Anda di halaman 1dari 5

PETUAH NABI IHWAL MEREDAM

DENDAM
Posted by amuaz under Doa-Doa Pelipur Jiwa
Leave a Comment

“Allahumma rabbii nabiyyi muhammadin, ighfirly dzanby, wa azhib ghaizha


qalby, wa ajirny min mudhilatil fitan…”

[Ya Allah, Tuhan Nabi Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah


kemarahan dari dalam hatiku, dan selamatkanlah aku dari segala (bahaya)
kesesatan segala bentuk fitnah [puncak amarah].

Seorang pria paruh baya dan segenggam riwayat kelam dendamnya. Katakanlah
namanya H. Misbah, pengusaha sukses yang saya kenal pribadinya lantaran
persentuhan saya dengan dunia perbukuan. Kepada saya, H. Misbah berkisah
dengan mata nanar dan bibir bergetar-getar.

“Sa..ya tak habis pikir. Ia menikam saya dari belakang! Istri saya sendiri, wanita
yang sudah melahirkan dua anak. Ia bercinta dengan lelaki lain di saat saya
sedang bertugas ke luar daerah! Bukankah ia tahu saya mencari nafkah
untuknya, untuk anak-anaknya? Wanita jalang itu kabur dengan pria muda! Sejak
itu, saya tak mau melihat wajahnya. Berat hati saya memaafkanya…”

Dan siapakah yang darahnya tak mendidih, mengetahui pasangan jiwanya


berkhianat? Siapakah yang hatinya tak merintih-rintih, mendapati teman hidupnya
menikam cintanya dari belakang? Begitulah H. Misbah dan mungkin juga Anda.
Ia yang saya kenal berkali-kali pergi haji itu, tiba-tiba, menjadi pribadi keras dan
getas setiap mengenang tajuk perselingkuhan itu.

Belakangan, saya tersadar, H. Misbah ternyata menyebar luka itu, dendam itu,
ke setiap orang yang dekat dengannya. Kepada saya sendiri, ia sudah entah
kesekian kali mengisahkannya. Saya tahu H. Misbah tidak sendiri, dan ia pun
bukan orang pertama yang meriwayatkan dendamnya ke dalam memori saya.

Saya tercenung; Ilahi, dari bahan apakah kau ciptakan ‘dendam’ itu? Apakah rasa
getir yang kerap mengoyak jiwa manusia ini bagian dari skenario-Mu?

Pertanyaan inilah yang membuat saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Di ketebalan halamannya, saya temukan bahwa kata ‘dendam’ diartikan
berkeinginan keras untuk membalas kejahatan; kata ini pun bisa berarti marah,
sangat tidak senang, berangdan gusar.

Pada titik ini, saya berkesimpulan bahwa dendam, sejatinya, adalah amarah yang
membeku di dalam balutan waktu. Ia serupa sebongkah bara yang yang tak
kunjung padam di ceruk hati seseorang. Dan bara itu kerapkali menyala-nyala
menjadi api ketika angin nafsu menghembuskannya. Maka, tak heran jika sang
pendendam tiba-tiba meradang, menunjukkan gejolak jiwa yang merah, yang
resah, ketika sebongkah baranya tengah bereaksi dalam zat bernama api.

Maka, siapapun yang mendendam berarti seorang yang bersiaga memasuki lorong
waktu yang paling gelap dan berjelaga. Ya, ialah racun yang paling
membahayakan dan mematikan jiwa manusia. Bukankah, konon, dendamlah
muara kenapa kitab-kitab sejarah umat manusia penuh dengan kisah-kisah
berdarah; amuk perang antar bangsa dan seteru sesama saudara yang tak pernah
berkesudahan? Lihat saja Palestina yang terkoyak dan Irak yang boyak di zaman
ini. Semua itu bukti teranyar yang membuat manusia tidak lagi mampu beriba
lantaran jiwa telah diringkus dendam membara.

Tak aneh bila kaum sufi menyematkan predikat Quwwatun Sab’iyyah [kekuatan
binatang buas] di diri sang pendendam, sebab inilah salah satu kekuatan hawa
nafsu yang fiilnya senang membenci yang liyan, yang lakunya selalu berhasrat
menghancurkan yang lain.[i]

Dan tahukah Anda apakah yang dianjurkan junjungan kita, Rasulullah saw.,
ketika amarah itu berkecambah di renik-renik jiwa? Beliau, dalam suatu hadits
yang riwayatnya dariImam Nawawi, pernah berpesan kepada sang istri, ‘Aisyah:
“Wahai ‘Uwaisy [panggilan sayang untuk ‘Aisyah], sebutlah “Allahumma rabbii
nabiyyi muhammadin, ighfirly dzanby, wa azhib ghaizha qalby, wa ajirny min
mudhilatil fitan…” [Ya Allah, Tuhan Nabi Muhammad, ampunilah dosa-dosaku,
hilangkanlah kemarahan dari dalam hatiku, dan selamatkanlah aku dari segala
(bahaya) kesesatan pelbagai bentuk fitnah [puncak amarah].

Saya tercekat membaca kalimat terakhir petuah Rasulullah itu. Dugaan saya,
‘Aisyah saat itu dalam kondisi marah sesaat, namun Nabi mewanti-wanti ihwal
puncak amarah yang pasti berujung pada lahirnya segenap kesesatan aneka ragam
fitnah. Sebab, ‘sedikit marah saja sudah terlalu banyak menyusahkan jiwa dan
akal’, demikian Ali bin Abi Thalib kw.[ii] di suatu masa pernah bertutur.
Apalagi, bila amarah itu mengekal menjadi dendam. Dari sinilah, kita mafhum,
betapa dahsyatnya efek dendam itu.

Sebagian Anda yang sedang dirundung amarah atau tengah berperang


menaklukkan dendam, barangkali, terasa sulit membasahi lidah dengan doa
tersebut. Untuk itu, sebelum berdoa, mari kita berkaca pada seorang muslim
terbaik yang pernah dilahirkan zaman:

Syahdan, Sultan Saladin, pahlawan Islam dari Perang Salib di abad 12 pernah
mengukir tinta emas sejarah dunia. Dikisahkan ia merebut kembali Yerusalem di
musim panas 1187. Namun, menjelang serbuan, Saladin memberi kesempatan
penguasa Kristen kota itu untuk menyiapkan diri agar mereka bisa melawan
pasukannya secara terhormat. Dan ketika pasukan Kristen itu akhirnya kalah juga,
yang dilakukan Saladin bukanlah menjadikan penduduk Nasrani budak-budak.
Saladin malah membebaskan sebagian besar mereka, tanpa dendam, meskipun
dulu, di tahun 1099, ketika pasukan Perang Salib dari Eropa merebut Yerusalem,
70 ribu orang muslim kota itu dibantai dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke
sinagog untuk dibakar.
Tidak hanya itu, Saladin pun mampu meluluhlantakkan hati musuhnya, Raja
Richard yang konon masyhur sebagai Raja Berhati Singa dari Inggris. Saat itu,
ketika Richard sakit dalam pertempuran, Saladin mengiriminya buah pir yang
segar dan dingin, dan juga seorang dokter. Kalbu si Raja Berhati Singa pun tiba-
tiba bertekuk letut. Ia tak kuasa bertikai dan berdarah-darah dengan musuh yang
berhati seperti seorang kekasih itu. Maka perdamaian pun ditandatangani pada 2
September 1192, dan pesta pun diadakan dengan pelbagai pertandingan. Dan
orang Eropa takjub bagaimana agama Islam bisa melahirkan orang sebaik itu.[iii]
Memang, setiap kita pernah menyimpan kisah, namun sayang tidak setiap kita
mampu menyerap hikmah. Selepas kisah heroik dan welas asih yang pernah
ditunjukkan Saladin, ternyata, tak mampu mengubah kebiasaan manusia di zaman
ini. Padahal, bila seorang pendendam ingin mengail hikmah dengan cara
memaafkan dan berwelas asih, pelbagai keuntungan berlipat sungguh akan
menghampirinya. Wajar bila dalam beberapa firman seputar amarah, Allah
menekankan pemberiaan maaf sebagai kunci utamanya: “…Dan apabila mereka
marah, mereka memberi maaf.” [QS. Asy Syura: 37]. “…Dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-
orang yang berbuat kebajikan.” [QS. Ali ‘Imran : 134].

Ketika saya buka Tafsir Al-Misbah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab mengurai
makna kata ‘al-Kazhimin’[orang-orang yang menahan amarahnya] di atas dengan
arti ‘yang penuh dan menutupnya dengan rapat, serupa bejana yang penuh air
lalu ditutup agar tidak tumpah.’

Hal ini sebuah tamsil bahwa al-Kazhimin adalah seseorang yang di hatinya masih
menyimpan perasaan tidak bersahabat, yang pikirannya masih ingin menuntut
balas, namun ia tidak mengabulkan ajakan hati dan pikirannya. Ia menahan
amarah itu agar tidak membuncah. Ia menguasai diri sehingga tidak mencetuskan
kata-kata buruk atau lelaku yang negatif. Nah, bila tahapan ini mampu diatasi oleh
si pengendali amarah, maka– sebagaimana dilansir Quraish—aksi selanjutnya
adalah sikap memaafkan. Pada momen inilah, Allah menggaransi cinta-Nya. “Dia
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan,” yakni segenap manusia yang
bukan sekadar menahan amarah atau memaafkan, tetapi justru yang berbuat baik
kepada yang pernah melakukan kesalahan. Kalau sudah begitu, maka apatah lagi
yang dicari? Bila Allah sudah mencintai, bersiaplah menyongsong anugerah-
anugerah-Nya.[iv]

Barangkali Saladin sedang mengamalkan firman Allah tersebut ketika ia berbuat


baik pada Richard dan membebaskan segerombol musuh-musuhnya itu.Dalam
konteks inilah, saya meyakini bahwa seorang pedendam—meskipun dendamnya
itu beralasan dan terkadang kita bisa maklumi—sejatinya adalah para pecundang.
Ia tidak hanya mengotori imanya kepada sang Ilahi, tapi juga melukai jiwanya
sendiri. Ia membuat ruang gerak hidupnya menjadi sempit dan sesak. Orang
seperti ini selayak sang pengembara yang memikul berkilo-kilo beban tak berguna
di pundaknya. Tidak hanya itu, sifat yang satu ini konon juga dapat menggerogoti
fisiknya secara diam-diam. MenurutCharles Spielberger, Ph.d dari Departemen
Psikologi, University of South Florida, menilai amarah itu dapat mengganggu
fungsi organ hati, jantung dan sistem hormon. Sedang peneliti Dr. Redford
William dari Duke University dan Robert Sapolsky dari Standford University
menemukan bahwa amarah, amuk, dan kebencian secara khusus itu dapat merusak
sistem kardiovaskular [yang berhubungan dengan jantung dan pembuluh darah]
[v]Untuk itulah, saya berkesimpulan bahwa memaafkan itu bukan untuk orang
yang kita dendami, tapi untuk kita sendiri, untuk segala hal baik buat hidup kita
sendiri. Dari sinilah, saya kira, petuah Nabi di atas dapat kita baca dan khidmati di
dalam sanubari. [Az]

Ketika Satu Petuah Belum Mencukupi


Saya tahu bahwa ada sebagian kita yang terasa sulit menzikir pesan indah
Rasulullah tersebut. [Yah, karena alasan malas menghafal, misalnya]. Untuk
itulah, Sang Nabi Pamungkas itu menyodorkan satu tips kecil yang—menurut
saya—sangat powerful. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya
kemarahan itu dari setan, dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api.
Sesungguhnya api hanya dapat dipadamkan dengan air. Jadi, jika salah seorang
diantara kamu marah, maka berwudhulah.” [HR. Ahmaddan Abu Daud]
[vi]Membaca hadits ini, saya terhenyak; bahwa wudhu yang baik, wudhu yang
bukan sekadar ritual semata itu teryata obat jiwa yang sangat mujarab.

Dan biarkanlah air suci itu menembus pori-pori Anda, meresap ke renik-renik urat
syaraf Anda yang tegang; meluruhkan ketegangan, kebencian, dan nafsu
Quwwatun Sab’iyyah Anda. Setiap air yang Anda basuh adalah energi Ilahi yang
tidak hanya menyimpan doa agar amarah Anda pergi, tapi juga men-charge jiwa
Anda yang baru, jiwa suci yang siap menyongsong hari baru.Karena air, dalam
sebuah penelitian terungkap; bila ia diniatkan untuk hal-hal baik, maka ia akan
merespon dengan baik. Ia dapat berbentuk serupa kristal.[vii] Nah, bayangkanlah
bila kristal itu menempel di wajah kita, di tangan kita, di kaki kita, di setiap
anggota tubuh dimana kita berwudhu. [Hmmm. Tak aneh bila seorang saleh yang
biasa menjaga wudhu, mukanya nampak putih berseri-seri selayak kilauan butir
kristal yang menempel di wajahnya]. Karena itu, resapilah air wudhu itu sebagai
obat hingga kita terselamatkan dari bara amarah yang masih mengganjal.
Semoga, petuah yang satu ini menyelamatkan kita dari ancaman Allah di sebuah
hadits Qudsi: “Wahai Manusia, ingatlah kepada-Ku jika kamu marah, maka Aku
akan mengingatmu bila Aku murka sehingga Aku tidak akan membinasakanmu
sebagai orang yang Kubinasakan.”[viii] [HR. Ibnu Abu Hatim]. [Az]

[i] Lihat Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cina Ilahi Pencerahan Sufistik, Rosda
Karya, Cetakan Ketiga, Maret 2000.

[ii] Lihat Syeikh Fadhlullah al-Ha’iri ,Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan
Aku, Kata-Kata Mutiara Ali bin Abi Thalib, Pustaka Hidayah, Bandung, Cetakan
III, Februari, 2005.

[iii] Lihat Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4, Jakarta, Grafiti; 1995.

[iv] Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 2, Lentera Hati, 2002.

[v] Lihat Harian Umum Kompas, 20/Maret/2006.


[vi] Lihat Muhammad Nasib Ar-Rifai, Ringkasan Ibnu Katsir, Gif, Jakarta,
1999.

[vii] Lihat Masaru Emoto, The True Power of Water; MQ Publishing; Bandung;
Mei, 2006.

[viii] Lihat Muhammad Mahmud Abdullah, Terapi Doa Al-Qur’an, Mizania,


2006.

Anda mungkin juga menyukai