Anda di halaman 1dari 21

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/341463915

PENYIMPANGAN SEKSUAL JENIS, PENYEBAB, DAN PENANGANANNYA

Article · May 2020

CITATIONS READS
0 14,235

1 author:

Ester Lianawati
Hypatia- Centre de recherches sur la psychologie féministe (Pusat Penelitian dan Kajian Psikologi Feminis)
31 PUBLICATIONS   5 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Legal psychology View project

socials representations View project

All content following this page was uploaded by Ester Lianawati on 18 May 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENYIMPANGAN SEKSUAL   
JENIS, PENYEBAB, DAN PENANGANANNYA 

Oleh : Ester Lianawati 

Ilustrasi : M
​ an on all fours in red jacket with fully clothed woman riding him​, dari 
koleksi Richard von Krafft-Ebing (1840-1902), profesor psikiatri di Graz dan Vienna. 
Sumber : Wikipedia. 

 
 

Sekilas Tentang Penulis 

Ester  Lianawati  adalah  psikolog  lulusan  Fakultas  Psikologi  Unika  Atma  Jaya 
Jakarta  yang  menyelesaikan program S2 di Kajian Wanita dan Gender Universitas 
Indonesia.  Sedang  menempuh  pendidikan  S3  dengan  fokus  penelitian  pada 
representasi sosial dan kekerasan dalam rumah tangga.  

Tercatat  sebagai  staf  pengajar  di  Fakultas  Psikologi  UKRIDA  Jakarta,  menetap  di 
Perancis sejak tahun 2012. 

Pendiri  asosiasi  LOUVE,  serigala  betina.  Karena  ia  meyakini  ​ada  serigala  betina 
dalam diri setiap perempuan​.  

Tulisan-tulisannya  mengenai  psikologi  dan  feminisme,  dengan  sentuhan 


Perancis, dapat dinikmati di blog pribadinya : w
​ ww.esterlianawati.wordpress.com​.  

Normandie, Mei 2020 

   

1
DAFTAR ISI 

Mengenal Jenis-jenis Penyimpangan Seksual, hal 2 

Penyimpangan Seksual, Apa Penyebab & Bagaimana Penanganannya? hal 8 

Pedofilia, Penyebab dan Penanganannya, hal 13 

Sekilas Tentang Penulis, halaman 1 

2
MENGENAL JENIS-JENIS PENYIMPANGAN SEKSUAL 

Paraphilia  berasal  dari  kata  ​para  yang  artinya  penyimpangan  dan  ​philia  ​yang 
berarti  cinta atau ketertarikan. ​Paraphilia dapat diartikan sebagai penyimpangan 
objek  ketertarikan  seksual.  Tetapi  sejak beberapa tahun ini, paraphilia cenderung 
didefinisikan  sebagai  ketertarikan/ketergugahan  seksual  pada 
objek/situasi/individu/fantasi yang tidak biasa atau tidak lazim. 

(Khususnya  sejak  tahun  2015,  dalam  buku  panduan  diagnostik  dan  statistik 
gangguan  mental  edisi  ke-5  (DSM  V),  paraphilia  hanya  dinyatakan  sebagai 
minat/ketertarikan  objek  seksual  yang  tidak  lazim).  DSM  V  membedakan  antara 
paraphilia  (ketertarikan  pada  objek  seksual  yang  tidak  lazim)  dan  gangguan 
paraphilia. 

Paraphilia  menjadi  gangguan  jika  sudah  mengganggu  orang  ybs  dalam 


keberfungsiannya  sehari-hari  (menimbulkan  stres,  menghambatnya  dalam 
hubungannya  dengan  orang  lain,  dll),  dan  tentu  saja  jika  mengganggu  dan 
membahayakan orang lain. 

Perilaku  seksual  seseorang  bisa  dikatakan  tidak  lazim  jika ketertarikannya secara 


seksual  adalah  pada  salah  satu  dari  berikut  ini  :  (a)  bukan  manusia,  (b)  orang 
dewasa  yang  tidak  memberikan  persetujuannya  dalam  aktivitas  seksual  tsb,  (c) 
anak-anak,  dan  (d)  tindakan  seksual  yang  mempermalukan  atau  menyiksa 
dirinya ataupun partner seksualnya. 

Dalam  bukunya  mengenai  gangguan  seksual,  Anil  Aggrawal,  profesor 


kedokteran  forensik dari India membuat daftar 547  objek ketertarikan atau fokus 
minat seksual yang tidak lazim. 

Paraphilia  mungkin  terdengar  asing  di  telinga  kita,  padahal  (dan  sangat  saya 
sesali)  perempuan  dalam  perjalanan  hidupnya  setidaknya  satu  atau  beberapa 
kali  terpaksa berhadapan dengan orang yang mengalami penyimpangan seksual 
(sebagian  besar  penderita  gangguan  ini  adalah  pria,  dengan  korban  sebagian 
besar adalah perempuan). 

Semisal  di  dalam bus atau kendaraan umum, perempuan rentan menjadi korban 


frotteurism.  ​Frotteurism  adalah  ​penyimpangan  seksual  dimana  individu 

3
memiliki  fantasi  dan  dorongan  seksual  serta  melakukan  tindakan  menyentuh 
atau  menggesekkan  alat  kelaminnya  pada  seseorang.  ​Frotteurism  banyak 
dilakukan  di  kendaraan  umum  yang  penuh  sesak  dimana  pelaku  dapat 
menggesekkan alat kelaminnya dengan alasan penuhnya penumpang. 

Barangkali  juga  ada  yang  pernah  ditelepon  oleh  nomor  tidak  dikenal  dan 
tiba-tiba  suara  di  seberang  sana  mengucapkan  kata-kata  tidak  senonoh.  Nama 
ilmiahnya  untuk  tindakan  melakukan  telepon  cabul  ini  adalah  ​telephone 
scatologia​. 

Menulis  tentang  paraphilia  ini,  saya  jadi  teringat  kasus  Reynhard  Sinaga 
beberapa  waktu  lalu.  Saya  jadi  bertanya-tanya  apa  ia  mengalami  gangguan  ini 
khususnya yang dinamakan ​somnophilia​. 

Istilah  ​somnophilia  (dari  bahasa  latin,  somnus  :  tidur)  pertama  kali  dicetuskan 
oleh  ahli  seksologi  bernama  John  Money  (1986)  untuk  menyebut  orang  yang 
terangsang  secara  seksual  dengan  orang yang dalam keadaan tidak sadar, entah 
dalam keadaan tertidur atau dalam pengaruh obat. 

Kepasifan  si  "korban"  inilah  yang  membuatnya  bergairah  dan  membantunya 


mencapai  orgasme.  ​Somnophilia  disebut  pula  sebagai  ​sleeping  princess 
syndrome d
​ an ​sleeping beauty syndrome​. 

Berikut ini beberapa jenis lain dari paraphilia : 

Fetishism​,  yaitu  paraphilia  dimana  seseorang  mengalami  rangsangan  seksual 


ataupun berfantasi seksual dengan melihat benda-benda mati (​fetish​). 

Biasanya  ​fetishism  terjadi  pada  pria  yang  terangsang  bila melihat pakaian dalam 


wanita,  sepatu  boot,  ​stocking​,  dan  benda-benda  lain  yang  umumnya 
dimiliki/dikenakan wanita. 

Penderita  ​fetishism  dapat  melakukan  hubungan  seksual  secara  "normal" namun 


umumnya benda-benda ini harus ada agar ia dapat terangsang secara seksual. 

Fetishism  bersifat  kompulsif  maksudnya  ditandai  dengan  dorongan  ketertarikan 


yang  sangat  kuat  terhadap  objek-objek  ini,  yang  sulit  dikendalikan,  dan 
sebenarnya di luar kehendak orang tsb. 

4
Bedakan  dengan  pria  "normal"  yang  menemukan  bahwa  sepatu  hak  tinggi  itu 
kesannya  seksi  dan  sensual.  Ini  tidak  dapat  disebut  sebagai  ​fetishism  ​kecuali  ia 
membutuhkan  sepatu  hak  tinggi  itu  untuk  dapat  merasakan  gairah  ataupun 
kepuasan seksual. 

Secara  khusus  dinamakan  ​transvestic  fetishism  atau  ​transvestism  bila  pria 


heteroseksual  mengalami  rangsangan  seksual  dan  mendapatkan  kepuasan 
seksual  dengan  mengenakan  pakaian  wanita.  Biasanya  ​transvestism  dilakukan 
secara sembunyi-sembunyi. 

Voyeurism​,  yaitu  ​paraphilia  di  mana  individu  merasakan dorongan seksual yang 


sangat  kuat  dan  mendapatkan  kepuasan  seksual  dengan  mengamati seseorang 
sedang  melepaskan  pakaian  ataupun  yang  sedang  melakukan  hubungan 
seksual tanpa diketahui oleh orang yang bersangkutan. 

Kepuasan  seksual  dapat  diperoleh  bukan  hanya  dengan  melakukan  tindakan 


mengintip  tersebut,  tetapi  dengan  melakukan  masturbasi  selama  mengintip 
ataupun setelah mengintip sambil mengingat adegan yang ia intip. 

Pria  'normal'  bisa  saja  punya  fantasi  ​voyeuristic  tetapi  selama  fantasi  ini  tidak 
pernah dilakukan, ia tidak bisa disebut mengalami gangguan v
​ oyeurism​. 

Exhibitionism​,  yaitu  ​paraphilia  dimana  individu  memiliki  fantasi  dan  dorongan 


seksual,  serta  mendapatkan  kepuasan  seksual  dengan  memperlihatkan  alat 
kelaminnya kepada orang lain. 

Pada  sebagian  besar  kasus,  kepuasannya  justru  bukan  karena  "memperlihatkan 


alat  kelamin"  tetapi  karena  dengan  memperlihatkan  alat  kelaminnya,  ia  berhasil 
membuat perempuan syok. 

Terkadang  pelaku  juga  melakukan  masturbasi  sambil  memperlihatkan  alat 


kelaminnya tersebut. 

Dorongan  melakukan tindakan ini begitu kuat sekaligus mengganggu penderita. 
Bukan  sekedar  dorongan  seksual  yang  membuatnya  melakukan  tindakan  ini 
tetapi juga kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan dalam dirinya. 

Sebagian  penderita  mengalami  sakit  kepala  hebat,  jantung  berdetak  sangat 


kencang,  dan  seperti  sedang  dalam  mimpi  (berada  di  luar  kenyataan)  ketika 

5
sedang  melakukan  aksinya.  Kebanyakan  merasa  malu  dan  bersalah  setelah 
melakukan  aksinya.  Tetapi  karena  dorongan  yang  ada  sulit  dikendalikan, 
biasanya mereka akan kembali melakukannya. 

Sexual  sadism​,  yaitu  penyimpangan  seksual  dimana  individu  memiliki  fantasi 


dan  dorongan  seksual  serta  mendapatkan  kepuasan  seksual  dengan melakukan 
tindakan  yang  menyakitkan  secara  fisik  maupun  psikologis  terhadap  pasangan 
seksualnya.  

Tindakan  sadis  secara  fisik  yang  dapat  dilakukan  adalah  memukul,  mencambuk 
dengan  ikat  pinggang  atau  tambang,  menggunakan  tegangan  listrik,  menyayat 
dengan  pisau  atau  benda  tajam  lainnya,  atau  membuat  pasangan  sulit  bernafas 
dengan mencekik atau menjerat leher pasangan.  

Tindakan  terakhir  sering  disebut  dengan  ​hypoxyphilia  (​autoerotic  asphyxiation​) 


karena kurangnya oksigen akibat tindakan tersebut.   

Tindakan  sadis  secara  psikologis  dapat  dilakukan  dengan  memberikan  peran 


budak  kepada  pasangan,  menjadikan  pasangan  sebagai  bayi  tak  berdaya  yang 
harus  menggunakan  popok,  mempermalukan  pasangan  dengan  mengencingi 
atau  membuang  air  besar  di  tubuh  pasangan,  memasang  kalung  anjing  serta 
memperlakukan pasangan sebagai anjing, dll.  

Sexual masochism​, yaitu suatu penyimpangan seksual dimana individu memiliki 
fantasi  dan  dorongan  seksual  serta  mendapatkan  kepuasan  seksual  apabila 
menerima  tindakan  yang  menyakitkan  secara  fisik  maupun  psikologis  dari 
pasangan seksualnya.  

Tindakan  menyakitkan  yang  dapat  diterima  sama  dengan  tindakan  yang 


dilakukan  dalam  ​sexual  sadism​.  Bedanya  hanya  dalam  peran  yang  dilakukan. 
Dalam s​ exual masochism​, enderita gangguan menerima perlakuan sadis.  

Kata  ​masochism  diambil  dari  nama  penulis  sekaligus  ahli  sejarah  dan  jurnalis 
Leopold  Baron  von  Sacher-Masoch.  Ia  menulis  tentang  pria  yang  dipermalukan 
secara  seksual  oleh  perempuan  (tokoh  perempuan  ini  sebenarnya  tokoh 
utamanya).  Sacher-Masoch  sendiri  semasa  kanak-kanak  pernah  menyaksikan 
bibinya sedang mencambuk pamannya ketika berhubungan seksual.  

6
Sedangkan  istilah  sadisme  dari  penulis  Prancis  bernama  Marquis  de  Sade  yg 
menulis  tentang  kepuasan  seksual  yang  diperoleh  dengan  melakukan 
kekejaman.  

Adalah  Krafft-Ebing,  seorang  physician  Jerman-Austria  yang  menggabungkan 


istilah ​sadism-masochism​ ini dalam karyanya P
​ sychopathua Sexualis​ (1886).  

Perlu  diketahui  bahwa  melakukan  aktivitas-aktivitas  ​sadism-masochism  bukan 


berarti  seseorang  menderita  gangguan  tsb.  Bisa  jadi  seseorang  terpaksa 
melakukannya  untuk  memuaskan  pasangan  atau  dipaksa  oleh  pasangan. Untuk 
dapat  disebut  mengalami  penyimpangan,  orang  ybs  harus  punya  dorongan 
seksual  dalam  dirinya  sendiri  untuk  melakukan  hal  itu  dan  mendapatkan 
kepuasan seksual dari tindakan tsb.  

Jangan  pula  membayangkan  bahwa  pelaku  ​sexual  sadism  adalah  laki-laki  dan 
sexual  masochism  adalah  perempuan.  Ini  adalah  gambaran  mental  kita  karena 
terbiasa  mengasosiasikan  perempuan  dengan  kepasifan,  dan  juga  kita  berpikir 
ala  heteroseksual.  Dengan  berbagai  alasan,  kita  sering  mengabaikan 
pasangan-pasangan homoseksual.  

Pedophilia​,  yaitu  gangguan  pada  individu  yang  memiliki  dorongan  dan  fantasi 
seksual  serta  melakukan  tindakan  seksual  terhadap  anak-anak  pra  remaja 
(umumnya berusia 13 tahun ke bawah).  

Subjek  pelaku  harus  di  atas  16  tahun  atau  setidaknya  5  tahun  lebih  tua 
dibandingkan korban (anak) untuk dapat disebut sebagai pedofil.  

Beberapa  contoh  lain  paraphilia  yang  juga  cukup  banyak  ditemukan  adalah 
necrophilia  (dengan  mayat),  zoophilia  (hewan),  dan  coprophilia/scatophilia 
(kotoran manusia).  

7
  

PENYIMPANGAN SEKSUAL,  

APA PENYEBAB DAN BAGAIMANA PENANGANANNYA? 

 
Dalam  tulisan  sebelumnya,  kita  sudah  mengenal  jenis-jenis  penyimpangan 
seksual (​paraphilia​). Di sini akan saya paparkan dari tinjauan psikologis mengenai 
penyebab yang mungkin dari gangguan ini.   
 
Psikologi  menjelaskan  gangguan  penyimpangan  seksual  secara  garis  besar  dari 
tiga sudut pandang : psikoanalisis, perilaku (​behavioral psychology​), dan kognitif.  
 
Tinjauan Psikoanalisis 
 
Dari  tinjauan  psikoanalisis, ​paraphilia merupakan upaya perlindungan ego untuk 
menghadapi  ketakutan  dan  memori  yang  ditekan.  Paraphilia  merupakan 
penghidupan kembali secara simbolik trauma-trauma di masa kanak-kanak.  
 
Maksudnya  penyimpangan  yang  dilakukan  saat  ini  merupakan  gambaran  dari 
apa  yang  ia  sendiri  telah  alami.  Tujuannya  adalah  sebagai  pembalasan  dendam 
kepada orang dewasa yang telah menyakitinya ketika ia masih anak-anak.  
 
Masih  dalam  pandangan  psikoanalisis,  ​paraphilia  bisa  jadi  juga  disebabkan  oleh 
masalah-masalah  dalam  proses  perkembangan  psikoseksual.  Dalam  hal  ini  bisa 
ada  dua  bentuk  :  seseorang  ter-fiksasi  pada  tahap  pregenital  (sehingga  tidak 
bergerak  ke  tahap  selanjutnya),  atau  ia  melakukan  regresi  (mundur  kembali)  ke 
tahap ini.  
 
Tetapi  penjelasan  ini  bagi  saya  menimbulkan  pertanyaan  kembali  mengapa 
orang  tsb  dapat  mundur  ke  tahap  ini?  Ada  apa,  apa  yang  ia  alami  sehingga  ia 
mundur  ke  tahap  ini?  Selain  itu,  mereka  yang  melakukan  regresi  ke  tahap 
pre-genital juga tidak semuanya melakukan penyimpangan seksual.  
 
Penjelasan  lain  dari  psikoanalisis  adalah  bahwa  penderita  mengalami  ​castration 
anxiety  yaitu  kekhawatiran  kalau-kalau  akan  dikastrasi  sehingga  takut 

8
berhubungan  dengan  perempuan  dewasa.  Kecemasan  ini  dianggap  dapat 
menjelaskan  beberapa  gangguan  paraphilia  seperti  ​fetishisme​,  voyeurisme,  dan 
pedofilia.  
 
Mengenai  ​exhibitionism​,  psikoanalisis  menjelaskan  ​gangguan  ini  ​sebagai  cara 
seseorang  meyakinkan  diri  akan  kejantanannya.  Hal  ini  sebenarnya  lebih  terkait 
dengan  rasa  rendah  diri,  dapat  pula  dijelaskan  dari  sudut  pandang  ​behavioral 
psychology​. 
 
Pendekatan B
​ ehavioral Psychology 
 
Berdasarkan pendekatan ​behavioral​, mereka yang mengalami penyimpangan ini 
umumnya  memang  pria-pria  yang  rendah  diri.  Akibatnya  mereka  kurang 
memiliki  kecakapan  sosial  sehingga  tidak  mampu  menjalin  relasi  yang  normal 
dengan orang dewasa.  
 
(Dapat  pula  terjadi  sebaliknya.  Harga  diri  merupakan  persoalan  berbentuk 
lingkaran  setan.  Karena  rendah  diri,  orang  jadi  enggan  bergaul.  Karena  jarang 
bergaul,  tidak  ada  yang  memberinya  penguatan  (pujian)  akan 
kompetensi-kompetensinya  sehingga  ia  akan  semakin  meyakinkan  diri  bahwa 
dirinya tidak berharga/tidak memiliki kelebihan ).  
 
Ketidakmampuan  menjalin  relasi  yang  normal  dengan  orang  dewasa  tentu 
menghambat  seseorang  untuk  dapat  memiliki  relasi  seksual  yang  “normal”  pula 
sehingga paraphilia pun akhirnya menjadi pengganti.  
 
Namun  dalam  hal  ini  tidak  ada  penjelasan  spesifik  mengapa  seseorang  yang 
rendah  diri  bisa  mengembangkan  minat  seksual  pada  objek  tertentu  dan  tidak 
pada  objek  lain,  mengapa  paraphilia  yang  terbentuk  adalah  ​voyeurism  dan 
bukan f​ rotteurism​ misalnya.  
 
Faktor  kedua  ini  mungkin  lebih  bisa menjelaskan, yaitu yang dinamakan dengan 
hipotesis  pemasangan  orgasme  (​orgasm-conditioning  hypothesis​).  Tanpa 
disengaja/disadari,  mereka  menghubungkan  rangsangan/ketergugahan  seksual 
dengan objek-objek yang tidak lazim.  

9
 
Contohnya  saja,  seseorang  melakukan  masturbasi  di  depan  gambar  perempuan 
yang  mengenakan  boot.  Masturbasi  berujung  pada  kepuasan  seksual.  Jika 
dilakukan  berulang-ulang,  kenikmatan  seksual  akan  “terpasangkan”  dengan 
sepatu  boots.  Sepatu  boots  pun  dapat  menjadi  objek  yang  kemudian 
membangkitkan gairah seksual.  
 
Ketiga,  rantai  kekerasan  (​victim-abuser  cycle​).  Pengalaman  masa  kanak-kanak 
sebagai  korban  pedofilia  ditengarai  sebagai  penyebab utama seseorang menjadi 
pedofil.  
 
Mekanismenya  dapat  terjadi  dengan  ​observational  learning​,  yakni  belajar 
dengan  mengamati  :  Ketika  melihat  bahwa  pelaku  mendapatkan  kepuasan 
seksual  dari  tindakannya,  mereka  pun  belajar  bahwa  kepuasan  seksual  dapat 
diperoleh dari anak-anak.  
 
Rantai  kekerasan  ini  dapat  dijelaskan  pula  dari  akibatnya.  Salah  satu  dampak 
yang  dialami  anak  akibat  pelecehan/kekerasan  seksual  adalah  mengalami  rasa 
rendah  diri.  Sebenarnya  dampaknya  jauh lebih kompleks dari ini. Ada kekacauan, 
kegelisahan  dalam  diri  korban  pelecehan/kekerasan  seksual  pada  anak-anak, 
yang akan menghambat perkembangan psikososial mereka kelak.  
 
Secara  lebih  sederhana  dapat  dikatakan  bahwa  mereka  mengalami  rendah  diri, 
dan  cenderung  menutup  diri.  Akibatnya  mereka  kurang  memiliki  keterampilan 
untuk  membina  hubungan  dengan  rekan  sebaya. Hal ini akan membuat mereka 
merasa lebih rendah diri lagi.  
 
Dalam  kondisi  ini,  tidak  ada  yang  lebih  nyaman  selain  berinteraksi  dengan 
anak-anak,  yang  mudah  didekati  tanpa  melakukan  perlawanan  sebagaimana 
dahulu  yang  telah  mereka  alami  sendiri  sebagai  korban.  Menguasai  anak, 
mengancam,  dan  memanipulasinya,  merupakan  suntikan  bagi  harga  diri  para 
pedofil. 
 
Tetapi  sejumlah  penelitian  menunjukkan  bahwa  hanya  sepertiga  dari  pelaku 
pedofilia  yang  pernah  menjadi  korban  pelecehan/kekerasan  seksual  pada  masa 

10
kanak-kanak.  Hubungan  yang  terganggu  antara  anak  dengan  orangtua  diyakini 
lebih dapat menjelaskan penyimpangan perilaku seksual.  
 
Hubungan  yang  tidak  baik,  yang  penuh kemarahan, kebencian, agresivitas (tidak 
harus  fisik,  bisa  jadi  verbal)  dapat  mengembangkan  sikap  dan  perilaku  negatif 
anak  serta  ketidakmampuan  berempati.  Ini  yang  membuat  kelak  ia  tidak  peduli 
akan dampak perbuatannya pada korban. 
 
Penjelasan Psikologi Kognitif 
Secara  kognitif,  tampaknya  para  pelaku  penyimpangan  seksual  mengalami 
distorsi  kognitif  :  punya pikiran-pikiran/ide-ide yang terganggu; pemaknaan yang 
terganggu akan sesuatu hal.  
 
Mereka  yang  melakukan  voyeurisme  bisa  jadi  akan  mengatakan  bahwa 
perempuanlah  yang  sengaja  membuat  celah  pada  pintu  atau  jendela  karena 
ingin diintip. 
 
Seorang  ​exhibitionist  akan  melakukan  minimalisasi  konsekuensi,  seperti, 
”Bagaimana saya bisa dibilang melukainya, saya bahkan tidak menyentuhnya.” 
 
Yang  melakukan  pembenaran  juga  tidak  sedikit,  ”Saya  pernah  mengalami 
pelecehan  seksual,  karena  itu  saya  jadi pelaku saat ini.” Atau penyangkalan, ”Saya 
hanya  ingin  mengajarkannya  pendidikan seks, yang ayahnya sendiri belum tentu 
bisa memberikannya.” 
 
Saya  pribadi  lebih  melihat  distorsi  kognitif  ini  bukan  sebagai  penyebab  tetapi 
lebih kepada salah satu karakteristik yang mereka tampilkan.  
 
Penanganan Kasus-kasus Penyimpangan seksual 
 
Penanganan  kasus-kasus  penyimpangan  seksual  biasanya  akan  bergantung 
pada  pendekatan  yang  digunakan  terapis.  Terapis  yang  menggunakan 
psikoanalisis  akan  menggali  lebih  dalam  mengenai  masa  lalu  orang  ybs.  Jika 
persoalannya  adalah  masalah  rendah  diri  karena  figur  ayah  terlalu  kuat,  klien 
akan dibantu menyelesaikan kompleks Oedipus yang tidak selesai. 

11
 
Mereka  yang  mengadopsi  perspektif  ​behavioral  akan  melakukan  ​aversion 
therapy  ​dengan  variasi  bentuknya.  Dalam  terapi  ini,  klien  akan  diajarkan  untuk 
jadi  tidak  menyukai  aktivitas  penyimpangan  seksualnya  (​aversion  bisa  diartikan 
sebagai  keengganan,  ketidaksukaan).  Jika  tadinya  aktivitas  ini  membawa 
kenikmatan  bagi  si  klien,  sekarang  aktivitas  ini  akan  dibuat  jadi  tidak 
menyenangkan.  
 
Klien  akan  diberikan  tegangan  listrik  (disetrum)  atau  diberikan  obat  yang  bisa 
menimbulkan  rasa  mual  sambil  melihat  sepatu  boot/gambar  anak  kecil 
(disesuaikan  dengan  kasus)  dll.  Lama  kelamaan  klien  akan  mengasosiasikan 
sepatu  boot  sebagai  sesuatu  yang  tidak  menyenangkan. Diharapkan selanjutnya 
ia tidak lagi punya ketertarikan seksual terhadap sepatu boot. 
 
Salah  satu  variasi  dari  ​aversion  therapy  adalah  ​covert  sensitization​.  Dalam  terapi 
ini,  klien  diminta  untuk  membayangkan  situasi  di  mana  ia  mengalami 
rangsangan  seksual  untuk  objek-objek  tertentu,  dan diminta untuk merasa tidak 
nyaman  atas  perasaan  terangsang tsb (entah dengan membayangkan hukuman 
atau konsekuensi negatif dari tindakannya).  
 
Versi  lain  dari ​covert sensitization adalah dengan menyebarkan bau busuk dalam 
ruangan saat klien sedang membayangkan tindakan penyimpangan seksual.  
  
Ada  pula  teknik  yang  dinamakan  dengan  ​satiation  (kepenuhan,  kekenyangan). 
Klien  diminta  untuk  tidak  berhenti  bermasturbasi  meski  sudah  mencapai 
ejakulasi  sambil  terus  membayangkan  (dan  bahkan  diminta  untuk  berbicara 
dengan suara lantang) fantasi-fantasi penyimpangan seksual.  
 
Idenya  adalah  terus  bermasturbasi  sementara  sudah  ejakulasi  akan 
menimbulkan  perasaan  tidak  enak,  selanjutnya  fantasi-fantasi  penyimpangan 
tadi  akan  terasosiasikan  dengan  ketidaknyamanan  ini  sehingga  klien  tidak  ingin 
melakukannya lagi.  
 
Dari  pendekatan  kognitif, klien akan dibantu untuk mengubah pola pikir mereka. 
Contohnya  saja  kepada  klien  yang  pedofil  akan  diminta  berfantasi  seksual 

12
tentang  anak  namun  mengubah  akhir  cerita  sekreatif  mungkin  asalkan  bukan 
lagi berhubungan seksual dengan anak.  
 
Pendekatan  kognitif  dan  ​behavioral  dapat  digabungkan.  Mereka  yang  terbatas 
dalam  keterampilan  interpersonalnya  akan  dibantu  untuk mengembangkannya. 
Mereka  juga  belajar  meningkatkan  harga  diri  dengan  menemukan  dan 
mengolah  kelebihannya.  Kemampuan  mengelola  stres  dan  menyelesaikan 
masalah akan diajarkan. 
 
Secara khusus mengenai penanganan pedofilia dapat dibaca di bawah ini.  
 
 
PEDOFILIA, PENYEBAB DAN PENANGANANNYA 
 
 
Dalam  tulisan  sebelumnya,  kita  sudah  mengenal  beberapa  jenis  penyimpangan 
seksual.  Salah  satu  penyimpangan  seksual  yang  mungkin  paling  sering  kita 
dengar adalah pedofilia.  
 
Sebelum  adanya  pandemi  Covid-19,  Prancis sebenarnya sedang dihebohkan oleh 
praktik  pedofilia  di  kalangan  intelektual  budaya.  Adalah  Gabrielle  Matzneff, 
penulis  terkenal  yang  telah  mendapatkan  sejumlah  penghargaan,  dua  di 
antaranya  bahkan  dari  Academie  française,  sedang  diselidiki  untuk  kasus-kasus 
pedofilia.  
 
Awalnya  adalah  Vanessa  Springora,  salah  satu  korban  Matzneff  menuliskan 
pengalamannya  bersama  Matzneff  dalam  bukunya ​Consentement (Persetujuan). 
Ia  mempertanyakan  apa  sebenarnya yang dimaksud dengan persetujuan dalam 
praktik-praktik  pedofilia,  ketika  korbannya  yang  notabene  adalah  anak,  belum 
dapat benar-benar memberikan persetujuan.  
 
Springora  menceritakan  bagaimana  hubungannya  dengan  Matzneff  saat  ia 
masih  berusia  14  tahun  (pada  awal  tahun  1980-an)  telah  menimbulkan  dampak 
psikologis  berat  dalam  hidupnya.  Ia  mengalami  depresi  dan  membutuhkan 

13
belasan  tahun  untuk  pulih.  Buku  yang  ditulisnya  merupakan  bagian  dari  proses 
pemulihan untuknya.  
 
Sebenarnya  sejak  tahun  1960-an,  Matzneff  dengan  terbuka  mengakui  dan 
bahkan  bangga  akan  preferensi  seksualnya  terhadap  anak  dan  remaja.  Ia 
memaparkan  di  buku-bukunya  secara  gamblang  relasi  seksual  dan  asmaranya 
dengan korban-korbannya ini.  
 
Arsip-arsip  lama,  yang  dibongkar  kembali  sejak  kasus mencuat, memperlihatkan 
bagaimana  pada  tahun-tahun  itu,  praktik  pedofilia  Matzneff  dianggap  biasa, 
bahkan didukung, jika tidak bisa dibilang “dirayakan”.  
 
Sebuah  video  saat  Matzneff  diwawancara  menunjukkan  beberapa  tokoh 
intelektual  dan  selebritas  lain  tertawa  bersama  ketika  Matzneff  bicara  tentang 
kenikmatan  bercinta  dengan  remaja-remaja.  Hanya  ada  satu  tokoh  yang 
menentang Matzneff saat itu, tetapi justru diserang oleh tokoh-tokoh lainnya.  
 
Arsip-arsip  lama  juga  membongkar  tokoh-tokoh  yang  juga  melakukan  praktik 
pedofilia  pada  masa  itu  ataupun  tokoh-tokoh  yang  mendukung.  Artikel  lama 
Françoise  Dolto,  dokter  anak  sekaligus  psikoanalis  ternama  juga  ikut  populer 
kembali.  
 
Dalam  artikel  ini  Dolto  menyatakan  bahwa  anak  bukan  korban  dalam 
kasus-kasus  pelecehan/kekerasan  seksual,  tetapi  mitra  dari  si  pelaku.  Membaca 
artikel  lama  Dolto  yang  sangat  terkenal  ini,  yang  namanya  dijadikan  nama 
sekolah-sekolah  di  Prancis,  kita  jadi  kebingungan.  Orang-orang  pun  hanya  bisa 
bilang, ya itu Prancis di masa yang berbeda…   
 

Kembali  kepada  pedofilia,  di  bawah  ini  saya  tuliskan  kembali  penggalan  artikel 
lama yang sudah pernah dimuat di Intisari edisi April 2010.  

Istilah  pedofilia  diambil  dari  bahasa  Yunani  kuno,  dari  kata  ​pedos  ​berarti  anak, 
dan  ​philia  berarti  hasrat,  ketertarikan,  atau  cinta.  Tampaknya  lebih  tepat 
mengartikan  pedofilia  sebagai  hasrat/ketertarikan,  bukan  cinta,  terhadap 
anak-anak,  mengingat  perbuatan  pedofil  sama  sekali  tidak mencerminkan cinta. 

14
Istilah  ini  pertama  kali  dikemukakan  oleh  psikiater  Jerman-Austria,  Richard  von 
Krafft-Ebing,  pada  tahun  1896.  Namun  sejarah  pedofilia  dimulai  jauh  sebelum 
Krafft-Ebing membicarakannya.  

Dalam  mitologi  Yunani  dikisahkan  mengenai  Zeus  yang  tertarik  dengan 


Ganymede,  pangeran  kerajaan  Troy.  Zeus  menculik  Ganymede,  menjadikannya 
juru  minum  sekaligus  kekasihnya.  Sejarah  juga  mencatat  pada  zaman 
Renaissance,  pedofilia  muncul  dalam  banyak  karya  seni.  Michelangelo  dan 
Benvenuto  Cellini  termasuk  yang  cukup  sering  menampilkan  percintaan  antara 
laki-laki  dewasa  dan  anak  laki-laki  dalam  patung  dan  lukisan  mereka.  Ada 
dugaan saat itu pedofilia memang jadi tren di kalangan seniman.  

Pada  awal  abad  20,  isu  pedofilia  berpindah  dari  kalangan  seniman  ke  pendidik. 
Adalah  Gustav  Wyneken,  guru  pertama  yang  diadili  akibat  tindakan  pedofilia 
yang  ia  lakukan  terhadap  muridnya.  Bersama  dengan  pendidik  lain  yang  juga 
pedofil,  ia  mengatasnamakan  perbuatannya  sebagai  wujud  ​pedagogical  eros​, 
yakni  bahwa  cinta  erotis  pria  dewasa  dibutuhkan  untuk  mendewasakan  anak 
laki-laki.  

Pandangan  ini  diambilnya  dari  kepercayaan  masyarakat  Melanesia  di  Pasifik 


bahwa  menerima  sperma  pria  dewasa  melalui  seks  oral  akan  membentuk  anak 
menjadi dewasa. 

  

Tipe pedofil 

Richard  Lanyon,  psikolog  dari  Arizona  State  University  mengelompokkan  pedofil 


ke dalam tiga tipe : s​ ituational molesters​, p
​ reference molesters​, dan ​child rapists​.  

Pedofil  tergolong  tipe  ​situational  masih  memiliki  ketertarikan  seksual  dengan 


orang  dewasa.  Hanya  saja  dalam  situasi  tertentu,  mereka  memiliki  hasrat 
pedofilia  dan  melakukan  tindakan  pedofilia  sebagai  upaya  mengatasi  rasa 
tertekan.  

Seseorang  tergolong  sebagai  ​preference  molesters  jika  tertarik  secara  seksual 


hanya  kepada  anak-anak.  Kalaupun  mereka  menikah,  hanya  untuk  menutupi 
kondisi  mereka  yang sebenarnya. Mereka umumnya tidak merasa ada yang salah 
dengan pedofilia, bahkan menganggap masyarakat yang bersikap berlebihan.  

15
Biasanya  ​situational  maupun  ​preference  molesters  menyalurkan  hasrat 
pedofilianya  terhadap  anggota  keluarga  atau  tetangganya.  Kedua  tipe  ini 
umumnya  tidak  bertindak  sadis  terhadap  korbannya.  Mereka  cenderung 
membujuk atau mengancam anak tanpa kekerasan fisik.  

Sedangkan  tipe  pemerkosa  anak  (​child  rapist​)  biasanya  sangat  kasar  dan  tidak 
segan-segan  melakukan  kekerasan  fisik  kepada  korban  bahkan  sampai 
memerkosa  ataupun  membunuh  korban.  Krafft-Ebing  menyebutnya  sebagai 
pedofil sadistis.  

Tipe  ini  biasanya  mengalami  gangguan  kepribadian  antisosial  atau yang populer 


dengan  sebutan  psikopat.  Mereka  tidak  memiliki  rasa  bersalah  ataupun 
kepedulian kepada para korbannya.  

Jika  seorang  pedofil  termasuk  dalam  tipe  ini,  mereka  akan  didiagnosis  dengan 
dua gangguan sekaligus, yaitu pedofilia dan gangguan kepribadian antisosial. Hal 
ini sekaligus menunjukkan keduanya merupakan dua gangguan yang berbeda.  

Pedofilia  juga  perlu  dibedakan  dari  homoseksual.  Tidak  semua  pedofil  memiliki 
orientasi  seksual  terhadap  anak  yang  sama  jenis  kelaminnya  dengan  mereka. 
Data  statistik  menunjukkan  bahwa  pedofilia  yang  berorientasi  homoseksual 
hanya sepertiga dari jumlah pedofilia keseluruhan.  

Penyebab pedofilia  

Penyebab  pedofilia  perlu  dipahami  dari  aspek  biologis,  psikologis,  dan  sosial, 
yang  saling  terkait. Secara biologis memang belum ditemukan pola genetik yang 
khas  pada  para  pedofil.  Namun  diyakini  bahwa  pedofilia  disebabkan  oleh 
tingginya  hormon  testosteron  yang  merupakan  hormon  seks  laki-laki. 
Pandangan ini masuk akal mengingat 95 persen pedofil berjenis kelamin laki-laki.  

Dari  sudut  psikologi,  pengalaman  masa  kanak-kanak  sebagai  korban  pedofilia 


ditengarai  sebagai  penyebab  utama  seseorang  menjadi  pedofil.  Mekanismenya 
bisa  dalam  dua  cara.  Pertama,  mereka  belajar  dengan  melihat  si  pelaku 
(​observational  learning​)  bahwa  kepuasan  seksual  dapat  diperoleh  dari 
anak-anak.  Kedua,  bisa  jadi  pula  mereka  rendah  diri  menyadari  dirinya  adalah 
korban  pedofilia.  Akibatnya  mereka  cenderung  menutup  diri  dan  pergaulan pun 
jadi terbatas.  

16
Terkait dengan hal ini, kurangnya keterampilan untuk membina hubungan akrab 
dengan  orang  lain  juga  menjadi  salah  satu  penyebab  pedofilia.  Mereka  tidak 
dapat  menjalin  hubungan  intim  dengan  orang  dewasa  yang  sebaya.  Dalam 
kondisi  ini,  tidak  ada  yang  lebih  nyaman  selain  berinteraksi  dengan  anak-anak, 
yang  mudah  didekati  tanpa  melakukan  perlawanan  sebagaimana  dahulu  yang 
terjadi pada mereka.  

Harga  diri  yang  rendah  juga  menjadi  faktor  penyebab.  Mereka  merasa  tidak 
memiliki  kelebihan,  atau  merasa  gagal  dibandingkan  pasangan  atau 
teman-temannya.  Menguasai  anak,  mengancam,  dan  memanipulasinya, 
merupakan  suntikan  bagi  harga  diri  para  pedofil.  Orang  yang merasa rendah diri 
juga  mudah  mengalami  depresi  dan  kecemasan.  Dalam  kondisi  ini,  melakukan 
pelecehan seksual terhadap anak dijadikan cara melepaskan ketegangan.  

Dari  segi  sosial  ditemukan  pelaku  pedofilia  kebanyakan  berasal  dari  kalangan 
sosial  ekonomi  rendah.  Sebagian  bahkan  tidak  memiliki  pekerjaan.  Ditambah 
dengan  tingkat  pendidikan  yang  umumnya  kurang  memadai,  mereka  sulit 
menemukan  cara  penyelesaian  masalah  yang  efektif.  Akibatnya  mereka  mudah 
terkena  stres  dan  menggunakan  anak  untuk  mengatasi  rasa  tertekan  atau 
ketegangannya akibat stres. 

Bicara  soal  pedofilia,  tidak  hanya  terkait  dengan  pelaku,  melainkan  juga 
korbannya.  Pedofilia  adalah  penyimpangan  seksual  yang  paling  meresahkan 
karena  korbannya  anak-anak.  Dampaknya  secara  luar  biasa  mengubah 
kehidupan  korban.  Apalagi  kebanyakan  pelaku  adalah  orang  yang  dekat 
dengannya.  

Ketidakmampuan  mempercayai  orang  lain,  rendahnya  harga  diri,  ketakutan 


untuk  menjalin  hubungan  akrab  dengan  lawan  jenis,  ketergantungan 
obat-obatan,  depresi,  hambatan  seksual,  atau  sebaliknya  berlebihan  dalam  hal 
seksual,  dan  gangguan  lainnya  dapat  dialami  korban.  Bukan  tidak  mungkin, 
korban akan menjadi pedofil dan menimbulkan korban-korban baru.  

Penanganan untuk mereka yang pedofil 

17
Mengingat  dampak  yang  begitu  panjang  dan  beruntun,  pedofil  perlu  ditangani. 
Hukuman  penjara  perlu  dipadukan  dengan  penanganan  medis  dan  psikologis. 
Menurunkan  level  testosteron  dan  memberikan  ​lutenizing  hormone-releasing 
hormone (LHRH) adalah penanganan medis yang sering dilakukan (di luar negeri, 
saya  tidak  tahu  pasti  di  Indonesia)  untuk  menurunkan dorongan seks dan ereksi. 
Tetapi dua terapi ini tidak mengurangi ketertarikan pedofil terhadap anak.  

Penanganan  psikologis  dapat  dilakukan  dengan  meminta  pedofil  berfantasi 


tentang  anak  lalu  memberikannya  obat  yang  menimbulkan  rasa  mual pada saat 
itu  juga. Lama kelamaan pelaku akan menganggap hasrat seksual terhadap anak 
itu tidak menyenangkan. Ini adalah salah satu aplikasi dari metode b
​ ehavioral​. 

Dengan  menggunakan  metode  kognitif,  pedofil  juga  dapat  diterapi  dengan 


mengubah pola pikirnya. Mereka diminta berfantasi seksual tentang anak namun 
mengubah  akhir  cerita  sekreatif  mungkin  asalkan  bukan  lagi  berhubungan 
seksual dengan anak.  

Pedofil  juga  perlu  dibantu  untuk  menentang  pemikiran  mereka  yang  tidak 
masuk  akal  seperti  menyalahkan  anak  yang  dianggapnya  sengaja  menggoda 
dan membenarkan tindakan mereka sebagai cara mendidik anak tentang seks.  

Pedofil  juga  perlu  dibantu  untuk  menemukan  akar  masalahnya.  Mereka  yang 
terbatas  dalam  keterampilan  interpersonalnya  harus  belajar 
mengembangkannya.  Mereka  juga  perlu  meningkatkan  harga  diri  dengan 
menemukan  dan  mengolah  kelebihannya.  Kemampuan  mengelola  stres  dan 
menyelesaikan masalah juga perlu diajarkan.  

Hal  menarik  dari  pedofilia  adalah  mengenai  aliran  darah  pada  penis  yang  dapat 
diukur  dengan  menggunakan  alat  bernama  ​penile  plethysmograph​.  Pedofil 
meningkat  aliran  darahnya  ketika  menyaksikan  adegan  yang  diperankan  anak 
meski  tidak  bermaksud provokatif, iklan popok misalnya. Hal ini tidak dialami pria 
normal.  

Namun  baik  pedofil  maupun  laki-laki  normal  ternyata  sama-sama  meningkat 


gairahnya  saat ditayangkan adegan seksual yang melibatkan anak-anak. Laki-laki 
normal  juga  dapat  berfantasi  seksual  mengenai  anak  dan  gairahnya  meningkat 
saat berfantasi.  

18
View publication stats

Dengan  perkataan  lain,  kebanyakan  pria  dapat  berhasrat  seksual  terhadap 


anak-anak,  namun  tidak  semua  melakukan  tindak  pedofilia.  Jadi tampaknya ada 
persoalan kontrol diri dalam masalah pedofilia.  

Bahwa  ada  orang  yang  dapat  mengontrol  impuls  seksualnya  terhadap  anak 
memberi  warna  dalam  penanganan  pedofilia.  Pedofil  dapat  diajarkan  untuk 
mengenali  situasi  yang  biasanya  memicu  hasrat  seksual  mereka  terhadap 
anak-anak.  Jika  situasi  ini  terjadi,  mereka  diminta  melakukan  kegiatan  positif 
untuk  menyalurkan  energinya.  Bisa  dengan  berolahraga,  berkebun, 
membersihkan kendaraan, atau kegiatan lainnya.  

Mereka  juga  dapat  dilatih  mengembangkan  empati  dengan  memikirkan 


dampak  perbuatannya  baik  pada  anak, dirinya, maupun keluarga. Saat dorongan 
itu  muncul,  mereka  bisa  melakukan  yang  namanya ​self-talk atau bicara pada diri 
sendiri  untuk menahan diri agar tidak melakukan tindakan tersebut. Mereka juga 
dapat  dilatih  teknik  relaksasi  untuk  menurunkan  tingkat  ketegangan saat hasrat 
mereka terhadap anak muncul.  

Perlu  diakui  bahwa  tingkat  keberhasilan  penanganan  pedofilia  sangat  kecil. 


Namun  bukan  berarti  tidak  mungkin.  Adanya  pedofil  yang  dapat  mengatasi 
gangguan  mereka  memberi  harapan  bahwa  gangguan  ini  dapat  disembuhkan. 
Hanya  saja  dibutuhkan  evaluasi  terhadap  berbagai  terapi  yang  sudah  dijalankan 
agar efektivitas penanganan dapat ditingkatkan.  

Terus  terang,  saya tidak punya data mengenai terapi untuk pedofilia di Indonesia. 


Pemahaman  saya  mengenai  pedofilia  saya  dapatkan  terutama  dari  rekan-rekan. 
Saya  pribadi  lebih  banyak  mendampingi  korban  dan  bisa  dibilang  hampir  tidak 
pernah  menangani  pelaku.  Jika  saya  bertemu  pelaku,  itu  saya  lakukan  lebih 
dalam rangka pendampingan korban.  

Jika  ada  rekan-rekan  yang  sudah  pernah  melakukan  terapi  untuk  pedofil, 
mungkin dapat pula berbagi di sini.  

19

Anda mungkin juga menyukai