Goleman memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi mengalami kegagalan dan
orang yang ber-IQ sedang menjadi sangat sukses. Penyebabnya adalah "kecerdasan
emosional", yang mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat
dan motivasi diri, empati, serta kecakapan sosial.
Kecerdasan emosional merupakan ciri orang-orang yang menonjol dalam kehidupan nyata,
yaitu mereka yang memiliki hubungan dekat yang hangat dan menjadi bintang di tempat
kerja. Ini juga ciri utama karakter dan disiplin diri, altruisme, serta belas kasih - kemampuan-
kemampuan dasar yang dibutuhkan bila kita mengharapkan terciptanya masyarakat yang
sejahtera.
Kabar gembiranya, kecerdasan emosional tidak ditentukan sejak lahir. Karena pelajaran-
pelajaran emosional yang diperoleh seorang anak akan membentuk sirkuit otaknya, Goleman
memberikan pedoman mendetail tentang bagaimana orangtua dan sekolah dapat
memanfaatkan kesempatan emas masa kanak-kanak itu dengan sebaik-baiknya.
Penulisan buku dilatar belakangi terkuaknya cara kerja otak
diantaranya bagaimana sel-sel bekerja sementara kita berpikir dan
merasa, berimajinasi dan bermimpi. Pemahaman mengenai cara kerja
emosi dan kelemahan emosi yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini
membawa kita ke suatu fokus mengenai pola penanggulangan baru bagi
krisis emosi masyarakat. Emosi merupakan wilayah yang pada umumnya
tak terjelajah oleh psikologi ilmiah.
Pokok bahasan yang termuat dalam buku ini yaitu bagian satu berisi
otak emosional meliputi apa kegunaan emosi dan anatomi pembajakan
emosi. Bagian dua berisi ciri-ciri kecerdasan emosional meliputi kapan
yang pintar itu bodoh, kenali diri anda, budak nafsu, kecakapan utama,
akar empati, dan seni sosial. Bagian tiga berisi penerapan kecerdasan
emosional meliputi musuh-musuh keintiman, manajemen dengan
berpatokan pada perasaan, pikiran dan pengobatan. Bagian empat berisi
kesempatan emas meliputi wadah penggodokan keluarga, trauma dan
pembajakan ulang emosi, dan tempramen buakanlah suratan takdir.
Bagian lima berisi kecakapan emosional meliputi keruguian buta emosi
dan pendidikan emosi.
Hubungan bagian satu hingga bagian lima yaitu dengan mengenali
otak emosional akan memahami ciri-ciri kecerdasan emosional kemudian
terjadilah penerapan kecerdasan emosional dengan memanfaatkan
kesempatan emas sehingga melahirkan kecakapan emosional.
Cara kerja otak emosional pertama-tama sinyal visual dikirim dari
retina ke talamus yang bertugas menerjemahkan sinyal itu ke dalam
bahasa otak. Sebagian besar otak itu kemudian ke korteks visual yang
menganalisis dan menentukan makana dan respons yang cocok; jika
respons bersifat emosional, suatu sinyal dikirim ke amigdala untuk
mengaktifkan pusat emosi. Tetapi, sebagian kecil sinyal asli langsung
menuju amigdala dari talamus dengan trasnsmisi yang lebih cepat,
sehingga memungkinkan adanya respons yang lebih cepat meski kurang
akurat. Jadi, amigdala dapat memicu suatu respons emosional sebelum
pusat-pusat korteks memahami betul apa yang terjadi.
Menurut Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam
menangani dan mengatasi emosi mereka:
1. Sadar diri. Peka akan suasana hati mereka ketika mengalaminya. Dapat
dimengerti bila orang-orang ini memiliki kepintaran tersendiri dalam
kehidupan emosional mereka. Kejernihan pikiran tentang emosi boleh jadi
melandasi ciri-ciri kepribadian antara lain: mereka mandiri dan yakin akan
batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus, dan
cenderung berpendapat positif akan kehidupan. Bila suasana hatinya
sedang jelek, mereka tidak risau dan tidak larut ke dalamnya, dan mereka
mampu melepaskan diri dari suasana itu dengan lebih cepat. Pendek kata,
ketajaman pola pikir mereka menjadi penolong untuk mengatur emosi.
2. Tenggelam dalam perasaan. Mereka adalah orang-orang yang sering kali
merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri,
seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil alih kekuasaan. Mereka
mudah marah dan amat tidak peka akan perasaannya, sehingga larut
dalam perasaan-perasaan itu dan bukannya mencari prespektif baru.
Akibatnya, mereka kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati
yang jelek, merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional
mereka. Seringkali mereka merasa kalah dan secara emosional lepas
kendali.
3. Pasrah. Meskipun seringkali orang-orang ini peka akan apa yang mereka
rasakan, mereka juga juga cenderung menerima begitu saja suasana hati
mereka, sehingga tidak berusaha untuk merubahnya. Kelihatannya ada
dua cabang jenis yang pasrah ini: mereka yang terbiasa dalam suasana
hati yang menyenangkan, dan dengan demikian motivasi untuk
mengubahnya rendah; dan orang-orang yang kendati peka perasaannya,
rawan terhadap suasana hati yang jelek tetapi menerimanya dengan
dengan sikap tidak hirau, tak melakukan apapun untuk mengubahnya
meskipun tertekan. Pola yang ditemukan misalnya pada orang yang
menderita depresi dan yang tenggelam dalam keputusasaan.
Reaksi yang terjadi pada nomor dua dan tiga dikenal oleh para
psikiater sebagai gejala utama gangguan stres pasca trauma, atau PTSD
(post traumatic stress disorder). Setiap peristiwa yang menimbulkan
trauma dapat menanamkan ingatan-ingatan pemicu di amigdala. Jejak
rasa takut dalam ingatan dan sikap terlalu waspada yang ditimbulkannya
dapat berlangsung seumur hidup. Ketidak berdayaan sebagai pemicu
PTSD telah dibuktikan dalam banyak penelitian. Perubahan-perubahan
saraf pada PTSD agaknya juga membuat seorang lebih mudah mengalami
trauma lebih lanjut. Semua perubahan saraf ini memberikan keuntungan-
keuntungan jangka pendek untuk mengatasi keadaan darurat yang
menegangkan dan hebat yang memicunya. Dibawah tekanan, sangatlah
menguntungkan untuk menjadi sangat waspada, mudah bangkit
emosinya, siap menghadapi segala sesuatu, tak mudah merasa sakit,
tubuh dipersiapkan untuk menanggung tuntukan fisik yang berkelanjutan,
bila ditinjau dari sisi lain merupakan peristiwa yang mengganggu.
Keuntungan jangka pendek ini menjadi masalah permanen bila otak
berubah sedemikian rupa sehingga perubahan-perubahan itu menjadi
sikap dasar. Ketika amigdala dan wilayah otak yang berkaitan dengannya
disetel pada titik baru selama terjadinya traumadahsyat, perubahan
dalam gugahan kesiapsiagaan lebih tinggi untuk memicu pembajakan
saraf mengandung arti bahwa semua kehidupan berada pada ambang
keadaan darurat, dan bahkan saat yang tidak berbahaya dapat
menimbulkan ledakan rasa takut.
Salah satu cara yang tampaknya bisa membuat penyembuhan
emosional ini berlangsung secara sepontan—sekurang-kurangnya pada
anak-anak—adalah melalui permainan-permainan. Permainan ini, yang
dimainkan berulang kali, membuat anak –anak menghayati kembali
sebuah trauma dengan perasaan aman, trauma penyembuhan: di satu
pihak, ingatan tadi diulangi dalam konteks kecemasan tingkat rendah,
sehingga menumpulkannya dan memungkinkan suatu rangkaian
tanggapan non traumatik untuk disosialisasikan dengannya. Jalur
penyembuhan lain adalah bahwa permainan diakhiri dengan kemenangan
sehingga mempertebal rasa penguasaan mereka atas traumatik yang
membuat mereka tak berdaya itu.
Sementara orang dewasa yang mengalmi trauma mengerikan dapat
mengalami mati rasa kejiwaan, yaitu menghilangnya ingatan atau
perasaan mengenai malapetaka tersebut. Langkah-langkah menuju
pemulihan trauma menurut Herman terbagi menjadi tiga tahap: mencapai
perasaan aman, mengingat detail-detail trauma dan berduka atas
kehilangan yang ditimbulkannya, yang terakhir menata ulang kehidupan
agar normal kembali.
Unsur-unsur yang membangun kecerdasan emosional yaitu:
1. Keterampilan Emosional
a. Mengidentifikasi dan memberi nama perasaan-perasaan
b. Mengungkapkan perasaan
c. Menilai intensitas perasaan
d. Mengelola perasaan
e. Menunda pemuasan
f. Mengendalikan dorongan hati
g. Mengurang stress
h. Mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan
2. Keterampilan Kognitif
a. Bicara sendiri—melakukan “dialog batin” sebagai cara untuk menghadapi
suatu masalah atau menentang atau memperkuat perilaku diri sendiri
b. Membaca dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial—misalnya, mengenali
pengaruh sosial terhadap perilaku dan melihat diri sendiri dalam
presperktif masyarakat yang lebih luas
c. Menggunakan langkah-langkah bagi penyelesaian masalah dan
pengambilan keputusan—misalnya mengendalikan dorongan hati,
menentukan sasaran, mengidentifikasi tindakan-tindakan alternatif,
memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin
d. Memahami sudut pandang orang lain
e. Memahami sopan santun (perilaku mana yang dapat diterima dan yang
tidak)
f. Sikap yang positif terhadap kehidupan
g. Kesadaran diri—misalnya, mengembangkan harapan-harapan yang
realistis tentang diri sendiri
3. Keterampilan Perilaku
a. Nonverbal—berkomunikasi melalui hubungan mata, ekspresi wajah, nada
suara, gerak-gerik, dan seterusnya
b. Verbal—mengajukan permintaan-permintaan dengan jelas, menanggapi
kritik secara efektif, menolak pengaruh negatif, mendengarkan orang lain,
menolong sesama, ikut serta dalam kelompok-kelompok yang positif
Tujuan dari memahami kecerdasan emosional yaitu:
1. Kesadaran diri emosional
a. Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri
b. Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul
c. Mengenali perbedaan perasaan dengan tindakan
2. Mengelola Emosi
a. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah
b. Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas
c. Lebih mampu mengunggkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi
d. Berkurangnya hukuman
e. Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri
f. Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri dan orang lain
g. Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa
h. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan
3. Manfaat Emosi Secara Produktif
a. Lebih bertanggung jawab
b. Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan
menaruh perhatian
c. Kurang implusif; lebih menguasai diri
d. Nilai pada tes-tes prestasi meningkatkan
4. Empati: membaca emosi
a. Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain
b. Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain
c. Lebih baik dalam mendengrkan orang lain
5. Membina Hubungan
a. Meningkatkan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan
b. Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan
persengketaan
c. Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan
d. Lebih tegas dan terampil dalam komunikasi
e. Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan teman
sebaya
f. Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya
g. Lebih meneruh perhatian dan bertenggang rasa
h. Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok
i. Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama, dan suka menolong
j. Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain
Kelebihan dalam buku karya Daniel Goleman:
1. Menyajikan contoh permasalahan sehingga mudah dipahami.
2. Menjelaskan penemuan yang dimilikinya secara ilmiah.
3. Mampu membuat pembaca mengembangkan pemikirannya.
4. Menyajikan penyelesaian pada setiap permasalahan.
Kekurangan dalam buku karya Daniel Goleman:
1. Ada permasalahan yang penyelesaiannya belum tuntas.
2. Pada sebagian bab terlalu banyak contoh cerita tetapi solusinya kurang.
3. Terlalu bertele-tele dalam memaparkan teori.
4. Dalam setiap penyelesaian masalah tidak pernah dikaitkan dengan
macam kecerdasan lain misalnya kecerdasan spiritual. Karena pemikiran
dapat mengimbangi emosi dan keduanya dapat diolah dengan
kecerdasan spiritual yang baik.
5. Belum dilengkapi dengan cara mengoptimalkan kecerdasan emosional.
Buku ini baik dibaca untuk kalangan pendidik maupun umum,
terutama bagi mahasiswa yang seharusnya memahami ilmu-ilmu perilaku.
Sehingga dapat mengimbangi potensi yang telah dimiliki dengan adanya
pengendalian diri. Agar hasil kecerdasan lebih baik perlu diimbangi
dengan membaca buku kecerdasan lain.
makalah emotional intelligence
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecerdasan intelektual seringkali menjadi ukuran sebagian besar orang untuk meraih
kesuksesan. Banyak orang berpikir, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, seseorang
bisa meraih masa depan yang cerah dalam hidupnya. Tidak heran, banyak orang tua selalu
menekankan anaknya untuk meraih nilai sebaik mungkin agar kelak memiliki masa depan
yang cemerlang. Sistem pendidikan di negara kita yang lebih menekankan pada prestasi
akademik siswa atau mahasiswa juga semakin mendukung argumen tersebut. Padahal
kenyataannya, kecerdasan intelektual bukanlah hal mutlak yang dapat menjamin kesuksesan
seseorang.
Mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru banyak
yang mengalami kegagalan dalam karirnya. Sedangkan orang yang ber-IQ sedang justru
dapat lebih sukses dari orang yang ber-IQ tinggi. Hal itu disebabkan karena ada satu
kecerdasan yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseorang yaitu
Emotional Intelligence atau kecerdasan emosional. Menurut penelitian yang dikemukakan
oleh Daniel Golemen, kontribusi IQ dalam seseorang hanya sekitar 20% dan 80% lagi
ditentukan oleh kecerdasan emosional. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kecerdasan
emosional harus ditingkatkan agar kita dapat menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual
dan kecerdasan emosional.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan emotional intelligence ?
2. Apa yang mempengaruhi perkembangan emotional intelligence dalam diri seseorang?
3.Bagaimana sikap orang yang memiliki emotional intelligence yang tinggi?
4. Bagaimana penerapan konsep emotional intelligence dalam pembelajaran?
5. Bagaimana cara mengembangkan emotional intelligence ?
1.3 Tujuan
1.Untuk mengetahui pengertian emotional intelligence
2.Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perkembangan emotional intelligence dalam
diri seseorang
3.Untuk mengetahui sikap orang yang memiliki emotional intelligence yang tinggi
4.Untuk mengetahui penerapan emotional intelligence dalam pembelajaran
5.Untuk mengetahui cara mengembangkan emotional intelligence
1.4 Metode Pengumpulan Data
Di dalam pembuatan makalah ini, kami menggunakan metode kajian pustaka yaitu
mencari informasi dan sumber-sumber dari buku mengenai emotional intelligence. Selain itu,
kami juga menambah sumber dari media internet untuk melengkapi materi pembahasan
emotional intelligence.
1.5 Sistematika Penelitian
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penelitian
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II ISI
2.1 Pengertian Emotional Intelligence
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emotional Intelligence
2.3 Sikap Individu yang Memiliki Emotional Intelligence
2.4 Penerapan Emotional Intelligence dalam Pembelajaran
2.5 Cara Mengembangkan Emotional Intelligence
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Emotional Intelligence
Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan oleh psikolog Petersolovey dari
Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire pada tahun 1990,
dengan menyebutkan kualifikasi-kualifikasi emosi manusia yang meliputi empati,
mengungkapkan dan memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian, kemampuan
menyesuaikan diri, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan dan
kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.
Istilah ini populer pada tahun 1995 dan dipopulerkan oleh Daniel Goleman, seorang
psikolog dari Harvard University dalam karya monumentalnya berjudul Emotional
Intelligence. Karyanya ini menjadikan beliau terkenal khususnya di bidang psikologi. Hasil
risetnya yang menggemparkan dengan mendefinisikan apa arti cerdas, dan dengan adanya
temuan baru tentang otak dan manusia, memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi
justru gagal sementara orang yang ber-IQ sedang menjadi sukses.
Faktor inilah menurut Goleman yang dapat memacu seseorang pada suatu cara lain untuk
menjadi cerdas yang disebutnya kecerdasan emosi.
Dalam risetnya Daniel Goleman memiliki kurang lebih lima ribu perusahaan yang
tersebar di seluruh dunia, Goleman mendapatkan gambaran ketrampilan yang dimiliki para
bintang kinerja di segala bidang, yang membuat mereka berbeda dengan yang lainnya. Dari
pekerjaan tingkat bawah sampai posisi eksekutif, faktor yang terpenting bukan kecerdasan
intelektual, pendidikan tinggi atau ketrampilan teknis, melainkan kecerdasan emosi.
Secara sederhana kecerdasan emosi dapat diartkan kemampuan memahami perasaan
diri sendiri, kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri
sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam
hubungan dengan orang lain.
Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memotivasi diri
sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebih-
lebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari stres, tidak
melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa. Sedangkan Cooper
mengartikannya dengan suatu kemampuan untuk merasakan, memahami secara efektif,
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan
pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk
tetap mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan,
perlawanan orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.
Dengan demikian kecerdasan emosi merupakan kemampuan memahami perasaan diri
sendiri dan kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,
dan kemampuan mengelola emosi yang baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya
dengan orang lain. Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk tetap
mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan
orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
________________________________________
[1] A. Budiarjo dkk, Kamus Psikologi, (Semarang: Dhara Prize, 1987), hlm. 211
[2] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indnesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm.78
[3] Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Intelligensi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 6
[4] Rita L. Atkinson dkk., Pengantar Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 12
[5] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 55-56
[6] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), hlm. 7
[7] M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Pengembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1993), hlm. 74
[8] Ibid.
[9]Daniel Goleman, Emotional…, hlm. 45
[10] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ,
(Jakarta: Arga, 2002), hlm. 44
[11] Daniel Goleman, Emotional…, hlm. 512
[12] Komarudin Hidayat, Menyinari Relung-Relung Ruhani, (Bandung: Hikmah, 2002), hlm. 173
[13] Daniel Goleman, Emotional…, sampul belakang.
[14] Taufiq Pasiak, Revolusi IQ,, EQ, SQ; Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan al-Qur’an dan
Neurosains Mutakhir, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), hlm. 165
[15] Lihat Sukidi, “Kecerdasan Spiritual” Harian Kompas, 15 Desember, 2000
[16] Maurice J. Elias, dkk., Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, (Bandung: Kaifa, 2000), hlm.
11
[17] Majalah Ummi, “Anak Cerdas Dunia Akhirat”, Edisi Spesial No. 4 th 2002, hlm. 19
[18] Daniel Goleman, Emotional Intelligence..., hlm. 63
[19] Forum Kajian Budaya dan Agama (FkBA),” Kecerdasan Emosi dan Quantum Learning”,
(Yogyakarta: FkBA, 2000), hlm. 3
[20] Ibid., hlm. 64
[21] Ibid., hlm. 428
[22] Ibid., hlm. 97
[23] Ibid., hlm. 110-111
[24] Ibid., hlm. 111-112
[25] Daniel Goleman, Emotional…, hlm. 128
[26] Ibid., hlm. 123
[27] Daniel Goleman, Emotional.., hlm. 428
[28] Forum kajian Budaya dan Agama, Kecerdasan Emosi Quantum Learning, hlm. 34
[29] Ibid., hlm. 215
[30] Daniel Goleman, Emotional..., hlm. 136
[31] Ibid., hlm. 149-150
[32] Ibid., hlm. 230
[33] Daniel Goleman, Emotional..., hlm. 158-159
TINJAUAN BUKU KECERDASAN EMOSIONAL
(EMOTIONAL INTELLEGENCE)
IDENTITAS BUKU
BIOGRAFI PENULIS
Daniel Goleman, Ph.D., adalah CEO Emotional Intelligence Services di Sudbury,
Massachusetts. Selama dua belas tahun ia meliput ilmu-ilmu otak dan tingkah laku bagi The
New York Times, dan juga mangajar di Harvard (tempat ia meraih gelar doktornya). Selain
Emotional Intelligence, buku-bukunya yang sudah terbit antara lain:
1.Vital Lies, Simple Truths The Meditative Mind
2. The Creative Spirit, sebagai co-author
Ini adalah buku yang menggemparkan sidang pembaca dan yang mendefinisikan
ulang apa arti cerdas. Buku karangan Daniel Goleman Penerbit Gramedia telah mendapat
sambutan luar biasa dari pembaca sehingga telah beberapa kali mengalami cetak ulang. Buku
ini terdiri atas 5 bagian 16 bab. Kelima bagian itu adalah I. Otak Emosional. II Ciri-ciri
Kecerdasan Emosional III. Penerapan Kecerdasan Emosional IV. Kesempatan Emas V.
Kecakapan Emosional.
Bab 1 berjudul “Apakah Kegunaan Emosi?”. Homo humini lupus adalah tidak hanya
berarti bahwa manusia berpikir tetapi juga manusia juga beremosi. Semua emosi, pada
dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Akar kata emosi adalah movere kata kerja Bahasa
Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e” untuk memberi arti
“bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak
dalam emosi Contoh-contoh emosi adalah amarah, ketakutan, kebahagiaan, cinta, terkejut,
jijik, rasa sedih. Kecenderungan biologis untuk bertindak ini selanjutnya dibentuk oleh
pengalaman kehidupan serta budaya.
Pikiran rasional adalah model pemahaman yang lazimnya kita sadari: lebih menonjol
kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan merefleksi. Tetapi bersamaan
dengan itu ada sistem pemahaman yang lain: yang impulsif dan berpengaruh besar, bila
kadang-kadang tidak logis – yaitu pikiran emosional. Dikotomi emosional/rasional kurang
lebih sama dengan istilah awam antara “hati” dengan “kepala”. Biasanya ada keseimbangan
antara pikiran emosional dan pikiran rasional, emosi memberi masukan dan informasi kepada
proses pikiran rasional dan pikiran rasional memperbaiki dan terkadang memveto masukan
masukan emosi tersebut. Berat otak manusia adalah 1,5 kg yang terdiri atas sel-sel dan cairan
saraf. Bagian otak “neokorteks” adalah bagian otak yang berpikir. Sistem “limbik” adalah
bagian otak saraf emosi.
Bab2 menguraikan tentang “Anatomi Pembajakan Emosi”. Ledakan emosi
merupakan pembajakan. Pembajakan berlangsung seketika, dan memicu reaksi neokorteks.
Ciri utama pembajakan adalah begitu saat tersebut berlalu, mereka yang mengalaminya tidak
menyadari apa yang baru saja mereka lakukan. Pembajakan adalah kudeta saraf yang berasal
dari amigdala, sebuah pusat di otak limbik. Amigdala adalah spesialis masalah-masalah
emosional. Tanpa amigdala, hidup telah kehilangan semua pemahaman tentang perasaan.
Amigdala berfunsgi sebagai semacam gudang ingatan emosional. Hidup tanpa amigdala
merupakan kehidupan tanpa makna pribadi sama sekali. Fungsi-fungsi amigdala dan
pengaruhnya pada neokorteks merupakan inti kecerdasan emosional.
Secara anatomi, sistem emosi mampu bertindak sendiri terlepas dari neokorteks.
Beberapa reaksi emosional dan ingatan emosional dapat terbentuk tanpa partisipasi kognitif
dan kesengajaan apa pun. Hippocampus lebih berkaitan dalam perekaman dan pemaknaan
pola persepsi ketimbang reaksi emosional. Dalam ingatan, amigdala dan hippocampus
bekerja bersama-sama, masing-masing menyimpan dan memunculkan kembali informasi
khusus miliknya secara mandiri. Bila hippocampus memunculkan kembali informasi,
amigdala menentukan apakah informasi itu mempunyai nilai emosi tertentu.
Bab3 menguraikan tentang “Kapan yang Pintar itu Bodoh’. Kecerdasan akademis
sedikit
saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Yang paling cerdas di antara kita dapat
terperosok ke dalam nafsu tak terkendali dan impuls meledak-ledak. Ciri-ciri kecerdasan
emosional adalah kemampuan memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustrasi,
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati
dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan
berdoa. Kecerdasan emosional dapat sama ampuhnya dan terkadang lebih ampuh daripada
IQ. IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi atau kebahagiaan hidup, sekolah
dan budaya kita lebih menitikberatkan pada kemampuan akademis, mengabaikan kecerdasan
emosional. Orang dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti
kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan
pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Sehari-hari tak ada yang lebih penting
daripada kecerdasan antarpribadi. Apabila Anda tidak memilikinya, Anda akan memilih hal-
hal yang keliru mengenai siapa yang akan Anda nikahi, pekerjaan yang akan Anda ambil, dst.
Lima wilayah utama kecerdasan emosional: 1. Mengenali diri sendiri 2. Mengelola emosi. 3.
Memotivasi diri sendiri 4. Mengenali emosi orang lain. 5. Membina hubungan.
Bab 4 menjelaskan tentang “Kenali Diri Anda”. Ajaran Socrates “Kenalilah dirimu”
menunjukkan inti kecerdasan emosional. Atau disebut juga kesadaran diri dalam artian
perhatian terus menerus terhadap keadaan batin seseorang. Kesadaran diri berarti “waspada
baik terhadap susasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati. Gaya-gaya seseorang
dalam menangani dan mengatasi emosi seseorang: sadar diri, tenggelam dalam permasalahan,
pasrah. Aleksitimia adalah tidak memiliki emosi atau perasaan. Ciri-ciri klinis yang menandai
penderita aleksitimia mencakup kesulitan melukiskan perasaan-perasaan mereka sendiri atau
perasaan orang lain, dan perbendaharaan kata emosionalnya amat terbatas. Penderita
aleksitimia jarang menangis, tetapi seandainya menangis air matanya mengucur deras.
Mereka sama sekali tidak menguasai keterampilan dasar kecerdasan emosional, yaitu
kesadaran diri, mengetahui apa yang kita rasakan saat emosi bergolak dalam diri kita.
Aleksitimia disebabkan oleh putusnya hubungan antara sistem limbik dengan neokorteks.
“Penanda somatik” secara harfiah berarti suara hati adalah sejenis alarm automatis biasanya
untuk menarik perhatian ke arah bahaya potensial yang berasal dari serangkaian tindakan
tertentu.
Bab 5 menguraikan tentang “Budak Nafsu”. Yang baik adalah emosi yang wajar,
keselarasanantara perasaan dan lingkungan. Apabila emosi terlampau ditekan, terciptalah
kebosanan dan jarak, bila emosi tak dikendalikan, terlampau ekstrem dan terus menerus,
emosi akan menjadi sumber penyakit, seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang
meluap-luap, gangguan emosional yang berlebihan. Penderitaan dan kebahagiaan adalah
bumbu kehidupan, tetapi keduanya harus bersifat seimbang. Dalam kalkulus perasaan. Rasio
antara emosi positif dan negatiflah yang menentukan rasa sejahtera itu.
Desain otak menunjukkan bahwa kita seringkali kurang atau tidak mempunyai kendali
atas kapan kita dilanda emosi juga emosi apa yang akan melanda kita. Tetapi kita dapat
mengirangira berapa lama emosi itu akan berlangsung. Amarah itu tak pernah tanpa alasan,
tetapi
jarang yang alasannya benar. Amarah merupakan suasana hati yang paling sulit dikendalikan.
Amarahlah yang paling menggoda di antara emosi-emosi negatif. Berpikir dalam kerangka
baru yang lebih positif akan suatu situasi merupakan salah satu cara yang paling ampuh untuk
meredakan amarah. Selingan merupakan alat yang amat hebat untuk mengubah suasana hati,
dengan alasan sederhana, sulit untuk tetap marah bila kita menikmati saat yang
menyenangkan. Triknya, tentu saja adalah mendinginkan amarah itu sampai tahap dimana
seseorang bisa menikmati saat yang menyenangkan itu terlebih dahulu. Orang dapat bangkit
dari depresi dengan kembali pada daya ilahi. Berdoa apabila Anda amat taat beragama,
sangat bermanfaat untuk segala suasana hati terutama depresi.
Tidak ada keterampilan psikologis yang lebih penting selain melawan dorongan hati.
Ini
merupakan akar segala kendali diri emosional, sebab semua emosi, sesuai dengan sifatnya,
membawa pada salah satu dorongan hati untuk bertindak. Anak-anak yang mampu menahan
godaan pada umur empat tahun merupakan remaja yang secara sosial lebih cakap, secara
pribadi lebih efektif, lebih tegas, dan lebih mampu menghadapi kekecewaan hidup. IQ tidak
dapat diubah, dan dengan demikian merupakan batas yang tak dapat diotak atik atas
kemampuan hidup seorang anak, kecakapan emosional seperti pengendalian dorongan hati
dan kepekaan dalam menyikapi situasi sosial adalah hal yang dapat dipelajari. Suasana hati
yang bahagia ketika sedang berlangsung dapat memperkuat kemampuan untuk berpikir
dengan fleksibel dan dengan lebih kompleks, sehingga memudahkan pemecahan masalah.
Harapan dirumuskan sebagai yakin bahwa Anda mempunyai kemauan maupun cara untuk
mencapai sasaran sasaran Anda, apapun sasaran Anda itu. Dari sudut pandang kecerdasan
emosional, mempunyai harapan berarti seseorang tidak akan terjebak dalam kecemasan,
bersikap pasrah atau depresi dalam menghadapi sulitnya tantangan atau kemunduran.
Optimisme, seperti harapan, berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara umum
segala sesuatu dalam kehidupan akan beres, kendati ditimpa kemunduran dan frustrasi. Orang
yang optimis menganggap kegagalan disebabkan oleh seseuatu hal yang dapat diubah
sehingga mereka dapat berhasil pada masa masa mendatang, sementara orang yang pesimis
menerima kegagalan sebagai kesalahannya sendiri. Mampu mencapai flow merupakan
puncak kecerdasan emosional; flow barangkali puncak pemanfaatan emosi demi performa
dan pembelajaran. Flow merupakan pengalaman yang ketika itu terjadi orang serasa di
awang-awang; ciri khas flow adalah perasaan kebahagiaan spontan. Konsentrasi tinggi
merupakan inti flow. Menyalurkan emosi ke arah tujuan yang produktif merupakan
kecakapan utama.
Bab 8 membahas tentang “Seni Sosial”. Mampu menangani emosi orang lain,
merupakan
inti seni memelihara hubungan. Keterampilan berhubungan dengan orang lain merupakan
kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain, tidak
dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial.
Komponen-komponen kecerdasan antarapribadi adalah: mengorganisir kelompok,
merundingkan pemecahan, hubungan pribadi, analisis sosial. Orang-orang yang terampil
dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar,
peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu memimpin dan mengorganisir, dan pintar
menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia.
Flooding adalah lumpuhnya sebuah perkawinan. Flooding atau terjepit. Suami atau
isteri yang terjepit menjadi begitu emosional yang kerap terjadi oleh keburukan pasangan
mereka serta menjadi begitu terkungkung oleh keburukan pasangan mereka serta reaksi
mereka sendiri atasnya, sehingga mereka dilumpuhkan oleh perasaan kacau yang tak
terkendalikan. Suami atau isteri yang terjepit telah sampai pada tahap di mana pasangannya
dianggap sudah lenyap; kebalikannya yang tampak hanya keburukannya sepanjang waktu,
menagkap apa saja yang dilakukannya dengan sudut pandang negatif. Flooding itu sendiri
menyabot setiap usaha untuk menyelesaikan segala permasalahan. Suami yang rela
mendampingi isterinya mengatasi panasnya amarah, bukannya meremehkan keluhan
isterinya, sebagai hal sepele, akan membuat isterinya merasa didengarkan dan dihargai. Yang
paling penting, isteri ingin agar perasaannya diakui dan dianggap sah. Sedangkan bagi isteri,
berusaha secara sungguh-sungguh untuk berhati-hati agar jangan sampai menyerang
suaminya, boleh mengeluhkan perbuatan suaminya, tetapi jangan mengkritik kepribadian
mereka atau mengungkapkan penghinaan.
Orang tua yang terampil secara emosional memiliki anak-anak yang pergaulannya
lebih baik dan memperlihatkan lebih banyak kasih sayang kepada orangtuanya, serta lebih
sedikit bentrok dengan orangtuanya. Selain itu, anak-anak ini juga lebih pintar menangani
emosinya, lebih efektif menenangkan diri saat marah, dan tidak sering marah. Tujuh unsur
utama yang sangat penting berkaitan dengan kecerdasan emosional: 1. Keyakinan. 2. Rasa
ingin tahu. 3. Niat. 4. Kendali diri. 5. Keterkaitan. 6. Kecakapan berkomunikasi. 7. Koperatif.
Tiga atau empat tahun pertama dalam hidup merupakan periode di mana otak anak tersebut
tumbuh hingga kurang lebih dua pertiga ukuran normal usia dewasa. Masa kanak-kanak
merupakan saat istimewa yang paling tepat bagi pelajaranpelajaran emosi. Trauma dapat
meninggalkan jejak-jejak abadi di otak.
Apakah IQ merupakan takdir? Ternyata tidak sebagaimana yang lumrah kita pikirkan.
Goleman memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi mengalami kegagalan dan
orang yang ber-IQ sedang menjadi sangat sukses. Penyebabnya adalah "kecerdasan
emosional", yang mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat
dan motivasi diri, empati, serta kecakapan sosial.
Kecerdasan emosional merupakan ciri orang-orang yang menonjol dalam kehidupan nyata,
yaitu mereka yang memiliki hubungan dekat yang hangat dan menjadi bintang di tempat
kerja. Ini juga ciri utama karakter dan disiplin diri, altruisme, serta belas kasih - kemampuan-
kemampuan dasar yang dibutuhkan bila kita mengharapkan terciptanya masyarakat yang
sejahtera.
Kabar gembiranya, kecerdasan emosional tidak ditentukan sejak lahir. Karena pelajaran-
pelajaran emosional yang diperoleh seorang anak akan membentuk sirkuit otaknya, Goleman
memberikan pedoman mendetail tentang bagaimana orangtua dan sekolah dapat
memanfaatkan kesempatan emas masa kanak-kanak itu dengan sebaik-baiknya.
Intinya sih, buku ini berusaha menyadarkan kepada banyak orang bahwa IQ bukanlah satu-
satunya patokan atau tolok ukur keberhasilan seseorang. Menurut beberapa penelitian dalam
buku ini, 80% keberhasilan seseorang terletak pada Emotional Intelligence (kecerdasan
emosi).
Buku ini juga menjelaskan bahwa emosi dirasakan oleh manusia di otak kanan tepatnya di
amygdala, bukannya di hati seperti yang selama ini orang duga.
Kecerdasan emosional sendiri secara singkat dapat diartikan sebagai kecerdasan atau
kesadaran diri dalam mengelola emosi diri pribadi (kecerdasan intrapersonal) dan mengelola
hubungan dengan orang lain (kecerdasan interpersonal).
Kecerdasan intrapersonal yaitu kecerdasan mengelola diri sendiri berkaitan dengan emosi
yang dirasakannya, misalnya, kesadaran akan rasa marah, sedih, kecewa, bahagia, dan lain-
lain, serta dapat mengelola perasaan-perasaan tersebut. Sedangkan kecerdasan interpersonal
berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam membina hubungan dengan orang lain.
Kecerdasan ini penting dimiliki terutama dalam berinteraksi dengan orang lain berkaitan
dengan bisnis dan pekerjaan. Itulah mengapa selain kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi
penting dimiliki untuk meraih kesuksesan.
Itu sedikit yang bisa saya bagikan tentang buku ini, detailnya saya udah lupa-lupa
ingat..heu2..
Ada yang mau menambahkan atau mendiskusikan tentang buku ini? Marii… ^_^