PENDAHULUAN
Menurut American Psychiatic Association (2013) dalam buku yang berjudul Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder 5th Edition, dijelaskan bahwa, exhibisionist disorder
(gangguan ekshibisionis) adalah gangguan yang dicirikan dengan adanya dorongan seksual
untuk memperlihatkan bagian genital kepada orang lain. Namun demikian, individu baru
dapat didiagnosis memiliki gangguan eksibisionis bila diketahui juga mengalami distress
atau ketidakmampuan dalam membangun hubungan sosial dengan lingkungannya akibat
dorongan seksualnya tersebut.
Terdapat perbedaan antara perilaku eksibisionis yang dimunculkan oleh laki-laki dan
perempuan. Pada laki-laki perilaku memperlihatkan alat kelamin memiliki tujuan untuk
membuat kaget korban yang diincarnya dan ia sendiri merasakan kepuasan seksual terhadap
hal tersebut. Sedangkan pada perempuan, perilaku eksibisionis ditunjukkan tidak hanya
dengan memperlihatkan genitalnya, tetapi juga bagian tubuh lain yang berhubungan dengan
seksualitas seperti payudara, paha, dan bokong. Lebih lanjut, pada perempuan perilaku
eksibisionis dilakukan agar bisa mendapatkan perhatian dan memunculkan perasaan
berharga pada diri perempuan. Kondisi ini terjadi karena pada dasarnya perempuan
menganggap dirinya merupakan produk erotis bagi laki-laki.
Indonesia merupakan negara dengan budaya dan nilai moral yang kuat sehingga
permasalahan seksual menjadi tabu untuk dibicarakan terlebih bila menyangkut perilaku
ekshibisionisme. Dengan kondisi demikian, permasalahan seksual lebih banyak dibicarakan
dalam situasi-situasi rahasia, sehingga muncul juga kelompok-kelompok yang rahasia yang
membahas atau memberikan kesempatan kepada anggota di dalamnya untuk menyalurkan
hobi atau imajinasi seksualnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fahrul
Rozi dan Nuram Mubina yang berjudul Gambaran Perilaku Eksibisionis pada Perempuan
dalam Komunitas Nude Photography di Jakarta pada tahun 2016 dijelaskan bahwa salah
satu komunitas tersebut adalah komunitas nude photography yang berisikan individu yang
memiliki ketertarikan dalam seni fotografi dengan model tanpa busana. Kondisi seperti ini
menunjukkan adanya prilaku eksibionis pada anggota komunitas nude photography.
Menurut American Psychiatic Association (2013) dalam buku yang berjudul Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder 5th Edition, dijelaskan bahwa faktor yang dapat
mempengaruhi prilaku eksibisionis memiliki jumlah sekitar 2-4% dari populasi individu
laki-laki, sedangkan pelaku Eksibisionis perempuan tidak begitu diketahui, tetapi jumlahnya
diyakini lebih rendah dari jumlah pelaku laki-laki.
Akibat yang dapat terjadi pada kasus eksibisionisme ini yaitu klien dapat mengalami
gangguan kejiwaan karena mereka terlalu asik dengan dunia fantasinya, selain itu dapat
terjadi distress dan masalah interpersonal, karena sudut pandang atau pendapat seseorang
terhadap klien tersebut berbeda-beda (ada yang menerima dan tidak menerima).
Peran perawat pada kasus eksibisionisme antara lain sebagai pemberi asuhan keperawatan
dimana perawat akan memberikan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan dengan
menggunakan proses asuhan keperawatan, sebagai advokat dimana perawat akan
memberikan informasi kepada klien maupun keluarga klien dalam mengambil keputusan
atas tindakan keperawatan yang akan diberikan kepada klien, sebagai pendidik dimana
perawat akan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala
penyakit, bahkan tindakan yang diberikan untuk merubah perilaku dari klien, sebagai
koordinator dimana perawat akan memberikan pengarahan serta perencanaan dalam
pelayanan kesehatan dari tim kesehatan yang lain agar pelayanan kesehatan dapat sesuai
dengan kebutuhan klien, sebagai kolabolator dimana perawat akan berkolaborasi dengan tim
kesehatan lainnya untuk melakukan diskusi dalam penentuan asuhan keperawatan, dan
sebagai konsultan dimana perawat akan berperan sebagai tempat berkosultasi terhadap
tindakan keperawatan yang sesuai dengan asuhan keperawatan.
Berdasarkan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat untuk melindungi diri dan akibat
yang dapat terjadi pada eksibisionisme, kami membuat makalah ini agar mahasiswa
mengetahui lebih lanjut tentang eksibisionisme dan cara mengatasi eksibisionisme.
Menurut Indriyani (2007) dalam buku yang bejudul Sosiologi 1 : Suatu Kajian Kehidupan
Masyarakat, dijelaskan bahwa penyimpangan seksual merupakan salah satu bentuk perilaku
menyimpang dan melanggar norma-norma kehidupan masyarakat. Penyimpangan seksual
adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual
tidak sewajarnya. Ketidakwajaran seksual mencakup perilaku-perilaku seksual atau fantasi-
fantasi seksual yang diarahkan pada pencapaian orgasme lewat relasi di luar hubungan
kelamin heteroseksual, dengan jenis kelamin yang sama, atau dengan partner yang belum
dewasa, dan bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat
yang bisa diterima secara umum.
Eksbisionisme menurut hukum dan psikologi abnormal adalah sebuah indecent exposure
atau pengumbaran yang nggak senonoh. Menurut ibu lilly ada tiga sebab menculnya
perilaku menyimpang ini karena kepribadian yang belum matang, orang tua yang terlalu
strict, atau karena mengalami stress berat. Orang-orang pengidap kelainan jiwa ini bisa
melakukannya dimana saja. Termasuk di tempat umum. Tanpa perasaan malu mereka bisa
memamerkan organ genitalnya di depan umum. Bahkan, ada yang nekat melakukannya di
dalam bis kota saat penumpang lagi berdempet-dempetan. Terus bagaimana kasus pekerja
seni seperti foto model? Kemungkinan mereka yang punya hobi begitu termasuk pada
kategori pertama dan kedua. Dan mereka ingin dikagumi dan dianggap hebat dengan
perilaku yang tidak biasa dilakukan oleh orang normal, karena mereka menganggap diri
mereka berbeda dengan sangat eksklusif in the name of art, sekalian memuaskan rasa
powerfulnya atau mereka melihat bahwa telanjang merupakan pemberontakan atas tekanan
hidup atau larangan norma yang dirasakan terlalu banyak sementara sumber daya mereka
sendiri relative kecil.
Menurut Semiun (2006) dalam buku yang berjudul Kesehatan Mental 2 : Gangguan-
Gangguan Kepribadian, Reaksi-Reaksi Simtom Khusus, Gangguan Penyesuaian Diri, Anak-
Anak Luar Biasa dan Gangguan Mental yang Berat, dijelaskan bahwa gangguan ini
umumnya berawal di masa remaja dan berlanjut hingga dewasa. Eksibisionis dapat terjadi
pada pria maupun wanita. Pada pria, penderita menemukan kepuasaan saat melihat
perempuan terkejut melihat genitalnya. Sedangkan pada wanita, penderita menemukan
kepuasan melihat pria terangsang saat melihat alat kelamin, payudara atau pantatnya.
Beberapa eksibisionis ditangkap atas kejahatan lain yang melibatkan kontak dengan
korbannya. Eksibionis melakukan masturbasi ketika berfantasi atau ketika benar-benar
memamerkannya. Eksibisionisme dapat dikategorikan sebagai paraphilia yang tergolong
aneh tapi tidak langka.
Terkadang, dorongan untuk memamerkan datang secara naik turun. Seringkali pasien
mungkin melakukannya setiap hari untuk satu atau dua minggu, kemudian berhenti
berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Perilaku ekshibisionis paling sering terjadi ketika
pasien mengalami stres atau ketika memiliki waktu luang. Penggunaan alkohol jarang sekali
menjadi faktor pemicu.
Berdasarkan hasil diskusi kelompok untuk kasus eksibisionisme didapatkan beberapa prinsip-
prinsip etika keperawatan, antara lain:
3.1 Otonomi, dimana bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan
sendiri, tetapi dalam kasus ini kita sebagai perawat harus menghargai keputusan yang telah
diambil oleh klien dan kita juga dapat memberitahu dengan sopan bahwa tindakan tersebut
kurang tepat dilakukan pada orang lain dan di depan umum. Jika kita melihat klien yang
seperti ini sikap kita biasa saja seperti tidak terjadi sesuatu, jik kita berani maka pelototi saja
klien tersebut dan jika memungkinkan untuk berpindah posisi maka lebih baik berpindah
posisi.
3.2 Beneficence (berbuat baik), dimana kita sebagai perawat harus tetap berbuat baik dalam
menangani kasus seperti ini dan kita juga dapat menyarankan kepada klien tindakan terapi
yang dapat dilakukan oleh klien untuk mengatasi masalahnya ini agar klien dapat kembali
seperti semula atau awal yang belum memiliki gangguan prilaku seksual.
3.3 Justice (keadilan), dimana kita sebagai perawat harus tetap berprilaku adil dalam melakukan
tindakan keperawatan pada klien yang memiliki gangguan seperti ini dan tidak boleh
memilih-milih karena klien memiliki gangguan prilaku seperti ini, seharusnya kita sebagai
perawat harus berusaha lebih dalam mengatasi kasus seperti ini karena jika klien tersebut
dapat normal kembali atau tidak memiliki gangguan prilaku seksual, maka kita telah
menolong klien tersebut.
3.4 Non-maleficence (tidak merugikan), dimana kita sebagai perawat tidak boleh berprilaku atau
bersikap kasar kepada klien, seperti memukul klien saat klien menunjukkan alat kelaminnya
di depan kita. Tetapi, kita harus memberitahukan bahwa tindakan tersebut kurang tepat jika
dilakukan ke orang lain, jika memang klien ingin melakukan tindakan tersebut maka lebih
baik melakukan di depan suami atau istrinya saja.
BAB IV
PENUTUP