Anda di halaman 1dari 18

WACANA AWAL

Kecerdasan sering dipahami oleh masyarakat sebagai kemampuan seseorang


dalam proses berfikir. Proses berfikir disini dilakukan untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih dalam. Pengetahuan yang diperoleh akan menjadi
landasan mencapai kesuksesan. Banyak yang menganggap bahwa orang cerdas
dalam intelektual akan sukses. Namun, kesuksesan seseorang tidak hanya
ditentukan dari kecerdasan intelektual saja, melainkan adanya dukungan dari
kecerdasan lain. Kecerdasan tersebut adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual. Ketiga kecerdasan ini terdapat didalam diri setiap individu, dan akan
berkembang jika dapat mengasahnya dengan baik. Dalam prakteknya, ketiga
kecerdasan ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Berdasarkan pengetahuan yang penulis peroleh, kecerdasan tertinggi sebagai
puncak kecerdasan adalah kecerdasan spiritual. Seseorang yang memiliki
kecerdasan spiritual tinggi, akan mampu merealisasikan kemampuan yang
dimiliki sesuai dengan norma susila. Maka dari itu, untuk mengetahui lebih dalam
bagaimanakah pengertian masing-masing kecerdasan tersebut, akan dibahas
dalam makalah ini.
Inteligensi atau kecerdasan menurut Dusek (Casmini,2007:14) dapat
didefinisikan melalui dua jalan yaitu secara kuantitatif adalah proses belajar untuk
memecahkan masalah yang dapat diukur dengan tes inteligensi, dan secara
kualitatif suatu cara berpikir dalam membentuk konstruk bagaimana
menghubungkan dan mengelola informasi dari luar yang disesuaikan dengan
dirinya. Howard Gardner (Agus Efendi, 2005: 81) kecerdasan adalah kemampuan
untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu.

A. Konsep Dasar Kecerdasan Emosional


KE (kecerdasan emosional) adalah kemampuan seperti kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri, dan bertahan menghadapi frustrasi, menghadapi
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan , mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan
berdoa.. KE ini dikategorikan dalam lima wilayah: 1
1. Mengenali emosi diri yakni kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi. Seorang Samurai di Jepang menantang seorang
pendeta untuk menjelaskan konsep surga dan neraka. Tetapi pendeta itu
menjawab dengan mengejek; Kau hanyalah orang bodoh, saya tidak
mau menyia-nyiakan waktu untuk orang seperti kamu. Merasa dihina,
samurai itu naik darah, lalu menghunus pedangnya, kemudian berteriak;
Saya dapat membunuhmu sekarang juga. Lalu pendeta itu
menjawab; Itulah neraka. Samurai itu takjub mendengarnya, lalu
menjadi tenang dan menyarungkan pedangnya sambil mengucapkan
terima kasih kepada pendeta itu atas penjelasannya. Kemudian sang
pendeta berkata; Itulah surga. Kesadaran medadak si Samurai tentang
amarahnya sendiri menggambarkan pengenalan perasaannya sendiri.
Ajaran Socrates mengatakan bahwa; Kenalilah dirimu sendiri
menunjukkan inti KE di mana terjadi kesadaran akan perasaan diri
sendiri sewaktu perasaan itu timbul.
2. Mengelola suasana hati yakni menangani perasaan agar perasaan dapat
terungkap dan terkendali. Mengelola suasana hati bertujuan untuk
menjaga keseimbangan emosi, bukan menekan emosi. Kehidupan tanpa
nafsu bagaikan padang pasir netralitas yang datar dan membosankan,
terputus dan terkucil dari kesegaran itu sendiri. Emosi harus wajar,
keselarasan antara perasaan dengan lingkungan. Apabila emosi terlalu
ditekan, terciptalah kebosanan. Bila emosi tidak dikendalikan, terlalu
ekstrim dan terus menerus, emosi akan menjadi sumber penyakit seperti
depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang meluap-luap, serta
gangguan emosional yang berlebihan (mania).2
3. Memotivasi diri sendiri yakni menata emosi dalam bentuk kendali
emosi, menahan diri terhadap kepuasan, mengendalikan dorongan hati.
1
R.Meyer, Henry. Emotional Intellegence-Cara Humanis Memimpin Bisnis,Bandung : Nuansa.2011

2
https//:belajarpsikologi.com/2013/11/12/pengertian-kecerdasan-emosional-html.
Gangguan emosional dapat mempengaruhi kehidupan mental. Rasa
cemas, marah atau depresi mengakibatkan kesulitan dalam berkreasi.
Emosi negatif dapat membelokkan perhatian agar selalu tertuju kepada
emosi itu sendiri, menghalangi usaha memusatkan perhatian kepada hal-
hal yang lain. Sesungguhnya, salah satu pertanda bahwa perasaan telah
keluar jalur dan mengarah menjadi penyaki. Bila perasaan begitu
kuatnya sehingga mengalahkan pikiran-pikiran lain terus menerus
menyabot upaya-upaya memusatkan perhatian pada hal-hal yang sedang
dihadapi. Motivasi didukung oleh kondisi perasaan antusiasme, gairah
dan keyakinan diri dalam mencapai prestasi dalam bekerja
kondisi flow menjadi sesuatu yang menakjubkan.
4. Mengenali emosi orang lain yakni berempati. Empati dibangun
berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka kita kepada emosi diri
sendiri, semakin trampil kita membaca perasaan orang lain.
Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana
perasaan orang lain. Ketiadaan empati dapat terlihat pada psikopat
kriminal, pemerkosaan dll. Biasanya emosi jarang diungkapkan dengan
kata-kata, lebih sering dengan isyarat. Kunci memahami perasaan orang
lain adalah mampu membaca pesan nonverbal; nada bicara, gerak-gerik,
ekspresi wajah dan sebagainya. 90 persen atau lebih pesan emosional
bersifat nonverbal.
5. Membina hubungan yakni menunjang popularitas, kepemimpinan dan
keberhasilan antar pribadi. Membina hubungan memerlukan
ketrampilan sosial yang berlandaskan kemampuan mengelola suasana
hati dan empati. Dengan landasan ini, ketrampilan berhubungan dengan
orang lain akan matang. Ini merupakan kecakapan sosial yang
mendukung keberhasilan dalam pergaulan. Jika kecakapan ini tidak
dimiliki akan berakibat pada ketidakcakapan dalam dunia sosial atau
berulangnya bencana antar pribadi. Sesungguhnya, karena tidak
dimilikinya ketrampilan ini menyebabkan orang-orang yang otaknya
encer, sering gagal membina hubungan karena penampilan angkuh,
mengganggu atau tak berperasaan. Kemampuan ini memungkinkan
seseorang membentuk hubungan untuk menggerakkan dan mengilhami
orang lain, membina kedekatan, meyakinkan dan mempengaruhi serta
membuat orang-orang lain merasa nyaman.
B. Faktor Kecerdasan Emosional

Goleman mengutip Salovey menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi


Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya
dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
1. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari
kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai
metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer
kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang
suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam
aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin
penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk
mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
2. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang
meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita.
Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang
menekan.
3. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu,
yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif,
yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
4. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.
Menurut Goleman. kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau
peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki
kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia
lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang
lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
5. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam
keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.

C. Ciri-ciri kecerdasan emosional


ASPEK KARAKTERISTIK PERILAKU
1. Kesadaran Diri a. Mengenal dan merasakan emosi diri
b. Memahami enyebab perasaan yang timbul
c. Mengenal pengaruh perasan terhadap
tindakan
2. Mengelola Emosi a. bersikap toleran terhadap frustasi dan mampu
mengelola amarah secara baik
b. lebih mampu mengelola amarah dengan tepat
c. dapat mengendalikan perilaku agresif yang
merusak diri sendiri dan orang lain
d. memiliki perasaan yang positif tentang diri
sendri, sekolah dan keluarga
e. memiliki kemampuan mengendalikan
ketegangan jiwa / stress
f. dapat mengurangi perasaan cemas dalam
pergaulan

3. Memanfaatkan Emosi
a. memiliki rasa tanggung jawab
Secara Produktif b. mampu memusatkan perhatian pada tugas
yang dikerjakan
c. mampu mengendalikan diri dan tidak
bersifat impulsive
4. Empati a. mampu memiliki sudut andang orang lain
b. memiliki kepekaan terhadap perasaan orang
lain
c. mampu mendengarkan orag lain
5. Membina Hubungan a. memiliki pemahaman dan kemampuan untuk
mengalisi hubungan dengan orang lain
b. dapat menyelesaikan konflik dengan orang
lain
c. memmiliki kemampuan berkomunikasi
dengan orang lain
d. memilik sikap bersahabat atau mudah
bergaul dengan teman sebaya
e. memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian
terhadap orang lain
f. memerhatikan kepentingan social ( senang
menolong orang lain) dan dapat hidup selaras
dengan kelompok
g. bersikap senang dan berbagi rasa dan bekerja
sama
h. bersikap demokratif dalam bergaul dengan
orang lain

Istilah untuk menggambarkan kecerdasan emosional tidak selalu sama


antar ahli satu dengan yang lain. pertentangan tentang tepat atau tidaknya istilah
kecerdasan emosi untuk menggambarkan kemampuan individu yang mampu
menunjukkankematangan emosi masih belum disepakati sampai saat ini . Meski
demikian, kita dapat menyimpulkan berbagai istilah ini mengacu pada satu hal
yang sama berdasarkan pengertian dan aspek aspek yang diungkapkannya. Paling
tidak mengacu padaistilah yang diungkapkan Daniel Goleman mengenai
kemampuan tersebut maka istilah kecerdasan emosi dalam buku merujuk pada
kemampuan individu dalam ranah emosi.

D. Pengertian Intelegensi (IQ)

Istilah ini ditemukan sekitar tahun 1912 oleh William Stern. Digunakan
sebagai pengukur kualitas seseorang pada masa itu , dan ternyata sekarang dipakai
di indonesia. Bahkan untuk masuk ke militer pada saat itu, IQ lah yang
menentukan tingkat keberhasilan dalam penerimaan masuk.
Kecerdasan ini terletak di otak bagian cortex (kulit otak). Kecerdasan ini
adalah sebuah kecerdasan yang memberikan kita kemampuan untuk berhitung,
beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi.
Kecerdasan intelektual atau intelegensi juga merupakan syarat minimum
kompetisi. Sementara untuk mencapai prestasi puncak, kecerdasan spiritual lebih
besar berperan. Dengan kata lain kecerdasan intelektual dan spiritual keduanya
perlu dikembangkan untuk mencapai sukses. Sedangkan untuk mencapai hasil
istimewa, kecerdasan spiritual perlu dikembangkan dengan optimal.
Kecerdasan Intelektual atau intelegensi dapat dikembangkan optimal dengan
memahami bagaimana sistem kerja otak manusia dan seperangkat latihan praktis.
Jadi bisa disimpulkan IQ adalah kecerdasan yang digunakan berhubungan dengan
alam dan pengelolaannya. IQ setiap orang dipengaruhi oleh materi otaknya., yang
ditentukan oleh faktor genetika. Namun demikian potensi IQ sangat Besar.
Inteligensi atau taraf kecerdasan mengandung arti yang amat luas, namun
banyak orang sering salah menginterpretasikannya sebagai IQ (Intelligency
Quotient). Inteligensi adalah potensi yang dimiliki seseorang untuk beradaptasi
dengan lingkungannya. Adapun “quotient” adalah satuan ukuran yang digunakan
untuk inteligensi.
Westen (1996) seorang pakar psikologi dari Universitas Harvard
menjelaskan tentang inteligensi dan IQ secara panjang lebar. Ia mengemukakan
bahwa inteligesi berbentuk multifaset artinya inteligensi diekspresikan dalam
berbagai bentuk. Pada umumnya, inteligensi diukur di sekolah serta lembaga
pendidikan tinggi, dan pengukuran yang dilakukan cenderung bersifat skolastik
(kemampuan yang diajarkan di sekolah). Karena hal yang diukur adalah
kemampuan yang diajarkan di sekolah, maka mereka yang kurang beruntung
memperoleh pendidikan di sekolah cenderung memperoleh skor IQ yang rendah.
Padahal, mungkin saja mereka yang tidak bersekolah memiliki taraf kecerdasan
lebih tinggi daripada yang bersekolah.
Disamping itu, rumusan taraf kecerdasan pun beraneka ragam bentuknya
tergantung pada wilayah kecerdasannya. Ada yang memiliki kecerdasan tinggi
dalam ilmu pasti tetapi tidak mampu menggabar atau melukis. Sementara itu,
banyak seniman serta perupa memiliki kecerdasan tinggi dan mampu
menghasilkan karya seni yang demikian indah namun taraf kecerdasannya tidak
dapat diukur karena sementara ini tidak ada pengukuran taraf kecerdasan artistik.
Dewasa ini sejumlah pakar psikologi semakin giat meneliti kembali apa
yang dimaksud dan bagaimana cara mengukur inteligensi, dan mereka
berpandangan bahwa inteligensi tidak dapat diukur melalui pengukuran
kemampuan skolasti semata.3
Gardner (1983) misalnya, menjelaskan bahwa inteligensi bukan merupakan
konstruk sejumlah kemampuan yang masing-masing dapat berdiri sendiri. Ia
beranggapan bahwa sekurang-kurangnya, ada 7 bentuk inteligensi:
1. Inteligensi bahasa (linguistik),
2. Inteligensi logika matematika (logic-mathematical),
3. Inteligensi keruangan (spatial),
4. Inteligensi musikal (musical),
5. Inteligensi kinestetik (bodily-kinesthetic),
6. Inteligensi interpesonal,
7. Inteligensi intrapersonal,
8. Inteligensi naturalis,
9. Inteligensi spiritual, dan
10. Inteligensi eksistensial.

E. Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi (IQ)


Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan inteligensi sebagai berikut:
1. Faktor Genetik (Pembawaan)
Menurut teori nativisme, anak sejak lahir telah membawa sifat-sifat dan
dasar-dasar tertentu. Sifat-sifat dan dasar-dasar yang dibawa sejak lahir itu
dinamakan sifat-sifat pembawaan. Sifat pembawaan ini mempunyai peranan yang
sangat penting bagi perkembangan individu termasuk perkembangan
intelegensinya. Menurut teori ini pendidikan dan lingkungan hampir tidak ada
pengarunya terhadap perkembangan itelegensi anak. Akibatnya para ahli pengikut

3
Haryu, Islamudin. Psikologi Pedidikan. Yogyakarta : Pustaka Belajar. 2012
aliran nativisme mempunyai pandangan yang pesimistis terhadap pengaruh
pendidikan.4
Genetik (pembawaan lahir) sangat mempengaruhi perkembangan
intelegensi seseorang. Arthur Jensen berpendapat bahwa kecerdasan pada
umumnya diwariskan dan lingkungan hanya berperan minimal dalam
mempengaruhi kecerdasan. Jensen meninjau riset tentang kecerdasan, yang
kebanyakan melibatkan perbandingan-perbandingan skor tes IQ pada anak
kembar identik dan kembar tidak identik. Pada anak kembar identik, korelasi rata-
rata skor tes kecerdasan sebesar 0,82, hal ini menunjukkan asosiasi positif yang
sangat tinggi. Sedangkan untuk anak kembar yang tidak identik, korelasi rata-rata
skor tes kecerdasannya sebesar 0,50 yang menunjukkan korelasi positif yang
cukup tinggi. Jadi, berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Arthur Jensen
tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan diturunkan secara genetik.
Untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh genetik terhadap perkembangan
intelegensi anak, dapat kita lihat pada konsep heritabilitas. Heritabilitas adalah
bagian dari variansi dalam suatu populasi yang dikaitkan dengan faktor genetik.
Indeks heritabilitas di hitung menggunakan teknik korelasional. Jadi, tingkat
paling tinggi dari heritabilitas adalah 1,00, korelasi 0,70 keatas mengindikasikan
adanya pengaruh genetik yang kuat. Sebuah komite, yang terdiri dari peneliti-
peneliti terhormat yang dihimpun American Psychological Association,
menyimpulkan bahwa pada tahap remaja akhir, indeks heritabilitas kecerdasan
kira-kira 0,75, hal ini mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat
terhadap perkembangan intelegensi.5
Indeks heritabilitas mengasumsikan bahwa kita dapat memperlakukan
pengaruh-pengaruh lingkungan dan genetika sebagai faktor-faktor yang terpisah,
di mana tiap-tiap bagian memberi kontribusi berupa sejumlah pengaruh yang
unik. Faktor genetik dan faktor lingkungan selalu bekerja bersama-sama, gen
selalu ada dalam suatu lingkungan dan lingkungan mempertajam aktivitas gen.
2. Faktor Lingkungan

4
Dalyono. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. 2010
5
Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.2006
Menurut teori empirisme manusia tidak memiliki pembawaan hidupnya
sejak lahir sampai dewasa semata-mata ditentukan oleh faktor lingkungan hidup
dan pendidikan. Menurut teori ini segala sesuatu yang terdapat pada jiwa manusia
dapat diubah oleh pendidikan. Watak, sikap dan tingkah laku manusia
dianggapnya bisa dipengaruhi seluas-luasnya oleh pendidikan. Pendidikan
dipandang mempunyai pengaruh yang tidak terbatas.
Lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan intelegensi seseorang.
Hal ini berdasarkan hasil studi yang dilakukan para peneliti dengan melakukan
kunjungan dan observasi kerumah-rumah, seberapa ekstensifnya para orang tua
(dari keluarga profesional yang kaya-raya hingga keluarga profesional yang
berpendapatan menengah) berbicara dan berkomunikasi dengan anak-anak mereka
yang masih belia. Hasilnya menunjukkan bahwa orang tua yang berpendapatan
menengah lebih banyak berkomunikasi dengan anak-anak mereka yang masih
belia dibandingkan dengan orang tua dari kalangan kaya-raya. Berdasarkan hail
studi tersebut menunjukkan bahwa semakin sering orang tua berkomunikasi
dengan anak-anak mereka, skor IQ anak-anak tersebut semakin tinggi.
Selain itu, lingkungan sekolah juga mempengaruhi perkembangan
intelegensi seseorang. Anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan formal
dalam jangka waktu yang lama akan mengalami penurunan IQ. Hal ini
berdasarkan hasil studi terhadap anak-anak di Afrika Selatan yang mengalami
penundaan bersekolah selama empat tahun menemukan adanya penurunan IQ
sebesar lima poin pada setiap tahun penundaan.
Seorang peneliti dari Universitas Colombia Prof. Irving Lorge
mengungkapkan bahwa IQ seseorang berhubungan dengan tingkat pendidikannya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula skor IQ-nya.
Pengaruh lain dari pendidikan dapat dilihat pada peningkatan pesat skor tes
IQ di seluruh dunia. Skor IQ meningkat sangat cepat sehingga orang-orang yang
dianggap memiliki kecerdasan rata-rata pada abad sebelumnya akan menjadi
orang-orang yang dianggap memiliki kecerdasan di bawah rata-rata di abad ini.
Karena peningkatan tersebut terjadi dalam waktu relatif singkat, hal itu tidak
mungkin diakibatkan oleh faktor keturunan. Peningkatan ini di mungkinkan
karena meningkatnya tingkat pendidikan yang diperoleh sebagian besar populasi
didunia, atau karena faktor-faktor lingkungan yang lain seperti ledakan informasi
yang dapat diakses orang-orang di seluruh dunia.
Banyak orang tua dengan pendapatan yang rendah memiliki kesulitan
menyediakan lingkungan yang secara intelektual menstimulasi anak-anak mereka.
Program-program yang mendidik orang tua untuk menjadi pengasuh yang lebih
sensitif dan guru yang lebih baik, serta adanya layanan dukungan seperti program-
program pengasuhan anak berkualitas, dapat membuat perbedaan dalam
perkembangan intelektual anak.
Dalam buku Psikologi Pendidikan oleh H. Jaali, faktor yang mempengaruhi
intelegensi antara lain sebagai berikut:
a. Faktor Bawaan. Dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak
lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan
masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, di
dalam satu kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar. Dan pintar
sekali, meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
b. Faktor Minat dan Pembawaan yang Khas. Dimana minat mengarahkan
perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan
itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong
manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar,sehingga apa yang diminati
oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih giat dan
lebih baik.
c. Faktor Pembentukan. Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar
diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Di sini
dapat dibedakan antara pembentukan yang direncanakan, seperti dilakukan
di sekolah atau pembentukan yang tidak direncanakan, misalnya pengaruh
alam sekitarnya.
d. Faktor Kematangan. Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami
pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik
mauapun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau
berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya
masing-masing. Oleh karena itu, tidak diherankan bila anak anak belum
mampu mengerjakan atau memecahkan soal soal matematika di kelas
empat sekolah dasar, karena soal soal itu masih terlampau sukar bagi anak.
Organ tubuhnya dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk
menyelesaikan soal tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan
faktor umur.
e. Faktor Kebebasan. Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu
dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan
memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan
kebutuhannya.

F. Pengertian EQ (Emotional Quotient)


Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990
oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari
University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional
yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering
disebut EQ sebagai : “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang
lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan tindakan.”
Goleman menjelaskan kecerdasan emosi (Emotional Intelligence) adalah
kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri, dan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungan dengan orang lain. Menggunakan ungkapan Howard Gardner
kecerdasan emosi terdiri dari dua kecakapan yaitu intrapersonal intelligence dan
interpersonal intelligence.
EQ itu bekerja dan berperan memberikan kesuksesan dalam diri kita. EQ
dan komunikasinya yang baik mampu meberikan apresiasi ke dalam diri sendiri
dan orang lain. EQ membantu kita menjadi seseorang yang siukses dalam
bersosial dan berkehidupan. Banyak orang yang memposisikan kecerdasan
emosional ini di bawah kecerdasan intelektual. Tetapi, penelitian mengatakan
bahwa kecerdasan ini lebih menentukan kesuksesan seseoranng dibandingkan
dengan IQ. Dari pernyataan serta bukti-bukti real bisa disimpulkan bahwa EQ
adalah kecerdasan yang digunakan manusia untuk berhubungan dan bekerja sama
dengan manusia lainnya. EQ seseorang dipengaruhi oleh kondisi dalam dirinya
sendiri dan masyarakatnya, seperti adat dan tradisi. Potensi EQ manusia lebih
besar dibanding IQ.
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat
menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama
orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan
kecerdasan emosional. Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau
keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada
tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu
dipengaruhi oleh faktor keturunan.
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh
Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial
yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi
tututan dan tekanan lingkungan.
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind mengatakan bahwa
bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih
sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan
tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik,
musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner
sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai
kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi
yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka,
bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan
kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang
korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan
membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta
kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh
kehidupan secara efektif.”
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar
pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan
tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam
kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia
mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan
untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk
menuntun tingkah laku”.
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey
memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan
sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu.
Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali
emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain
(empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang
lain.
Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life
with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the
appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran
diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah
kemampuan mahasiswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri,
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan
untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

G. Unsur-unsur EQ
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan mengelola hati atau perasaan diri
dalam menghadapi permasalahan kehidupan baik yang berkaitan dengan diri
sendiri, manusia dan lingkungan sekitar. Kemudian,unsur-unsur apa saja yang
menyusun kecerdasan emosi seseorang. 6
Setidaknya ada 5 ranah yang menjadi unsur pembangun EQ seseorang,
yaitu:
1. Ranah intrapribadi, yang berupa:
a. Kesadaran diri (mengenali perasaan diri, mengapa merasakan
seperti itu, bagaimana pengaruh perilaku kita terhadap orang lain)
b. Sikap asertif (kemampuan menyampaikan pikiran, apa yang kita
rasa secara jelas, membela diri dan mempertahankan pendapat)
c. Kemandirian (kemampuan mengarahkan dan mengendalikan diri,
tidak tergantung orang lain)
d. Penghargaan diri (kemampuan mengenali kekuatan/kelebihan
maupun kelemahan/ kekurangan diri serta mampu menyukai diri
apa adanya)
e. Aktualisasi diri (kemampuan mewujudkan potensi diri, merasa
senang akan prestasi diri).
2. Ranah antar pribadi, meliputi unsur :
a. Empati (kemampuan memahami pikiran dan perasaan orang lain,
melihat permasalahan dari sudut pandang orang lain)
b. Tanggung jawab sosial (kemampuan menjadi bagian dari anggota
masyarakat, bekerja sama, memberi manfaat )
c. Ranah adaptasi, meliputi beberapa unsur yaitu:
1) Uji realitas (mampu melihat segala sesuatu apa adanya,
bukan seperti yang kita inginkan atau kita takuti)
2) Fleksibel (mampu menyesuaikan perasaan, pikiran dan
tindakan)
3) Pemecahan masalah (kemampuan mengidentifikasi,
memilih tindakan, dan menerapkan tindakan untuk
menyelesaikan masalah)

6
Riana Masher, Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta :Kencana Pranada
Media Group. 2011.
4) Ranah pengendalian stres, meliputi: ketahanan menanggung
tekanan dengan tenang, fokus, bertahan/bertindak secara
konstruktif
5) Ranah suasana hati umum, meliputi : rasa optimis
mempertahankan sikap positip yang realistis, mensyukuri
kehidupan, menyukai diri/orang lain, penuh semangat dan
bergairah dalam setiap aktivitas.

DAFTAR PUSTAKA

Dalyono.2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta.

Desmita.2006.Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Goleman,Daniel.2000. Kecerdasan Emosional. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka


Umum.
http://belajarpsikologi.com/pengertian-kecerdasan-emosional-eq/. Diakses tanggal
12 november 2013

Islamudin,Haryu. 2012. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Masher Riana. 2011. emosi anak usia dini dan strategi pengembangannya.
Jakarta : Kencan Pranada Media Group

R.Meyer,Henry.2011.Emotional Intelligence-Cara Humanis Memimpin Bisnis.


Bandung: Nuansa.

Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Uno, H. B. Dan M. K. Umar. (2009). Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran.


Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai