Anda di halaman 1dari 11

Tugas Mata Kuliah : Tema-tema PL

Dosen Pengampu : Dr. Iwan Tarigan, M.Th


Mhs : Edy Leonardo
NIM : 220402002
Email : edyleonardoh@gmail.com
IAKN TARUTUNG

MANUSIA YANG BERSUMBER DAYA SEBAGAI IMAGO DEI

I. PENDAHULUAN

Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) merupakan dua sumber
daya yang paling sering disebut-sebut dan didiskusikan. Manusia semakin berpikir tentang
cara memanfaatkan SDA seminimal mungkin dengan penanganan oleh SDM seoptimal
mungkin. Penghematan energi dari alam dan peningkatan keterampilan manusia adalah dua
program yang membahana dan menjadi idam-idaman dalam menapaki jalan menuju
kesejahteraan umat manusia. Betapapun kaya rayanya alam kita, namun kalau tidak disokong
oleh manusia-manusia yang berketerampilan tangguh, maka yang dihasilkan tak lain adalah
ludesnya kekayaan alam dengan sekejap. Alam tidak hanya akan mengalami kekurangan,
tetapi juga akan dilanda bencana alam. Dengan kata lain, peranan SDM yang mengolah SDA
sangat menentukan apakah alam akan mendatangkan kebahagiaan bagi manusia atau tidak.
Betapapun miskinnya SDA di suatu negara, tetapi apabila SDM bermutu tinggi, tak
ayal bila rakyat negara itu akan makmur, contohnya adalah negara Jepang merupakan suatu
negara yang tinggi tingkat ekonominya bukan karena SDA yang kaya, melainkan SDM yang
mau bekerja keras, terutama semenjak restorasi Meiji. Swiss, terkenal sebagai negara yang
mempunyai SDA yang sangat miskin. Tanahnya kebanyakan bergunung-gunung dan tandus.
Sulit ditumbuhi dengan tanam-tanaman. Tetapi Swiss itu salah satu negara terkaya. Kuncinya
adalah : meningkatnya SDM yang tangguh dan terampil sekalipun SDA tidak menjanjikan
apa-apa. Manusia- manusia Swiss yang bersumber daya tinggi mengobah SDA yang tandus
menjadi daerah-daerah tujuan wisata. Mereka membina manusia-manusia yang jujur yang
ditempatkan di bank-bank, sehingga banyak orang kaya dari mancanegara mendepositokan
uang di berbagai bank Swiss. Mereka mempunyai masyarakat yang penuh damai sehingga

1
sekitar 200 organisasi internasional (termasuk DGD dan LWF) tak ragu-ragu memilih Jenewa
sebagai lokasi kantor pusatnya. Begitulah kehebatan SDM yang bermutu tinggi.
Sehubungan dengan peranan SDM yang penting, Konvensi Pekerja Internasional
(International Labor Convention) merumuskan serangkaian ketentuan yang termaktub dalam
Convention Nomor 122 tentang "Employment Policy" (1964). Ketentuan tersebut mem-
promosikan "full employment" dengan persyaratan-persyaratan sebagai berikut: Mendorong
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, meningkatkan martabat kehidupan manusia,
memenuhi syarat-syarat ketenagakerjaan, serta menanggulangi pengangguran. Ketentuan itu
juga menekankan tersedianya lapangan pekerjaan untuk semua orang yang layak dan dapat
dilakukan oleh yang membutuhkan lapangan pekerjaan itu. Lapangan pekerjaan itu sendiri
diharapkan berproduksi sebanyak mungkin dan ada kebebasan para pekerja untuk memilih
pekerjaan yang diminatinya.1
Pandangan di atas memberi kesan bahwa pemahaman tentang SDM tidaklah terlepas
dari pemahaman tentang manusia itu sendiri.

II. MANUSIA SELAKU CIPTAAN YANG BERSUMBER DAYA

Di antara seluruh makhluk ciptaan Allah, manusia bukanlah satu-satunya makhluk


yang bersumber daya. Allah juga memberi sumber daya kepada hewan-hewan untuk antara
lain mencari makan, membantu manusia mengerjakan sawah dan berkembang biak. Malah
tum- buh-tumbuhanpun punya daya walaupun kelihatannya tumbuhan-tumbuhan seolah-olah
berhenti di tempat. Salah satu penemuan akbar di lapangan biologi menjelang abad 19 adalah
kenyataan bahwa tumbuh-tumbuhan mempunyai caranya sendiri untuk mengolah dan
menyediakan makanannya. Namun hewan dan tumbuh-tumbuhan masih digolongkan kepada
SDA.
SDM mempunyai tempat khusus dalam kehidupan manusia. Sementara itu orang
jarang berceloteh tentang Sumber Daya Hewan dan Sumber Daya Tumbuh-tumbuhan. Hal itu
dikarenakan manusia diberi Allah pemberian khusus yakni nafas kehidupan berupa roh. Roh
inilah yang membedakan manusia dari hewan. Dengan roh yang dikaruniakan Tuhan kepada
manusia, maka manusia dimampukan minimal untuk tiga hal: a. Kemampuan untuk
membedakan yang benar dan yang salah (logika), b. Kemampuan untuk membedakan yang

1
Summaries of International Labour Standards, Geneva: International Labour Office, 1988, 23-24
2
baik dan yang buruk (etika). dan c. Kemampuan untuk membedakan yang indah dan yang
jelek (estetika).2
Hal ini berarti, Allah mengaruniakan kepada manusia tiga hal: "Intelegensi" untuk
mengenal Allah. "Kehendak" untuk melaksanakan kehendak Allah; dan "Kesucian untuk
hidup dalam keadaan jauh dari dosa-dosa. Menurut doktrin penciptaan, kalau kita berbicara
tentang SDM maka yang dicakup adalah intelegensia, kehendak dan kesucian yang dipunyai
manusia. Ketiga hal ini tentu tidak dipunyai oleh, misalnya, seekor ayam secara utuh.
Status keutuhan ("status integritatis") adalah status asli manusia. Dan setelah
kejatuhannya, manusia berpindah ke status kecurangan ("status corruptionis"). Dalam status
keutuhannya manusia diciptakan segambar dengan Allah dalam kebijaksanaan, kesucian dan
kebenaran. Status keutuhan manusia ini disaksikan oleh Alkitab di dua tempat. Pertama,
pernyataan umum bahwa Allah melihat semua ciptaanNya baik (Kejadian 1:31). Kedua.
Pernyataan khusus bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambarNya (Kejadian 1: 26-
27). Status keutuhan manusia diperlihatkan juga oleh kenyataan bahwa Adam dan Hawa pada
mulanya berada dalam kebersesuaian dengan taurat Allah. (Kejadian 2: 19 ff: 3:21). Dalam
Perjanjian Baru kesegambaran dengan Allah diperlihatkan dengan nats Kolose 3: 10
(pengetahuan) dan Efesus 4:24 (ke- benaran dan kesucian).
Philip J. Hefner lebih lanjut menekankan, hal penting yang bisa dikatakan tentang
manusia, dari sudut pandang Kristiani, adalah bahwa manusia diciptakan dengan sebuah
takdir, yang pengungkapannya mengandung sebuah petualangan. Pemahaman ini tidak boleh
dimasukkan ke dalam istilah-istilah baru jika ingin menyampaikan iman Kristiani secara
memadai. Kami memilih istilah “pencipta bersama yang diciptakan untuk mengartikulasikan
apa yang dimaksud dengan umat manusia di bawah kehendak Tuhan. Istilah ini berbicara
tentang ketergantungan, tentang kekuasaan dan otoritas yang diberikan Tuhan, dan tentang
kebebasan dalam batas yang terbatas.”3 Hal ini menekankan bahwa dengan ungkapan "Imago
Dei", manusia merupakan "berada bersama sebuah takdir" (being with a destiny). Inilah salah
satu yang mendasar dari keberadaan manusia.

2
Buku Sipangkeon ni Pangajari Manghatindanghon Haporseaon di HKBP, Pearaja Tarutung: Kantor Pusat
HKBP, 1984, 72
3
Philip J. Hefner, “The Creation”, dalam Christian Dogmatics, disunting oleh Carl E. Braaten et. al, Vol. I,
Philadelphia: Fortress Press, 1984, 323-340
3
Imago Dei menjadi salah satu dari masalah-masalah yang paling banyak didiskusikan
dalam sejarah refleksi teologi Kristen. Beragam penafsiran telah disodorkan oleh teolog
untuk mengartikan konsep Imago Dei.
Claus Westermann dalam "Genesis" mendaftarkan kelompok- kelompok pendapat
mengenai konsep Imago Dei dalam sejarah penafsiran Perjanjian Lama, yaitu:
1. Kelompok yang membedakan antara kesegambaran secara natural dan super natural
dengan Allah.
2. Kelompok yang mendefinisikan "Imago" dalam kapasitas atau kemampuan spritual.
3. Kelompok yang menafsirkan "Imago Dei sebagai "bentuk luar".
4. Kelompok yang berbeda secara tajam dari kelompok nomor 3.
5. Kelompok yang menafsirkan istilah "Imago Dei" dalam penekanan bahwa keberadaan
manusia bersesuaian dengan keberadaan Allah.
6. Kelompok yang menafsirkan "Imago Dei" sebagai status manusia selaku perwakilan Allah
di dunia ini.4
Westerman lebih setuju pada kelompok yang menekankan status manusia selaku
perwakilan Allah di dunia ini dan yang menekankan keberadaan manusia selaku "the
corresponding creature" Allah.5
Selanjutnya James Childs dalam tesis doktornya "The Imago Dei and Eschatology”
(1974) membuat kategori sejarah penafsiran konsep "Imago Dei" sbb:
1. "Imago" sebagai kemanusiaan yang ideal (Gregory dari Nyssa, Thomas Aquinas,
Schleiermacher).
2. "Imago" dalam penafsiran yang dualistis (Irenaeus, Aquinas).
3. "Imago" dalam penafsiran monisme yang ontologis, yakni "imago" yang menunjukkan
suatu persekutuan yang ontologis antara Allah dan manusia (Augustinus, Tillich, Niebuhr).
4. "Imago" dalam penafsiran monisme teologis, yakni "imago" selaku suatu hubungan dari
pribadi manusia yang menyeluruh dengan Allah (Luther, Calvin, Barth dan Brunner).6
Dari keempat kategori ini, saya lebih cenderung memilih kategori keempat di atas.
"Imago Dei" menyatakan hubungan pribadi manusia secara menyeluruh dengan Allah.
Sehingga dengan demikian manusia diberi Allah kebebasan hendaknya, kemampuan untuk
berbuat baik, kemampuan untuk mempunyai tanggung jawab moral dan mempunyai akal
4
Philip J. Hefner, Op.cit.
5
Ibid.
6
Ibid.
4
budi. Dengan adanya kehendak bebas dan kemampuan berbuat baik ini. maka manusia
tidaklah diciptakan sebagai seekor hewan, melainkan sebagai tuan atas seluruh ciptaan
lainnya. Hal ini tentu merupakan reaksi terhadap pandangan evolusionistis. Kita juga perlu
menyampaikan pernyataan ketidaksetujuan terhadap pandangan sekelompok orang yang
mengatakan, manusia pada mulanya berada pada suatu status ketidakberbedaan moral
("moral indifference"). Kelompok tersebut menekankan, manusia pada aslinya bukanlah baik
secara positip dan juga bukan jahat secara negatip. Manusia menurut mereka secara moral
adalah netral atau "in- different". Sebagai jawaban terhadap pandangan-pandangan di atas,
Alkitab mengajarkan bahwa kehendak manusia pada mulanya berada pada kebersesuaian
yang sempurna dengan kehendak Allah yang suci. Kondisi manusia sebelum jatuh ke dalam
dosa merupakan suatu ke- bahagiaan yang tiada taranya, karena empat hal: a. Jiwanya
bijaksana dan kudus, b. Tubuhnya bebas dari penderitaan dan maut, c. Kondisi hidupnya
merupakan hidup yang diberkati Allah, dan d. Tabiatnya sangat menyenangkan. Paling
menyenangkan, karena Allah menempatkan manusia pertama di Taman Eden. Di Taman
yang disebut "paradeisos" itu Adam bertempat tinggal serta menikmati kemurahan Allah. 7
Sumber Daya Manusia yang sempurna tersebut di atas, terpaksa rusak akibat
kejatuhan manusia ke dalam dosa. Manusia berpindah dari kebahagiaan ke kemelaratan,
yakni "status corruptionis". Dalam pengertian "in statu corruptionis" kita melawan ajaran
gnostisisme yang mengatakan, kejatuhan manusia merupakan ketinggian (eksaltasi) manusia
itu sendiri. Kita juga menolak pendapat Schiller yang mengatakan, kejatuhan manusia
merupakan "event" yang paling menguntungkan dalam sejarah umat manusia. Kita
menyangkal pula ajaran panteisme yang menekankan, kejatuhan manusia merupakan langkah
penting dalam perkembangan moral dan intelektual manusia.8
Alkitab mengatakan, kejatuhan manusia menghadirkan kesusahan dan kemelaratan
hingga manusia pertama diusir dari Taman Eden (Kejadian 3:23). Kejatuhan yang
memindahkan manusia ke "in statu corruptionis” mengakibatkan pula kesusahan pada SDM.
Namun manusia tak perlu putus asa. SDM yang ikut jatuh ke dalam dosa diberi pengampunan
oleh Allah dalam Yesus Kristus yang rela berkorban di kayu salib untuk memikul dosa
manusia. Inilah pembahasan penting dalam teologi, yaitu seperti yang ditulis Rasul Paulus
kepada jemaat Korintus, "Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka

7
John Theodore Mueller, Christian Dogmatics, St Louis: Concordia Publishing House, 1955, 206-208
8
Ibid., 210
5
yang tidak terselubung. Dan karena kemuliaan datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka
kita diubah menjadi serupa dengan gambarnya, dalam kemuliaan yang semakin besar” (II
Korintus 3:18).
Pendamaian yang dianugerahkan Yesus Kristus kepada manusia berdosa mencakup
juga pendamaian SDM. Manusia dimampukan oleh Allah untuk memakai kembali SDM yang
sudah ikut jatuh sebelumnya, agar dengan mempergunakan SDM maka Allah dimuliakan.
"Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain,
lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah" (1 Korintus 10:31). Melakukan segala
sesuatu demi kemuliaan Allah merupakan batas-batas sampai di mana SDM dapat
dioperasikan. Artinya, SDM yang dipergunakan oleh orang-orang percaya yang telah
menerima anugerah pengampunan Allah adalah SDM yang doksologis (memuliakan Allah),
dan yang diakonis (melayani sesama manusia). Inilah SDM yang berada di dalam Kristus,
yakni SDM yang merupakan ciptaan baru.
Apabila manusia ada di dalam Kristus maka sumber dayanya juga ada di dalam
Kristus. SDM yang lama sudah berlalu, sesungguhnya SDM yang baru sudah datang (bdk. II
Korintus 5:17). SDM yang berada di luar Kristus adalah SDM yang akan kita ajak supaya
bergabung dengan SDM yang ada di dalam Kristus.

III. SUMBER DAYA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Persekutuan yang benar antara laki-laki dan perempuan merupakan anugerah dan janji
Allah. "Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah
diciptakanNya dia laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka" (Kejadian 1:27). Gereja
terpanggil untuk mewujudkan persekutuan itu dalam kehidupan gereja. Ternyata sebagian
gereja di dunia ini masih bertahan pada ajaran yang menekankan "subordinasi" perempuan,
se- hingga gereja-gereja tersebut membuat subordinasi ini sebagai alasan untuk tidak
menahbiskan perempuan menjadi pendeta. Gereja Lutheran Australia (LCA) hingga sekarang
masih mengadakan forum-forum studi untuk membahas penahbisan perempuan. Sebuah
dokumen berjudul "Women and the Ministry: A study on Women and the Office of the
Public Ministry", menyebutkan argumen-argumen dari yang tidak setuju dan yang setuju
terhadap penahbisan perempuan. Yang tidak setuju antara lain mengatakan, Yesus
memanggil rasul-rasul hanya dari laki-laki. Mereka menafsirkan surat-surat Paulus dalam I
Korintus 14:33b-36, I Korintus 11: 2-16 dan I Timoteus 2: 11-15 sebagai ajaran.
6
"subordinasi" perempuan. Yang setuju mengatakan, subordinasi perempuan adalah akibat
kejatuhan manusia ke dalam dosa. Kita membaca Perjanjian Baru tentang subordinasi dan
submissi perempuan dalam ibadah di bawah terang situasi spesifik gereja mula-mula. "Only a
legalistic reading of these texts leads to the conclusion that there is an unchangeable created
order that lays down fixed male-female relationship", tegas mereka.9
Dalam hal itu, Komisi Iman dan Tata Gereja DGD dalam suatu dokumen studi yang
berjudul "Kirche und Welt" menegaskan, "Die Beherrschung von Frauen durch Manner
gehort nicht zu der menschlichen Gemeinschaft, wie sie Gott in seiner Schopfung gewollt hat
(Gen 2, 23), sondern zu den Folgen der Sunde, die sowohl die Gemeinschaft von Frauen und
Mannern als auch die beziehung zwischen Mensch und Natur entstellen (Gen 3, 16-19). 10
(Penguasaan laki-laki terhadap perempuan tidaklah bentuk persahabatan umat manusia
sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam penciptaan, melainkan merupakan akibat dosa
yang merusak persahabatan laki-laki dan perempuan dan hubungan antara manusia dan
alam).
Pembagian antara laki-laki dan perempuan menimbulkan pertayaan teologis dan
antropologis. Pertanyaan-pertanyaan itu memberi jawaban bahwa kita adalah sebagai laki-
laki dan perempuan. Ada pertanyaan yang fundamental mengenai hubungan antara
keberadaan dan fungsi dan antara biologi dan identitas, yakni: Sejauh manakah fungsi-fungsi
biologis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan menentukan peranan-peranan mereka
dalam masyarakat dan dalam gereja? Sejauh manakah perbedaan kelamin menentukan
perbedaan-perbedaan dalam status dan peranan?
Kita percaya bahwa perbedaan status dan peranan antara laki-laki dan perempuan
telah diperdamaikan oleh Kristus. Dalam Kristus, semua orang (laki-laki dan perempuan)
dituntun ke dalam suatu persekutuan baru, yang di dalamnya kita telah dapat menikmati
kerajaan Allah.
Komisi Iman dan Tata Gereja DGD lebih jauh mendorong perempuan untuk
mempergunakan sumberdayanya yang tak kalah dari sumber daya laki-laki. Selain menjadi
ibu rumah tangga, para perempuan dianjurkan mengisi lapangan-lapangan pekerjaan.11

IV. SDM YANG AXIOLOGIS

9
John G. Strelan, Women and the Ministry, Adelaide: Lutheran Publishing House, 1992, 41-42
10
Kirche und Welt, Frankfurt: Verlag Otto Lembeck, 1991, 59
11
Ibid.
7
Manusia adalah suatu keberadaan ("being") yang diciptakan Allah untuk
melaksanakan fimanNya. Manusia merupakan ciptaan yang menjawab ("responding"). Boleh
saja orang menggantikan kata "responding" dengan kata "responssible" (bertanggungjawab).
Namun pengertian "menjawab" lebih dalam daripada "bertanggungjawab". Di sinilah letak
batas-batas antara manusia dengan hewan. Hewan sebagai makhluk ciptaan tidak akan
mampu menjawab firman Allah. Dari kaca mata dogmatika kita mengatakan, seseorang
hanya dapat menjadi manusia yang sesungguhnya apabila ia menghayati kehadiran Allah dan
belajar untuk berdoa. Esensi manusia berada pada suatu relasi, yakni relasi manusia itu
dengan Allah. Manusia adalah makhluk yang diciptakan untuk hidup bersama Allah. Namun
manusia bukanlah hanya berada pada relasi tersebut. Bahkan manusia bukan hanya relasi.
Manusia adalah juga suatu keberadaan (being) yang hanya menjadi dirinya sendiri sepanjang
ia berada di dalam relasi dengan Allah. Manusia harus "exist" supaya ia dapat masuk ke
dalam suatu relasi dengan Allah.12
Di sinilah letak perbedaan antara manusia sebagai suatu keberadaan dengan ciptaan-
ciptaan lainnya yang juga merupakan keberadaan-keberadaan. Tiap keberadaan mengambil
bagian dalam struktur keberadaan, namun hanya manusia saja yang peduli terhadap struktur
tersebut. Hewan, walaupun ia merupakan suatu keberadaan, tetapi ia tidak peduli terhadap
struktur keberadaan. Paul Tillich menggambarkan ini secara jelas ketika ia mengatakan,
"Every being participates in the structure of being, but man alone is immediately aware of
this structure" (Setiap makhluk berpartisipasi dalam struktur makhluk, namun hanya manusia
saja yang langsung menyadari struktur ini).13 Kepedulian manusia terhadap struktur
keberadaan inilah yang membuka pintu kepada manusia untuk mempunyai sumber daya
sekaligus untuk meningkatkan sumber dayanya. Manusia adalah makhluk yang dimampukan
Allah untuk mengatur ciptaan-ciptaan lainnya. Kita tidak setuju dengan pendapat Cartesius
(Deskartes) yang mendewakan "pengetahuan" tetapi merendahkan martabat manusia.
Semboyannya yang berbunyi "cogito ergo sum" (aku berfikir maka saya ada) justru
membawa manusia pada status yang rendah yakni status yang tidak mempunyai kelebihan
dari ciptaan-ciptaan lainnya. Pengetahuannya malah sudah memindahkan dunia ini ke dalam
sebuah mesin yang di dalamnya seluruh keberadaan yang hidup termasuk tubuh manusia
merupakan bagian-bagian saja.14 Manusia tidak lain daripada sebuah busi atau sebuah
12
Hendrikus Berkhof, Christian Faith, Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1979, 181-182
13
Paul Tillich, Systematuc Theology, Vol. I (London: SCM Press Ltd, 1988, 168-169
14
Ibid.
8
karburator dalam mesin dunia. Begitulah sesatnya orang-orang abad pencerahan
menempatkan manusia pada posisi yang sangat hina.
Oleh karena itu, bagaimanakah keberadaan manusia? Tiga hal yang perlu dipahami
untuk mengerti tentang keberadaan manusia yakni keberadaan manusia yang ontologis,
epistemologis dan axiologis. Ontologis mempertanyakan apakah manusia itu mempunyai
keberadaan yang benar-benar manusia. Epistemologi mempertanyakan apakah keberadaan
manusia itu dapat dimengerti dan apakah manusia itu mengerti akan keberadaannya. Axiologi
mempertanyakan untuk apa manusia itu dan apakah keberadaan hidup manusia sudah layak,
dan apakah yang selayaknya menjadi keberadaan manusia di dalam hidupnya.
Di antara seluruh ciptaan, manusia mempunyai posisi yang paling utama secara
ontologis. Hal ini bukan berarti manusia menjadi obyek terkemuka di antara obyek-obyek
lainnya, melainkan sebagai keberadaan yang mampu mempertanyakan hal-hal yang
ontologis. Manusia itu sendirilah yang mempunyai kepedulian yang mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang ontologis itu. Manusia mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang ontologis tentang dirinya karena ia mengalami langsung struktur keberadaannya beserta
elemen-elemennya.
Pendekatan ontologis ini sangat penting mengingat manusia adalah. makhluk yang
sadar akan struktur-struktur keberadaan. Kesadaran tersebut memungkinkan bekerjanya
kognisi. Manusia hidup dalam struktur-struktur keberadaan dan bertindak melalui struktur itu
yang dengan segera hadir ke manusia.
Di antara makhluk-makhluk ciptaan, hanya manusia pulalah yang dimampukan Tuhan
untuk mengerti tentang keberadaannya. Makhluk-makhluk lain, di luar manusia, tak ambil
peduli terhadap keberadaannya, dan tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersi-
fat epistemologis, Hanya manusia yang dimampukan Tuhan untuk menjawab pertanyaan
epistemoologis tentang dirinya walaupun kemampuan untuk itu terbatas.
Manusia, dalam memahami keberadaan epistemologinya, memohon kepada Tuhan,
"Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;
lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal” (Mazmur 139:23-24).
Hanya dengan bimbingan Tuhanlah manusia dapat mengenali keberadaan dan dosa-
dosanya. Martin Luther mengatakan, "Man also does not know where this sin comes from.
He can know of all those things only after God's word has told him of them... Man becomes
completely aware of his sin only in the light of God's word and law... Man can bear this
9
knowledge only when he stands under the promise of the Gospel." 15 (Manusia juga tidak tahu
darimana datangnya dosa ini. Dia dapat mengetahui semua hal itu hanya setelah firman
Tuhan memberitahunya tentang hal-hal itu... Manusia menjadi sadar sepenuhnya akan
dosanya hanya dalam terang firman dan hukum Tuhan... Manusia dapat memperoleh
pengetahuan ini hanya ketika dia berdiri di bawah janji Injil). Oleh sebab itu manusia tak
perlu bangga akan pengetahuan epistemologinya sebab hanya Tuhanlah yang Maha Tahu.
Dari Dialah manusia memohon hikmat dan pengetahuan.
Selanjutnya Allah mengantarkan manusia dengan sumber daya yang axiologis.
Manusia itu untuk apa? Apakah seseorang itu sudah layak sebagai manusia? Sumber-sumber
daya yang bagaimanakah yang dipunyai seseorang sehingga melalui pemergunaan sumber
daya itu ia hidup dengan selayaknya dan hidupnya memuliakan Tuhan? Itulah pertanyaan-
pertanyaan axiologis yang patut kita jawab. Para nabi dan rasul dalam Alkitab sering
memohon agar Tuhan menjadikan hidupnya layak menjadi pelayanNya kendatipun dengan
segala keterbatasan-keterbatan mereka sebagai manusia. Dalam hal SDM yang axiologis ini
kita perlu mengkaji dan mengisi nilai-nilai yang diharapkan dari manusia maka nilai-nilai itu
bersesuai dengan Alkitab. Pada waktu melayani sebagai pendeta Ressort di sebuah pulau
industri saya melihat ada 3 nilai yang dirumuskan untuk dipunyai oleh manusia yang terlibat
dalam kegiatan teknologi. Pertama, nilai rasionalitas, yang menginginkan segala sesuatu
dapat dijelaskan. Apabila kegiatan industri teknologi tidak masuk akal, maka rusaklah
jalannya industri itu. Kedua, nilai efektivitas, yang memandang manusia sebagai keberadaan
yang mendatangkan keuntungan. Manusia diajak agar giat bekerja secara efektip tanpa
ngobrol ngarol ngidul. Manusia tak dibiasakan untuk melakukan hal-hal yang tak berguna
dan yang tak efektip. Ketiga, nilai efisiensi, yang mengajak manusia menyesuaikan diri
dengan norma, aturan dan hukum. Manusia dianjurkan untuk mementingkan penghematan
waktu, tenaga dan modal. Tugas kita adalah mengarahkan manusia yang terlibat dalam
kegiatan industri itu ke arah jalan Tuhan. Agar ketiga nilai di atas tidak bertentangan dengan
firman Tuhan, serta melihat ketiga nilai itu dari sudut pandang kehendak Allah. Mereka perlu
memperoleh pendidikan iman agar mereka menjadi manusia-manusia yang bernilai dan
bersumber daya yang axiologis di hadapan Tuhan. Pengajaran iman sangat diperlukan untuk

15
Paul Althaus, The Theology of Martin Luther, terj. Robert C. Schultz, Philadelphia: Fortress Press, 1988, 141-
142
10
anggota-anggota jemaat yang menjadi para pelaku teknologi di daerah-daerah industri dan
daerah-daerah penerapan Iptek.
Memang pada awalnya teknologi sangat fungsional. Teknologi mampu membantu
manusia dalam mengeksploitasi alam sehingga kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dalam
aspek materialnya terpenuhi. Saat itu manusia berada di atas teknologi. Namun sejak revolusi
industri abad 18 terjadi perubahan mendasar dalam proses teknologi. Gerakannya pesat
melebihi unsur-unsur kebudayaan lainnya. Teknologi mendeterminasi gagasan-gagasan dan
perilaku-perilaku manusia. Untuk itulah kita mengkhotbahkan firman Tuhan kepada anggota-
anggota jemaat di daerah yang sudah dilanda kemajuan teknologi. Agar sumber daya mereka
senantiasa axiologis dan layak di hadapan Tuhan.
Aspek axiologis teknologi, sebagai penerapan ilmu pengetahuan, hendaknya
diarahkan kepada jalur yang memberi manfaat dan kebaikan bagi kita semua, sehingga iptek
yang telah berkembang menjadi supra-struktur yang mempengaruhi segala aspek kehidupan
dapat dikendalikan. Tanpa kontrol, suprastruktur yang mempunyai kekuatan besar itu akan
merupakan ancaman bagi kesejahteraan umat manusia (misalnya dalam Perang Dunia I dan
II). Oleh karena itu perlu dibangun kekuatan moral yang bertumpu pada kebenaran,
kejujuran. tidak mempunyai kepentingan jangka panjang yang primordial dan yang
menghargai adanya forum argumentasi. Gereja terpanggil untuk mengajarkan firman Tuhan
untuk memotivasi bertumbuhnya SDM yang layak di hadapan Tuhan.

11

Anda mungkin juga menyukai