Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“Sexual Dysfuncion & Disorder”


Untuk Memenuhi Tugas

Matakuliah Psikopatologi

yang Dibina oleh Nailur Rohmah, S.psi., M.A

Oleh :

Kelompok 4

1. Siti Homsiyah (180541100013)


2. Ria Karmila (180541100031)
3. Khoirun Miswa (180541100032)
4. Suci Nur Arum Permata Rizqi (180541100033)
5. Nabila Pramesti Regita Cahyani (180541100034)
6. Tatimmus Sholihah (180541100040)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL dan ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

Oktober 2019

i
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

A. Sexual Dysfuncion & Disorder.


1. Parafilia……………………………………………………………………………………1
a) Pedofilia…………………………………………………………………...………..…1
b) Ekshibisionisme………………………………………………………...…………..…3
c) Fetisisme ………………………………………………….…………………………..4
d) Froteurisme……………………………………………………….…………………...5
e) Fetisisme Transvetik ……………………………………………………………….....5
f) Veyeurism ……………………………………………………..………………….…..7
g) Sadisme Seksual……………………………………………………………….……....9
2. Disfungsi Seksual
1. Disfungsi seksual yang berkaitan dengan nafsu seksual
a) Hipoaktif seskual………………………………………………………………..10
b) gangguan Keengganan Seksual…………………………………………………10
B. Gangguan yang berkaitan dengan rangsangan

a) Female Sexual Arousal Disorder…………………………………………….....11


b) Male Erectile Disorder……………………………………………………….....11

C. Gangguan yang berkaitan dengan Orgasme (ogasm)


a) gangguan orgasme pada perempuan……………………………………………..12
b) Gangguan Orgasme laki-laki …………………………………………………....13
c) Ejakulasi Prematur (dini)………………………………………………………...14
D. Gangguan Yang Berkaitan Dengan Rasa Nyeri
a) Dispareunia……………………………………………………………………....15
b) Vaginismus…………………………………………………………………....…16
- Contotoh Kasus………………………………………………………………….…....17
- Analisis Kasus………………………………………………………………………...18
Kesimpulan…………………………………………………………………………....19
Daftar Pustaka…………………………………………………….…………………..20

ii
Sexual Dysfuncion & Disorder.

1. Parafilia
Di terjemahkan secara harfiah, parafilia berarti “cinta (philia) di luar kelaziman
(para). istilah ini mengacu pada kondisi-konsisi yang dahulu di sebut Perversion atau
penyimpangan seksual. Dalam DSM-IV-TR, Parafilia adalah sekelompok gagguan yang
mencangkup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual
yang tidak pada umumnya. Dengan kata lain, terdapat deviasi (Para) dalam ketertarikan
seseorang (Filia), fantasi, dongeng, atau perilaku harus berlangsung setidaknya selama 6
bulan dan menyebabkan distress atau hendaya signifikan. Seseorang dapat memilki
perilaku, fantasi, dan dongeng seperti yang dimiliki seseorang parafilia (seperti
memamerkan alat kelamin kepada orang asing yang tidak memilki kecurigaan apapun
atau berhayal melakukan hal itu), namun tidak didiagnosis menderita parafilia jika fantasi
atau perilaku tersebut tidak berulang atau bila ia tidak mengalami distress karenanya.
Bagi sebagian orang, rangsangan seksual berkaitan erat dengan benda atau situasi
yang tidak biasa ,seperti benda mati, kontak seksual dengan anak-anak,
mempertontonkan alat kelamin kepada orang asing, atau menimbulkan kesakitan kepada
orang lain. kondisi ini dikenal sebagai paraphilias. Menurut DSM-IV-TR, fitur-fitur
sentral dari beberapa parafilia adalah dorongan seks persisten dan fantasi yang berkaitan
dengan (1) objek non manusia, (2) penderitaan atau penghinaan terhadap diri sendiri atau
patner. (3) anak-anak atau orang lain yang tidak menyetujui. Gangguan parafilia ini
antara lain seperti, Ekshibisionisme, Voyeurisme, Fetihisme, Froterisme, Sadisme
seksual, Fetihisme tranvestik, Pedofilia.

A. Pedofilia
Menurut DSM, pedofilia (pedos, berarti “anak” dalam bahasa yunani ) adalah
orang dewasa yang mendapatkan kepuasan seksual dengan anak-anak prapubertas yang
tidak memilki hubungan darah dengan mereka. Jadi pedofilia Yaitu kelainan seksual
dimana individu yang telah dewasa memiliki orientasi pencapaian kepuasan seksual
melalui cara hubungan fisik atau hubungan seks yang bersifat merangsang dengan
anak-anak di bawah umur. DSM-IV-TR mensyaratkan para pelakunya minimal berusia
16 tahun dan minimal 5 tahun lebih tua dari si anak. penelitian tampaknya tidak

1
mendukung pernyataan DSM bahwa semua pedofilia lebih menyukai anak anak
prapubertas, beberapa diantaranya menjadikan anak-anak pascapubertas sebagai
korbannya yang secara hukum belum cukup umur untuk diperbolehkan melakukan
hubungan seks dengan orang dewasa (Mashall, 1997). Kriteria Pedofilia dalam DSM-IV-
TR: a) Berulang, intens, dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan,
perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan melakukan kontak
seksual dengan dengan seorang anak prapubertas b). Orang yang bersangkutan bertindak
berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan fantasi tersebut menyebabkan orang
yang bersangkutan mengalami distress atau masalah interpersonal c). orang yang
bersangkutan minimal berusia 16 tahun dan 5 tahun lebih tua dari anak yang menjadi
korbannya.
Praktif Pedofilia ini biasanya berupa:
(1) perbuatan ekshibionistik dengan memperlihatkan alat kelamin sendiri pada anak-
anak.
(2) memanipulasi tubuh anak-anak (membelai –belai, mencium, mengeloni, menimang,
dan lain-lain).
(3) sampai melakukan coitus dengan ank-anak.
praktik pedofilia biasanya dilakukan oleh laki-laki yang mepunyai kelamin atau
penyimpangan mental, bersifat psikotis, psikopat, alholik atau asusila. Umur rata-rata
dari orang-orang yang melakukan praktek pedofilia ini kurang lebih 35-45 tahun.
Psikoterapi (pengobatan secara psikis) biasanya akan lebih berhasil dari pada
pemenjaraan pada penderita pedofilia tersebut. Pedofilia mencangkup perilaku dan
perferensi seksual yang sangat beragam (Cohen & Galynker, 2002; Fagen et al,
2002). Sebagian pedofil hanya tertarik degan anak-anak, sementara itu hanya tertarik
pada anak anak sementara yang lain kadang tertarik dengan orang dewasa.
kebanyakan pedofil heteroseksual, dan korban pedofil lebih sering anak perempuan
daripada anak laki-laki. Konteks seksual dengan anak anak biasanya melibatkan
membelai dan meraba alat kelamin.

2
B. Ekshibisionisme
DSM-IV-TR mendifinisikan exhibitionism dalam kaitannya dengan kriteria berikut:
a. Selama periode paling sedikit 6 bulan fantasi yang merangsang secara seksual
yang intens, dorongan seksual, atau perilaku yang melibatkan mempertontonkan
alat kelamin kepada orang asing yang tidak curiga, yang terjadi berulang kali.
b. Orang itu telah melaksanakan dorongan seksual ini, atau dorongan atau fantasi
seksual itu menyebabkan distres atau kesulitan interpersonal yang nyata.
Ekshibisionisme hampir secara eklusif adalah gangguan laki-laki.
Kebanyakan ekshibisionis mulai mempertontonkan diri ketika mereka berumur
belasan tahun atau awal dua puluhan. Sebagian orang dewasa, kebanyakan sudah
menikah atau hidup bersama seorang patner seksual. Ekshibisionisme jarang
merupakan sebuah perilaku terisolasi; laki-laki yang terlibat tipe perilaku ini
cenderung sering melakunnya (Abel 7 Osborn, 1992).
Ekshibisionisme adalah prefensi tinggi dan berulang untuk mendapatkan
kepuasan seksual dengan memamerkan alat kelamin kepada orang yang tidak
dikenal yang tidak menginginkannya, kadang kepada seorang anak. Gangguan ini
umumnya berawal di masa remaja (Murphy, 1997). Rangsangan seksual di
peroleh saat pelaku membayangkan dirinya memamerkan alat kelamin atau benar-
benar melakukannya dan ia melakukan mastrubasi saat membayangkan atau saat
sedang memamerkan alat kelaminnnya. Pada banyak kasus terdapat keinginan
untuk mengagetkan atau mempermalukan orang yang melihatnya.
Penderita ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya
dengan memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai
dengan kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik dan menjerit ketakutan, ia akan
semakin terangsang. Kondisi seperti ini biasanya diderita pria, dengan
memperlihatkan alat kelaminnya yang dilanjutkan dengan masturbasi hingga
ejakulasi, pada kasus penyimpangan seksual terdapat pula penderita tanpa rasa
malu menunjukkan alat genitalnya kepada orang lain sekedar untuk
menunjukkannya dengan rasa bangga

3
C. Fetisisme
Fetihisme ialah gejala abnormalitas seks, dengan dorongan seks yang diarahkan
pada suatu benda yang dianggap sebagai substitut kekasih. sedangkan Fetihism ialah
kondisi patalogis yang mana kegairahan seksual dan pemuasannya dilakukan dengan
memegang atau meraba-raba obyek-obyek atau bagian-bagian tubuh yang non-seksual
dari seorang patner lawan jenis kelamin(J.P Chaplin 1981). Fetishism mengacu pada
pengasosiasian rangsangan seksual dengan benda mati. Rentang objek yang dapat
menjadi diasosiasikan dengan rangsangan seksual nyaris tidak terbatas, tetapi fetisime
paling sering melibatkan pakaian dalam perempuan, atau produk-produk yang terbuat
dari karet dan kulit (Darcangelo, 2008).
Orang itu mungkin bertindak cukup jauh, termasuk mencuri, untuk mendapatkan
jenis-jenis objek fanatis tertentu. Benda tadi dipuja-puja sebagai simbol seks, dianggap
sebagai azimat yang disanjung-sanjung dan dihormati secara patalogis, dicintai secara
berlebih-lebihan. Biasanya benda tersebut berasal dari seorang kekasih (yang sudah
meninggal atau sudah meninggalkan dirinya). Simbol fatishisme antara lain: (berupa
pakaian dalam, kaus kaki, B.H, rambut, sapu tangan, sepatu, potret topi, kaki dan lain-
lain). Ekspresi fetihisme di tampilkan degan jalan membelai-belai, melihat-lihat,
menciumnya; atau di pakai sebagai alat melakukan mastrubaisi. Fetishisme banyak
terdapat pada kaum pria dan untuk mendapatkan azimat lambang seks tersebut, tidak
segan-segan seseorang melakukan pencurian atau perampasan. Fetishisme merupakan
betuk regresi seksual, karena objek cintanya ada berkaitan dengan benda-benda yang
disayangi pada masa kanak-kanaknya. dan dengan memanipulasikan benda-benda
tersebut dia mendapatkan kepuasan seks. Orang-orang melakukan praktek fetishisme itu
pada umumnya infantil sifatnya; sekaligus dikarenakan sifat agresif (sebagai kompensasi
dari infantiilisme dan kenaifannya). Sering kali dia juga bersifat anti sosial; dan selalu
dibayangi oleh kecemasan menjadi impoten.
Orang yang cocok dengan deskripsi fetisisme biasanya bermastrubasi sambil
memegang, menggosok, atau membaui objek fetis. Kualitas sensorik tertentu benda itu –
tekstur, penampilan visual, dan bau bisa sangat penting dalam menentukan apakah orang
itu menganggapnya merangsang. Selain itu memegang atau menggosok benda, orang itu
mungkin mengenakan objek itu, atau meminta patner seksualnya untuk mengenakan

4
objek itu, selama aktivitas seksual. Orang itu mungkin tidak mau menjadi terangsang
secara seksual tanpa adanya objek fetis itu.

D. Froteurisme
Freteurisme pada Froteurism, seseorang yang berpakaian lengkap menjadi
terangsang secara seksual dengan menyentuh atau menggosokkan alat kelaminnya pada
orang lain, orang yang tidak menyetujuinya. Froteur biasanya memilih tempat-tempat
yang penuh sesak, seperti trotoar dan transportasi publik yang penuh orang, sehingga
mereka dapat dengan mudah menghindari tertengakap. Ia menggosokkan alat kelaminnya
pada paha dan pantat korban atau memegang-megang alat kelamin atau buah dada korban
(Horley, 2002; Lussier & Piche, 2008). orang yang terlibat Freteurisme berusaha
melarikan diri secepat mungkin setelah menyambut setelah menyentuh atau mengosok-
gosokkan pada orang lain mereka tidak mengingikan kontak seksual lebih jauh.
Freteurisme belum pernah diteliti secara sangat ekstensif. Gangguan ini tampaknya
berawal dari masa remaja dan umumnya diidap bersama dengan tipe parafilia lainnya
(Krueger & Kaplan, 1997). Kriteri Freteurisme dalam DSM-IV-TR: a).berulang intens
dan terjadi selama 6 bulan, fantasi, dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah
seksual yang berkaitan dengan menyentuh atau menggosokkan bagian tubuhnya pada
orang yang tidak menghendakinya b). Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan
dorongan tersebut, atau dorongan dan fantasi tersebut menyebabkan distress atau
mengalami masalah interpersona.

E. Fetisisme Transvetik
Transvestite (Waria atau banci) adalah seorang yang mengenakan pakaian lawan
jenis. Dalam DSM-IV-TR, Transvestic fetishism (fetisisme transvestik) didefinisikan
sebagai cross-dreessing megenakan baju lawan jenis untuk maksud rangsangan seksual.
Gangguan ini telah dideskripsikan terutama dikalangan laki-laki heteroseksual dan
seharusnya tidak dikacaukan dengan perilaku sebagian laki-laki gay yang dikenal sebagai
drag ueens (yang bagi mereka mengenakan pakaian lawan jenis memilki maksud dan
makna yang sangat berbeda). DSM-IV-TR membatasi definisinya pada laki-laki
heteroseksual, tetapi bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa seproporsi kecil

5
transvestites biseksual, homoseksual, atu tidak aktif secara seksual dengan orang lain
(Bullough & Bullough, 1997).
Orang yang terlibat fetisisme Tranvetik biasanya menyimpan koleksi pakaian
perempuan yang digunakan untuk cros-dressing. Sebagian hanya menggunakan salah satu
bagian pakaian perempuan, seperti pakaian dalam perempuan, termasuk rias-wajah,
perhiasan, dak aksesoris. Cross-dressing mungkin dilakukan di tempat di tempat umum
atau hanya secara diam-diam. Orang itu bermastrubasi sambil cross-drssing, sering kali
dengan membayangkan dirinya sebagai laki-laki maupun objek perempuan dalam fantasi
seksualnya sendiri. Dismping minat pada cross-dressing, laki-laki dengan fetisisme
transvetik sangat kurang maskulin dalam minat, pekerjaan, dan perilaku- perilaku lain.
Kebanyakan laki-laki itu menikah dan memiik anak (Schott, 1995).
Fetishisme transvetik biasanya diawali dengan separuhmemakai pakaian lawan
jenis di masa kanak-kanak atau remaja. Pra transvestit adalah heteroseksual, selalu laki-
laki dan secara umum hanya memakai pakain lawan jenis secara episodek, bukansecara
rutin. Diluar itu mereka cenderung berpenampilan, berperilaku, dan memiliki minat
seksual maskuli. Banyak yang menikah dan menjalin kehidupan yang konvensional.
Memakai pakaian lawan jenis biasanya dilakukan sendirian dan secara diam-diam dan
hanya diketahui oleh sedikit anggota keluarga. Ini merupakan salah satu tipe parafilia
dimana kriteria distrees dan disabilitas dalam DSM tampaknya sama sekali tidak bisa
diterapkan. Dorongan untuk memakai pakaian lawan jenis dapat menjadi lebih sering
dalam perjalan waktu dan kadang disertai disforia gender-merasa tidak nyaman dengan
jenis kelamin anatomisnya, namun tidak separah yang dialami dalam GIG.
Bagi sebagian laki-laki tranvestisime mungkin pada akhirnya menghasilkan
perasaan tidak puas dengan menjadi laki-laki (Zucker & Blanchard, 1997). Mereka
mungkin akhirnya ingin hidup secara permanen sebagai perempuan. Para laki-laki yang
mengembangkan ketidaknyamanan persisten degan peran aau identitas gender mereka ini
akan diberi sub tipe dignosis tranvestim with gender dysphoria (Fetisisme tranvestik
dengan disfori). Kriria Fetishisme Tranvestik:
a. berulang, intens, dan terjadi selama periode setidaknya 6 bulan pada laki-laki
heteroseksual, fantasi, dorongan atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang
berkaitan dengan memakai pakaian lawan jenis.

6
b. menyebabkan distrees atau hendaknya yang jelas dalam fungsi sosial atau pekerjaan
c. Dapat berhubungan dengan disforia gender dalam kadar tertentu (merasa tidak
nyaman dengan identitas gendernya).

F. Veyeurism
Voyeurisme atau skotofilia atau inspeksionalisme adalah mencapai kepuasan
seksual dengan mengintip secara sembunyi-sembunyi. Hal ini lazim ditemukan pada para
remaja putra atau lelaki muda yang sering dijadikan sasaran adalah perempuan yang
sedang melepas pakaian atau pasangan lelaki-perempuan yang tengah berubungan
seksual. Seringkali mereka melakukan mastrubasi selama mengintip. Fokus rangsangan
seksual dalam veyeurism adalah tidakan mengamati seseorang yang tidak merasa curiga,
biasanya orang asing yang telanjang bulat dalam proses menanggalkan pakaian, atau
terlibat perilaku seksual (Metzl, 2004).
Banyak orang, khususnya laki-laki, terangsang secara seksual dengan melihat
orang yang telanjang sebagian atau telanjang bulat. Voyeurs (pengintip) tidak terangsang
dengan melihat orang yang tahu bahwa dirinya sedang diamati. Proses melihat
(mengintip) itulah yang merangsang. Orang itu mungkin menghayalkan tentang
berhubungan seksual dengan orang yang sedang diamtinya, tetapi kotak langsung jarang
diupayakan. Faktanya, sifat rahasia pengamatan itu dan resiko dipergoki mungkin
memilki kontribusi penting pada sifat merangsang situasinya. Pengintip mencapai
orgasme dengan mermastrubasi selama mengamati atau setelah itu, ketika mengingat-
ngingat apa yang dilihatnya. kebanyakan menjaga jarak dari korbannyannya dan tidak
berbahaya, tetapi ada pengecualian pada aturan ini (Langstron, 2010).
Voyeurism, peeping Tom (voyeur= mengingat, mengintip, to peep= mengintai,
mengintip ). Definisi Veyourism ialah kepuasan seksual dengan diam-diam melihat
orang-orang lain bertelanjang atau melakukan sanggama, melalui lubang ecil, lubang
angin dan lain-lain. Atau dengan sengaja membuat lubang di tembok, pintu WC, kamar
pakaian, kamar mandi, dan lain-lain untuk mengintai orang bersenggama. sering kali dia
membuat lubang-lubang tersebut di kamar tidur, untuk mengintai istrinya sendiri
bersanggama dengan pria lain, guna mendapatkan kepuasan seks.

7
perbandingan Voyeurisme dikalangan pria dan wanita sangat besar, yaitu kurang
lebih: 9:1 sebab, biasanya wanita tidak senang melihat kegiatan seksual dan gambar atau
film-film porno, dan mengancamnya atas pertimbangan sosial, moraldan estetis. Menurut
Psikoanalisa, fiksasi terhadap pengalaman di masa kanak-kanak melihat orang tuanya
bersenggama, merupakan dasar yang kuat bagi kebaiasaan veyeuristis itu.
Kriteria voyeurisme dalam DSM-IV-TR:
a. Belulang insten dan terjadi selama perode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan atau
perilku yang menimbulkan gairah seskual yang berkaitan dengan tindakan mengintip
orang lain yang sedang tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual tanpa
diketahui yang bersangkutan.
b. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorogan tersebut, atau dorongan dan
fantasi menyebabkan orang tersebut sangat menderita atau mengalami masalah
interpersonal.
Faktor Penyebab Gangguan Seksual Voyeurisme Ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi gangguan seksual voyeurisme, antara lain:
a. Asosiasi atau pengalaman seksual yang tidak semestinya pada masa kanak-
kanak, dimana sebagian secara tidak sengaja dan sebagian dengan melihat
pengalaman orang lain. Pengalaman seksual tersebut dibarengi dengan
perkembangan yang tidak diperhatikan oleh orang tua dan perkembangan
keterampilan sosial yang tidak ade kuat untuk berhubungan dengan orang dewasa
lain.
b. Fantasi seksual tak pantas yang timbul berulang kali, yang berhubungan
dengan kegiatan masturbasi dan memperoleh penguatan
c. Usaha yang berulang kali dilakukan untuk menghambat rangsangan dan
perilaku yang tidak diinginkan yang secara paradoksal justru meningkatkan
pikiran, fantasi, dan perilaku parafilik
d. Umumnya berawal di masa remaja. Ada pemikiran bahwa voyeur merasa
takut untuk melakukan hubungan seksual. Tindakan melihat atau mengintip
yang mereka lakukan berfungsi sebagai pemuasan pengganti dan
kemungkinan memberikan rasa kekuasaan atas orang yang diintipnya.

8
G. Sadisme Seksual.
Sadisme Seksual yaitu fantasi, dorongan dari perilaku sek yang terangsang
dengan melihat tindakan sadisme kepada lawan jenisnya. Penderita sadisme merasa puas
bila sudah melukai, menyakiti, atau menyiksa mitra seksualnya. Penderita mewujudkan
dorongan, fantasi dan perilaku seksualnya dalam bentuk tindakan hingga mengakibatkan
distrees atau kendala yang siignifikan dalam fungsi hidupnya sehari-hari. Kriteria sadisme
dalam DSM IV TR yaitu:a). berulang, intens, terjadi selama periode minimal 6 bulan,
fantasi, dorongan, perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan
tindakan (bukan fantasi) mempermalukan atau menyebabkan penderitaan fisik pada orang
lain b). menyebabkan distress pada orang yang bersangkutan dalam fungsi sosial atau
pekerjaan atau orang tersebut bertindak berdasarkan dorongannya pada orang lain yang
tidak menghendakinya. Menurut A. Hesnard , sadisme terdiri dari tiga jenis:
a) Sadis Besar (Les Grands sadique criminels). Sadisme psikopatis seperti ini sangat
berbahaya bagi masyarakat dan tergolong kriminalitas. Contohnya, penganiayaan,
pemerkosaan, mutilasi, dan sebagainya.
b) Sadis Kecil dan Menengah (Les Petits et moyens sadique pervers). "Korban" dari sadisme
ini sepenuhnya sadar dan rela menerima perlakuan sadis, persis dengan penggambaran
tokoh-tokoh fiksi di beberapa novel Marquis de sade.
c) Sadis Moral (Les Sadique morals). Contohnya pelecehan, perpeloncoan, praktik menakut-
nakuti orang, dan sebagainya.

9
Bentuk-Bentuk Disfungsi Seksual

Disfungsi seksual merupakan salah satu bentuk gangguan seksual dimana


penderitanya mengalami kesulitan secara adekuat saat melakukan hubungan seks. Durand
dan Barlow (2006) membuat empat bagian disfungsi seksul, yaitu: (a) gangguan yang
berkaitan dengan nafsu seks (b) gangguan yang berkaitan dengan rangsangan, (c)
gangguan yang berkaitan dengan orgasme, (d) gangguan yang berkaitan dengan rasa
nyeri.

A. Disfungsi seksual yang berkaitan dengan nafsu seksual


1) Hipoaktif seskual.
Istilah hipoaktif seksual dikenal dengan hipoactive sexsual desire disorder
(gangguan nafsu sekshipoaktif) yakni rendahnya minat, keinginan dan fantasi seks
yang semestinya tidak diharapkan jika dilihat dari sisi umur dan situsi
kehidupannya. Semual masalah gangguan nafsu seksual hipoaktif dipresentasikan
sebagai masalah dalam kehidupan perkawinan. Namun sejak 1980 diketahui
bahwa gangguan hipoaktif seksual merupakan salah satu masalah seksual. Salah
satu metode pengukuran yang yang paling sederhana pada gangguan hipoaktif
pada wanita di tandai dengan kesulitan lubrinasi atau pelumas vagina (segrabes
dan Althof, 1988; dan Bach, dkk, 2001). Kriteria nafsu seksual Hipoaktif yaitu:
a). kurangnya atau tidak adanya fantasi dan nafsu seksual yang berlangsung secara
terus menerus. b). menyebabkan distres mendalam atau masalah intererpersonal
c). tidak di sebebkan oleh gangguan aksis lain (kecualidisfungsi seksual lain atau
efek fisiologis langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum.
2) gangguan Keengganan Seksual.
Mencerminkan bentuk gangguan dimana seseorang secara aktif
menghindari hampir semua kontak genital dengan orang lain. Gangguan
keengganan seksual (Sexual Aversion Disorder) di tentukan oleh adanya
ketakutan dengan hubungan seksual kadang-kadang dapat mencapi proporsi intens
Kriteria gangguan keegganan seksual dalam DSM-IV-TR: a) penolakan secara
terus menerus terhadap (hampir) semua kontak seksual. b) menyebabkan distress

10
mendalam atau masalah interpersonal. c) tidak disebabkan gangguan aksis 1
lainnya (kecuali disfungsi seksual lainnya).

B. Gangguan yang berkaitan dengan rangsangan

1. Female Sexual Arousal Disorder


Gangguan gairah yang terjadi pada wanita, yang mana digambarkan sebagai
ketidakmampuan wanita untuk bisa menyelesaikan aktivitas seksual dengan adanya
pelumasan yang memadai. Tidak ada pembengkakakan alami alat kelamin maupun
pelumasan vagina. Gejala-gejala ini tentunya menyebabkan masalah di dalam
hubungan interpersional, sehingga masuk ke dalam salah satu gangguan seksual.
Seringkali, wanita-wanita yang memiliki gangguan ini akan mengalami sakit ketika
melakukan hubungan seksual, sehingga seringkali menghindari untuk melakukan
kontak seksual dengan pasangannya. Kriteria gangguan gairah seksual pada
perempuan dalam DSM-IV-TR: a) ketidak mampuan yang terus menerus untuk
mencapai atau mempertahankan kenikmatan seksual (lubrikasi dan pembengkakan
genital) yang diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas seksual b). menyebabkan
distress mendalam atau masalah interpersonal c). tidak disebabkan gangguan aksis
lainnya (kecuali disfungsi seksual liannya) atau efek fisiologis langsung dari suatu
obat atau penyakit medis umum.

2. Male Erectile Disorder

Jika seorang pria tidak mampu untuk mempertahankan ereksi ketika melakukan
aktivitas seksualnya, maka mungkin dapat dikategorikan mengalami gangguan ereksi
pada laki-laki. Masalah ini biasanya terjadi secara persisten atau berulang. Gangguan
ini lah yang kemudian menyebabkan kesulitan dalam melakukan hubungan dengan
pasangan seksualnya. Bahkan beberapa laki-laki memiliki masalah tidak bisa
mendapatkan ereksi sama sekali saat berhubungan seksual. Atau laki-laki yang
mungkin memiliki ereksi yang cukup, namun hilang saat beraktivitas seksual.
Gangguan ini mungkin akan hadir sepanjang hidup dan tentu saja butuh penanganan
agar kondisinya tidak terlanjur serius dan parah.

11
Banyak laki-laki mengalami kesulitan dalam mendapatkan ereksi yang cukup
untuk menyelesaikan hubungan atau mempertahankan ereksi cukup lama untuk
memuaskan dirinya dan pasangannya selama hubungan. kedua masalah ini merupakan
contoh contoh disfungsi erektil. Disfungsi erektil dapat relatif sementara, atau bisa
lebih kronis. sesekali mengalami disfungsi tipe ini tidak dianggap tidak lazim. Akan
tetapi iika mereka menetap dan menjadi sumber distres serius untuk pasangan,
kesulitan ereksi dapat mengakibarkan masalah serius. Kriteria gangguan Ereksi pada
laki-laki dalam DSM-IV-TR: a) ketidakmampuan yang terusmenerus untuk mencapai
atau mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas seksual
b). menyebabkan distrees mendalam dan masalah interpersonal c). tidak disebebkan
gangguan aksis 1 lainnya (kecuali disfungsi seksul lainnya) atau efek fisiologis
langsung dari suatu obat atau penyakit medis umum.

C. Gangguan yang berkaitan dengan Orgasme (ogasm)


Tiga jenis gangguan orgasme tercantum dalam DSM-IV-TR, Satu jeis terdapat
pada perempuan dan dua jenis pada laki-laki.
1. gangguan orgasme pada perempuan
Gangguan orgasme merupakan salah satu faktor penting dalam
keharmonisan hubungan seksual dari wanita. Sebenarnya wanita tidak pernah
atau nyaris tidak pernah mencapai orgasme dam coitus. diperkirakan hanya
50% dari semua wanita yang mencapai orgasme sekalipun secara reguler
mereka telah melakukan hubungan coitus (Lopiccolo dan Stock, 987; Winze
dan Carey, 2001). Diperkirakan terdapat dari 10 wanita tidak pernah
bisamencapai orgasme. Gangguan orgasme terjadi apabila masalah-masalah
yang berkaitan degan orgasme terus terganggu sehingga menimbulkan
disfungsi seksual. Gangguan orgasme menyebabkan terlambatnya pencapaian
titik kimaks, sekalipun rangsangan seks cukup lama dan kuat. namun tingkat
orgasme tiap wanita berbeda-beda dan kebanyakan wanita hanya mampu
mencapai orgasme pada saat klitoris terangsang.
Sebelumnya disebut hambatan orgasme pada perempuan, gangguan
orgasme pada perempuan merujuk pada ketiadaan orgasme setelah satu
periode kenikmatan seksual normal. Kegagalan untuk mencapai orgasme

12
bukan hanya menjadi masalah bagi perempuan, tetapi hal itu juga merupakan
aspek seks yang penting bagi pasangan mereka, yang dapat merasa bahwa
dirinya adalah kekasih yang tidak berpengalaman atau tidak sensitif, atau
pasangan tidak lagi menyayanginya. Kriteria gangguan orgasme perempuan
dalam DSM-IV-TR: a). Tertundanya atau tidak terjadinya orgasme secara
terus menerus setelah periode gairah seksual normal dengan
mempertimbangkan umur, pengalaman seksual, dan keadekuatan stimulasi
seksual yang diterimanya. b) menyebabkan distress mendalam atau masalah
interpersonal c). Tidak disebebkan gangguan aksis 1 lain (kecuali disfungsi
seksual lainnya) atau efek fisiologis langsung dari suatu obat atau penyakit
medis umum.
Faktor penyebab orgasme terhambat. Kontribusi biologis terhadap
orgasme meliputi perubahan kadar hprmonal pasca-melahirkan merupakan
salah satu penyebab dari menurunya orgasme. Seperti yang dikatakan Naek L.
Tobing (dalam Kartini, 2004) bahwa perubahan hormon bisa menyebabkan
wanita kesulitan untuk terangsang dan mencapai orgasme. Mengingat begitu
banyak faktor psikologis yang dapat menimbulkan gangguan orgasme, maka
dalam mengatasi masalahnya terlebih dahulu dipastikan akar persoalannya.
Beberpa penyebab wanita sulit mengalami orgasme adalah depresi dan strees
yang berkepanjangan, inkonsistensi dalam permainan seksual, tidak ada
pemanasan seksual saat praseksual, kurangnya komuniskasi dalam hubungan
seks, frustasi, marah, ketakutan dan bersalah, kurang harmonis, kehamilan,
melahirkan, lelah mengasuh anak, dan akibat pengalaman traumatis seperti
pelecehan seksual.

2. Gangguan Orgasme laki-laki


Gangguan orgaseme laki-laki relatif jarang dialami oleh 4 hingga 10
persen pasien menjalani penanganan. Berbagai penyebab yang dikemukakan
anatara lain takut bila pasangannnya hamil, menembunyikan rasa cinta,
mengekspresikan kekerasan, dan seperti halnya pada gangguan orgasme
perempuan takut untuk melepaskan kendali. Kriteria gangguan orgasme laki-

13
laki dalam DSM-IV-TR: a) Tertundanya atau tidak terjadinya orgasme secara
terus stelah periode gairal seksual normal. Dengan mempertimbangkan umur
dan keadekuatan stimulus seksual yang diterimanya. b) Menyebabkan distress
mendalam atau masalah interpersonal c). Tidak di sebabkan gangguan aksis 1
lain (kecuali disfungsi sesksual lainnya) atau efek fisiologis langsung dari
suatu obat atau penyakit medis umum.
3. Ejakulasi Prematur (dini)
Ejakulasi dini kemungkinan merupakan disfungsi seksual yang paling
banyak terjadi pada kaum laki-laki gangguan ini dialami oleh sebanyak 40
persen laki-laki pada suatu masa dalam hidup mereka (Lauman dkk, 994;
st.Lawrence & Madakasira, 1992). Kadang ejakulasi dini bahkan terjadi
sebelum penis dimasukkan ke vagina namun lebih sering terjadi dalam
beberapa detik setelah kontak kelamin. Ejakulasi dini umumnya berhbungan
dengan kecemasan yang tinggi.
Ejakulasi dini adalah salah satu bentuk gangguan seksual yang dtandai
dengan penetrasi yang terlalu cepat (dini) atau kegagalan menahan dan
mengendalikan ejakulasi sampai sang istri mencapai ereksi penis dan jika
kualitas spermanya bai dia masih mampu menghamili wanita (Weiner, 1996;
Poonsky; 2000). Menurut Prof.Wimpie Pangkahila batasan pengertian
ejakulasi dini berdasarkan waktu, frekuensi, keputusan dan kemampuan
mengendaikan ejakulasi. berdasarkan ke empat pandangan tersebut, maka
definisi ejakulasi dini adalah ketidakmampuan mengontrol ejakulasi sehingga
terjadi dalam waktu singkat dan tidak sesuai dengan keinginannya. Dari
beberapa survei menunjukkan bahwa pria penderita ejakulasi dini mencapai
klimaks-nya tidak lebih ari satu atau dua menit setelah penetrasi saat coitus.
Sementara bagi pria yang priam dan sehat biasanya mencapai klimaks pada
kisaran 7-10 menit setelah penetrasi (Strassberg, dkk, 1987).
Walaupun penderita masih bisa mencapai orgasme namun mereka sering
kali merasa kecewa karena takmampu memberikan kepuasan, seksual kepada
mitra seksnya. Apalgi jika pasangannya mengungkapkan kekecewaan dalam
bentuk penyalahan diri. Pria yang mengalai ejakulasi dini sering mengalami

14
distress, tidak percaya diri, rendah diri, dan malu kepada pasangannya.
Pasangan tentu merasa kecewa, tidak puas, jengkel, marah, dan akhirnya bis
memicu peningkatan disfungsi seksual penderitaya (Prof.Wimpie Panghalia).
Prof. Wimpie Panhkahalia menyatakan bahwa berdasarkan tingkat
gangguannya, maka ejakulasi dini dibagi menjadi tiga bagian, yakni:
a) Ejakulasi Dini Ringan, yakni terjadi ejakulasi setelah beberapa kali
gesekan singkat kelamin.
b) Ejakulasi Dini Sedang, yakni terjadi ejakulasi setelah penis masuk ke
dalam vagina.
c) Ejakulasi Berat, yakni terjadi ejakulasi saat penis menyentuh bagian luar
vagian.
Kriteria ejakulasi dini dalam DSM-IV-TR: a). Selalu mengalami ejakulasi
setelah stimulasi minimal dan sebelum orang yang bersangkutan
menginginkannya. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi durasi fase kegairahan, seperti umur, masih awam dengan
situasi atau pasangan, dan frekuensi hubungan seksual dalam beberapa waktu
terkahir b). Menyebabkan distress mendalam atau masalah interpersonal c).
Tidak semata-mata disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu obat.
Ejakulasi dini tidak datang dengan sendirinya, tetapi ada faktor penyebab
nya, baik dari pengaruh fisik mapun psikologis. Kontribusi fisik yang
menyebabkan ejakulasi dini adalah kurang berfungsinya serotonin, usia,
ketidakseimbangan nutrisi, dan efek samping obat-obatan.

D. Gangguan Yang Berkaitan Dengan Rasa Nyeri


Terdapat dua subgategori untuk gangguan ini yaitu:
1. Dispareunia
Ciri-ciri orang yang mengalami dispareunia seksual (gabungan nyeri
seksual) adalah rasa nyeri genital yang terkait dengan hubungan seksual baik pria
ataupun wanita yang persisten adanya distress yang signifikan dan kesulitan
membina interpersonal, ketidakmampuan melakukan relasi seks, rasa nyeri saat
melakukan coitus, dan perasaan kecemasan. Dispareunia didiagnosis bila rasa

15
sakit selalu atau berulang kali dialami ketika melakukan kontak kelamin.
ganggguan ini jarang didiagnosis pada laki-laki. Beberpa perempuan menuturkan
bahwa rasa nyeri terjadi ketika penis mulai memasuki vagina, sedangkan yang
lain menuturkan bahwa rasa sakit hanya terjadi setelah penetrasi (Meana
dkk,1997). Tidak mengherankan perempuan yang megalami dispareunia
menunjukkan kadar girah deksual yang normal terhadap film atau seks oral,
namun gairah mereka menurun ketika melihat gambaran kontak kelamin
(Wouda,dkk, 1998). Pada perempun diagnosis dispareunia tidak ditegaskan jika
rasa nyeri diyakini disebabkan oleh kuranya lubrikasi vagina juga tidak
ditegakkan jika hal itu merupakan fungsi dari gangguan rasa nyeri lainnya.
Kriteria Dispareunia dalam DSM-IV-TR: a). Rasa nyeri berulang pada kelamin
yang berhungan dengan kontak kelamin dalam hungan seksual b). menyebabkan
distress mendalam atau masalah interpersonal c). Tidak disebabkan gangguan
aksis 1 lainnya (kecuali disfungsi seksual lainnya) atau efek fisiologis langsung
dari suatu obat dari penyakit medis umum.

2. Vaginismus
Vaginimus yaitu ketakutan involunter dari dinding luar vagina, hingga
membuat intercourse tidak mungkin dilakukan. Perempuan yang memiliki
gangguan ini sebenarnya memiliki hasrat yang normal untuk melakukan
hubungan seks, dan memperoleh kepuasan dari stimulus manual yang tidak
melibatkan penetrasi (Davison & Nealt, 2001). Adapun ciri-ciri orang yang
mengalami gangguanvaginismus adalah spasmus (kejang urat) pada otot-otot di
1/3 luar vagian, ondisi vaginismus berlangsung berulang-ulang, gangguan
spasmus yang bukan akibat gangguan somatis dan distres relasi personal. Kriteria
Vaginismus dalam DSM-IV-TR: a). Kejang berulang pada bagian luar ketiga
pada vagian hingga ketingkat yang tidak memungkinkan terjadinya kontak
kelamin dalam hubungan konvensional b). menyebabkan distress mendalam atau
masalah interpersonal c). Tidak disebabkan gangguan aksis 1 lainnya (kecuali
disfungsi seksual lainnya) atau efek fisiologis langsung dari suatu obat dari
penyakit medis umum.

16
Contoh kasus

Selama 40 tahun terkhir, jon bermastrubasi dengan membayangkan


perempuan-perempuan nyaris telanjang yang sedang bergulat. secara periodik di
sepanjang perkawinanya, ia telah berusaha melibatkan istrinya dalam
pertandingan gulat dengan teman-temannya dan akhirnya dengan putri remaja
mereka. ketika jon mabuk, ia kadang-kadang membuat istrinya malu dengan
mempertarungkannya dengan perempuan-perempuan lian. pada liburan musim
panas, ia kadang-kadang secara bercanda menyarankan para perempuan ntuk
bergulat. Akan tetapi, selama sebagian besar kehidupan warasnya, lamunannya
tentang perempuan-perempuan yang bergulat adalah pengalaman pribadi yang
haya mempreokupasi dirinya saja. Ia mengumpulkan koleksi majalah dan
rekaman vidio yang mengambarkan perempuan-perempuan yang sedang bergulat
yang menjadi pilihan ketika ia dikuasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan
exitment.
Jon datang mencari bantuan untuk ketidakmampuannya untuk
mempertahankan ereksi bersama istrinya untuk berhubungan seks. Dengan
pengecualian seks prokreasional, ia tidak mampu mencapai kepuasan selama
perkawinan panjangnya. Ia bisa (menjadi) mengalami ereksi jika istrinya
mendeskripsikan dirinya sedang bergulat dengan perempuan lain selam ia
menstimulasi penisnya di depan istrinya, tetapi ia selalu kehilangan ereksinya
ketika berusaha melakukan hubungan seks dengannya (Levin, Risen& Althof,
1990).

17
Analisis Kasus
Kasus ini dapat mengilustrasikan bagaimana parafilia dapat
menginterferensi kehidupan seseorang, khusunya hubungan dengan orang lain.
Preokupasi jon dengan fantasi tentang para perempuan yang sedang bergulat
membuatnya mengatakan dan melakukan hal-hal yang mendisrupsi perkawinan
dan pertemanannya dengan orang lain. Banyak orang dengan parafilia mengalami
disfungsi seksual yang melibatkan hasrat, rangsangan, atau orgasme selama
perilaku seksual konvensional dengan seorang patner. Istri dari laki-laki penderita
parafilia sering meprotes bahwa suaminya tidak tertarik dengan hubungan seksual
mereka. Faktanya, si suami mungkin terlibat aktif dalam mastrubasi yang sering
dengan fantasi parafilik. Meskipun mereka didaftarkan sebagai gangguan-
gangguan yang berbeda, mungkin lebih berguna untuk memikirkan parafilias
sebagai suatu kategori diagnostik, dengan bentuk-bentuk spesifik yang
didaftarakan dalam DSM-IV-TR yang mempresentasikan sub-subtipe dari
gangguan tunggal ini.

18
KESIMPULAN

kita dapat menamai perilaku seksual sebagai abnormal ketika hal tersebut bertentangan
dari norma sosial, dan bersifat self defeating, merusak atau menggangu oranglain, menyebabkan
distress personal, atau mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfungsi secara optimal.
namun kita harus menyadari bahwa perilaku seksual yangdianggap normal pada suatu budaya
belum tentu dapat dianggap normal pada budaya lain
Disfungsi seksual meliputi sejumlah gangguan dimana orang merasa kesulitan
untuk berfungsi secara adekuat selama berhubungan seksual. "Disfungsi seksual dapat berasal
dari faktor biologis, psikologis, dan faktor sosiokultual. "Disfungsi seksual berhubungandengan
sikap-sikap negatif tentang yang ditularkan secara sosial, yang berinteraksicdengan kesulitan
interaksi saat ini, dan kecemasan yang difokuskan pada aktifitascseksual.cParafilia merupakan
penyimpangan seksual yang melibatkan timbulnya rangsangan terhadap stimulus tertentu seperti
objek non manusia misalnya, sepatu atau pakaian&, penghinaan atau pemberian rasa sakit pada
diri sendiri atau pasangan, atau anak-anak!)e*id, +athus dan
Perkembangan parafilia berhubungan dengan defisiensi dalam rangsangan seksual orang
dewasa berdasarkan suka sama suka, defisiensi dalam keterampilan sosial orang dewasa
berdasarkan suka sama suka, fantasi seksual yang menyimpang yang mungkin berkembang
sebelum atau selama masa pubertas, dan usaha yang dilakukan individu yang bersangkutan untuk
menekan pikiran yang berhubungan dengan pola-pola rangsangan tersebut.

19
DAFTAR PUSTAKA

Oltman, F. Thomas dan Robert E. Emwry. 2013. Psikologi Abnormal. Buku 2, Edisi 7.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kartono, Kartini. 2009. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung:CV. Mandar
Maju.

Supraktiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanius(Anggota IKAPI).

Davision, C. Gerald, John M. Neale dan Ann M. Kring. 2014. Psikologi Abnormal. Edisi ke-9,
Cetakan 4. Jakarta: Rajawali Pers.

Fausiah, Fitri dan Widury Julianti. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta:Universitas
Indonesia (UI-Prees).

Peleter, Zan Herri, Bethasalda, Janiwarti dan Marti saragih. 2011. Pengantar psikopatologi untuk
Keperawatan. Edisi 1, Cetakan 1. Jakarta: Kencana Peranda Media Group.

Saidah, Mamla Elbina. 2016. PENYIMPANGAN PERILAKU SEKSUAL (MENELAAH


MARAKNYA FENOMENA LGBT DI INDONESIA). Jurnal Pendidikan. Vol 8, No 1.
hal 60-63. dalam
http://www.journal.staihubbulwathan.id/index.php/alishlah/article/view/32 diakses tanggal
25 Oktober 2019.

20

Anda mungkin juga menyukai