Anda di halaman 1dari 8

ABORSI

Oleh : Apolonarius Sanda


Mahasiswa Fakultas Filsafat – Universitas Katolik Widya Mandira Kupang

Pengantar

Penghargaan terhadap martabat manusia adalah suatu keharusan. Manusia diciptakan


dengan kadar kemanusiaan yang sama. Tidak ada manusia yang memiliki kadar kemanusiaan
lebih tinggi atau pun lebih rendah dari yang lain. Semuanya sederajat. Manusia itu unik dan
lebih luhur dari ciptaan yang lain. Ia segambar dan secitra dengan Allah. Inilah alasan-alasan
yang fundamental bagi penghargaan terhadap martabat manusia.

Dalam peradaban manusia, tidak jarang kemanusiaan itu dinodai. Banyak hal yang
telah terjadi yang menandai penodaan terhadap martabat manusia itu. Misalnya, perbudakan,
perampokan, pembunuhan (termasuk aborsi), dsb. Tindakan aborsi merupakan tindakan yang
melangkahi kemanusiaan. Tindakan yang menghancurkan martabat manusia seluruhnya.
Aborsi tidak hanya membunuh manusia dewasa pada taraf potensial (bayi), melainkan
membunuh kemanusiaan seluruhnya. selain itu aborsi juga merupakan tindakan yang paling
keji, karena melenyapkan kehidupan manusia yang paling lemah, yang tidak berdaya, dan
tidak mampu melawan.

Pengertian Aborsi

Terminologi aborsi berasal dari kata Latin, “Abortio” yang berarti pengeluaran hasil
konsepsi dari uterus secara premature pada umur di mana janin itu belum bisa hidup di luar
kandungan.

Secara medis suatu tindakan dinyatakan aborsi apabila itu menyangkut pengguguran
kandungan sebelum janin itu berusia 24 minggu. Sedangkan pengeluaran janin setelah
berusia 24 minggu dikatakan sebagai pembunuhan terhadap bayi. Karena secara medis janin
bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Akan tetapi secara moral dan hokum,
aborsi merupakan tindakan pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan
kelahirannya yang mengakibatkan kematian. Jadi, secara moral kehidupan itu sudah dimulai
sejak konsepsi. Sejak saat konsepsi itulah suatu kehidupan baru dimulai. Seorang persona
ada.1

1
CB. Kusmaryanto, Tolak Aborsi, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 15

1
Martabat Manusia

Manusia memiliki martabat yang sangat luhur jika dibandingkan dengan ciptaan yang
lainnya. Beberapa hal yang berkaitan martabat manusia. Pertama, hak untuk hidup sebagai
hak paling dasar. Kedua, Nilai intrinsic hidup manusia. Ketiga, Manusia di hadapan Allah.
Keempat, nilai kesucian hidup manusia.

1) Hak untuk hidup sebagai hak dasar

Hak asasi adalah hak paling mendasar dari manusia. Hak itu melekat pada diri manusia.
Karena itu tidak diberikan oleh siapapun. Hak asasi dengan kata lain adalah hak yang ada
oleh karena manusia adalah manusia. Jadi kepemilikan hak itu dihubungkan denga
statusnya yang adalah manusia.

Hak asasi tidak diberikan oleh institusi atau Lembaga. Hak asasi itu melekat pada diri
manusia. Hak itu ada sejak adanya manusia dan akan habis bersamaan dengan
berakhirnya hidup kita.

Hak asasi itu dimiliki oleh orang-orang yang hidup. Sebab dimiliki oleh orang yang
hidup. Ada dan berakhirnya bersamaan dengan ada dan berakhirnya manusia itu sendiri.
Segala bentuk pembicaraan mengenai hak asasi manusia, seperti hak untuk
mengekspresikan pendapat, beragama, hak untuk merasa aman, dsb., dibicarakan dalam
kerangka dan demi hidup manusia yang hidup. Dengan demikian hak untuk hidup
merupakan hak yang paling mendasar dan syarat utama ketika membicarakan tentang hak
asasi manusia. Hak untuk hidup adalah kondisi yang memungkinkan hak-hak asasi
lainnya. Maka penghormatan terhadap hak hidup adalah kondisi dasar supaya manusia
bisa berfungsi dengan semestinya.

2) Nilai intrinsik hidup manusia


Nilai intrinsic berlawanan dengan nilai ekstrinsik. Kalau nilai ekstrinsik adalah
penilaian terhadap suatu barang berdasarkan aspek-aspek eksternalnya, misalnya
kegunaannya, maka nilai intrinsic adalah suatu penilaian berdasarkan nilai intern
dirinya sendiri dan nilai itu ada sejak keberadaan objektif itu dan berakhir dengan
berakhirnya objek tersebut. Nilai ekstrinsik dapat berubah-ubah, misalnya dari segi
kegunaannya suatu computer yang canggih dihargai lebih tinggi dari pada computer
yang kurang canggih.

2
Nilai ekstrinsik dan nilai intrinsic manusia tidak dapat dipertukarkan. Apa yang benar
secara intrinsic belum tentu benar secara ekstrinsik, dan sebaliknya. Misalnya menilai
martabat manusia menggunakan uang, maka uang ini tidak ada nilainya dalam
hubungan dengan nilai martabat atau niali moral seseorang. Manusia mempunyai nilai
martbatnya nukan karena diberi oleh seseorang atau instansi, tetapi manusia itu
bermartabat karena dia adalah manusia. Menilai manusia secara ekstrinsik adalah
pelanggaran dan pereduksian terhadap martabat manusia pada taraf yang lebih rendah.
Jadi, nilai intrinsic manusia berarti bahwa masing-masing hidup manusia mempunyai
nilai yang tak terhingga, lepas dari penampilannya secara eksternal.
3) Manusia di hadapan Allah
Dalam lingkungan Yudaisme, manusia merupakan ciptaan yang paling luhur melebihi
ciptaan yang lainnya. Manusia diciptakan segambar dan secitra dengan Allah.
Manusia diciptakaan sebagai mahkota ciptaan.
Dalam tradisi kristianisme manusia bukan saja sebagai puncak karya penciptaan Allah
dan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tetapi manusia itu dijunjung lebih
tinggi lagi dengan inkarnasi dan penebusan Kristus. Inkarnasi dan karya penebusan
merupakan suatu tanda bahwa betapa harkat dan mertabat manusia itu sangat
berharga. Tuhan Yesus sebagai Putra Allah yang maha tinggi, telah merendahkna diri
dan menjadi sama dengan manusia, namun dengan demikian mengangkat kodrat
manusia dan menawarkan akan keselamatan kepada manusia.

Ajaran Magisterium

1. Paus Pius XI (6 Februari 1922 - 10 Februari 1939)


Pada tanggal 31 Desember 1930, Paus Pius XI mengeluarkan Enslikik Casti Connubi.
Enslikik ini bukanlah enslikik mengenai aborsi tetapi mengenai keluarga; aborsi dibicarakan
dalam konteks keluarga. Di sini, Pius XI menegaskan kembali bahwa Gereja mengutuk
semua bentuk aborsi langsung, juga yang disebut aborsi langsung dengan indikasi medis dan
terapeutik. Dalam salah satu bagian dari enslikik itu, sebagaimana dikutip oleh CB.
Kusmaryanto, dikatakan:2

“aborsi adalah kejahatan yang sangat berat yang dialamatkan kepada hidup anak yang
masih ada di dalam kandungan. Bagi beberapa orang hal itu dianggap sah dan diserahkan
kepada keputusan ayah dan ibunya; akan tetapi, bagi orang lain hal itu dilarang kecuali
dalam kasus yang mempunyai motivasi sangat besar, yang diberi nama indikasi media,
2
Kusmaryanto, Ibid., hlm. 44-45

3
sosial, eugenik,... saudara-saudari terkasih, mengenai ‘indikasi medik dan terapeutik’, kita
meminjam istilah mereka sendiri, kami telah menerangkan walaupun kami harus merasa
kasihan kepada ibu yang kesehatanya atau bahkan hidupnya berada dalam bahaya ketika
melaksanakan tugas yang dituntut oleh kodrat naturalnya, namun apakah hal ini sudah
menjadi alasan yang cukup untuk melakukan pembunuhan langsung terhadap anak yang
tidak bersalah? Inilah persis masalah yang kita hadapi di sini. Baik bila dikenakan terhadap
ibu atau anaknya, tetapi ini bertentangan perintah Allah: ‘jangan membunuh’. Hidup
masing-masing orang itu sama-sama suci, dan tidak seorang pun mempunyai kuasa, bahkan
juga penguasa publik, untuk menghancurkannya”.
2. Paus Pius XII (2 Maret 1939-9 Oktober 1958)
Paus Pius XII dalam menjalankan tugas kegembalaannya sebagai wakil Kristus untuk
mewartakan kabar suka cita bagi seluruh umat manusia menjadi saksi dan mengutuk
program-program genetika. Dalam suatu kesempatan menerima rombongan Persatuan Dokter
Biologi pada tanggal 12 November 1944, Paus Pius XII, menegaskan:
“Sejauh manusia tidak bersalah maka hidupnya tidak boleh disentuh dan karena itu setiap
tindakan yang akan menghancurkannya secara langsung baik tindakan itu sebgai tujuan
maupun sarana untuk mencapai tujuan tertentu... seseorang dokter tidak mempunyai hak
untuk mengambil hidup. tak seorang pun di dunia ini, tidak ada sebuah kuasa manapun di
dunia ini yang diberikan hak untuk menghancurkan hidup manusia secara langsung”.3
3. Paus Paulus VI dalam ensiklik Humana Vitae (21 Juni 1963-6 Agustus 1978)
”Dalam kesesuaian dengan pandangan Kristiani dan kemanusiaan yang fundamental
mengenai perkawinan, sekali lagi kami ingin mengatakan bahwa pemutusan langsung proses
generatif yang sudah mulai, lebih-lebih, aborsi yang lansung dikehendaki, juga seandainya
hal itu dilakukan untuk alasan terapi tidak boleh dipergunakan sebagai sarana yang sah
untuk mengontrol kelahiran”
Paus Paulus VI mengukuhkan penolakannya tentang pengguguran yang disengaja dalam
amanatnya kepada peserta Kongres Nasional XXIII di Italia tanggal 9 Desember 1972,
dengan mengatakan bahwa ajaran Gereja mengenai pengguguran sebagai sesuatu yang tidak
berubah. Ajaran Gereja ini mau menekankan status personal janin atau status manusiawi
janin yang ada dalam rahim ibu, dengan mengatakan bahwa bagaimana mungkin individu
manusia bukan pribadi manusia?4 Jadi Humanae Vitae, berpihak pada kehidupan sejak saat
pembuahan dan mengecam usaha-usaha pelegalan aborsi sebagai sarana kontraseptif.
3
bid., hlm. 44-46
4
Piet Go.O. “Pengguguran: Tinjauan Hukum Kanonik” Dalam Maramis, Penggunaan Tinjauan
Psikologi Moral Katolik, Hukum Kanonik Dan Hukum Pidana, (Malang: Dioma, 1991) Hal.53

4
4. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Familiaris Consortio (22 November
1981)
Dalam keluarga, yakni persekutuan pribadi-pribadi, perhatian khusus perlu diberikan kepada
anak-anak, dengan mengembangkan penghargaan yang mendalam terhadap martabat pribadi
mereka serta sikap sungguh menghormati dan memperhatikan sesungguhnya hak-hak
mereka. Sikap menerima, cintakasih, penghargaan dan kepedulian terhadap setiap anak yang
lahir di dunia ini, menjadi ciri khas pokok bagi semua orang kristen khususnya bagi keluarga
kristen”5

Pandangan Gereja Katolik Terhadap Kehidupan


Gereja memiliki prinsip penilaian, bahwa adanya kehidupan karena Allah. Dan kehidupan itu
sudah ada sejak pembuahan dan ovarium.6 Gereja tetap berprinsip bahwa kehidupan manusia
tidak boleh dilecehkan. Hal ini berlaku sejak pertemuan sel sperma dan sel telur yang matang,
sejak terjadinya pembuahan dalam diri seorang perempuan. Karena di samping penghormatan
terhadap hak pribadi yang hidup, juga ada satu sisi yang paling penting yang tidak boleh
disepelekan yaitu tanggung jawab manusia untuk menghormati hukum-hukum yang diatur
oleh Tuhan sehubung dengan kelanjutan hidup manusia. Karena itu martabat setiap manusia,
berakar dalam kodratnya citra Allah, yang memungkinkan ia dapat dipanggil untuk menjalin
hubungan anak-bapa dengan Sang Pencipta. Karena martabatnya yang luhur ini, maka
manusia dituntut untuk menghormati dan melindungi yang lemah dan yang tak berdaya
termasuk janin yang ada dalam rahim seorang perempuan, yang sering menjadi korban tak
bersalah, karena ulah orang-orang tertentu.7

Kesimpulan
Aborsi: Tindakan Pelecehan Terhadap Hak Hidup Manusia
Mengenai kasus aborsi, Gereja tidak begitu gampang menerima semua pendapat atau
tawaran yang disodorkan, tanpa suatu pertimbangan yang matang. Entah hal itu mengenai
macam-macamnya, prosesnya, tekniknya maupun alasan-alasannya. Pada bagian ini kami
akan mengangkat secara jelas apa yang diterima dan apa yang ditolak atau yang tidak

5
Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, dalam R.Hardawiryana,SJ (penterj), (Jakarta:
DOKPEN KWI 2005), Art. 26.
6
Sudiarja, (ed), Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), Hal 29
7
Ibid., hlm. 34

5
diterima oleh Gereja berkaitan dengan masalah aborsi, serta pedoman-pedoman dasar yang
menunjukkan bahwa pada umumnya aborsi tidak diterima oleh Gereja.8
 Yang diterima oleh Gereja adalah aborsi spontan, karena aborsi spontan ini terjadi di
luar campur tangan manusia dan bahkan sering tidak dikehendaki demikian. Misalnya
sel telur yang sudah dibuahi mengalami keguguran karena berbagai macam sebab
alamiah.
 Yang tidak diterima adalah: Aborsi yang disengaja, Aborsi tidak langsung, aborsi
therapeutik/medicinalis, aborsi kriminalis, aborsi eugenetik, aborsi langsung, aborsi
selectif. Ketujuh jenis aborsi ini tidak diterima oleh Gereja, karena dilakukan dengan
tahu dan mau atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu antara dokter dengan pasien
atau antara dukun dan pasien.
 Mengenai proses aborsi yang berkaitan dengan usia janin yang ada dalam kandungan,
tidak ada satu pun yang diterima oleh Gereja, karena Gereja berprinsip bahwa sejak
saat pembuahan, janin itu sudah menjadi manusia, walaupun belum sempurna. Karena
itu tidak ada seorang pun manusia yang seenaknya mengeluarkan hasil pembuahan itu
dari dalam kandungan sekalipun yang melakukan adalah ibunya sendiri.
 Dari jenis-jenis aborsi yang ada, tidak satu pun yang diterima oleh Gereja, karena
Gereja menolak pemakaian alat-alat maupun obat-obatan, yang dimasukkan ke dalam
tubuh seseorang wanita, untuk mengganggu janin yang telah merasa aman dalam
rahimnya supaya keluar dari dunianya dengan cara yang tidak pantas. Hal ini sangat
bertentangan dengan ajaran moral Katolik, sebab cara-cara seperti ini membuat si
janin merasa sangat sakit sebelum ia dibunuh secara sadis. Karena itu setiap orang
kristen khususnya setiap ibu yang mengijinkan rahimnya dimasuki alat-alat yang
dapat menghancurkan kehidupan seorang manusia yang tidak bersalah, seharusnya
menyadari bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang terkutuk, sebab selain janin itu
mati, kesehatan ibunya pun bisa terganggu bahkan bisa juga membawa kematian bagi
dirinya sendiri.9
 Dari alasan-alasan yang ada, Gereja tidak menerima satu pun, karena Gereja
menghargai kehidupan yang diberikan Tuhan kepada setiap orang. Gereja ingin agar
pengguguran ditiadakan dengan mengatakan bahwa dalam situasi apa pun
berusahalah untuk menyelamatkan kedua-duanya dan kalau ternyata dalam prosenya
salah satunya meninggal, maka itu adalah kehendak Tuhan. Secara tegas Gereja juga

8
Kusmaryanto, Op. Cit., Hlm. 12
9
Dokumen KWI, Allah Penyayang Kehidupan, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1991), hlm. 53

6
menolak pengguguran yang disengaja, dengan alasan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan seperti: Mencegah tambahnya anak, mencegah rasa malu dan
motivasi egoistis dan materialistis.10

10
Al. Purwa Hadiwardono, Moral dan Masalahnya, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), Hal. 35

7
DAFTAR PUSTAKA

Dokumen KWI, Allah Penyayang Kehidupan, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1991

Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, dalam R.Hardawiryana,SJ (penterj), Jakarta:
DOKPEN KWI 2005.

Go, Piet., “Pengguguran: Tinjauan Hukum Kanonik” Dalam Maramis, Penggunaan


Tinjauan Psikologi Moral Katolik, Hukum Kanonik Dan Hukum Pidana, Malang: Dioma,
1991
Kusmaryanto, CB., Tolak Aborsi, Yogyakarta: Kanisius, 2005

Purwa Hadiwardono, Al., Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990

Sudiarja, (ed.), Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan, Yogyakarta: Kanisius, 1992

Anda mungkin juga menyukai