Anda di halaman 1dari 37

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Kesehatan seksual merupakan suatu aspek kesehatan yang berhubungan dengan


organ-organ kelamin dan perilaku seksual. Kesehatan seksual yaitu pencegahan penyakit
menular seksual dan kehamilan yang tidak di inginkan, kenikmatan seks sebagai bagian dari
hubungan intim dan kendali yang lebih besar terhadap keputusan seksual seseorang.
Seks merupakan aspek intim yang penting, dalam hubungan saling mencintai antara satu
orang dengan orang lain. Seks merupakan aspek hidup yang pribadi dan tersendiri yang
jarang dibahas dengan orang lain.
Perilaku seksual adalah bermacam-macam dan ditentukan oleh suatu interaksi
faktor-faktor yang kompleks. Seksualitas seseorang adalah terlibat dengan faktor
kepribadian yang lain, dengan susunan biologis dan dengan rasa umum tentang diri sendiri
(sense of self). Ini termasuk persepsi sebagi laki-laki atau wanita, yang mencerminkan
perkembangan pengalaman dengan seks selama siklus kehidupan.
Seksualitas abnormal yaitu perilaku seksual yang destruktif bagi diri sendiri maupun
oranglain, yang tidak dapat diarahkan kepada seseorang pasangan, yang diluar stimulasi
organ seks primer, dan yang di sertai dengan rasa bersalah dan kecemasan yang tidak sesuai,
atau konfulsif.
Bagi kebanyakan orang, banyak yang tidak peduli tentang apakah perilaku seksual
yang normal dan apakah jenis-jenis dan gangguan seksual. Gangguan seksual merupakan
masalah dasar bagi pria dan wanita yang mengganggu kemampuan mereka untuk menikmati
seks.

1|
Penyimpangan perilaku seksual sering di anggap perbuatan tidak bermoral oleh
masyarakat. Ada penderita yang merasa bersalah atau depresi dengan pemilihan objek atau
aktivitas seksual nya yang tidak normal. Namun banyak pula yang tidak merasa terganggu
dengan penyimpangan tersebut kecuali bila ada reaksi dari masyarakat.

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan parafilia ?
b. Apa yang dimaksid dengan disfungsi seksual ?
c. Bagaimanan ciri-ciri gangguan disfungsi seksual ?
d. Apa yang di maksud dengan gangguan Identitas Gender ?
C. Manfaat
a. Memahami dan mengetahui parafilia
b. Mengetahui pengertian disfungsi seksual
c. Mengetahui ciri-ciri gangguan disfungsi seksual
d. Mengetahui gangguan Identitas Gender

2|
BAB II

PEMBAHASAN

A. Parafilia

Istilah paraphilia (para berarti ‘’salah atau abnormal’’ dan philia berarti
‘’ketertarikan’’) secara harfiah berarti penympangan yang melibatkan objek daya tarik
seksual manusia. Dalam DSM-IV-TR, parafilia adalah sekelompok gangguan yang
mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang
tidak pada umumnya. Fantasi, dorongan, atau perilaku harus berlangsung setidaknya
selama 6 bulan dan menyebabkan distress atau hendaya signifikan. Tapi seseorang yang
memiliki kritria tersebut, belum tentu bisa dikatakan seseoraang tersebut parafilia , karena
apabila seseorang tersebut memiliki perilaku dan fantasinya tidak berulang.

Perilaku seksual adalah bermacam-macam dan ditentukan oleh suatu interaksi


faktor-faktor yang kompleks. Seksualitas abnormal yaitu perilaku seksual yang destruktif
bagi diri sendiri maupun orang lain, yang tidak dapat di arahkan kepada seseorang
pasangan, yang diluar stimulasi organ seks primer, dan yang di sertai dengan rasa bersalah
dan kecemasan yang tidak sesuai, atau konfulsif.

Rafelia secara harfiah ‘para’ artinya penyimpangan ‘filia’ artinya objek atau situasi
yang disukai. Parafilia adalah dorongan seksual yang mendalam dan berulang yang
menimbulkan fantasi seksual yang difokuskan pada objek yang bukan pada manusia saja,
penderita atau penghinaan diri sendiri atau partnernya, atau anak-anak atau orang-orang
yang tidak mengizinkan. Parafilia dapat di artikan juga yang menunjukkan pada objek
seksual yang menyimpang (misalnya dengan benda atau anak kecil) maupun aktivitas yang
menyimpang (misalnya dengan memamerkan alat genital).

Penyimpangan ini bisa mengganggu hubungan seksual yang sehat (mengingat


banyak penderita parafilia yang menikah. Parafilia di golongkan kriteria tingkat ringan
yaitu bila penderita hanya mengalami dorongan parafilia yang kuat tetapi tidak
melakukannya. Di anggap sedang bila melakukan kadang- kadang dan di anggap berat bila

3|
berulang-ulang dilakukan. Parafilia lebih banyak diderita pria daripada wanita dengan
perbandingan 20:1.

B. Jenis-jenis Parafilia
1. Pedofilia

Pedofilia adalah kelainan seks dengan melakukan seksual untuk memenuhi


hasratnya dengan cara menyetubuhi anak- anak dabawah umur. Hal ini dilakukan
oleh orang dewasa(16 tahun keatas) terhadap anak-anak secara seksual belum
matang(biasanya dibawah 13 tahun). (tristiadi ardi) Meskipun pedofilia secara
definisi adalah ketertarikan pada anak-anak, kecenderungan seksual mereka dan
perilaku mereka itu sangat bervariasi. Beberapa dari tidak mengeluarkan impuls
mereka, namun memiliki fantasi kecenderungan yang mengganggu untuk
menganiaya anak-anak. Mereka yang melampiaskan dorongan pedofilianya
melakukan tindakan- tindakan, seperti menelanjangi anak, menyentuh alat kelamin
anak, memaksa anak melakukan aktivitas oral- genital, dan berusaha memaksakan
hubungan seksual melalui vaginal atau anal. (Richard)

2. Ekshibisionisme

Ekshibisionisme, melibatkan dorongan yang kuat dan berulang untuk


menunjukkan alat genital pada orang yang tidak dikenal dan yang tidak menduganya,
dengan tujuan agar korban terkejut, syok, atau terangsang secara seksual. Orang
penderita ekshibisionisme biasanya tidak tertarik pada kontak seksual aktual dengan
korban dan hal ini bukan sesuatu yang berbahaya.
a. Berulang, intens, dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan
memamerkan alat kelamin kepada orang lain yang tidak dikenal yang tidak
menduganya.

b. Orang tersebut bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan


fantasi tersebut menyebabkan orang tersebut mengalami distress atau mengalami
masalah interpersonal.

4|
4. Fetisisme Fetis( fetish)

Adalah ketertarikan seksual yang kuat dan berualang terhadap objek


yang tidak hidup. Orang dengan paraphilia fetisisme (fetishim) terkuasai oleh
suatu objek dan mereka menjadi bergantung pada objek ini untuk mencapai
kepuasan seksual, lebih menyukai hal tersebut daripada memiliki intimasi seksual
dengan pasangan. Objek fetisisme yang paling umum adalah bagian-bagian dari
pakaian yang biasa, seperti pakaian dalam, stocking, sepatu, dan lain-lain, tetapi
ada sejumlah rujukan kejiwaan yang melaporkan adanya objek fetisime yang luas,
meliputi sesuatu yang terbuat dari karet, objek dari kulit, popok, peniti, dan
bahkan lengan yang diamputasi.

5. Froteurisme
Istilah froteurisme(frotteurism) berasal dari bahasa

Froteurisme adalah gangguan yang berkaitan dengan melakukan sentuhan yang


berorientasi seksual pada bagian tubuh seseorang yang tidak menaruh curiga akan
terjadi hal itu. Seseorang yang mengidap gangguan ini biasa menggosokkan
penisnya ke paha atau pantat seseorang perempuan atau menyentuh payudara atau
kelaminnya. Biasanya tindakan ini dilakukan di dalam bis yang penuh
penumpang.

Kriteria Froteurisme dalam DSM-IV-TR:

a. Berulang, intens, dan terjadi dalam periode minimal 6 bulan, fantasi,


dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang
menumbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan menyentuh atau
menggosokkan bagian tubuhnya pada orang yang tidak menghendakinya.

b. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut,


atau dorongan dan fantasi tersebut menyebabkannya distress atau
mengalami masalah interpersonal.

6. Masokhisme seksual
Masokisme adalah istilah yang digunakan untuk kelainan seksual
tertentu, namun yang juga memiliki penggunaan yang lebih luas. Gangguan

5|
seksual ini melibatkan kesenangan dan kegembiraan yang diperoleh dari rasa
sakit pada diri sendiri, baik yang berasal dari orang lain atau dengan diri
sendiri. Gangguan ini biasanya terjadi sejak kanak-kanak atau menginjak
remaja yang sudah mulai kronis. Orang dengan gangguan ini mencapai
kepuasan dengan mengalami rasa sakit. Masokisme adalah satu-satunya
kelainan paraphilia yang dialami oleh perempuan, sekitar 5 persen makosis
adalah perempuan. Istilah ini berasal dari nama seorang penulis asal Austria
pada abad ke-19, Leopold von Sacher-Masoch, yang novelnya sering
menyebutkan karakter yang terobsesi dengan kombinasi seks dan rasa sakit.
Dalam arti lebih luas, masokisme mengacu pada pengalaman menerima
kenikmatan atau kepuasan dari penderitaan sakit. Pandangan psikoanalitik
bahwa masokisme adalah agresi berbalik ke dalam, ke diri, ketika seseorang
merasa terlalu bersalah atau takut untuk mengungkapkannya secara lahiriah.
Kriteria Masokisme Seksual dalam DSM-IV-TR:
a. Berulang, intens, dan terjadi dalam periode minimal 6 bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan
dengan tindak (bukan fantasi) yang dilakukan oleh orang lain untuk
memperrmalukan atau memukul dirinya.
b. Menyebabkan distress bagi orang yang bersangkutan atau mengalami
hendaya dalam fungsi social atau pekerjaan.
7. Sadomasokhis
Seorang individu sadisme mencapai kepuasan seksual dengan menyakiti
orang lain. Dalam teori psikoanalitik, sadisme terkait dengan rasa takut
pengebirian, sedangkan penjelasan perilaku sadomasokisme (praktek seksual
menyimpang yang menggabungkan sadisme dan masokisme) adalah perasaan
secara fisiologis mirip dengan gairah seksual. Kriteria diagnostik klinis untuk
kedua gangguan ini adalah pengulangan dari perilaku selama setidaknya enam
bulan, dan kesulitan yang signifikan atau penurunan kemampuan untuk berfungsi
sebagai akibat dari perilaku atau terkait dorongan atau fantasi. Sadomasokisme
bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan, baik heteroseksual dan hubungan
homoseksual.

6|
Kriteria Sadisme Seksual DSM-IV-TR
a. Berulang, intens, dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan,
atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan tindakan
(bukan fantasi) mempermalukan atau menyebabkan penderitaan fisik pada orang
lain.
b. Menyebabkan distress bagi orang yang bersangkutan atau mengalami hendaya
dalam fungsi social atau pekerjaan atau orang tersebut bertindak berdasarkan
dorongan tersebut kepada orang lain yang tidak menghendakinya.
8. Sadisme seksual
Adalah kepuasan seksual yang dihubungkan dengan
menimbulkan penghinaan atau rasa sakit pada orang lain. Diagnosis klinis untuk
sadisme seksual biasanya tidak diberikan, kecuali jika orang tersebut merasa tertekan
akibat perilakunya atu tindakannya yang membahayakan diri sendiri atau orang lain.
9. Transvestik fetishisme
Adalah dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi yang berhubungan
dengan melibatkan memakai pakaian dari lawan jenisnya, dengan tujuan untuk
mendapatkan rangsangan seksual. Transvestik fetishisme biasanya terjadi pada pria
heteroseksual.
10. Voyeurisme

adalah bertindak berdasarkan atau mengalami distres akibat munculnya


dorongan seksual yang kuat da terus-menerus sehubungan dengan fantasi yang
melibatkan kegiatan melihat/memperlihatkan orang, biasanya orang tak dikenal yang
sedang tidak berpakaian atau membuka pakaian atau sedang melakukan aktivitas
seksual dimana mereka tidak menduganya. Tujuannya adalah untuk mencapai kepuasan
seksual. Orang yang melakukan veyeurisme biasanya tidak menginginkan aktivitas
seksual dengan orang yang diobservasi.
Veyeurisme adalah kondisi dimana seseorang memiliki preferensi tinggi untuk
mendapatkan kepuasaan seksual dengan melihat orang lain yang sedang tanpa busana
atau sedang melakukan hubungan seksual.

Kriteria Veyeurisme dalam DSM-IV-TR:

7|
a. Berulang, intens, dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan,
atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan tindakan
mengitip orang lain tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual tanpa
diketahui yang bersangkutan.

b. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau


dorongan fantasi menyebabkan orang tersebut sangat menderita atau mengalami
masalah interpersonal.

Pedofilia dan Incest

Menurut DSM pedofilia adalah orang dewasa yang mendapatkan kepuasaan


seksual dengan berhubungan fisik dan sering kali berhubungan dengan anak-anak
prapubertasi yang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. Lalu pedofilia dapat
dia artikan orang dewasa yang yang suka melakukan hubungan seks / kontak fisik yang
merangsang dengan anak di bawah umur.

Kriteria Pedofilia dalam DSM-IV-TR:

a. Berulang, intens dan terjadi selama 6 bulan, fantasi, dorongan,


perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan
melakukan kontak seksual dengan anak prapubertas.
b. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut,
atau dorongan dan fantasi tersebut menyebabkan orang yang
bersangkutan mengalami distress atau masalah interpersonal.
c. Orang yang bersangkutan minimal berusia 16 tahun dan 5 tahun
lebih tua dari anak yang menjadi korbannya.

Lalu untuk incest sendiri adalah hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri
non suami istri seperti antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak laki-
lakinya.

Perbedaan antara incest dan pedofilia adalah

a. Incest sendiri berdasarkan definisi antar anggota keluarga sedangkan pedofilia umum.

b. Korban incest cenderung lebih tua dari korban pedofilia.

8|
Etiologi parafilia

1. Perspektif Psikodinamika

Menurut pandangan psikodinamik, parafilia pada dasarnya defensif, melindungi ego


dari ketakutan dan ingatan dan direpres, dan mewakili fiksasi pada tahap pragenital
dalam perkembangan psikoseksual. Orang dengan parafilia dilihat sebagai seseorang
yang takut akan hubungan heteroseksual yang konvensional, bahkan yang tidak
melibatkan seks. Perkembangan sosial dan seksualnya tidak matang, terbelakang, dan
tidak adekuat untuk hubungan sosial dan persetubuhan heteroseksual dengan orang
dewasa

2. Perspektif Behavioral dan Kognitif

Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari classical conditioning, yang secara
kebetulan telah memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang
dianggang tidak pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai parafilia
bersifat multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang. Seringkali orang dengan parafilia
mengalami penyiksaan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam
keluarga yang hubungan antara orang tua dengan anak terganggu. Pengalaman-
pengalaman awal ini dapat berkontribusi terhadap tingkat kemampuan sosial serta self-
esteem yang rendah, kesepian, dan kurangnya hubungan intim yang sering terlihat pada
parafilia. Kepercayaan bahwa sexual abuse pada masa kanak-kanak merupakan
predisposisi untuk munculnya, ternyata, masih perlu ditinjau ulang. Distorsi kognitif
juga memiliki peran dalam pembentukan parafilia. Orang dengan parafilia dapat
membuat berbagai pembenaran atas perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara lain
dengan mengatribusikan kesalahan kepada orang atau hal lain, menjelek-jelekkan
korban, atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu, berdasarkan perspektif
operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan sosial yang
tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang tua atau orang
lain.

9|
Terapi Parafilia

Karena sebagian besar parafilia illegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk
penjara dan di perintahankan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku
kejahatan seks tersebut seringkali kurang memilii motivasi untuk mengubah
perilakunya. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
motivasi mengikuti perawatan, sbb:

1. Berempati terhadap keengganan untuk mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum.

2. Memberitahukan jenis-jenis perawatan yang dapat membantu mengotrol perilaku


dengan baik menunjukkan efek negative yang timbul apabila tidak dilakukan treatment.

3. Memberikan intervensi paradoksikal, dengan mengekpresian keraguan bahwa orang


tersebut memiliki motivasi untuk menjalani perawatan.

4. Menjelaskan bahwa aka nada pemeriksaan psikofiologis terhadap rangsangan seksual


pasien, dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus
diucapkan atau diakui oleh pasien.

Terdapat beberapa jenis perawatan untuk parafilia, yaitu :

1. Terapi psikoanalitis

Pandangan psikoanalisa beranggapan bahwa parafilia berasal diri kelainan karakter,


sehingga sulit unutk diberi perawatan sehingga sulit untuk diberi perawatan dengan
hasil yang memuaskan. Psikoanalisa belum member kontribusi yang besar dalam
penanganan parafilia secara efektif.

2. Teknik Behavioral

Para terapis dari aliran behavioral mencoba unutuk mengmbangkan prosedur terapeutik
untuk mengubah aspek seksual individu. Pada awalnya, dengan pandangan bahwa
parafilia merupakan ketertarikan terhadap objek seksual yang tidak pantas, prosedur
yang dilakukan adalah dengan terapi aversif. Terapi aversif dilakukan dengan
memberikan kejutan fisik saat seseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan
parafilia. Metode lain, disebut satiation, dimana seseorang diminta untuk bermarturbarsi
untuk waktu yang lama, sambil berfantasi lantang. Kedua terapi tersebut , apabila

10 |
digabungkan dengan terapi lain seperti kemampuan social, dapat bermanfaat terhdap
pedofilia transvesisme eksibisionisme, dan transvestisme. Cara lain yang dilakukan
adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi
lebih terangsang pada stimulus konvensional, sementara mereka member respon seksual
terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Selain tekni itua, ada teknik lain
yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.

3. Penanganan Kognitif

Prosedur kognitif sering digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada
individu dengan parafilia. Diberikan pula pelatihan empati agar individu memahami
pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak program penanganan yang
memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program rehabilitasi
ketergantungan obat-obatan terlarang.

4. Penanganan Biologis

Intervensi biologis yang sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah dengan
melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru-baru ini, penanganan biologis yang
dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan adalah
medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut
menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki, untuk menghambat rangsangan seksual.
Walaupun demikian, terdapat masalah etis daripenggunaan obat, karena pemakaian
waktu yang tidak terbatas serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian
jangka panjang. Baru-baru ini, fluoxetine (Prozac) telah digunakan, karena obat tersebut
kadang-kadang efektif untuk mengobati obsesi dan kompulsi. Karena parafilia terbentuk
dari pikiran dan dorongan yang serupa dengan parafilia.

5. Usaha Hukum

Di Amerika, sebagai akibat dari tuntutan masyarakat, telah muncul hukum mengenai
pelaku kejahatan seks. Dikenal sebagai Megan’s Law, hukum tersebut memungkinkan
warga sipil untuk mendeteksi keberadaan mantan pelaku kejahatan seksual, yang
dianggap berbahaya. Dengan hukum ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan
para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk mengulangi kejahatannya.

11 |
C. Disfungsi seksual

Disfungsi seksual ditentukan oleh individu , sering kali dalam lingkup hubungan
intim dan hampir selalu dalam konteks harapan budaya serta nilai- nilai menganai apa ang
merupakan fngsi seksual yang normal, tidak ada pola yang benar dari aktivitas sosial ;suatu
yang dipandang sebagai disfungsi bagi seseorang mungkin merupakan suatu hal yang
dipandang normal dan sehat oleh orang lain, sayangya, orang-orang dapat menganggap diri
mereka mengalami dsfungsi seksual tanpa menadari kemungkinan bahwa perilaku mereka
sebenarnya masih berada pada rentang perilaku normal.

Sisi lain dari disfungsi seksual yang akan menjadi nyata ketika anda membaca
deskripsi klinis dan sejarah khusus adalah bahwa terkadang disfungsi seksual merupakan
pertanda atau gejala adanya masalah dalam kehidupan seseorang yag tidak langsung yang
terkait dengan seksualitas. Sebagai contoh seseorang yang sangat marah akibat tekanan
pekerjaan atau masalah keluarga mungkin akan mengalami gangguan juga dalam hal
performa seksualnya. Sering kali orang tidak menyadari hubungan antara masalah seksuala
dan tekanan hidup lain dan tentunya beberapa masalah seksual lebih jelas terhubung
dengan masalah lain apabila dibandingkan dengan maslah dalam hubungan biasa atau
pengalaman-pengalaman yang terjadi dimasa lalu seseorang yang menjadi landasan pada
suatu masalah seksual. Para klinisi merujuk pada beberapa perbedaan dalam karakterisasi
sumber gtangguan seksual. Pertama , meraka menanyakan apakah suatu disfungsi
disebabkan oleh suatu factor psikologis, seperti depresi atau masalah dalam hubungan atau
karena kombinasi dari factor psikologis serta factor fisik, misalnya penyakit atau kecanduan
obat. Mereka juga membedakan antara tipe yang berlangsung lama dan sekejap saja
sebagaiman disfungsi seksual yang tergantung oleh situasi atau terjadi secara uumum. Suatu
disfungsi yang berlangsung dalam jangka panjang telah ada sejak awal berfungsinya oragn
soksual secara aktif. Disfungsi situasional terjadi terhadap beberapa stimulasi seksual,
situasi atau partner tertentu, sedangkan disfungsi secara umum tidaklah terbatas

Untuk memahami disfungsi seksual, penting untuk memahami perspektif mengenai


factor-faktor yang berkontribusi terhadap fungsi-fungsi seksual yang sehat. Masters dan
Johnson (1966, 1970) dalam penelitian terdadulu mereka tentang seksualitas manusia,
secara sistematis mengobservasi respon seksual pad pria dan wanita pada kondisi yang

12 |
terkontrol di laboratorium. Penelitian mereka dipublikasikan secara meluas dan dinilai
membantu menghilangkan berbagai mitos terkait dengan seksualitas, sebagai contoh
penelitian meraka dengan menggunakan metode observasi terhadap kaum wanita
memberikan sedikit banyaknya bukti nyata bahwa tidka terdapat perbedaan fisiologis antara
orgasme wanita dan klitoris penemuan ini mendukung meraka yang tidak setuju dengan apa
yang diungkapkan oleh Freud bahwa kedua hal tersebut berbeda. Masters dan Johnson
tidak hanya memberikan dasar yang lebih ilmiah untuk memahami disfungsi seksual,
mereka juga mengambil suatu pendekatan yang lebih humanistis untuk membahas
gangguan ini, untuk merawat mereka , semaksimal mungkin, dalam konteks hubungan
interpersonal yang sering kali menyebabkan terjadinya disfungsi seksual

Masters dan Johnson mengidentifikasi empat fase dalam siklus respos seksual,
yaitu perangsangan, orgasme dan resolusi. Pada fase perangsangan ketertarikan seksual
individu meningkat dan tubuh bersiaip untuk melakukan hubungan seksual . rangsangan
seksual semakin terbangun pada fase plateau dan individu mengalami kontraksi otot pada
are genital yang dihubungkan dengan sensasi rasan nikmat yang intens pada fase orgasme.
Fase resolusi adalah suatu masa kembali pada suatu keadaan yang secara fisiologis normal.
Setiap orang berbeda dalm pola aktivitas seksual mereka. Pada beberapa orang
perkembangan dari fase satu ke fase lain bergerak cepat, sedangkan pada orang lain
pergerakan antar fase bergerak lebih lambat . tidak setiap kegiatan seksual perlu meliputi
semua fase.

Disfungsi seksual dikaitkan dengan fase perangsangan dan orgasme serta dikaitkan
juga dengan keseluruhan tingkat hasrat seksual seseorang. Beberapa orang yang
mengalami disfungsi seksual ha nya memiliki ketertarikan yang kecil terhadap seks atau
bahkan tidak tertarik sama sekali ; sebagian yang lain mengalami suatu penundaan dalam
suatu fase tertentu dari perangsangan seksual atau tidak tergugah sama sekali. Sebagian
yang lain dapat meras tergugah, namun tidak dapat mencapai orgasme.

Penting menyadari bahwa terkadang masalah psikologis lain adalah dasar dari
kesulitan seksual, sebagai contoh, abnormalitas rendahnya hasrat seksual pada seseorang
yang mengalami depresi tidak akan didiagnosis sebagai disfungsi seksual , melainkan
akan dipandang sebagai bagian dari depresi yang dialaminya.

13 |
Disfungsi seksual dapat memiliki dasar fisik ataupun psikologis serta sering sekali
terdapat interaksi antara factor fisik dan psikologis. Bayak orang yang mengalami
disfungsi seksual dan bahkan setelah mendapatkan bantuan professional, cepat mengambil
kesimpulan bahwa masalah seksual pasti memiliki oenyebab emosional, mereka gagal
memahami bahwa suatu masalah seksual mungkin terkait dengan sakit fisik, pengobatan
atau tingkat kesehatan secara umum .

Masalah seksual pada awalnya dapat tidak merusak, namun kemudian berkembang
menjadi lebih serius karena kecemasan yang menyertai masalah ini. Masters dan Johnson
menggunakan istilah spectotaring untuk merujuk pada pengalaman ketika individu merasa
sangat sadar pada saat melakukan aktifitas seksual.

Gangguan Hasrat Seksual Hipoaktif

Individu yang mengalami gangguan hasrat seksual hipoaktif memiliki ketertarikan


yang sangat rendah terhadap aktivitas seksual. Individu tersebut tidak mencari hubungan
seksual yang nyata, juga tidak membayangkan mereka memiliki hubungan tersebut, tidak
juga mengharapkan suatu kehidupan seksual yang lebih aktif. Tekanan yang terkait dengan
gangguan ini biasanya terjadi pada are hubungan intim yang mungkin akan sulit untuk
diatasi. Bagi beberapa individu, kondisi ini mempengaruhi seluruh potensi ekspresi
seksualnya, sedangkan bagi sebagian ynag lain kondisi ini bersifat situasional, mungkin
hanya terjadi pada konteks hubungan tertentu. Orang cenderung mengembangkan
gangguan ini sebagai hasil dari kesulitan psikologis lain, seperti depresi, trauma seksual
yang terjadai dimasa lalu, citra tubuh atau harga diri yang rendah, kekerasan interpersonal ,
atau hubungan yang penuh dengan pertengkaran. Pada beberapa kasus , gangguan ini dapat
berkembang sejalan dengan disfungsi seksual yang sudah ada sebalumnya. Sebagai contoh,
seorang pria yang tidak dapat mengontrol ejakulasinya mungkin akan kehilangan minat
terhadap seks karena malu dan cemas akan masalah tersebut.

Individu yang mengalami gangguan hasrat seksual hipoaktif dalam jangka panjang
mengalami penurunan ketertarikan pada bentuk seksualitas sejak masa pubertas. Kasus
seperti ini jarang terjadi apabila dibandingkan dengan kasus pada individu yang

14 |
mengalami kondisi ini pada masa dewasa sebagai akibat dari suatru periode stress atau
kesulitan interpersonal.

Gangguan Pengindraan Seksual

Gangguan Pengindraan Seksual dicirikan dengan ketidaksukaan yang aktif atau


pengindraan terhadap kontak alat kelamin dengan seorang partner seksual yang
menyebabkan tekanan personal atau masalah interpersonal. Individu ini mungkin tertarik
terhadap seks dan mungkin menikmati fantasi seksual, namun menolak gagasan melakukan
aktivitas seksual dengan orang lain, bagi sebagian orang reaksi ini digenerelisasikan serta
melibatkan suatu penghinaan terhadap semua perilaku seksualintim, termasuk berciuman
dan berpelukan. Bvagi sebagian yang lain , pengindraan terjadi pada beberapa hal tertentu
dari seksualitas interpersonal , seperti tekanan vagina atau aroma alat kelamin. Reaksi
yang dimunculkan berada pada rentang reaksi kecemasan sedang hingga serangan panic.
Seseorang yang mengalami gangguan pengindraan seksual ditekan oleh perasaan hina
mereka terhadap perilaku seksual dan mereka merasa kespian serta rentan untuk memasuki
suatu hubungan intim. Ketika telah terlibat dalam suatu hubungan dekat, mereka biasanya
mengalami perselisihan dengan pasangan mereka karena reaksi terganggu mereka terhadap
kemungkinan adanya hubungan sekkskual.

Masters dan Johnson menyebutkan empat penyebab utama dari gangguan ini yaitu :

1. Perilaku seksual yang sangat negative dari figure orang tua


2. Adanya sejarah trauma seksual, seperti perkosaan atau inses
3. Suatu pola tetap tekanan seksual yang selalu dimunculkan oleh seorang pasangan dalam
hubungan jangka panjang
4. Kebingungan identitas gander pada pria

Gangguan Rangsangan Seksualitas Wanita

Seorang wanita yang mengalami gangguan rangsangan seksual wanita mengalami


ketidakmampuan menetap tau berulang untuk mencapai respon lubrikasi dan pembemkakan
normal sebagai pertanda gairah seksual pada saat melakukan aktivitas seksual. Hal ini
memunculkan tekanan personal atau kesulitan interpersonal dengan pasangan. Hasrat untuk

15 |
melakukan aktivitas seksual tetap ada dan beberapa wanita yang mengalami ganggan ini
mampu mencapai orgasme, terutama ketika klitoris mereka distimulasi secara iinten seperti
menggnakan alat bant seksual. Tubuh mereka menjadi tidak responsif ketika melakukan
hubungan seksual normal serta tidak mengalami refleksi fisiologis normal dari lubrikasi dan
pembengkakan pada vagina. Sebagai konsekuensinya, penetrasi dari penis dapat
menimbulkan sensasi tidak nyaman dan mungkin rasa sakit . gangguan ini tidak terkait
dengan gangguan lain. Gangguan iini dapat berlangsung seumur hidup atau dalam jangka
waktu tertentu , berlaku umum ata situasional, serta disebabkan oleh faktor psikologis atau
sebagai kombinasi darei faktor psikologis dan fisik.

Gangguan Ereksi Pria

Gangguan ereksi pria melibatkan kegagalan total atau sebagian untuk menjaga ereksi
pada saat melakukan aktivitas seksual yang terjadi berulang ang menyebabkan seseorang
merasa tertekan atau mengalami masalah interpersonal dalam hubngan intimnya. (istilah
impoten dulu digunakan untuk menyebut gangguan ini, namun sekarang istilah tersebut
dipandang tidak tepat karena mengimplikasiakan suatu ketidakmampuan dalam kepribadian
seseorang). Seperti wanita yang mengalami ganggan rangsangan seksual wanita, para pria
yang mengalami gangguan ereksi menahan ketertarikan mereka terhadap seks. Beberapa pria
dapat berejakulasi dengan alat kelamin yang tidak sepenuhnya ereksi meskipun tingkat
kenikmatannya tidak setinggi apabila dibandingkan dengan apa yang mereka rasakan dari
ereksi penuh. Karena kesulitan ereksi ini memunculkan kesulitan secara emosional dan rasa
melu, seseorang dengan ganggan ini mungkin menghindari seks dengan seorang pasangan.
Beberapa pria mengalami kesulitan ini dari setiap hubngan seksual, beberapa pria lain
mampu mencapai ereksi, namun akan hilang ketika mereka mencoba melakukan penetrasi
atau segera setelah melakukan penetrasi. Hal yang menarik dan penting secara medis adalah
fakta bahwa pria yang mengalami gangguan ini biasanya tidak mengalami kesulitan ereksi
ketika melakukan manstrubasi.

Sebagaimana disfungsi seksual yang lain, kondisi ini dapat terjadi pada jajngka waktu
lama atau pendek, secara umum atau spesifik terhadap seorang partner tertentu . bagi mereka
yang mengalami gangguan ereksi, sekitar 15 sampai 30 persen akan menemukan bahwa

16 |
masalah iini akan berlalu seiring berjalannya waktu, sering sekali sebagai hasil dari perubahan
pada intensitas atau kualitas dari suatu hubungan.

Gangguan Orgasmik Wanita

Ketidakmampuan untuk mencapai orgasme atau suatu penundaan yang yang


menekan dalam pencapaian orgasme menyebabkan gangguan orgasmik wanita. Kondisi ini
menyebabkan tekanan personal ata kesulitan interpersonal. Beberapa wanita tidak mampu
mencapai orgasme dalam segala situasi, sedangkan bagi sebagian yang lain, masalah in
bersifat situasional . mereka mungkin mencapai orgasme melalui stimulasi mandiri atau
dalam seorang partner dalam perilaku seksual lain selain hubungan seksual.

Selama beberapa tahun, para wanita dengan kesulitan orgasme dan kesulitan
rangsangan seksual wanita diberikan label ofensif serta dikenai sebutan frigit yang
mengimplikasikan suatu kecacatan dalam tipe kepribadian. Untuk memahami gangguan ini,
penting disadari bahwa orgasme pada wanita bergerak pada rentang pengalaman tertentu.
Kaplan (1986) menggambarkan bahwa pada suatu titik ekstrim, terdapat sekelompok kecil
wanita yang hanya dapat mencapai orgasme hanya melalui fantasi erotis, stimlasi pada buah
dada, ata ciuman. Kemudian terdapat sekitar duapuluh persen hingga tigapuluh persen
wanita yang mampu mencapai orgasme hana melalui hubungan seksual, tanpa stimulasi
langsung pada klitoris. Beberapa wanita dapat mencapai orgasme selama berhubungan
seksual, namun hanya jika disertai oleh stimulasi manual pada klitoris. Berikutnya adalah
para wanita yang tidak mampu mencapai oragasme dengan seorang partner, namun mampu
menstimulasi diri mereka sendiri hingga mencapai oegasme. Pada bagian akhir dari kontinum
tersebut adalah sekitar delapan persen wanita yang belum pernah merasakan orgasme sama
sekali . Kaplan menekankan bahwa batas normal dan patologis pada kontinum ini masih
diperdebatkan meskipun sebagaian besar klinisi menganggap para individu yang masuk
kedalam dua kelompok terakhir sebagai individu yang mengalami disfungsi seksual.

Gangguan Orgasmik Pria

Gangguan orgasmik pria juga dikenal sebagai orgasme yang tertahan pada pria.
Melibatkan suatu kesulitan spesifik pada fase orgasme. Sebagaimana yang telah terjadi pada
wanita gangguan ini dapat terjadi secara umum dan situasional. Para pria yang mengalami

17 |
gangguan orgasme umum merasa tidak mungkin merasa orgasme dalam setiap situasi,
sedangkan para pria yang mengalami ganggan orgasme situasional mengalami kesulitan
dalam situasi tertentu seperti pada saat berhbungan seksual, namun tidak pada saat
melakukan manstrubasi. Keluhan ang paling umum dari para pria ang mengalami gangguan
ini meskipun mereka sangat terangsang pada saat mereka mengalami gangguan seksual,
mereka merasa sulit mencapai orgasme dengan seorang pasangan pada suatu titik pelepasan
tertentu.

Ganggan ini bergerak pada rentang penundaan situasional ringan dalam ejakulasi
hingga ketidakmampuan total untuk mencapai orgasme pada bagian akhir dari spektrum ini
adalah para pri yang memerlukan waktu yang sangat lama sebelum mampu ejakulasi.
Kemudian terdapat sekelompok pria yang memerlukan tambahan stimulasi baik dari seorang
pasangan ataupun dirinya sendiri agar dapat mencapai orgasme. Mungkin mereka dapat
mencapai orgasme ketika hanya distimulasi secara oral atau manual. Bagian selanjutnya dari
kontinum ini adalah para pria yang hana dapat mengalami orgasme melalui manstrubasi.
Pada ttitik ekstrem yang lebih jauh adalah para pria yang merasa tidak mungkin mencapai
orgasme, terlepas dari situasi yang ada. Dalam setiap kasus-kasus tersebut , perhatian pria
terhadap masalah dan kesulitan interpersonal yang muncul dalam hubungan dekatnya
menghasilkan tekanan psikologis dalam diri pria tersebut.

Ejakulasi Dini

Seorang pria yang mengalami ejakulasi dini mencapai orgasme melalui suatu
hubungan seksual jauh sebalum yang diharapakan, mungkin bahwa sebalum ia melakukan
penetrasi , sehingga ia tidak dapat mencapai kepuasan seksual. Pria tersebut mungkin
menikmati keintiman seksual dan tertarik pada pertnernya, namun segera setelah mencapai
titik perangsang tertentu , ia akan kehilangan kontrol. Ejakulasi dini biasanya terjadi dengan
semua partnernya karena masalah terletak pada kegagalan seorang pria untk mempelajari
kontrol yang disengaja terhadap refleks ejakulasinya (Kaplan, 1986,1998). Respon ang
dimunculkan dalam masalah ini beragam, ada pria yang hanya sedikit terpengaruh hingga
pria dan p[asngannya ang sangat tertekan serta tidak mampu untk membangun pola- pola
percintaan lain yang memuaskan. Ejakulasi dini ummnya ditemukan pada anak muda,
mungkin sebgai akibat dari kurangnnya kedewasaan dan pengalaman mereka.

18 |
Gangguan Nyeri Seksual

Ganggan nyeri seksual yang melibatkan perasaan sakit yang diasosiasikan dengan
hubungan seksual , diagnosis sebagai dispareunia atau vaginismus . Dispareunia yang
mempengaruhi pria dan wanita, meliputi rasa sakit yang terjadi berulang atau menetap pada
alat kelamin sebelum, pada saat atau setelah hubungan seksual. Vaginismus yang hanya
mempengaruhi wanita, meliputi kejang pada otot luar vagina yang berulang ata menetap.
Pada dasarnya, seorang wanita yang terangsang secara seksual akan mengalami reaksi otot
vagina, namun wanita dengan vaginismus mengalami penutupan otot sedemikian rupa
sehingga penetrasi tidak dapat dilakukan atau akan dirasa menyakitkan . banyak wanita
dengan vaginismus mengalami kejang otot yang sejenis sebagai respon terhadap setiap
usaha penetrasi vagina, termasuk usaha untk memasukan tampo ataupun pemeriksaan pelvis
yang dilakukan oleh profesional di bidang medis.

Supratiknya (1995) menyebutkan

a. jenis-jenis disfungsi seksual kaum laki-laki:


1. Insufisiensi erektil. Yang dimaksud adalah ketidakmampuan mencapai atau
mempertahankan ereksi sehingga gagal melakukan hubungan seksual. Dulu disebut
impotensi dan ada dua jenis, yakni insufisiensi primer dan insufisiensi sekunder. Pada
insufisiensi primer, seorang laki-laki tidak pernah mampu menahan ereksi dalam waktu
yang diperlukan untuk melakukan penetrasi yang memuaskan, termasuk sampai
mencapai ejakulasinintravaginal. Dalam insufisiensi sekunder, penderita setidak-
tidaknya pernah sekali berhasil melakukan koitus namun kini tidak mampu mencapai
atau menahan ereksi secukupnya.
2. Ejakulasi prematur. Yang dimaksud adalah jeda yang terlalu pendek antara mulai
dirasakannya stimulasi seksual dan terjadinya ejakulasi, dengan akibat pihak perempuan
gagal mencapai kepuasan dalam hubngan seksual. Ada yang memberikan batasan bahwa
ketidakmampuan menahan stimulasi selama empat menit tanpa mengalami ejakulasi
merupakan indikator bahwa seorang laki-laki membutuhkan terapi seks (lopiccolo,1978).
3. Ejakulasi lamban atau inkompetensi berejakulasi. Yang dimaksud adalah gangguan
orgasmik pada lelaki, yaitu kelambanan atau bahkan ketidakmampuan mencapai
ejakulasi, berarti kegagalan mencapai orgasme, dalam hubungan seksual.

19 |
b. Jenis-jenis disfnngsi seksual kaum perempuan
1. Insufisiensi rangsangan. Dulu disebut frigiditas dan merupakan padanan insufiensi
erektil pada kaum lelaki. Biasanya juga disertai keluhan berupa tidak adanya
perasaan-perasaan seksual serta kebal terhadap sebagian besar atau bahkan semua
bentk stimulasi erotik. Tanda fisiknya yang terpenting adalah ketidakmampuan
melakukan lubrikasi pada vulva dan jaringan-jaringan vaginal lainnya selama
berhubngan seksual. Akibatnya, hubungan seksual menimbulkan rasa sakit
2. Disfngsi orgasmik. Disini seorang perempuan mampu mengalami rangsangan
seksual, namun mencapai orgasme. Banyak perempuan ang tidak pernah mengalami
orgasme tanpa ditolong dengan stimulasi langsung pada klitoris. Ada pula yang
hanya dapat mencapai orgasme dengan stimulasi mekanis langsung pada klitoris.
Bahkan ada pula ang tidak pernah mampu mencapai orgasme sama sekali kondisi
yang terakhir disebut disfungsi orgasmik primer
3. Vaginismus. Yang dimaksud adalah keadaan kejang tiba-tiba pada otot-otot disekitar
liang vagina sehingga menghalangi penetrasi dan hubngan seksual. Ada yang disertai
insufiensi rangsangan, tetapi biasanya responsi terhadap stimulasi seksual pada awal
namun tiba-tiba kaku
4. Dispareunia. Dispareunia adalah koitus penuh rasa sakit , keadaan ini bisa menimpa
lelaki, namun lebih lazim dialami kaum perempuan. Biasanya memiliki sumber
organik berupa infeksi ata kelainan-kelainan struktural pada alat kelamin. Kadang-
kadang bisa bersumber psikologis, misalna pada kaum perempuan ang takut
berhbngan seksual

Banyak kasus disfungsi seksual baik pada kaum lelaki maupun perempan
memiliki akar sebab psikologis. Beberapa diantarana berupa:

1. Kesalahan dalam belajar. Banyak orang muda memiliki harapan dan konsepsi yang
keliru serta tidak punya cukup informasi tentang permasalahan seks, dengan akibat
mengganggu kempuan seksual mereka.
2. Perasaan takut, cemas, dan tidak memadai. Sebagian besar disfungsi disebabkan oleh
perasaan-perasaan dan sikap-sikap tertentu , serta hambatan-hambatan dibidang perilaku
seksual yang sering kali disebabkann oleh proses belajar secara keliru dimasa remaja

20 |
dan kemudian dilakukan oleh pengalaman –pengalaman aversif tertentu pada masa
dewasa
3. Masalah-masalah interpersonal. Tidak adanya kedekatan emosional, atau timbuklnya
perasaan- perasaan negatif tertentu terhadap pasangan akibat konflik-konflik ,
kesalahpahaman, atau pertengkaran lain dimasa lalu. Dapat menimbulkan gangguan –
gangguan erektil mapun orgasmik.
4. Homoseksual. Ada orang yang hasrat erotiknya hanya tertuju pada pasangan sama jenis,
dan tidak memiliki minat eroktik sedikitpun pada pasangan dengan jenis kelamin yang
berbeda.
5. Faktor lain, seperti misalnya dorongan seksual yang rendah sehingga sulit mengalami
stimulasi seksual.

Maka menurut perspektif psikis ini, aneka gangguan diatas dapat diatasi denga cara
menghilangkan miskonsepsi , hambatan dan perasaan takut, serta menanamkan sikap dan
perasaan positif bahwa seks merupakan pengalaman ang menyenangkan , wajar, bermakna.

Asesmen Perilaku Seksual

Ada tiga aspek utama dalam asesmen perilaku seksual(wiegel, Wincze, dan Barlow, 2002)

1. Wawancara, biasanya didukung dengan sejumlah kuisioner karena pasien mungkin mau
memberikan lebih banyak informasi diatas kertas daripada dalam wawancara verbal
2. Evaluasi medis yang seksama, untuk menyisihkan kondisi-kondisi medis yang dapat
memberikan kontribusi terhadap masalah- masalah seksual.
3. Asasmen psikofisiologis, untuk mengukur aspek-aspek fisiologis dari rangsangan seksual

Penyebab Disfungsi Seksual

Disfungsi seksual individu jarang muncul sendirian. Biasanya pasien yang dirjuk ke
klinik seksualitas mengeluhkan campran bermacam-macam mesalah seksual, meskipn salah
satunya mungkin paling menjadi keprihatinan (Hawton, 1995).

Kontribsi biologis

21 |
Sejumlah kondisi fisik dan medis memberikan kontribusi terhadap disfngsi seksual
(Kim dan Lipshuld, 1997). Meskipun tidak mengejutkan, sayangnya, kebanakan pasien dan
bahkan banyak profesional kesehatan tidak menyadari hubungannya. Penakit-penakit
neurologis dan kondisi-kondisi lain ang mempengaruhi sistem syaraf , seperti diabetes dan
penyakit ginjal dapat secara langsng mempengaruhi fungsi seksual dengan mengurangi
sensitivitas di daerah genital, dan mereka merupakan penyebab lazim bagi disfungsi ereksi
pada laki-laki (Schover dan Jensen, 1988)

Sakit kronis secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi fungsi seksual. Sebagai contoh,
tidak jarang orang-orang yang mengalami serangan jantung yang takut sampai ke titik
terpreukupasi untk melakukan kegiatan fisik yang terlibat dalam hubungan seksual. Maka
sering tidak mampu mencapai titik terangsang meskipun diyakinkan oleh dokterna bahwa
kegiatan seksual aman bagi mereka.(cooper, 1988)

Penyebab fisik utama disfungsi seksual adalah obat resep. Penanganan obat untuk
tekanan arah tinggi, yang disebut obat antihipertensi, yang termasuk golongan yang dikenal
sebagai beta-blockers, termasuk propanonol, dapat memberikan kontribusi pada disfungsi
seksual. Obat anti depresan trisiklik serta obat-obat antidepresan dan antikecemasan lain juga
dapat mengganggu hasrat dan keterangsangan seksual pada laki-laki maupun perempuan
(segraves dan Althof, 1998). Sejumlah obat, terutama obat-obat psikoaktif, dan menghambat
hasrat dan keterangsangan seksual dengan menaikkan tingkat subtipe- subtipe serotonin
tertent di otak. Disfungsi seksual- terutama hasrat seksual yang rendah dan kesulitan untuk
terangsang- merupakan efek samping yang paling meluas dari obat-obat antidepresan SSRI
seperti prozac, dan 75 % orang ang memakai obat-obat ini mengalami disfungsi seksual pada
tingkat tertentu (Montejo, Gonzales, dkk, 1997). Sebagian orang tahu bahwa alkohol
menekan keterangsangan seksual, tetapi mungkin mereka tidak tahu bahwa kebanyakan
penyalahgunaan obat lainnya seperti kokain dan heroin juga menghasilkan disfngsi seksual
yang meluas pada pengguna dan penyalahgunaan beratnya, baik laki-laki maupun perempuan

Juga ada konsepsi yang keliru bahwa alkohol memfasilitasi rangsangan dan perilaku
seksual. Yang sesungguhna terjadi adalah alkohol pada tingkat rendah dan sedang
mengurangi hambatan sosial sehingga orang merasa lebih menyukai seks. (Crowe dan
George, 1989). Ekspektansi orang bahwa rangsangan akan meningkat bila mereka minum

22 |
alkohol mungkin memiliki efek ang lebih besar dibandingkan kehilangan hambatan yang
terjadi karena efek alkohol itu sendiri, paling tidak pada dosis rendah. (roehrich dan Kinder,
1991). Secara fisik, alkohol dalam sisitem syaraf pusat bersifat penakanan, dan untk dapat
mencapai ereksi bagi laki-laki dan untuk mencapai lubrikasi bagi perempuan, hal itu akan
jauh lebih sulit bila sistem saraf pusatnya dalam keadaan ditekan (Schiavi, 1990).
Penyalahguanaan alkohol kronis dapat mengakibatkan kerusakan neurologis permanen dan
mungkin mengeliminasi siklus respon seksual secara total. Penyalahgunaan semacam itu
dapat mengakibatkan kerusakan hati dan testis, yang menyebabkan penurunan tingkat
testosteron dan penurunan-penurunan yang terkait dengan hasrat dan keterangsangan seksual.

Alkoholisme kronis juga dapat menyababkan masalah ketidaksuburan pada laki-laki


maupun perempuan (Malatesta dan Adam,2001). Fahrner (1987) menelaah prevelansi
disfungsi seksual dikalangan laki-laki pecandu alkohol, dan menemukan bahwa 75%
diantaranya mengalami disfungsi erektil, hasrat seksual yang rendah dan ejakulasi dini ata
ejakulasi tertunda.

Banyak orang yang melaporkan bahwa kokain atau ganja meningkatkan kenikmatan
seksual. Meskipun hanya sedikit yang diketahui tentang efek ganja disemua tingkat
penggunaanya, tampaknya mustahil bila bahan kiomia iti dapat meningkatkan kenikmatan .
sebaliknya, pada mereka yang melaporkan meningkatkan kenikmatan seksual, efeknya
mungkin bersifat psikologis dalam arti bahwa fokus perhatian mereka pada stimulasi
sensorik lebih total dan penuh (Buffum, 1982), faktor yang tampaknya menjadi bagian
penting dalam fungsi seksual yang sehat. Bila demikian halnya, fokus khayalan dan
perhatian dapat ditingkatkan dengan prosedur-prosedur nonoba t, seperti meditasi, dimana
orang berlatih berkonsentrasi pada sesuatu dengan sedikit mungkin distraksi. Terakhir,
laporan dari Mannino, 1994 yang meneliti lebih dari 4000 veteran perang menunjukkan
bahwa merokok memberikan kontribusi pada disfungsi seksual.

Kontribusi Psikologis

Ketika dihadapkan pada kemungkinan untk melakukan hubngan seksual, individu


yang disfungsional cenderung membuat perkiraan yang terburuk dan menganggap situasinya
relatif negatif dan kurang menyenangkan (Weisberg, dkk, 2001) mereka menghindar sejauh

23 |
mungkin agar dirinya tidak menyadari adanya stimulus seksual. Mereka mungkin juga
mendistraksi dirina sendiri dengan pikiran-pikiran negatif. Ketika keterangsangan meningkat
, perhatian seseorang difokuskan secara labih intens dan konsisten. Tetapi orang yang
memfokuskan diri pada pikiran-pikiran negatif akan mustahil bisa terangsang.

Orang-orang yang fungsi seksualna normal bereaksi terhadap sitasi seksual secara
positif , mereka memfokuskan perhatiannya pad stimulus-stimulus erotis dan tidak menjadi
terdistraksi. Ketika mereka menjadi terangsang, mereka semakin memfokuskan diri pada
stimulus-stimulus seksual dan erotis tersebut, dan membiarkan dirinya menjadi semakin
terangsang secara seksual.

Laki-laki yang berfngsi secara normal menunjukkan keterangsangan seksual yang


meningkat selama kondisi “ada tuntutan untuk berbuat” , mengalami efek positif , terdiktrasi
oleh stimuli nonseksual, dengan menganggap dirinya sangat terangsang. Laki-laki dengan
masalah-masalah seksual seperti disfungsi ereksi memperlihatkan keterangsangan yang
menurn selama kondisi “ada tuntutan untuk berbuat”, mengalami efek negatif , tidak
terdistraksi oleh stimulasi nonseksual, dan tidak mempunyai kepekaan yang akurat terhadap
sebarapa jauh dirinya terangsang. Proses ini tampaknya berlaku pada sebagian besar
disfungsi seksual, yang cenderung muncul bersama-sama, tapi terutama berlaku pada
gangguan rangsangan seksual.

Kontribsusi sosial dan kultural

Donn Byrne mendemonstrasikan bahwa erotofobia, yang diduga dipelajairi pada masa
kanak-kanak awal dari keluarga, otoritas religius, atau lainnya,tampaknya memprediksi
berbagai masalah seksual yang kelak akan dialami.(Byrne dan Schutle, 1990). Jadi, bagi
sebagian individu, stimulus seksual menjadi terasosiasi dengan efek negatif sejak masa
kanak-kanak. Pada kasus-kasus lain baik laki-laki maupun perempuan dapat mengalami
kejadian negatif atau traumatik tertentu setelah mereka ,mencapai periode seksualitas yang
welladjusted . kejadian negatif it dapat berupa kegagalan untk merangsang dan tiba-tiba saja
terjadi atau trauma seksual riil seperti perkosaan.

24 |
Laumman, dkk 1999, dalam survei seks di AS , menemukan dampoak substansial dari
kejadian traumatik dimasa kanak-kanak terhadap fungsi seksual dimasa yang akan datang,
terutama pada perempuan.

Selain sikap yang secara umum negatif atau pengalaman yang berhubngan dengan
interaksi seksual, sejumlah faktor lain dapat memberikan kontribusi terhadap disfungsi
seksual. Di antaranya yang paling sering , adalah kemunduran dalam hubungan interpersonal.
Sulit untuk mendapatkan hubungan seksual yang memuaskan dalam konteks sikap yang
semakin tidak menyukai pasangan seksual . ketrampilan seksual yang buruk juga dapat
mengakibatkan sering mengalami kegagalan hubungan seksual dan kurangnya nafsu seksual.

Jadi faktor-faktor sosial dan kultural tampaknya mempengaruhi fungsi seksual


selanjutnya. John Gagnon telah meneliti fenomenon ini dan menyusun sebuah konsep penting
yang disebut script theory of sex functioning.menurt teori ini orangh beroprasi menurut
“skrip” yang mencerminkan ekspektansi sosial dan kultural dan mengarahkan perilaku kita
(Gagnon, 1990), dengan menemukan skrip-skrip ini , baik pada individu-individu maupun
pada suatu kebudayaan , kita akan tahu banyak tentang fungsu seksual. Sebagai contoh,
seorang yang belajar bahwa seksualitas berpotensi membahayakan, kotor, atau merupakan
perbuatan terlarang , lebih rentan untuk mengembangkan disfungsi sosial pada kehidupannya
kelak. Pola ini paling tampak jelas pad budaya-budaya yang memiliki sikap reskriptif
terhadap seks. Sebagai contoh vaginismus relatif jarang terjadi di Amerika Utara tetapi
menjadi penyebab yang paling sering bagi disrubsi perkawinan di Irlandia (Banes,1981).

Interaksi antara Faktor Psikologis dan Fisik

Setelah menglas berbagai penyebab, sekarang kita harus mengatakan bahwa disfungsi
seksual yang berhubungan secara eksklusif dengan faktor psikologis atau fisik saja jarang
terjadi (Bancroft, 1997), yang lebih sering terjadi, ada kombinasi subtil antara berbagai faktor.
Sebagai contoh tipikalnya, seorang laki-laki yang rentan untuk mengembangkan kecemasan
dan meyakini sejumlah mitos seksual tertentu (kontribusi sosial) mungkin mengalami
kegagalan ereksi secara tak terduga setelah menggunakan obat atau alkohol, seperti yang
dialami oleh banyak laki-laki. Ia kan mengantisipasi hubngan seksual selanjutnya dengan

25 |
cemas, kalau-kalau kegagalan itu akan terjadi lagi. Kombinasi antara pengalaman dan
aprehensi mengaktifkan sekuensi psikologis.

Sikap-sikap yang ditularkan secara sosial tentang seks dapat berinteraksi dengan
masalah hubngan interpersonal dan predoposisi untk mengembangkan performance anxiety
yang mengakibatkan terjadinya disfungsi seksal. Dari sudut pandang psikologis, kita tidak
tahu mengapa sebagian individu mengembangkan satu macam disfungsi tertentu saja,
meskipun kebanyakan orang mengalami beberapa macam disfungsi seksual sekaligus.
Mungkin predisposisi biologis tertentu seseorang berinteraksi dengan faktor-faktoe
psikologis untuk menghasilkan disfungsi seksual tertentu

Penanganan Disfungsi Seksual

A. Penanganan psikologis

Diantara banyak kemajuan dalam pengetahuan kita tentang perilaku seksual . program
intensif terapi seksual melibatkan seorang terapis laki-laki dan terspis perempuan untuk
memfasilitasi diantara pasangan yang disfungsional. Terapi dilaksanakan setiap hari selama dua
minggu.

Program aktualnya bersifat langsung , selai memberikan pendidikan dasar tentang fungsi
seksual, mengubah mitos yang telah tertanam dalam-dalam, dan meningkatkan komunikasi, dan
tujuan utama klinisi adalah mengeliminasi performance anxiety (kecamasan akan performa)
berbasis psikologis. Ntuk melakukann ini Master dan Jonson emngintrksikan sensate focus dan
nodemand pleasuring. Dalam hal ini, pasangan diintruksikan untuk tidak melakukan
persetubuhan atau mengusap-usap alat kelamin, tetapi mengeksplorasi dan saling menikmati
tubuh pasangan ,melalui sentuhan , ciuman, pelukan, pijatan, dan tindakan semacamnya. Dalam
fase pertama nongenital pleasuring , buah dada atau alat kelamin disingkirkan dari latihan .
setelah berhasil menyelesaikan fase ini , pasangan beralih ke genital pleasuring, tetapi dilarang
oergasme dan bersetubuh dan disertai intruksu yang jelas bagi [pihak laki-laki bahwa mwncapai
ereksi bukan tujian fase ini.

Pada titik ini rangsangan harus dimantapkan, dan pasangan itu harus sudah siap untuk
melakukan persetubuhan . agar tidak berjalan terlalu cepat, tahap iini dibagi menjadi dua bagian.

26 |
. selama menjalankan program intensif selama dua minggu, Master dan Jhonson melaporkan
terjadinya pemulihan fungsi seksual pada sebagian besar diantara lebih dari 790 pasien ang
mengalami disfungsi seksual. Selanjutnya para terapis seks telah memparluas dan memodifikasi
prosedur mereka selama bertahun-tahun dengan memanfaatkan kemajuan pengetahuan.

B. Penanganan medis

Berbagai teknik farmakologis dan oprasi untuk menangani disfungsi seksual telah
dikembangkan selama beberapa tahun terakhir ini. Hamper semuanya difokuskan pada gangguan
ereksi pada laki-laki. Obat fiagra, yang diintroduksikan pada tahun 1998, dan obat-obat
semacamnya seperti LeVitra dan Cialis, yang diintroduksikan kemudian, adalah beberapa ibat
yang paling banyak dikenal. Kita melihat empat macam prsedur yang paling popular, yaitu: obat
oral, suntikan substansi fasoaktif secara langsung ke penis, operasi, dan vacuum device therapy
(terapi dengan vacum). Sebelum mulai, perlu diketahui bahwa penting untuk mengombunasikan
penanganan medis apapun dengan program edukasi dan terapi sex yang komprehesif untuk
memastikan tercapainya manfaat yang maksimal.

Beberapa obat yang terkenal dengan sebutan” wonder drugs” (obat ajaib) untuk berbagai
macam gangguan telah diintroduksikan secara luas termasuk Prozac untuk depresi dan redux
untuk obesitas. Antusiasme yang luar biasa bahwa obat dapat mengobati segala gangguan yang
diikuti oleh periode kekecewaan ketika orang menyadari bahwa obat itu tidak sesuai dengan
yang dijanjikan akan memberikan dampak yang merugikan dan bila terbukti obat itu evektif
biasanya mditemukan memiliki manfaat moderat pada sebagaian orang dan dijadikan bagian
yang bermanfaat dari rencana penanganan.

Obat ajaib dari tahu 1998 adalah Sildenafil (nama dagam Viagra) untuk disfungsi ereksi
.persetujuan dari food and drug administration itu muncul pada awak tahun 1998, dan hasil-hasil
dari percobaan klinis menunjukkan bahwa antara 50 % sampai 80% dari sejumlah besar laki-laki
mendaoatkan manfaat dari penanganan ini (Conti, Pepine, dan Sweeney, 1999; Gold Stein, dkk,
1998). Artinya, ereksi mereka cukup untuk melakukan persetubuhan. Tetapi 30% mungkin
mengalami sakit kepala berat sebagai efek sampingnya, terutama pada pemakaina disis yang
lebih tinggi (Rosen, 2000; Virag, 1999), dan laporan-laporan tentang kepusan seksual tidak
optimal. Selain itu ada semacam harapan bahwa Viagra akan bermanfaat untuk disfungsi seksual

27 |
pasca Menupause pada perempuan, meskipun hasil-hasil awalnya mengecewakan (Kaplan, dkk,
1999). Yang lebih mutahir, Berman, dkk (2003) melaporkan perbaikan tertentu sebagai hasil
Viagra pada perempuan pasca menopause yang mengalami gangguan rangsang seksual, tetapi
hanya pada perempuan yang nafsu seksualnya tidak menurun/ menghilang. Testosterone juga
pernah digunakan untuk menangani disfungsi ereksi (Schlavi, White, Mandeli, dan Levine,
1997).tetapi, meskipun aman dan relative tudak memiliki banyak efek samping, efeknya terhadap
disfungsi ereksi boleh dibilang tidak berarti (Mann, dkk, 1996).

Sebagaian dokterahli urologi mengajari pasien untuk menyuntikkan obat-obat


vasidilatasi, seperti papaverine atau prostauglandin secara langsung kedalam penis ketika
mereka ingin berhubungan seksual. Obat-obat ini memperlebar pembuluh darah. Memungkinkan
darah mengalir ke penis dan oleh karenanya, menghasilkan ereksi dalam waktu 15 menit setelah
injeksi dilakukan dan dapat berangsung selama satu sampai empat jam (Kim dan Lipshults,
1997; Roosen, 2000; Segraves dan althof, 1998). Karena prosedur ini sedikit menyakitkan
(meskipun tidak sesakit yang mungkin anda bayangkan), sejumlah besar laki laki, biasanya 59 %
sampai 60% berhenti menggunakannya setelah mencobanya selama beberapa lama . dalam
salahsatu studi, 50 dari 100 pasien tidak melanjutkan papaverine dengan bebrbagai alas an
(Lakin, dkk, 1990; Segraves dan althof 1998).efek-efek sampingnya termasuk memar dan,
dengan injeksi berulang-ulang, terjadi perkembangan vibrosis nodules dalam penis (Gregoire,
1992; Rosen, 2000). Meskipun sebagian pasien menganggao papaverine cukup membantu, tetapi
dibutuhkan banyak stidi tentang itu, dan oara ilmuan berusaha mengembangkan cara-cara yang
lebih aman untuk memberikan obat-obat tersebut. Kapsul lunak yang berisi obat yang disebut
MUSE, dapat dimasukkan secara langsung kedalam uretra, tetapi in juga sedikit menyakitkan
dan kurag begitu evektif dibandingkan suntikan, serta masih dianggap terlalu janggal dan
artivisial untuk dapat diterima secara luas (Delizonna, wincze, litz, Brown, dan Barlow, 2001).

Dimasukkannya prothese penis atau implantasi penis merupakan pilihan melalui oprasi
selama lebih dari 100 tahun; hanya baru baru ini saja mereka berhasil mendekati fungsi seksual
yang normal. Salah satu prosedurnya melibatkan imlantasi batangan silicon imigrid yang dapat
dibengkokan kedalam posisi yang tepat untuk bersetubuh dan dapat digerakkan ke arak lain
pada saat-saat lain. Dalam prosedur yang lebih popular, laki-laki meremas-remas sebuah pompa
kecil yang ditanamkan melalui operasi kedalam skrotum, yang mendorong cairan masuk

28 |
kedalam yang dapat dikembangkempiskan sehingga menghasilkan ereksi. Model terbaru alat
prostetik penis adalah batang yang dapat dikembangkempiskan, yang berisi alat pemompa, yang
lebih nyaman disbanding memasang pompa diluar batang itu, tetapi implantasi melalui operasi
tidak dapat mengembalikan fungsi seksual pra-operasi atau menjamin kepuasan sebagian besar
pasien (Gregoire, 1992; Kim dan Lipshultz, 1997), dan sekarang ini pada umumnya hanya
digunakan bila cara lain tidak berhasil. Di lain pihak, prosedur ini telah terbukti bermanfaat
untuk laki-laki yang harus menjalani operasi pengangkatan kanker prostat, yang kebanyakan
menyebabkan disfungsi ereksi (Ramsawh, dan kawan-kawan, saat itu masih dalam proses
penerbitan). Vascular Surgery ,(operasi vaskuler) untuk mengoreksi malfungsi arteri atau vena
juga pernah dicoba lakukan (misalnya, Bennett, 1988). Meskipun hasil awalnya sering kali
berhasil, evaluasi follow-up menemukan angka kegagalan yang tinggi.

Pendekatan lain adalah vacuum device therapy, yang bekerja dengan menciptakan vakum
dalam silinder yang ditempatkan di atas penis. Vakum itu menarik darah kedalam penis, yang
kemudian ditangkap oleh sebuah cincin yang dirancang secara khusus, yang ditempatkan
disekeliling pangkal penis. Meskipun penggunaan alat vakum ini agak janggal, antara 70% dan
100 % penggunanya melaporkan ereksi yang memuaskan, terutama bila terapi seks psikososial
tidak efektif (Segraves dan Aalthof 1998; With Rington, 1988). Prosedur ini kurang intrusive
disbanding operasi atau injeksi, tetapi masih tetap terlalu janggal dan artificial untuk dapat
diterima secara luas ( Delizonna, dan kawan-kawan, 2001).

D. gangguan Identitas Gender

Istilah identitas gender merujuk pada bagaimana persepsi individu akan dirinya sebagai
seorang pria atau wanita. Peran gender pada saat ini merujuk pada perilaku atau sikap seseorang
yang mengindikasikan makulinitas atau feminitas dalam lingkungan social. Dari peran gender
inilah timbul yang disebut sebagai orientasi gender, yang mana menunjukkan sejauh mana
seseorang secara erotis menjadi tertarik terhadap anggota dari jenis kelamin yang sama ataupun
yang berlawanan dengan dirinya. Sebagian besar orang memiliki orientasi yang jelas untuk
memiliki aktivitas seksual dengan anggota dari jenis kelamin lain, namun beberapa orang
tertarik dengan terhadap anggota dari jenis kelamin yang sama dengan dirinya, da nada yang
tertarik pada kedua jenis kelamin sekaligus. Orientasi seksual ini memiliki konsistensi yaitu

29 |
tipikal namun tidak universal, beberapa orang dapat berubah seiring berjalannya waktu atau
sebagai akibat dari dari tekanan lingkungan.

Gangguan identitas gender ini memiliki beberapa karakteristik untuk pendiagnosis sebagai
gejala awal yang muncul, diantaranya adalah :

1. Memiliki identifikasi lintas gender yang kuat dan cenderung menetap yang kebih besar
dari hasrat untuk mendapatkan keuntungn kultural terkait dengan jenis kelamin yang lain.
2. Pada masa anak-anak, gangguan ini tampak jelas dengan empat kriteria, diantaranya
adalah :
a. Mereka berulang kali menyebutkan keinginan mereka untuk berjenis kelamin
lain atau memaksa bahwa mereka memiliki jenis kelamin yang lain.
b. Anak laki-laki lebih menyukai mengenakan pakaian perempuan, sedangkan
perempuan menunjukkan stereotip maskulinitas dnegn memaksakan
mengenakan pakaian laki-laki.
c. Mereka memiliki kegemaran yang kuat dan cenderung menetap terhadapperan
lintas gender dalam permainan atau memeiliki fantasi menetap tentang
menjadi seseorang dengn jenis kelamin yang berbeda.
d. Memiliki hasrat yang intens untuk terlibat dalampermainan dengan streotip
yang kuat yang diakitkan dengan jenis kelamin yang berbeda.
e. Memiliki kegemaran yang kuat untuk bermain dengan lawan jenisnya.
3. Gangguan ini mengakibatkan tekanan pada individu yang mengalami gangguan tersebut

Gangguan identitas gender ini merupakan suatu kondisi yang melibatkan suatu diskrepansi
antara kondisi seksual seseorang dan identitas gender dari orang tersebut. Seseorang yang
mengalami gangguan identitas gender mengalami pula kondisi identifikasi antar jenis kelamin
dan cenderung menetap yang pada akhirnya menyebabkan perasaan tidak nyaman dan
menimbulkan rasa ketidaksesaian dengan jenis kelamin yang dimiliki. Para individu yang
mengalami kondisi ini memiliki perasaan tertekan yang intens dan biasanay mengalami kesulitan
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan social, lingkungan pekerjaan dan area pemfungsian
personal yang lainnya.

30 |
Gangguan identitas gender yang parah, akan mengakibatkan transeksualism yang merujuk
pada fenomena ketika seseorang memiliki perasaan bahwa ia sebenarnya memiliki jenis kelamin
yang berlawanan dengan apa yang ada pada saat ini yang dimilikinya. Ada pula yang mengalami
gangguan identitas gender ini, dan cara pelampiasannya adalah dengan mengenakan pakaian dari
lawan jenisnya yang disebut dengan fetisisme transvestik yang bertujuan untuk pemuasan
seksual.

Teori dan treatment gangguan identitas gender

menurut para ahli, bahwasannya penyebab dari gangguan identitas gender ini tidak di ketahui
secara pasti, namun ada beberapa factor yang menyebabkan, diantaranya adalah :

1. Factor biologis
Factor ini lebih menekankan pada hormone yang mempengaruhi perkembangan fetus
pada periode sebelum kelahiran.
2. Factor psikologis
3. Sosiokultural.

Sedangkan menurut teori psikoanalisa, tentang perkembangan kepribadian individu yang


dimulai dengan tahapan perkembangan psikososial dan psikoseksual individu dari lahir hingga
dewasa. Menurut Psikoanalisa, Periode perkembangan ini merupakan landasan bagi
perkembangan kepribadian selanjutnya. Berikut adalah tahapan yang di uraikan oleh
psikoanalisa :

a. Fase oral
Dari lahir hingga akhir usia satu tahun, seorang bayi menjalani fase oral. Menghidap
buah dada ibu memuaskan kebutuhannyaakan makanan dan akan kesenangan. Karena
pada masa ini, mulut dan bibir merupakan zona-zona erogen yang peka selama fase oral
ini, bayi merasakan kenikmatan erotic dari tindakan menghiap ini. Kerakusan dan
keserakahan bia berkembang sebagai akibat kurang memperoleh makanan dan cinta pada
tahun-tahun awal kehidupan. Benda-benda yang dicari anak dapat menjadi substitute bagi
apa yang sesungguhnya di inginkannya, yaikni makanan dan cinta dari ibunya. Masalah-
masalah kepribadian yang muncul kemudian yang bersumber dari fase oral adalah
pengembangan pandangan tehadap dunia yang didasari ketidakpercayaan, ketakutan

31 |
untuk menjangkau orang lain, penolakan terhadap afeksi, ketakutan untuk mencintai dan
mempercayai, rasa harga diri yang rendah, isolasi dan penarikan diri,
danketidakmampuan membangun atau memelihara hubungan akrab.
Tugas perkembangan utama pada fese oral adalah memperoleh rasa percaya yakni prcaya
kepada ornag lain, kepada dunia, dan kepada diri sendiri. Cinta adalah perlindungan
terbaik terhadap ketakutan dan ketidakamanan. Anak-anak yang dicintai oleh orang lain
hanya kan mendapat sedikit kesulitan dalam menerima dirinya sendiri. Sedangkan anak
yang merasa tidak di inginkan, tidak diterima, dan tidak dicintai, cenderung mengalami
kesulitan yang besar dalam menerima diri sendiri. Efrek penolakan pada fase oral ini
adalah kecenderungan di masa anak-anak selanjutnya untuk menjadi penakut, tidak aman,
haus akan perhatian, iri, agresif, benci dan kesepian.
b. Fase anal
Fase anal ini dimulai ketika individu berusia satu sampai tiga tahun, fase anal memiliki
arti penting bagi pembentukan kepribadian. Anak terus menerus berhadapan dengan
tuntutan dari orang tua, menjadi frustasi jika gagal dalam menangani objek- objek dan
lingkungannya. Dan diharapkan mampu buang air dengan cara toilet training. Metode
toilet training dan perasaan-perasaan, sikap-sikap, dan reaksi otrang tua terhadap anak
pada fase ini bisa memiliki efek – efek jauh kedepan atas pembentukan ciri-ciri (traits)
kepribadian.
Selama fase ini, anak akan dipastikan mengalami perasaan-perasaan negative seperti
benci, hasrat merusak, marah, dan sebagainya. Penting bagi anak bahwa perasaan
negative itu bisa diterima adanya.
Hal yang penting juga pada fase ini adalah anak memperoleh rasa memiliki kekuatan,
kemandirian, dan otonom. Jka orang tua berbuat teralu banyak untuk anak, ini berarti
bahwa si orang tua mengajari anaknya itu untuk tidak memiliki kesanggupan
menjalankan fungsi diri. Pada fase ini, anak perlu bereksperimen, berbuat salah dan
merasa bahwa mereka tetap di terima dnegan kesalahannya itu, dan menyadari sebagai
individu yang terpisah dan mandiri.
c. Fase falik
Fase ini dimulai ketika anak memasuki akhir usia tiga tahun hingga lima tahun. Fase ini
adalah fase ketika kesangguapan-kesanggupan untuk berjalan, berbicara, berpikir, dan

32 |
mengendalikan otot-otot berkembang pesat. Dengan meningkatnya perkembangan
kemampuan-kemampuan motoric dan perseptual, maka kecakapan interpersonal anak
pun mengalami perkembangan. Kemajuan anak dari periode penguasaan pasif dan
represif kepada penguasaan aktif, menyeusun tahapan bagi perkembnagan psikoseksual
berikutnya (fase falik). Selama fase falik, aktivitas seksual menjadi lebih intens dan
perhatian dipusatkan pada alat-alat kelamin (penis) pada laki-laki dan klitoris pada
perempuan. Pada fase falik, anak-anak menjadi lebih ingin tahu tentang tubuhnya,
mereka berhasrat untuk mengeksplorasi tubuh sendiri, dan untuk menemukan perbedaan-
perbedaan diantara kedua jenis kelamin. Karena banyak sikap terhadap seksualitas yang
bersumber pada fase falik, maka penerimaan terhadap seksualitas dan penanganan
dorongan seksual pada fase ini menjadi penting. Fase falik adalah periode perkembangan
hati nurani, suatu masa ketika anak-anak belajar mengenal standart moral. Selama masa
falik ini, anak perlu belajar menerima perasaan-perasaan seksualnya sebagai hal yang
alamiah dan belajar memandang tubuhnya sendiri secara sehat. Merek membutuhkan
model-model yang memadai bagi indetifikasi peran seksual. Pada fase falik ini akan
membentuk sikap-sikap mengenai kesengan fisik, mengenai apa yang benar dan yang
salah serta mengenai apa yang maskulin dan yang feminism.
Treatment gangguan identitas gender
Penanganan terhadap gangguan identitas gender, tersedia di beberapa klinik spesialis
di seluruh dunia, meskipun banyak mengundang kontroversi di seputar penangan
tersebut.
a. Sex reasigment surgery
Agar memenuhi syarat untuk memenuhi operasi di sebuh klinik
bereputasi, orang harus telah menjalani peran lawan jenisnya selama satu hingga
dua tahun sehingga mereka merasa yakin bahwa mereka ingin mengubah jenis
kelaminnya. Mereka juga harus stabil secara psikologis, financial, maupun
social.pada calon male to female, hormone hormone di administrasikan untuk
menyokong pertumbuhan buah dada dan perkembangan ciri-ciri seksual sekunder
lainnya.
Bagi transeksual female to male, sepotong penis buatan di buat melalui
operasi plastic dengan menggunakan kkulit ataupun otot dari bagian tubuh

33 |
lainnya, misalkan dari bagian paha. Buah dadanya di buang melalui operasi.
Estimasi kepuasan transeksual terhadap operasinya menunjukkan bahwa sebagian
besar diantara mereka yang berhasil di jangkau melalui follow up dapat
menyesuaikan diri dengan baik, kira-kira 75 %, dan konversi female to male
menunjukkan penyesuaian lebih baik di banding male to female.
Assessment untuk kepentingan ini sangat rumit dan harus dilakukan di
kllinik-klinik yang betul-betul spesaialis di bidang identitas gender.

B. penangganan interseksualitas

Baru baru ini, sekelompok individu interseks menjadi subjek dari sebuah
evaluasi yang lebih seksama, yang menghasilkan beberapa ide baru dan
pendekatan penanganan baru. Secara spesifik, fausto/sperling menyatakan ada
lima macam jenis kelamin :
a. Males (laki-laki)
b. Famales (perempuan)
c. Hermes yang dinamai berdasarkan hemafrodit sebenarnya.
d. Mernes, yang secara otonomi lebih laki-laki daripada perempuan tetapi
memiliki beberapa aspek alat kelamin perempuan.
e. Ferms, memiliki ovarium tetapi memiliki beberapa aspek alat kelamin
laki-laki.

Ada semakin banyak dokter spesialis endrogrinologi, urologi, dan


psikologi anak, mulai menela’ah kebijaksanaan untuk melakukan operasi kelamin
yang dapat berakibat penetapan gender yang tak mungkin di putar balik.

C. Penanganan Psikososial
Di klinik-klinik tertentu para terapis, bekerjasama dengan klientnya, berusaha
mengubah identitas gender klientnya sebelum mempertimbangkan kemungkinan opersai.
Sebagian individu meminta peanganan psikologis sebelum memulai rangkaian penanganan
yang mengarah ke operasi. Biasanya karena, mereka mengalami disstres psikologi berat
atau karena operasinya tidak dapat dilakukan dengan segera. Langkah pertama, yaitu :

34 |
a. Behavioral rating scale, untuk perilaku motoric spesifik gender, untuk membantu
seseorang mengidentifikasi bagaimana persisnya bertingkah maskulin atau feminism
melalui latihan dan peniruan perilaku.
b. Role playing, dan latihan yang lebih ekstensif untuk mendapatkan berbagai ketrampilan
social, misalnya belajar melakukan kontak mata dengan lebih baik dan bercakap-cakap
secara lebih positif dan lebih percaya diri.

Selama fase berikutnya, seorang terapis perempuan secara langsung manangani fantasi-
fantasinya melalui cara yang intens, nyaris hipnotis, dengan mendorongnya untuk
membayangkan dirinya berada dalam situasi seksual dengan seorang perempuan dan untuk
membangkitkan fantasi-fantasi yang lebih khas maskulin sebagai pekerjaan sehari-harinya.

35 |
BAB III

Penutup

A. Simpulan

Kesehatan seksual merupakan suatu aspek kesehatan yang berhubungan dengan organ-
organ kelamin dan perilaku seksual. Kesehatan seksual yaitu pencegahan penyakit menular
seksual dan kehamilan yang tidak di inginkan, kenikmatan seks sebagai bagian dari hubungan
intim dan kendali yang lebih besar terhadap keputusan seksual seseorang.
Seks merupakan aspek intim yang penting, dalam hubungan saling mencintai antara satu orang
dengan orang lain. Seks merupakan aspek hidup yang pribadi dan tersendiri yang jarang dibahas
dengan orang lain.

Sehingga, proses pembentukan dan pengenalan identitas menjadi sempurna, diperlukanm


dukungan dan pengawasan dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat serta pribadi anak
itu sendiri. Dan pengenalan identitas ini berfungsi supaya tidak terjadi penyalahgunaan identitas
serta berfungsi seksual sesuai dengan fungsinya.

36 |
Daftar Pustaka

1. Ardani, Tristiadi Ardi. 2011. Psikologi Abnormal. Bandung: Lubuk Agung


2. Barlow Durand, dan david H. Barlow . 2007 Psikologi Abnormal Edisi ke 4, Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
3. Corey, Gerald.2013. Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika
ADITAMA
4. Halgin, Richard P. Whitbourne,Susan krauss. 2010. Psikologi Abnormal Perspektif
Klinis pada Gangguan Psikologis. Jakarta: Salamba Humanika
5. Nevid S, Jeffrey., Spencer A Rathus ., dan Beverly Greeny. 2005. Psikologi Abnormal
Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
6. Supatiknya, A. 2006. Mengenal Prilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius

37 |

Anda mungkin juga menyukai