Anda di halaman 1dari 8

NAMA : Alb Irawan Dwi Atmaja (120510004)

Fransiskus Riyanto (120510012)


Hekdi Sinaga (120510014)
Walterius Manurung (120510050)
TINGKAT/SEMESTER : IV(Empat)/VII(Tujuh)
MATA KULIAH : Psikologi Kepribadian
DOSEN : Largus Nadeak, Lic. S. Th.
KAMPUS : Fakultas Filsafat UNIKA St. Thomas Sumatera Utara

OVERCOMING EMOTIONS THAT DESTROY


“CARA-CARA KONSTRUKTIF UNTUK MENGATASI
EMOSI NEGATIF YANG MENGHANCURKAN”

I. PENGANTAR
“Jika Anda membiarkan kemarahan meraih sisi terbaik Anda, ia akan menguak sisi
terburuk Anda”. Penggalan kalimat di atas terdapat diawal buku Overcoming Emotions that
Destroy ini ingin memberi gambaran umum kepada pembaca bahwa isi buku tersebut
membahas mengenai kemarahan dan cara mengelola kemarahan. Kemarahan merupakan
emosi pemberian Allah, tak terhindarkan dan tak terelakkan. Kemarahan memiliki potensi
untuk penggunaan dan penyalahgunaan yang hebat. Maka, Chip Ingram dan Becca Johnson
dalam bukunya Overcoming Emotions that Destroy mengajak pembaca untuk memahami arti
kemarahan dan cara mengelola kemarahan.

II. RIWAYAT HIDUP PENULIS


Chip Ingram adalah presiden dan pendeta pengajar untuk Living on the Edge, sebuah
pelayanan pengajaran dan pemuridan internasional. Hasratnya adalah membantu umat
kristiani untuk sungguh hidup selayaknya orang Kristen dengan menaikkan palang
pemuridan. Chip menjadi pendeta selama lebih dari dua puluh tahun mempunyai kemampuan
untuk mengkomunikasikan kebenaran dan dengan menawan hati menantang orang untuk
menghidupkan iman mereka. Chip telah pengarang sembilan buku, yaitu God: As He Longs
for You to See Him; The Invisible War; dan Love, Sex, dan Lasting Relationships. Chip dan
istrinya, Theresa, memiliki empat anak dan enam cucu dan tinggal di Georgia.

Becca Jhonson, Ph. D adalah penulis dan pembicara serta telah menjadi ahli psikologi
berlisensi selama dua puluh tahun. Ia membantu orang untuk mengatasi pengalaman dan
emosi negatif agar dapat lebih secara penuh menikmati kasih Allah. Sebagai, pengarang
buku-buku bertopik rasa bersalah dan penganiyaan anak, Becca Jhonson melakukan pelatihan

1
bagi konselor di sepuluh negara berbeda dan kini membuka praktik pribadinya di negara
bagian Washington, tempat ia tinggal bersama suaminya Lyold dan empat orang anak
mereka. Keluarga Becca juga telah melayani sebagai misionaris ke berbagai negara.

III. ISI BUKU


Buku Overcoming Emotions that Destroy menawarkan cara untuk membuka topeng
realitas kemarahan yang menakutkan dan terkadang misterius serta menempatkannya di
bawah mikroskop sastra, dan membantu pembaca berhadapan dengan kemarahan dalam cara
yang sehat. Secara garis besar, buku ini dibagi dalam 7 bagian. Bagian pertama berbicara
mengenai pemahaman marah dan pengalaman di sekitar kemarahan. Bagian kedua berbicara
tentang bagaimana seseorang merespons kemarahan. Bagian ketiga berbicara tentang
kemarahan ada dalam setiap diri manusia dan manusia selalu bergumul dengan kemarahan
itu. Bagian keempat berbicara tentang cara megubah kemarahan yaitu dari lawan menjadi
kawan. Bagian kelima berbicara tentang cara Allah dalam pengelolaan kemarahan. Bagian
keenam berbicara tentang belajar menghentikan kemarahan sebelum terjadi. Bagian terakhir
berbicara tentang bagaimana menjadi baik dan marah.

IV. PEMBAHASAN
Dalam pokok ini, kami hanya membahas bagian 3, 4, 5, dan 6. Berikut penjelasan kami
mengenai bagian tersebut.

- Bagian III: Mengapa Kita Semua Bergumul dengan Kemarahan?


3. 1 Kemarahan Adalah Emosi Sekunder
Kemarahan bukanlah perasaan pertama yang datang, namun sering datang sebagai
perasaan pertama yang muncul ke permukaan. Kemarahan sering digunakan untuk
menyembunyikan persoalan yang lebih mendalam, atau untuk menutup diri ketika seseorang
mengalami sesuatu yang menyakitkan. Kemarahan sebenarnya merupakan lampu peringatan
yang mengkomunikasikan bahwa ada yang salah. Tugas seseorang yang megalami
kemarahan ialah menterjemahkan tanda yang dikomunikasikan oleh kemarahan itu dan
kemudian mulai untuk mengenali alasan dasar kemarahan itu yang barangkali disulut oleh
sakit hati, pengkhianatan, rasa tidak aman, keputusasaan, ataupun lainnya.

2
Ada tiga kategori dibalik kemarahan: kemarahan akibat kebutuhan-kebutuhan yang
tidak terpenuhi dan merasa sakit hati pada akhirnya menimbulkan luka; harapan-harapan
yang tidak terpenuhi sehingga menimbulkan frustasi; dan perasaan terancam sehingga
menimbulkan rasa tidak aman. Beberapa hal ini dapat menyebabkan seseorang merasa lemah,
sakit dan rentan.

3. 2 Puncak Gunung Es
Kemarahan kerap menjadi hal yang tampak oleh mata, tetapi sebenarnya tidak
menunjukkan keseluruhan masalah. Jauh di bawahnya terdapat emosi-emosi primer yang
mendorong kemarahan mencuat ke atas. Seseorang sulit mengenali penyebab mendasar dari
kemarahan apalagi emosi selalu dihindari, sembunyikan, atau terkubur dalam waktu yang
lama. Maka, dibutuhkan keberanian dari diri untuk menyiangi kemarahan sebagaimana
menyiangi rumput liar. Kalau tidak berani sendirian, carilah orang lain yang dapat membantu.
Ketika tidak berani mengenali dasar kemarahan yang ada dalam diri, maka seseorang akan
terpenjara dalam kemarahan selamanya.

3. 3 Luka Akibat Kebutuhan yang Tidak Terpenuhi


Apa saya terluka? Terluka karena apa? Kedua pertanyaan ini merupakan pertanyaan
yang harus ditujukan pada diri seseorang sehingga dia dapat mengenali kebutuhan yang tidak
terpenuhi dan perasaan terluka dan berusaha menyembuhkan luka tersebut. Dalam
menyembuhkan luka itu hal yang harus ditempuh ialah mengkomunikasikan luka tersebut
kepada Allah dan kepada orang lain.
Pengkomunikasian itu dapat dilakukan dengan mengatakan pernyataan, “Saya
merasa… (emosi primer) ketika… (apa yang terjadi)”. Pengkomunikasian kemarahan
tersebut merupakan hal yang baik sebab seseorang memberitahu kepada orang lain tafsiran
terhadap perilakunya dan reaksi perasaan pada tafsiran itu. Hal itu juga merupakan
kesempatan bagi orang lain untuk memberi tahu kebenaran tafsiran. Pengkomunikasian
dengan cara tersebut membutuhkan kedewasaan sebab seseorang bertanggungjawab atas
perasaan-perasaan. Tanggung jawab itu ditunjukkan dengan pernyataan ‘saya’ dan bukan
‘Anda’. Pernyataan itu dapat digabungkan dengan ABCD-nya kemarahan.

3. 4 Frustasi Akibat Harapan yang Tidak Terpenuhi

3
Setiap orang memiliki harapan yang beragam. Ketika harapan-harapan itu dirintangi
atau sirna, maka akan membuat orang menjadi frustasi dan kerap berujung pada kemarahan.
Masalah dengan harapan merupakan asumsi dari diri seseorang bahwa orang lain tahu dan
menerima peraturan-peraturan yang dibuatnya. Orang di luar diri tidak melihat kenyataan diri
ataupun membaca pikiran orang yang mengalaminya. Kenyataan itu diartikan berdasarkan
kebutuhan, perasaan, dan sejarah hidup. Maka, perlu menyadari harapan, apakah realistis dan
berlandas pada Allah ataukah hanya harapan-harapan palsu. Selain itu, orang perlu memberi
tahu harapan yang dimilikinya kepada orang di luar dirinya sehingga orang lain mengetahui
apakah harapan itu realistis atau tidak.
Harapan dapat dengan mudah menjadi tuntutan. Hal itu tampak dari penggunaan kata-
kata seperti mestinya, harusnya, harus, selalu, tidak pernah. Dengan kata-kata itu, mengubah
harapan menjadi tuntutan sehingga hasrat tidak tersalurkan dan pada akhirnya kecewa dan
marah. Maka, perlu mengkomunikasikan frustasi dengan mengganti pernyataan tuntuan
menjadi pernyataan keinginan. Untuk itu dapat menambahkan “Saya ingin…” dalam
ungkapan “Saya merasa… ketika…”. Penggabungan itu membuat komunikasi yang baik dan
tidak merusak hubungan.

3. 5 Rasa Tidak Aman Akibat Harga Diri yang Terancam


Saat keselamatan, kemampuan, peran terancam atau dipertanyakan, orang sering
merespon dengan kemarahan. Akan tetapi, dasar dari semuanya itu ialah rasa tidak aman.
Rasa itu bisa muncul dari siapa saja atau situasi tertentu yang mengancam. Ancaman datang
secara jasmani dan verbal. Ancaman jasmani misalnya saat berada dalam situasi
penyerangan, penganiayaan, atau pemerkosaan. Situasi tersebut membuat batin kita takut.
Sedangkan ancaman verbal nampak dalam rangkaian kata-kata kasar. Kata-kata kasar dapat
membangkitkan kemarahan dan melukai dengan begitu dalam sehingga menimbulkan
perasaan tidak aman
Namun, sebelum marah, dapat bertanya pada diri, “Mengapa saya merasa terancam?”
Hal itu penting karena saat diri merasa terancam, orang cenderung menyebutnya tanda
bahaya dan siap siaga untuk menyerang ancaman-ancaman yang datang. Ungkapan-ungkapan
ketakutan atau rasa tidak aman itu terwujud dalam reaksi-reaksi, entah itu reaksi kuat ataupun
lemah. Reaksi-reaksi tersebut bertujuan untuk melindungi diri dari ancaman.
Berikut pertanyaan-pertanyaan yang perlu diperhatikan: Apakah yang terancam? Mengapa
saya merasa tidak aman? Siapa yang terlibat? Apakah ancaman itu signifikan atau tidak?
Persetujuan siapakah yang saya cari? Dari mana datangnya rasa aman saya? Ketika

4
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kemarahan menjadi hilang dan segera menyadari
serta memutuskan untuk tidak membiarkan diri diruntuhkan. Kemarahan dibiarkan pergi dan
membiarkan Allah menunjukkan ruang yang lebih baik untuk menempatkan energi
emosional. Jadi, rasa aman hanya didapat di dalam Kristus sebab dalam Kristus ditemukan
kasih, karunia, pengampunan, dan damai sehingga tidak tunduk pada kemarahan.

- Bagian IV: Mengubah Kemarahan: Dari Lawan Menjadi Kawan


4.1 ABCD-nya Kemarahan
Kemarahan atau rasa marah merupakan suatu hal yang selalu ada dalam diri setiap
individu. Setiap individu mempunyai cara tersendiri untuk meredakan amarahnya. Ada
beberapa hal penting yang berkaitan dengan cara mengatasi kemarahan dalam diri kita, yakni:
a. A Acknowledge. Mengakui (mengenali dan menerima) kemarahan tersebut.
Tidak perlu memendam, berpura-pura tidak marah, menyangkal keberadannya,
tetapi menerimanya.
b. B Backtrack. Mundur ke emosi primer atau alasan-alasan mendasar dari
kemarahan tersebut. Perlu meneliti diri sendiri dengan bertanya pada diri sendiri.
Mengapa saya marah? Apa yang sesungguhnya saya rasakan?
c. C Consider. Pikirkan faktor-faktor penyebab kemarahan tersebut. Masa kini,
untuk mengenali apa yang terjadi. Apakah seseorang menghina, mengabaikan,
datang terlambat, melupakan sesuatu yang penting, membahayakan?
d. D Determine. Tetapkan cara terbaik untuk menghadapi kemarahan. Tujuan yang
paling bagus terangkum dalam Ef. 4:26 “Apabila kamu menjadi marah, janganlah
kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu”.
Ada beberapa unsur yang perlu untuk dicermati dalam mengatasi kemarahan, yakni:
a. Siapa, b. Apa, c. Bagaimana, d. Kapan

4.2 Kemarahan adalah Pilihan


Cara seseorang mengekspresikan kemarahan adalah pilihan. Artinya setiap orang
memilih, mengeluarkannya dengan cara-cara yang menyerang atau tegas, mengibas atau
penuh kasih. Maka setiap orang perlu membuat pilihan: apakah mengutuk atau
mempertimbangkan.
- Mengubah jalan kemarahan; Menghadapi orang yang sedang marah; Pertimbangkan;
Berbagai pilihan sebelum marah. Skemanya adalah: Peristiwa => Evaluasi => Respons
Emosional => Respons Perilaku.

5
- Evaluasi efektif; Ikrar; Membuat perubahan. Skemanya adalah Hasrat => Keputusan =>
Kembangkan Sebuah Rencana Terperinci => lakukan dengan Ketetapan Hati.
Mengeluarkan kemarahan dengan cara apapun adalah pilihan. Saat seseorang memilih
untuk memikirkan, mempertimbangkan, merenung dan berkomitmen pada kata-kata yang
dipertimbangkan dan terpilih dengan baik, dan percaya bahwa Allah akan menolong,
membimbing, memperkuat kita untuk menangani kemarahan dengan cara-Nya.

- Bagian V: Rencana Allah Mengenai Pengelolaan Kemarahan


Kemarahan memiliki potensi yang besar untuk merusak. Jika dibiarkan tanpa kekang,
kemarahan dapat menghancurkan diri seseorang dan orang-orang di sekitarnya. Oleh karena
itu, setiap orang perlu tahu cara mengendalikannya sambil belajar untuk memakai wataknya
seperti yang dimaksudkan oleh Allah. Seseorang perlu memahami apa yang Allah kehendaki
dalam kemarahan itu. Sebab, kemarahan bukanlah iblis, ia hanya perlu dijinakkan.
Yakobus dalam suratnya menulis rencana pengelolaan yang terdiri atas tiga bagian,
yakni: 1) cepatlah mendengar; 2) lambat untuk berbicara; 3) lambat untuk marah. Hal itu
dikarenakan Allah sangat mengetahui bahwa manusia rentan untuk melakukah hal-hal penuh
dosa, bodoh dan konyol saat tertekan. Namun jika manusia terus membiarkan kemarahan
menjadi liar, orang tidak akan pernah mencapai gaya hidup yang Allah tahu yang terbaik bagi
manusia. Becca dalam penelitiannya menyatakan bahwa kebanyakan teknik dan materi
pengelolaan kemarahan tampak berpusat pada tiga wilayah mendasar yang dahulu dirancang
oleh Allah; a)perlu menjadi penyimak yang aktif dan penuh perhatian; b)perlu berpikir
sebelum membuka mulut kita; c)perlu memperlambat respons.
Langkah I: cepatlah mendengar: hasrat untuk menyimak dan menjadi terbuka.
Konsekuensinya ialah siap, tersedia dan bersedia untuk belajar. Jika ingin mejinakkan kuda
jantan kemarahan itu, pertama kali perlu ‘cepat mendengar’. Ini berarti bahwa setiap orang;
cepat mendengar hal yang menyulut kemarahannya, cepat mendengar orang lain-menjadi
penyimak aktif dan penuh perhatian, cepat atau siap mendengar Allah-menyimak hal yang
harus Allah katakan.
Langkah II: lambat untuk berbicara: berpikir sebelum bicara, menimbang-nimbang
kata-kata kita dengan teliti. Lambat untuk berbicara tidak berarti seseorang bicara perlahan,
seakan-akan dengan gerakan lambat. Makna harafiah dari frasa ini adalah berhenti, merenung
atau menimbang sebelum kita membiarkan sesuatu keluar dari mulut. Setiap orang jangan
menganggap bahwa kemarahan adalah gen keturunan, kemarahan itu dapat dijinakkan. Untuk

6
itu perlu ambil waktu jeda agar dapat merefleksikan sesuatu sebelum mengambil keputusan
atau bertindak. Waktu jeda dapat dimengerti sebagai waktu berdistansi.
Langkah III: lambat untuk marah: kedua hal di atas menghantar seseorang untuk
sampai pada langkah ini. Kita diajar agar lambat untuk marah. Lebih tepat jika seseorang
mengubah reaksi marah menjadi suatu refleksi. Untuk mendukung hal itu, setiap orang perlu
berkomunikasi, memahami orang lain, dan hormat kepada orang lain. Setiap orang perlu
mengenal batas kemarahannya dan akibat yang ditimbulakan olehnya. Cara yang terbaik
untuk mengatasinya ialah berkomunikasi dan tetap fokus untuk solusi terbaik.

- Bagian VI: Belajar Menghentikan Kemarahan Sebelum Terjadi


Manusia sering marah hanya karena hal-hal kecil dan sepele. Dengan marah ia
mengeluarkan energi. Maka, sebenarnya marah itu baik jika untuk hal-hal yang perlu dan
mulia. Yang menjadi persoalan bahwa marah sudah menjadi gaya dan sikap hidup.
6. 1 Perkecil Stres
Salah satu penyebab kemarahan adalah stres. Stres itu terjadi ketika seseorang merasa
tertekan, kewalahan, terbakar, atau kesibukan dengan keadaan atau peristiwa dalam
hidupnya. Jadi, semakin stres, semakin muncul kemarahan muncul. Beberapa strategi
memperkecil stres.
1) Hilangkan ketergesa-gesaan: orang sering marah karena tergesa-gesa.
2) Turunkan harapan: menurunkan harapan berarti sadar akan kemampuan diri sendiri untuk
menata keterbatasannya.
3) Akui kesalahan: stres juga terjadi karena seseorang tidak sanggup mengakui kesalahannya.
4) Lebih banyaklah tertawa: semakin banyak tertawa, semakin sedikit kemarahan yang
dirasakan.
5) Rawatlah diri: merawat diri berarti menjaga keseimbangan hidup.
6) Ketahuilah hal yang memicu kemarahan: maksudnya ialah mengenali orang lain, tempat,
dan hal-hal yang dapat memproduksi kemarahan dalam kehidupannya.

6. 2 Perbesar Allah
Perbesar Allah artinya mengubah sudut pandang diri dengan fokus kepada Tuhan
secara jelas. Maksudnya, setiap orang bersandar kepada-Nya, bergantung kepada-Nya,
menghabiskan waktu kepada-Nya, dan mencari-Nya.
1. Mendekat kepada Allah: langkah pertama mendekat kepada Allah adalah percaya kepada-
Nya sebagai Tuhan dan juru selamat, mengakui peran besar-Nya dalam kehidupan.

7
2. Mengalami kasih dan penerimaan Allah tanpa syarat: Allah mengasihi setiap orang. Kasih
Allah menawarkan kepada kita pengampunan atas segala dosa.
3. Terimalah diri seperti yang dijadikan Allah: kemarahan juga terjadi karena seseorang tidak
menerima diri apa adanya, tidak sesuai keinginannya.
4. Percaya kepada Allah: biarkan Dia yang memegang kendali: percaya kepada Allah berarti
tidak berkutat pada kemarahan dan dirisendiri, tetapi membiarkan Dia menolong untuk
bangkit.
5. Jadilah pemberi berkat: menjadi pemberi berkat berarti tidak berkecil hati terhadap
ketikdaksempurnaan orang lain, serta memelihara sikap toleransi dan pengertian.
6. Jadilah pendoa: saat berdoa, setiap orang diangkat keketinggian yang lebih hebat, kehadirat
Tuhan, dimana mulai melihat segala hal dari sudut pandang-Nya, dari sudut yang
menguntungkan.

IV. PENUTUP
Chip Ingram dan Becca Johnson dalam bukunya menawarkan cara untuk membuka
topeng realitas kemarahan yang menakutkan dan terkadang misterius serta menempatkannya
di bawah mikroskop sastra, dan membantu pembaca berhadapan dengan kemarahan dalam
cara yang sehat. Para pembaca diajak untuk secara sungguh mengenali kemarahannya
sehingga bisa mengelola dan membuatnya menjadi teman serta bahagia dalam menjalani
hidup. Buku ini sangat relevan untuk calon tenaga pastoral karena setiap saat akan
menghadapi orang dan situasi yang dapat menimbulkan kemarahan. Maka, para calon tenaga
pastoral hendaknya dapat mengenali kemarahan, mencari alasan mendasar dari kemarahan,
mencari faktor penyebab dan pada akhirnya menetepkan cara dalam menghadapi kemarahan.
Sebab kemarahan merupakan emosi pemberian Allah. Secara singkat dapat dikatakan, para
calon tenaga pastoral boleh marah tetapi jangan menjadi pemarah.

Anda mungkin juga menyukai