Psikologi EksistensialFenomenologis
Maurice Merleau-Ponty Ludwig Binswanger
Fenomenologi
Edmund Husserl Martin Heidegger
Kelompok Duquesne
Meskipun gerakan mazhab ketiga terdiri dari sekumpulan psikolog dan filsuf yang beragam, namun terdapat beberapa sudut pandang yang sama.
Pertama, gerakan tersebut secara jelas memahami pentingnya kebebasan dan tanggungjawab pribadi dalam proses pengambilan keputusan yang berlangsung sepanjang hidup untuk mencapai potensi manusia. Gerakan ini menganggap pikiran sebagai entitas aktif dan dinamis yang melaluinya individu menunjukkan kemampuan manusiawi yang unik dalam kognisi, kehendak, dan penilaian. Kedua, para psikolog dalam gerakan ini tidak menerima reduksi proses-proses psikologis menjadi hukumhukum mekanis peristiwa psikologis. Mereka lebih memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dari bentuk kehidupan lainnya. Individu, dalam proses menetapkan kemanusiaan mereka, harus melampaui pemuasan hedonistik atas kebutuhan-kebutuhan fisiologis dalam mencari nilai-nilai dan sikap pribadi yang memiliki signifikansi sosial dan filosofis. Dengan demikian, terdapat penekanan pada diri dalam gerakan mazhab ketiga, yang berupaya mendorong pengembangan keutuhan kepribadian manusia yang unik yang ditetapkan secara individual.
Gerakan mazhab ketiga bukan suatu sistem logis dengan prinsip-prinsip rinci yang diterima secara universal oleh para pengikutnya. Namun lebih merupakan orientasi dalam psikologi yang bereaksi terhadap reduksionisme dari proses-proses psikologis ke basis-basis fisiologis, yang terdapat dalam psikologi behavioristik empiris. Seperti psikoanalisis, gerakan mazhab ketiga tidak lahir dari penelitian universitas dengan seting akademis. Akar gerakan tersebut dapat ditemukan dalam spekulasi filosofis, karya-karya tulis, dan observasi klinis.
Eksistensialisme
Inti filosofi eksistensial menyatakan bahwa individu memiliki kebebasan untuk menentukan arah hidupnya melalui pilihan-pilihan yang saling berganti dan berkesinambungan, namun kebebasan tersebut juga memberikan tanggung jawab kepada individu atas hasil-hasil keputusan pribadinya, sehingga kebebasan merupakan sumber penderitaan dan kecemasan. Sebelum kami meyampaikan rincian dan implikasi definisi tersebut, penting untuk memahami bahwa tema-tema eksistensial adalah tema umum dalam banyak pandangan filosofis di zaman kuno. Memang, dapat dikatakan bahwa semua model aktivitas dinamis manusia yang dominan, yang menekankan pandangan holistik, adalah eksistensial. Filsuf seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan Aquinas mengajarkan bahwa manusia bebas menentukan takdir pribadinya serta harus menerima konsekuensi pilihan mereka. Pada abad 19 eksistensialisme moderen mulai berkembang dalam karya-karya sastra melalui para penulis ternama seperti Fyodor Dostoyevsky (1821-1881) dan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Dostoyevsky lahir dan memperoleh pendidikan di Moskow, namun pada tahun 1849 diasingkan ke Siberia karena terlibat dalam kegiatan revolusioner. Setelah kembali ke wilayah Rusia Eropa pada tahun 1859, ia kembali menulis dan segera menunjukkan kejeniusannya sebagai salah satu novelis terbesar di dunia. Tokoh-tokoh dalam novel-novelnya seperti The Idiot (1869), The Brothers Karamazov (1880), dan Crime and Punishment (1866) berhadapan dan bergulat dengan keputusankeputusan sulit untuk mendefinisikan diri dan perasaan mereka tentang Tuhan, nilai-nilai sosial, dan ide-ide pribadi. Nietzsche, yang menulis tentang tema-tema filosofis, lahir di Saxony dan belajar di universitas di Bonn dan Leipzig. Pada usia 24 tahun, ia diangkat menjadi profesor filologi klasik di Universitas Basel. Pemikirannya tentang isu-isu besar dalam kehidupan menuntunnya pada kesimpulan bahwa Tuhan telah mati dan manusia berada dalam kesengsaraan dan kesendirian, tidak dapat bergantung pada Tuhan untuk memperoleh rasa aman. Setiap manusia harus menghadapi sendirian pilihan-pilihan dalam hidup dan menghadapi konsekuensi pilihan tersebut tanpa bisa kembali ke dukungan ketuhanan. Bila tema-tema utama eksistensialisme tergambar jelas dalam literatur abad 19, pernyataan formal prinsip-prinsip eksistensial moderen dihasilkan dari suatu kontroversi teologis seputar cara mengetahui dan mengalami keberadaan Tuhan. Sebagai latar belakang kontroversi ini, perlu diingat bahwa interpretasi aktivitas mental dinamis dalam menstrukturkan pengetahuan, yang dipelopori Kant, menjadi kekuatan dominan di kalangan para cendekiawan Jerman. Pandangan ini, yang dikenal sebagai rasionalisme, mengagungkan penalaran untuk menemukan kebenaran sejati. Rasionalisme Jerman pada abad 19 disampaikan dengan jelas oleh Georg Hegel (1770-1831). Sebagai sebuah filosofi, rasionalisme Hegel menyatakan bahwa perkembangan intelektual berjalan dalam suatu sekuens dimana suatu pemikiran, atau tesis, menyebabkan timbulnya pemikiran yang bertentangan, atau antitesis, dan keduanya bersintesa menjadi satu kesatuan baru yang kemudian menjadi suatu tesis, dan siklus tersebut kembali terulang. Konsep ini dikembangkan menjadi suatu bentuk argumentasi logika yang disebut "dialektik," yang kemudian digunakan oleh Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895), yang menggunakan metode dialektikal untuk memformulasi teori sosialisme mereka. Untuk tujuan saat ini, penting untuk dicatat bahwa pandangan-pandangan Hegel menekankan sentralitas perkembangan intelektual dengan implikasi suatu hirarki aktivitas intelektual. Rasionalisme Hegel diterima secara simpatik di kalangan para teolog Jerman abad 19 yang menyadari bahwa kekuatan otoritas dogmatik gereja telah melemah. Rasionalisme Hegel menawarkan suatu alternatif bagi prinsip-prinsip tradisional yang didasarkan pada kepercayaan; pandangan tersebut mengatur alam dan berupaya mengembangkan ilmu pengetahun teologi berdasarkan demonstrasi logis. Aktivitas intelektual manusia dapat diurutkan dari tingkat seni primitif ke tingkat menengah yakni agama hingga ke tingkat tertinggi yakni penalaran dan ilmu pengetahuan. Posisi agama diturunkan menjadi keyakinan tingkat kedua yang cocok dengan pikiran tingkat kedua. Interpretasi ini konsisten dengan atmosfer dominan di abad 19 yang meninggikan ilmu pengetahuan positivis di atas semua bentuk aktivitas intelektual. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai model yang harus ditiru dalam semua upaya intelektual.
Meskipun kajian singkat tentang beberapa filsuf eksistensial di atas jelas tidak lengkap, namun kajian tersebut mencerminkan keragaman opini yang ada. Para eksistensialis adalah orang-orang ateistik sekaligus religius; pemisimistis sekaligus optimistis; mencari makna sekaligus merendahkan hidup menjadi suatu absurditas. Meski demikian, mereka memiliki dasar yang sama dalam hal menekankan pencarian individu atas eksistensi dan identitas. Setelah membahas tren fenomenologis dalam filosofi, kita akan mengkaji beberapa interpretasi eksistensial spesifik tentang psikologi.
Fenomenologi
Dalam pendekatan gerakan mazhab ketiga, fenomenologi berkonsentrasi pada studi tentang fenomena sebagaimana yang dialami oleh individu, dengan penekanan pada bagaimana tepatnya suatu fenomenon terjadi pada individu yang mengalaminya terkait seluruh kekhususannya dan kekongkretannya. Sebagai suatu metodologi, fenomenologi terbuka bagi segala sesuatu yang penting bagi pemahaman tentang suatu fenomenon. Subjek yang mengalami fenomenon perlu merasakannya tepat seperti penampakannya dalam kesadaran, tanpa penilaian terlebih dahulu, bias, atau kecenderungan atau orientasi yang telah ada sebelumnya. Tujuan metode tersebut adalah:
Dimasukkannya (secara harfiah, penyerapan mental) struktur fenomenon sebagaimana penampakannya; Penyelidikan tentang asal-usul atau basis fenomenon sesuai yang dialami; dan Penekanan pada berbagai kemungkinan cara mengindera semua fenomena. Tugas fenomenolog adalah menyelidiki proses-proses intuisi, refleksi, dan deskripsi. Sejalan dengan itu, fenomena tidak dimanipulasi, namun dibiarkan untuk menunjukkan dirinya.
Substansi fenomenologi terdiri dari data pengalaman dan maknanya bagi individu yang mengalaminya. Fenomenologi menolak reduksionisme yang terdapat dalam berbagai metode empiris dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam. Fenomenologi lebih memfokuskan pada signifikansi dan relevansi fenomena dalam kesadaran dan perspektif individu seutuhnya.
Dengan demikian, Husserl berupaya memberikan suatu alternatif bagi reduksionisme elementaristik pendekatanpendekatan empiris dalam model ilmu pengetahuan alam. Ia menggunakan suatu metode deskriptif yang diajukan untuk lebih melengkapi penelitian psikologis dengan mempertimbangkan struktur esensial pengalaman dan objekobjeknya.
Heidegger berpendapat bahwa kita benar-benar mencapai kesejatian hanya setelah kita menyesuaikan diri dengan konsep kematian dan menginternalisasi makna subjektif kematian. Kecemasan adalah ketakutan akan ketidakmenjadian, yaitu antitesis dari kemenjadian, yang diakibatkan oleh ketidakmauan individu menghadapi kematian. Dengan menerima dan memahami bahwa kita memiliki batas waktu, kita mulai menembus inti eksistensi kita. Dengan demikian, keunikan hidup manusia terletak pada pemahaman kita, bagaimanapun sedikitnya, tentang kemenjadian kita.
PSIKOLOGI
EKSISTENSIAL-FENOMENOLOGIS
Sebagai sebuah pandangan psikologi kontemporer, pandangan eksistensialfenomenologis terkait erat dengan dasar-dasar filosofisnya. Memang, batas yang memisahkan fenomenologi eksistensial sebagai filosofi dari fenomenologi eksistensial sebagai psikologi tidak jelas. Psikologi eksistensial-fenomenologis umumnya merupakan penerapan prinsip-prinsip filosofis, biasanya dalam situasi terapiutik klinis. Prinsip-prinsip tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
Manusia dipandang sebagai individu yang eksis sebagai kemenjadian-di-dunia. Setiap eksistensi manusia adalah unik dan mencerminkan persepsi, sikap, dan nilai-nilai individual. Individu harus diperlakukan sebagai produk perkembangan pribadi dan bukan sebagai wujud dari kesatuan umum manusia. Sejalan dengan itu, psikologi harus berkaitan dengan pengalaman individual dalam kesadaran untuk memahami eksistensi manusia. Manusia menjalani hidup dengan berjuang untuk melawan depersonalisasi eksistensi oleh masyarakat, yang mengakibatkan keterasingan, kesepian, dan kecemasan subjektif. Fenomenologi sebagai sebuah metode memungkinkan pengujian terhadap individu yang sedang mengalami suatu pengalaman.
Kami membahas secara singkat dua psikolog yang dapat mewakili gerakan eksistensial-fenomenologis di Eropa: Merleau-Ponty dan Ludwig Binswanger. Meskipun keduanya terkenal sebagai pendukung pendekatan eksistensial-fenomenologis dalam psikologi, namun keduanya tidak dapat dianggap sebagai pengembang sistem yang komprehensif. Namun baik Merleau-Ponty maupun Binswanger mencerminkan upaya para psikolog untuk mengasimilasi prinsip-prinsip dasar filosofis eksistensialisme sehingga dapat menjadi bentuk penanganan yang berhasil mendukung upaya individu untuk mencapai kesejatian.
Merleau-Ponty meyakini bahwa proses-proses manusia tidak dapat dijelaskan melalui fisika, demikian juga metode empiris positif fisika tidak memadai bagi psikologi. Subjek pembahasan utama psikologi haruslah pengalaman, yang bersifat pribadi dan individual, yang terjadi dalam diri manusia dan bukan subjek verifikasi dan peniruan publik. Dengan demikian pendekatan yang tepat dalam psikologi adalah mempelajari rahasia-rahasia persepsi dalam diri, yang hanya dapat dicapai melalui metode deskriptif fenomenologi.
Kelompok Duquesne
Pandangan psikologi eksistensial-fenomenologis yang paling konsisten di Amerika berasal dari para psikolog yang berpusat di Universitas Duquesne di Pittsburgh. Banyak tulisan para cendekiawan Eropa diterbitkan ulang oleh Universitas Duquesne, yang pada awalnya mensponsori penerbitan penelitian terkini dalam Review of Existensial Psychology and Psychiatry. Sejak awal tahun 1970-an, Departemen Psikologi di Duquesne mensponsori Journal of Phenomenological Psychology. Sebagai pusat psikologi eksistensial-fenomenologis yang paling aktif di Amerika, kelompok Duquesne mewakili orientasi yang cukup unik dalam eklektisisme yang dominan di kalangan akademia psikologi Amerika. Kekuatan inspirasional kelompok Duquesne adalah Adrian van Kaam (b. 1920), yang berasal dari Belanda, yang merupakan anggota ordo pendeta yang mendirikan Duquesne. Ia mendukung revisi psikologi berdasarkan prinsip-prinsip eksistensialisme, lepas dari batasan reduksionisme model dan metode ilmu pengetahuan alam. Pernah belajar bersama para pemimpin gerakan mazhab ketiga di Amerika, seperti Rogers dan Maslow, van Kaam mendirikan sebuah institut di Duquesne yang dirancang untuk menggali perkembangan spiritualitas. Ia memimpin institut tersebut hingga tahun 1980. Ajakan bagi lebih banyak penekanan fenomenologis dalam penelitian psikologi konsisten dengan definisi psikologi yang sejatinya sebagai ilmu pengetahuan manusia. Mantan anggota kelompok Duquesne adalah Amedeo Giorgi (b. 1931), yang menjalani pelatihan sebagai psikolog eksperimental di Universitas Fordham. Giorgi mengusulkan pendekatan yang lebih terbuka terhadap psikologi dalam karyanya Psychology as a Human Science yang diterbitkan pada tahun 1970. Ia menyimpulkan bahwa psikologi harus menjadikan individu manusia sebagai subjek pembahasannya yang "harus didekati dalam kerangka rujukan yang juga manusiawi, a.l., kerangka rujukan yang tidak mengacaukan fenomena manusia sebagai individu" (hal 224-225). Meskipun gambaran tentang aktivitas penelitian kelompok Duquesne di luar lingkup pembahasan kita saat ini, namun penting untuk memahami bahwa orientasi dalam psikologi Amerika ini menghasilkan manfaat dari keragaman perspektif dalam karakteristik penelitian psikologi.