net/publication/341463915
CITATIONS READS
0 14,235
1 author:
Ester Lianawati
Hypatia- Centre de recherches sur la psychologie féministe (Pusat Penelitian dan Kajian Psikologi Feminis)
31 PUBLICATIONS 5 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Ester Lianawati on 18 May 2020.
Ilustrasi : M
an on all fours in red jacket with fully clothed woman riding him, dari
koleksi Richard von Krafft-Ebing (1840-1902), profesor psikiatri di Graz dan Vienna.
Sumber : Wikipedia.
Ester Lianawati adalah psikolog lulusan Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
Jakarta yang menyelesaikan program S2 di Kajian Wanita dan Gender Universitas
Indonesia. Sedang menempuh pendidikan S3 dengan fokus penelitian pada
representasi sosial dan kekerasan dalam rumah tangga.
Tercatat sebagai staf pengajar di Fakultas Psikologi UKRIDA Jakarta, menetap di
Perancis sejak tahun 2012.
Pendiri asosiasi LOUVE, serigala betina. Karena ia meyakini ada serigala betina
dalam diri setiap perempuan.
1
DAFTAR ISI
2
MENGENAL JENIS-JENIS PENYIMPANGAN SEKSUAL
Paraphilia berasal dari kata para yang artinya penyimpangan dan philia yang
berarti cinta atau ketertarikan. Paraphilia dapat diartikan sebagai penyimpangan
objek ketertarikan seksual. Tetapi sejak beberapa tahun ini, paraphilia cenderung
didefinisikan sebagai ketertarikan/ketergugahan seksual pada
objek/situasi/individu/fantasi yang tidak biasa atau tidak lazim.
(Khususnya sejak tahun 2015, dalam buku panduan diagnostik dan statistik
gangguan mental edisi ke-5 (DSM V), paraphilia hanya dinyatakan sebagai
minat/ketertarikan objek seksual yang tidak lazim). DSM V membedakan antara
paraphilia (ketertarikan pada objek seksual yang tidak lazim) dan gangguan
paraphilia.
Paraphilia mungkin terdengar asing di telinga kita, padahal (dan sangat saya
sesali) perempuan dalam perjalanan hidupnya setidaknya satu atau beberapa
kali terpaksa berhadapan dengan orang yang mengalami penyimpangan seksual
(sebagian besar penderita gangguan ini adalah pria, dengan korban sebagian
besar adalah perempuan).
3
memiliki fantasi dan dorongan seksual serta melakukan tindakan menyentuh
atau menggesekkan alat kelaminnya pada seseorang. Frotteurism banyak
dilakukan di kendaraan umum yang penuh sesak dimana pelaku dapat
menggesekkan alat kelaminnya dengan alasan penuhnya penumpang.
Barangkali juga ada yang pernah ditelepon oleh nomor tidak dikenal dan
tiba-tiba suara di seberang sana mengucapkan kata-kata tidak senonoh. Nama
ilmiahnya untuk tindakan melakukan telepon cabul ini adalah telephone
scatologia.
Menulis tentang paraphilia ini, saya jadi teringat kasus Reynhard Sinaga
beberapa waktu lalu. Saya jadi bertanya-tanya apa ia mengalami gangguan ini
khususnya yang dinamakan somnophilia.
Istilah somnophilia (dari bahasa latin, somnus : tidur) pertama kali dicetuskan
oleh ahli seksologi bernama John Money (1986) untuk menyebut orang yang
terangsang secara seksual dengan orang yang dalam keadaan tidak sadar, entah
dalam keadaan tertidur atau dalam pengaruh obat.
4
Bedakan dengan pria "normal" yang menemukan bahwa sepatu hak tinggi itu
kesannya seksi dan sensual. Ini tidak dapat disebut sebagai fetishism kecuali ia
membutuhkan sepatu hak tinggi itu untuk dapat merasakan gairah ataupun
kepuasan seksual.
Pria 'normal' bisa saja punya fantasi voyeuristic tetapi selama fantasi ini tidak
pernah dilakukan, ia tidak bisa disebut mengalami gangguan v
oyeurism.
Dorongan melakukan tindakan ini begitu kuat sekaligus mengganggu penderita.
Bukan sekedar dorongan seksual yang membuatnya melakukan tindakan ini
tetapi juga kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan dalam dirinya.
5
sedang melakukan aksinya. Kebanyakan merasa malu dan bersalah setelah
melakukan aksinya. Tetapi karena dorongan yang ada sulit dikendalikan,
biasanya mereka akan kembali melakukannya.
Tindakan sadis secara fisik yang dapat dilakukan adalah memukul, mencambuk
dengan ikat pinggang atau tambang, menggunakan tegangan listrik, menyayat
dengan pisau atau benda tajam lainnya, atau membuat pasangan sulit bernafas
dengan mencekik atau menjerat leher pasangan.
Sexual masochism, yaitu suatu penyimpangan seksual dimana individu memiliki
fantasi dan dorongan seksual serta mendapatkan kepuasan seksual apabila
menerima tindakan yang menyakitkan secara fisik maupun psikologis dari
pasangan seksualnya.
Kata masochism diambil dari nama penulis sekaligus ahli sejarah dan jurnalis
Leopold Baron von Sacher-Masoch. Ia menulis tentang pria yang dipermalukan
secara seksual oleh perempuan (tokoh perempuan ini sebenarnya tokoh
utamanya). Sacher-Masoch sendiri semasa kanak-kanak pernah menyaksikan
bibinya sedang mencambuk pamannya ketika berhubungan seksual.
6
Sedangkan istilah sadisme dari penulis Prancis bernama Marquis de Sade yg
menulis tentang kepuasan seksual yang diperoleh dengan melakukan
kekejaman.
Jangan pula membayangkan bahwa pelaku sexual sadism adalah laki-laki dan
sexual masochism adalah perempuan. Ini adalah gambaran mental kita karena
terbiasa mengasosiasikan perempuan dengan kepasifan, dan juga kita berpikir
ala heteroseksual. Dengan berbagai alasan, kita sering mengabaikan
pasangan-pasangan homoseksual.
Pedophilia, yaitu gangguan pada individu yang memiliki dorongan dan fantasi
seksual serta melakukan tindakan seksual terhadap anak-anak pra remaja
(umumnya berusia 13 tahun ke bawah).
Subjek pelaku harus di atas 16 tahun atau setidaknya 5 tahun lebih tua
dibandingkan korban (anak) untuk dapat disebut sebagai pedofil.
Beberapa contoh lain paraphilia yang juga cukup banyak ditemukan adalah
necrophilia (dengan mayat), zoophilia (hewan), dan coprophilia/scatophilia
(kotoran manusia).
7
PENYIMPANGAN SEKSUAL,
Dalam tulisan sebelumnya, kita sudah mengenal jenis-jenis penyimpangan
seksual (paraphilia). Di sini akan saya paparkan dari tinjauan psikologis mengenai
penyebab yang mungkin dari gangguan ini.
Psikologi menjelaskan gangguan penyimpangan seksual secara garis besar dari
tiga sudut pandang : psikoanalisis, perilaku (behavioral psychology), dan kognitif.
Tinjauan Psikoanalisis
Dari tinjauan psikoanalisis, paraphilia merupakan upaya perlindungan ego untuk
menghadapi ketakutan dan memori yang ditekan. Paraphilia merupakan
penghidupan kembali secara simbolik trauma-trauma di masa kanak-kanak.
Maksudnya penyimpangan yang dilakukan saat ini merupakan gambaran dari
apa yang ia sendiri telah alami. Tujuannya adalah sebagai pembalasan dendam
kepada orang dewasa yang telah menyakitinya ketika ia masih anak-anak.
Masih dalam pandangan psikoanalisis, paraphilia bisa jadi juga disebabkan oleh
masalah-masalah dalam proses perkembangan psikoseksual. Dalam hal ini bisa
ada dua bentuk : seseorang ter-fiksasi pada tahap pregenital (sehingga tidak
bergerak ke tahap selanjutnya), atau ia melakukan regresi (mundur kembali) ke
tahap ini.
Tetapi penjelasan ini bagi saya menimbulkan pertanyaan kembali mengapa
orang tsb dapat mundur ke tahap ini? Ada apa, apa yang ia alami sehingga ia
mundur ke tahap ini? Selain itu, mereka yang melakukan regresi ke tahap
pre-genital juga tidak semuanya melakukan penyimpangan seksual.
Penjelasan lain dari psikoanalisis adalah bahwa penderita mengalami castration
anxiety yaitu kekhawatiran kalau-kalau akan dikastrasi sehingga takut
8
berhubungan dengan perempuan dewasa. Kecemasan ini dianggap dapat
menjelaskan beberapa gangguan paraphilia seperti fetishisme, voyeurisme, dan
pedofilia.
Mengenai exhibitionism, psikoanalisis menjelaskan gangguan ini sebagai cara
seseorang meyakinkan diri akan kejantanannya. Hal ini sebenarnya lebih terkait
dengan rasa rendah diri, dapat pula dijelaskan dari sudut pandang behavioral
psychology.
Pendekatan B
ehavioral Psychology
Berdasarkan pendekatan behavioral, mereka yang mengalami penyimpangan ini
umumnya memang pria-pria yang rendah diri. Akibatnya mereka kurang
memiliki kecakapan sosial sehingga tidak mampu menjalin relasi yang normal
dengan orang dewasa.
(Dapat pula terjadi sebaliknya. Harga diri merupakan persoalan berbentuk
lingkaran setan. Karena rendah diri, orang jadi enggan bergaul. Karena jarang
bergaul, tidak ada yang memberinya penguatan (pujian) akan
kompetensi-kompetensinya sehingga ia akan semakin meyakinkan diri bahwa
dirinya tidak berharga/tidak memiliki kelebihan ).
Ketidakmampuan menjalin relasi yang normal dengan orang dewasa tentu
menghambat seseorang untuk dapat memiliki relasi seksual yang “normal” pula
sehingga paraphilia pun akhirnya menjadi pengganti.
Namun dalam hal ini tidak ada penjelasan spesifik mengapa seseorang yang
rendah diri bisa mengembangkan minat seksual pada objek tertentu dan tidak
pada objek lain, mengapa paraphilia yang terbentuk adalah voyeurism dan
bukan f rotteurism misalnya.
Faktor kedua ini mungkin lebih bisa menjelaskan, yaitu yang dinamakan dengan
hipotesis pemasangan orgasme (orgasm-conditioning hypothesis). Tanpa
disengaja/disadari, mereka menghubungkan rangsangan/ketergugahan seksual
dengan objek-objek yang tidak lazim.
9
Contohnya saja, seseorang melakukan masturbasi di depan gambar perempuan
yang mengenakan boot. Masturbasi berujung pada kepuasan seksual. Jika
dilakukan berulang-ulang, kenikmatan seksual akan “terpasangkan” dengan
sepatu boots. Sepatu boots pun dapat menjadi objek yang kemudian
membangkitkan gairah seksual.
Ketiga, rantai kekerasan (victim-abuser cycle). Pengalaman masa kanak-kanak
sebagai korban pedofilia ditengarai sebagai penyebab utama seseorang menjadi
pedofil.
Mekanismenya dapat terjadi dengan observational learning, yakni belajar
dengan mengamati : Ketika melihat bahwa pelaku mendapatkan kepuasan
seksual dari tindakannya, mereka pun belajar bahwa kepuasan seksual dapat
diperoleh dari anak-anak.
Rantai kekerasan ini dapat dijelaskan pula dari akibatnya. Salah satu dampak
yang dialami anak akibat pelecehan/kekerasan seksual adalah mengalami rasa
rendah diri. Sebenarnya dampaknya jauh lebih kompleks dari ini. Ada kekacauan,
kegelisahan dalam diri korban pelecehan/kekerasan seksual pada anak-anak,
yang akan menghambat perkembangan psikososial mereka kelak.
Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa mereka mengalami rendah diri,
dan cenderung menutup diri. Akibatnya mereka kurang memiliki keterampilan
untuk membina hubungan dengan rekan sebaya. Hal ini akan membuat mereka
merasa lebih rendah diri lagi.
Dalam kondisi ini, tidak ada yang lebih nyaman selain berinteraksi dengan
anak-anak, yang mudah didekati tanpa melakukan perlawanan sebagaimana
dahulu yang telah mereka alami sendiri sebagai korban. Menguasai anak,
mengancam, dan memanipulasinya, merupakan suntikan bagi harga diri para
pedofil.
Tetapi sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari pelaku
pedofilia yang pernah menjadi korban pelecehan/kekerasan seksual pada masa
10
kanak-kanak. Hubungan yang terganggu antara anak dengan orangtua diyakini
lebih dapat menjelaskan penyimpangan perilaku seksual.
Hubungan yang tidak baik, yang penuh kemarahan, kebencian, agresivitas (tidak
harus fisik, bisa jadi verbal) dapat mengembangkan sikap dan perilaku negatif
anak serta ketidakmampuan berempati. Ini yang membuat kelak ia tidak peduli
akan dampak perbuatannya pada korban.
Penjelasan Psikologi Kognitif
Secara kognitif, tampaknya para pelaku penyimpangan seksual mengalami
distorsi kognitif : punya pikiran-pikiran/ide-ide yang terganggu; pemaknaan yang
terganggu akan sesuatu hal.
Mereka yang melakukan voyeurisme bisa jadi akan mengatakan bahwa
perempuanlah yang sengaja membuat celah pada pintu atau jendela karena
ingin diintip.
Seorang exhibitionist akan melakukan minimalisasi konsekuensi, seperti,
”Bagaimana saya bisa dibilang melukainya, saya bahkan tidak menyentuhnya.”
Yang melakukan pembenaran juga tidak sedikit, ”Saya pernah mengalami
pelecehan seksual, karena itu saya jadi pelaku saat ini.” Atau penyangkalan, ”Saya
hanya ingin mengajarkannya pendidikan seks, yang ayahnya sendiri belum tentu
bisa memberikannya.”
Saya pribadi lebih melihat distorsi kognitif ini bukan sebagai penyebab tetapi
lebih kepada salah satu karakteristik yang mereka tampilkan.
Penanganan Kasus-kasus Penyimpangan seksual
Penanganan kasus-kasus penyimpangan seksual biasanya akan bergantung
pada pendekatan yang digunakan terapis. Terapis yang menggunakan
psikoanalisis akan menggali lebih dalam mengenai masa lalu orang ybs. Jika
persoalannya adalah masalah rendah diri karena figur ayah terlalu kuat, klien
akan dibantu menyelesaikan kompleks Oedipus yang tidak selesai.
11
Mereka yang mengadopsi perspektif behavioral akan melakukan aversion
therapy dengan variasi bentuknya. Dalam terapi ini, klien akan diajarkan untuk
jadi tidak menyukai aktivitas penyimpangan seksualnya (aversion bisa diartikan
sebagai keengganan, ketidaksukaan). Jika tadinya aktivitas ini membawa
kenikmatan bagi si klien, sekarang aktivitas ini akan dibuat jadi tidak
menyenangkan.
Klien akan diberikan tegangan listrik (disetrum) atau diberikan obat yang bisa
menimbulkan rasa mual sambil melihat sepatu boot/gambar anak kecil
(disesuaikan dengan kasus) dll. Lama kelamaan klien akan mengasosiasikan
sepatu boot sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Diharapkan selanjutnya
ia tidak lagi punya ketertarikan seksual terhadap sepatu boot.
Salah satu variasi dari aversion therapy adalah covert sensitization. Dalam terapi
ini, klien diminta untuk membayangkan situasi di mana ia mengalami
rangsangan seksual untuk objek-objek tertentu, dan diminta untuk merasa tidak
nyaman atas perasaan terangsang tsb (entah dengan membayangkan hukuman
atau konsekuensi negatif dari tindakannya).
Versi lain dari covert sensitization adalah dengan menyebarkan bau busuk dalam
ruangan saat klien sedang membayangkan tindakan penyimpangan seksual.
Ada pula teknik yang dinamakan dengan satiation (kepenuhan, kekenyangan).
Klien diminta untuk tidak berhenti bermasturbasi meski sudah mencapai
ejakulasi sambil terus membayangkan (dan bahkan diminta untuk berbicara
dengan suara lantang) fantasi-fantasi penyimpangan seksual.
Idenya adalah terus bermasturbasi sementara sudah ejakulasi akan
menimbulkan perasaan tidak enak, selanjutnya fantasi-fantasi penyimpangan
tadi akan terasosiasikan dengan ketidaknyamanan ini sehingga klien tidak ingin
melakukannya lagi.
Dari pendekatan kognitif, klien akan dibantu untuk mengubah pola pikir mereka.
Contohnya saja kepada klien yang pedofil akan diminta berfantasi seksual
12
tentang anak namun mengubah akhir cerita sekreatif mungkin asalkan bukan
lagi berhubungan seksual dengan anak.
Pendekatan kognitif dan behavioral dapat digabungkan. Mereka yang terbatas
dalam keterampilan interpersonalnya akan dibantu untuk mengembangkannya.
Mereka juga belajar meningkatkan harga diri dengan menemukan dan
mengolah kelebihannya. Kemampuan mengelola stres dan menyelesaikan
masalah akan diajarkan.
Secara khusus mengenai penanganan pedofilia dapat dibaca di bawah ini.
PEDOFILIA, PENYEBAB DAN PENANGANANNYA
Dalam tulisan sebelumnya, kita sudah mengenal beberapa jenis penyimpangan
seksual. Salah satu penyimpangan seksual yang mungkin paling sering kita
dengar adalah pedofilia.
Sebelum adanya pandemi Covid-19, Prancis sebenarnya sedang dihebohkan oleh
praktik pedofilia di kalangan intelektual budaya. Adalah Gabrielle Matzneff,
penulis terkenal yang telah mendapatkan sejumlah penghargaan, dua di
antaranya bahkan dari Academie française, sedang diselidiki untuk kasus-kasus
pedofilia.
Awalnya adalah Vanessa Springora, salah satu korban Matzneff menuliskan
pengalamannya bersama Matzneff dalam bukunya Consentement (Persetujuan).
Ia mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan persetujuan dalam
praktik-praktik pedofilia, ketika korbannya yang notabene adalah anak, belum
dapat benar-benar memberikan persetujuan.
Springora menceritakan bagaimana hubungannya dengan Matzneff saat ia
masih berusia 14 tahun (pada awal tahun 1980-an) telah menimbulkan dampak
psikologis berat dalam hidupnya. Ia mengalami depresi dan membutuhkan
13
belasan tahun untuk pulih. Buku yang ditulisnya merupakan bagian dari proses
pemulihan untuknya.
Sebenarnya sejak tahun 1960-an, Matzneff dengan terbuka mengakui dan
bahkan bangga akan preferensi seksualnya terhadap anak dan remaja. Ia
memaparkan di buku-bukunya secara gamblang relasi seksual dan asmaranya
dengan korban-korbannya ini.
Arsip-arsip lama, yang dibongkar kembali sejak kasus mencuat, memperlihatkan
bagaimana pada tahun-tahun itu, praktik pedofilia Matzneff dianggap biasa,
bahkan didukung, jika tidak bisa dibilang “dirayakan”.
Sebuah video saat Matzneff diwawancara menunjukkan beberapa tokoh
intelektual dan selebritas lain tertawa bersama ketika Matzneff bicara tentang
kenikmatan bercinta dengan remaja-remaja. Hanya ada satu tokoh yang
menentang Matzneff saat itu, tetapi justru diserang oleh tokoh-tokoh lainnya.
Arsip-arsip lama juga membongkar tokoh-tokoh yang juga melakukan praktik
pedofilia pada masa itu ataupun tokoh-tokoh yang mendukung. Artikel lama
Françoise Dolto, dokter anak sekaligus psikoanalis ternama juga ikut populer
kembali.
Dalam artikel ini Dolto menyatakan bahwa anak bukan korban dalam
kasus-kasus pelecehan/kekerasan seksual, tetapi mitra dari si pelaku. Membaca
artikel lama Dolto yang sangat terkenal ini, yang namanya dijadikan nama
sekolah-sekolah di Prancis, kita jadi kebingungan. Orang-orang pun hanya bisa
bilang, ya itu Prancis di masa yang berbeda…
Kembali kepada pedofilia, di bawah ini saya tuliskan kembali penggalan artikel
lama yang sudah pernah dimuat di Intisari edisi April 2010.
Istilah pedofilia diambil dari bahasa Yunani kuno, dari kata pedos berarti anak,
dan philia berarti hasrat, ketertarikan, atau cinta. Tampaknya lebih tepat
mengartikan pedofilia sebagai hasrat/ketertarikan, bukan cinta, terhadap
anak-anak, mengingat perbuatan pedofil sama sekali tidak mencerminkan cinta.
14
Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh psikiater Jerman-Austria, Richard von
Krafft-Ebing, pada tahun 1896. Namun sejarah pedofilia dimulai jauh sebelum
Krafft-Ebing membicarakannya.
Pada awal abad 20, isu pedofilia berpindah dari kalangan seniman ke pendidik.
Adalah Gustav Wyneken, guru pertama yang diadili akibat tindakan pedofilia
yang ia lakukan terhadap muridnya. Bersama dengan pendidik lain yang juga
pedofil, ia mengatasnamakan perbuatannya sebagai wujud pedagogical eros,
yakni bahwa cinta erotis pria dewasa dibutuhkan untuk mendewasakan anak
laki-laki.
Tipe pedofil
15
Biasanya situational maupun preference molesters menyalurkan hasrat
pedofilianya terhadap anggota keluarga atau tetangganya. Kedua tipe ini
umumnya tidak bertindak sadis terhadap korbannya. Mereka cenderung
membujuk atau mengancam anak tanpa kekerasan fisik.
Sedangkan tipe pemerkosa anak (child rapist) biasanya sangat kasar dan tidak
segan-segan melakukan kekerasan fisik kepada korban bahkan sampai
memerkosa ataupun membunuh korban. Krafft-Ebing menyebutnya sebagai
pedofil sadistis.
Jika seorang pedofil termasuk dalam tipe ini, mereka akan didiagnosis dengan
dua gangguan sekaligus, yaitu pedofilia dan gangguan kepribadian antisosial. Hal
ini sekaligus menunjukkan keduanya merupakan dua gangguan yang berbeda.
Pedofilia juga perlu dibedakan dari homoseksual. Tidak semua pedofil memiliki
orientasi seksual terhadap anak yang sama jenis kelaminnya dengan mereka.
Data statistik menunjukkan bahwa pedofilia yang berorientasi homoseksual
hanya sepertiga dari jumlah pedofilia keseluruhan.
Penyebab pedofilia
Penyebab pedofilia perlu dipahami dari aspek biologis, psikologis, dan sosial,
yang saling terkait. Secara biologis memang belum ditemukan pola genetik yang
khas pada para pedofil. Namun diyakini bahwa pedofilia disebabkan oleh
tingginya hormon testosteron yang merupakan hormon seks laki-laki.
Pandangan ini masuk akal mengingat 95 persen pedofil berjenis kelamin laki-laki.
16
Terkait dengan hal ini, kurangnya keterampilan untuk membina hubungan akrab
dengan orang lain juga menjadi salah satu penyebab pedofilia. Mereka tidak
dapat menjalin hubungan intim dengan orang dewasa yang sebaya. Dalam
kondisi ini, tidak ada yang lebih nyaman selain berinteraksi dengan anak-anak,
yang mudah didekati tanpa melakukan perlawanan sebagaimana dahulu yang
terjadi pada mereka.
Harga diri yang rendah juga menjadi faktor penyebab. Mereka merasa tidak
memiliki kelebihan, atau merasa gagal dibandingkan pasangan atau
teman-temannya. Menguasai anak, mengancam, dan memanipulasinya,
merupakan suntikan bagi harga diri para pedofil. Orang yang merasa rendah diri
juga mudah mengalami depresi dan kecemasan. Dalam kondisi ini, melakukan
pelecehan seksual terhadap anak dijadikan cara melepaskan ketegangan.
Dari segi sosial ditemukan pelaku pedofilia kebanyakan berasal dari kalangan
sosial ekonomi rendah. Sebagian bahkan tidak memiliki pekerjaan. Ditambah
dengan tingkat pendidikan yang umumnya kurang memadai, mereka sulit
menemukan cara penyelesaian masalah yang efektif. Akibatnya mereka mudah
terkena stres dan menggunakan anak untuk mengatasi rasa tertekan atau
ketegangannya akibat stres.
Bicara soal pedofilia, tidak hanya terkait dengan pelaku, melainkan juga
korbannya. Pedofilia adalah penyimpangan seksual yang paling meresahkan
karena korbannya anak-anak. Dampaknya secara luar biasa mengubah
kehidupan korban. Apalagi kebanyakan pelaku adalah orang yang dekat
dengannya.
17
Mengingat dampak yang begitu panjang dan beruntun, pedofil perlu ditangani.
Hukuman penjara perlu dipadukan dengan penanganan medis dan psikologis.
Menurunkan level testosteron dan memberikan lutenizing hormone-releasing
hormone (LHRH) adalah penanganan medis yang sering dilakukan (di luar negeri,
saya tidak tahu pasti di Indonesia) untuk menurunkan dorongan seks dan ereksi.
Tetapi dua terapi ini tidak mengurangi ketertarikan pedofil terhadap anak.
Pedofil juga perlu dibantu untuk menentang pemikiran mereka yang tidak
masuk akal seperti menyalahkan anak yang dianggapnya sengaja menggoda
dan membenarkan tindakan mereka sebagai cara mendidik anak tentang seks.
Pedofil juga perlu dibantu untuk menemukan akar masalahnya. Mereka yang
terbatas dalam keterampilan interpersonalnya harus belajar
mengembangkannya. Mereka juga perlu meningkatkan harga diri dengan
menemukan dan mengolah kelebihannya. Kemampuan mengelola stres dan
menyelesaikan masalah juga perlu diajarkan.
Hal menarik dari pedofilia adalah mengenai aliran darah pada penis yang dapat
diukur dengan menggunakan alat bernama penile plethysmograph. Pedofil
meningkat aliran darahnya ketika menyaksikan adegan yang diperankan anak
meski tidak bermaksud provokatif, iklan popok misalnya. Hal ini tidak dialami pria
normal.
18
View publication stats
Bahwa ada orang yang dapat mengontrol impuls seksualnya terhadap anak
memberi warna dalam penanganan pedofilia. Pedofil dapat diajarkan untuk
mengenali situasi yang biasanya memicu hasrat seksual mereka terhadap
anak-anak. Jika situasi ini terjadi, mereka diminta melakukan kegiatan positif
untuk menyalurkan energinya. Bisa dengan berolahraga, berkebun,
membersihkan kendaraan, atau kegiatan lainnya.
Jika ada rekan-rekan yang sudah pernah melakukan terapi untuk pedofil,
mungkin dapat pula berbagi di sini.
19