Anda di halaman 1dari 26

GERAKAN MAZHAB KETIGA

Psikologi Umum Universitas Bunda Mulia

GERAKAN MAZHAB KETIGA


Latar Belakang Filosofis Eropa
Eksistensialisme
Soren Kierkegaard Wilhelm Dilthey

Psikologi EksistensialFenomenologis
Maurice Merleau-Ponty Ludwig Binswanger

Pandangan Eksistensialisme Moderen


Jean Paul Sartre Albert Camus Karl Jaspers Martin Buber

Gerakan Kekuatan Ketiga di Amerika


Psikologi Humanistik Amerika
Gordon Allport Charlotte Buhler Abraham Maslow Rollo May Carl Rogers

Fenomenologi
Edmund Husserl Martin Heidegger

Kelompok Duquesne

GERAKAN MAZHAB KETIGA


Gerakan mazhab ketiga dalam psikologi juga berasal dari tradisi model ilmu pengetahuan manusia tentang aktivitas mental. Jika psikoanalisis dianggap sebagai "mazhab pertama" dan behaviorisme sebagai "mazhab kedua" dalam psikologi abad 20, maka "mazhab ketiga" dapat berupa gerakan apapun selain psikoanalitik dan behavioristik. Nama-nama lain menggambarkan berbagai pandangan gerakan mazhab ketiga:
Psikologi eksistensial menunjukkan penerapan filosofi eksistensial pada berbagai isu psikologis. Psikologi fenomenologis kadang digunakan untuk menunjukkan cara-cara khas dalam mempelajari berbagai peristiwa psikologis tanpa terjebak dalam reduksionisme. Psikologi humanistik menggambarkan pendekatan sekelompok psikolog, sebagian besar adalah teoris kepribadian dari Amerika, yang memiliki pandangan bahwa individu berusaha mengembangkan sepenuhnya kemampuan atau potensinya dan menolak penjelasan mekanis dan materialistik atas proses-proses psikologis.

Meskipun gerakan mazhab ketiga terdiri dari sekumpulan psikolog dan filsuf yang beragam, namun terdapat beberapa sudut pandang yang sama.
Pertama, gerakan tersebut secara jelas memahami pentingnya kebebasan dan tanggungjawab pribadi dalam proses pengambilan keputusan yang berlangsung sepanjang hidup untuk mencapai potensi manusia. Gerakan ini menganggap pikiran sebagai entitas aktif dan dinamis yang melaluinya individu menunjukkan kemampuan manusiawi yang unik dalam kognisi, kehendak, dan penilaian. Kedua, para psikolog dalam gerakan ini tidak menerima reduksi proses-proses psikologis menjadi hukumhukum mekanis peristiwa psikologis. Mereka lebih memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dari bentuk kehidupan lainnya. Individu, dalam proses menetapkan kemanusiaan mereka, harus melampaui pemuasan hedonistik atas kebutuhan-kebutuhan fisiologis dalam mencari nilai-nilai dan sikap pribadi yang memiliki signifikansi sosial dan filosofis. Dengan demikian, terdapat penekanan pada diri dalam gerakan mazhab ketiga, yang berupaya mendorong pengembangan keutuhan kepribadian manusia yang unik yang ditetapkan secara individual.

Gerakan mazhab ketiga bukan suatu sistem logis dengan prinsip-prinsip rinci yang diterima secara universal oleh para pengikutnya. Namun lebih merupakan orientasi dalam psikologi yang bereaksi terhadap reduksionisme dari proses-proses psikologis ke basis-basis fisiologis, yang terdapat dalam psikologi behavioristik empiris. Seperti psikoanalisis, gerakan mazhab ketiga tidak lahir dari penelitian universitas dengan seting akademis. Akar gerakan tersebut dapat ditemukan dalam spekulasi filosofis, karya-karya tulis, dan observasi klinis.

LATAR BELAKANG FILOSOFIS EROPA

Eksistensialisme
Inti filosofi eksistensial menyatakan bahwa individu memiliki kebebasan untuk menentukan arah hidupnya melalui pilihan-pilihan yang saling berganti dan berkesinambungan, namun kebebasan tersebut juga memberikan tanggung jawab kepada individu atas hasil-hasil keputusan pribadinya, sehingga kebebasan merupakan sumber penderitaan dan kecemasan. Sebelum kami meyampaikan rincian dan implikasi definisi tersebut, penting untuk memahami bahwa tema-tema eksistensial adalah tema umum dalam banyak pandangan filosofis di zaman kuno. Memang, dapat dikatakan bahwa semua model aktivitas dinamis manusia yang dominan, yang menekankan pandangan holistik, adalah eksistensial. Filsuf seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan Aquinas mengajarkan bahwa manusia bebas menentukan takdir pribadinya serta harus menerima konsekuensi pilihan mereka. Pada abad 19 eksistensialisme moderen mulai berkembang dalam karya-karya sastra melalui para penulis ternama seperti Fyodor Dostoyevsky (1821-1881) dan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Dostoyevsky lahir dan memperoleh pendidikan di Moskow, namun pada tahun 1849 diasingkan ke Siberia karena terlibat dalam kegiatan revolusioner. Setelah kembali ke wilayah Rusia Eropa pada tahun 1859, ia kembali menulis dan segera menunjukkan kejeniusannya sebagai salah satu novelis terbesar di dunia. Tokoh-tokoh dalam novel-novelnya seperti The Idiot (1869), The Brothers Karamazov (1880), dan Crime and Punishment (1866) berhadapan dan bergulat dengan keputusankeputusan sulit untuk mendefinisikan diri dan perasaan mereka tentang Tuhan, nilai-nilai sosial, dan ide-ide pribadi. Nietzsche, yang menulis tentang tema-tema filosofis, lahir di Saxony dan belajar di universitas di Bonn dan Leipzig. Pada usia 24 tahun, ia diangkat menjadi profesor filologi klasik di Universitas Basel. Pemikirannya tentang isu-isu besar dalam kehidupan menuntunnya pada kesimpulan bahwa Tuhan telah mati dan manusia berada dalam kesengsaraan dan kesendirian, tidak dapat bergantung pada Tuhan untuk memperoleh rasa aman. Setiap manusia harus menghadapi sendirian pilihan-pilihan dalam hidup dan menghadapi konsekuensi pilihan tersebut tanpa bisa kembali ke dukungan ketuhanan. Bila tema-tema utama eksistensialisme tergambar jelas dalam literatur abad 19, pernyataan formal prinsip-prinsip eksistensial moderen dihasilkan dari suatu kontroversi teologis seputar cara mengetahui dan mengalami keberadaan Tuhan. Sebagai latar belakang kontroversi ini, perlu diingat bahwa interpretasi aktivitas mental dinamis dalam menstrukturkan pengetahuan, yang dipelopori Kant, menjadi kekuatan dominan di kalangan para cendekiawan Jerman. Pandangan ini, yang dikenal sebagai rasionalisme, mengagungkan penalaran untuk menemukan kebenaran sejati. Rasionalisme Jerman pada abad 19 disampaikan dengan jelas oleh Georg Hegel (1770-1831). Sebagai sebuah filosofi, rasionalisme Hegel menyatakan bahwa perkembangan intelektual berjalan dalam suatu sekuens dimana suatu pemikiran, atau tesis, menyebabkan timbulnya pemikiran yang bertentangan, atau antitesis, dan keduanya bersintesa menjadi satu kesatuan baru yang kemudian menjadi suatu tesis, dan siklus tersebut kembali terulang. Konsep ini dikembangkan menjadi suatu bentuk argumentasi logika yang disebut "dialektik," yang kemudian digunakan oleh Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895), yang menggunakan metode dialektikal untuk memformulasi teori sosialisme mereka. Untuk tujuan saat ini, penting untuk dicatat bahwa pandangan-pandangan Hegel menekankan sentralitas perkembangan intelektual dengan implikasi suatu hirarki aktivitas intelektual. Rasionalisme Hegel diterima secara simpatik di kalangan para teolog Jerman abad 19 yang menyadari bahwa kekuatan otoritas dogmatik gereja telah melemah. Rasionalisme Hegel menawarkan suatu alternatif bagi prinsip-prinsip tradisional yang didasarkan pada kepercayaan; pandangan tersebut mengatur alam dan berupaya mengembangkan ilmu pengetahun teologi berdasarkan demonstrasi logis. Aktivitas intelektual manusia dapat diurutkan dari tingkat seni primitif ke tingkat menengah yakni agama hingga ke tingkat tertinggi yakni penalaran dan ilmu pengetahuan. Posisi agama diturunkan menjadi keyakinan tingkat kedua yang cocok dengan pikiran tingkat kedua. Interpretasi ini konsisten dengan atmosfer dominan di abad 19 yang meninggikan ilmu pengetahuan positivis di atas semua bentuk aktivitas intelektual. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai model yang harus ditiru dalam semua upaya intelektual.

Soren Kierkegaard (1813-1855)


Reaksi keras atas rasionalisme Hegel disampaikan oleh seorang pendeta Lutheran dari Denmark, Soren Kierkegaard. Peradaban Barat sebelumnya menganut Kristen namun, menurut Kierkegaard, masyarakat telah kehilangan kepercayaannya. Ia mengabdikan dirinya untuk mengajarkan tentang Kristenitas kepada para penganut Kristen dan utnuk mendukung pandangan yang mengutamakan kepercayaan di atas penalaran. Kierkegaard menganggap pengagungan nalar, yang tercermin dalam rasionalisme Hegelian, adalah suatu penyimpangan pengalaman manusia. Sebagaimana dikatakannya dengan penuh keyakinan, "Kecerdasanlah yang harus ditentang, tidak ada lagi yang lain. Karena itulah mengapa saya, yang mengemban tugas tersebut, dibekali dengan kecerdasan luar biasa" (Kaufman, 1956). Kierkegaard terus menerus mempertanyakan perasaan sejati para penganut Kristen dan mendorong mereka untuk menunjukkan kepercayaan yang lebih dari sekedar di permukaan saja. Bagi Kierkegaard, eksistensi disejatikan melalui penerimaan total atas kepercayaan. Eksistensi tidak untuk dipelajari namun untuk dijalani. Ia menggambarkan tiga tingkat progresif eksistensi. Yang pertama adalah estetika dan merupakan ciri tahap kehidupan masa kanak-kanak dimana individu hanya hidup untuk saat tersebut berdasarkan kesenangan atau kesengsaraan sementara. Meskipun merupakan tahap penting, namun bersifat primitif dalam arti individu hanya sebagai pengamat peristiwa-peristiwa kehidupan dan tidak terlibat di dalamnya, sekedar merespon peristiwa eksternal sesuai kebutuhan pada saat itu. Tahap estetika diteruskan oleh tahap etika yang memerlukan keberanian individu, karena individu harus mengambil berbagai pilihan terkait nilai-nilai kehidupan dan menerima tanggungjawab atas pilihan tersebut. Tingkat eksistensi yang paling tinggi adalah religius. Dalam tahap ini individu melampaui moral-moral sosial dalam tahap etika dan memilih Tuhan, yang merupakan wujud kepercayaan. Dalam karyanya Fear and Trembling (1843), Kierkegaard mengutip kisah Injil tentang Nabi Ibrahim yang bersiap untuk mengurbankan putranya Nabi Ishak sesuai perintah Tuhan. Momen tersebut, yaitu saat Nabi Ibrahim mengangkat pisaunya untuk membunuh putranya, menggambarkan rasa kepercayaan Kierkegaard. Agama adalah lompatan ke kegelapan, harus berupa sebuah pengalaman yang sepenuhnya subjektif yang diarahkan ke dalam oleh seorang partisipan yang sepenuhnya berkomitmen pada Kristus, bukan oleh seorang pengamat. Maka kemudian, Kristenitas bersifat absurd. Seperti juga tidak masuk akal bagi Sang Pencipta untuk menjadi makhluk dalam wujud Kristus, maka profesi Kristenitas juga tidak masuk akal karena profesi kepercayaan bertentangan dengan bibit kemampuan rasional kita. Kristenitas menghendaki kepercayaan tentang hal-hal yang tidak masuk akal. Bila Kierkegaard tidak akan menyetujui kesimpulan Nietzsche bahwa Tuhan telah mati, ia akan menyetujui perasaan Nietzsche tentang Tuhan yang mati, karena kepercayaan menghendaki seseorang untuk mengorbankan kekokohan nalar dan masuk dalam hal-hal yang tidak diketahui.

Wilhelm Dilthey (1833-1911)


Pandangan awal lainnya terkait eksistensialisme moderen dikemukakan oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911), sebagai pendukung berbagai alternatif bagi model ilmu pengetahuan alam. Ia memasukkan prinsip-prinsip eksistensial dalam perspektif psikologis. Dilthey mengajukan "ilmu pengetahuan ruh," sebagai lawan ilmu-ilmu pengetahuan alam, untuk memahami kesejarahan manusia dengan mengetahui apa yang dimaksud dengan individu dan secara khusus pada setiap orang. Kesadaran historis adalah karakteristik penentu pada setiap manusia. Dalam bukunya Essence of Philosophy (1907), Dilthey menulis bahwa agama, seni, ilmu pengetahuan, dan filosofi merupakan wujud pengalaman yang dialami di dunia, dan pengalaman tersebut tidak hanya melibatkan fungsi-fungsi intelektual namun juga tujuan, nilai-nilai, dan hasrat individu. Sejalan dengan itu, penekanan Dilthey pada pengalaman yang dialami mengungkapkan karakteristik dasar kesadaran individu yang menggambarkan eksistensi. Pandangan awal filosofi eksistensial, yang diwakili oleh Kierkegaard dan Dilthey, dilanjutkan di abad 20 oleh sekelompok filsuf dan penulis yang beralih dari perspektif religius Kierkegaard ke pernyataan yang lebih terbuka tentang diri dan psikologi individu. Meskipun sebagai kelompok mereka cukup terkenal di masa antara perang dunia, namun baru pada tahun-tahun tepat setelah Perang Dunia II lah para eksistensialis menimbulkan pengaruh bagi kehidupan intelektual Barat. Seruan mereka untuk merestrukturisasi nilai-nilai manusia dan penghargaan terhadap martabat individu diterima secara simpatik di kalangan mereka yang mengalami depersonalisasi perang industrialisasi.

LATAR BELAKANG FILOSOFIS EROPA

Pandangan Eksistensialisme Moderen


Tokoh pandangan eksistensialisme moderen
Jean Paul Sartre Albert Camus Karl Jaspers Martin Buber

Meskipun kajian singkat tentang beberapa filsuf eksistensial di atas jelas tidak lengkap, namun kajian tersebut mencerminkan keragaman opini yang ada. Para eksistensialis adalah orang-orang ateistik sekaligus religius; pemisimistis sekaligus optimistis; mencari makna sekaligus merendahkan hidup menjadi suatu absurditas. Meski demikian, mereka memiliki dasar yang sama dalam hal menekankan pencarian individu atas eksistensi dan identitas. Setelah membahas tren fenomenologis dalam filosofi, kita akan mengkaji beberapa interpretasi eksistensial spesifik tentang psikologi.

Jean Paul Sartre (1905-1980)


Hal yang mendasar dalam pandangan-pandangan Sartre adalah eksistensi mendahului esensi. Berlawanan dengan prinsip Aristotelian dan Skolastik bahwa eksistensi individu adalah perwujudan suatu esensi atau kemenjadian umum yang bersifat metafisis, Sartre menyatakan bahwa eksistensi menggambarkan esensi individu. Dalam hal ini, kita adalah tindakan kita. Eksistensi kita tidak digambarkan oleh akan menjadi apa kita, namun hanya oleh diri kita yang nyata, kumpulan tindakan kita. Karena alasan ini penting bagi kita untuk terus mengambil berbagai pilihan, karena dengan mengambil keputusan kita menetapkan siapa diri kita dan menjamin dan menjamin pertumbuhan diri. Maka kemudian seseorang akan menjadi orang seperti yang dikehendakinya. Kita bebas memilih, namun kita harus bertanggungjawab atas pilihan tersebut. satu-satunya kewajiban dalam hidup adalah mengambil pilihan. Individu menjalani eksistensinya dan menciptakan suatu esensi diri. Esensi Tuhan, menurut Sartre, adalah produk umat manusia, yang memberikan eksistensi bagi Tuhan dalam pikiran mereka. Tuhan dapat direduksi menjadi eksistensi manusia. Perbedaan kualitatif antara umat manusia dan seluruh alam adalah subjektivitas kita. Sartre menyatakan bahwa subjektivitas manusia adalah keistimewaan luar biasa yang menjadikan kita memiliki martabat yang agung, namun sekaligus juga menghukum kita dengan kebebasan untuk memilih. Sejalan dengan itu, sebagai individu, kita dipenuhi penderitaan. Kita memiliki tanggungjawab penuh dan besar yang kita pegang setiap kali kita mengambil keputusan. Contohnya, jika kita memutuskan bahwa kita harus menjadi orang yang jujur, keputusan tersebut menetapkan suatu standar kejujuran pada semua orang bagi kita. Kita berada dalam kesendirian. Sartre menyimpulkan bahwa karena Tuhan tidak eksis, maka kita sendirian dan tidak aman, dimana setiap orang secara potensial memiliki kebebasan untuk menentukan aturan-aturan perilakunya sendiri, tanpa bimbingan ketuhanan. Kita berada dalam keputusasaan. Menurut Sartre, tanggungjawab kita adalah terhadap diri kita dan kita hanya memiliki diri kita sebagai tempat bergantung. Kita tidak dapat menyalahkan Tuhan atau "nasib" atas keputusan yang buruk; kita hanya dapat menyalahkan diri kita sendiri. Dengan demikian, psikologi Sartre didasarkan pada premis eksistensial tentang kebebasan radikal eksistensi individu.

Albert Camus (1913-1960)


Filsuf-novelis tradisi eksistensial Prancis pasca perang. Albert Camus mengambil keberanian ketika menghadapi absurditas hidup sebagai tema utama tulisantulisannya. Di antara banyak karyanya adalah esai The Myth of Sisyphus dan novel The Stranger, keduanya diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1942. Setelah perang berakhir Camus kembali menyutradarai teater dan menulis. Ia juga terlibat dalam perdebatan sengit dengan Sartre tentang penerapan prinsipprinsip komunis pada pemerintahan dan masyarakat. Situasi yang terjadi menjelang kematiannya mencerminkan rasa absurd Camus. Tampaknya ragu-ragu untuk memutuskan apakah akan mengendarai mobil atau naik kereta ke suatu tempat yang ditujunya, ia kemudian tewas dalam kecelakaan mobil pada tanggal 4 Januari 1960, dan ditemukan karcis kereta api untuk hari itu di sakunya. Dalam tulisan-tulisannya Camus selalu menempatkan individu dalam pengaruh kekuatan lingkungan yang menyebabkan situasi hidup menjadi absurd. Ia berupaya mengidentifikasi sumberdaya individu yang memungkinkan seseorang mengubah arah hidupnya menjadi lebih memuaskan dengan menampakkan keberanian untuk mengambil kendali dan menumbuhkan rasa bertujuan.

Karl Jaspers (1883-1969)


Seperti Camus, Karl Jaspers) mengejar tema makna eksistensi dan revelansi makna bagi psikologi. Ia mengartikan filosofi sebagai penyelidikan tentang kebebasan, sejarah, dan kemungkinan makna dalam eksistensi. Jaspers mengenyam pendidikan kedokteran dan hukum di empat universitas di Jerman sebelum bergabung sebagai staf di sebuah rumah sakit psikiatri di Heidelberg. Dengan spesialisasi dalam psikologi, Jaspers bergabung dengan fakultas filosofi di Universitas Heidelberg pada tahun 1913, di mana ia terus mengembangkan basis eksistensialnya bagi psikologi. Meski demikian, karena ia menolak meninggalkan istrinya yang beragama yahudi, selama tahun 1930-an kaum Nazi semakin sering melecehkannya, dan pada tahun 1938 ia kehilangan gelar profesornya dan dilarang untuk menerbitkan tulisan-tulisannya. Pada tahun 1945, ketika Heidelberg dibebaskan oleh tentara Amerika, Jaspers membentuk kelompok untuk membuka kembali universitas dan melanjutkan tugas tersebut hingga tahun 1949, pada saat mana ia bergabung dengan Universitas Basel di Swiss. Jaspers secara konsisten mengemukakan pemikirannya tentang eksistensi manusia, yang menuntunnya untuk mengajukan tiga tahap kemenjadian. Tahap pertama adalah kemenjadian- di sana (being-there) dan menempatkan individu pada dunia realitas eksternal dan objektif. Kemenjadian-seseorang (being-oneself) adalah tahap yang memungkinkan kesadaran diri seseorang terhadap pilihan dan keputusan. Kemenjadian-sebagai-diri itu sendiri (being-in-itself) digambarkan oleh Jaspers sebagai tahap eksistensi tertinggi, ditandai dengan diperolehnya makna penuh. Tahap ini merupakan dunia transendental makna invididual yang melingkupi dan memahami totalitas makna; individu memiliki komunikasi efektif dengan lingkungan sosial dan fisik, sehingga eksistensi menjadi jelas sepenuhnya.

Martin Buber (1878-1965)


Figur terakhir yang mewakili filosofi eksistensial moderen adalah Martin Buber yang lahir di Wina dan dibesarkan oleh kakeknya, seorang cendekiawan Yahudi, di Lvov, salah satu kota utama di Polandia (sekarang di Ukraina). Buber meraih gelar dalam bidang filosofi dari Universitas Wina pada tahun 1904, dan pada masa itu terlibat dalam gerakan Zionis. Ia bermukim selama 5 tahun di tengah masyarakat Hasidik di Galicia untuk mempelajari tradisi keagamaan, budaya, dan mistis nenek moyangnya. Ketika kembali ke Jerman, ia menjadi editor Der Jude (1916-1924) dan bersama seorang Katolik dan Protestan menjadi editor Die Kreatur (1926-1930). Ia adalah profesor perbandingan agama di Universitas Frankfurt dari tahun 1923 hingga diberhentikan oleh pemerintah Jerman pada tahun 1933. Ia hijrah ke Palestina pada tahun 1938 dan mengajar filosofi sosial di Universitas Hebrew hingga pensiun pada tahun 1951. Ia tetap aktif, mengajar di Eropa dan Amerika hingga meninggalnya. Tulisan-tulisan Buber menarik karena ia tidak menekankan kesadaran atau kesadaran diri. Alihalih menekankan "percakapan dengan diri sendiri," Buber menekankan percakapan antar individu dan antara individu dan Tuhan, sebagaimana tercermin dalam karyanya I and Thou (1923). Dari kedua kontributor dalam suatu percakapan akan muncul kesatuan, sehingga individu menggambarkan dirinya dalam kaitan dengan orang lain atau dengan Tuhan. Dengan demikian, Buber menambahkan dimensi sosial penting dalam pertumbuhan diri, yang melengkapi pandangan-pandangan lain tentang pertumbuhan diri dalam kerangka eksistensial.

LATAR BELAKANG FILOSOFIS EROPA

Fenomenologi
Dalam pendekatan gerakan mazhab ketiga, fenomenologi berkonsentrasi pada studi tentang fenomena sebagaimana yang dialami oleh individu, dengan penekanan pada bagaimana tepatnya suatu fenomenon terjadi pada individu yang mengalaminya terkait seluruh kekhususannya dan kekongkretannya. Sebagai suatu metodologi, fenomenologi terbuka bagi segala sesuatu yang penting bagi pemahaman tentang suatu fenomenon. Subjek yang mengalami fenomenon perlu merasakannya tepat seperti penampakannya dalam kesadaran, tanpa penilaian terlebih dahulu, bias, atau kecenderungan atau orientasi yang telah ada sebelumnya. Tujuan metode tersebut adalah:
Dimasukkannya (secara harfiah, penyerapan mental) struktur fenomenon sebagaimana penampakannya; Penyelidikan tentang asal-usul atau basis fenomenon sesuai yang dialami; dan Penekanan pada berbagai kemungkinan cara mengindera semua fenomena. Tugas fenomenolog adalah menyelidiki proses-proses intuisi, refleksi, dan deskripsi. Sejalan dengan itu, fenomena tidak dimanipulasi, namun dibiarkan untuk menunjukkan dirinya.

Substansi fenomenologi terdiri dari data pengalaman dan maknanya bagi individu yang mengalaminya. Fenomenologi menolak reduksionisme yang terdapat dalam berbagai metode empiris dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam. Fenomenologi lebih memfokuskan pada signifikansi dan relevansi fenomena dalam kesadaran dan perspektif individu seutuhnya.

Edmund Husserl (1859-1938)


Pendiri fenomenologi moderen adalah Edmund Husserl). Tujuan Husserl adalah menemukan filosofi ilmu pengetahuan, dan suatu metodologi terkait, yang akan sama lengkapnya dengan metode empiris tanpa perlu mereduksi subjek pembahasan menjadi elemen-elemen pembentuk. Ia membedakan dua cabang umum pengetahuan. Salah satu cabang mencakup berbagai disiplin yang mempelajari pengalaman individu tentang dunia fisik, yang mengarahkan individu pada lingkungan. Husserl menggambarkan disiplin-disiplin tersebut sebagai ilmu pengetahuan alam tradisional. Cabang lainnyayakni filosofimenjadikan studi tentang pengalaman individu tentang dirinya sendiri sebagai subjek pembahasan, yang mengarahkan individu kedalam dirinya. Implikasi utama pembedaan dua cabang pengetahuan oleh Husserl tersebut adalah psikologi harus mengatasi semua perbedaan dan mempelajari hubungan antara pengalaman individu yang terarah kedalam dan keluar. Bagi Husserl, kesadaran tidak eksis sebagai agen mental abstrak atau tempat penyimpanan pengalaman. Namun kesadaran diartikan sebagai keadaan individu yang menyadari tentang sesuatu. Yaitu, kesadaran eksis sebagai pengalaman individu tentang suatu objek. Mengacu pada konsep Brentano tentang intensionalitas individu, Husserl menyatakan bahwa setiap tindakan sadar menujukan suatu objek. Untuk mempelajari kesadaran, Husserl memperkenalkan metode "reduksi" fenomenologis, yang bukan merupakan pendekatan empiris dan elementaristik yang mereduksi peristiwa-peristiwa psikologis menjadi bagian-bagian komponen, namun suatu cara untuk menangkap citra utama kesadaran dengan menembus "lapisan-lapisan" pengalaman. Ia menggambarkan tiga tipe reduksi fenomenologis:
"Pengelompokan" kemenjadian, yang menjelaskan hubungan dalam suatu pengalaman antara individu dan objek kesadaran seraya mempertahankan keutuhan esensial pengalaman. Hubungan dunia budaya dengan suatu pengalaman langsung. Tipe reduksi ini memahami asimilasi nilai-nilai dan sikap yang diperoleh dan diikuti oleh masyarakat, yang mengakibatkan berbagai moda budaya menghasilkan rangkaian kontekstual berkelanjutan dalam penampakan pengalaman. Reduksi transendental, yang menuntun individu dari dunia fenomenal pengalaman spesifik ke level subjektivitas yang berada di atas realitas saat ini ke suatu level integratif keutuhan pengalaman. Dengan mencapai subjektivitas transendental lah kita menjalani eksistensi manusia sejati, demikian menurut Husserl.

Dengan demikian, Husserl berupaya memberikan suatu alternatif bagi reduksionisme elementaristik pendekatanpendekatan empiris dalam model ilmu pengetahuan alam. Ia menggunakan suatu metode deskriptif yang diajukan untuk lebih melengkapi penelitian psikologis dengan mempertimbangkan struktur esensial pengalaman dan objekobjeknya.

Martin Heidegger (1889-1976)


Salah satu asisten Husserl di Freiburg, Martin Heidegger memperluas interpretasi fenomenologis tersebut. Lahir di negara bagian Baden di Jerman, Heidegger tidak lama mengikuti pendidikan seminari Jesuit, kemudian menjalani pelatihan selama 2 tahun sebagai pendeta diosesan di Freiburg. Di sana ia membaca disertasi Brentano tentang makna kemenjadian dalam filosofi Aristoteles, suatu tema yang secara konsisten dipelajari Heidegger sepanjang hidupnya. Pada tahun 1909, ia mulai mempelajari filosofi di Universitas Freiburg dan pada tahun 1914 meraih gelar dengan disertasi berjudul The Theory of Judgment in Psychologism. Tidak lama setelahnya, sebagai anggota staf berusia muda, ia menjadi asisten Husserl, yang merupakan awal sebuah hubungan yang produktif, meskipun penuh perselisihan, yang mengembangkan lebih jauh gerakan fenomenologis. Karir Heidegger sejak tahun 1933 hingga kematiannya dibayangi oleh hubungan kontroversialnya dengan kaum Nazi. Tercatat beberapa pernyataannya yang pro-Nazi, namun para mahasiswanya selama periode tersebut juga telah bersaksi bahwa ia seorang anti Nazi. Setelah Perang Dunia II Heidegger pensiun dan jarang muncul di depan umum, dan ia menyangkal tuduhan-tuduhan yang lebih keras tentang dugaan keterlibatannya. Karya utamanya, Being and Time (1927), didedikasikan bagi Husserl, namun karya tersebut berisi benih-benih ketidaksepakatan mereka berikutnya. Pada intinya, Husserl menekankan studi filosofi sebagai suatu kajian tentang kesadaran, sedangkan Heidegger menekankan filosofi sebagai studi tentang kemenjadian. Heidegger menulis bahwa manusia terasingkan dari kemenjadian mereka sendiri. Ia membedakan antara kemenjadian sebagai kata benda dan kemenjadian sebagai kata kerja. Ia berpendapat bahwa, sepanjang sejarah, manusia telah terikat pada kemenjadian sebagai benda atau objek, namun mereka terasingkan dari kemenjadian sebagai kehidupan. Heidegger menggunakan fenomenologi sebagai suatu cara untuk kembali ke tindakan kemenjadian. Fenomenologi (berasal dari kata Yunani yang berarti "mengungkapkan dirinya") memungkinkan fenomena dapat dipahami, jika kita tidak memaksanya menjadi strukturstruktur yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, bagi Heidegger, esensi psikologi adalah mempelajari moda khusus kemenjadian seseorang di dunia, karena jika manusia terasingkan dari kemenjadian mereka sendiri, mereka menjalani hidup yang terasingkan dan terpecah secara psikologis, dan akhirnya jatuh dalam eksistensi psikotik. Maka kemudian, Heidegger tidak merujuk pada individu atau kesadaran, karena istilah-istilah semacam itu mengimplikasikan suatu objek. Ia mengkategorikan eksistensi manusia dalam tiga sifat dasar yang saling berinteraksi:
Suasana hati (mood) atau perasaan: Manusia tidak memiliki suasana hati; mereka adalah suasana hati itu sendirikita adalah kebahagiaan; kita adalah kesedihan. Pemahaman: Alih-alih akumulasi abstraksi konseptual, eksistensi manusia harus dikaji sebagai upaya untuk memahami kemenjadian kita. Heidegger menggambarkan upaya tersebut sebagai berdiri terbuka di hadapan dunia sehingga kita dapat menginternalisasi konfirmasi kita tentang kebenaran atau kepalsuan pengalaman kitayakni, dengan demikian kita menjadi diri yang sejati. Bicara: Berakar dalam keheningan internal individu, bicara sebagai bahasa menjadi alat untuk mengetahui tentang diri kita sebagai wujud hidup.

Heidegger berpendapat bahwa kita benar-benar mencapai kesejatian hanya setelah kita menyesuaikan diri dengan konsep kematian dan menginternalisasi makna subjektif kematian. Kecemasan adalah ketakutan akan ketidakmenjadian, yaitu antitesis dari kemenjadian, yang diakibatkan oleh ketidakmauan individu menghadapi kematian. Dengan menerima dan memahami bahwa kita memiliki batas waktu, kita mulai menembus inti eksistensi kita. Dengan demikian, keunikan hidup manusia terletak pada pemahaman kita, bagaimanapun sedikitnya, tentang kemenjadian kita.

PSIKOLOGI
EKSISTENSIAL-FENOMENOLOGIS
Sebagai sebuah pandangan psikologi kontemporer, pandangan eksistensialfenomenologis terkait erat dengan dasar-dasar filosofisnya. Memang, batas yang memisahkan fenomenologi eksistensial sebagai filosofi dari fenomenologi eksistensial sebagai psikologi tidak jelas. Psikologi eksistensial-fenomenologis umumnya merupakan penerapan prinsip-prinsip filosofis, biasanya dalam situasi terapiutik klinis. Prinsip-prinsip tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
Manusia dipandang sebagai individu yang eksis sebagai kemenjadian-di-dunia. Setiap eksistensi manusia adalah unik dan mencerminkan persepsi, sikap, dan nilai-nilai individual. Individu harus diperlakukan sebagai produk perkembangan pribadi dan bukan sebagai wujud dari kesatuan umum manusia. Sejalan dengan itu, psikologi harus berkaitan dengan pengalaman individual dalam kesadaran untuk memahami eksistensi manusia. Manusia menjalani hidup dengan berjuang untuk melawan depersonalisasi eksistensi oleh masyarakat, yang mengakibatkan keterasingan, kesepian, dan kecemasan subjektif. Fenomenologi sebagai sebuah metode memungkinkan pengujian terhadap individu yang sedang mengalami suatu pengalaman.

Kami membahas secara singkat dua psikolog yang dapat mewakili gerakan eksistensial-fenomenologis di Eropa: Merleau-Ponty dan Ludwig Binswanger. Meskipun keduanya terkenal sebagai pendukung pendekatan eksistensial-fenomenologis dalam psikologi, namun keduanya tidak dapat dianggap sebagai pengembang sistem yang komprehensif. Namun baik Merleau-Ponty maupun Binswanger mencerminkan upaya para psikolog untuk mengasimilasi prinsip-prinsip dasar filosofis eksistensialisme sehingga dapat menjadi bentuk penanganan yang berhasil mendukung upaya individu untuk mencapai kesejatian.

Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)


Maurice Merleau-Ponty memiliki latar belakang kuat dalam filosofi dan ilmu-ilmu pengetahuan empiris, dan mengajar di universitas-universitas paling bergengsi di Prancis. Pada tahun 1927, ia bertemu Sartre dan mengawali hubungan jangka panjang yang mencapai puncaknya pada tahun 1944 ketika mereka bersama-sama menjadi editor Les Temps Moderns, jurnal yang dikhususkan bagi isu-isu filosofis, politis, dan artistik. Pada tahun 1952, ia berpisah dengan Sartre karena perbedaan pendapat tentang manfaat pemerintahan Marxis yang meragukan bagi Prancis dan Uni Soviet. Pada tahun yang sama Merleau-Ponty ditunjuk menjadi kepala departemen filosofi di College de France, dan menjadi orang termuda yang pernah menduduki jabatan prestisius tersebut. Dalam karyanya yang paling terkenal, Phenomenology of Perception (1944), Merleau-Ponty menggambarkan psikologi sebagai studi tentang individu dan hubungan sosial sebagaimana hubungan tersebut secara khusus menghubungkan kesadaran dan alam. Mencerminkan pengaruh Husserl, Heidegger, dan Sartre, Merleau-Ponty berpendapat bahwa manusia bukanlah sebuah kesadaran yang memiliki berbagai karakteristik seperti yang secara tradisional diajukan oleh anatomi, zoologi, dan psikologi empiris. Namun manusia adalah sumber absolut eksistensi. Individu tidak memerlukan eksistensi dari peristiwa-peristiwa fisik yang terjadi sebelumnya. Alih-alih, manusia berkembang ke arah lingkungan dan mempertahankan berbagai peristiwa fisik dengan memasukkan aspek-aspek lingkungan kedalam eksistensinya. Maka kemudian psikologi merupakan studi tentang intensionalitas individual. Bagi Merleau-Ponty, setiap niat adalah perhatian, dan kita tidak dapat memperhatikan sesuatu kecuali jika kita mengalaminya. Merleau-Ponty menyampaikan tiga pertanyaan utama yang dihadapi psikologi moderen:
Apakah manusia merupakan organisme yang aktif atau reaktif? Apakah aktivitas ditentukan secara internal atau eksternal? Apakah aktivitas psikologis bersumber dari internal, dan dapatkah pengalaman subjektif dipertemukan dengan ilmu pengetahuan?

Merleau-Ponty meyakini bahwa proses-proses manusia tidak dapat dijelaskan melalui fisika, demikian juga metode empiris positif fisika tidak memadai bagi psikologi. Subjek pembahasan utama psikologi haruslah pengalaman, yang bersifat pribadi dan individual, yang terjadi dalam diri manusia dan bukan subjek verifikasi dan peniruan publik. Dengan demikian pendekatan yang tepat dalam psikologi adalah mempelajari rahasia-rahasia persepsi dalam diri, yang hanya dapat dicapai melalui metode deskriptif fenomenologi.

Ludwig Binswanger (1881-1966)


Cendekiawan kedua yang mewakili psikologi eksistensial-fenomenologis adalah Ludwig Binswanger yang berupaya mengintegrasikan gerakan ini, terutama karya-karya Husserl dan Heidegger, dengan psikoanalisis. Ia lahir di Thurgan, Swiss, dan belajar di berbagai universitas di Lausanne, Heidelberg, dan Zurich, dan meraih gelar dokter medis dari Zurich pada tahun 1907. Pada tahun 1910 Binswanger menggantikan ayahnya menjadi direktur Sanitarium Bellevue Swiss, yang didirikan oleh kakeknya. Menggunakan konsep Heidegger tentang kemenjadian individu di dunia (diterjemahkan dalam bahasa Jerman sebagai Dasein), Binswanger menyebut pendekatannya sebagai Daseinsanalyse. Berpendapat bahwa reduksionisme metode ilmu pengetahuan alam tidak memadai, Binswanger berpaling pada fenomenologi untuk memberikan penjelasan lengkap tentang aktivitas mental. Tujuan Binswanger adalah membuat terapis memahami dunia pasien sesuai pengalaman pasien itu sendiri. Ia membatasi penggunaan analisisnya pada pengalaman saat ini yang ada dalam kesadaran, dan ia meyakini bahwa analisis tersebut harus mengungkap struktur-struktur fenomena yang diinterpretasi oleh setiap konteks makna yang ditetapkan secara individual oleh setiap pasien. Struktur makna fenomenal menggambarkan orientasi setiap individu dalam dunianya terkait proses-proses pikiran, rasa takut dan kecemasan, dan hubungan sosial. Binswanger menerima penekanan psikoanalitik pada manifestasi instingtual dalam perkembangan awal, namun hanya sebatas yang terdapat dalam kesadaran saat ini. Sejalan dengan itu, masa lalu hanya eksis dalam masa kini, dan berkontribusi pada rancangan struktur makna bagi setiap individu. Psikologi Binswanger dan penerapannya dalam psikiatri mengasumsikan bahwa fenomenologi merupakan alat penting bagi penemuan diri esensial setiap individu. Pemahaman atas struktur fenomenal ini mengarahkan proses membantu pasien dalam memodifikasi makna dan interpretasi kehidupan.

GERAKAN MAZHAB KETIGA DI AMERIKA


Seperti sistem psikologi lainnya yang berasal dari Eropa, gerakan mazhab ketiga di Amerika Serikat memiliki wujud yang bervariasi dan eklektik. Beberapa psikolog berupaya memasukkan beberapa prinsip dan implikasi gerakan tersebut dalam orientasi behavioristik dan psikoanalitik yang sudah ada, sedangkan kelompok lain berpegang teguh pada pandangan eksistensialfenomenologis. Meski demikian, dalam semua wujud gerakan mazhab ketiga, pandangan yang umum memiliki kekontrasan dengan pandangan dominan dan reduksionistik behaviorisme materialistik.

Psikologi Humanistik Amerika


Wujud gerakan mazhab ketiga yang dikenal sebagai "psikologi humanistik" adalah kelompok eklektik psikolog Amerika yang mendukung beragam interpretasi kepribadian manusia. Istilah humanistik mencerminkan fokus pada penggambaran psikologi manusia dengan penekanan pada eksistensi dan variabilitas individual, yang sangat berbeda dengan dasar biologis behaviorisme. Kita akan membahas beberapa figur yang mewakili beragam interpretasi dalam psikologi humanistik. Tokoh psikologi humanistik
Gordon Allport Charlotte Buhler Abraham Maslow Rollo May Carl Rogers

Gordon Allport (1897-1967)


Teori kepribadian Gordon Allport dapat diklasifikasikan dalam beberapa sistem psikologi, namun di sini digolongkan sebagai psikologi humanistik karena Allport, terutama di kemudian hari dalam karirnya, mengajukan suatu kerangka kerja yang pada intinya konsisten dengan basis eksistensial gerakan mazhab ketiga. Dalam studinya tentang kepribadian, Allport membedakan antara pendekatan idiografis, yang menekankan pada individu serta variabilitas atau keunikannya, dan pandangan nomotetik, yang menekankan pada kelompok dan meminimalkan perbedaan individual. Dengan mendukung pendekatan idiografik, Allport selalu menekankan keunikan dan kompleksitas individu dan mengemukakan tentang suatu keutuhan yang mendasari kepribadian yang pada akhirnya menentukan kesadaran. Ia menekankan pada diri, atau fungsi ego, dalam kesadaran, yang harus dipahami sebagai manifestasi saat ini dari berbagai integrasi tujuan dengan rasa individual tentang arah masa depan. Mencerminkan eklektisisme humanisme Amerika, Allport menggambarkan kepribadian sebagai sifat, atau predisposisi untuk merespon, yang mirip dengan insting dalam teori Freud dan kebutuhan dalam teori Horney. Sebagai produk warisan genetik dan pembelajaran yang diperoleh, sifat dalam teori Allport adalah struktur mental yang berperan dalam konsistensi perilaku individu. Konsep Allport tentang niat dalam kepribadian adalah yang paling menunjukkan kesamaan dengan pandangan eksistensial-fenomenologis. Konstruk ini terdiri dari aspirasi dan harapan masa kini dan masa depan yang ditetapkan secara individual. Dalam teori kepribadian Allport, niat berperan dalam proses pertumbuhan berkelanjutan menuju kemenjadian. Lebih jauh, niat memberikan keutuhan bagi ego yang menghasilkan perkembangan upaya pribadi, rasa individualitas, dan pencapaian pengetahuan diri.

Charlotte Buhler (1893-1974)


Lahir di Berlin dan mengenyam pendidikan di beberapa universitas di Jerman, Charlotte Buhler adalah mahasiswa Kulpe di Universitas Munich ketika ia meninggal secara mendadak pada tahun1915. Sebagai cendekiawan muda, Karl Buhler, yang bertugas sebagai dokter tentara di pasukan Jerman pada awal Perang Dunia I, datang ke Munich untuk membimbing para mahasiswa pasca sarjana Kulpe. Charlotte dan Karl menikah pada tahun 1916 dan 2 tahun kemudian ia meraih gelar PhD. Pasangan Buhler tersebut berkontribusi bagi semakin meningkatnya reputasi psikologi dalam atmosfer intelektual yang menggairahkan di Wina di masa antara dua perang dunia. Pada tahun 1924 hingga tahun 1925, Charlotte Buhler belajar dengan beasiswa di Universitas Columbia, di mana ia bertemu dengan banyak psikolog Amerika terkemuka di masa itu. Ketika kembali ke Wina dengan membawa hadiah penelitian selama 10 tahun, ia berada dalam jalur untuk membangun reputasinya sebagai pelopor dalam pendekatan humanistik terhadap psikologi perkembangan sepanjang hidup. Kehidupan suami istri Buhler di Wina dirusak secara kejam oleh gerakan Nazi di Austria yang kemudian berlanjut dengan aneksasi Jerman. Karl Buhler sempat dipenjara untuk waktu singkat, dan setelah dibebaskan pada tahun 1939, keluarga Buhler hijrah ke Norwegia sebelum akhirnya ke Amerika Serikat. Setelah beberapa tahun menjabat beberapa posisi klinis untuk waktu singkat di beberapa tempat di Amerika Serikat, keluarga Buhler pindah ke California pada tahun 1945, dan Charlotte bekerja sebagai psikolog klinis di Rumah Sakit Wilayah Los Angeles dan bekerja paruh waktu sebagai pengajar di Universitas California Selatan. Pada tahun 1953 hingga 1972 ia membuka praktek pribadi di Los Angeles. Perspektif Charlotte Buhler tentang perkembangan menekankan bahwa pertumbuhan yang sehat memiliki tujuan psikologis. Hal sentral dalam pandangan Charlotte Buhler tentang kepribadian adalah keyakinannya tentang pentingnya keseimbangan harmonis dalam kecenderungan dasar untuk memuaskan kebutuhan, adaptasi yang terbatas, ekspansi kreatif, dan menjaga suatu keteraturan internal. Hanya yang pertama yang mencakup suatu kepasifan, dan pertumbuhan sepanjang hidup memerlukan keterlibatan aktif dalam tiga kecenderungan berikutnya. Konseptualisasi ini mendahului "hirarki kebutuhan" Maslow, dan Buhler menekankan bahwa proses ini terus berlanjut sepanjang hidup.

Abraham Maslow (1908-1970)


Figur besar lainnya dalam psikologi humanistik Amerika adalah Abraham Maslow (yang kadang disebut sebagai penggerak utama dalam populerisasi pendekatan ini. Ia mengembangkan pandangan tentang kepribadian yang sangat dipengaruhi oleh eksistensialisme Eropa. Pandangan Maslow didasarkan pada kerangka motivasional yang berisi suatu hirarki kebutuhan, dari tingkat biologis primitif hingga ke pengalaman kesejatian manusia. Contohnya, kebutuhan fisiologis berupa rasa haus dan lapar harus dipenuhi sebelum memikirkan kebutuhan akan rasa aman. Bila kebutuhan tersebut telah terpenuhi, individu melanjutkan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan cinta dan kepemilikan, kemudian kebutuhan akan harga diri, kebutuhan akan pengetahuan, dan akhirnya kebutuhan akan keindahan. Proses pertumbuhan pribadi sepanjang hidup melalui pemuasan kebutuhan progresif disebut sebagai "aktualisasi diri" oleh Maslow. Hasil semestinya dari aktualisasi diri adalah kepribadian harmonis, talenta individu yang termanfaatkan sepenuhnya, kemampuan intelektual, dan kesadaran diri.

Rollo May (1909-1994)


Setelah meraih gelar PhD dari Universitas Columbia pada tahun 1949, Rollo May membuka praktek pribadi di Kota New York. Existence: A New Dimension in Psychology and Psychiatry, sebuah buku yang diedit oleh May pada tahun 1958, merupakan salah satu introduksi pertama tentang potensi penerapan prinsip-prinsip eksistensial dalam psikoterapi dan teori kepribadian. Dalam dua bab awal Existence, May menulis suatu argumen rinci yang mendukung konsep bahwa interpretasi eksistensial aktivitas manusia memberikan arah yang dibutuhkan bagi penelitian psikologi; yakni, psikologi menghendaki pemahaman lengkap tentang pengalaman manusia yang dialami sebagai isu-isu manusia yang unik berupa kehendak, memilih, dan berkembang.

Carl Rogers (1902-1987)


Mungkin merupakan psikolog humanistik yang paling populer, tulisan-tulisan Carl Rogers tentang penerapan klinis sangat dipuji. "Terapi client-centered" yang dikembangkannya menyatakan bahwa terapis harus membangun hubungan yang sangat pribadi dan subjektif dengan klien, dan bertindak bukan sebagai ilmuwan atau dokter, namun sebagai seseorang yang berinteraksi dengan orang lain. Bagi klien, konseling merupakan penggalian atas perasaan-perasaan asing, tidak dikenal, dan berbahaya, yang hanya dimungkinkan jika klien diterima apa adanya (unconditional) oleh terapis. Karena itu terapis harus berupaya merasakan apa yang dirasakan klien seiring klien berkembang menuju penerimaan diri. Hasil hubungan empatik ini adalah klien semakin menyadari perasaan dan pengalaman yang sejati, dan konsep dirinya menjadi sesuai dengan totalitas eksistensinya. Pandangan-pandangan Rogers tentang kepribadian pada dasarnya bersifat fenomenologis dalam arti ia memfokuskan pada diri yang menjalani pengalaman. Individu dianggap eksis pada awalnya sebagai bagian dari bidang fenomenal pengalaman, dan struktur konseptual diri harus dibedakan dari seluruh bidang tersebut melalui diperolehnya pengetahuan diri. Maka kemudian diri berisi konsep-konsep terorganisasi dan konsisten yang didasarkan pada persepsi atas karakteristik "saya" atau "aku" dan persepsi atas hubungan "saya" dengan orang lain. Setelah struktur konseptual diri diketahui dan diterima, maka individu sepenuhnya bebas dari ketegangan dan kecemasan internal.

Kelompok Duquesne
Pandangan psikologi eksistensial-fenomenologis yang paling konsisten di Amerika berasal dari para psikolog yang berpusat di Universitas Duquesne di Pittsburgh. Banyak tulisan para cendekiawan Eropa diterbitkan ulang oleh Universitas Duquesne, yang pada awalnya mensponsori penerbitan penelitian terkini dalam Review of Existensial Psychology and Psychiatry. Sejak awal tahun 1970-an, Departemen Psikologi di Duquesne mensponsori Journal of Phenomenological Psychology. Sebagai pusat psikologi eksistensial-fenomenologis yang paling aktif di Amerika, kelompok Duquesne mewakili orientasi yang cukup unik dalam eklektisisme yang dominan di kalangan akademia psikologi Amerika. Kekuatan inspirasional kelompok Duquesne adalah Adrian van Kaam (b. 1920), yang berasal dari Belanda, yang merupakan anggota ordo pendeta yang mendirikan Duquesne. Ia mendukung revisi psikologi berdasarkan prinsip-prinsip eksistensialisme, lepas dari batasan reduksionisme model dan metode ilmu pengetahuan alam. Pernah belajar bersama para pemimpin gerakan mazhab ketiga di Amerika, seperti Rogers dan Maslow, van Kaam mendirikan sebuah institut di Duquesne yang dirancang untuk menggali perkembangan spiritualitas. Ia memimpin institut tersebut hingga tahun 1980. Ajakan bagi lebih banyak penekanan fenomenologis dalam penelitian psikologi konsisten dengan definisi psikologi yang sejatinya sebagai ilmu pengetahuan manusia. Mantan anggota kelompok Duquesne adalah Amedeo Giorgi (b. 1931), yang menjalani pelatihan sebagai psikolog eksperimental di Universitas Fordham. Giorgi mengusulkan pendekatan yang lebih terbuka terhadap psikologi dalam karyanya Psychology as a Human Science yang diterbitkan pada tahun 1970. Ia menyimpulkan bahwa psikologi harus menjadikan individu manusia sebagai subjek pembahasannya yang "harus didekati dalam kerangka rujukan yang juga manusiawi, a.l., kerangka rujukan yang tidak mengacaukan fenomena manusia sebagai individu" (hal 224-225). Meskipun gambaran tentang aktivitas penelitian kelompok Duquesne di luar lingkup pembahasan kita saat ini, namun penting untuk memahami bahwa orientasi dalam psikologi Amerika ini menghasilkan manfaat dari keragaman perspektif dalam karakteristik penelitian psikologi.

Gerakan Mazhab Ketiga


Sebagai penutup bab ini, menarik untuk dicatat adanya kesamaan pengaruh antara gerakan mazhab ketiga dan psikoanalisis sebagai sistem psikologi. Wujud yang paling jelas dari kedua sistem tersebut berasal dari Eropa, dan dampaknya di Amerika utamanya melalui penerapan klinis. Kedua sistem tersebut kurang memiliki basis empiris, sehingga daya tariknya hanya terbatas pada psikologi arus utama di Amerika. Lebih jauh, kedua sistem tersebut mengalami perpecahan karakteristik dalam berbagai wujud kontemporernya. Meski demikian, gerakan mazhab ketiga, tidak seperti psikoanalisis, tidak pernah memiliki figur rujukan yang diterima luas, sebuah peran yang dimiliki oleh Freud dalam psikoanalisis. Memang, fondasi filosofis gerakan mazhab ketiga berisi kumpulan beragam tulisan, mulai dari karya-karya sastra hingga sistem eksistensi manusia yang komprehensif. Dalam psikologi Amerika, gerakan mazhab ketiga memengaruhi pandanganpandangan psikologi, terutama dalam penerapan terapiutik, namun bukan merupakan alternatif serius bagi dominasi pandangan behavioristik.

Anda mungkin juga menyukai