yang diakui, yang memandangnya
sebagai tidak berpengharapan atau bahkan berbahaya.
Akhir-akhir ini ada minat yang besar dan luas terhadap formasi spiritual, dan yang mengatasnamakan formasi
spiritual, yang muncul di banyak kelompok kalangan orang-orang Kristen dan para pemimpin mereka. Mengapakah
demikian? Terutama oleh kesadaran yang dikonfirmasi saat ini oleh banyaknya penelitian yang cermat dan saksama
serta kesaksian melimpah yang belum dibuktikan, dalam bentuk kekinian di publik, kekristenan belum memberikan
jawaban yang efektif atas pertanyaan-pertanyaan vital mengenai eksistensi manusia. Setidaknya belum memberi
jawab kepada banyak orang yang mengaku dirinya Kristen, dan tampaknya juga tidak menjawab buat mereka yang
nonKristen. Dan formasi spiritual saat ini menampilkan dirinya sebagai kemungkinan yang memberi harapan bagi
jiwa manusia yang meratap yang tak terpenuhi kebutuhannya. Harapan merekah sekali lagi untuk menanggapi
kebutuhan yang mendalam yang berakar pada tradisi Kristen sekaligus sangat relevan dalam lingkungan kehidupan
kekinian.

ALLAH BERGERAK MAJU

ALLAH SECARA PERIODIK menggerakkan umat-Nya dan budaya di sekitar mereka untuk mencapai tujuan
kekal-Nya untuk rentang waktu yang sangat singkat waktu kosmik yang kita sebut sebagai “sejarah manusia.”
Biasanya hal ini terjadi melalui cara-Nya dan sama sekali bukan cara manusia yang Ia rencanakan atau yang
sesuai pandangan-Nya tentang masa depan yang berada jauh melampaui kendali atau pemahaman kita.
Biasanya setelah fakta kejadian, kita menemukan bahwa telah terjadi peralihan yang kuat mendalam. Hal itu
mungkin terjadi pada individu, kelompok, atau seluruh kebudayaan. Cara lama untuk bekerja tidak lagi efektif,
meskipun cara itu sangat berdaya di masa lampau. Muncul bahaya yang sungguh nyata ketika kita menetapkan hal
yang berlawanan pada diri kita tentang apa yang Allah benar-benar kerjakan saaat ini dan yang akan dikerjakan-Nya
di masa depan. Sering kita kehilangan kesempatan untuk bertindak bersama Allah pada saat sekarang ini. Kita gagal
menemukan kantong kulit anggur yang baru untuk anggur baru dengan cukup cepat.
Contoh gerakan baru TUHAN adalah apa yang terjadi pada kemunculan orang-orang Ibrani dari Mesir
“ketika waktunya tepat” dan terjadi lagi pada masuk dan keluarnya mereka dari pembuangan di Babilonia. Lalu
sekali lagi, kita melihatnya pada kemunculan orang-orang “Kristen” pada budaya Yahudi dan kemudian munculnya
“tubuh Kristus” dari yang bukan etnik Yahudi pada gereja Yahudi.
Sejak saat itu, gerakan yang mendalam dan berkuasa dari Tuhan terjadi lagi dan lagi ketika Kristus tinggal
bersama umat-Nya di bumi: melimpahnya penyembahan berhala klasik, munculnya bentuk-bentuk biara dalam
ibadah Kristen, biarawan, Fransiskan, dan transformasi Devotio Moderna dalam monastisisme (kebiaraan),
Reformasi Protestan, Pietisme, kebangkitan Wesleyan dan kebangkitan Amerika, dan banyak gerakan lain yang
kurang memiliki dampak historis, seperti pemberontakan kontra-budaya karismatik abad ke-20 ("Orang-orang
Yesus," dan seterusnya). Kebangkitan dan bekerjanya gerakan-gerakan seperti itu jelas merupakan hasil karya
tangan Tuhan di tengah-tengah kita.
Dan Tuhan masih bergerak. Pencarian akan formasi spiritual (benar sebagaimana yang diindikasikan, yakni
transformasi spiritual) pada kenyataannya adalah fakta yang telah berusia tua dan mendunia. Formasi spiritual
berakar pada kebutuhan personal yang mendalam, bahkan bersifat biologis, yakni kebutuhan akan kebaikan
kemanusiaan yang terus muncul. Formasi spiritual mengambil banyak bentuk dan saat ini pada awal abad
keduapuluhsatu mengemuka kembali untuk memenuhi situasi kekinian kita. Saya yakin ini merupakan bagian dari
gelombang pasang kehidupan Allah yang akan mengangkat hidup kita saat ini menuju kekekalan. Hati kita berseru,
"Tuhan, aku ingin menjadi orang Kristen dalam hatiku."
Jadi, pencarian yang saat ini dirasakan sedemikian dalamnya, merupakan hal yang baru sekaligus juga sangat
tua, yang sangat menjanjikan sekaligus penuh dengan bahaya, yang menerangi sekaligus melimpahkan karunia atas
kekurangan dan kegagalan kita, adalah ekspresi pencarian kekal manusia dan merupakan kebutuhan manusia yang
tak pernah sirna akan Tuhan. Pencarian masa kini akan formasi spiritual ini merupakan pencarian yang esensial akan
hidup Tuhan dalam diri umat-Nya tatkala mereka bergerak menuju pemenuhan akan tujuan-Nya terhadap masa kini
dan masa selanjutnya.
Dari sudut pandang sosiologis dan historis sebagaimana juga spiritual, dorongan yang baru ini adalah sebuah
aspek pembubaran denominasi Protestan sebagaimana yang kita kenal dan munculnya identitas baru, namun yang
juga lama, yaitu identitas bagi umat kristiani; yang melintasi semua garis denominasi dan kebangsaan, serta batas-
batas natural.
Saat ini secara umum diketahui bahwa pertanyaan, “Apakah saya seorang Kristen?” tidak lagi dapat dijawab
dengan cara mengutip nama atau simbol-simbol denominasi, etnik, atau kebangsaan. Ada 33.800 denominasi
Kristen yang berbeda-beda saat ini di dunia.4 Jelaslah bahwa sebuah jawaban yang memadai haruslah lebih dalam
daripada asosiasi religius kita. Jawabannya harus merujuk pada siapakah kita yang berada dalam hati kita, di
hadapan Allah, di kedalaman kemanusiaan kita, yang senantiasa menjadi titik fokus dari formasi spiritual Kristen.
Jawaban seperti itu selalu dibutuhkan “di hadapan Tuhan.” Siapakah dapat menyangkalnya? Namun hal itu
tidak selalu disadari dan mendapatkan penekanan di kalangan kita, terutama tidak demikian pada beberapa waktu
yang lalu, meskipun kita semakin menyadarinya saat ini. Perubahan ini sungguh amat baik dan sangatlah
menjanjikan dari orang-orang Kristen di seluruh dunia beberapa waktu belakangan ini

SPIRITUAL FORMATION KRISTEN YANG MEMBEDAKAN

DI PENDAHULUAN KAMI KATAKAN bahwa formasi spiritual bagi orang Kristen pada dasarnya merujuk
pada proses yang digerakkan Roh untuk membentuk dunia batin diri manusia sedemikian rupa hingga menjadi
serupa dengan keberadaan batin Kristus sendiri.5 Seiring dengan itu, kita perlu melakukan kajian secara hati-hati
apa maksudnya untuk masa sekarang. Namun kita dapat katakan sejak awal bahwa tingkat keberhasilan formasi
spiritual dalam Kristus itu terjadi ketika kehidupan luar individu menjadi ekspresi natural atau arus yang keluar dari
karakter serta pengajaran Yesus.
Formasi spiritual Kristen dipusatkan sepenuhnya pada Yesus. Tujuannya adalah ketaatan atau penyesuaian
diri pada Kristus yang muncul dari transformasi batin, dicapai melalui interaksi yang disengaja dengan anugerah
Allah dalam Kristus. ketaatan merupakan hasil utama formasi spiritual Kristen (Yoh. 13:34-35; 14:21).
Tetapi manisfestasi eksternal “keserupaan-dengan-Kristus” bukanlah fokus dari proses. Maka ketika
manifestasi eksternal menjadi penekanan utama, proses itu terkalahkan, terjatuh dalam legalisme yang mematikan
dan parokialisme yang tidak bermakna. Itulah yang begitu sering terjadi di masa lalu, dan fakta ini adalah
penghalang utama untuk dapat mendekap formasi spiritual Kristen sepenuh hati di masa sekarang. Kita tahu
sekarang bahwa pakaian, perilaku, dan organisasi yang khas bukanlah pokok dari formasi spiritual.
“Eksternalisme,” demikianlah kita menyebutnya, bahkan merupakan bahaya di zaman Perjanjian Baru.
Namun “Rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu,” merupakan semboyan abadi pembentukan formasi spiritual
Kristen (Galatia 4:19). Kata ini diperkuat oleh pencerahan moral dan spiritual yang mendalam bahwa sementara
“hukum yang tertulis (Taurat) mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2 Kor. 3:6).
Secara singkat, ada gambaran tentang pengajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit (Matius 5-7) yang merujuk
pada berbagai perilaku salah: melampiaskan kemarahan, perzinaan, perceraian tanpa belas kasihan, manipulasi
verbal, membalas kejahatan dengan kejahatan, dan sebagainya. 6 Namun sebagaimana banyak pengalaman
mengajarkan, hanya dengan berjuang untuk melaksanakan perbuatan sesuai dengan ajaran-Nya hidup dalam
kerajaan Allah dari dalam hati merupakan usaha yang mustahil. Dan itu juga menyebabkan kita melakukan hal-hal
yang jelas salah dan bahkan konyol, seperti misalnya pengebirian diri sebagai tindakan yang dianggap sebagai
pengabdian kepada Kristus, yang malangnya terjadi berulang kali dalam sejarah kekristenan.

6
Penafsiran mengenai formasi spiritual “bagian luar”, penekanan pada perbuatan tertentu, hanyalah
menambah “’kebenaran’ ahli Taurat dan orang Farisi.” Sekali lagi dan lagi, kita tidak akan mencapai transformasi
sejati tentang siapakah saya melalui cara itu, untuk “hidup lebih benar” (Mat. 5:20) sebagai laki-laki dan perempuan
milik Kristus, untuk hidup berlimpah dalam kerajaan-Nya.

JALAN ANUGERAH DAN KELEGAAN


INSTRUMEN FORMASI SPIRITUAL KRISTEN dengan demikian melibatkan jauh lebih banyak hal selain upaya
dan tindakan manusia yang berada di bawah kendali kita. Upaya manusia yang berhikmat tentu sangatlah
diperlukan, sebab formasi spiritual bukanlah proses yang pasif. Namun keserupaan dengan Kristus dalam batin
bukanlah pencapaian manusia. Pada akhirnya, keserupaan dengan Kristus itu adalah anugerah.
Meskipun kita harus bertindak, sumber bagi formasi spiritual jauh melampaui (usaha) manusia. Sumber-
sumber itu adalah kehadiran Roh Kudus yang interaktif dalam hidup orang-orang yang menaruh kepercayaannya
pada Kristus. Juga berasal dari kekayaan spiritual, yaitu orang, peristiwa, tradisi, pengajaran, yang tersimpan dalam
anggota tubuh Kristus, yakni orang-orang percaya di bumi, dulu dan sekarang.
Karena itu, kita harus memahami bahwa formasi spiritual tidak hanya merupakan formasi roh atau batin
individu, meskipun formasi spiritual mencakup proses beserta hasilnya. Formasi spiritual juga merupakan
pembentukan oleh Roh Allah dan oleh kekayaan spiritual inkarnasi berkelanjutan Kristus pada diri umat-Nya;
termasuk yang paling utama, yaitu harta berharga dari tulisan dan ucapan, serta kepribadian yang menakjubkan dari
mereka yang Roh Allah pernah hidup dalam dirinya secara penuh.
Secara praktis, formasi spiritual adalah jalan untuk beristirahat bagi yang lelah dan berbeban berat, untuk kuk
yang enak dan beban yang ringan (Matius 11: 28-30), untuk membersihkan bagian dalam cawan dan piring (Mat.
23:26), untuk pohon yang baik yang tidak menghasilkan buah yang buruk (Luk. 6:43). Dan itu merupakan jalan di
mana titah-titah Allah ternyata tidaklah “berat,” tidak “membebani” (1 Yoh. 5:3).
Ini merupakan cara belajar sebagai murid Yesus “untuk melakukan segala hal yang telah Aku perintahkan
kepadamu,” dalam konteks-Nya “Aku telah diberi segala kuasa di surga dan di bumi” dan Lihatlah, Aku menyertai
kamu setiap menit” (lih. Mat. 28:18, 20).
Tetapi, saya tekankan kembali karena hal ini sangat penting, “pembelajaran” utamanya di sini bukanlah
mengenai bagaimana bertindak, sebagaimana kesalahan atau masalah utama dalam kehidupan manusia bukanlah
tentang apa yang kita lakukan. Sering apa yang manusia perbuat sedemikian mengerikan sehingga kita dapat
berdalih, kemungkinan dengan pemikiran bahwa semua yang menjadi masalah itu dapat dihentikan. Namun ini
merupakan pelarian dari kengerian yang sesungguhnya: yakni pusat dari tindakan-tindakan buruk berasal. Pada
kedua kasus tersebut, yang berperan penting adalah siapakah kita dalam pikiran, perasaan, kecenderungan bawaan,
dan pilihan-pilihan dalam kehidupan batin kita. Transformasi yang mendalam merupakan satu-satunya hal yang
secara pasti dapat menaklukkan kejahatan lahiriah.
Sangatlah sulit untuk menjaga agar transformasi tetap dilakukan dari dalam. Kegagalan melakukan hal ini
merupakan penyebab utama ketidakberhasilan untuk bertumbuh secara spiritual. Kasih yang kita dengar adalah
sabar dan ramah (1 Kor. 13:4). Lalu kita melakukan upaya yang salah menjadi orang yang mengasihi dengan
berlaku sabar dan ramah, dan dengan cepat kita mengalami kegagalan. Kita tentu senantiasa melakukan yang terbaik
yang kita bisa dalam tindakan, namun hanya membuat sedikit kemajuan pada gelanggang tersebut hingga kita
berkembang dalam kasih itu sendiri, yaitu kesiapan batin yang tulus dan kerinduan untuk tetap berbuat baik kepada
orang lain. Sebelum kita menghasilkan kemajuan yang signifikan, kesabaran dan keramahan kita bersifat dangkal
dan hanya berumur pendek.
Itu adalah kasih itu sendiri, bukan perilaku mengasihi, atau bahkan bukan keinginan atau dorongan untuk
mengasihi, yang memiliki kekuatan untuk “selalu menutupi, selalu percaya, senantiasa berpengharapan, sabar
menanggung segala sesuatu, dan tidak pernah berhenti” (1 Kor. 13:7-8). Sekadar berupaya berlaku dengan penuh
kasih menyebabkan keputusasaan dan kekalahan kasih. Hal itu akan membuat kita marah dan kehilangan harapan.
Namun sebaliknya, dengan menerima kasih itu sendiri, yakni kasih Allah, kepada kedalaman keberadaan kita
melalui formasi spiritual akan memampukan kita bertindak penuh kasih hingga taraf yang pertama-tama akan
mengejutkan bahkan diri kita sendiri. Dan kasih ini akan menjadi sumber sukacita dan penyegaran yang terus
menerus kepada kita dan orang lain. Sesungguhnya sesuai dengan janji mengenai “mata air yang mamancar sampai
kepada hidup yang kekal” (Yoh. 4:14), bukanlah merupakan beban tambahan untuk dibawa ke dalam kehidupan,
sebagaimana yang pasti terjadi pada “tindakan penuh kasih.”

KESEMPATAN SAAT INI


UNTUK MEMPERBARUI BAHASA serta realitas “formasi spiritual” pada masa kita saat ini dan untuk membuka
kembali jalan menuju realitas itu, Roh Tuhan memanggil umat-Nya untuk hidup dengan dasar transformasi karakter
yang memadai yang menghasilkan ketaatan dan kelimpahan dalam Kristus. Ini sungguh sesuatu yang berbeda. Saat
ini bukanlah kesempatan untuk terus melakukan hal-hal yang sama yang orang-orang Kristen lakukan di masa lalu.
Inilah saat untuk mengubah fokus kita, baik secara perorangan maupun dalam kelompok Kristen kita.
Bila kita sebagai umat yang percaya pada Kristus benar-benar memasuki Jalan Hati Kristus, individu akan
menemukan jalan yang pasti untuk menjadi orang yang mereka inginkan: orang yang benar-benar baik dan saleh,
namun bersih dari keangkuhan, ketidakpekaan, dan keegoisan. Persekutuan kristiani akan menjadi sebagaimana diri
mereka selama banyak periode di masa lalu dan yang dunia serukan saat ini: sekolah kehidupan yang tiada
bandingannya, kehidupan yang bersifat kekal secara kualitas saat ini sebagaimana juga tak berkesudahan secara
kuantitas.
Hal ini dimungkinkan oleh keberadaan roh dan batin manusia, serta proses renovasinya dalam Kristus yang
adalah alam yang teratur, bahkan sekalipun dalam ketidakteraturan akibat kehancurannya, Tuhan membrikan jalan
pemulihan yang bersifat metodik. Anugerah tidak mengesampingkan metode maupun metode anugerah. Anugerah
bertumbuh subur dalam metode dan metode bertumbuh subur pada anugerah.
Oleh karena itu, formasi spiritual di dalam Kristus bukanlah proses yang misterius, irasional, kemungkinan
histeris: sesuatu yang menyerang seperti kilat, kapan pun dan di mana pun, kalau bisa. Atau sesuatu yang secara
ajaib yang dianugerahkan kepada kita ketika kita berdiam di tengah praktik-praktik ritual yang membangkitkan
keingintahuan dan yang kuno. Pengalaman spiritual (Paulus dalam perjalanan ke Damaskus, dan seterusnya)
tidaklah membangun formasi spiritual meskipun itu dapat menjadi bagian yang bermakna dan adakalanya itulah
yang terjadi.
Saya leluasa mengakuinya, bahwa hal ini bertentangan dengan pandangan mengenai anugerah sebagai
sesuatu yang pasif yang dianut secara luas saat ini. Tetapi tatanan jiwa yang ditetapkan Allah di bawah anugerah-
Nya haruslah diungkap, dihormati, dan kita perlu bekerja sama dengannya jika kita ingin memperoleh hasil untuk
pertumbuhan spiritual yang Allah inginkan.
Formasi spiritual dapat dan harus kita sebagai manusia lakukan, baik sebagai individu maupun dalam
persekutuan dengan murid-murid Yesus lainnya. Meskipun hal ini sekaligus merupakan manifestasi mendalam dari
tindakan anugerah Allah melalui firman dan Roh-Nya, hal ini juga yang kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan
dan dapat dirancang untuk dicapai dengan cara yang bijaksana dan sistematik.
Dengan demikian, tujuan buku ini sangatlah praktis. Tujuannya adalah untuk menolong mereka yang
“mencari kerajaan Allah dan kebenaran-Nya” dengan menemukannya dan dengan hidup secara penuh di dalamnya.
Buku ini juga diharapkan dapat menolong para pemimpin kelompok yang dengan serius bermaksud untuk
melaksanakan semua aspek Amanat Agung Kristus dengan melatih orang untuk melakukan apa yang Ia katakan
(Mat. 28:18-20).
Yang terakhir, buku ini menawarkan dirinya kepada setiap orang yang mencari, baik mereka yang secara
eksplisit teridentifikasi sebagai Kristen maupun yang tidak, sebagai jalan menuju kebaikan dalam Tuhan, yaitu yang
dirindukan oleh hati. Buku ini menjadi panduan bagi semua orang yang berhasrat besar untuk memperoleh
kehidupan batin Yesus Kristus sendiri, yang mengizinkannya untuk

Akhirnya, ia menawarkan dirinya kepada setiap orang yang mencari — apakah secara eksplisit diidentifikasi
sebagai Kristen atau tidak — sebagai jalan menuju kebaikan di dalam Tuhan, yang dirindukan oleh hati. Itu akan
menjadi panduan bagi semua orang yang sangat ingin mencapai kehidupan batin Yesus Kristus sendiri,
mengizinkannya

Jadilah penyembuh ganda dari dosa,


Selamatkan dari murka dan jadikan aku murni.7

Bahan Pemikiran dan Diskusi


1. Bagaimanakah Anda memahami janji Yesus tentang “air” yang Ia berikan dan bahwa kita tidak pernah
haus lagi (Yoh. 4:14)? Apa artinya hal itu secara praktis bagi Anda? Bagi orang lain yang Anda kenal?
2. Dapatkah Anda menjelaskan secara rinci sisi spiritual (nonfisik) diri Anda? Dan bagaimana sisi Anda itu
memengaruhi tindakan dan kehidupan Anda? Cobalah untuk perluas gambaran Anda tentang sisi spiritual
para tokoh (seperti misalnya Bunda Teresa dari Kalkuta) dan dari teroris yang berkomitmen.
3. Setuju atau tidak setujukah Anda dengan gagasan bahwa Yesus beserta murid-murid-Nya bermaksud
merevolusi dunia abadi melalui transformasi karakter?
4. Apakah benar bahwa "spiritual" tidak secara otomatis berarti "sesuatu yang baik"?
5. Bandingkan "formasi spiritual" sebagai realitas dan proyek manusia semata dengan formasi spiritual yang
khas Kristen.
6. Isu apa saja masalah yang telah membangkitkan minat yang meluas baru-baru ini dalam formasi spiritual,
baik di kalangan masyarakat yang lebih luas maupun di kalangan orang Kristen?
7. Apakah bahaya pada penafsiran formasi spiritual yang bersifat “eksternal” atau yang “di luar”?
8. Apakah maraknya formasi spiritual belakangan ini menawarkan peluang yang benar-benar agar semakin
dekat dengan tujuan Kristus dan memberkati kehidupan manusia di era kita?

Anda mungkin juga menyukai