B. Pengertian Perversi
Untuk memahami pengertian ini, baiklah didahulukan sejarahnya .
1. Sejarah pengertian perversi
a . Zaman Dahulu
Pengertian “perversio" mula-mula muncul pada abad XV-XVI dalam arti
“buruk” atau “keliru”. Sekitar tahun 1900 hal itu merupakan ungkapan lazim
untuk segala yang tak terpelihara dan tanpa tata-tertib. Baru pada tahun 1920-an
dipakai sebagai ungkapan untuk kelakuan sexual yang dianggap menentang
norma dan bertentangan dengan moral.
Tetapi dalam psikiatri sudah pada tahun 1860 dipakai pengertian
perversion oleh B. A. Morel yang menyebut nymphomanie, erotomanie, satyriasis
dan nekrophilie sebagai pervers. Orang-orang pervers menurut dia adalah
kelompok yang paling mengerikan dari orang-orang degenerasi dan sakit jiwa.
Pendiri pathologic sexual, Krafft Ebing dalam bukunya “Psychopathologia yang
terbit thn 1886 mengambil alih hypothese degenerasi keturunan. Baginya
perversi sebenarnya ialah sadisme, masochisme, fetischisme dan homosexualitas.
Sigmund Freud dalam karyanya “Drei Abhandlungen zur Sexualtheorie”
yang terbit thn 1905 meninggalkan teori degenerasi keturunan Darwinisme dan
mengajukan teori biografi individual. Istilah 'pervers' dipertahankannya tapi
diperluasnya sehingga juga meliputi desakan-desakan nafsu parsial yang ada
pada setiap manusia. Nah, karena keadaan lahiriah desakan-desakan parsial bisa
195
berkembang ke arah yang salah dan menjadi pervers. Di kemudian hari teori ini
diterima dalam sexuologi. Desakan parsial itu a.l. desakan untuk menyiksa,
menderita, melihat, menunjukkan; menjadi pervers bila tak dapat diolah dengan
baik. Sexualitas kanak-kanak masih polymorph-pervers, artinya: belum menentu,
maka membutuhkan pendidikan.
b. Sekarang
Ada banyak teori. Homosexualitas dikeluarkan dari kategori perversi, a.l.
karena masih ada kemungkinan cinta personal (homophilie!) dan tak harus
'kecanduan'.
b. Masochisme
Juga istilah ini dimasukkan ke dalam literatur oleh psikiater kehakiman
Krafft-Ebing (thn. 1886). Istilah ini berasal dari nama A.Sacher-Masoch,
sastrawan Austria (1836-1895) yang dalam karyanya melukiskan penyimpangan
sexual yang kemudian disebut menurut namanya.
Masochisme ialah penyimpangan sexual di mana orang dapat mencapai
kenikmatan sexual hanya bila disakiti. Menurut Freud masochisme timbul dari
kebutuhan Über-Ich untuk menghukum Ich dalam memenuhi keinginan sexual.
Jadi praktis kebutuhan untuk menghukum diri sendiri .
c. Voyeurisme
Dari bah. Perancis 'voir' = melihat . Voyeurisme ialah desakan untuk
memuaskan nafsu sexual dengan menonton perbuatan sexual orang lain (atau
wanita telanjang; biasanya voyeurisme terdapat pada pria). Biasanya orang-orang
demikian itu orang pemalu, kurang kontak, takut terhadap wanita dsb. Sedikit
banyak ada kecenderungan untuk "mengintip” pada semua orang, tapi itu belum
merupakan penyimpangan sexual. Bdk. komersialisasi sex!
d. Exhibisionisme
Dari bah. Latin “exhibere" = menunjukkan. Exhibisionisme ialah
penyimpangan sexual di mana orang merasakan desakan untuk mencapai
kepuasan sexual dengan mamerkan tubuhnya sendiri (terutama genitalia,
payudara dsb.) Sering pria melakukannya dan mengejutkan wanita yang
melihatnya; seorang exhibisionis menyertai perbuatannya dengan masturbasi.
197
b. Nekrophilie
Merupakan penyimpangan sexual di mana mayat menjadi obyek sexual.
Perbuatan sexual orang nekrophil ditafsirkan sebagal suatu usaha/keinginan
untuk kembali ke dalam tubuh ibu. Rupanya juga unsur-unsur fetischistis dan
sadistis ikut main peranan. Kepribadlan orang nekrophil: pemalu, tak mampu
berhubungan dengan partner pada tingkat yang sama, bungkam terhadap obyek
sexual, tak mampu untuk mengadakan sublimasi, merasa minder dan tak
berdaya, mangsa tak dikenalnya.
d. Incest
Dari bah. Latin "cestus”= murni; "incestus"= tak murni. Penyimpangan
sexual yang mendesak orang untuk mencari sasaran perbuatan sexual pada
anggota keluarga (hubungan ayah-puteri (85%) Kakek-cucu perempuan (5%),
198
ayah-putera (5%), Ibu-putera (4%) dan ibu-puteri (1%), angka melebihi 100%
karena ada yang mempunyai beberapa macam hubungan.
Umur korban antara 13-15 tahun. Incest merupakan symptom “broken
home", sehingga dalam arti tertentu incest merupakan konsekwensi keadaan itu.
Dalam 20% kasus dipengaruhi alkohol. Sering keadaan sexual darurat yang
"meletus”, misalnya isteri sakit, tak di rumah. Larangan incest merupakan
rumusan negatif exogami (=kawin dengan orang "luar"), Larangan incest
merupakan suatu "desexualisasi" hubungan antara anggota-anggota keluarga dan
memungkinkan kesatuan-kesatuan dan kerjasama yang lebih luas.
e. Paedophilie (paederastie)
Pengertian paedophilie erotica berasal dari Krafft-Ebing. Paedophilie ialah
rasa tertarik sexual kepada anak-anak dan hubungan sexual dengan mereka. Ada
macam-macam kelompok orang demikian itu:
- Orang-orang yang besar nafsu sexualnya dan tidak pilih-pilih, jadi juga
anak-anak menjadi obyek sexual mereka.
- Orang-orang muda yang miskin kontak dan tidak cerdas, takut berhubungan
dengan orang dewasa, lebih suka mencari obyek sexual di antara anak-anak.
- Pathologis, memang hanya bisa memenuhi nafsu sexual dengan
anak-anak.Biasanya hubungan sexual itu hanya petteing atau masturbasi
berdua.
Mengenai paedophilie homosexual sudah diberikan uraian dalam pasal tentang
homosexualitas. Pada kasus paedophilie, tidak jarang bahwa korban juga
memang 'mau'! Sebab-sebab paedophilie kadang-kadang terletak pada faktor
organis otak, terutama pada orang muda yang terbelakang. Kadang-kadang
karena gangguan perkembangan emosional oleh faktor lingkungan, broken home
dsb.
Dari sudut psikoanalisa: tidak diolahnya tahap oedipal dan ketakutan
kastrasi, atau semacam gangguan perkembangan narcistis di mana seorang
paedophil mengalami sekali lagi dalam anak yang menjadi obyek sexualnya
peranan infantilnya sendiri. Paedophilie membahayakan perkembangan anak-
anak, maka orang tua harus waspada, agar anaknya jangan menjadi korban. Tak
jarang pelakunya orang yang dikenal keluarga, bukan orang luar yang asing sama
sekali.
B. Penilaian
1. Pada umumnya
a. Tanda ketergangguan kepribadian
Kesukaran -kesukaran dan penyimpangan di bidang sexual merupakan
tanda ketergangguan kepribadian. Maka tindakan pertama yang harus diambil
ialah usaha untuk menyembuhkannya atau paling sedikit mengurangi akibat-
199
akibatnya yang negatif, merugikan atau membahayakan diri sendiri dan orang
lain.
b. Penilaian moral
Prinsip-prinsip umum yang berlaku harus juga dipakai di sini, terutama
pembedaan antara kecenderungan dan perbuatan. Kecenderungan sukar dinilai
dalam arti dipertanggungjawabkan, tetapi perbuatanlah yang menjadi bahan
penilaian. Tetapi tidak setiap perbuatan dapat dinilai dari sudut moral. Apa yang
termasuk kategori moral hanyalah perbuatan yang dapat
dipertanggungjawabkan manusia (actus humanus, voluntarius). Dalam hal
perversi soalnya justru terletak di sini: bila memang pathologis, maka
tanggungjawab berkurang atau bahkan lenyap. Memang janganlah apriori sudah
memenjatuhkan keputusan bahwa semua dan setiap perbuatan orang yang
pervers itu tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Jadi, dapat dibayangkan bahwa
ada perbuatan yang toh bisa dan harus dipertanggungjawabkan. Hendaknya
dalam hal ini dipergunakan prinsip-prinsip yang lazim:
- tingkat kesempurnaan perbuatan, artinya sejauh mana ia tahu dan mau secara
bebas untuk berbuat.
- besar kecilnya perkara. Dari macam-macam perbuatan seorang yang pervers
itu ada yang perkara ringan, ada yang berat. Contoh: koleksi celana dalam
seorang fetischtis dan perkosaan yang diakhiri dengan pembunuhan oleh seorang
sadis tentulah tidak sama!
2. Pada khususnya
a. Tindakan perlindungan calon korban
Ada perbuatan-perbuatan pervers yang membahayakan dan
merugikan orang perorangan dan masyarakat. Hak orang lain harus dilindungi
terhadap perbuatan yang membanayakan itu. KUHP memang memuat
ketentuan-ketentuan yang melindungi calon korban dengan ancaman hukuman.
Tetapi cukupkah tindakan perlindungan itu? Bukankah kadang-kadang seorang
pervers justru tak dapat menguasai dirinya, desakkan nafsunya yang meledak? Di
beberapa negeri ada tindakan-tindakan terapeutis seperti operasi otak, kastrasi
dsb. Dapatkah ini dibenarkan? Dapatkah ini dipaksakan demi kesejahteraan
umum? Bukankah masyarakat mempunyai hak atas perlindungan?
Tindakan terapeutis dapat dibenarkan berdasarkan prinsip totalitas. Tetapi
bila orang yang pervers itu tidak menyetujuinya, bolehkah ia dipaksa? Ini soal
yang sukar. Biasanya undang-undang sudah mengaturnya dan tidak
membenarl<an paksaan. Negara bisa mengajukan tawaran yang atraktif dengan
ganjaran (misalnya dibebaskan dari penjara dsb) . Tetapi bukankah ini dalam arti
tertentu juga merupakan paksaan moril?
b. Sikap kita terhadap minoritas yang menyimpang
200