Anda di halaman 1dari 2

Satu lagi Resensi Buku saya: Lentera Kehidupan yang patut dibaca.

Terima jadih mas


Muhamman Ainun Najib, telah menyediakan waktu untuk membaca dan membuat review atas
buku ini, semogacada manfaatnya!

Merenungkan Tuhan, Alam, dan Manusia

Salah satu kelebihan manusia adalah bertanya. Ketakjuban dan keraguan menjadikan
pertanyaan yang terlontar dari akal manusia senantiasa muncul. Dengan pertanyaan pula
kehidupan dan pengetahuan mengalami kemajuan. Tidak dapat dibayangkan bila manusia
berhenti bertanya. Kehidupan tidak akan berkembang dan pengetahuan akan menemui ajalnya.

Manusia bukan hanya bertanya di luar eksistensinya, melainkan mempertanyakan pula dirinya
sendirinya. Hasrat bertanya manusia mempertanyakan segalanya. Pertanyaan perihal Tuhan,
alam, keadilan, dan sejenisnya mencuat berbarengan dengan pertanyaan apakah manusia itu?
Namun, manusia tidak sekadar bertanya. Manusia mempertanyakan dasar dan hakikatnya
secara radikal hingga akar-akarnya. Sartre, filsuf eksistensialisme, menyatakan manusia
dianugerahi kesadaran bertanya yang sungguh-sungguh bertanya (Rapar, 2014: 18).

Di antara pertanyaan manusia yang kunjung mereda adalah perihal Tuhan, manusia, dan alam
(Anshari, 1987: 14). Terdorong untuk memberikan bimbingan atas tiga pertanyaan tersebut,
Mulyadi Kartanegara menyusun buku ini yang berasal dari dari catatan tangan (manuskrip) . Ada
empat belas pertanyaan perihal Tuhan, manusia, dan alam yang diuraikan penjelasannya secara
rasional-filosofis oleh peraih gelar doktor bidang filsafat Islam dari Universitas Chicago tersebut
(hlm. xix-xxi). Bagaikan Imam al-Ghazali yang menulis al-Munqidh min al-Dhalal, Penyelamat dari
Kesesatan, Kartanegara menaruh harapan bukunya menjadi penawar bagi kebingungan dan
keraguan, terutama di kalangan anak muda.

Apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan ada, bagaimana membuktikanNya padahal manusia tidak
pernah melihatNya? Demikian pertanyaan pertama yang dicatat Kartanegara. Seperti ditegaskan
Karen Armstrong, penulis Sejarah Tuhan (2001), perbincangan tentang Tuhan adalah sesuatu
yang tidak mudah. Tidak ada bukti empiris dan faktual eksistensi Tuhan. Tapi, pertanyaan
tentang Tuhan tetap menarik. Karena fides quaerens intellectum, iman membutuhkan
pemahaman. Tuhan senantiasa aktual diperbincangkan sekaligus diperdebatkan. Iman yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara teologis dan filosofis adalah iman yang rapuh.

Mengutip ungkapan yang terkenal di sufi dan filsuf muslim, mengenal Tuhan berarti mengenal
kemanusiaan itu sendiri. MelalaikanNya tak ubahnya melupakan kemanusian itu sendiri.
DariNya kehidupan ini terwujud karena Tuhan adalah al-ilah al-ula (Sebab yang Pertama). Orang
jawa menyebutnya dengan ungkapan Sangkan paraning dumadi. Dengan kehendakNya pula
alam semesta dan kehidupan ini bergerak. Sebab, Tuhan adalah al-muharrik al-awwal, Pengerak
Pertama. Semuanya bergerak kecuali Tuhan, Pengerak yang Tidak Bergerak, The unmoved
Mover (hlm. 18).

Eksistensi Tuhan merupakan persoalan yang fundamental bagi manusia. Keyakinan adanya
Tuhan adalah fitrah manusia yang tidak dapat disangkal. Iman kepada Tuhan telah tertanam
dalam otak manusia. Tidak jarang seorang yang mendaku ateis sekalipun menyebut Tuhan
dalam kondisi tertentu. EksistensiNya dapat dinalar melalui argumen kosmologis (penciptaan
alam), ontologis (keberadaan, al-mawjudat), dan teleogis (tujuan penciptaan dan keteraraturan
alam (hlm. 15-25).
Lalu, apakah alam itu? Mengapa ada alam? Dalam pandangan Islam, alam adalah segala sesuatu
selain Tuhan (hlm. 62). Alam tidak terbatas alam fisik semata, melainkan pula alam lain di balik
dunia yang tampak ini. Sufi dan filsuf muslim memperkenalkan tiga alam, yaitu alam muluk
(fisik), alam mitsal (imajinal), dan alam jabarut (spiritual). Terlepas dari pembagian tersebut, alam
tersusun dengan baik dan mengikuti sistem yang sangat teratur. Karena itu, ilmuwan menyebut
alam dengan kosmos yang secara leksikal berarti tersusun, tertata, dan terstruktur. Kebalikan
kosmos adalah chaos yang bermakna tidak beraturan dan berantakan.
Dalam keterkaitannya dengan Tuhan, alam merupakan ayat kawniyat, tanda-tanda adanya
Tuhan melalui ciptaanNya. Alam sebelumnya tidak ada, creatio ex nihilo. Tuhan kemudian
menciptakannya. Alam merupakan salah satu bukti eksisitensi Tuhan. Melalui alam, Tuhan dapat
diketahui. Sebab, alam dengan segala keteraturannya tidak mungkin ada tanpa ada yang
menggaturnya.

Bila alam disebut makrokosmos, manusia adalah mikrokosmos. Meskipun demikian, manusia
adalah tujuan akhir penciptaan (hlm. 166). Sebuah hadits qudsi menyatakan, “Seandainya bukan
karena engkau (Muhammad), tidak Kuciptakan alam ini”. Semua unsur kosmik terkandung dalam
manusia. Tuhan betul-betul memuliakan manusia, fi ahsani taqwim. Kemulian manusia
tercermin dalam diri Nabi Muhammad yang oleh kalangan sufi disebut insan kamil, manusia
sempurna. Lebih dari itu, setiap manusia sesungguhnya makhluk teomorfis, makhluk yang
memiliki ‘bentuk’ ilahi (hlm. 175). Karena itu, manusia adalah khalifatullah fi al-ardh, ‘pengganti’
Tuhan di dunia yang mempunyai tugas merawat alam semesta ini.
Kajian buku ini akan mungkin terasa berat bagi pembaca yang tidak akrab dengan filsafat dan
teologi Islam. Dibutuhkan membaca kalimat per kalimat lebih dari sekali. Namun, di sisi lain,
dalam hal itu pula kelebihan buku ini terletak: menyemarakkan kembali filsafat dan teologi Islam
di tengah zaman di mana pemahaman agama cenderung kaku, sempit, literal dan dogmatik.

Anda mungkin juga menyukai