Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Memiliki tubuh yang ideal, tentu saja menjadi hal yang diinginkan oleh banyak individu
terutama perempuan. Namun, keinginan untuk memiliki tubuh yang ideal dan indah
kemudian dilanjutkan dengan keinginan untuk memperlihatkan keseluruhan tubuh atau
sebagian tubuh yang umumnya disembunyikan bisa jadi adalah tanda dari abnormalitas.
Dalam kajian psikologi memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang erat kaitannya dengan
seksualitas khususnya genital kepada orang lain di muka umum dapat disebut sebagai
perilaku eksibisionis.

Menurut American Psychiatic Association (2013) dalam buku yang berjudul Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder 5th Edition, dijelaskan bahwa, exhibisionist disorder
(gangguan ekshibisionis) adalah gangguan yang dicirikan dengan adanya dorongan seksual
untuk memperlihatkan bagian genital kepada orang lain. Namun demikian, individu baru
dapat didiagnosis memiliki gangguan eksibisionis bila diketahui juga mengalami distress
atau ketidakmampuan dalam membangun hubungan sosial dengan lingkungannya akibat
dorongan seksualnya tersebut.

Terdapat perbedaan antara perilaku eksibisionis yang dimunculkan oleh laki-laki dan
perempuan. Pada laki-laki perilaku memperlihatkan alat kelamin memiliki tujuan untuk
membuat kaget korban yang diincarnya dan ia sendiri merasakan kepuasan seksual terhadap
hal tersebut. Sedangkan pada perempuan, perilaku eksibisionis ditunjukkan tidak hanya
dengan memperlihatkan genitalnya, tetapi juga bagian tubuh lain yang berhubungan dengan
seksualitas seperti payudara, paha, dan bokong. Lebih lanjut, pada perempuan perilaku
eksibisionis dilakukan agar bisa mendapatkan perhatian dan memunculkan perasaan
berharga pada diri perempuan. Kondisi ini terjadi karena pada dasarnya perempuan
menganggap dirinya merupakan produk erotis bagi laki-laki.
Indonesia merupakan negara dengan budaya dan nilai moral yang kuat sehingga
permasalahan seksual menjadi tabu untuk dibicarakan terlebih bila menyangkut perilaku
ekshibisionisme. Dengan kondisi demikian, permasalahan seksual lebih banyak dibicarakan
dalam situasi-situasi rahasia, sehingga muncul juga kelompok-kelompok yang rahasia yang
membahas atau memberikan kesempatan kepada anggota di dalamnya untuk menyalurkan
hobi atau imajinasi seksualnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fahrul
Rozi dan Nuram Mubina yang berjudul Gambaran Perilaku Eksibisionis pada Perempuan
dalam Komunitas Nude Photography di Jakarta pada tahun 2016 dijelaskan bahwa salah
satu komunitas tersebut adalah komunitas nude photography yang berisikan individu yang
memiliki ketertarikan dalam seni fotografi dengan model tanpa busana. Kondisi seperti ini
menunjukkan adanya prilaku eksibionis pada anggota komunitas nude photography.

Menurut American Psychiatic Association (2013) dalam buku yang berjudul Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder 5th Edition, dijelaskan bahwa faktor yang dapat
mempengaruhi prilaku eksibisionis memiliki jumlah sekitar 2-4% dari populasi individu
laki-laki, sedangkan pelaku Eksibisionis perempuan tidak begitu diketahui, tetapi jumlahnya
diyakini lebih rendah dari jumlah pelaku laki-laki.

Akibat yang dapat terjadi pada kasus eksibisionisme ini yaitu klien dapat mengalami
gangguan kejiwaan karena mereka terlalu asik dengan dunia fantasinya, selain itu dapat
terjadi distress dan masalah interpersonal, karena sudut pandang atau pendapat seseorang
terhadap klien tersebut berbeda-beda (ada yang menerima dan tidak menerima).

Peran perawat pada kasus eksibisionisme antara lain sebagai pemberi asuhan keperawatan
dimana perawat akan memberikan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan dengan
menggunakan proses asuhan keperawatan, sebagai advokat dimana perawat akan
memberikan informasi kepada klien maupun keluarga klien dalam mengambil keputusan
atas tindakan keperawatan yang akan diberikan kepada klien, sebagai pendidik dimana
perawat akan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala
penyakit, bahkan tindakan yang diberikan untuk merubah perilaku dari klien, sebagai
koordinator dimana perawat akan memberikan pengarahan serta perencanaan dalam
pelayanan kesehatan dari tim kesehatan yang lain agar pelayanan kesehatan dapat sesuai
dengan kebutuhan klien, sebagai kolabolator dimana perawat akan berkolaborasi dengan tim
kesehatan lainnya untuk melakukan diskusi dalam penentuan asuhan keperawatan, dan
sebagai konsultan dimana perawat akan berperan sebagai tempat berkosultasi terhadap
tindakan keperawatan yang sesuai dengan asuhan keperawatan.

Berdasarkan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat untuk melindungi diri dan akibat
yang dapat terjadi pada eksibisionisme, kami membuat makalah ini agar mahasiswa
mengetahui lebih lanjut tentang eksibisionisme dan cara mengatasi eksibisionisme.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Setelah dilakukan pembelajaran diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang
gangguan prilaku seksua (eksibisionisme)
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Dapat memahami tentang pengertian penyimpangan sosial
1.2.2.2 Dapat memahami tentang pengertian eksibisionisme seksual
1.2.2.3 Dapat memahami tentang penyebab eksibisionisme
1.2.2.4 Dapat memahami tentang tanda dan gejala eksibisionisme
1.2.2.5 Dapat memahami tentang factor predisposisi eksibisionisme
1.2.2.6 Dapat memahami tentang kriteria eksibisionisme
1.2.2.7 Dapat memahami tentang dampak eksibisionisme
1.2.2.8 Dapat memahami tentang penanganan eksibisionisme

1.3 Metode Penulisan


Metode penulisan yang kami gunakan adalah deskriptif, kajain pustaka dilakukan dengan
mencari literature di internet dan buku panduan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Penyimpangan Seksual


Menurut Junaedi (2010) dalam buku yang berjudul 17+ Seks Menyimpang, dijelaskan bahwa
istilah penyimpangan seksual (sexual deviation) sering disebut juga dengan abnormalitas
seksual (sexual abnormality), ketidak wajaran seksual (sexual perversion), dan kejahatan
seksual (sexual harassment). Penyimpangan seksual (deviasi seksual) bisa didefinisikan
sebagai dorongan dan kepuasan seksual yang ditunjukan kepada obyek seksual secara tidak
wajar. Penyimpangan seksual kadang disertai dengan ketidakwajaran seksual, yaitu perilaku
atau fantasi seksual yang diarahkan pada pencapaian orgasme lewat relasi diluar hubungan
kelamin heteroseksual, dengan jenis kelamin yang sama, atau dengan partner yang belum
dewasa, dan bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat
yang bisa diterima secara umum.

Menurut Indriyani (2007) dalam buku yang bejudul Sosiologi 1 : Suatu Kajian Kehidupan
Masyarakat, dijelaskan bahwa penyimpangan seksual merupakan salah satu bentuk perilaku
menyimpang dan melanggar norma-norma kehidupan masyarakat. Penyimpangan seksual
adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual
tidak sewajarnya. Ketidakwajaran seksual mencakup perilaku-perilaku seksual atau fantasi-
fantasi seksual yang diarahkan pada pencapaian orgasme lewat relasi di luar hubungan
kelamin heteroseksual, dengan jenis kelamin yang sama, atau dengan partner yang belum
dewasa, dan bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat
yang bisa diterima secara umum.

2.2 Pengertian Eksibisionisme Seksual


Menurut Junaedi (2010) dalam buku yang berjudul 17+ Seks Menyimpang, dijelaskan bahwa
eksibionisme adalah kepuasan yang diperoleh dengan memperlihatkan bagian tubuh lain,
pada lawan jenis atau anak-anak. Memperlihatkan alat kelamin sering dilakukan di tempat
umum seperti kereta, taman, perpustakaan, halaman sekolah, bus, depan bioskop, di jalan
raya. Setelah memamerkan alat genitalnya, klien tidak bermaksud melakukan aktivitas
seksual lebih lanjut terhadap korban misalnya memperkosa. Oleh sebab itu, gangguan ini
tidak berbahaya secara fisik bagi korban. Diantara orang-orang dewasa memperlihatkan alat
kelamin yang patologik lebih sering dilakukan oleh laki-laki sedangkan memperlihatkan
bagian tubuh dengan batas-batas tertentu sering dilakukan eksibinisme oleh perempuan.

Eksbisionisme menurut hukum dan psikologi abnormal adalah sebuah indecent exposure
atau pengumbaran yang nggak senonoh. Menurut ibu lilly ada tiga sebab menculnya
perilaku menyimpang ini karena kepribadian yang belum matang, orang tua yang terlalu
strict, atau karena mengalami stress berat. Orang-orang pengidap kelainan jiwa ini bisa
melakukannya dimana saja. Termasuk di tempat umum. Tanpa perasaan malu mereka bisa
memamerkan organ genitalnya di depan umum. Bahkan, ada yang nekat melakukannya di
dalam bis kota saat penumpang lagi berdempet-dempetan. Terus bagaimana kasus pekerja
seni seperti foto model? Kemungkinan mereka yang punya hobi begitu termasuk pada
kategori pertama dan kedua. Dan mereka ingin dikagumi dan dianggap hebat dengan
perilaku yang tidak biasa dilakukan oleh orang normal, karena mereka menganggap diri
mereka berbeda dengan sangat eksklusif in the name of art, sekalian memuaskan rasa
powerfulnya atau mereka melihat bahwa telanjang merupakan pemberontakan atas tekanan
hidup atau larangan norma yang dirasakan terlalu banyak sementara sumber daya mereka
sendiri relative kecil.

Menurut Semiun (2006) dalam buku yang berjudul Kesehatan Mental 2 : Gangguan-
Gangguan Kepribadian, Reaksi-Reaksi Simtom Khusus, Gangguan Penyesuaian Diri, Anak-
Anak Luar Biasa dan Gangguan Mental yang Berat, dijelaskan bahwa gangguan ini
umumnya berawal di masa remaja dan berlanjut hingga dewasa. Eksibisionis dapat terjadi
pada pria maupun wanita. Pada pria, penderita menemukan kepuasaan saat melihat
perempuan terkejut melihat genitalnya. Sedangkan pada wanita, penderita menemukan
kepuasan melihat pria terangsang saat melihat alat kelamin, payudara atau pantatnya.
Beberapa eksibisionis ditangkap atas kejahatan lain yang melibatkan kontak dengan
korbannya. Eksibionis melakukan masturbasi ketika berfantasi atau ketika benar-benar
memamerkannya. Eksibisionisme dapat dikategorikan sebagai paraphilia yang tergolong
aneh tapi tidak langka.
Terkadang, dorongan untuk memamerkan datang secara naik turun. Seringkali pasien
mungkin melakukannya setiap hari untuk satu atau dua minggu, kemudian berhenti
berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Perilaku ekshibisionis paling sering terjadi ketika
pasien mengalami stres atau ketika memiliki waktu luang. Penggunaan alkohol jarang sekali
menjadi faktor pemicu.

2.3 Penyebab Eksbisionisme


Menurut Purnamasari (2015) dalam artikel yang berjudul Eksibisionis, dijelaskan bahwa
penyebab dari eksibisionisme, yaitu:
2.3.1 Psikologis
Penyebab Eksibisionis diduga karena perkembangan psikologis yang tak sempurna
semasa anak-anak. Di mana saat itu klien mengalami perasaan rendah diri, tidak aman
serta memiliki ibu yang dominan dan sangat protektif. Karena itu, klien tidak bisa
berinteraksi dengan lawan jenisnya. Pengalaman masa kecil tersebut
dapat berkontribusi besar terhadap rendahnya tingkat keterampilan sosial dan harga
diri, rasa kesepian dan terbatasnya hubungan intim. Perilaku eksibisionis masuk
kategori penyimpangan kejiwaan dalam hal seksual bila memamerkan organ seks
untuk kepentingan pribadi. Mereka yang suka pamer organ seks lebih pas dimasukkan
dalam kategori narcism, yang istilah merupakan orang yang suka memuja diri sendiri.
Mereka merasa dirinya menjadi pusat perhatian sehingga tampilannya selalu
mengundang perhatian.Umumnya pengidap eksibisionis rata-rata sudah menikah
namun memiliki hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan pasangannya.
2.3.2 Pandangan Behavioral dan Kognitif
Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari classical conditioning, yang secara
kebetulan telah memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang
dianggang tidak pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai parafilia
bersifat multidimensional dan menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang. Seringkali orang dengan parafilia
mengalami penyiksaan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam
keluarga yang hubungan antara orang tua dengan anak terganggu.
2.3.3 Biologis
Sebagian besar orang yang mengidap eksibisionisme adalah laki laki, terdapat
spekulasi bahwa androgen, hormon utama pada laki-laki berperan dalam gangguan ini.
Berkaitan dengan perbedaan dalam otak, suatu disfungsi pada lobus temporalis dapat
memiliki relevansi dengan sejumlah kecil kasus eksibisionisme. Jika faktor biologis
berperan penting, kemungkinan besar hal itu hanya merupakan salah satu faktor dari
rangkaian penyebab yang kompleks yang mencakup pengalaman sebagai salah satu
faktor utama. Dalam teori biologis, hal ini dangat dipengaruhi oleh faktor genetik atau
faktor hormonal.
2.3.4 Sosiokultural
Lingkungan dan budaya yang mendukung yang ada disekeliling eksibisionisme dapat
menjadi faktor penyebab. Apa yang dilihat di lingkungan dapat menjadi stimulus bagi
individu.

2.4 Tanda dan Gejala Eksibisionisme


Menurut Astari (2016) dalam artikel yang berjudul Exhibitionist, Suka Pamer Alat Kelamin
di Depan Umum, dijelaskan bahwa tanda dan gejala eksibisionisme, yaitu jika seseorang
mengalami eksibisionisme maka klien akan merasa cemas, obsesi, malu, atau bersalah.
Tetapi bagi orang yang tidak merasakan perasaan negatif tersebut, maka ia hanya
didiagnosis dengan ketertarikan seksual eksibisionisme (tidak mengalami penyakit
eksibisionisme).

2.5 Faktor Predisposisi Eksibisionisme


Menurut American Psychiatic Association (2013) dalam buku yang berjudul Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder 5th Edition, dijelaskan bahwa faktor yang dapat
mempengaruhi prilaku eksibisionis memiliki jumlah sekitar 2-4% dari populasi individu
laki-laki, sedangkan pelaku Eksibisionis perempuan tidak begitu diketahui, tetapi jumlahnya
diyakini lebih rendah dari jumlah pelaku laki-laki. Lebih lanjut, dorongan untuk melakukan
Eksibisionis dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: a. Tempramen. Kepribadian
individu akan berpengaruh pada munculnya perilaku Eksibisionis. Individu dengan
kepribadian antisosial atau memiliki sejarah perilaku antisosial, pengonsumsi alkohol, serta
pelaku pedofilia memiliki probilitas yang tinggi untuk menjadi pelaku Eksibisionis b.
Lingkungan. Para korban kekerasan seksual di masa kanak-kanak dan individu dengan
hypersexuality juga memiliki risiko besar untuk menjadi seorang pelaku eksibisionis.

2.6 Kriteria Eksibisionisme


Menurut Butcher (2008) dalam buku yang berjudul Abnormal Psychology Core Concept,
menjelaskan bahwa kritria seseorang mengalami eksibisionisme, yaitu dengan kriteria
sebagai berikut:
2.5.1 Setidaknya terjadi selama 6 bulan berturut-turut, klien memiliki hasrat seksual yang
kuat, fantasia atau perilaku yang berkenaan dengan memamerkan kelamin sendiri
kepada orang lain yang tidak dicurigai.
2.5.2 Ciri berikutnya adalah klien bertindak berdasarkan dorongan tersebut atau dodorongan
dan fantasi tersebut dapat menyebabkan orang tersebut mengalami distress atau
mengalami masalah interpersonal.
2.5.3 Gejalanya dimulai sebelum usia 18 tahun, tetapi itu akan berlangsung sampai berusia
30-an atau lebih.

2.7 Dampak Eksibisionisme


Menurut Butcher (2008) dalam buku yang berjudul Abnormal Psychology Core Concept,
menjelaskan bahwa dampak atau akibat yang akan terjadi pada seseorang yang memiliki
gangguan eksibisionisme yaitu dapat mengalami gangguan kejiwaan karena mereka terlalu
asik dengan dunia fantasinya, selain itu dapat terjadi distress dan masalah interpersonal,
karena sudut pandang atau pendapat seseorang terhadap klien tersebut berbeda-beda (ada
yang menerima dan tidak menerima).

2.8 Penanganan Eksibisionisme


Menurut , dijelaskan bahwa eksibisionisme dapat ditangani dengan berbagai cara, yaitu
dengan:
2.8.1 Terapi Psikoanalisis
Pandangan psikoanalisis adalah gangguan itu timbul karena adanya gangguan karakter
yang dahulu disebut gangguan kepribadian, sehingga sangat sulit untuk ditangani
dengan keberhasilan yang cukup memadai.
2.8.2 Teknik Behavioral
Para terapis dari aliran behavioral mencoba untuk mengembangkan prosedur
terapeutik untuk mengubah aspek seksual individu. Terapi aversif dilakukan dengan
memberikan kejutan fisik saat seoseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan
dengan parafilia. Metode lain, disebut satiation yaitu seseorang diminta untuk
bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi dengan lantang. Kedua terapi
tersebut, apabila digabungkan dengan terapi lain seperti pelatihan kemampuan sosial,
dapat bermanfaat terhadap paedofilia, transvestisme, eksibisionisme, dan
transvestisme. Cara lain yang dilakukan adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan
membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang
konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang
konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain
yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti
pelatihan social skills.
2.8.3 Penanganan Kognitif
Prosedur kognitif sering digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada
individu dengan parafilia. Diberikan pula pelatihan empati agar individu memahami
pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak program penanganan yang
memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program
rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang.
2.8.4 Penanganan Biologis
Intervensi biologis yang sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah
dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru-baru ini, penanganan
biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan
adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua obat
tersebut dapat menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki dan untuk menghambat
rangsangan seksual.
BAB III
TINJAUAN KEPERAWATAN

Berdasarkan hasil diskusi kelompok untuk kasus eksibisionisme didapatkan beberapa prinsip-
prinsip etika keperawatan, antara lain:
3.1 Otonomi, dimana bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan
sendiri, tetapi dalam kasus ini kita sebagai perawat harus menghargai keputusan yang telah
diambil oleh klien dan kita juga dapat memberitahu dengan sopan bahwa tindakan tersebut
kurang tepat dilakukan pada orang lain dan di depan umum. Jika kita melihat klien yang
seperti ini sikap kita biasa saja seperti tidak terjadi sesuatu, jik kita berani maka pelototi saja
klien tersebut dan jika memungkinkan untuk berpindah posisi maka lebih baik berpindah
posisi.

3.2 Beneficence (berbuat baik), dimana kita sebagai perawat harus tetap berbuat baik dalam
menangani kasus seperti ini dan kita juga dapat menyarankan kepada klien tindakan terapi
yang dapat dilakukan oleh klien untuk mengatasi masalahnya ini agar klien dapat kembali
seperti semula atau awal yang belum memiliki gangguan prilaku seksual.

3.3 Justice (keadilan), dimana kita sebagai perawat harus tetap berprilaku adil dalam melakukan
tindakan keperawatan pada klien yang memiliki gangguan seperti ini dan tidak boleh
memilih-milih karena klien memiliki gangguan prilaku seperti ini, seharusnya kita sebagai
perawat harus berusaha lebih dalam mengatasi kasus seperti ini karena jika klien tersebut
dapat normal kembali atau tidak memiliki gangguan prilaku seksual, maka kita telah
menolong klien tersebut.

3.4 Non-maleficence (tidak merugikan), dimana kita sebagai perawat tidak boleh berprilaku atau
bersikap kasar kepada klien, seperti memukul klien saat klien menunjukkan alat kelaminnya
di depan kita. Tetapi, kita harus memberitahukan bahwa tindakan tersebut kurang tepat jika
dilakukan ke orang lain, jika memang klien ingin melakukan tindakan tersebut maka lebih
baik melakukan di depan suami atau istrinya saja.
BAB IV
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai