2
https//:belajarpsikologi.com/2013/11/12/pengertian-kecerdasan-emosional-html.
Gangguan emosional dapat mempengaruhi kehidupan mental. Rasa
cemas, marah atau depresi mengakibatkan kesulitan dalam berkreasi.
Emosi negatif dapat membelokkan perhatian agar selalu tertuju kepada
emosi itu sendiri, menghalangi usaha memusatkan perhatian kepada hal-
hal yang lain. Sesungguhnya, salah satu pertanda bahwa perasaan telah
keluar jalur dan mengarah menjadi penyaki. Bila perasaan begitu
kuatnya sehingga mengalahkan pikiran-pikiran lain terus menerus
menyabot upaya-upaya memusatkan perhatian pada hal-hal yang sedang
dihadapi. Motivasi didukung oleh kondisi perasaan antusiasme, gairah
dan keyakinan diri dalam mencapai prestasi dalam bekerja
kondisi flow menjadi sesuatu yang menakjubkan.
4. Mengenali emosi orang lain yakni berempati. Empati dibangun
berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka kita kepada emosi diri
sendiri, semakin trampil kita membaca perasaan orang lain.
Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana
perasaan orang lain. Ketiadaan empati dapat terlihat pada psikopat
kriminal, pemerkosaan dll. Biasanya emosi jarang diungkapkan dengan
kata-kata, lebih sering dengan isyarat. Kunci memahami perasaan orang
lain adalah mampu membaca pesan nonverbal; nada bicara, gerak-gerik,
ekspresi wajah dan sebagainya. 90 persen atau lebih pesan emosional
bersifat nonverbal.
5. Membina hubungan yakni menunjang popularitas, kepemimpinan dan
keberhasilan antar pribadi. Membina hubungan memerlukan
ketrampilan sosial yang berlandaskan kemampuan mengelola suasana
hati dan empati. Dengan landasan ini, ketrampilan berhubungan dengan
orang lain akan matang. Ini merupakan kecakapan sosial yang
mendukung keberhasilan dalam pergaulan. Jika kecakapan ini tidak
dimiliki akan berakibat pada ketidakcakapan dalam dunia sosial atau
berulangnya bencana antar pribadi. Sesungguhnya, karena tidak
dimilikinya ketrampilan ini menyebabkan orang-orang yang otaknya
encer, sering gagal membina hubungan karena penampilan angkuh,
mengganggu atau tak berperasaan. Kemampuan ini memungkinkan
seseorang membentuk hubungan untuk menggerakkan dan mengilhami
orang lain, membina kedekatan, meyakinkan dan mempengaruhi serta
membuat orang-orang lain merasa nyaman.
B. Faktor Kecerdasan Emosional
3. Memanfaatkan Emosi
a. memiliki rasa tanggung jawab
Secara Produktif b. mampu memusatkan perhatian pada tugas
yang dikerjakan
c. mampu mengendalikan diri dan tidak
bersifat impulsive
4. Empati a. mampu memiliki sudut andang orang lain
b. memiliki kepekaan terhadap perasaan orang
lain
c. mampu mendengarkan orag lain
5. Membina Hubungan a. memiliki pemahaman dan kemampuan untuk
mengalisi hubungan dengan orang lain
b. dapat menyelesaikan konflik dengan orang
lain
c. memmiliki kemampuan berkomunikasi
dengan orang lain
d. memilik sikap bersahabat atau mudah
bergaul dengan teman sebaya
e. memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian
terhadap orang lain
f. memerhatikan kepentingan social ( senang
menolong orang lain) dan dapat hidup selaras
dengan kelompok
g. bersikap senang dan berbagi rasa dan bekerja
sama
h. bersikap demokratif dalam bergaul dengan
orang lain
Istilah ini ditemukan sekitar tahun 1912 oleh William Stern. Digunakan
sebagai pengukur kualitas seseorang pada masa itu , dan ternyata sekarang dipakai
di indonesia. Bahkan untuk masuk ke militer pada saat itu, IQ lah yang
menentukan tingkat keberhasilan dalam penerimaan masuk.
Kecerdasan ini terletak di otak bagian cortex (kulit otak). Kecerdasan ini
adalah sebuah kecerdasan yang memberikan kita kemampuan untuk berhitung,
beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi.
Kecerdasan intelektual atau intelegensi juga merupakan syarat minimum
kompetisi. Sementara untuk mencapai prestasi puncak, kecerdasan spiritual lebih
besar berperan. Dengan kata lain kecerdasan intelektual dan spiritual keduanya
perlu dikembangkan untuk mencapai sukses. Sedangkan untuk mencapai hasil
istimewa, kecerdasan spiritual perlu dikembangkan dengan optimal.
Kecerdasan Intelektual atau intelegensi dapat dikembangkan optimal dengan
memahami bagaimana sistem kerja otak manusia dan seperangkat latihan praktis.
Jadi bisa disimpulkan IQ adalah kecerdasan yang digunakan berhubungan dengan
alam dan pengelolaannya. IQ setiap orang dipengaruhi oleh materi otaknya., yang
ditentukan oleh faktor genetika. Namun demikian potensi IQ sangat Besar.
Inteligensi atau taraf kecerdasan mengandung arti yang amat luas, namun
banyak orang sering salah menginterpretasikannya sebagai IQ (Intelligency
Quotient). Inteligensi adalah potensi yang dimiliki seseorang untuk beradaptasi
dengan lingkungannya. Adapun “quotient” adalah satuan ukuran yang digunakan
untuk inteligensi.
Westen (1996) seorang pakar psikologi dari Universitas Harvard
menjelaskan tentang inteligensi dan IQ secara panjang lebar. Ia mengemukakan
bahwa inteligesi berbentuk multifaset artinya inteligensi diekspresikan dalam
berbagai bentuk. Pada umumnya, inteligensi diukur di sekolah serta lembaga
pendidikan tinggi, dan pengukuran yang dilakukan cenderung bersifat skolastik
(kemampuan yang diajarkan di sekolah). Karena hal yang diukur adalah
kemampuan yang diajarkan di sekolah, maka mereka yang kurang beruntung
memperoleh pendidikan di sekolah cenderung memperoleh skor IQ yang rendah.
Padahal, mungkin saja mereka yang tidak bersekolah memiliki taraf kecerdasan
lebih tinggi daripada yang bersekolah.
Disamping itu, rumusan taraf kecerdasan pun beraneka ragam bentuknya
tergantung pada wilayah kecerdasannya. Ada yang memiliki kecerdasan tinggi
dalam ilmu pasti tetapi tidak mampu menggabar atau melukis. Sementara itu,
banyak seniman serta perupa memiliki kecerdasan tinggi dan mampu
menghasilkan karya seni yang demikian indah namun taraf kecerdasannya tidak
dapat diukur karena sementara ini tidak ada pengukuran taraf kecerdasan artistik.
Dewasa ini sejumlah pakar psikologi semakin giat meneliti kembali apa
yang dimaksud dan bagaimana cara mengukur inteligensi, dan mereka
berpandangan bahwa inteligensi tidak dapat diukur melalui pengukuran
kemampuan skolasti semata.3
Gardner (1983) misalnya, menjelaskan bahwa inteligensi bukan merupakan
konstruk sejumlah kemampuan yang masing-masing dapat berdiri sendiri. Ia
beranggapan bahwa sekurang-kurangnya, ada 7 bentuk inteligensi:
1. Inteligensi bahasa (linguistik),
2. Inteligensi logika matematika (logic-mathematical),
3. Inteligensi keruangan (spatial),
4. Inteligensi musikal (musical),
5. Inteligensi kinestetik (bodily-kinesthetic),
6. Inteligensi interpesonal,
7. Inteligensi intrapersonal,
8. Inteligensi naturalis,
9. Inteligensi spiritual, dan
10. Inteligensi eksistensial.
3
Haryu, Islamudin. Psikologi Pedidikan. Yogyakarta : Pustaka Belajar. 2012
aliran nativisme mempunyai pandangan yang pesimistis terhadap pengaruh
pendidikan.4
Genetik (pembawaan lahir) sangat mempengaruhi perkembangan
intelegensi seseorang. Arthur Jensen berpendapat bahwa kecerdasan pada
umumnya diwariskan dan lingkungan hanya berperan minimal dalam
mempengaruhi kecerdasan. Jensen meninjau riset tentang kecerdasan, yang
kebanyakan melibatkan perbandingan-perbandingan skor tes IQ pada anak
kembar identik dan kembar tidak identik. Pada anak kembar identik, korelasi rata-
rata skor tes kecerdasan sebesar 0,82, hal ini menunjukkan asosiasi positif yang
sangat tinggi. Sedangkan untuk anak kembar yang tidak identik, korelasi rata-rata
skor tes kecerdasannya sebesar 0,50 yang menunjukkan korelasi positif yang
cukup tinggi. Jadi, berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Arthur Jensen
tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan diturunkan secara genetik.
Untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh genetik terhadap perkembangan
intelegensi anak, dapat kita lihat pada konsep heritabilitas. Heritabilitas adalah
bagian dari variansi dalam suatu populasi yang dikaitkan dengan faktor genetik.
Indeks heritabilitas di hitung menggunakan teknik korelasional. Jadi, tingkat
paling tinggi dari heritabilitas adalah 1,00, korelasi 0,70 keatas mengindikasikan
adanya pengaruh genetik yang kuat. Sebuah komite, yang terdiri dari peneliti-
peneliti terhormat yang dihimpun American Psychological Association,
menyimpulkan bahwa pada tahap remaja akhir, indeks heritabilitas kecerdasan
kira-kira 0,75, hal ini mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat
terhadap perkembangan intelegensi.5
Indeks heritabilitas mengasumsikan bahwa kita dapat memperlakukan
pengaruh-pengaruh lingkungan dan genetika sebagai faktor-faktor yang terpisah,
di mana tiap-tiap bagian memberi kontribusi berupa sejumlah pengaruh yang
unik. Faktor genetik dan faktor lingkungan selalu bekerja bersama-sama, gen
selalu ada dalam suatu lingkungan dan lingkungan mempertajam aktivitas gen.
2. Faktor Lingkungan
4
Dalyono. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. 2010
5
Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.2006
Menurut teori empirisme manusia tidak memiliki pembawaan hidupnya
sejak lahir sampai dewasa semata-mata ditentukan oleh faktor lingkungan hidup
dan pendidikan. Menurut teori ini segala sesuatu yang terdapat pada jiwa manusia
dapat diubah oleh pendidikan. Watak, sikap dan tingkah laku manusia
dianggapnya bisa dipengaruhi seluas-luasnya oleh pendidikan. Pendidikan
dipandang mempunyai pengaruh yang tidak terbatas.
Lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan intelegensi seseorang.
Hal ini berdasarkan hasil studi yang dilakukan para peneliti dengan melakukan
kunjungan dan observasi kerumah-rumah, seberapa ekstensifnya para orang tua
(dari keluarga profesional yang kaya-raya hingga keluarga profesional yang
berpendapatan menengah) berbicara dan berkomunikasi dengan anak-anak mereka
yang masih belia. Hasilnya menunjukkan bahwa orang tua yang berpendapatan
menengah lebih banyak berkomunikasi dengan anak-anak mereka yang masih
belia dibandingkan dengan orang tua dari kalangan kaya-raya. Berdasarkan hail
studi tersebut menunjukkan bahwa semakin sering orang tua berkomunikasi
dengan anak-anak mereka, skor IQ anak-anak tersebut semakin tinggi.
Selain itu, lingkungan sekolah juga mempengaruhi perkembangan
intelegensi seseorang. Anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan formal
dalam jangka waktu yang lama akan mengalami penurunan IQ. Hal ini
berdasarkan hasil studi terhadap anak-anak di Afrika Selatan yang mengalami
penundaan bersekolah selama empat tahun menemukan adanya penurunan IQ
sebesar lima poin pada setiap tahun penundaan.
Seorang peneliti dari Universitas Colombia Prof. Irving Lorge
mengungkapkan bahwa IQ seseorang berhubungan dengan tingkat pendidikannya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula skor IQ-nya.
Pengaruh lain dari pendidikan dapat dilihat pada peningkatan pesat skor tes
IQ di seluruh dunia. Skor IQ meningkat sangat cepat sehingga orang-orang yang
dianggap memiliki kecerdasan rata-rata pada abad sebelumnya akan menjadi
orang-orang yang dianggap memiliki kecerdasan di bawah rata-rata di abad ini.
Karena peningkatan tersebut terjadi dalam waktu relatif singkat, hal itu tidak
mungkin diakibatkan oleh faktor keturunan. Peningkatan ini di mungkinkan
karena meningkatnya tingkat pendidikan yang diperoleh sebagian besar populasi
didunia, atau karena faktor-faktor lingkungan yang lain seperti ledakan informasi
yang dapat diakses orang-orang di seluruh dunia.
Banyak orang tua dengan pendapatan yang rendah memiliki kesulitan
menyediakan lingkungan yang secara intelektual menstimulasi anak-anak mereka.
Program-program yang mendidik orang tua untuk menjadi pengasuh yang lebih
sensitif dan guru yang lebih baik, serta adanya layanan dukungan seperti program-
program pengasuhan anak berkualitas, dapat membuat perbedaan dalam
perkembangan intelektual anak.
Dalam buku Psikologi Pendidikan oleh H. Jaali, faktor yang mempengaruhi
intelegensi antara lain sebagai berikut:
a. Faktor Bawaan. Dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak
lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan
masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, di
dalam satu kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar. Dan pintar
sekali, meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
b. Faktor Minat dan Pembawaan yang Khas. Dimana minat mengarahkan
perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan
itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong
manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar,sehingga apa yang diminati
oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih giat dan
lebih baik.
c. Faktor Pembentukan. Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar
diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Di sini
dapat dibedakan antara pembentukan yang direncanakan, seperti dilakukan
di sekolah atau pembentukan yang tidak direncanakan, misalnya pengaruh
alam sekitarnya.
d. Faktor Kematangan. Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami
pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik
mauapun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau
berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya
masing-masing. Oleh karena itu, tidak diherankan bila anak anak belum
mampu mengerjakan atau memecahkan soal soal matematika di kelas
empat sekolah dasar, karena soal soal itu masih terlampau sukar bagi anak.
Organ tubuhnya dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk
menyelesaikan soal tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan
faktor umur.
e. Faktor Kebebasan. Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu
dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan
memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan
kebutuhannya.
G. Unsur-unsur EQ
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan mengelola hati atau perasaan diri
dalam menghadapi permasalahan kehidupan baik yang berkaitan dengan diri
sendiri, manusia dan lingkungan sekitar. Kemudian,unsur-unsur apa saja yang
menyusun kecerdasan emosi seseorang. 6
Setidaknya ada 5 ranah yang menjadi unsur pembangun EQ seseorang,
yaitu:
1. Ranah intrapribadi, yang berupa:
a. Kesadaran diri (mengenali perasaan diri, mengapa merasakan
seperti itu, bagaimana pengaruh perilaku kita terhadap orang lain)
b. Sikap asertif (kemampuan menyampaikan pikiran, apa yang kita
rasa secara jelas, membela diri dan mempertahankan pendapat)
c. Kemandirian (kemampuan mengarahkan dan mengendalikan diri,
tidak tergantung orang lain)
d. Penghargaan diri (kemampuan mengenali kekuatan/kelebihan
maupun kelemahan/ kekurangan diri serta mampu menyukai diri
apa adanya)
e. Aktualisasi diri (kemampuan mewujudkan potensi diri, merasa
senang akan prestasi diri).
2. Ranah antar pribadi, meliputi unsur :
a. Empati (kemampuan memahami pikiran dan perasaan orang lain,
melihat permasalahan dari sudut pandang orang lain)
b. Tanggung jawab sosial (kemampuan menjadi bagian dari anggota
masyarakat, bekerja sama, memberi manfaat )
c. Ranah adaptasi, meliputi beberapa unsur yaitu:
1) Uji realitas (mampu melihat segala sesuatu apa adanya,
bukan seperti yang kita inginkan atau kita takuti)
2) Fleksibel (mampu menyesuaikan perasaan, pikiran dan
tindakan)
3) Pemecahan masalah (kemampuan mengidentifikasi,
memilih tindakan, dan menerapkan tindakan untuk
menyelesaikan masalah)
6
Riana Masher, Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta :Kencana Pranada
Media Group. 2011.
4) Ranah pengendalian stres, meliputi: ketahanan menanggung
tekanan dengan tenang, fokus, bertahan/bertindak secara
konstruktif
5) Ranah suasana hati umum, meliputi : rasa optimis
mempertahankan sikap positip yang realistis, mensyukuri
kehidupan, menyukai diri/orang lain, penuh semangat dan
bergairah dalam setiap aktivitas.
DAFTAR PUSTAKA
Masher Riana. 2011. emosi anak usia dini dan strategi pengembangannya.
Jakarta : Kencan Pranada Media Group