Anda di halaman 1dari 25

Racun Ashabiyah gerakan gerakan Islam

Filed under: Noor of Islam Leave a comment November 26, 2010


Perkembangan kelompok, jamaah dan harakah-harakah di tubuh umat Islam adalah sesuatu yang menggembirakan. Tapi awas bahaya sikap bangga diri Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. [Ali Imran: 103] Tak dapat dipungkiri bahwa kaum Muslimin saat ini terdistribusi dalam beberapa kelompok, jamaah, dan harakah. Di dalam suatu wilayah yang tidak terlalu luas di suatu kota, misalnya, kita dapati berbagai ragam harakah yang masing-masing memiliki pengikut setianya sendiri. Kenyataan ini seharusnya kita sikapi secara bijak dengan menerima apa adanya. Realitas Lumrah Kita tidak perlu risau, gelisah, atau salah tingkah menghadapi realitas tersebut, karena Islam sendiri tidak menghalangi ummatnya untuk membentuk suatu perserikatan, kumpulan, atau jamaah, karena ini merupakan sunatullah. Firman Allah: Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui. [Ar-Rum: 22] Selain itu, di zaman Rasulullah sendiri sudah terjadi pengelompokan identitas, yaitu Muhajirin dan Anshar. Padahal, jumlah ummat Islam pada waktu itu masih sangat sedikit. Terhadap realitas ini Rasulullah sendiri tidak risau. Beliau justru memanfaatkannya untuk melakukan konsolidasi. Dalam satu riwayat dikisahkan bahwa suatu ketika, selesai dari satu peperangan Rasulullah membagi-bagikan harta rampasan yang jumlahnya melimpah kepada pasukan Islam. Dengan maksud menguatkan iman orang-orang muallaf dari Makkah, beliau sengaja memberi bagian yang lebih banyak kepada mereka. Distribusi yang dianggap tidak merata itu kemudian menjadi pergunjingan di kalangan kaum Anshar yang merasa mendapatkan bagian lebih sedikit. Mereka bahkan hampir menuduh Nabi tidak adil, karena dinilai lebih memprioritaskan kaumnya. Menanggapi isu tersebut, Rasulullah bersikap arif. Beliau berkata: Apakah kalian tidak rela mereka pulang membawa harta rampasan, sedang kalian pulang dengan membawa Utusan Allah? Mendengar ucapan itu, mereka semua menangis. Apakah setelah kejadian itu Rasulullah segera meniadakan sama sekali identitas kedua kelompok tersebut? Tidak. Kaum Muhajirin adalah aset tak ternilai. Demikian juga kaum

Anshar. Berdirinya kelompok-kelompok dalam tubuh kaum Muslimin adalah realitas, bahkan eksistensinya diakui oleh Al-Quran. Firman Allah: Dan orang yang menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. [Al-Hasyr: 9] Racun Ashabiyah Pengelompokan di tubuh kaum Muslimin itu bermasalah jika antara yang satu dengan yang lain mulai timbul sikap bangga diri atau kelompok sekaligus merendahkan kelompok, jamaah, atau harakah lainnya (Ashabiyah). Kebanggaan kolektif ini lebih sulit penanggulangannya dibandingkan dengan kebanggaan pribadi. Akibat yang ditimbulkannya juga jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan kebanggaan individual. Itulah sebabnya Rasulullah SAW melarang sikap-sikap tersebut dengan sabda beliau: Hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan terhadap nenek moyang mereka yang telah menjadi batu bara di neraka Jahannam atau (jika tidak) mereka akan menjadi lebih hina di sisi Allah dari kumbang yang hidungnya mengeluarkan kotoran. (Riwayat Abu Dawud, Turmidzi dan Ibnu Hibban. Turmidzi menghasankan hadits ini). Cukuplah seseorang dinilai telah berbuat kejahatan bila ia merendahkan saudaranya sesama Muslim. [Riwayat Muslim]. Kebanggaan golongan sekaligus merendahkan golongan lain bisa berakibat fatal, yakni menimbulkan sikap ekslusif, menutup diri. Akibatnya tidak bisa mengambil pelajaran dan menerima kebenaran dari pihak lain karena terhalangi oleh sikap gengsi. Akibatnya berikutnya, jamaah seperti ini cepat atau lambat akan mengalami stagnasi, pelan-pelan mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran, dan akhirnya mati. Padahal jika seandainya mereka bersikap tawadhu, mereka bisa belajar dari jamaah yang lain. Kekuarangannya bisa ditutupi sedang kelebihannya semakin disempurnakan. Umur jamaah seperti ini bisa jauh lebih panjang. Kesombongan kolegial juga berdampak pada ketiadaan kerjasama dan saling menyayangi antar jamaah, padahal musuh mereka sama. Ketika musuh sudah bersatu, justru antar jamaah Muslim saling berseteru. Jika ada satu harakah yang maju, yang lain mundur tidak membantu. Lebih parah lagi, ketika harakah tersebut mengalami kekalahan justru disoraki. Inilah penyakit kaum Muslimin yang umurnya sudah berabad-abad, yang hingga kini belum terobati. Sesekali sembuh, tapi lebih sering kambuh. Kalau sudah begitu, jangan harap musuh yang ada di depan mata seperti Israel sekarang ini sangat sulit dikalahkan. Padahal Allah menorehkan sejarah emas bagi kelompok Muhajirin dan Anshar karena mereka saling berkasih sayang, saling membantu, dan bekerjasama. Mereka hidup bersama dan berperang menghadapi musuh secara bersama. Ketika menghadapi kesulitan mereka solid, ketika lapang mereka saling berbagi. Terus terang, kita merindukan kembalinya jamaah-jamaah seperti itu. Saling Menguatkan, Bukan Melemahkan Kita tidak keberatan jika di negeri ini ada sepuluh partai Islam, seratus harakah Islam atau seribu ormas Islam sekalipun, asal di antara mereka terjadi silaturahim, sinergi, dan

kolaborasi. Akan tetapi jika di antara mereka saling membanggakan diri, dua partai Islam saja sudah menyesakkan hati, tiga harakah saja sudah menyusahkan, dan lima ormas Islam saja sudah meresahkan. Kelompok, golongan, jamaah atau harakah seperti itu tidak menguatkan, malah menjadi sumber kelemahan dan kekalahan. Allah telah mengingatkan: Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya serta janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya allah beserta orang-orang yang sabar. [Al-Anfal: 45-46] Sangat disayangkan, banyak di antara anggota jamaah yang kerjanya hanya mencari-cari kelemahan dan kekurangan jamaah yang lain, kemudian menyebarluaskannya. Budaya seperti ini sungguh sangat memprihatinkan kita. Apalagi jika sikap seperti itu kemudian dibenarkan oleh para elit jamaah, maka akan semakin lengkaplah penderitaan kaum Muslimin. Lebih parah lagi, jika di antara mereka terjadi saling mengkafirkan. Tuduhan sebagai ahli bidah, ahli syirik, dan kelompok munafik menjadikan kelompok-kelompok dalam Islam bukan saja lemah posisinya, tapi menghancurkan diri mereka sendiri. Sehingga untuk mengalahkan kaum Muslimin, kaum kafir tidak perlu dengan berperang lagi, karena di antara kita sendiri sudah saling membunuh. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW dengan tegas bersabda: Apabila berhadapan dua orang Muslim dengan pedangnya masing-masing, maka baik yang membunuh maupun yang terbunuh masuk neraka. Seorang Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, itu layak bagi yang membunuh, tetapi bagaimana dengan yang terbunuh? Beliau menjawab: Sesungguhnya dia (yang terbunuh) juga berkehendak membunuh Sahabatnya itu. [Riwayat Muslim] Biang Ashabiyah Biang keladi dari penyakit kronis ashabiyah yang diderita jamaah-jamaah adalah sikap hasud, iri, atau dengki. Di antara jamaah -jamaah Islam ada yang merasa sedih jika jamaah lain mempunyai kelebihan sebagai anugerah dari Allah, sementara mereka merasa gembira manakala jamaah itu mendapat kesusahan atau ujian. Perasaan seperti itu kadang disembunyikan, tapi tak jarang pula dinampakkan. Sungguh ironis, bukankah tujuan kita berjamaah justru untuk saling menguatkan, tapi mengapa kita melemahkan jamaah kita dengan berhasud ria terhadap jamaah lain? Bukankah Allah telah berfirman: Apakah mereka dengki kepada manusia atas anugerah Allah yang diberikan kepadanya? [QS. An-Nisaa: 54] Sangat disayangkan, kita yang sudah ditarbiyah dan tercerahkan, malah menjadi pendengki. Renungkanlah sabda Nabi berikut ini: Takutlah kamu sekalian pada sifat dengki, karena dengki itu akan memakan amalanamalan yang baik sebagaimana api memakan kayu bakar. Atau beliau bersabda: (memakan) rumput kering. (Riwayat Bukhari dan Muslim). Wallahu alam bishshawab.

Soal: Ada anggapan, bahwa mengajak orang lain untuk bergabung dan berjuang dengan salah satu kelompok Islam adalah bagian dari sikap ashabiyah yang dilarang keras oleh Islam. Demikian juga ketika anggota kelompok tersebut mengadopsi pandangan, hukum dan pemikiran tertentu. Benarkah demikian? Jawab: Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa poin yang perlu dijelaskan. Pertama: pengertian ashabiyyah itu sendiri. Ashabiyah adalah sifat yang diambil dari kata ashabah. Dalam bahasa Arab, ashabah berarti kerabat dari pihak bapak. Menurut Ibn Manzhur, ashabiyyah adalah ajakan seseorang untuk membela keluarga, tidak peduli keluarganya zalim maupun tidak, dari siapapun yang menyerang mereka. Menurutnya, penggunaan kata ashabiyyah dalam hadis identik dengan orang yang menolong kaumnya, sementara mereka zalim.1 Pandangan ini sama dengan pandangan al-Manawi ketika menjelaskan maksud hadis: Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ashabiyah (HR Abu Dawud). Beliau menyatakan, Maksudnya, siapa yang mengajak orang untuk berkumpul atas dasar ashabiyah, yaitu bahu-membahu untuk menolong orang yang zalim. Sementara al-Qari menyatakan, Bahu-membahu untuk menolong orang karena hawa nafsu.2 Dalam hadis lain, larangan berperang di bawah bendera Ummiyyah atau Immiyyah, menurut asSindi, adalah bentuk kinyah, yaitu larangan berperang membela jamaah (kelompok) yang dihimpun dengan dasar yang tidak jelas (majhl), yang tidak diketahui apakah haq atau batil. Karena itu, orang yang berperang karena faktor tashub itu, menurutnya, adalah orang yang berperang bukan demi memenangkan agama, atau menjunjung tinggi kalimah Allah.3 Dengan demikian, jelas bahwa makna ashabiyyah di sini bersifat spesifik, yaitu ajakan untuk membela orang atau kelompok, tanpa melihat apakah orang atau kelompok tersebut benar atau salah; juga bukan untuk membela Islam, atau menjunjung tinggi kalimat Allah, melainkan karena dorongan marah dan hawa nafsu. Karena itu, ajakan untuk bergabung dengan kelompok Islam tertentu, yang jelas-jelas berjuang untuk Islam, berdasarkan Islam, dan diikat dengan ikatan ideologi Islamdengan pandangan, pemikiran dan hukum-hukum yang diadopsinya juga Islamtidak bisa disebut sebagai bentuk ashabiyyah. Kedua: secara faktual, nash-nash syariah mungkin untuk dipahami secara berbeda, baik karena faktor dallah-nya, yang bersifat zhanni, maupun karena faktor kemampuan orangnya, sehingga berpotensi melahirkan perbedaan. Dari perbedaan itu akhirnya berpotensi melahirkan mazhab atau kelompok pemikiran yang berbeda. Karena itu, adanya mazhab atau kelompok pemikiran

yang berbeda jelas merupakan keniscayaan yang dibenarkan oleh Islam. Pada zaman Nabi saw. pun muncul dua kelompok yang berbeda dalam memahami hadis ini: Janganlah kalian shalat ashar, kecuali di Bani Quraizhah (HR ath-Thabari). Kelompok pertama memahami bahwa harus shalat terlebih dulu, kemudian bergegas berangkat ke Bani Quraidhah. Kelompok kedua memahami bahwa tidak boleh shalat terlebih dulu, kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah. Kedua pemahaman yang berbeda dari kedua kelompok Sahabat ini pun sama-sama dibenarkan oleh Nabi saw. Ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan, termasuk konsekuensinya, yakni lahirnya kelompok pemikiran yang berbeda, juga dibenarkan. Karena itu, adanya kehidupan berkelompok di tengah masyarakat merupakan keniscayaan dan fitrah. Adanya kelompok-kelompok di tengah masyarakat itu juga bukan merupakan sesuatu yang terlarang. Kalaupun ada larangan, dasarnya bukan karena kelompok, tetapi pemikiran dan ideologinya. Selama kelompok-kelompok tersebut didirikan berdasarkan akidah Islam; anggotaanggotanya juga diikat dengan akidah Islam; pandangan, pemikiran dan hukum yang diperjuangkannya juga pandangan, pemikiran dan hukum Islam, maka tidak ada alasan secara syari untuk melarang kelompok tersebut. Ketiga: adanya perintah dari Allah Swt. untuk membentuk kelompok yang menyerukan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana dalam firman-Nya: Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104). Perintah di atas bisa dipahami sebagai perintah agar mengajak orang lain untuk masuk menjadi anggota kelompok tersebut. Sebab, logikanya tidak mungkin kelompok yang diperintahkan tersebut bisa dibentuk, sementara mengajak orang lain untuk bergabung dengan kelompok tersebut tidak boleh. Ini merupakan dallah iltizm dari nash di atas. Oleh karena itu, mengajak orang pada mazhab atau kelompok Islam tertentu tidak bisa dianggap sebagai bagian dari sikap ashabiyah atau tashub. Hanya saja perlu dicatat, bahwa pembentukan kelompok tersebut bukan merupakan tujuan, melainkan wasilah untuk melaksanakan tujuan, yaitu menyerukan Islam, dan demi amar makruf nahi mungkar. Karena itu pula, mengajak orang untuk bergabung atau masuk di dalam kelompok tersebut juga tidak boleh dijadikan sebagai tujuan utama. Sebab, tujuan utamanya bukanlah itu, melainkan mengajak orang lain pada Islam, baik untuk memeluk Islam maupun menerapkan Islam secara kaffah; selain untuk amar makruf nahi mungkar. Namun, juga harus dicatat, bahwa tanpa adanya wasilah (kelompok) tersebut, tujuan yang dituntut oleh Allah di dalam QS Ali Imran ayat 104 itu juga tidak akan bisa diwujudkan. Pada titik inilah berlaku kaidah:

Suatu kewajiban tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Dengan penegasan Allah, bahwa kelompok tersebut adalah kelompok yang menyerukan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar, maka dasarnya harus berupa akidah Islam. Pemikiran, pandangan dan hukum-hukum yang diemban kelompok tersebut juga harus terpancar dari akidah Islam. Semuanya itu kemudian dijadikan sebagai ikatan yang mengikat keanggotaan para anggotanya. Namun, itu saja belum cukup, kelompok tersebut juga harus mempunyai pemimpin yang ditaati oleh para anggotanya. Dengan demikian, adanya pemikiran, pandangan dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh anggotanya, serta pemimpin yang ditaati, tidak bisa dianggap sebagai sikap tashub. Sebab, semuanya ini masih menjadi bagian dari konsekuensi perintah yang dimaksud oleh nash di atas. Tanpa itu, mustahil perintah tersebut bisa diwujudkan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt. Wallhu alam. [] Catatan Kaki: 1. Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, Dar al-Fikr, t.t.I/606. 2. Muhammad Syamsu al-Haq, Aun al-Mabud, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, XIV/17. 3. As-Sindi, Hasyiyah as-Sindi ala Ibn Majah, Maktabah Syamilah, t.t., VII/318.

Ashabiyah
Minggu, 05 Februari 2012 13:32 Editor

Ashabiyah/ilustrasi

Ashabiyah,berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat dan ashabah dengan makna ikatan. Ashabiyah merujuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Istilah ini sudah dikenal sejak zaman pra-lslam.

Ibnu Khaldun, cendekiawan Muslim, menjadikannya sebagai konsep sosial dalam bukunya Muqadimmah. Menurut Ensiklopedi Islam, pada perkembangan selanjutnya, muncul istilah al ashabiyah al Islamiyah (semangat keislaman) dan al ashabiyah al jinsiyyah (fanatisme kesukuan). Bangsa Arab, terutama sebelum Islam, menganut sistem dan hidup dalam kelompok kekerabatan yang besar. Struktur masyarakat didasarkan atas klan yang anggotanya berdasarkan hubungan darah. Sistem hubungan demikian menumbuhkan solidaritas kesukuan yang kuat. Lebih jauh, ashabiyah ini dapat melahirkan chauvanisme atau sifat patriotisme berlebihan. Suku lain dianggap musuh yang harus dibinasakan. Satu suku yang ashabiyahnya kuat menaklukkan suku yang ashabiyahnya lemah. Ashabiyah juga dipahami bebagai solidaritas sosial. Penekanannya pada kesadaran, kepaduan, dan persatuan kelompok. Ashabiyah merupakan fenomena sosial, psikologis, fisik, dan politik. Ashabiyah tak mesti bersisifat nomadis dan tak mesti berdasarkan hubungan darah Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern menyebut maknanya dekat dengan gagasan Emile Durkheim tentang kesadaran kolektif. Ashabiyah berperan menyatukan sekelompok orang dalam berhadapan dengan orang asing sekaligus mengukuhkan nilai dan norma kelompok itu. Semangat dan moral saling berkelindan, terutama dalam masyarakat nomadis. Ashabiyah nomadis pra-islam sangat dilaknat oleh Nabi Muhammad karena sering digunakan sebagai penggerak perang suku. Seperti sifat manusia lainnya, ashabiyah bisa baik atau buruk tergantung tujuan penggunaannya. Sejarah Islam memberikan banyak contoh mengenai hal ini terutama pada masa kekhalifahan. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, pemberontakan Muawiyah terhadap khalifah yang sah, Ali bin Abu Thalib, dan pengambilalihan kekhalifahan dengan kekerasan terjadi akibat ashabiyah Muawiyah yang kuat. Gagalnya perlawanan yang dilakukan Husain, putra Ali, menurut Ibnu Khaldun, diakibatkan kuatnya ashabiyah Yazid. Dalam konteks ini, kelompok pemikir Ikhwan al-Shafa dan Ibnu Khaldun menyaksikan kebangkitan dan kejatuhan banyak negara selama kekuasaan Islam. Sejarah Islam memperlihatkan, ashabiyah juga dapat meningkatkan atau menurunkan kekuasaan, mengikuti perubahan situasi. Banyak pemimpin yang kehilangan ashabiyah setelah menderita kekalahan. Lainnya, memperoleh ashabiyah kuat usai mengalami kemenangan. Ibnu Khaldun. Ikhwan al-Shafa, dan pemikir Muslim lainnya meyakini pula bahwa sepanjang sejarah Islam terdapat hubungan kuat antara ashabiyah dan agama. Menurut mereka, agama memperkukuh kepaduan kelompok. Fungsi sosial agama dalam menyatukan orang terlihat setelah bangsa Arab menjadi Muslim. Tatkala ashabiyah kesukuan orang Arab berpadu dengan beberapa aspek agama, mereka menjadi sangat religius. Mereka memperlihatkan semangat dan kesetiaan yang mengagumkan kepada

Islam. Setelah Rasulullah wafat, ashabiyah mereka ditujukan kepada kaum tak beriman di luar Arab. Pada abad ke-19 dan ke-20, bangsa Arab yang berada di bawah pemerintahan asing merasakan kebutuhan akan persatuan, solidaritas, dan penentuan nasib sendiri yang merupakan unsur utama ashabiyah. Sesudah itu, lahir kesadaran bersama melakukan perlawanan. Secara spesifik, hal itu berhubungan pula dengan penyerbuan Napoleon ke Mesir, pendudukan yang dilakukan oleh Italia terhadap Tripoli. Deklarasi Balfour pada 1917, dan kemudian berdirinya Israel. (ferry kisinandi/republika).
http://koranfakta.net/islamipedia/hikmah/515-ashabiyah.html

4.1.9 Tidak Ada Ashabiyah dalam Islam


Pertama kali yang diperbuat oleh Islam dalam persoalan ini, yaitu: Islam tidak mengakui ashabiyah dengan segala macamnya, dan mengharamkan kaum muslimin menghidup-hidupkan setiap perasaan atau apa saja yang mengajak kepada ashabiyah. Rasulullah sendiri telah mengumandangkan pernyataan, bahwa orang yang berbuat demikian tidak akan diakui sebagai ummatnya. Sabda Nabi:
"Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah." (Riwayat Abu Daud)

Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta'asshub) karena warna kulitnya melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi daerah orang lain. Dan tidak halal pula seorang muslim membela golongannya karena ta'asshub baik dalam kebenaran, kebatilan, keadilan dan kecongkakan.
Wailah bin al-Asqa' pernah bertanya kepada Rasulullah: "Apakah yang disebut ashabiyah itu?" Maka jawab Nabi: "Yaitu kamu membela golonganmu pada kezaliman." (Riwayat Abu Daud)

Dan Allah telah juga berfirman:


"Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan sebagai saksi karena Allah sekalipun terhadap diri-dirimu sendiri, atau terhadap kedua orang tua dan kerabatmu." (an-Nisa': 135)

"Dan jangan sampai karena kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu tidak berlaku adil." (al-Maidah: 8) Rasulullah menterjemahkan mafhum kalimat ini yang sudah sangat popular di kalangan orang jahiliah dan diartikan menurut lahiriahnya. Maka sabda beliau:
"Tolonglah saudaramu yang menganiaya ataupun yang dianiaya."

Setelah Rasulullah menyampaikan terjemahan ini kepada para sahabatnya yang sesudah lebih dahulu meresapkan iman ke dalam hati mereka, karena apa yang diucapkan oleh Rasulullah itu ada maksud lain, maka para sahabatnya merasa heran dan tercengang. Justru itu mereka kemudian bertanya:
"Ya Rasulullah! Kami bisa saja menolong saudara kami yang dizalimi, tetapi bagaimana kami harus menolong saudara kami yang berbuat zalim?" Maka jawab Nabi: "Yaitu kamu tahan dia dari berbuat zalim. Yang demikian itu berarti suatu pertolongan buat dia." (Riwayat Bukhari)

Dari sini kita dapat mengetahui, bahwa setiap anjuran di kalangan kaum muslimin kepada fanatik daerah seperti ajakan untuk fanatik chauvinisme, atau ajakan untuk fanatik kepada golongan sentris seperti nasionalisme, adalah propaganda jahiliah yang samasekali tidak diakui oleh Islam, oleh Rasulullah dan oleh al-Quran. Islam samasekali tidak mau mengakui setiap loyalitas yang di luar kepercayaan Islam. Tidak juga mengakui setiap perserikatan yang bukan ukhuwah Islamiah. Dan tidak pula mengakui setiap ciri yang membedakan manusia, selain ciri iman dan kafir. Oleh karena itu setiap orang kafir yang menentang Islam adalah musuh orang Islam kendati dia bertetangga dan salah seorang dari anggota keluarga, bahkan kendati dia itu saudara kandung sendiri. Sebab Allah telah berfirman:
"Kamu tidak dapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu menaruh cinta kepada orang yang ingkar kepada Allah dan Rasulnya sekalipun mereka yang ingkar itu ayah-ayah mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau keluarga mereka." (al-Mujadalah: 22)

Dan firmanNya pula:


"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan ayah-ayah kamu dan saudara-saudara kamu sebagai kekasih (ketua), jika mereka itu lebih suka kufur daripada beriman." (at-Taubah: 23)

Solidaritas Sosial Ashabiyah menurut Ibnu Khaldun

I.

Pendahuluan Perkembangan konsep maupun teori yang dikembangkan seorang intelektual tentu tidak terlepas dari kondisi sosial maupun politik yang mengharuskan dirinya merespon, menganalisis, kemudian menghasilkan solusi untuk memberi solusi terhadap persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, solusi yang diberikan akan membumi dan banyak memberi manfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat. Persoalan yang dihadapi langsung direspon dengan mengedepankan metode yang aktual dan relevan dengan konteks yang dihadapi. Selain itu, dalam konteks keilmuan, penyelesaian semacam ini bisa membantu perkembangan teori baru. Tentu saja, ini akan memberi manfaat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat luas. Ibn Khaldun barangkali merupakan salah satu intelektual yang bisa dikatakan demikian. Berangkat dari kontak dan hubungan secara langsung terhadap berbagai kondisi dan perkembangan politik yang ditemui di berbagai tempat, serta analisisnya terhadap sejarah sebelumnya, ditambah lagi pengamatannya yang menggunakan pengembangan pendekatan keilmuan sosiologis, saat itu, memberikan dan membuka kontribusi cakrawala baru baru bagi bagi

pengembangan keilmuan selanjutnya. Karenanya, tidak salah apabila banyak kalangan intelektual maupun akademisi menempatkannya sebagai ilmuan modern. Teori ashabiyah merupakan salah satu bukti kejelian dan kecerdasan Ibn Khaldun dalam menganalisis persoalan politik dan negara. Di mana ashabiyah merupakan kunci lahir dan terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang siap merespon segala kondisi yang terjadi dilingkungannya. Sebaliknya, jika unsur ashabiyah suatu masyarakat sudah melemah, maka negara itu berada dalam ancaman keruntuhan. Alhasil, sampai sekarang tesis tersebut masih terbukti benar, dan bahkan teori ashabiyah ini menjadi inspirasi bagi pergerakan politik kontemporer. Ibn Khaldun memisahkan istilah ashabiyah menjadi dua pengertian[1]. Pertama, bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan

(brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban. Pengertian kedua bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan dan tata nilai dalam masyarakat muslim. Karena akan mengaburkan nilainilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama. Untuk detail tulisan ini, penulis membatasinya dengan memfokuskan perbincangan pada seputar teori ashabiyah dalam ranah sosial, cultural dan kenegaraan.

II.

Sosok Ibnu Khaldun Nama lengkapnya Abdurrahman Abu Zaid yang kemudian mendapat gelar Waliyyuddin, ia lahir di Tunisia pada awal bulan Ramadhan 732 H. (1332 M) dan meninggal di Kairo Mesir pada tanggal 25 Ramadhan 808 H. (1406 M). Ibn Khaldun merupakan tokoh muslim terkemuka, bahkan, di zamannya ia dikenal sebagai ilmuan pioner yang memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan alasanalasan untuk mendukung fakta-fakta yang terjadi.[2] Ibn Khaldun juga terkenal sebagai ilmuan sosiologi, ekonomi, politik, serta pernah juga terjun dalam kancah politik praktis. Itu semua tidak terlepas dari latar belakang keluarganya yang pernah menjadi politisi, intelektual, sekaligus aristokrat. Bahkan sebelum pindah ke Afrika, keluarganya pernah menjadi pemimpin politik di Moor Spanyol. Pendidikan Ibn Khaldun dimulai dari ayahnya sendiri yang bertindak sebagai guru pertama. Kemudian belajar bahasa kepada Abu Abdillah Muhammad Ibnu al-Arabi al-Husairi, Abu al-Abbas Ahmad Ibnu al-Qushar, serta Abu Abdillah alWadiyashi. Belajar fiqh kepada Abi Abdillah Muhammad al-Jiyani dan Abu al-Qassim Muhammad al-Qashir. Selain itu, Ibn Khaldun juga belajar ilmu logika, teologi,

matematika, dan juga astronomi kepada Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ibrahim alArabi.[3] Pada tahun 1354 ia memulai karir politiknya, dengan menjabat sebagai sekretaris Sulthan Abu Inan dari Fess Maroko. Namun sayang pada tahun 1357 Ibn Khaldun dicurigai sebagai penghianat sehingga dipenjara selama 21 bulan. Kemudian dibebaskan kembali setelah Abu Inan wafat, dan pemerintahan saat itu dipegang oleh Abu Salim, yang kemudian merehabilitasi namanya, sehingga kembali lagi menjabat pada salah satu posisi penting. Pada tahun 1361 karena terjadi intrik politik yang menyebabkan terbunuhnya Abu Salim, lagi-lagi Ibn Khaldun dicurigai, dan memaksanya untuk pindah ke Granada.[4] Di Granada Ibn Khaldun diterima secara hormat oleh Sultan Mahmud V, dan pada tahun 1364 memberinya kepercayaan dengan mengutusnya sebagai duta ke istana Pedro el Cruel, seorang raja kristen Castilla di Seville untuk mengadakan diplomasi perjanjian damai antara kedua kerajaan. Karena misinya berhasil, selain memberi kesan mendalam, ternyata keberhasilan tersebut merasa mengundang popularitasnya kecemburuan Perdana Menteri Ibnu al-Khattib yang

memudar. Karena situasi tidak bersahabat dan kebetulan mendapat undangan dari Abu Abdullah (Penguasa Bouqie) untuk diangkat menjadi Perdana Menteri, maka pada tahun 1365 ia memenuhi undangan tersebut. Namun pada tahun berikutnya ia sudah pindah ke Konstantin menjadi pembantu Raja Abdul Abbas. Kemudian setelah merasa tidak dipercaya lagi menduduki jabatan penting, Ibn khaldun memilih menetap di Biskra. Akhirnya, di sanalah ia memutuskan untuk meninggalkan panggung politik praktis yang dulu pernah melambungkan dan membesarkan namanya, lalu lebih memilih menekuni bidang kesarjanaannya.[5]

III.

Ringkasan Singkat Buku Fikr Ibn Khaldun, al-'Ashabiyah wa ad-Dawlah

Adapun yang menjadi alasan menapa Abid aljabiri menulis desertasi tentang pemikiran Ibnu Khaldun adalah ingin mengembalikan intisari pemaknaan yang yang telah dituliskan oleh Ibnu khaldun dalam Mukaddimahnya, karena ia melihat banyaknya kekeliruan para peneliti dalam menjadikan Mukaddimah sebagai sumber

ditambah lagi pemahaman mukaddimah sulit dipahami. Kita dapat melihat ketika gagasan ibn khaldun di dompleng untuk kepentingan pemikiran yang dikembangkannya, padahal jika kita teliti secara seksama, Ibn Khaldun tidak menulis segala sesuatu tentang sosial, politik dan ekonomi secara secara gambling dan sistematis. Oleh karna itu abid menginginkan untuk reorisinalitas pemikiran kepada sang pemiliknya Ibnu Khaldun[6]. Abid aljabiri mengungkapkan dalam mukaddimah desertasinya: Oleh karena itu kalau kita concern melakukan studi pemikaran ibnu khaldun dalam konteks yang genuine: yaitu konteks penelitian atau pengalamannya dan kondisikondisi semasanya. Dan sesuai dengan keterangan budaya yang mengelilinginya. Maka hal ini tidak akan memberikan pengertian kepada kita bahwa pemikiran ini mati yang terputus hubungannya dengan konsentrasi dan aktifitas pemikiran kita. Kita spakat bahwa pemikiran ibnu khaldun adalah pemikiran filosofis karena dalam menelaaahnya perlu tambahan ekstra untuk bisa meneliti dan studi kritisnya. Sehingga dalam catatan mukaddimahnya bukan hanya merekam rincian-rincian sejarah arab islam yang terepenting dan krusial saja, bahkan menurut abid jabiri bahkan mukaddimah memang refleksi dari sejarah arab islam tersebut. Refleksi dari peristiwa atau kejadian-kejadian fakta arab secara mendalam, yang berjalan dan bertemu di dalam struktur abad-abad pertengahan. Dimana sebuah strukturstruktur baru yang harusnya dibangun di masa sekarang, di hari ini [7]. Menurut Ibnu khaldun Ashabiyah kunci yang akan menjawab problematika sejarah Islam sampai pada masanya. Ashabiyah bukan hanya untuk masa tertentu, namun ashabiyah menjadi tawaran teori Ibn Khaldun yang akan menentukan dalam pandangannya bentuk pembangunan dan pembentukan gerakan sejarah. Artinya ashabiyah akan membentuk peradaban dengan berbagai sendi-sendi yang harus dibangun melalui sejarah.

IV.

Ashabiyah dan Urgensinya Secara etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah juga dapat dipahamai sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.[8] Menurut A. Rahman Zainuddin, dalam kerangka pemikiran Ibnu Khaldun perkembangan kekuasaan sangat dipengaruhi oleh Ashabiyah. Ashabiyah adalah faktor yang menggerakkan kekuasaan dan para pendukungnya untuk maju terus ke

depan. Ia akan maju terus sampai pada suatu kali nanti, apabila ditakdirkan akan berhasil dalam usahanya, ia akan sampai ke puncak kekuasaan tertinggi, yang oleh ibnu khaldun dinamakan kekuasaan sempurna, yaitu kekuasaan Negara.[9] Seperti disampaikan Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, bahwa ashabiyah sangat menentukan kemenangan dan keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun kerajaan. berada Tanpa dalam dibarengi ancaman ashabiyah, disintegrasi maka dan keberlangsungan dan eksistensi suatu Negara tersebut akan sulit terwujud, serta sebaliknya, negara tersebut kehancuran[10]. Mengenai alasan diperlukannya ashabiyah tersebut, Ibn Khaldun

mengemukakan dua premis penting. Pertama, dalam teori tentang berdirinya negara berkenaan dengan realitas kesukuan. Ia berpendapat bahwa orang tidak mungkin mendirikan negara tanpa didukung persatuan dan solidaritas yang kuat. Di dalamnya terdapat ajakan untuk senantiasa waspada dan siaga sepenuh jiwa dan raga untuk mempertahankan negaranya.[11] Kedua, bahwa proses mendirikan negara itu harus melalui perjuangan yang keras dan berat, dengan mempertaruhkan nyawa. Kalau dirinya tidak mampu menundukkan lawan maka dirinya sendiri yang akan kalah atau binasa. Oleh sebab itu, dibutuhkan kekuatan yang besar untuk mewujudkannya. Dengan demikian, terbentuknya Ashabiyah (solidaritas) ini mutlak dibutuhkan.[12] Kemudian dalam pembentukan ashabiyah tersebut, Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama mempunyai peran penting dalam membentuk persatuan tersebut. Menurutnya, semangat persatuan rakyat yang dibentuk melalui peran agama itu tidak bisa ditandingi oleh semangat persatuan yang dibentuk oleh faktor lainnya. [13] Baik itu suku, kebangsaan, keturunan, maupun keluarga sekalipun. Oleh karena itu penulis mencoba untuk mengklasifikasikan Ashabiyah yang yang dimaksudkan oleh Ibn Khaldun, seperti yang telah kami sampaikan pada pendahuluan bahwasanya ashabiyah secara umum dipisahkan oleh ibn khaldun menjadi Ashabiyah Positif dan ashabiyah Negatif.

a)

Ashabiyah dibidang Sejarah Dalam kitab Al-ibar Ibn Khaldun membahas secara rinci tentang sejarah bangsa arab, zaman dimana masyarakat arab arab terdiri dari bangsa Barbar, yang terdiri dari penduduknya tinggal menetap dan hidup mengembara. Dan masyarakat budaya (hadharah) yang lebih modern yang hidupnya telah menetap, sudah berdagang dan sudah tentu mengalami kemajuan peradaban[14]. Dalam pandangan Ibn Khaldun sejarah merupakan hal yang rasional, factual dan terbebas dari mitos. Sejarah bukan untuk dimonopoli, para ahli sejarah cendrung mengangkat fakta hanya bersifat narrative untuk kepentingan suatu bangsasejarah milik semua orang dan saling memberi pengaruh bukan mempolitisis sejarah menjadi kebanggaan suatu bangsa[15], beliau juga tidak setuju dengan menjeneralkan sejarah pada pada tiga sumber; Shem, Ham, and Japhet, seperti sejarah arab pada abad pertengahan. Ibn Khaldun selalu mencerminkan pemikirannya mengenai manusia dan peri kehidupannya apa adanya, tanpa rekayasa. Secara singkat bagi ibn khaldun menyampaikan, ekonomi, alam dan agama kesatuan yang mempengaruhi gerak sejarah[16] Hukum sejarah menurut ibn khaldun adalah masalah perubahan dalam ungkapan beliau: Dunia dan bangsa-bangsa dengan segala kebiasaan dan system kehidupan tidaklah terus menerus dalam keadaan dan cara yang konstan. Semua ditentukan oleh perbedaan-perbedaan dan menurut hari-hari, dan periode-periode serta oleh perpindahan dan suatu kedaan kepada keadaan lainnya, individu-individu, waktuwaktu, kota-kota mengalami perubahan, maka demikian juga daerah-daerah iklim distrik, periode-periode, Negara-negara mengalami perubahan, karena memang demikianlah hukum yang ditentukan oleh Allah kepada makhluk-Nya.

Penjelasan Ibn Khladun mengandung arti bahwa perubahan bagi sejarah merupakan hukum yang dianggap sebagai suatu keharusan, dan peradaban itu berubah, maka pokok perubahan dan pengembangan sejarah adalah ashabiyah. Peran ashabiyah dalam bidang sejarah ini terutama pada eksistensi suatu Negara sangat berkaitan, karena dengan lemahnya ashabiyah maka suatu Negara atau dinasti akan mengalami kehancuran, sehingga akan muncul Negara atau dinasti baru.

b)

Ashabiyah di Bidang Agama Ashabiyah akan mempunyai landasan bilamana perasaan atau jiwa itu didasarkan pada faktor-faktor keagamaan atau faktor dunidawi yang legal, artinya Agama memiliki arti penting dalam Ashabiyah. Agama erat kaitannya untuk kelancaran dan kemajuan bagi ashabiyah, karena seorang pemimpin yang tetap taat beragama maka dia akan tetap melanggengkan ashabiyah dalam kepemimpinannya. Namun menurut Ibn Khaldun pendekatan Ashabiyah terhadap masalah-masalah kegamaan, ashabiyah bukanlah pendekatan yang tepat. Karena agama jarang menjadi sentral pemikiran manusia, hal ini memang sedikit membingungkan, dengan alasan pendekatan terhadap kehidupan manusia khususnya, ashabiyah bukanlah mutlak dari pendekatan keagamaan[17]

c)

Ashabiyah di Bidang Negara Kekuasaan Negara dalam pengertian ibn khaldun adalah dominasi dan memerintah atas dasar kekerasan serta tidak adanya kepuasan dalam memerintah. Penerapan ashabiyah dalam sebuah Negara menurut Ibn Khaldun haruslah menggunakan satu ciri khas yaitu menceritakan keadaan sebagaimana adanya, karena sebuah Negara yang berbudaya terbentuk melalui pembangunan dan penaklukan kota-kota oleh masyarakat primitive yang memiliki ashabiyah yang kuat. Tujuan pembentukan Negara adalah mewujudkan keinginan-keinginan alamiah dan mengaktualisasikan potensi-potensi dan kesempurnaan hidup manusia Ashabiyah tetap dianggap sebagai faktor esensial bagi kelanjutan Negara. Besarnya suatu Negara, luasnya suatu daerah dan bagaimana Negara itu berpengaruh pada Negara lain itu sangat tergatung pada besarnya kekuatan pendukungnya, oleh sebab itu suatu Negara tidak dapat didirikan tanpa adanya Ashabiyah. Ashabiyah pada dasarnya bukanlah suatu hal yang kongkrit atau bisa kita katakan suatu hal yang absrak tanpa wujud dan juga hanya terjadi pada hubungan

yang ada pertalian darah saja. Karena itu ashabiyah ini merupakan hubungan kelompok yang tidak berhubungan darah namun mempunyai tujuan yang sama Asabiya is a function of lianage affiliation or something that fulfils the role of such affiliation.[18] Orang-orang tersebutpun akan mempertaruhkan jiwa raganya untuk mempertahankan tujuan yang sudah disepakati bersama, termasuk tujuan untuk mempertahankan eksistensi suatu Negara.

d)

Ashabiyah di Bidang Politik Manusia dan politik memeiliki hubungan saling mengikat antara satu dengan yang lainnya, kehidupan manusia tidak mungkin terlepas dari politik, karena antara manusia dan politik memiliki hubungan penting dalam segi kehidupan bermasyarakat. Namun hubungan ini memliki kekhasan berdasarakan dengan definisi politik sendiri yang lebih bersifat kekuasaan, kekerasan dan pemaksaan. Sehingga terkesan menghalangi pencapaian orang lain, demi pencapaian tujuan pribadi. Seperti diungkapkan worsley: Kita dapat dkatakan bertindak secara politis apabila kita menghalangi orang lain sehingga kita bertindak sesuai dengan apa yang kita inginkan dari mereka dengan definisi ini, tindakan menghalangi dalam hubungan apapun bersifat politis. Semua jenis tekanan, mulai dari perang, penyiksaan yang terorganisir sampai pada nilai-nilai yang tersembunyi dalam pembicaraan antar pribadi, semua itu merupakan dimensi yang bersiat politis[19]

Peran ashabiyah dalam perpolitikan tidaklah begitu berpengaruh, karena politik merupakan sesuatu yang dilakukan bukan menggunakan perasaan, tentunya hal ini dapat dilihat sepanjang hidup Ibn Khaldun, dimana beliau sering singgah di rumah tahanan. Dalam perpolitikan para penguasa hanya mengandalkan logika saja, sedangkan ashabiyah merupakan hal; yang berhubungan dengan perasaan.

e)

Ashabiyah di bidang ekonomi Konsep ekonomi yang diajukan ibnu khaldun merupakan obat resesi ekonomi, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan ekspor pemerintah. Pemerintah merupakan pasar terbesar baik pendapatan maupun penerimaannya.

Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka sangat wajar jika pasar lain ikut turun. Ada beberapa poin pokok bahasan ekonomi ibnu khaldun, yang pertama harus dimulai dengan nilai, seterusnya pembagian kerja, system harga, hukum penawaran, dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran public, daur perdagangan, pertanian, industry & perdagangan, hak kemakmuran[20]. Konsep diatas terlihat jelas akan membangun ashabiyah ekonomi

kerakyatankekuatan ashabiyah ini nantinya akan membangun sinergisitas dengan ashabiyah dibidang lainnya. Lagi-lagi peran Negara menjadi sentral dalam membangun sector ashabiyah dalam menguatkan sendi-sendi kehidupan yang memiliki nilai filosofis yang tinggi.

V.

Penutup Apa yang telah kami sampaikan diatas merupakan gambaran singkat ashabiyah atau solidaritas sosial dalam pandangan Ibn Khaldun. Meski bersifat sederhana, dan tentunya banyak reduksi di sana-sini, namun bisa disimpulkan bahwa dalam penafsiran sosial Ibn Khaldun, yang terpenting adalah solidaritas sosial. Kekuasaan yang tidak ditunjang oleh solidaritas sosial, akan rapuh dan pada akhirnya tenggelam di telan bumi melalui pergeseran-pergeseran sosial yang tentu amat dahsyat terjadi. Negara (masyarakat) juga perlu memiliki cita-cita luhur demi menegakkan keadilan yang diharapkan bisa dirasakan oleh semua rakyat dalam lingkup negara. Untuk mencapai cita-cita bersama yang luhur, diperlukan suatu komunikasi bersama dalam rangka memahami dan mengakomodir kepentingan bersama. Menurut Olaf Schumann, urgensi dialog (komunikasi) dalam masyarakat adalah untuk memberikan penjelasan dan mengembangkan suatu pemahaman sesuai dengan tradisi filsafat dan agama masing-masing demi menjamin nilai-nilai dan norma-norma yang tinggi agar dapat diterima masyarakat secara bersama. Di sini masyarakat perlu mencari suatu landasan dan wawasan yang disetujui bersama.

Ketika sebuah landasan dan wawasan masyarakat (sosial) sudah disepakati bersama, maka solidaritas sosial pun akan terbangun dengan kuat, dan pada akhirnya eksistensi masyarakat (negara) juga menjadi tegar dan kokoh[21].

Reference Huda, Nurul, Pemikiran Ibn Khladun tentang Ashabiyah, Jurnal SUHUF, Vol. 20, No. 1, Surakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Mei 2008

Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, Cet I

Baali, Fuad & Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, tahun 1989, Cet I

Maarif, Ahmad Syafii, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat Dan Timur, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet I

Aljabiri, Muhammad Abid, Fikr Ibn Khaldun, al-'Ashabiyah wa ad-Dawlah, Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-'Arabiah, 1994, Cet V

Esposito. Jhon L. (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I, Bandung: Mizan, 2001, Cet I

Zainuddin. A. Rahman, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, Cet I

Khaldun, Ibn, The Muqaddimah: An Introduction to History, (trans. Franz Rosenthal), Bollingen Series Princeton University Press, 1989

Alfiyah, Hanik Yuni, Ibn Khaldun dan tafsir sosial , Jurnal PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006

Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun, New York: Routledge, 1990

Handayani, Tri Wahyuni, Pemikiran Ibn Khaldun tentang Ashaiyah terhadap Masyarakat Modern (Dalam Konteks Indonesia), Skripsi Faskultas Sosial dan Humaniora, Yogakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010

Beik, Irfan Syauqi & Laily Dwi Arsyianti, Analisa Ekonomi Pertanian Ibnu Khaldun, Republika: Iqtishdia Jurnal Ekonomi Islam, 30 September 2010

[1] Nurul Huda, Pemikiran Ibn Khladun tentang Ashabiyah, Jurnal SUHUF, Vol. 20, No. 1,

Surakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Mei 2008. hal 41 - 52
[2] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, Cet I. hal 421 [3] Fuad Baali & Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,

tahun 1989, Cet I, hal 9


[4] Ahmad Syafii Maarif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat Dan Timur, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet I, hal 13 [5] ______________________, Ibnu Khaldun, hal 13-14 [6] DR. Muhammad Abid Aljabiri, Fikr Ibn Khaldun, al-'Ashabiyah wa ad-Dawlah, Beirut:

Markaz Dirasah al-Wihdah al-'Arabiah, 1994, Cet V, hal 9 [7] DR. Muhammad Abid Aljabiri, Fikr Ibn, hal 10
[8] Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 198 [9] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta;

PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, Cet I, hal 125-126


[10] Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, (trans. Franz Rosenthal), Bollingen Series Princeton University Press, 1989, hal 123-124. [11] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan hal 160 [12] Ibid, hal 155 [13] ibid

[14] Menurut Ibn Khaldun ras masyarakat yang paling menonjol adalah ras Arab. Pertama, ras Arab dengan ciri pengembara adalah ras perampok dan pemalas. Mereka merampok menurut kemampuan mereka tanpa takut bahaya. Setelah itu mereka lari bersembunyi di gurun pasir, dan mereka tidak mau ambil resiko perang kecuali bila terdesak mempertahankan diri. Kedua, ras Arab mempunyai naluri suka mengembara dan tidak mau terikat oleh ketentuan hukum dan politik. Watak ini berbeda jauh dengan watak etnis menetap. Ketiga, etnis Arab jauh lebih pengembara dari etnis mana pun. Teori ini terkenal dengan teori ras; dan ini menimbulkan pro-kontra dari ilmuwan lain, dikutip oleh Hanik Yuni Alfiyah, dalam Syamsudin Abdullah, Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama (Logos Wacana Ilmu: 1997), hal 60, lihat. Hanik Yuni Alfiyah, Ibn Khaldun dan tafsir sosial , Jurnal PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006, hal 54

[15] Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun, New York: Routledge, 1990, hal 11-12 [16] Aziz Al-Azmeh, Ibn, hal 15 [17] Tri Wahyuni Handayani, Pemikiran Ibn Khaldun tentang Ashaibyah terhadap

Masyarakat Modern (Dalam Konteks Indonesia), Skripsi Faskultas Sosial dan Humaniora, Yogakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010
[18] Aziz Al-Azmeh, Ibn, hal 31 [19] Dikutip oleh oleh A. Rahman Zaoinuddin, dalam Peter Worsley, The distribution of

power in industrial society, London: Heinemann Educational Books, 1973. Lihat A. Rahman Zaoinuddin, Kekuasan dan Negara hal 60 [20] Dr Irfan Syauqi Beik & Laily Dwi Arsyianti, Analisa Ekonomi Pertanian Ibnu Khaldun, Republika:
Iqtishdia Jurnal Ekonomi Islam, 30 September 2010

[21] Dikutip oleh Hanik Yuni Alfiyah dalam Olaf Schumann, Dilema Islam Kontemporer: Antara Masyarakat Madani dan Negara Islam, dalam Paramadina: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 2 (1999), 51. Lihat; Hanik Yuni Alfiyah, Ibn Khaldun dan tafsir sosial, Jurnal PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006, hal 54

http://andyfamilies.blogspot.com/2011/04/solidaritas-sosial-ashabiyah-menurut.html

Sedikit tentang Ashobiyah


Di artikel sebelumnya, saya bercerita tentang rencana saya menulis buku (yang qadarullah, hingga kini belum terlaksana). Salah satu fokus bahasan di buku itu adalah tentang persatuan ummat. Nah, sore-menjelang-malam tadi saya menjumpai sebuah tulisan yang bertema ashobiyahfanatisme golongan. Dan tulisan itu mengingatkan saya pada draft buku saya itu.

liwa: salah satu bendera khilafah Islam Tiba-tiba saja saya ingin sedikit menulis hal ini. Meski mungkin sudah tak lagi aktualsebab di lingkungan saya, topik ini sepertinya hangat beberapa bulan yang lalu, semoga bermanfaat. *** Tulisan yang saya temui itu, katanya mengutip Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Saya tak mengecek kebenarannya. Pertama, saya tak punya bukunya. Maka saya akan sangat berterima kasih bila ada di antara pembaca yang mau memberikan buku itu baik berupa ebook maupun buku cetak. Kedua, andaikan punya pun, saya ragu bisa dengan cepat menemukan letak referensi itu mengingat penulis artikel tersebut tidak menyebutkan letaknya secara tepat. Dalam hal saya tak ingin mengkritiknya lebih lanjut; mengingat hingga kini pun hal kedua yang saya tuliskan itu juga masih sering saya lakukan. Penulis artikel itu menyebut, bagi Ibnu Khaldun, ashobiyah merupakan inti dari sebuah organisasi sosial. Ashobiyah, lanjutnya, mengikat kelompok-kelompok menjadi satu melalui sebuah bahasa, budaya, dan peraturan yang disepakati secara berangsur-angsur oleh segenap anggota politik. Berikutnya adalah bagian yang menarik. Pengampu blog tersebut menulis bahwa Ibnu Khaldun menyebut faktor ashobiyah sebagai kunci bagi lahirnya suatu peradaban dan juga kekuasaan politik. Kehancuran ashobiyah dengan sendirinya menjadi titik balik kehancuran peradaban dan kekuatan politik tersebut.

Kehancuran ashobiyah kemudian dikaitkan dengan ambruknya ide tradisional mengenai keadilan, kebajikan, kebaikan, dan keseimbangan. Kali ini saya hanya ingin mengomentari bagian yang saya tulis di atas. Bukan bagian yang menyebut bahwa hilangnya nilai tradisional Islam menimbulkan generasi muslim yang mudah goyah, gampang tersinggung, dan bersikap defensifsebagai bagian dari dampak adanya sifat ashobiyah dalam diri muslim tersebut. Sebelumnya, menurut saya kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang disebut dengan ashobiyah. Memang kita bisa menggunakan pendekatan bahasa dalam memahami istilah syariat. Tapi ternyata para sahabat yang bahasa ibunya adalah bahasa Arab pun terkadang meminta penjelasan lanjutan mengenai terminologi Islam yang disampaikan Rasul dengan bahasa Arab. Seperti ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan penjelasan tentang definisi ihsan, misalnya. Maka, karena ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sudah memberikan penjelasan tentang hal tersebut, saya kira langkah terbaik adalah mengembalikannya pada pengertian yang diberikan oleh pembawa risalah itu. Tentang ashobiyah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya, Yaa Rasulallah, apakah ashobiyah itu? Rasul menjawab, Engkau menolong kaummu dalam kezhaliman. (HR Abu Dawud) Karena saya hanya menyelesaikan mata kuliah Pengantar Mushthalah Hadis di mahad tempat saya belajar duludan hingga kini belum menemukan semangat untuk belajar ulang tentang hadis, maka izinkan saya mengambil penjelasan mengenai derajat keshahihan hadis ini dari ustadz Abul Jauzaa. Saya tak bisa bicara banyak mengenai hal ini. Ringkasnya, karena hadis tersebut dinyatkaan sebagai hadis hasan li ghairihi, ada kebolehan untuk menjadikannya referensimeski tidak untuk semua keperluan, seperti untuk masalah ahkam (hukum-hukum). Dari pengamatan singkat saja, kita sudah bisa memahami bahwa definisi yang diungkapkan pengampu blog yang saya kutip dengan definisi yang diberikan Rasul cukup jauh berbeda. Definisi versi Rasul sepertinya lebih dekat bila dikaitkan dengan kisah Kumbakarna daripada penjelasan penulis artikel tersebut yang katanya diambil dari kutipan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah. Entahlah, mengingat saya juga tak punya referensi langsung untuk merujuk pernyataan ini pada Ibnu Khaldun secara langsung. Mungkin benar bila ashobiyah bisa membangun sebuah peradaban. Sebagaimana Aus dan Khazraj membangun pertahanan dirinya selama Perang Buats, atau seperti mereka yang bangga menyatakan, benar atau salah, ini tetap negaraku! Tapi benarkah runtuhnya ashobiyah menyebabkan runtuhnya sebuah peradaban?

Menurut saya, ini simpulan yang terlalu dini. Mari ambil contoh daulah Utsmani yang berpusat di Turki. Saya yakin ada faktor tingginya utang Turki Utsmani di masa itu. Hal yang jadi poin tambahan ketika komplotan Theodore Herzl datang pada Sultan Abdul Hamid II dengan imingiming pelunasan utang jika dan hanya jika Turki mau melepas Palestina pada mereka. Belum lagi faktor berpecahnya dunia Islam ketika itu, khususnya di jazirah Arab. Dan yang jelas masuk hitungan adalah ulah Mushthafa Kemal Pasha meniupkan slogan-slogan nasionalisme Turki sambil memimpin revolusi Turki yang mengakhiri pemerintahan Islam di tahun 1924. Kalau dibilang tegak atau runtuhnya keadilan dan sistem sosial itu berbanding lurus dengan sikap ashobiyah, tentu tak masuk akal sama sekali. Bukankah ketika taashubsikap ashobiyah itu hancur, harusnya muncullah keadilan (bila kita mengacu pada definisi versi Rasul)? Saya tak hendak menihilkan kebenaran dalam artikel itu. Tapi, bisakah istilah ashobiyah itu diganti saja menjadi identitas keislaman atau kalau mau lebih umum, identitas komunal saja? Ini lebih aman, menurut saya, untuk menghindari rancunya pemahaman masyarakat terhadap istilah-istilah syariat. Berikutnya, seberapa parah inhiraf (penyimpangan) mereka yang punya sifat ini dalam dirinya? Saya tak akan menjelaskan dengan rinci. Saya kira Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sudah menjelaskannya dengan cukup gamblang. Pertama adalah hadis yang sangat masyhur untuk tema ini. Barangsiapa berperang karena ashobiyah, barangsiapa marah karena ashobiyah, atau menyeru pada ashobiyah, atau menolong berdasarkan ashobiyah, maka matinya mati jahiliyah. (HR Muslim) Ada hadis lain yang serupa dengan beberapa perbedaan redaksional. Bukan bagian dari kami barangsiapa yang menyeru pada ashobiyah, bukan bagian dari kami barangsiapa yang berperang karena ashobiyah, bukan bagian dari kami barangsiapa yang mati karena ashobiyah. (saya lupa hadis ini di-takhrij oleh siapa) Celakanya, berperang atas nama ashobiyah ini termasuk ciri perbuatan orang-orang musyrik. Dan janganlah kamu termasuk orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS ar Ruum 31-32) Lantas, apakah pelakunya bisa dihukumi sebagai kafir? Bisa jadi. Melihat dalil yang tersebut di atas, perbuatan ini bisa jadi membatalkan keislaman. Tapi takfir muayyan selalu tergantung pada kondisi yang kasuistik. Saya tidak bisa memberikan jawaban yang bernada generalisasi di sini. Sebab ada kaidah takfir yang harus dicermati sebelum menjatuhkan vonis kafir.

Jadi demikian catatan ringkas saya terkait ashobiyah. Semoga bermanfaat. -RSP- http://muslimpeduli.wordpress.com/2012/01/09/sedikit-tentang-ashobiyah/

Anda mungkin juga menyukai