Anda di halaman 1dari 5

TUHAN PURA-PURA MATI DI HADAPAN KEKERASAN

Nama : Martinus Philipus Riberu

Npm : 18.75.6393

PENDAHULUAN

Praktik tindakan kekerasan dalam kehidupan ini tidak akan bisa terhapus. Manusia tidak
mampu menghapus tindakan kekerasan itu karena tindakan kekerasan itu merupakan aspek
filogenetik yang terprogram pada manusia. Oleh karena itu, benarlah yang dikatakan Fredy
Sebho dalam bukunya Moral Samaritan “semua orang bisa menjadi penjahat, sekalipun dengan
level yang beragam. Kekerasan bisa dilakukan oleh siapa pun, meski wajahnya kelihatan anggun.
Kekerasaan kalau mau dibilang jujur, bisa membuat orang menjadi penjahat yang buas, liar dan
bahkan hilang ingatan”1. Manusia mudah terjerat praktik kekerasan karena tindakan kekerasan
adalah satu cara yang praktis dan mudah untuk menyikapi problematik yang sedang dihapdapi,
terkhususnya bagi individu yang berkarakter emosional-temporal. Hal demikian senada dengan
apa yang dikatakan Thomas Hobbes dalam Leviathan-nya “Homo Homini Lupus” manusia itu
serigala yang akan menerkam satu sama lain2.

Praktik kekerasan seringkali bermuara pada autokrasi Allah sebagai Pencipta. Allah yang
Maha Esa ialah satu-satunya tempat berlabuh harapan orang tertindas dalam rupa doa. Namun,
Kemahaesaan Allah digugat dalam konteks ini, karena Allah mengambil sikap pasif dalam
ketidakberdayaan manusia. Allah selalu membiarkan manusia hidup dalam kekerasan, kejahatan,
kekejian dan ketamakan. Hal ini senantiasa menjadi polemik bagi kebanyakan orang,
terkhususnya para cendikiawan. Diskursus dari waktu ke waktu pun belum mencapai tataran
solutif yang digandrungi oleh kebanyakan orang. Hal ini memantik sikap skeptis pada manusia
untuk mempertanyakan dan meragukan eksistensi sekaligus esensi Allah.

APAKAH ALLAH ITU BENAR-BENAR ADA ?


1
Fredy Sebho, Moral Samaritan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 79.
2
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 242.

1
Keberadaan manusia sebagai mahkluk ciptaan merupakan representasi dari keberadaan
Allah yang tetap eksis. Dalam hal ini, eksistensi manusia sebagai ada disebabkan oleh Ada yang
lain, yakni Allah sebagai Penyebab Utama (Causa Prima). Rupa Allah memang tidak pernah
dijumpai mata, suara Allah pun memang tidak pernah bergeming di telinga. Namun, kehadiran
Allah hanya bisa dirasakan oleh hati yang beriman sebab Allah itu Transenden yang melampaui
ruang dan waktu.

Santo Thomas Aquinas telah menjelaskan keberadaan Allah dengan memberi bukti-butkti
“aposteriori”; bukti-bukti yang berpangkal pada realitas manusiawi dan duniawi. Keberadaan
Allah dapat dibuktikan melalui ‘Quinque viae’, ‘kelima jalan’-nya3

 Jalan yang pertama dan yang paling nyata diambil dari perubahan. Segala sesuatu di
dunia ini bergerak. Semua yang bergerak digerakkan oleh sesuatu yang lain. Dan yang
lain itu juga digerakkan oleh sesuatu yang lain lagi. Akhirnya harus ada sesuatu yang
menggerakkan, tetapi ia sendiri tidak digerakkan oleh sesuatu yang lain. Yaitu sesuatu
yang merupakan gerak pertama. “Dan ini dipandang sebagai Allah oleh semua orang” –
“...et hoc est quod omnes intelligunt Deum.”
 Jalan kedua diambil dari konsep ‘penyebab pelaksana’. Dalam dunia ini, segala sesuatu
terdiri atas rentetan sebab-sebab. Tidak ada apa pun yang menyebabkan dirinya sendiri.
Akhirnya harus ada sesuatu yang merupakan sebab pertama. “Semua orang menamai ini
‘Allah’,” – “...quam omnes Deum nominant.”
 Jalan ketiga diambil dari ‘yang mungkin’ dan ‘yang harus’. Dalam dunia ini ada benda-
benda yang dapat ada dan tidak ada. Ada benda-benda yang muncul dan hilang. Tidak
mungkin bahwa benda-benda ini selalu ada. Semua itu merupakan ‘yang juga dapat tidak
ada’, dan sekurangnya pernah tidak ada. Kalau begitu juga harus ada sesuatu yang selalu
ada, sesuatu yang ada dari dirinya sendiri. Dan itu tidak mendapat sebab ‘keharusan’-nya
dari luar. Karena semua benda kadang-kadang ada dan kadang-kadang tidak ada, harus
terdapat suatu sebab dari luar. Karena kalau tidak, adanya tidak pernah dimulai. “Maka,
harus diterima sesuatu dengan keperluan dari dirinya sendiri, tanpa sebab keperluan dari
luar, yang merupakan sebab keperluan semua yang lain. Dan semua orang menamai ini
‘Allah’,” – “...quod omnes dicunt Deum.”

3
Harry Hamersma, Persoalan Ketuhanan dalam Wacana Filsafat (Yogyakarta: PT Kanisius, 2014), hlm. 50-51.

2
 Jalan keempat diambil dari tingkat-tingkat yang terdapat dalam benda-benda. Dalam
dunia ini ada sesuatu yang lebih atau kurang baik, yang llebih atau kurang benar, yang
lebih atau kurang mulia. ‘Kurang’ atau ‘lebih’ berarti lebih jauh dari, atau lebih dekat
terhadap suatu maksimum, terhadap tingkat yang paling tinggi. Kalau orang mengatakan
‘yang lebih tinggi’, itu berarti ‘yang lebih dekat dengan yang paling tinggi’. Harus ada
sesuatu yang paling tinggi. Demikian juga sesuatu yang paling baik, yang paling benar,
yang paling mulia. Sesuatu itu merupakan yang paling tinggi dalam bidang tertentu,
menyebabkan semua yang lain dalam bidang itu. “Api adalah yang paling panas, dan
menyebabkan semua panas yang lain.” Juga ada sesuatu yang menyebabkan semua
kebaikkan, semua kebenaran, semua kesempurnaan. “Dan kita menamai itu ‘Allah’,” –
“...et hoc dicimus Deum”.
 Jalan kelima diambil dari pengaturan dunia. Ada benda-benda yang tidak mempunyai
pengertian, tetapi toh bekerja untuk mencapai tujuan mereka. Mereka tidak mencapai
tujuan mereka secara kebetulan saja, melainkan dengan maksud. Mereka tidak
mempunyai pengertian sendiri. Mereka dihantar oleh sesuatu yang berpengertian, seperti
sepucuk panah dituju ke sasaran oleh seorang pemanah. Ada suatu ‘intelligens’, ‘akal
budi’ yang mengarahkan semua benda dalam alam ke tujuannya. “Dan kita menamai itu
‘Allah’,” – “...et hoc dicimus Deum”.

MEMPERTANYAKAN ALLAH DALAM PRAKTIK KEKERASAN YANG LANGGENG

Tindakan kekerasan merupakan sebuah anomali moralitas yang alot. Tindakan kekerasan
bukanlah praksis hidup yang baru bagi manusia. Tindakan kekerasan ini sudah ada sebelum
Allah mengutus Putra-Nya Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia. Hal ini dapat diketahui
dari Kitab Suci Umat Kristen. Pada Perjanjian Lama, terdapat begitu banyak narasi tindakan
kekerasan, bahkan Allah sekalipun digambarkan sebagai pribadi yang superior dan diktatoris.
Allah selalu melakukan kekerasan verbal (kekerasan menggunakan perkataan) terhadap suku-
suku bangsa pada waktu itu. Salah satu contohnya ialah ‘Allah mengancam orang Niniwe untuk
bertobat melalui perantara nabi Yunus, jika orang Niniwe tidak bertobat maka Allah akan
memperlihatkan murka-Nya (bdk. Yun 3: 1-10)’.

3
Tindakan kekerasan pada Kitab Suci Perjanjian Lama bisa juga menjadi sebuah sumber
teoretis yang menentukan praksis hidup Umat Kristen hingga saat ini. Pada rentetan narasi-
historis dalam kitab Kejadian, terdapat sebuah narasi yakni “Kain dan Habel (bdk. Kej 4:1-16)”.
Kisah ini merupakan kisah anomali moralitas yang sangat populer di kalangan Umat Kristen,
walaupun kisah ini merupakan salah satu rujukan edukatif bagi penanaman moral anak-anak
usia dini maupun remaja. Namun , kekerasan tidak akan pernah bisa terhapus dari lingkungan
sosial masyarakat sebab kekerasan merupakan representasi dari kelemahan afeksi batiniah.
Manusia merupakan mahkluk yang lemah, maka sebuah tekanan batin akan dengan mudah
memantik praktik kekerasan untuk meletup dari persemayamannya.

Pada pertengahan abad ke-19 di Eropa Barat, muncul suatu diskriminasi yang sangat keji
yakni rasisme. Nazi Jerman yang dipimpin oleh Adolft Hitler melakukan gerakan anti-semitisme
(suatu sikap yang menganggap ras Yahudi adalah sebuah ras jahat dan rendah yang menjadi
penyebab berbagai masalah di dalam masyarakat). Anti-semitisme ini mencapai puncak pada
shoa (usaha sistematis dari kaum Nazi Jerman untuk meniadakan semua orang Yahudi). Dari
sekitar 13 juta warga Yahudi pada masa itu, rezim Nazi berhasil membunuh hampir 6 juta orang.
Peristiwa pembantaian terhadap ras Yahudi ini berlangsung selama 3 tahun (1992-1945)4.

Bertolak dari konteks historisitas ini, Allah dilihat sebagai aktor yang pandai
bersandiwara. Hemat penulis, Allah pura-pura mati dengan cara memandekkan kasih-Nya pada
korban kekerasan. Ia mengabaikan seruan pertobatan, seruan pertolongan dan segala bentuk doa
orang tertindas. Sekalipun seluruh orang beriman di dunia ini berdoa melalui kepercayaan
mereka masing-masing untuk mewujudkan perdamaian dunia, tapi Allah tentu akan berdiam diri
ketika berhadapan dengan praktik kekerasan duniawi ini. Statement, bahwa doa merupakan
senjata yang paling ampuh dan dapat mengubah segala sesuatu merupakan ambivalen yang
subjektif dari pengalaman individu yang mengalami penindasan. Oleh karena itu, penulis pun
membenarkan kritikan Nietzsche bahwa “nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat
ternyata adalah nilai-nilai yang sangat rendah. Bahkan nilai tertinggi yaitu Tuhan, tidak mampu
lagi menjawab problem-problem yang timbul dari wawasannya mengenai kehidupan” 5.
Berdasarkan uraian paradoksal sebelumnya, maka penulis mengadopsi sebuah pandangan

4
Franz Magnis Suseno dkk., Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia
(Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 79.
5
Akhmad Santosa, Nietzsche Sudah Mati (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 42.

4
Deisme. “Deisme melihat Allah sebagai ‘Ada’ tertinggi yang merancang alam semesta, kemudian
membiarkannya berjalan berdasarkan hukumnya sendiri. Setelah menciptakan alam semesta,
Allah berhenti memeliharanya”6.

PENUTUP

Kehidupan ini bagaikan Yin-Yang7. Segala sesuatu di dunia ini dipandang sebagai
perpaduan antara dua aspek yang berlawanan yakni, terang-gelap; baik-buruk; benar-salah.
Praktik kekerasan yang terjadi bukanlah sebuah petaka yang harus dielakkan, tapi merupakan
sebuah berkah yang harus diterima dalam kehidupan ini. Praktik kekerasan memang akan
menjadi ironis jika berhadapan dengan moralitas dan religiositas. Namun, praktik kekerasan
merupakan sebuah ‘kebenaran ontologis’ (kebenaran sejauh sesuatu itu ada). Praktik kekerasan
merupakan kebenaran yang harus diterima sebagai perpaduan dengan moralitas dalam kehidupan
yang diberikan oleh Allah.

Allah Yang Maha Esa sesungguhnya melampaui kesanggupan untuk meniadakan


tindakan kekerasan dari dunia. Namun, Allah sengaja membiarkan kekerasan itu terjadi sebagai
tolok ukur keberimanan manusia. Bustanuddin Agus menjelaskan bahwa kegagalan dapat
dipahami sebagai cobaan Tuhan. Cobaan yang ditujukan kepada orang yang beriman dan taat
untuk mengetahui kadar imannya. Makin kurang iman dan keyakinannya terhadap Allah Yang
Maha Kuasa, Yang Maha Menentukan dan Maha Pengasih, ia akan cemas menghadapi
kegagalan. Kalau ia tetap sabar, percaya kepada kekuasaan dan pertolongan Allah, maka ia lulus
dari ujian dan tingkat keimanannya meningkat8.

6
Frank Chacon dan Jim Burnham, Pembelaan Iman Katolik 2 (Jakarta: Fidei Press, 2011), hlm. 23.
7
Ying dan Yang merupakan filosofi orang Tionghoa dengan lambang hitam dan putih. Ying dan Yang
melambangkan sifat kekuatan yng saling berlawanan tapi mereka saling melengkapi satu sama lain.
8
Bustanuddin Agus, op.cit., hal. 264.

Anda mungkin juga menyukai