Penguasaan diri, yaitu kemampuan untuk menghadapi badai emosional agar tidak menjadi
“budak nafsu”, telah dijunjung tinggi sejak zaman Plato. Dalam bahasa Yunani kuno
kemampuan ini disebut sophrosyne yang berarti “hati-hati dan cerdas dalam mengatur
kehidupan; keseimbangan dan kebijaksanaan yang terkendali”, menurut terjemahan Page
DuBois, seorang pakar Bahasa Yunani. Orang-orang Romawi dan gereja-gereja Kristen kuno
menyebutnya temprantia, atau kendali diri, pengendalian tindakan emosional yang
berlebihan. Tujuannya adalah keseimbangan emosi.
Menurut pengamatan Aristoteles, apabila emosi terlalu ditekan dan tidak dikendalikan, akan
tercipta kebosanan dan jarak, sehingga jika terus menerus emosi tersebut akan menjadi
sumber penyakit seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang meluap-luap, dan
gangguan emosional yang berlebihan (mania).
Penderitaan dan kebahagiaan adalah bumbu kehidupan yang harus seimbang. Dalam
kalkulus perasaan, rasio antara emosi positif dan negatiflah yang menentukan rasa sejahtera
itu, berdasarkan kesimpulan studi yang mengkaji suasana hati pada tahun 1970-an. Studi ini
juga menegaskan bahwa kecerdasan akademis tidak ada hubungan nya dengan kecerdasan
emosional.
ANATOMI AMARAH
Benjamin Franklin merumuskan bahwa “Amarah itu tak pernah tanpa alasan, tetapi jarang
yang alasannya benar”. Terdapat amarah yang lebih terukur, misalnya balas dendam atau
amarah yang didasarkan pada pikiran jernih atas terjadinya ketidakadilan atau
ketidakjujuran. Amarah seperti inilah yang mungkin dimaksudkan oleh Benjamin Franklin
sebagai amarah yang “mempunyai alasan yang benar” atau mendekati demikian.
Berbeda dengan kesedihan, amarah menimbulkan semangat, memiliki daya tarik yang
memikat dan persuasif. Hal ini menjelaskan mengapa sejumlah pandangan tentang amarah
hampir serupa bahwa amarah tak dapat dikendalikan, atau apapun jadinya, amarah tidak
perlu dikendalikan, dan melampiaskan amarah dalam “katarsis” adalah hal yang
bermanfaat.
Semakin kita berpikir tentang apa yang membuat kita marah, semakin banyak alasan bagus
dan pembenaran diri untuk menjadi lebih marah, dengan demikian hal ini justru
memperbesar api amarah. Tetapi, memikirkan segala hal dengan sudut pandang yang
berbeda dan lebih positif akan mengurangi api amarah kita.
“Gelombang” Amarah
Akar amarah terletak pada sisi bertempur pada respon bertempur-atau-kabur, hal ini
didukung penemuan Dolf Zillmann seorang ahli psikologi dari University of Alabama yang
menyatakan bahwa pemicu amarah yang universal adalah perasaan terancam bahaya.
Bukan hanya ancaman fisik, tetapi ancaman simbolis terhadap harga diri atau martabat
seperti dicaci atau diperlakukan tidak adil. Persepsi ini bertindak sebagai pemicu awal
amarah sehingga membangkitkan gelombang energi cepat sesaat, yang cukup untuk
melakukan serangkaian tindakan dasyat.
Memahami keadaan orang lain juga merupakan hal yang dapat meredakan amarah, seperti
merasa kasihan terhadap keadaan orang yang membuat kita kesal, sehingga kita memilih
untuk tidak membalas dan mengungkapkan belas kasihan.
Peredaan
Menurut Zillmann, selingan merupakan alat yang amat hebat untuk mengubah suasana hati,
dengan alasan sederhana “sulit untuk tetap marah bila kita menikmati saat yang
menyenangkan”. Dengan selingan yang menyenangkan kita dapat menekan siklus
meningkatnya pikiran jahat.
Diane Tice seorang ahli psikologi, juga mengemukakan strategi-strategi yang lazim
dikemukakan orang untuk meredakan amarah. Salah satu strategi yang cukup efektif adalah
pergi menyendiri sembari mendinginkan amarah tersebut.
Berdasarkan banyak percobaan ditemukan bahwa pelampiasan amarah tak ada atau sedikit
sekali hubungan nya dengan meredakan amarah (meskipun, karena sifat amarah yang
memikat, tindakan itu terasa memuaskan).
Tice mengemukakan bahwa melampiaskan amarah merupakan salah satu cara terburuk
untuk meredakannya. Ledakan amarah biasanya memompa perangsangan otak emosional,
akibatnya amarah orang justru bertambah, bukannya berkurang.
Yang jauh lebih efektif adalah terlebih dahulu menenangkan diri, dan kemudian, dengan
cara yang lebih konstruktif atau terarah, menghadapi orang yang bersangkutan untuk
menyelesaikan perbantahan. Sebagai mana kutipan seorang guru dari Tibet, Cogyam
Trungpa “Jangan menekannya. Tetapi, jangan melampiaskannya.”
Peran kekhawatiran adalah mencari pemecahan positif akan risiko dalam kehidupan dengan
mengantisipasi bahaya sebelum bahaya itu muncul. Namun kekhawatiran kronis adalah
keadaan yang merepotkan, yaitu keadaan dimana kekhawatiran yang tak berujung pangkal
dan tak pernah mendekati pemecahan positif. Bila siklus kekhawatiran ini semakin hebat
dan tak kunjung hilang, kekhawatiran itu akan berubah menjadi pembajakan saraf dan
gangguan kecemasan yang berlanjut pada fobia, terobsesi dan kompulsif, dan mudah panik.
Menurut pengamatan peneliti-peneliti, kecemasan muncul dalam dua bentuk, yaitu kognitif
atau kecemasan yang muncul akibat adanya pikiran yang merisaukan, dan somatik, yaitu
kecemasan yang mengakibatkan gejala-gejala fisiologis, seperti berpeluh, jantung berdebar-
debar, atau ketegangan otot.
Kekhawairan dapat dihentikan dengan mengalihkan perhatian. Tetapi, sebagian besar orang
yang mudah khawatir kesulitan melakukannya. Thomas Borkovec ahli psikologi dari
Pennsylvania State University yakin bahwa alasannya berkaitan dengan keuntungan yang
diperoleh dari kekhawatiran yang justru memperkuat kebiasaan tersebut. Secara psikologis,
kekhawatiran berguna untuk mencegah bahaya yang dicemaskan.