REVOLUSI YESUS
DAN PADA KEDUA POIN ini terletak relevansi tentang Yesus yang tak terelakkan terhadap kehidupan
manusia. Sekitar dua ribu tahun yang lalu Yesus mengumpulkan sekelompok kecil teman dan peserta pelatihan-Nya
di lereng bukit Galilea dan mengirim mereka untuk “mengajar semua bangsa” —yaitu, untuk menjadikan semua
kelompok etnis sebagai murid bagi-Nya dari. Tujuan-Nya akhirnya adalah untuk membimbing semua kehidupan
manusia di bumi ke pada hikmat, kebaikan, dan kuasa-Nya sebagai bagian dari rencana Allah yang kekal bagi
semesta ini.
Kita tidak boleh membuat kesalahan mengenai hal itu. Dengan mengirimkan murid-murid-Nya, Ia memulai
revolusi dunia yang terus berlangsung dan tanpa henti: revolusi yang masih terus berproses dan akan terus berlanjut
sampai kehendak Tuhan terjadi di bumi sama seperti di surga. Saat revolusi ini memuncak, semua kekuatan jahat
yang dikenal oleh umat manusia akan dikalahkan, lalu kebaikan Tuhan akan dikenal, diterima, dan ditaati dengan
sukacita dalam setiap aspek kehidupan manusia.1 Dia telah memilih untuk menuntaskan hal ini melalui, dan
sebagian, oleh murid-murid-Nya.
Bahkan sekarang benar, sebagaimana dikatakan oleh malaikat Serafim kepada Yesaya dalam penglihatannya,
bahwa “seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya,” kemuliaan Tuhan yang kudus atas semesta alam (Yesaya 6: 3). Tetapi
harinya belum tiba ketika “bumi akan penuh dengan pengetahuan tentang kemuliaan TUHAN, seperti air yang
menutupi dasar laut” (Habakuk 2:14, penekanan dari penulis).
Revolusi Yesus adalah pertama-tama dan secara terus menerus merupakan revolusi hati atau jiwa manusia.
Revolusi itu bukanlah berlangsung melalui pembentukan institusi sosial dan hukum, yaitu yang merupakan bentuk
luar eksistensi kita, yang bertujuan agar revolusi ini kemudian memaksakan tatanan kehidupan yang baik pada
manusia yang berada di bawah kekuasaan mereka. Sebaliknya, revolusi-Nya merupakan revolusi karakter yang
berlangsung dengan mengubah orang dari dalam melalui hubungan pribadi yang berkelanjutan dengan Allah di
dalam Kristus dan dengan satu sama lain. Revolusi ini mengubah gagasan-gagasan, keyakinan, perasaan, dan
kebiasaan untuk memilih, demikian juga dengan kecenderungan tubuh serta relasi sosial mereka. Revolusi Yesus
menembus hingga lapisan terdalam jiwa mereka. Pengaturan sosial yang bersifat eksternal mungkin bermanfaat
untuk tujuan ini, namun pengaturan sosial bukan merupakan tujuan, apalagi sebagai bagian fundamental dari sarana.
Di sisi lain, oleh perubahan ilahi yang mendalam, struktur sosial secara natural ditransformasi sedemikian
sehingga “keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:24).
Aliran seperti itu tidaklah mengalir melalui jiwa yang rusak. Sebaliknya, yang direnovasi yang berada “di dalam”
tidaklah bekerja sama dengan aliran ketidakbenaran publik. Aliran ketidakbenaran akan menghalanginya, atau
menyulitkannya. Hanya itu yang dapat dilakukannya.
T. S. Eliot pernah menggambarkan usaha manusia saat ini sebagai upaya menemukan sistem keteraturan
yang sedemikian sempurna sehingga kita tidak harus menjadi baik. Sebaliknya, Jalan Yesus memberi tahu kita
bahwa sejumlah sistem — tentu tidak semuanya — akan bekerja dengan baik jika kita benar-benar baik. Dan kita
kemudian bebas mencari yang lebih baik dan yang terbaik.
Ketidakmampuan "sistem" ini adalah alasan utama mengapa Yesus tidak mengirim murid-muridnya untuk
memulai pemerintahan atau bahkan gereja sebagaimana yang kita kenal saat ini, yang selalu menyuarakan dengan
kuat unsur-unsur sistem yang dibuat manusia. Sebaliknya, mereka membangun tempat pijakan pribadi, perkataan,
dan kuasanya di tengah-tengah manusia yang gagal dan sia-sia. Mereka harus menghadirkan kerajaan beserta
Rajanya pada setiap sudut kehidupan manusia hanya dengan hidup secara penuh dalam kerajaan-Nya bersama-Nya.
Mereka yang menerima Dia sebagai Tuhan yang hidup dan pengajar seumur hidup mereka merupakan
“orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya” (Kolose 3:12) dan akan belajar bagaimana “supaya
kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang
bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia,
sambil berpegang pada firman kehidupan” (Filipi 2: 15-16).
Gereja-gereja, yakni persekutuan lokal orang-orang seperti itu, adalah hasilnya secara alami. Gereja bukanlah
kerajaan Allah, melainkan adalah ekspresi utama dan tak terelakkan, pos terdepan, dan instrumen kehadiran kerajaan
1
Allah di antara kita. Mereka adalah “masyarakat”nya Yesus yang terbit di Yerusalem, di Yudea, di Samaria, sampai
ke ujung bumi (Kisah Para Rasul 1: 8), karena realitas Kristus hadir dalam kehidupan manusia biasa. Proses ini
berkelanjutan dan belumlah tuntas saat ini, “Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi
kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya" (Matius 24:14).
MELALUI KEHADIRAN kerajaan-Nya, Yesus menjawab kebutuhan terdalam kepribadian manusia akan
kebenaran, ketetapan, dan tujuan. Jika kita mengesampingkannya, kita masih menghadapi pertanyaan yang tak
terhindarkan: Apa yang membuat hidup kita berjalan berlangsung sebagaimana adanya? Apa yang membuat
kehidupan berjalan sebagaimana yang seharusnya? Ketidakmampuan menemukan jawaban-jawaban yang memadai
membuat kita tanpa kemudi di tengah lautan peristiwa di sekeliling kita maupun ide serta kekuatan apa pun yang
melanda kita. Dan pada dasarnya itulah situasi manusia. Anda dapat melihat hal tersebut mengelilingi kita hari demi
hari.
Selama berabad-abad para cendekia berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, dan mereka sepakat
dengan penemuan yang telah dinyatakan di sini, bahwa yang paling utama mengenai bagaimana kehidupan berjalan
serta harus berjalan adalah apa yang siapakah kita yang berada “di dalam” diri kita. Tentu saja baik yang baik
maupun yang buruk akan menimpa kita. Namun mengenai apa arti hidup kita, sebagian besar kalau bukan
seluruhnya, adalah tentang siapakah kita yang ada di dalam, yaitu setidaknya bagi mereka yang telah mencapai usia
lanjut. Yang ada “di dalam” inilah ajang pembentukan spiritual, dan kemudian, transformasi.
Yang ada di dalam adalah pikiran-pikiran, perasaan, tujuan; serta sumber-sumber yang lebih dalam, apa pun
itu. Kehidupan yang kita hidupi melalui momen, jam, hari, dan tahun-tahun kita memancar dari kedalaman yang
tersembunyi. Apa yang ada di "hati" kita merupakan hal yang lebih penting dibanding apa pun yang membuat kita
menjadi siapakah dan menjadi apakah kita. Syair lagu lama berbunyi, “Kamu di sini di pelukanku, namun di
manakah hatimu?” Inilah hal yang sungguh penting, bukan sekadar perihal relasi individual, melainkan juga
mengenai hidup secara keseluruhan.
Penulis Oscar Wilde suatu kali berujar bahwa setiap orang pada usia empat puluh memiliki wajah yang layak
mereka peroleh. Kata-kata ini merupakan kebenaran yang sungguh dalam, kalau bukan menyakitkan. Namun hal ini
sungguh berlaku bagi “yang di dalam” yang tercermin dari wajah, yaitu pada hati dan juga jiwa, dan bukan pada
wajah semata sebagai area permukaan tubuh semata. Jika hanya sekadar tubuh yang dimaksudkan, tentunya hal itu
tidaklah banyak artinya.
Nah, tepat di permukaan kesadaran dari “dunia dalam” kita terletak beberapa pikiran-pikiran, perasaan, niat,
dan rencana-rencana kita. Hal-hal ini kita sadari dan cukup jelas terlihat oleh orang lain maupun diri kita. Dengan
kata lain, kita secara sadar menghampiri dunia dan tindakan kita yang berada di dalamnya.
Tetapi aspek yang ada di permukaan ini juga merupakan indikasi yang baik tentang sifat umum
ketidaksadaran “spiritual yang berada jauh di dalam,” yakni dari apa sajakah hal itu dibuat. Namun bagaimanapun,
pikiran, perasaan, dan niat yang kita sadari hanyalah bagian kecil saja dari sesuatu yang sungguh-sungguh ada di
kedalaman diri kita; dan hal itu sering kali bukanlah yang paling mengungkapkan siapa diri kita sesungguhnya dan
mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan.
Apa yang sebenarnya kita pikirkan, apa yang sesungguhnya kita rasakan, dan apa yang kita benar-benar akan
lakukan dalam keadaan yang dapat diduga dan yang tak terduga mungkin tidak kita sendiri atau orang-orang yang
akrab dengan kita dapat ketahui sepenuhnya. Kita mungkin berpapasan satu sama lain, bahkan berpapasan dengan
diri kita sendiri, dan jika Anda dapat membayangkannya: seperti “kapal di malam hari.” Kita melakukannya
sepanjang waktu.
Dimensi tersembunyi setiap kehidupan manusia tidaklah terlihat oleh orang lain, bahkan tidak pula dapat
dipahami sepenuhnya oleh diri kita sendiri. Kita biasanya hanya tahu serba sedikit tentang hal-hal yang bergerak
dalam jiwa kita sendiri, mengenai tingkat terdalam dalam hidup kita, atau perihal apa yang mendorongnya. “Batin”
kita luar biasa kompleks dan halus, bahkan licik. Batin kita mengisi hidupnya sendiri. Hanya Tuhan yang
mengetahui kedalaman kita, mengenai siapakah diri kita, dan tentang apa yang kita akan lakukan.
Itu sebabnya pemazmur berseru memohon pertolongan Tuhan untuk mengurus: dirinya sendiri! “Selidikilah
aku, ya Allah.” “Biarlah Engkau berkenan akan . . . renungan hatiku, ya Tuhan.” “Perbaruilah batinku dengan roh
yang teguh!” Pada titik tertentu, diri saya “yang berada jauh di dalam” (hati saya) terbentuk dan saya pun berada
dalam belas kasihnya. Hanya Allah yang dapat menyelamatkan saya.
ASPEK “SPIRITUAL”MANUSIA
SAYA TELAH MEMBICARAKAN mengenai dunia tersembunyi dari diri sebagai sisi spiritual kita. Kata
"spiritual", "roh", dan "spiritualitas" telah menjadi semakin umum saat ini, dan hal ini tak terhindarkan. Tetapi kata-
kata tersebut sering tidak jelas maknanya dan hal ini dapat membahayakan. Ketidakjelasan makna dapat membuat
kita bingung dan hancur. “Spiritual” tidak otomatis berarti “baik.” Kita harus benar-benar berhati-hati dengan istilah
ini. Meskipun demikian, pengertian “spiritual” yang hanya berarti “nonfisik,” dunia tersembunyi atau dunia dalam
pada diri manusia memang benar-benar adalah spiritual.
Menariknya, seluruh kemajuan pengetahuan ilmiah kita yang bagus, produk pemikiran manusia yang
membanggakan, tidaklah memberitahu kita apa-apa mengenai kehidupan dunia dalam manusia. Hal yang sama juga
terjadi pada semua bidang studi yang berusaha mendasarkan diri pada pengetahuan itu. Sains paling banyak hanya
mampu mengindikasikan beberapa korelasi yang menarik dan penting antara kehidupan dunia dalam kita dengan
peristiwa-peristiwa dalam dunia fisik dan sosial yang berjalan bersamanya.
Hal ini karena pokok bahasan sains tepatnya adalah dunia luar, bersifat fisik, terukur, dan merupakan dunia
yang teramati secara kasat mata oleh publik: yaitu yang sering kita katakan secara umum sebagai dunia
“pancaindra.” Sifat dunia fisik ini memiliki jenis realitas yang sepenuhnya berbeda dengan sisi spiritual
kemanusiaan, yang tetap “tersembunyi” yang tidak akan pernah dapat teramati dalam dunia fisik. Saat ini, hal
tersebut merupakan cerita lama, namun sering ditekan atau dilupakan. Sains kehilangan hati.
Sisi “spiritual” kita, paradoksnya, tidaklah pernah sepenuhnya lenyap dari pikiran kita, meskipun hal tersebut
tidak tertangkap oleh pancaindra kita. Spiritual senantiasa berada di tepi, jika bukan berada di pusat, kesadaran kita.
Benar-benar spiritual merupakan satu-satunya hal yang dirayakan (atau diturunkan derajatnya) dalam seni, biografi,
dan sejarah, dan dalam sebagian besar tulisan-tulisan populer di majalah dan sebagainya. Mereka terus-menerus
menekankan pada apa yang orang pikirkan dan rasakan, pada apa yang mungkin atau harus mereka lakukan dan
mengapa mereka melakukannya, dan pada jenis karakter yang mereka miliki. Manusia tidak “bergosip” tentang hal
yang lain, dan saat ini, banyak yang disebut sebagai “berita” sebenarnya semata-mata adalah gosip.
Tetapi hal itu hanyalah menekankan mengenai kita yang menyadari terus akan sisi kehidupan spiritual. Kita
segera mengetahui bahwa memang itulah yang sesungguhnya bermakna. Kita lebih menaruh perhatian pada hal
tersebut pada diri kita dan orang lain melebihi apa pun juga. Ada hikmat yang dalam dalam hal ini, meskipun sering
diselewengkan. Sebab spiritual adalah kehidupan kita semata, tidak peduli apa pun teori besar yang kita anut atau
apa yang kita mungkin katakan ketika berupaya menjadi “intelektual,” “memiliki pengetahuan yang baik,” maupun
“up-to-date.”
Minat yang tidak dapat dilenyapkan ini menjelaskan mengapa di beberapa dekade sekarang ini dan dengan
banyak cara, spiritual dalam pengertian kemanusiaan yang inklusif, berulang kali mendesakkan dirinya ke garis
depan kesadaran kita. Dari pemberontakan seni dan budaya tahun enam puluhan hingga environmentalisme dan
"spiritualitas" yang tak terhitung jumlahnya di tahun sembilan puluhan, dari era baru budaya pop hingga
posmodernisme perguruan tinggi, protes yang membesar dari kedalaman kemanusiaan baru-baru ini meneriaki kita
bahwa fisik dan sisi publik alam semesta manusia tidaklah mampu menopang keberadaan kita. “Manusia hidup
bukan dari roti saja.” Kita sebaiknya mendengarkan, tidak peduli siapa pun yang berbicara.
Tentu saja ini adalah kata-kata Yesus. Dan jalan-Nya adalah jalan kebenaran bagi hati atau jiwa. Bila kita
berjalan bersama-Nya, kita harus berjalan dengan-Nya pada level interior. Hanya sedikit orang yang benar-benar
tidak memahami hal ini tentang-Nya. Ia menyelamatkan kita melalui restorasi realistik hati kita kepada Allah dan
kemudian tinggal bersama Bapa-Nya melalui Roh ilahi. Dengan demikian, hati yang direnovasi dan yang dihuni
adalah satu-satunya harapan nyata umat manusia di bumi.
Pernyataan bahwa " Manusia hidup bukan dari roti saja" diadaptasi oleh Yesus dari sejarah pengalaman
orang Yahudi bersama Tuhan. Di antara perihal yang lain, Yesus merupakan ekspresi yang paling dalam dan kuat
pengalaman itu. Namun pengalaman itu juga diberi makna baru dan mendalam melalui kematian dan kebangkitan-
Nya. Melaluinya, Ia membangun tatanan kehidupan baru yang radikal di bumi di dalam kerajaan Allah. Tatanan
baru itu bebas dari bentuk etnik atau budaya yang mana pun. Segenap manusia dapat menghidupi kehidupan dari
hati yang direnovasi sekarang dengan terus menerus memberi asupan kepada diri sendiri melalui kehadiran-Nya
secara pribadi, saat ini dalam dunia kita, melampaui kematian-Nya dan kematian diri kita.
Berlawanan dengan yang banyak orang katakan dewasa ini, pembebasan (keselamatan) kita tidaklah muncul
dari kedalaman manusia yang berkabut, yaitu dari sumber kehidupan alami kita, baik meliputi ataupun tidak
meliputi “roh ilahi” atau “ketidaksadaran kolektif.” Tetapi Yesus masuk ke dalam dan melalui yang sangat dalam
itu, apa pun isinya, untuk dibawa pulang kepada Allah. Di sana pun, Ia adalah Tuhan. Renovasi spiritual dan
“spiritualitas” dari Yesus tidak lain adalah invasi realitas kemanusiaan natural oleh kehidupan supranatural “yang
berasal dari atas.”
3
dari sebuah survei tentang sejarah dunia, budaya dunia, dan usaha-usaha masa lalu dan masa kini untuk
menangani kehidupan manusia melalui agama, pendidikan, hukum, dan medis. Dan pengamatan ini,
sayangnya, teguh berdiri ketika kita mempertimbangkan banyak teknik yang diajarkan oleh berbagai aliran
psikologi dan pandangan spiritualitas yang saling bersaing pada masa kita sekarang.
Transformasi sejati keseluruhan pribadi seseorang menuju kebaikan dan kuasa terlihat pada diri Yesus dan
“Abba” Bapa-Nya, yaitu satu-satunya transformasi yang memadai terhadap diri (self) manusia, tetaplah menjadi
tujuan hidup manusia yang dibutuhkan. Namun hal itu ada di luar jangkauan program-program transformasi batin
yang hanya mengandalkan roh manusia, sekalipun jiwa manusia itu sendiri diperlakukan sebagai yang paling ilahi.
Kenyataan tentang semua ini tidak terlihat oleh kekristenan yang bertaraf sangat rendah yang saat ini berada
di hadapan masyarakat umum. Level rendah itu menjelaskan mengenai mengapakah saat ini ada sedemikian banyak
psikolog dan tokoh spiritualitas yang saling bersaing di bidang itu, sering pula dipimpin atau didominasi oleh
mantan orang Kristen yang telah meninggalkan bentuk-bentuk kekristenan yang diakui, yang memandangnya
sebagai tidak berpengharapan atau bahkan berbahaya.
Akhir-akhir ini ada minat yang besar dan luas terhadap formasi spiritual, dan yang mengatasnamakan formasi
spiritual, yang muncul di banyak kelompok kalangan orang-orang Kristen dan para pemimpin mereka. Mengapakah
demikian? Terutama oleh kesadaran yang dikonfirmasi saat ini oleh banyaknya penelitian yang cermat dan saksama
serta kesaksian melimpah yang belum dibuktikan, dalam bentuk kekinian di publik, kekristenan belum memberikan
jawaban yang efektif atas pertanyaan-pertanyaan vital mengenai eksistensi manusia. Setidaknya belum memberi
jawab kepada banyak orang yang mengaku dirinya Kristen, dan tampaknya juga tidak menjawab buat mereka yang
nonKristen. Dan formasi spiritual saat ini menampilkan dirinya sebagai kemungkinan yang memberi harapan bagi
jiwa manusia yang meratap yang tak terpenuhi kebutuhannya. Harapan merekah sekali lagi untuk menanggapi
kebutuhan yang mendalam yang berakar pada tradisi Kristen sekaligus sangat relevan dalam lingkungan kehidupan
kekinian.
ALLAH SECARA PERIODIK menggerakkan umat-Nya dan budaya di sekitar mereka untuk mencapai tujuan
kekal-Nya untuk rentang waktu yang sangat singkat waktu kosmik yang kita sebut sebagai “sejarah manusia.”
Biasanya hal ini terjadi melalui cara-Nya dan sama sekali bukan cara manusia yang Ia rencanakan atau yang
sesuai pandangan-Nya tentang masa depan yang berada jauh melampaui kendali atau pemahaman kita.
Biasanya setelah fakta kejadian, kita menemukan bahwa telah terjadi peralihan yang kuat mendalam. Hal itu
mungkin terjadi pada individu, kelompok, atau seluruh kebudayaan. Cara lama untuk bekerja tidak lagi efektif,
meskipun cara itu sangat berdaya di masa lampau. Muncul bahaya yang sungguh nyata ketika kita menetapkan hal
yang berlawanan pada diri kita tentang apa yang Allah benar-benar kerjakan saaat ini dan yang akan dikerjakan-Nya
di masa depan. Sering kita kehilangan kesempatan untuk bertindak bersama Allah pada saat sekarang ini. Kita gagal
menemukan kantong kulit anggur yang baru untuk anggur baru dengan cukup cepat.
Contoh gerakan baru TUHAN adalah apa yang terjadi pada kemunculan orang-orang Ibrani dari Mesir
“ketika waktunya tepat” dan terjadi lagi pada masuk dan keluarnya mereka dari pembuangan di Babilonia. Lalu
sekali lagi, kita melihatnya pada kemunculan orang-orang “Kristen” pada budaya Yahudi dan kemudian munculnya
“tubuh Kristus” dari yang bukan etnik Yahudi pada gereja Yahudi.
Sejak saat itu, gerakan yang mendalam dan berkuasa dari Tuhan terjadi lagi dan lagi ketika Kristus tinggal
bersama umat-Nya di bumi: melimpahnya penyembahan berhala klasik, munculnya bentuk-bentuk biara dalam
ibadah Kristen, biarawan, Fransiskan, dan transformasi Devotio Moderna dalam monastisisme (kebiaraan),
Reformasi Protestan, Pietisme, kebangkitan Wesleyan dan kebangkitan Amerika, dan banyak gerakan lain yang
kurang memiliki dampak historis, seperti pemberontakan kontra-budaya karismatik abad ke-20 ("Orang-orang
Yesus," dan seterusnya). Kebangkitan dan bekerjanya gerakan-gerakan seperti itu jelas merupakan hasil karya
tangan Tuhan di tengah-tengah kita.
Dan Tuhan masih bergerak. Pencarian akan formasi spiritual (benar sebagaimana yang diindikasikan, yakni
transformasi spiritual) pada kenyataannya adalah fakta yang telah berusia tua dan mendunia. Formasi spiritual
berakar pada kebutuhan personal yang mendalam, bahkan bersifat biologis, yakni kebutuhan akan kebaikan
kemanusiaan yang terus muncul. Formasi spiritual mengambil banyak bentuk dan saat ini pada awal abad
keduapuluhsatu mengemuka kembali untuk memenuhi situasi kekinian kita. Saya yakin ini merupakan bagian dari
gelombang pasang kehidupan Allah yang akan mengangkat hidup kita saat ini menuju kekekalan. Hati kita berseru,
"Tuhan, aku ingin menjadi orang Kristen dalam hatiku."
Jadi, pencarian yang saat ini dirasakan sedemikian dalamnya, merupakan hal yang baru sekaligus juga sangat
tua, yang sangat menjanjikan sekaligus penuh dengan bahaya, yang menerangi sekaligus melimpahkan karunia atas
kekurangan dan kegagalan kita, adalah ekspresi pencarian kekal manusia dan merupakan kebutuhan manusia yang
tak pernah sirna akan Tuhan. Pencarian masa kini akan formasi spiritual ini merupakan pencarian yang esensial akan
hidup Tuhan dalam diri umat-Nya tatkala mereka bergerak menuju pemenuhan akan tujuan-Nya terhadap masa kini
dan masa selanjutnya.
Dari sudut pandang sosiologis dan historis sebagaimana juga spiritual, dorongan yang baru ini adalah sebuah
aspek pembubaran denominasi Protestan sebagaimana yang kita kenal dan munculnya identitas baru, namun yang
juga lama, yaitu identitas bagi umat kristiani; yang melintasi semua garis denominasi dan kebangsaan, serta batas-
batas natural.
Saat ini secara umum diketahui bahwa pertanyaan, “Apakah saya seorang Kristen?” tidak lagi dapat dijawab
dengan cara mengutip nama atau simbol-simbol denominasi, etnik, atau kebangsaan. Ada 33.800 denominasi
Kristen yang berbeda-beda saat ini di dunia.4 Jelaslah bahwa sebuah jawaban yang memadai haruslah lebih dalam
daripada asosiasi religius kita. Jawabannya harus merujuk pada siapakah kita yang berada dalam hati kita, di
hadapan Allah, di kedalaman kemanusiaan kita, yang senantiasa menjadi titik fokus dari formasi spiritual Kristen.
Jawaban seperti itu selalu dibutuhkan “di hadapan Tuhan.” Siapakah dapat menyangkalnya? Namun hal itu
tidak selalu disadari dan mendapatkan penekanan di kalangan kita, terutama tidak demikian pada beberapa waktu
yang lalu, meskipun kita semakin menyadarinya saat ini. Perubahan ini sungguh amat baik dan sangatlah
menjanjikan dari orang-orang Kristen di seluruh dunia beberapa waktu belakangan ini
DI PENDAHULUAN KAMI KATAKAN bahwa formasi spiritual bagi orang Kristen pada dasarnya merujuk
pada proses yang digerakkan Roh untuk membentuk dunia batin diri manusia sedemikian rupa hingga menjadi
serupa dengan keberadaan batin Kristus sendiri.5 Seiring dengan itu, kita perlu melakukan kajian secara hati-hati
apa maksudnya untuk masa sekarang. Namun kita dapat katakan sejak awal bahwa tingkat keberhasilan formasi
spiritual dalam Kristus itu terjadi ketika kehidupan luar individu menjadi ekspresi natural atau arus yang keluar dari
karakter serta pengajaran Yesus.
Formasi spiritual Kristen dipusatkan sepenuhnya pada Yesus. Tujuannya adalah ketaatan atau penyesuaian
diri pada Kristus yang muncul dari transformasi batin, dicapai melalui interaksi yang disengaja dengan anugerah
Allah dalam Kristus. ketaatan merupakan hasil utama formasi spiritual Kristen (Yoh. 13:34-35; 14:21).
Tetapi manisfestasi eksternal “keserupaan-dengan-Kristus” bukanlah fokus dari proses. Maka ketika
manifestasi eksternal menjadi penekanan utama, proses itu terkalahkan, terjatuh dalam legalisme yang mematikan
dan parokialisme yang tidak bermakna. Itulah yang begitu sering terjadi di masa lalu, dan fakta ini adalah
penghalang utama untuk dapat mendekap formasi spiritual Kristen sepenuh hati di masa sekarang. Kita tahu
sekarang bahwa pakaian, perilaku, dan organisasi yang khas bukanlah pokok dari formasi spiritual.
“Eksternalisme,” demikianlah kita menyebutnya, bahkan merupakan bahaya di zaman Perjanjian Baru.
Namun “Rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu,” merupakan semboyan abadi pembentukan formasi spiritual
Kristen (Galatia 4:19). Kata ini diperkuat oleh pencerahan moral dan spiritual yang mendalam bahwa sementara
“hukum yang tertulis (Taurat) mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2 Kor. 3:6).
Secara singkat, ada gambaran tentang pengajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit (Matius 5-7) yang merujuk
pada berbagai perilaku salah: melampiaskan kemarahan, perzinaan, perceraian tanpa belas kasihan, manipulasi
verbal, membalas kejahatan dengan kejahatan, dan sebagainya. 6 Namun sebagaimana banyak pengalaman
mengajarkan, hanya dengan berjuang untuk melaksanakan perbuatan sesuai dengan ajaran-Nya hidup dalam
kerajaan Allah dari dalam hati merupakan usaha yang mustahil. Dan itu juga menyebabkan kita melakukan hal-hal
yang jelas salah dan bahkan konyol, seperti misalnya pengebirian diri sebagai tindakan yang dianggap sebagai
pengabdian kepada Kristus, yang malangnya terjadi berulang kali dalam sejarah kekristenan.
6
Penafsiran mengenai formasi spiritual “bagian luar”, penekanan pada perbuatan tertentu, hanyalah
menambah “’kebenaran’ ahli Taurat dan orang Farisi.” Sekali lagi dan lagi, kita tidak akan mencapai transformasi
sejati tentang siapakah saya melalui cara itu, untuk “hidup lebih benar” (Mat. 5:20) sebagai laki-laki dan perempuan
milik Kristus, untuk hidup berlimpah dalam kerajaan-Nya.
Akhirnya, ia menawarkan dirinya kepada setiap orang yang mencari — apakah secara eksplisit diidentifikasi
sebagai Kristen atau tidak — sebagai jalan menuju kebaikan di dalam Tuhan, yang dirindukan oleh hati. Itu akan
menjadi panduan bagi semua orang yang sangat ingin mencapai kehidupan batin Yesus Kristus sendiri,
mengizinkannya