Anda di halaman 1dari 6

Bersikap Kritis terhadap Nilai-Nilai Universal di dalam Masyarakat

Di dalam pelajaran ini kita akan membahas berbagai nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat. Nilai yang dianut seseorang, atau kelompok masyarakat biasanya
dijadikan landasan pengarah hidup, alasan dan motivasi hidup. Salah satu hal penting yang
berhubungan dengan itu ialah bagaimana remaja Kristen dibimbing dalam menganut sebuah
nilai yang sesuai dengan imannya.
Nilai adalah perasaan tentang apa yang diinginkan atau tidak diinginkan yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai itu. Semua orang memiliki tata nilai
yang digunakannya untuk menilai baik atau buruknya sesuatu di dalam kehidupannya: hal-
hal jasmani, cipta, rasa, karsa, kepercayaan, keyakinan dan sebagainya. Nilai ideal memang
abstrak dan hanya bersifat ide serta luhur, karena itu, ia tidak dapat ditangkap oleh
pancaindra. Manusia memperoleh nilai ini dari lingkungannya, seperti ayah-ibu, adik-kakak,
kerabat, masyarakat bahkan dunia. Ketika semakin dewasa, ia pun dapat
mempertimbangkan baik-buruknya nilai yang dipegangnya itu. Karena itu, nilai itu dapat
berubah, tergantung pada kekuatan kepribadian seseorang dan lingkungan yang
mempengaruhinya.
Di dalam kehidupan sehari-hari nilai dirumuskan dalam bentuk norma yang dijadikan
sebagai ukuran, patokan dalam menilai tindakan dan perilaku manusia. Dengan kata lain,
norma menjadi syarat untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang. Norma
diwujudkan dalam bentuk larangan, keinginan, perintah, celaan, dan sebagainya, yang
bertujuan untuk mengatur, menjaga dan memelihara keluhuran nilai yang dianut oleh orang
atau masyarakat tersebut.
Norma adalah hasil kesepakatan bersama di dalam suatu masyarakat atau kelompok,
sehingga setiap anggota dapat menerimanya dan menaatinya dalam kehidupannya. Jadi,
norma adalah petunjuk-petunjuk untuk hidup yang berisi perintah atau larangan agar setiap
manusia berperilaku sesuai dengan aturan atau norma itu. Norma dibuat dengan tujuan
untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian serta kerukunan dalam kehidupan bersama
dalam masyarakat, baik di bidang keagamaan, kesusilaan, kesopanan, adat-istiadat, hukum
dan sebagainya, termasuk di dalamnya tata tertib sekolah.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap norma, maka pelaku dikenakan sanksi. Bila
pelanggaran itu menyangkut hukum dan peraturan, maka sanksi yang dikenakan tentunya
didasarkan pada ketetapan yang disusun di dalam hukum atau peraturan tersebut (sanksi
kurungan atau denda). Namun, banyak juga pelanggaran norma yang tidak secara nyata
diatur di dalam bentuk hukum atau peraturan. Apabila terjadi pelanggaran atas norma yang
seperti ini, lazimnya bentuk sanksi yang diberlakukan berbeda, misalnya si pelanggar
dikucilkan dari pergaulan, dicemooh, dan lain sebagainya.
Berikut ini ada beberapa contoh nilai dan norma yang berlaku secara universal di
dalam masyarakat yang perlu kita sikapi dengan kritis, sesuai dengan iman Kristen, antara
lain:
1. Kekayaan dan Kebahagiaan
Pada umumnya orang menganggap kekayaan adalah sumber kebahagiaan; orang
yang tidak kaya tidak akan berbahagia. Karena itu, banyak orang yang berusaha mengejar
kekayaan karena mereka mengira setelah kaya mereka akan berbahagia.
Inilah nilai yang seringkali kita temukan di dunia. Cobalah lihat iklan-iklan di berbagai
media massa. Banyak sekali yang mempromosikan barang-barang mewah yang hanya dapat
dimiliki orang yang memiliki banyak uang. Tetapi benarkah semua barang-barang mewah
dan harta melimpah akan memberikan kebahagiaan kepada kita? Kenyataannya kita sering
mendengar kisah tentang orang-orang yang kaya namun tidak berbahagia. Michael Jackson,
misalnya, penyanyi hebat yang memiliki harta berlimpah, ternyata adalah orang yang sangat
kesepian. Bahkan rumah mewah dengan taman bermain yang indah kepunyaannya,
“Dreamland”, pun tidak mampu memberikan kebahagiaan baginya.
Tuhan Yesus pernah dicobai oleh Iblis. Iblis membawa-Nya ke atas gunung yang
sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan
kemegahannya, dan berkata kepada-Nya: “Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau
sujud menyembah aku” (Mat. 4:8-9). Namun Tuhan Yesus menolak semuanya. Ia tahu bahwa
kekayaan dunia bukan sumber kebahagiaan, dan kalaupun orang ingin memiliki kekayaan,
caranya bukanlah dengan menyembah sujud kepada Iblis. Tuhan Yesus berkata, “…di mana
hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6:21).
Apakah ini berarti orang Kristen tidak boleh kaya? Sama sekali tidak! Namun kita
harus selalu mengingat bahwa kekayaan adalah anugerah dari Tuhan yang harus kita
pergunakan bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga demi kemuliaan Tuhan dan
kesejahteraan sesama kita.
2. Kedudukan
Di dalam masyarakat, semua orang mempunyai kedudukan. Bedanya, ada yang
kedudukannya rendah, ada pula yang kedudukannya tinggi. Yang kedudukannya dianggap
rendah biasanya adalah orang yang miskin, kurang berpendidikan, atau orang-orang yang
dilahirkan dalam kelas sosial yang rendah (mis. orang yang berkasta Sudra di India, atau
mereka yang bahkan tidak berkasta).
Di dunia, orang yang berkedudukan tinggi itu dianggap hebat. Mereka selalu
dinomorsatukan. Dalam pesta-pesta mereka diberikan tempat yang paling terkemuka.
Apabila mereka tidak mendapat perlakuan istimewa seperti ini, ada kalanya mereka
tersinggung dan marah.
Bagaimanakah iman Kristen memandang norma masyarakat yang menganggap
kedudukan itu penting? Sudah tentu, kedudukan itu penting dan berharga. Bila seseorang
memiliki kedudukan yang tinggi, ia dapat menciptakan perubahan yang besar di
lingkungannya: organisasi, partai, pemerintahan, dll. Namun kedudukan bukanlah segala-
galanya. Surat Yakobus, misalnya, memperingatkan agar orang Kristen tidak terkesima oleh
kedudukan. Sebaliknya, orang miskin pun tidak boleh kita anggap rendah atau remeh karena
kemiskinannya.
Yakobus juga memperingatkan orang yang kaya dan mereka yang berkedudukan
tinggi agar tidak menganggap bahwa semua itu akan membuat ia dihormati secara
berlebihan. Ketika ia menganggap dirinya sebagai tamu paling penting di sebuah pesta atau
acara, bukan mustahil pada suatu kali ada orang yang lebih tinggi daripadanya sehingga ia
justru akan disuruh pindah ke tempat lain. Bukankah hal itu akan membuat ia justru
dipermalukan? (Yak. 2:2-5)
Tuhan Yesus mengingatkan, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu,
hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara
kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Mrk. 10-42-43).
Pada kenyataannya, Yesus tidak hanya mengajar tentang merendahkan diri, bahkan
juga menjalankannya dalam hidup-Nya. Rasul Paulus dalam Filipi 2:5-11 melukiskan bahwa
Tuhan Yesus tidak memperhitungkan kedudukan-Nya yang tinggi dan penting. Ia bahkan
melepaskan semuanya, “mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah
merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
3. Kemasyhuran
Kemasyhuran hampir sama dengan kedudukan. Perbedaannya, orang yang
berkedudukan tinggi tidak selalu termasyhur, dan orang yang termasyhur tidak selamanya
berkedudukan tinggi. Ada banyak artis, penyanyi, model, yang termasyhur karena mereka
sering muncul di media massa, namun dari segi pengaruh mungkin tidak begitu besar
dampaknya. Namun demikian, banyak orang yang suka mencari kemasyhuran. Mereka
senang bila mendapatkan perhatian dari orang banyak.
Ketika Yesus dicobai, Ia pun ditawarkan kemasyhuran oleh Iblis. Iblis mengajak Yesus
ke bubungan Bait Allah di Yerusalem. Iblis menantang Tuhan Yesus, “Jika Engkau Anak Allah,
jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan
malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-
Mu jangan terantuk kepada batu.” Ah, sungguh suatu kesempatan yang sangat hebat. Tuhan
Yesus akan segera termasyhur ke mana-mana.
Tuhan justru menolak tantangan dan tawaran itu. Bagi-Nya, hal itu sama saja dengan
mencobai Allah. Belakangan, ketika Ia mulai menyembuhkan banyak orang, Ia juga melarang
murid-murid-Nya memberitahukan kepada siapapun tentang Dia (Mrk. 8:27-30). Ia tidak ingin
orang mengikut Dia hanya karena menyaksikan dan mengalami mukjizat-mukjizat-Nya atau
karena kemasyhuran-Nya belaka. Tuhan Yesus tahu bahwa kenyataan bahwa Mesies harus
menderita tidak dapat diterima oleh banyak orang, bahkan murid-murid-Nya sekalipun. Itulah
sebabnya, kemasyhuran bukanlah sesuatu yang penting bagi Yesus. Nilai-nilai Yesus memang
radikal dan berlawanan dengan nilai-nilai dunia umumnya.
4. Persahabatan
Pada bulan Juni 2008 beredar laporan tentang sebuah kelompok siswi SMU yang
menamakan dirinya “Geng Nero” di Juwana, Pati, Jawa Tengah yang menampar, memukuli
teman-temannya sebagai syarat untuk bergabung dengan kelompok itu. Digambarkan di situ
bahwa orang-orang yang baru bergabung itu diam saja menerima perlakuan seperti itu.
Itu adalah gambaran yang konkret tentang betapa seorang remaja seperti Anda
sangat membutuhkan seorang sahabat. Banyak remaja yang merasa frustrasi apabila
mereka tidak mempunyai sahabat. Namun apa artinya menjadi sahabat? Apa arti sebuah
persahabatan?
Aristoteles (384-322 SM), filsuf terkenal dari Atena, mendefinisikan persahabatan
sebagai satu jiwa yang tinggal di dalam dua tubuh. Suatu gambaran yang sangat indah,
bukan? Aristoteles juga mengatakan bahwa mencari sahabat itu mudah, namun membangun
persahabatan membutuhkan upaya yang sangat berat.
Nilai persahabatan yang umumnya berlaku di dunia adalah kesetiakawanan. Seorang
sahabat biasanya dituntut untuk siap menolong dan membela sahabatnya yang menghadapi
masalah. Itulah artinya “setia kepada kawan”.
Dalam praktiknya, setia kawan sering keliru diterjemahkan. Di beberapa tempat di
Indonesia, tawuran (perkelahian beramai-ramai di jalan-jalan) sering dianggap sebagai wujud
solidaritas untuk membela nama kelompok, desa, sekolah, korps dan kesatuan atau membela
seorang teman yang dipukul oleh seseorang dari kelompok lain. Bukannya menyelesaikannya
melalui jalur hukum, orang-orang ini malah turun ke jalan-jalan, saling melempari dengan
batu atau benda-benda lainnya, melakukan tawuran untuk menunjukkan kesediaan mereka
membela temannya.
Persahabatan juga sering digunakan untuk menjerumuskan teman ke dalam
kehancuran. Misalnya, seseorang yang mengajak temannya untuk mencoba-coba
menggunakan narkoba. Atau, seseorang yang mengajak temannya untuk melacur atau
menjual diri.
Kembali pada definisi Aristoteles, bila persahabatan itu benar-benar merupakan satu
jiwa yang tinggal di dalam dua tubuh, maka seorang sahabat sejati tentu tidak akan rela
menjerumuskan temannya.
Di dalam Alkitab, Tuhan Yesus melangkah lebih jauh daripada sekadar bersikap
solider dengan teman. Rasul Paulus mengatakan, “Karena waktu kita masih lemah, Kristus
telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah. Sebab
tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar –tetapi mungkin untuk orang yang
baik ada orang yang berani mati. Akan tetapi, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh
karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa (Rm. 5:6-8).
Paulus melukiskan bahwa Yesus bersedia mati bukan untuk membela orang yang
benar, tetapi untuk orang yang bersalah dan durhaka seperti kita semua. Inilah wujud
persahabatan yang terdalam, yaitu kasih agape, kasih tanpa pamrih, kasih yang bersedia
berkorban demi kebaikan orang yang dikasihi, meskipun orang itu sesungguhnya tidak layak
menerimanya.
Berdasarkan teladan Yesus Kristus, kita pun dipanggil untuk mewujudkan nilai
persahabatan seperti ini: menolong dan mengasihi teman-teman kita, bahkan juga berpihak
kepada mereka yang lemah dan yang sesungguhnya tidak layak menerima kepedulian dan
kasih kita. Keteladanan Yesus Kristus mestinya memberikan kita kekuatan untuk
melaksanakannya.
Iman Kristen dan Nilai-Nilai Kristiani

Mengasihi Musuh
Ciri kasih dalam kekristenan adalah mengasihi tanpa mengharapkan imbalan. Jika
kita mengasihi, maka hendaknya kita mengasihi dengan tulus tanpa mengharapkan balasan,
karena Allah juga mengasihi kita tanpa mengharapkan imbalan.
Nilai yang unik dalam iman Kristen adalah “mengasihi musuh”. Kalau Yesus meminta
kita untuk mengasihi musuh, maka sebenarnya yang Yesus inginkan: usahakanlah jangan
menjadi musuh bagi orang lain dan jangan menganggap orang lain sebagai musuh. Kita
dapat saja marah atau tidak suka dengan perilaku orang lain, tetapi jangan menjadikan dia
musuh; sebaliknya orang itu harus kita kasihi.
Beberapa cara yang Yesus ajarkan untuk mengasihi musuh:
 Mengasihi dengan tulus.
Maksudnya menerima keberadaan orang tersebut apa adanya, lengkap dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Dengan bersikap demikian, maka kita memperlakukan
orang itu sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri. Bukankah Allah juga
mengasihi kita apa adanya (Yoh. 3:16), bahkan tidak dibalaskan-Nya kepada kita segala
kesalahan kita (Mzm. 103:10)? Mengasihi dengan tulus berarti kita juga dapat
membangun komunikasi dengannya, sehingga kita bisa memperbaiki dan memperbarui
hubungan dengannya.
 Menegur dengan kasih.
Di dalam percakapan Yesus dengan perempuan Samaria (Yoh. 4:1-42), Yesus tidak marah-
marah kepadanya. Yesus tidak membeberkan segala kesalahannya kepada orang lain,
sebaliknya dengan cara yang lemah lembut Yesus menegur kesalahannya di bawah empat
mata sehingga ia tiba pada kesadaran bahwa drinya berdosa lalu bertobat (Mat. 18:15).
Kalaupun kita menceritakan kesalahan seseorang kepada orang lain, hendaklah itu
didasari oleh keinginan agar orang lain turut menegur orang itu dengan kasih, bukan agar
orang lain turut membenci atau mempergunjingkan orang yang melakukan kesalahan itu.
 Mendoakannya dan tidak membalas.
Ketika Yesus disalib, Ia mendoakan orang-orang yang menyalibkan Dia, “Ya Bapa,
ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34).
Allah sendiri telah menetapkan bahwa hak dendam dan pembalasan adalah hak Tuhan,
bukan hak manusia (Ul. 32:35). Oleh karena itu, orang percaya tidak memiliki hak atas
dendam dan pembalasan; itu hak Tuhan.
 Tidak menghakimi.
Ketika orang banyak datang membawa seorang perempuan yang kedapatan berzinah
kepada Yesus untuk dihakimi (Yoh. 8:1-11, 4:1-42), Yesus tidak ikut membenci dia. Yesus
juga tidak menghukum dia, bahkan berkata kepada orang banyak itu, “Barangsiapa di
antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada
perempuan itu.”
Ternyata tidak ada yang melakukannya; itu berarti mereka juga orang berdosa. Maka
Yesus bertanya kepada perempuan itu, “Di manakah mereka? Tidak adakah seorang yag
menghukum engkau?”
Perempuan itu menjawab, “Tidak ada, Tuhan.”
Lalu kata Yesus, “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa
lagi.”
Dengan bertindak demikian, bukan berarti Yesus setuju dengan perbuatan perempuan
tersebut. Yesus melakukan tindakan demikian untuk menyadarkan masyarakat tentang
betapa mudahnya menilai orang lain sementara bersikap sok suci dan sok benar. Dengan
cara ini Yesus menyadarkan orang banyak itu bahwa mereka pun adalah orang-orang
berdosa. Yesus menyadarkan mereka akan kemunafikan mereka. Pendekatan Yesus ini
ternyata juga menggugah perempuan itu sehingga ia pun mengakui kesalahannya.
 Mengampuni.
Petrus bertanya kepada Yesus, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni
saudaraku jika ia berbuat dosa kepadaku?” Yesus mejawab, “Sampai tujjuh puluh kali
tujuh kali.” Itu berarti, kita tidak boleh bosan mengampuni. Kita harus terus-menerus
memaafkan dan mengampuni orang yang bersalah kepada kita tanpa batas (Mat. 18:21-
35).

Rela Berkorban
Kata korban dapat diartikan sebagai tumbal. Rela berkorban berarti memberikan diri
untuk kepentingan orang lain; dan hanya Yesuslah yang dapat memenuhi panggilan itu
dengan sempurna. Pengorbanan-Nya tidak tanggung-tanggung, yaitu menyerahkan nyawa-
Nya untuk keselamatan manusia. Pengorbanan sampai mati yang Ia jalani bukan
pengorbanan yang biasa saja, melainkan melalui penghukuman mati di atas kayu salib (Flp.
2:5-8, Yoh. 15:11-14).
Setia
Ketika kita ingin berhasil mengerjakan suatu usaha yang diinginkan, yang sangat kita
butuhkan adalah kesetiaan untuk mengerjakannya dengan tekun sampai berhasil. Sikap setia
mungkin belum terlihat ketika seseorang memulai suatu upaya. Kesetiaan akan tampak di
dalam proses menuntaskan upayanya dari awal hingga akhir. Demikianlah Yesus setia
menyelamatkan manusia (Flp. 2:8). Contoh nyata kesetiaan: Abraham sangat setia kepada
Allah ketika imannya diuji. Allah menyuruh Abraham mengorbankan anak tunggalnya, Ishak,
sebagai bukti kesetiaannya pada perintah Allah.

Takut akan Tuhan


“Berbahagialah orang yang takut akan Tuhan, yang sangat suka kepada segala
perintah-Nya” (Mzm. 112:1). Ketakutan ini bukan karena ancaman, melainkan ketakutan
kepada Sang Pemberi Kebahagiaan Kekal itu. Takut akan Tuhan tidak hanya pada perasaan
takut, tetapi disertai dengan ketaatan dalam perilaku melakukan perintah Tuhan. Orang yang
suka melakukan perintah Allah akan menjadi orang yag berhasil dalam hidupnya (Mzm. 1:1-
5).
“Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan,” kata Raja Salomo (Ams. 1:7)
karena ia sadar bahwa tanpa rasa takut akan Tuhan ia adalah seorang raja yang akan
menjadi beban bagi bangsanya. Ia akan hidup sekadar menyenangkan dirinya. Rasa takut
akan Tuhan mendorong dia untuk menggali dan mencari pengetahuan untuk diabdikan pada
rakyat dan bangsanya sehingga ia dihormati dan disayangi rakyatnya.
Di dalam pengembangan IPTEK, takut akan Tuhan sangat penting. Sebab tanpa rasa
takut akan Tuhan pada seorang ilmuwan, hasil IPTEK yang dikembangkan dapat menjadi
ancaman bagi kehidupan manusia.

MONOGAMI
Dasar perkawinan keluarga Kristen adalah kasih, sekaligus sebagai perwujudan
hubungan Kristus dan jemaat (Ef. 5:22-33). Karena itu, hubungan suami istri kudus dan tidak
boleh dinodai (Kej. 2:24-25). Sebagaimana Kristus adalah satu-satunya mempelai Gereja,
seorang suami hanya memiliki pasangan seorang istri (monogami) atau sebaliknya
(monoandri). Bagi orang Kristen, tidak boleh memiliki dua atau lebih suami/istri. Tujuan
pernikahan bukan semata-mata kenikmatan, melainkan sebagai ketetapan Allah untuk
meneruskan keturunan dan sebagai wadah mendidik/membina kesetiaan serta persekutuan
orang percaya.
Pengalaman tokoh yang beristri lebih dari satu seperti Abraham, Yakub, Daud
menunjukkan hidup poligami tidak mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Tidak
mungkin membangun kesetiaan dan membagi kasih secara sama pada dua orang berbeda
dan memenuhi kebutuhan materi, psikologis-biologis, serta spiritual. Ul. 17:15 mengatakan
kelak raja Israel, setibanya di Kanaan, “Juga janganlah mempunyai banyak istri, supaya
hatinya jangan menyimpang; …”

Tanpa pamrih
Tindakan tanpa pamrih adalah tindakan atau perbuatan baik yang dilakukan oleh
seseorang demi kepentingan orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Tindakan ini tidak
dapat dilakukan seseorang jika tidak didasarkan atas kasih Tuhan. Inilah kasih agape, yaitu
perbuatan baik tanpa mengharapkan balasan dari orang yang ditolong itu.

Tidak khawatir
Salah satu ciri orang beriman adalah tidak khawatir, artinya ia hidup dalam
pengharapan. Dia tidak khawatir tentang kebutuhannya pada hari esok, sebab: (1) Allah pasti
menyediakan segala kebutuhannya, (2) kebutuhan utama adalah kebutuhan rohani, bukan
jasmani. Mat. 6:25-34 mengajarkan, burung-burung yang tidak menanam dan tidak juga
mengumpulkan bekal di lumbung, begitu pula dengan bunga akung di padang yang tidak
menenun, diberi makan dan didandani Allah; betapa kita manusia akan senantiasa Ia
pelihara. Karena manusia tidak dapat menambahkan umurnya sehasta pun karena
kekhawatirannya, maka manusia haruslah menyerahkan segala perkara hidupnya kepada
Allah dengan mendahulukan kerajaan-Nya. “Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu
memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka
semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (ay. 32b-33).
Pada usia remaja, kekhawatiran selalu timbul, tentang ujian, teman yang menjauhi
kita, pacar, dll. Rasa khawatir adalah wajar. Khawatir menjadi tidak wajar bila perasaan itu
menguasai kita sampai menghambat kita melaksanakan hal yang lebih penting bagi hidup
kita. Ingatlah Tuhan akan mengatasi segalanya; dengan mendahulukan Dia hidup kita akan
tentram. “Percayalah kepada Tuhan dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan
berlakulah setia, dan bergembiralah karena Tuhan; maka Ia akan memberikan kepadamu apa
yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya
dan Ia akan bertindak” (Mzm. 37:4-5, 1 Kor. 7:29-32).

Sikap yang Bertentangan dengan Nilai Kristiani


Contoh sikap yang bertentangan dengan nilai kristiani: iri hati, karena iri dan panas
hati Kain membunuh Habel (Kej 4:1-11); serakah seperti Daud yang menginginkan istri Uria
yaitu Batsyeba dan merebutnya dengan cara yang tidak terpuji (2 Sam. 11:1-27).
Dalam kehidupan sehari-hari misalnya KKN. Banyak orang Kristen yang mengejar
kepentingan sendiri, mengabaikan nilai-nilai kristiani sehingga mengorbankan kepentingan
dan hidup sesamanya ketimbang melayani. Ada birokrat, politikus, dan masyarakat yang
melakukan KKN. Karena keserakahan, pebisnis dan birokrat pemerintah melakukan monopoli
perdagangan dan mengupayakan segala cara untuk untung sebesar-besarnya dengan tidak
memikirkan kerugian masyarakat luas, seperti: harus membayar jauh lebih mahal dari
sewajarnya. Tidak jarang seseorang menduduki jabatan tinggi dan menentukan bukan
dkarena kemampuan dan dedikasinya, melainkan karena kedekatan hubungan keluarga
dengan pejabat yang menetapkan jabatan di lembaga tersebut (nepotisme).

Anda mungkin juga menyukai