Anda di halaman 1dari 33

Apakah IQ merupakan takdir? Ternyata tidak sebagaimana yang lumrah kita pikirkan.

Goleman memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi mengalami kegagalan dan
orang yang ber-IQ sedang menjadi sangat sukses. Penyebabnya adalah "kecerdasan
emosional", yang mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat
dan motivasi diri, empati, serta kecakapan sosial.

Kecerdasan emosional merupakan ciri orang-orang yang menonjol dalam kehidupan nyata,
yaitu mereka yang memiliki hubungan dekat yang hangat dan menjadi bintang di tempat
kerja. Ini juga ciri utama karakter dan disiplin diri, altruisme, serta belas kasih - kemampuan-
kemampuan dasar yang dibutuhkan bila kita mengharapkan terciptanya masyarakat yang
sejahtera.

Sebagaimana ditunjukkan oleh Goleman, kerugian akibat rendahnya kecerdasan emosional


dapat berkisar dari kesulitan perkawinan dan mendidik anak hingga buruknya kesehatan
jasmani. Rendahnya kecerdasan emosional dapat menghambat pertimbangan intelektual dan
menghancurkan karier. Barangkali kerugian terbesar diderita oleh anak-anak, yang mungkin
bisa mengalami depresi, gangguan makan dan kehamilan yang tak diinginkan, agresivitas,
serta kejahatan dengan kekerasan.

Kabar gembiranya, kecerdasan emosional tidak ditentukan sejak lahir. Karena pelajaran-
pelajaran emosional yang diperoleh seorang anak akan membentuk sirkuit otaknya, Goleman
memberikan pedoman mendetail tentang bagaimana orangtua dan sekolah dapat
memanfaatkan kesempatan emas masa kanak-kanak itu dengan sebaik-baiknya.
Penulisan buku dilatar belakangi terkuaknya cara kerja otak
diantaranya bagaimana sel-sel bekerja sementara kita berpikir dan
merasa, berimajinasi dan bermimpi. Pemahaman mengenai cara kerja
emosi dan kelemahan emosi yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini
membawa kita ke suatu fokus mengenai pola penanggulangan baru bagi
krisis emosi masyarakat. Emosi merupakan wilayah yang pada umumnya
tak terjelajah oleh psikologi ilmiah.
Pokok bahasan yang termuat dalam buku ini yaitu bagian satu berisi
otak emosional meliputi apa kegunaan emosi dan anatomi pembajakan
emosi. Bagian dua berisi ciri-ciri kecerdasan emosional meliputi kapan
yang pintar itu bodoh, kenali diri anda, budak nafsu, kecakapan utama,
akar empati, dan seni sosial. Bagian tiga berisi penerapan kecerdasan
emosional meliputi musuh-musuh keintiman, manajemen dengan
berpatokan pada perasaan, pikiran dan pengobatan. Bagian empat berisi
kesempatan emas meliputi wadah penggodokan keluarga, trauma dan
pembajakan ulang emosi, dan tempramen buakanlah suratan takdir.
Bagian lima berisi kecakapan emosional meliputi keruguian buta emosi
dan pendidikan emosi.
Hubungan bagian satu hingga bagian lima yaitu dengan mengenali
otak emosional akan memahami ciri-ciri kecerdasan emosional kemudian
terjadilah penerapan kecerdasan emosional dengan memanfaatkan
kesempatan emas sehingga melahirkan kecakapan emosional.
Cara kerja otak emosional pertama-tama sinyal visual dikirim dari
retina ke talamus yang bertugas menerjemahkan sinyal itu ke dalam
bahasa otak. Sebagian besar otak itu kemudian ke korteks visual yang
menganalisis dan menentukan makana dan respons yang cocok; jika
respons bersifat emosional, suatu sinyal dikirim ke amigdala untuk
mengaktifkan pusat emosi. Tetapi, sebagian kecil sinyal asli langsung
menuju amigdala dari talamus dengan trasnsmisi yang lebih cepat,
sehingga memungkinkan adanya respons yang lebih cepat meski kurang
akurat. Jadi, amigdala dapat memicu suatu respons emosional sebelum
pusat-pusat korteks memahami betul apa yang terjadi.
Menurut Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam
menangani dan mengatasi emosi mereka:
1.      Sadar diri. Peka akan suasana hati mereka ketika mengalaminya. Dapat
dimengerti bila orang-orang ini memiliki kepintaran tersendiri dalam
kehidupan emosional mereka. Kejernihan pikiran tentang emosi boleh jadi
melandasi ciri-ciri kepribadian antara lain: mereka mandiri dan yakin akan
batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus, dan
cenderung berpendapat positif akan kehidupan. Bila suasana hatinya
sedang jelek, mereka tidak risau dan tidak larut ke dalamnya, dan mereka
mampu melepaskan diri dari suasana itu dengan lebih cepat. Pendek kata,
ketajaman pola pikir mereka menjadi penolong untuk mengatur emosi.
2.      Tenggelam dalam perasaan. Mereka adalah orang-orang yang sering kali
merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri,
seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil alih kekuasaan. Mereka
mudah marah dan amat tidak peka akan perasaannya, sehingga larut
dalam perasaan-perasaan itu dan bukannya mencari prespektif baru.
Akibatnya, mereka kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati
yang jelek, merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional
mereka. Seringkali mereka merasa kalah dan secara emosional lepas
kendali.
3.      Pasrah. Meskipun seringkali orang-orang ini peka akan apa yang mereka
rasakan, mereka juga juga cenderung menerima begitu saja suasana hati
mereka, sehingga tidak berusaha untuk merubahnya. Kelihatannya ada
dua cabang jenis yang pasrah ini: mereka yang terbiasa dalam suasana
hati yang menyenangkan, dan dengan demikian motivasi untuk
mengubahnya rendah; dan orang-orang yang kendati peka perasaannya,
rawan terhadap suasana hati yang jelek tetapi menerimanya dengan
dengan sikap tidak hirau, tak melakukan apapun untuk mengubahnya
meskipun tertekan. Pola yang ditemukan misalnya pada orang yang
menderita depresi dan yang tenggelam dalam keputusasaan.
Reaksi yang terjadi pada nomor dua dan tiga dikenal oleh para
psikiater sebagai gejala utama gangguan stres pasca trauma, atau PTSD
(post traumatic stress disorder). Setiap peristiwa yang menimbulkan
trauma dapat menanamkan ingatan-ingatan pemicu di amigdala. Jejak
rasa takut dalam ingatan dan sikap terlalu waspada yang ditimbulkannya
dapat berlangsung seumur hidup. Ketidak berdayaan sebagai pemicu
PTSD telah dibuktikan dalam banyak penelitian. Perubahan-perubahan
saraf pada PTSD agaknya juga membuat seorang lebih mudah mengalami
trauma lebih lanjut. Semua perubahan saraf ini memberikan keuntungan-
keuntungan jangka pendek untuk mengatasi keadaan darurat yang
menegangkan dan hebat yang memicunya. Dibawah tekanan, sangatlah
menguntungkan untuk menjadi sangat waspada, mudah bangkit
emosinya, siap menghadapi segala sesuatu, tak mudah merasa sakit,
tubuh dipersiapkan untuk menanggung tuntukan fisik yang berkelanjutan,
bila ditinjau dari sisi lain merupakan peristiwa yang mengganggu.
Keuntungan jangka pendek ini menjadi masalah permanen bila otak
berubah sedemikian rupa sehingga perubahan-perubahan itu menjadi
sikap dasar. Ketika amigdala dan wilayah otak yang berkaitan dengannya
disetel pada titik baru selama terjadinya traumadahsyat, perubahan
dalam gugahan kesiapsiagaan lebih tinggi untuk memicu pembajakan
saraf mengandung arti bahwa semua kehidupan berada pada ambang
keadaan darurat, dan bahkan saat yang tidak berbahaya dapat
menimbulkan ledakan rasa takut.
Salah satu cara yang tampaknya bisa membuat penyembuhan
emosional ini berlangsung secara sepontan—sekurang-kurangnya pada
anak-anak—adalah melalui permainan-permainan. Permainan ini, yang
dimainkan berulang kali, membuat anak –anak menghayati kembali
sebuah trauma dengan perasaan aman, trauma penyembuhan: di satu
pihak, ingatan tadi diulangi dalam konteks kecemasan tingkat rendah,
sehingga menumpulkannya dan memungkinkan suatu rangkaian
tanggapan non traumatik untuk disosialisasikan dengannya. Jalur
penyembuhan lain adalah bahwa permainan diakhiri dengan kemenangan
sehingga mempertebal rasa penguasaan mereka atas traumatik yang
membuat mereka tak berdaya itu.
Sementara orang dewasa yang mengalmi trauma mengerikan dapat
mengalami mati rasa kejiwaan, yaitu menghilangnya ingatan atau
perasaan mengenai malapetaka tersebut. Langkah-langkah menuju
pemulihan trauma menurut Herman terbagi menjadi tiga tahap: mencapai
perasaan aman, mengingat detail-detail trauma dan berduka atas
kehilangan yang ditimbulkannya, yang terakhir menata ulang kehidupan
agar normal kembali.
Unsur-unsur yang membangun kecerdasan emosional yaitu:
1.      Keterampilan Emosional
a.       Mengidentifikasi dan memberi nama perasaan-perasaan
b.      Mengungkapkan perasaan
c.       Menilai intensitas perasaan
d.      Mengelola perasaan
e.       Menunda pemuasan
f.       Mengendalikan dorongan hati
g.      Mengurang stress
h.      Mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan
2.      Keterampilan Kognitif
a.       Bicara sendiri—melakukan “dialog batin” sebagai cara untuk menghadapi
suatu masalah atau menentang atau memperkuat perilaku diri sendiri
b.      Membaca dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial—misalnya, mengenali
pengaruh sosial terhadap perilaku dan melihat diri sendiri dalam
presperktif masyarakat yang lebih luas
c.       Menggunakan langkah-langkah bagi penyelesaian masalah dan
pengambilan keputusan—misalnya mengendalikan dorongan hati,
menentukan sasaran, mengidentifikasi tindakan-tindakan alternatif,
memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin
d.      Memahami sudut pandang orang lain
e.       Memahami sopan santun (perilaku mana yang dapat diterima dan yang
tidak)
f.       Sikap yang positif terhadap kehidupan
g.      Kesadaran diri—misalnya, mengembangkan harapan-harapan yang
realistis tentang diri sendiri
3.      Keterampilan Perilaku
a.       Nonverbal—berkomunikasi melalui hubungan mata, ekspresi wajah, nada
suara, gerak-gerik, dan seterusnya
b.      Verbal—mengajukan permintaan-permintaan dengan jelas, menanggapi
kritik secara efektif, menolak pengaruh negatif, mendengarkan orang lain,
menolong sesama, ikut serta dalam kelompok-kelompok yang positif
Tujuan dari memahami kecerdasan emosional yaitu:
1.      Kesadaran diri emosional
a.       Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri
b.      Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul
c.       Mengenali perbedaan perasaan dengan tindakan
2.      Mengelola Emosi
a.       Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah
b.      Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas
c.       Lebih mampu mengunggkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi
d.      Berkurangnya hukuman
e.       Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri
f.       Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri dan orang lain
g.      Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa
h.      Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan
3.      Manfaat Emosi Secara Produktif
a.       Lebih bertanggung jawab
b.      Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan
menaruh perhatian
c.       Kurang implusif; lebih menguasai diri
d.      Nilai pada tes-tes prestasi meningkatkan
4.      Empati: membaca emosi
a.       Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain
b.      Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain
c.       Lebih baik dalam mendengrkan orang lain
5.      Membina Hubungan
a.       Meningkatkan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan
b.      Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan
persengketaan
c.       Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan
d.      Lebih tegas dan terampil dalam komunikasi
e.       Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan teman
sebaya
f.       Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya
g.      Lebih meneruh perhatian dan bertenggang rasa
h.      Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok
i.        Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama, dan suka menolong
j.        Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain
Kelebihan dalam buku karya Daniel Goleman:
1.      Menyajikan contoh permasalahan sehingga mudah dipahami.
2.      Menjelaskan penemuan yang dimilikinya secara ilmiah.
3.      Mampu membuat pembaca mengembangkan pemikirannya.
4.      Menyajikan penyelesaian pada setiap permasalahan.
Kekurangan dalam buku karya Daniel Goleman:
1.      Ada permasalahan yang penyelesaiannya belum tuntas.
2.      Pada sebagian bab terlalu banyak contoh cerita tetapi solusinya kurang.
3.      Terlalu bertele-tele dalam memaparkan teori.
4.      Dalam setiap penyelesaian masalah tidak pernah dikaitkan dengan
macam kecerdasan lain misalnya kecerdasan spiritual. Karena pemikiran
dapat mengimbangi emosi dan keduanya dapat diolah dengan
kecerdasan spiritual yang baik.
5.      Belum dilengkapi dengan cara mengoptimalkan kecerdasan emosional.
Buku ini baik dibaca untuk kalangan pendidik maupun umum,
terutama bagi mahasiswa yang seharusnya memahami ilmu-ilmu perilaku.
Sehingga dapat mengimbangi potensi yang telah dimiliki dengan adanya
pengendalian diri. Agar hasil kecerdasan lebih baik perlu diimbangi
dengan membaca buku kecerdasan lain.
makalah emotional intelligence

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecerdasan intelektual seringkali menjadi ukuran sebagian besar orang untuk meraih
kesuksesan. Banyak orang berpikir, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, seseorang
bisa meraih masa depan yang cerah dalam hidupnya. Tidak heran, banyak orang tua selalu
menekankan anaknya untuk meraih nilai sebaik mungkin agar kelak memiliki masa depan
yang cemerlang. Sistem pendidikan di negara kita yang lebih menekankan pada prestasi
akademik siswa atau mahasiswa juga semakin mendukung argumen tersebut. Padahal
kenyataannya, kecerdasan intelektual bukanlah hal mutlak yang dapat menjamin kesuksesan
seseorang.
Mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru banyak
yang mengalami kegagalan dalam karirnya. Sedangkan orang yang ber-IQ sedang justru
dapat lebih sukses dari orang yang ber-IQ tinggi. Hal itu disebabkan karena ada satu
kecerdasan yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseorang yaitu
Emotional Intelligence atau kecerdasan emosional. Menurut penelitian yang dikemukakan
oleh Daniel Golemen, kontribusi IQ dalam seseorang hanya sekitar 20% dan 80% lagi
ditentukan oleh kecerdasan emosional. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kecerdasan
emosional harus ditingkatkan agar kita dapat menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual
dan kecerdasan emosional.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan emotional intelligence ?
2. Apa yang mempengaruhi perkembangan emotional intelligence dalam diri seseorang?
3.Bagaimana sikap orang yang memiliki emotional intelligence yang tinggi?
4. Bagaimana penerapan konsep emotional intelligence dalam pembelajaran?
5. Bagaimana cara mengembangkan emotional intelligence ?

1.3 Tujuan
1.Untuk mengetahui pengertian emotional intelligence
2.Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perkembangan emotional intelligence dalam
diri seseorang
3.Untuk mengetahui sikap orang yang memiliki emotional intelligence yang tinggi
4.Untuk mengetahui penerapan emotional intelligence dalam pembelajaran
5.Untuk mengetahui cara mengembangkan emotional intelligence
1.4 Metode Pengumpulan Data
Di dalam pembuatan makalah ini, kami menggunakan metode kajian pustaka yaitu
mencari informasi dan sumber-sumber dari buku mengenai emotional intelligence. Selain itu,
kami juga menambah sumber dari media internet untuk melengkapi materi pembahasan
emotional intelligence.
1.5  Sistematika Penelitian
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Rumusan Masalah
1.3  Tujuan Penulisan
1.4  Metode Penelitian
1.5  Sistematika Penulisan
BAB II ISI
2.1 Pengertian Emotional Intelligence
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emotional Intelligence
2.3 Sikap Individu yang Memiliki Emotional Intelligence
2.4 Penerapan Emotional Intelligence dalam Pembelajaran
2.5 Cara Mengembangkan Emotional Intelligence
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

BAB II
ISI
2.1 Pengertian Emotional Intelligence
Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan  oleh psikolog Petersolovey dari
Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire pada tahun 1990,
dengan menyebutkan kualifikasi-kualifikasi emosi manusia yang meliputi empati,
mengungkapkan dan memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian,  kemampuan
menyesuaikan diri, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan dan
kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.
Istilah ini populer pada tahun 1995 dan dipopulerkan oleh Daniel Goleman, seorang
psikolog dari Harvard University dalam karya monumentalnya berjudul Emotional
Intelligence. Karyanya ini menjadikan beliau terkenal khususnya di bidang psikologi. Hasil
risetnya yang menggemparkan  dengan mendefinisikan apa arti cerdas, dan dengan adanya
temuan baru tentang otak dan manusia, memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi
justru gagal sementara orang yang ber-IQ sedang menjadi sukses.
Faktor inilah menurut Goleman yang dapat memacu seseorang pada suatu cara lain untuk
menjadi cerdas yang disebutnya kecerdasan emosi.
Dalam risetnya Daniel Goleman memiliki  kurang lebih lima ribu perusahaan yang
tersebar di seluruh dunia, Goleman mendapatkan gambaran ketrampilan yang dimiliki para
bintang  kinerja di segala bidang, yang membuat mereka berbeda dengan yang lainnya. Dari
pekerjaan tingkat bawah sampai posisi eksekutif, faktor yang terpenting bukan kecerdasan
intelektual, pendidikan tinggi atau ketrampilan teknis, melainkan kecerdasan emosi.
Secara sederhana kecerdasan emosi dapat diartkan kemampuan memahami perasaan 
diri sendiri, kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri
sendiri, dan  kemampuan mengelola emosi dengan  baik pada diri sendiri, dan dalam
hubungan dengan orang lain.
Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memotivasi diri
sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebih-
lebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati  dan menjaga agar bebas dari stres, tidak
melumpuhkan kemampuan berfikir,  berempati, dan berdoa. Sedangkan Cooper
mengartikannya dengan suatu kemampuan untuk merasakan, memahami secara efektif,
menerapkan  daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan
pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk
tetap mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan,
perlawanan orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.

         Dengan demikian kecerdasan emosi merupakan kemampuan memahami perasaan diri
sendiri dan kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,
dan kemampuan mengelola emosi yang baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya
dengan orang lain. Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk tetap
mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan
orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emotional Intelligence


Kemampuan emotional intelligence seseorang dapat dilihat dari kepribadiannya.
Emotional intelligence bukan kecerdasan warisan biologis, tetapi tumbuh dan berkembang
melalui proses belajar seumur hidup yang didapat melalui pengalaman diri sendiri maupun
orang lain. Pengalaman yang bersifat konstruktif dapat membangun kepribadian sesorang
menjadi lebih baik. Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan
pergaulan, tidak bersifat tetap,dan dapat berubah setiap saat. Oleh karena itu, peranan
lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam
pembentukan kecerdasan emosional.

2.3 Sikap Individu yang Memiliki Emotional Intelligence


Dalam bukunya yang berjudul emotional intellegent,  Daniel Goleman menerangkan
suatu konsep bahwasannya ada dua macam kerangka kerja kecakapan emosi yaitu kecakapan
pribadi dan kecakapan sosial. Masing-masing dari kecakapan tersebut memiliki ciri-ciri
tertentu yang digabung menjadi lima ciri. Adapun kelima ciri-ciri tersebut adalah:
a. Kesadarandiri
Secara sederhana kesadaran diri diartikan dengan mengetahui apa yang dirasakan oleh
seorang individu pada suatu saat, dan menggunakannya untuk mengambil keputusan diri
sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri, dan kepercayaan diri yang
kuat.Para ahli psikologi menggunakan metakognisi untuk menyebutkan proses berfikir dan
metamod untuk menyebut kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Adapun Goleman 
lebih menyukai istilah kesadaran diri untuk menyebut dua kesadaran di atas. Menurutnya
kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi akan tetapi lebih merupakan
modus netral yang mempertahankan refleksi diri di tengah badai emosi.
Menurut Goleman kesadaran seseorang terhadap titik lemah serta kemampuan pribadi
seseorang juga merupakan bagian dari kesadaran diri. Ciri-ciri orang yang mampu mengukur
diri tersebut antara lain, sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya,
menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman, bersedia menerima perspektif 
baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri sendiri dan terakhir mampu menunjukkan
rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.
Kesadaran diri memang penting apabila seseorang  ceroboh, tidak memperhatikan dirinya
secara akurat, maka hal itu akan merugikan dirinya dan berdampak negatif  bagi oarang lain. 
Oleh sebab itu, manusia harus pandai-pandai mencari tahu siapa dirinya. Kesadaran diri juga
tidak lepas dari rasa percaya diri. Percaya diri memberikan keberanian untuk terus maju.
Walaupun demikian, percaya diri bukan berarti nekad. Rasa percaya diri erat kaitannya
dengan  efektivitas diri.
b.PengaturanDiri
Menurut Goleman pengaturan diri adalah  pengelolaan impuls dan perasaan yang
menekan. Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne yang berarti hati-hati
dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan yang terkendali,
sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar bahasa Yunani.
c. Motivasi
Motivasi merupakan kekuatan mental yang mendorong terbentuknya perilaku yang
memiliki tujuan tertentu. Istilah motivasi mengacu pada sebab atau mengapa, suatu
organisme yang dimotivasi akan lebih efektif dari pada tidak dimotivasi. Dalam motivasi
terkandung adanya keinginan, harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dan insentif. Motivasi
merupakan suatu energi yang dapat menimbulkan tingkat antusiasme dalam melaksanakan
suatu aktivitas, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik)
maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Menurut Goleman untuk menumbuhkan motivasi seseorang perlu adanya kondisi
flow pada diri orang tersebut. Flow adalah keadaan lupa sekitar, lawan dari lamunan dan
kekhawatiran, bukannya tenggelam dalam kesibukan yang tak tentu arah. Flow merupakan
puncak kecerdasan emosional. Dalam flow emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan,
akan tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang
dihadapi. Terperangkap dalam kebosanan, depresi, atau kemeranaan kecemasan menghalangi
tercapainya keadaan flow. Salah satu cara untuk mencapai flow adalah  dengan sengaja
memusatkan perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi. Keadaan konsentrasi
tinggi merupakan  inti flow.
Adapun selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah optimisme. Menurut
Goleman optimisme seperti harapan berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara
umum, segala sesuatu dalam kehidupan akan sukses kendati ditimpa kemunduran dan
frustasi.
d. Empati
  Empati dimaksudkan dengan memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir
dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal.
Menurut Goleman kemampuan mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan
mengatakannya merupakan intisari empati.
Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata, sebaliknya mereka memberi
tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara komunikasi nonverbal lainnya.
Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas
kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness)  dan
kendali diri (self control). Tanpa kemampuan mengindra perasaan individu  atau menjaga
perasaan itu tidak mengombang-ambingkan seseorang, manusia tidak akan peka terhadap
perasaan orang lain.
Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan dari perspektif orang lain
sebagai dasar untuk  membangun hubungan interpersonal yang sehat.
Tingkat empati tiap individu berbeda-beda. pada tingkat yang paling rendah, empati
mempersyaratkan kemampuan  membaca  emosi orang lain, pada tataran yang lebih tinggi,
empati mengharuskan seseorang mengindra sekaligus menanggapi  kebutuhan atau perasaan
seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Di antara yang paling tinggi, empati
adalah menghayati masalah  atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan
seseorang.
e. KeterampilanSosial
  Keterampilan sosial (social skills), adalah kemampuan untuk menangani emosi
dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan
jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan untuk mempengaruhi
dan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam tim.
2.4 Penerapan Emotional Intelligence dalam Pembelajaran
Banyak cara yang dapat dilakukan guru dalam pembelajaran, agar siswa dapat
menemukan konsep dengan caranya sendiri, diantaranya memberi waktu yang cukup kepada
siswa untuk berpikir, menyediakan sarana pembelajaran yang cocok, bekerja sama dengan
temannya, serta memberikan bantuan bimbingan seperlunya. Cara-cara tersebut disamping
untuk menumbuhkan pemahaman konsep pembelajaran juga dapat digunakan untuk
membangun kecerdasan emosionalsiswa.
Pendidikan pada semua jenjang pendidikan formal di negara kita saat ini masih lebih
mementingkan aspek kognitif. Aspek afektif seperti kecerdasan emosional (EI) nampaknya
masih ditelantarkan sebagaimana halnya system nilai (value system). Dalam membentuk
kepribadian siswa inilah diperlukan kecerdasan emosional (emotional intelligence).
Tidaklah mudah untuk membentuk pribadi siswa dengan membangun kecerdasan emosional
yang ideal, perlu kesabaran, kreativitas dan ketelitian dari seorang guru. Goleman (2007)
mengatakan bahwa apabila dua orang melakukan interaksi, arah perpindahan suasana hati
adalah dari orang yang lebih kuat dalam mengungkapkan perasannya menuju ke orang yang
lebih pasif..
Pendapat diatas, jika diterapkan dalam suatu pembelajaran di kelas, maka gurulah yang dapat
mempengaruhi perasaan siswa, sehingga akan terjadi interaksi guru dengan siswa yang
sinkron..
Mengingat akan pentingnya kecerdasan emosional bagi anak, diperlukan usaha dan
kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sehingga napas dari kecerdasan emosional
akan muncul dalam setiap pembelajaran yang dilakukan.
Ada beberapa cara yang dapat diterapkan oleh guru dalam menerapkan konsep
pembelajaran yang menyisipkan nilai emotional intelligence, yaitu:
1.Mengembangkan empati dan kepedulian: pengajar mengajarkan siswanya untuk menolong
orang, bersedia berbagi dengan temannya, meminjamkan peralatan tulis kepada teman yang
tidak membawa
2.Mengajarkan kejujuran dan integritas: disetiap pelajaran yang diajarkan pengajar juga
menyisipkan nasehat-nasehat tentang nilai-nilai positif, pengajar memberikan kepercayaan
kepada sisiwa untuk berperilaku jujur dan integritas
ketika pengajar meminta siswa untuk menilai hasil ulangan
3. Menghargai privasi anak didik: pengajar berusaha untuk tidak membeberkan hal buruk
tentang anak didiknya di depan umum yang akan membuat anak didik itu merasa malu dan
minder
4.Mengajarkan memecahkan masalah : pengajar memberikan pelajaran mengenai cara
berpikir sistematis agar dapat menyelesaikan persoalan dengan baik
2.5 Cara Mengembangkan Emotional Intelligence
Cooper dan Sawaf (2000) mengemukakan model empat batu untuk menjalankan teori
kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari:
1.Kesadaran emosi (emotional literacy): membangun kepiawaian dan rasa percaya diri
melalui kejujuran, enerji, tanggung jawab, koneksi. Individu harus melawan rasa tidak
percaya diri dan mulai terbuka kepada orang lain.
2.Kebugaran emosi ( emotional fitness) : mengembangkan sifat dapat dipercaya, keuletan,
kepercayaan, mendengarkan orang lain, mengelola konflik, mengelola kekecewaan. Individu
harus mulai menghilangkan keegoisannya. Jangan hanya ingin diperhatikan orang lain, tetapi
juga harus mencoba untuk mengembangkan rasa empati kepada orang lain.
3.Kedalaman emosi ( emotional depth) : mengeksplorsi cara menyelaraskan hidup dan kerja
anda dengan potensi yang anda miliki. Mulailah menggali bakat dan minat yang ada di dalam
diri. Jangan takut mencoba dan gagal.
4.Alkali emosi ( emotional alchemy) : memperdalam naluri dan kemampuan kreatif untuk
menangani masalah dan bersaing demi masa depan untuk membangun keterampilan yang
lebih peka terhadap kemungkinan solusi yang masih tersembunyi dan peluang yang masih
terbuka. Bukalah pikiran kita dan hilangkan rasa putus asa ketika menghadapi masalah.
Yakinkan diri bahwa setiap masalah itu pasti memiliki jalan keluarnya.
 
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Secara sederhana kecerdasan emosi dapat diartkan kemampuan memahami perasaan  diri
sendiri, kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,
dan  kemampuan mengelola emosi dengan  baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan
dengan orang lain.
2.Kemampuan emotional intelligence seseorang dapat dilihat dari kepribadiannya. Emotional
intelligence bukan kecerdasan warisan biologis, tetapi tumbuh dan berkembang melalui
proses belajar seumur hidup.
3. Daniel Goleman mengemukakan ada lima ciri kepribadian individu yang memiliki
emotional intelligence yaitu kesadarn diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan
keterampilan sosial.
4. Ada beberapa cara yang dapat diterapkan oleh guru dalam menerapkan konsep
pembelajaran yang menyisipkan nilai emotional intelligence, yaitu mengembangkan empati
dan kepedulian, mengajarkan kejujuran dan integritas, menghargai privasi anak didik, dan
mengajarkan memecahkan masalah.
5. Cooper dan Sawaf (2000) mengemukakan model empat batu untuk menjalankan teori
kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari yaitu kesadaran emosi (emotional literacy),
kebugaran emosi ( emotional fitness), kedalaman emosi ( emotional depth), dan alkali emosi
( emotional alchemy).
3.2 Saran
Sebaiknya para pengajar, orang tua dan siswa tidak hanya mengejar kempuan
intelektual semata, tetapi harus dibarengi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual. Dengan demikian, akan terdapat sinkronisasi pada kepribadian individu yang akan
menunjang untuk kesuksesan kelak. Selain itu, pemerintah juga harus mengubah sitem
pembelajaran di Indonesia. Jangan hanya menekankan pada kognitif semata, tetapi juga harus
ditingkatkan kepada nilai afektif . hal itu agar menciptakan generasi penerus bangsa yang
memiliki moralitas yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Goleman,D.1996.Kecerdasan Emosional. Jakarta: P.T Gramedia


Haryanto.(2013). Emotional Intelligence. [online]. Tersedia: http://belajarpsikologi.blogspot.com.
[12November 2013]
Matmun,A.B.2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: P.T Remaja Rosdakarya Offset
Miftahul Anwar. (2013). Pembelajaran Kontekstual. [online]. Tersedia:
http://pembelajarandisekolah.blogspot.com.[12 November 2013]
Solihudin Ichsan.2012.Rahasia Menjadi Pribadi Unggul.Bandung: Brainside Intelligence
A.     Mengenal Kecerdasan Emosi
1.      Kecerdasan
Istilah kecerdasan biasa dipadankankan dengan kata intelegensia yang mengacu dari bahasa latin
yaitu “intelligere” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.[1] Kecerdasan
(Intelligence) adalah daya reaksi penyesuaian yang cepat dan tepat baik secara fisik atau mental
terhadap pengalaman-pengalaman baru,  membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah
dimiliki siap untuk  dipakai apabila dihadapkan pada fakta-fakta atau kondisi baru.[2]
Menurut W. Stern, kecerdesan dapat diartikan dengan kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan
diri dengan cepat dan tepat. Adapun menurut Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis
pengukuran intelligence yang hidup antara tahun 1857-1911, mendefinisikan  inteligensi sebagai
tindakan yang terdiri atas tiga komponen yaitu, kemampuan untuk mengarahkan fikiran,
kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, kemampuan
untuk mengkritik diri sendiri.[3]
Sementara itu, menurut Stern Berg intelligence (kecerdasan) adalah  kemampuan yang memiliki lima
karakeristik umum yaitu kemampuan untuk belajar, mengambil manfaat dari pengalaman, berfikir
secara abstrak,  beradaptasi, dan memotivasi diri sendiri dalam menyelesaikan masalah secara tepat.
[4]
Dengan demikian, kecerdsasan merupakan suatu kemampuan untuk mengarahkan, memahami, dan
menyesuaikan jiwa, fikiran, tindakan, serta menyelesaikan masalah yang dihadapi secara tepat. Di
antara faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi, antara lain pembawaan, kematangan,
pembentukan, minat, dan kebebasan.[5]
    2.      Emosi
Kata emosi diambil dari bahasa Latin yaitu “movere”  yang berarti “menggerakkan, bergerak”  yang
ditambah ditambah awalan  “e”  untuk memberi arti “bergerak menjauh,” yang dimasksudkan untuk
memilki pengretian bahwa kecenderungan bertindak  merupakan hal mutlak dalam emosi. Semua
emosi, pada dasarnya adalah  dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah
yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur (evolusi), dan emosi  juga sebagai  perasaan dan
fikiran-fikiran khas, suatu keadaan biologis  dan psikologis serta serangkaian  kecenderungan untuk
bertindak. Emosi dapat dikelompokkan pada rasa amarah, kesedihan, takut, kenikmatan, cinta,
terkejut, jengkel dan malu.[6]
Sebenarnya dalam bidang psikologi, masalah emosi merupakan masalah yang belum terpecahkan,
hal ini dapat dilihat dari tidak adanya pernyataan  yang jelas tentang definisi emosi itu sendiri. Dan
para psikolog telah berusaha memberi pengertian emosi namun pernyataan mereka masih terbentur
dengan tidak adanya pemisahan secara jelas antara definisi dari perasaan dan emosi sehingga masih
ambiguitas.
Menurut Goleman emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya
adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar
dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati
seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku
menangis.
Batas perbedaan antara  emosi dan perasaan terletak pada sifat kontak yang terjadi. Dalam perasaan
ditemukan kesediaan kontak dengan  situasi (baik positif maupun negatif). Adapun dalam emosi
kontak itu seolah-olah menjadi retak atau terputus misalnya pada saat kita sangat terkejut,
ketakutan, mengantuk, dan sebagainya.[7] 
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu
aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam
arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia.
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut
Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran),
Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu :
fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Sedangkan Goleamann melihat bahwa dalam emosi
terdapat:[8]                                          
    a.       Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b.      Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
c.       Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang,    
ngeri
d.      Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e.       Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat,
kemesraan, kasih
f.        Terkejut: terkesiap, terkejut
g.       Jengkel: hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h.       Malu: malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk
bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau
bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles
secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai
kehidupan emosional kita dengan kecerdasan.
Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai,
dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal
itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan
mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan. Orang cenderung menganut gaya-
gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam
permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki
kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di
jalani menjadi sia-sia.

3.      Pengertian Kecerdasan Emosi


Secara sederhana kecerdasan emosi dapat diartkan kemampuan memahami perasaan  diri sendiri,
kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan  kemampuan
mengelola emosi dengan  baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain.
Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memotivasi diri sendiri dan
bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan dalam
kesenangan, mengatur suasana hati  dan menjaga agar bebas dari stres, tidak melumpuhkan
kemampuan berfikir,  berempati, dan berdoa.[9] Sedangkan Cooper mengartikannya dengan suatu
kemampuan untuk merasakan, memahami secara efektif, menerapkan  daya dan kepekaan emosi
sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.[10]
Dengan demikian kecerdasan emosi merupakan kemampuan memahami perasaan diri sendiri dan
kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan
mengelola emosi yang baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.[11]
Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk tetap mengikuti tuntutan agama,
ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup,
kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.[12]
Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan  oleh psikolog Petersolovey dari Harvard
University dan John Mayer dari University of New Hampshire pada tahun 1990, dengan
menyebutkan kualifikasi-kualifikasi emosi manusia yang meliputi empati, mengungkapkan dan
memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian,  kemampuan menyesuaikan diri,
kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan dan kesetiakawanan, keramahan, dan
sikap hormat.
Istilah ini populer pada tahun 1995 dan dipopulerkan oleh Daniel Goleman, seorang psikolog dari
Harvard University dalam karya monumentalnya berjudul Emotional Intelligence. Karyanya ini
menjadikan beliau terkenal khususnya di bidang psikologi. Hasil risetnya yang menggemparkan 
dengan mendefinisikan apa arti cerdas, dan dengan adanya temuan baru tentang otak dan manusia,
memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru gagal sementara orang yang ber-IQ sedang
menjadi sukses.
Faktor inilah menurut Goleman yang dapat memacu seseorang pada suatu cara lain untuk menjadi
cerdas yang disebutnya kecerdasan emosi. Dalam risetnya Daniel Goleman memiliki  kurang lebih
lima ribu perusahaan yang tersebar di seluruh dunia, Goleman mendapatkan gambaran ketrampilan
yang dimiliki para bintang  kinerja di segala bidang, yang membuat mereka berbeda dengan yang
lainnya. Dari pekerjaan tingkat bawah sampai posisi eksekutif, faktor yang terpenting bukan
kecerdasan intelektual, pendidikan tinggi atau ketrampilan teknis, melainkan kecerdasan emosi.[13]

B.     KONSEP KECERDASAN EMOSI DANIEL GOLEMAN


Adalah Wilhem Stern seorang psikolog Jerman mengungkapkan sebuah konsep bahwasannya
kecerdsasan seseorang sebenarnya bisa diukur. Dengan mengacu kepada para pakar pendahulunya
yaitu Alfred Binnet dan Theodore Simon, Stern mengungkapkan bahwa IQ (intelegent Quotient)
seseorang bisa menjadi ukuran kecerdasannya. Sejak saat itu juga kemampuan “matematis”
seseorang sering dijadikan suatu standar bahwa seseorang itu cerdas,[14]
Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata tes inteligensi memiliki
kekurangan atau kelemahan. Kekurangan itulah yang melatarbelakangi  munculnya teori baru dan
sebagai alat untuk menyerang  teori tersebut.  Teori baru ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang
dikenal dengan istilah Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence). Menurut Goleman, EQ sama
ampuhnya dengan IQ, dan bahkan lebih.[15] Terlebih dengan adanya hasil riset terbaru yang
menyatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ)  bukanlah ukuran kecerdasan (Intelligence) yang
sebenarnya, ternyata emosilah parameter yang  paling menentukan dalam kehidupan manusia.
Menurut Goleman (IQ) hanya mengembangkan 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup, 
sementara 80 % lainnya  diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.[16] Ungkapan Goleman ini  seolah
menjadi jawaban bagi situasi  ‘aneh’ yang sering terjadi di tengah masyarakat,  di mana ada orang-
orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata tidak mampu mencapai prestasi yang lebih baik dari
sesama yang ber-IQ lebih rendah.
Kelebihan  lain dari kecerdasan emosi ini adalah kenyataan bahwa kecerdasan  emosi bukanlah
kecerdasan statis yang diperoleh karena ‘warisan’ orang tua seperti IQ. Selama ini  telah diketahui
bahwa seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak dapat direkayasa untuk menjadi seorang
jenius. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang tua ber-IQ tinggi kemungkinan
besar akan ‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan ber-IQ tinggi juga. Adapun  kecerdasan emosi
dapat tumbuh dan berkembang seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang
tergantung pada proses pembelajaran, pengasahan, dan pelatihan yang dilakukan sepanjang hayat.
[17]
Dalam bukunya yang berjudul emotional intellegent,  Danilel Goleaman menerangkan suatu konsep
bahwasannya ada dua macam kerangka kerja kecakapan emosi yaitu kecakapan pribadi dan
kecakapan sosial. Masing-masing dari kecakapan tersebut memiliki ciri-ciri tertentu yang digabung
menjadi lima ciri. Adapun kelima ciri-ciri tersebut adalah: [18]
a.      Kesadaran Diri
Secara sederhana kesadaran diri diartikan dengan mengetahui apa yang dirasakan oleh seorang
individu pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri
sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri, dan kepercayaan diri yang kuat.[19].
Para ahli psikologi menggunakan metakognisi untuk menyebutkan proses berfikir dan metamod
untuk menyebut kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Adapun Goleman  lebih menyukai
istilah kesadaran diri untuk menyebut dua kesadaran di atas. Menurutnya kesadaran diri bukanlah
perhatian yang larut ke dalam emosi akan tetapi lebih merupakan modus netral yang
mempertahankan refleksi diri di tengah badai emosi.[20]
Kesadaran diri tidak terbatas pada mengamati diri dan mengenali perasaan akan tetapi juga
menghimpun kosa kata untuk perasaan dan mengetahui hubungan antara  fikiran, perasaan, dan
reaksi.[21] Menurut Goleman kesadaran seseorang terhadap titik lemah serta kemampuan pribadi
seseorang juga merupakan bagian dari kesadaran diri. Ciri-ciri orang yang mampu mengukur diri
tersebutr antara lain, sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya,
menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman, kemudaian terbuka terhadap umpan
balik yang tulus, bersedia menerima perspektif  baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri
sendiri dan terakhir mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan
perspektif yang luas.[22]
Kesadaran diri memang penting apabila seseorang  ceroboh, tidak memperhatikan dirinya secara
akurat, maka hal itu akan merugikan dirinya dan berdampak negatif  bagi oarang lain.  Oleh sebab
itu, manusia harus pandai-pandai mencari tahu siapa dirinya. Kesadaran diri juga tidak lepas dari
rasa percaya diri. Percaya diri memberikan asuransi mutlak  untuk terus maju. Walaupun demikian,
percaya diri bukan berarti nekad. 
Rasa percaya diri erat kaitannya dengan  “efektivitas diri”,  penilaian positif  tentang kemampuan
kerja diri sendiri. Efektifitas diri cenderung pada keyakinan seseorang mengenai apa yang ia kerjakan
dengan menggunakan ketrampilan yang ia miliki.[23] Percaya diri memberi kekuatan untuk
membuat keputusan yang sulit atau menjalankan tindakan yang diyakini kebenarannya. Tidak
adanya percaya diri dapat menjadikan rasa putus asa, rasa tidak berdaya, dan meningkatnya
keraguan pada diri sendiri. Adanya kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu
merupakan hal penting bagi pemahaman diri. Adapun  ketidakmampuan untuk mencermati
perasaan yang sesungguhnya membuat manusia berada dalam kekuasaan perasaan.
Orang yang memiliki keyakinan yang lebih baik tentang perasaannya adalah pilot yang handal bagi
kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang
sesungguhnya atas pengambilan keputusan. Keputusan masalah pribadi maupun profesi. Kesadaran
diri  tidak lain adalah kemampuan untuk mengetahui keadaan internal. Kesadaran diri sangat penting
dalam pembentukan konsep diri yang positif. Konsep diri adalah pandangan pribadi terhadap diri
sendiri, yang mencakup tiga aspek yaitu :
1)      Kesadaran emosi,  yaitu tahu tentang bagaimana pengaruhnya emosi terhadap kinerja, dan
kemampuan menggunakan nilai-nilai untuk memandu pembuatan keputusan.
2)      Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan-kekuatan dan batas-
batas pribadi, visi yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari
pengalaman orang lain.
3)      Percaya diri  yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri.
b.      Pengaturan Diri
Menurut Goleman pengaturan diri adalah  pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan. Dalam
kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur
kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan yang terkendali” sebagaimana yang diterjemahkan
oleh Page Dubois, seorang pakar bahasa Yunani.[24]
c.       Motivasi
Motivasi merupakan kekuatan mental yang mendorong terbentuknya perilaku yang memiliki tujuan
tertentu. Istilah motivasi mengacu pada sebab atau mengapa, suatu organisme yang dimotivasi akan
lebih efektif dari pada tidak dimotivasi, Dalam motivasi terkandung adanya keinginan, harapan,
kebutuhan, tujuan, sasaran, dan insentif. Motivasi merupakan suatu energi yang dapat menimbulkan
tingkat antusiasme dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik yang bersumber dari dalam diri
individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Menurut Goleman untuk menumbuhkan motivasi seseorang perlu adanya kondisi flow pada diri
orang tersebut. Flow adalah keadaan lupa sekitar, lawan dari lamunan dan kekhawatiran, bukannya
tenggelam dalam kesibukan yang tak tentu arah. Momen flow tidak lagi bermuatan ego. Orang yang
dalam keadaan flow menampilkan penguasaan hebat terhadap apa yang mereka kerjakan, respon
mereka sempurna  senada dengan  tuntutan yang selalu berubah dalam tugas itu, dan meskipun 
orang menampilkan  puncak kinerja saat sedang flow, mereka tidak lagi peduli pada bagaimana
mereka bekerja, pada fikiran sukses atau gagal.  Kenikmatan  tindakan itu sendiri yang  memotivasi
mereka.[25]
Flow merupakan puncak kecerdasan emosional. Dalam flow emosi tidak hanya ditampung dan
disalurkan, akan tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang
dihadapi. Terperangkap dalam kebosanan, depresi, atau kemeranaan kecemasan menghalangi
tercapainya keadaan flow. salah satu cara untuk mencapai flow adalah  dengan sengaja memusatkan
perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi. Keadaan konsentrasi tinggi merupakan  inti
flow.
Mengamati seseorang yang dalam keadaan flow memberi kesan bahwa yang sulit itu mudah, puncak
performa tampak alamiah dan lumrah. Ketika dalam keadaan flow otak berada pada keadaan 
“dingin”. Flow merupakan keadaan yang bebas dari gangguan emosional, jauh dari paksaan,
perasaan penuh motivasi yang ditimbulkan oleh ekstase ringan. Ekstase itu tampaknya merupakan 
hasil samping dari fokus perhatian yang merupakan hasil prasyarat keadaan flow.
Didalam motivasi ini terdapat beberapa kompenen utama yaitu: pertama, Kebutuhan, hal ini terjadi
jika individu merasa ada ketidakseimbangan antara apa yang ia miliki dan yang ia harapkan. 
Abraham H. Maslow berpendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan,
yaitu :
(1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex;
(2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental,
psikologikal dan intelektual;
(3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs);
(4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai
simbol-simbol status; dan
(5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Yang kedua dorongan, yaitu kekuatan mental untuk melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi
harapan yang timbul sebagai hasil dari kebutuhan biologis, seperti kebutuhan makanan, minuman
dan seks. Kondisi seperti ini akan memotivasi pelaku untuk mengulangi kebutuhan tersebut.
Misalnya, kekurangan makan mengakibatkan perubahan kimiawi tertentu dalam darah yang pada
giirannya menimbulkan suatu dorongan.
Terakhir adanya tujuan, yaitu hal yang ingin dicapai oleh seorang individu. Tujuan tersebut
mengarahkan perilaku, dalam hal ini perilaku belajar. Kekuatan mental atau kekuatan motivasi
belajar dapat diperkuat dan dikembangkan. Interaksi kekuatan mental dan pengaruh dari luar
ditentukan oleh responden prakarsa pribadi pelaku. Menurut Edwin Locke penetapan tujuan
memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni, tujuan-tujuan mengarahkan perhatian,
tujuan-tujuan mengatur upaya, tujuan-tujuan meningkatkan persistensidan tujuan-tujuan yang
menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan.
Adapun selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah optimisme. Menurut Goleman optimisme
seperti harapan berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara umum, segala sesuatu dalam
kehidupan akan sukses kendati ditimpa kemunduran dan frustasi. Dari titik pandang kecerdasan
emosional, optimisme merupakan sikap yang menyangga orang agar  jangan sampai jatuh dalam
kemasabodohan, keputusasaan atau depresi bila dihadang kesulitan, karena optimisme membawa
keberuntungan dalam kehidupan asalkan optimisme itu realistis. Karena optimisme yang naif
membawa malapetaka.[26]
Orang yang optimis memandang kemunduran sebagai akibat  sejumlah faktor yang bisa diubah,
bukan kelemahan atau kekurangan pada diri sendiri. Berbeda dengan orang pesimis yang
memandang kegagalan sebagai penegasan  atas sejumlah kekurangan fatal dalam diri sendiri yang
tidak dapat diubah.
d.      Empati
Empati dimaksudkan dengan memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir dengan sudut
pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal.[27] Menurut
Goleman kemampuan mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya
merupakan intisari empati.
Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata, sebaliknya mereka memberi tahu
orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara komunikasi nonverbal lainnya. Kemampuan
memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas kecakapan-kecakapan yang
lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness)  dan kendali diri (self control). Tanpa
kemampuan mengindra perasaan individu  atau menjaga perasaan itu tidak mengombang-
ambingkan seseorang, manusia tidak akan peka terhadap perasaan orang lain.[28]
Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan dari perspektif orang lain sebagai dasar untuk 
membangun hubungan interpersonal yang sehat. Bila kesadaran diri terfokus pada pengenalan
emosi sendiri, dalam empati perhatiannya diraihkan pada pengenalan emosi orang lain. Seseorang
semakin mengetahui emosi sendiri, maka ia akan semakin terampil membaca emosi orang. Dengan
demikian, empati dapat difahami sebagai kemampuan mengindra perasaan dan perspektif orang
lain.
Tingkat empati tiap individu berbeda-beda. pada tingkat yang paling rendah, empati
mempersyaratkan kemampuan  membaca  emosi orang lain, pada tataran yang lebih tinggi, empati
mengharuskan seseorang mengindra sekaligus menanggapi  kebutuhan atau perasaan seseorang
yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Di antara yang paling tinggi, empati adalah menghayati
masalah  atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang.[29] 
Adapun kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan  nonverbal 
seperti ekspresi wajah, gerak-gerik dan nada bicara. Hal ini terbukti dalam  tes terhadap lebih dari 
tujuh ribu orang di Amerika Serikat serta delapan belas negara lainnya. Dari hasil tes ini diketahui
bahwa orang yang mampu membaca pesan orang lain dari isyarat nonverbal ternyata lebih pandai
menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka
dibandingkan dengan orang yang tidak mampu membaca isyarat nonverbal.[30]
Namun ada kalanya seseorang tidak memiliki kemampuan  berempati. empati tidak ditemukan
kepada orang yang melakukan kejahatan-kejahatan sadis. Suatu cacat psikologis yang ada umumnya
ditemukan pada pemerkosa, pemerkosa anak-anak, dan para pelaku tindak kejahatan rumah tangga.
Orang-orang ini tidak mampu berempati, ketidakmampuan untuk merasakan penderitaan korbannya
memungkinkan mereka melontarkan kebohongan kepada diri mereka sendiri sebagai pembenaran
atas kejahatannya. Hilangnya empati sewaktu orang-orang melakukan kejahatan pada korbannya
hampir senantiasa merupakan bagian dari siklus emosional yang mempercepat tindakan kejamnya.
[31]
Selain itu, empati tidak ditemukan pada penderita eleksitimia (ketidakmampuan mengungkapkan
emosi). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan  mereka untuk mengetahui apa yang sedang
mereka rasakan. Selain bingung dengan perasaannya sendiri, penderita eleksitimia juga bingung
apabila ada orang lain yang mengungkapkan perasaannya kepadanya. Secara emosional, penderita
ini tuli nada, tidak bisa mendeteksi kata atau tindakan yang bersifat emosional.
Empati yang berlebihan dapat mendatangkan stres, kondisi ini disebut “empathy distruss”, stres
akibat empati. Menurut Daniel Goleman, stres akibat empati ini sangat lazim terjadi  bila seseorang
merasakan kesusahan yang  mendalam, karena seseorang sangat empatik berhadapan dengan
seseorang yang sedang dalam suasana hati negatif, dan kemampuan pengaturan dirinya tidak
mampu  untuk menenangkan stres akibat simpati mereka sendiri. Untuk menghindari stres ini,
diperlukan suatu seni mengelola emosi, sehingga manusia tidak terbebani oleh rasa tertekan yang
menular dari orang yang sedang  dihadapi.[32] 
Menurut Goleman, ada lima kemampuan empati, yaitu, pertama, memahami orang lain dengan cara
mengindera perasaan-perasaan orang lain, serta mewujudkan minat-minat aktif terhadap
kepentingan-kepentingan mereka. Kedua,mengembangkan orang lain yaitu, mengindera kebutuhan
orang lain untuk berkembang dan meningkatkan kemampuan mereka. Ketiga, memilki orientasi
pelayanan  yaitu mengantisipasi, mengakui, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggan.
Keempat, memanfaatkan keragaman yaitu menumbuhkan kesempatan (peluang) melalui pergaulan
dengan bermacam-macam orang. Terakhir memliki kesadaran politik  yaitu mampu membaca
kecenderungan sosial dan politik yang sedang berkembang.
e.      Ketrampilan Sosial
Ketrampilan sosial (social skills), adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial,
berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan untuk mempengaruhi dan memimpin,
bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam tim.
Dalam memanifestasikan kemampuan ini dimulai dengan mengelola emosi sendiri yang pada
akhirnya manusia harus mampu menangani emosi orang lain. Menurut Goleman, menangani emosi
orang lain adalah seni yang mantap untuk menjalin hubungan, membutuhkan kematangan dua
ketrampilan emosional lain, yaitu manajemen diri dan empati.
Dengan kedua lanadasan tersebut, ketrampilan berhubungan dengan orang lain akan matang. Ini
merupakan kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain.
Tidak dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial atau
berulangnya bencana antar pribadi. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya ketrampilan-ketrampilan
inilah yang menyebabkan orang-orang yang otaknya encer pun gagal dalam membina hubungannya.
[33] Dalam berhubungan dengan orang lain, manusia menularkan emosinya kepada orang lain atau
sebaliknya semakin trampil seseorang secara sosial, semakin baik mengendalikan sinyal yang
dikirimkan.
Kesadaran sosial juga didasarkan pada kemampuan perasaan sendiri, sehingga mampu
menyetarakan dirinya terhadap bagaimana orang lain beraksi. Menurut Goleman, apabila
kemampuan antar  pribadi ini tidak diimbangi dengan kepekaan perasaan terhadap kebutuhan dan
perasaan diri sendiri serta bagaimana cara memenuhinya, maka ia akan termasuk dalam golongan
bunglon-bunglon sosial yang tidak peduli sama sekali bila harus berkata ini dan berbuat itu.

________________________________________
[1] A. Budiarjo dkk,  Kamus Psikologi, (Semarang: Dhara Prize, 1987), hlm. 211
[2] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indnesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm.78
[3] Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Intelligensi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),  hlm. 6
[4] Rita L. Atkinson dkk., Pengantar Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 12
[5] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 55-56
                [6] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), hlm. 7
[7] M. Alisuf  Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Pengembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu  Jaya,
1993), hlm. 74
[8] Ibid.
 [9]Daniel Goleman, Emotional…, hlm. 45
[10] Ary Ginanjar Agustian,  Rahasia Sukses Membangun  Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ,
(Jakarta: Arga, 2002), hlm. 44
[11] Daniel Goleman, Emotional…, hlm. 512
[12] Komarudin Hidayat, Menyinari Relung-Relung Ruhani, (Bandung: Hikmah, 2002), hlm. 173
[13] Daniel Goleman, Emotional…, sampul belakang.
[14] Taufiq Pasiak, Revolusi IQ,, EQ, SQ; Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan al-Qur’an dan
Neurosains Mutakhir, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), hlm. 165
[15] Lihat Sukidi, “Kecerdasan Spiritual” Harian Kompas, 15 Desember, 2000
[16] Maurice J. Elias, dkk., Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, (Bandung: Kaifa, 2000), hlm.
11
[17] Majalah Ummi, “Anak Cerdas Dunia Akhirat”, Edisi Spesial No. 4 th 2002, hlm. 19
                [18] Daniel Goleman, Emotional Intelligence..., hlm. 63
                [19] Forum Kajian Budaya dan Agama (FkBA),” Kecerdasan Emosi dan Quantum Learning”,
(Yogyakarta: FkBA, 2000), hlm. 3
                [20] Ibid., hlm. 64
                [21] Ibid., hlm. 428
                [22] Ibid., hlm. 97
                [23] Ibid., hlm. 110-111
                [24] Ibid., hlm. 111-112
[25] Daniel Goleman, Emotional…, hlm. 128
[26] Ibid., hlm. 123
[27] Daniel Goleman, Emotional.., hlm. 428
[28] Forum kajian Budaya dan Agama, Kecerdasan Emosi Quantum Learning, hlm. 34
[29]  Ibid., hlm. 215
[30] Daniel Goleman, Emotional..., hlm. 136
[31] Ibid., hlm. 149-150
[32] Ibid., hlm. 230
[33] Daniel  Goleman, Emotional..., hlm. 158-159
TINJAUAN BUKU KECERDASAN EMOSIONAL

(EMOTIONAL INTELLEGENCE)

Oleh : Akhirul Ariyanto (140210302064)

IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Emotional Intellegence


Pengarang : Daniel Goleman
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Ukuran : 15 X 23 cm

BIOGRAFI PENULIS
Daniel Goleman, Ph.D., adalah CEO Emotional Intelligence Services di Sudbury,
Massachusetts. Selama dua belas tahun ia meliput ilmu-ilmu otak dan tingkah laku bagi The
New York Times, dan juga mangajar di Harvard (tempat ia meraih gelar doktornya). Selain
Emotional Intelligence, buku-bukunya yang sudah terbit antara lain:
1.Vital Lies, Simple Truths The Meditative Mind
2. The Creative Spirit, sebagai co-author

Ini adalah buku yang menggemparkan sidang pembaca dan yang mendefinisikan
ulang apa arti cerdas. Buku karangan Daniel Goleman Penerbit Gramedia telah mendapat
sambutan luar biasa dari pembaca sehingga telah beberapa kali mengalami cetak ulang. Buku
ini terdiri atas 5 bagian 16 bab. Kelima bagian itu adalah I. Otak Emosional. II Ciri-ciri
Kecerdasan Emosional III. Penerapan Kecerdasan Emosional IV. Kesempatan Emas V.
Kecakapan Emosional.

Bab 1 berjudul “Apakah Kegunaan Emosi?”. Homo humini lupus adalah tidak hanya
berarti bahwa manusia berpikir tetapi juga manusia juga beremosi. Semua emosi, pada
dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Akar kata emosi adalah movere kata kerja Bahasa
Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e” untuk memberi arti
“bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak
dalam emosi Contoh-contoh emosi adalah amarah, ketakutan, kebahagiaan, cinta, terkejut,
jijik, rasa sedih. Kecenderungan biologis untuk bertindak ini selanjutnya dibentuk oleh
pengalaman kehidupan serta budaya.

Pikiran rasional adalah model pemahaman yang lazimnya kita sadari: lebih menonjol
kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan merefleksi. Tetapi bersamaan
dengan itu ada sistem pemahaman yang lain: yang impulsif dan berpengaruh besar, bila
kadang-kadang tidak logis – yaitu pikiran emosional. Dikotomi emosional/rasional kurang
lebih sama dengan istilah awam antara “hati” dengan “kepala”. Biasanya ada keseimbangan
antara pikiran emosional dan pikiran rasional, emosi memberi masukan dan informasi kepada
proses pikiran rasional dan pikiran rasional memperbaiki dan terkadang memveto masukan
masukan emosi tersebut. Berat otak manusia adalah 1,5 kg yang terdiri atas sel-sel dan cairan
saraf. Bagian otak “neokorteks” adalah bagian otak yang berpikir. Sistem “limbik” adalah
bagian otak saraf emosi.
Bab2 menguraikan tentang “Anatomi Pembajakan Emosi”. Ledakan emosi
merupakan pembajakan. Pembajakan berlangsung seketika, dan memicu reaksi neokorteks.
Ciri utama pembajakan adalah begitu saat tersebut berlalu, mereka yang mengalaminya tidak
menyadari apa yang baru saja mereka lakukan. Pembajakan adalah kudeta saraf yang berasal
dari amigdala, sebuah pusat di otak limbik. Amigdala adalah spesialis masalah-masalah
emosional. Tanpa amigdala, hidup telah kehilangan semua pemahaman tentang perasaan.
Amigdala berfunsgi sebagai semacam gudang ingatan emosional. Hidup tanpa amigdala
merupakan kehidupan tanpa makna pribadi sama sekali. Fungsi-fungsi amigdala dan
pengaruhnya pada neokorteks merupakan inti kecerdasan emosional.

Secara anatomi, sistem emosi mampu bertindak sendiri terlepas dari neokorteks.
Beberapa reaksi emosional dan ingatan emosional dapat terbentuk tanpa partisipasi kognitif
dan kesengajaan apa pun. Hippocampus lebih berkaitan dalam perekaman dan pemaknaan
pola persepsi ketimbang reaksi emosional. Dalam ingatan, amigdala dan hippocampus
bekerja bersama-sama, masing-masing menyimpan dan memunculkan kembali informasi
khusus miliknya secara mandiri. Bila hippocampus memunculkan kembali informasi,
amigdala menentukan apakah informasi itu mempunyai nilai emosi tertentu.

Kekeliruan emosional didasarkan pada mendahulukan perasaan sebelum nalar,


dikenal sebagai “emosi prakognitif”. Pembajakan emosi melibatkan dua dinamika, pemicuan
amigdala dan kegagalan respons emosional. Sambungan antara amigdala dan neokorteks
merupakan medan perang sekaligus persetujuan kerja sama yang dibuat oleh kepala dan hati,
nalar dan perasaan. Hubungan antarsirkuit ini menjelaskan mengapa emosi demikian penting
bagi nalar yang efektif baik dalam membuat keputusan-keutusan yang bijaksana maupun
sekadar dalam memungkinkan kita berpikir dengan jernih. Kita mempunyai dua kecerdasan
rasional dan emosional. Keberhasilan kita dalam kehidupan
ditentukan oleh keduanya, tidak hanya oleh IQ tetapi kecerdasan emosional lah yang
memegang peranan.

Bab3 menguraikan tentang “Kapan yang Pintar itu Bodoh’. Kecerdasan akademis
sedikit
saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Yang paling cerdas di antara kita dapat
terperosok ke dalam nafsu tak terkendali dan impuls meledak-ledak. Ciri-ciri kecerdasan
emosional adalah kemampuan memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustrasi,
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati
dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan
berdoa. Kecerdasan emosional dapat sama ampuhnya dan terkadang lebih ampuh daripada
IQ. IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi atau kebahagiaan hidup, sekolah
dan budaya kita lebih menitikberatkan pada kemampuan akademis, mengabaikan kecerdasan
emosional. Orang dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti
kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan
pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Sehari-hari tak ada yang lebih penting
daripada kecerdasan antarpribadi. Apabila Anda tidak memilikinya, Anda akan memilih hal-
hal yang keliru mengenai siapa yang akan Anda nikahi, pekerjaan yang akan Anda ambil, dst.
Lima wilayah utama kecerdasan emosional: 1. Mengenali diri sendiri 2. Mengelola emosi. 3.
Memotivasi diri sendiri 4. Mengenali emosi orang lain. 5. Membina hubungan.

Bab 4 menjelaskan tentang “Kenali Diri Anda”. Ajaran Socrates “Kenalilah dirimu”
menunjukkan inti kecerdasan emosional. Atau disebut juga kesadaran diri dalam artian
perhatian terus menerus terhadap keadaan batin seseorang. Kesadaran diri berarti “waspada
baik terhadap susasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati. Gaya-gaya seseorang
dalam menangani dan mengatasi emosi seseorang: sadar diri, tenggelam dalam permasalahan,
pasrah. Aleksitimia adalah tidak memiliki emosi atau perasaan. Ciri-ciri klinis yang menandai
penderita aleksitimia mencakup kesulitan melukiskan perasaan-perasaan mereka sendiri atau
perasaan orang lain, dan perbendaharaan kata emosionalnya amat terbatas. Penderita
aleksitimia jarang menangis, tetapi seandainya menangis air matanya mengucur deras.
Mereka sama sekali tidak menguasai keterampilan dasar kecerdasan emosional, yaitu
kesadaran diri, mengetahui apa yang kita rasakan saat emosi bergolak dalam diri kita.
Aleksitimia disebabkan oleh putusnya hubungan antara sistem limbik dengan neokorteks.
“Penanda somatik” secara harfiah berarti suara hati adalah sejenis alarm automatis biasanya
untuk menarik perhatian ke arah bahaya potensial yang berasal dari serangkaian tindakan
tertentu.

Bab 5 menguraikan tentang “Budak Nafsu”. Yang baik adalah emosi yang wajar,
keselarasanantara perasaan dan lingkungan. Apabila emosi terlampau ditekan, terciptalah
kebosanan dan jarak, bila emosi tak dikendalikan, terlampau ekstrem dan terus menerus,
emosi akan menjadi sumber penyakit, seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang
meluap-luap, gangguan emosional yang berlebihan. Penderitaan dan kebahagiaan adalah
bumbu kehidupan, tetapi keduanya harus bersifat seimbang. Dalam kalkulus perasaan. Rasio
antara emosi positif dan negatiflah yang menentukan rasa sejahtera itu.

Desain otak menunjukkan bahwa kita seringkali kurang atau tidak mempunyai kendali
atas kapan kita dilanda emosi juga emosi apa yang akan melanda kita. Tetapi kita dapat
mengirangira berapa lama emosi itu akan berlangsung. Amarah itu tak pernah tanpa alasan,
tetapi
jarang yang alasannya benar. Amarah merupakan suasana hati yang paling sulit dikendalikan.
Amarahlah yang paling menggoda di antara emosi-emosi negatif. Berpikir dalam kerangka
baru yang lebih positif akan suatu situasi merupakan salah satu cara yang paling ampuh untuk
meredakan amarah. Selingan merupakan alat yang amat hebat untuk mengubah suasana hati,
dengan alasan sederhana, sulit untuk tetap marah bila kita menikmati saat yang
menyenangkan. Triknya, tentu saja adalah mendinginkan amarah itu sampai tahap dimana
seseorang bisa menikmati saat yang menyenangkan itu terlebih dahulu. Orang dapat bangkit
dari depresi dengan kembali pada daya ilahi. Berdoa apabila Anda amat taat beragama,
sangat bermanfaat untuk segala suasana hati terutama depresi.

Bab 6 menguraikan tentang “Kecakapan Utama”. Peran motivasi positif yaitu


kemampuan memotivasi diri untuk tak henti-hentinya berlatih secara rutin. Memulai lebih
dini memberikan keuntungan seumur hidup. Berlatih 10 000 jam akan lebih berhasil daripada
7500 jam. Tingkat ketahanan yang dimulai pada awal hidupnya untuk mampu menempuh
latihan rutin yang berat selama bertahun-tahun. Ketekunan itu bergantung pada sifat
emosional, antusiasme serta kegigihan menghadapi tantangan.

Tidak ada keterampilan psikologis yang lebih penting selain melawan dorongan hati.
Ini
merupakan akar segala kendali diri emosional, sebab semua emosi, sesuai dengan sifatnya,
membawa pada salah satu dorongan hati untuk bertindak. Anak-anak yang mampu menahan
godaan pada umur empat tahun merupakan remaja yang secara sosial lebih cakap, secara
pribadi lebih efektif, lebih tegas, dan lebih mampu menghadapi kekecewaan hidup. IQ tidak
dapat diubah, dan dengan demikian merupakan batas yang tak dapat diotak atik atas
kemampuan hidup seorang anak, kecakapan emosional seperti pengendalian dorongan hati
dan kepekaan dalam menyikapi situasi sosial adalah hal yang dapat dipelajari. Suasana hati
yang bahagia ketika sedang berlangsung dapat memperkuat kemampuan untuk berpikir
dengan fleksibel dan dengan lebih kompleks, sehingga memudahkan pemecahan masalah.
Harapan dirumuskan sebagai yakin bahwa Anda mempunyai kemauan maupun cara untuk
mencapai sasaran sasaran Anda, apapun sasaran Anda itu. Dari sudut pandang kecerdasan
emosional, mempunyai harapan berarti seseorang tidak akan terjebak dalam kecemasan,
bersikap pasrah atau depresi dalam menghadapi sulitnya tantangan atau kemunduran.
Optimisme, seperti harapan, berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara umum
segala sesuatu dalam kehidupan akan beres, kendati ditimpa kemunduran dan frustrasi. Orang
yang optimis menganggap kegagalan disebabkan oleh seseuatu hal yang dapat diubah
sehingga mereka dapat berhasil pada masa masa mendatang, sementara orang yang pesimis
menerima kegagalan sebagai kesalahannya sendiri. Mampu mencapai flow merupakan
puncak kecerdasan emosional; flow barangkali puncak pemanfaatan emosi demi performa
dan pembelajaran. Flow merupakan pengalaman yang ketika itu terjadi orang serasa di
awang-awang; ciri khas flow adalah perasaan kebahagiaan spontan. Konsentrasi tinggi
merupakan inti flow. Menyalurkan emosi ke arah tujuan yang produktif merupakan
kecakapan utama.

Bab 7 menguraikan tentang “Akar Empati”. Empati dibangun berdasarkan kesadaran


diri,
semakin terbuka kita kepada emosi diri sendiri, semakin terampil kita membaca perasaan.
Emosi jarang diungkapkan dengan katan-kata, emosi jauh sering diungkapkan melalui
isyarat. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan non
verbal: nada bicara, gerak gerik, ekspresi wajah. Bila kata-kata seseorang tidak cocok dengan
nada bicara, gerak gerik, atau saluran non verbal lainnya, kebenaran emosional terletak pada
bagaimana ia mengatakan sesuatu bukannya pada apa yang dikatakannya. Lawan empati
adalah antipati. Sikap empatik adalah terus menerus terlibat dalam pertimbangan
pertimbangan moral, sebab dilema moral melibatkan calon korban: haruskah Anda
berbohong untuk menjaga perasaan seorang sahabat? Akar moralitas ada dalam empati, sebab
berempati pada korban potensial, misalnya seseorang yang dalam keadaan sakit, bahaya atau
kemiskinan.

Bab 8 membahas tentang “Seni Sosial”. Mampu menangani emosi orang lain,
merupakan
inti seni memelihara hubungan. Keterampilan berhubungan dengan orang lain merupakan
kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain, tidak
dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial.
Komponen-komponen kecerdasan antarapribadi adalah: mengorganisir kelompok,
merundingkan pemecahan, hubungan pribadi, analisis sosial. Orang-orang yang terampil
dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar,
peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu memimpin dan mengorganisir, dan pintar
menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia.

Bab 9 menjelaskan tentang “Musuh-musuh Keintiman”. Anak lelaki dan anak


perempuan
dididik dalam pola yang berbeda dalam menangani emosi. Laki-laki bangga karena
kemandirian dan kemerdekaannya yang berpikiran ulet dan mandiri, sementara perempuan
melihat dirinya sebagai bagian dari jaringan hubungan. Laki-laki terancam bila ada apa-apa
yang dapat menantang kemandiriannya, sementara perempuan lebih terancam oleh
terputusnya hubungan yang mereka bina.
Syarat awal bahwa suatu perkawinan berada dalam titik kritis adalah kritik tajam.
Amat sering ditengah-tengah amarah terlontar keluhan yang bersifat destruktif, berwujud
serangan terhadap karakter pasangannya. Perbedaan antara keluhan dan kritik pribadi amat
sederhana. Dalam keluhan, si isteri secara spesifik mengungkapkan apa yang membuatnya
tidak senang, dan mengkritik tindakan suaminya, bukan pribadi suaminya, dengan
menyatakan mengapa tindakan suaminya tidak menyenangkannya. Kebiasaan mengkritik dan
menghina atau mencerca adalah tanda-tanda bahaya karena tindakan itu menunjukkan bahwa
seorang suami atau isteri telah membuat penilaian diam-diam yang semakin buruk terhadap
pasangannya. Dalam benak suami atau isteri, pasangannya adalah sasaran penghinaan
permanen. Suami biasanya mengambil sikap diam sebagai respons terhadap isteri yang
menyerangnya dengan kecaman. Kebiasaan respos bersikap diam dapat menghancurkan
kesehatan suatu hubungan, tindakan tersebut memutuskan semua kemungkinan untuk
menyelesaikan perselisihan.

Flooding adalah lumpuhnya sebuah perkawinan. Flooding atau terjepit. Suami atau
isteri yang terjepit menjadi begitu emosional yang kerap terjadi oleh keburukan pasangan
mereka serta menjadi begitu terkungkung oleh keburukan pasangan mereka serta reaksi
mereka sendiri atasnya, sehingga mereka dilumpuhkan oleh perasaan kacau yang tak
terkendalikan. Suami atau isteri yang terjepit telah sampai pada tahap di mana pasangannya
dianggap sudah lenyap; kebalikannya yang tampak hanya keburukannya sepanjang waktu,
menagkap apa saja yang dilakukannya dengan sudut pandang negatif. Flooding itu sendiri
menyabot setiap usaha untuk menyelesaikan segala permasalahan. Suami yang rela
mendampingi isterinya mengatasi panasnya amarah, bukannya meremehkan keluhan
isterinya, sebagai hal sepele, akan membuat isterinya merasa didengarkan dan dihargai. Yang
paling penting, isteri ingin agar perasaannya diakui dan dianggap sah. Sedangkan bagi isteri,
berusaha secara sungguh-sungguh untuk berhati-hati agar jangan sampai menyerang
suaminya, boleh mengeluhkan perbuatan suaminya, tetapi jangan mengkritik kepribadian
mereka atau mengungkapkan penghinaan.

Bab 10 menguraikan tentang “Manajemen Berlandaskan Perasaan”. Kepemimpinan


bukanlah berarti menguasai, melainkan seni meyakinkan orang untuk bekerja keras menuju
sasaran bersama. Kritikan pedas telah membuat orang-orang yang terkena menjadi begitu
patah semangat sehingga tidak mau lagi mencoba bekerja lebih ulet. Kritik yang bijaksana
difokuskan pada apa yang telah dilakukan dan dapat dilakukan oleh seseorang bukannya
menyudutkan ciri karakternya. Seni menyampaikan kritik dapat terjalin dengan seni memuji:
langsung pada sasaran, tawarkan suatu solusi. Lakukan secara tatap muka dan peka. Bagi
orang yang menerima kritik dapat dianggap sebagai informasi berharga tentang bagaimana
bekerja dengan lebih baik, bukan serangan pribadi.

Bab 11 menjelaskan tentang “pikiran dan Pengobatan”. Emsoi berpengaruh dahsyat


terhadap sistem saraf autonom, yang mengatur segala macam, mulai dari jumlah insulin yang
dikeluarkan tubuh sampai tingginya tingkat tekanan darah. Jalur penting lain yang
menghubungkan emosi dengan sistem kekebalan adalah melalui pengaruh hormon
yangdilepaskan apabila mengalami stress. Orang yang mengalami kecemasan kronis,
mengalami
periode kesedihan dan pesimisme yang berkepanjangan, ketegangan yang tidak kunjung
mereda atau permusuhan yang tak henti-hentinya, sinisme atau kecurigaan yang tak
putusputusnya, ternyata beresiko dua kali lipat terserang penyakit.
Stres emosional kronis dalam berbagai bentuknya itu bersifat racun, maka rangkaian
emosi lawannya dapat bersifat penguat. Pesimisme membawa kerugian medis dan ada
manfaat medis dari optimisme. Dua implikasi besar penemuan penemuan ilmiah kecerdasan
emosi yang harus diperhatikan: 1. Membantu orang-orang untuk pandai mengelola
perasaanperasaan yang tidak menyenangkan – amarah, kecemasan, depresi, pesimisme, dan
kesepian – sebagai suatu bentuk pencegahan penyakit. 2. Banyak pasien memperoleh manfaat
besar apabila kebutuhan psikologisnya terpenuhi seiring dengan terpenuhi kebutuhan murni
medisnya.

Bab 12 menguraikan tentang “Wadah Penggodokan Keluarga”. Kehidupan keluarga


merupakan sekolah pertama kita untu mempelajari emosi. Cara orangtua memperlakukan
anak-anaknya-entah dengan disiplin yang keras atau pemahaman yang empatik, berakibat
mendalam dan permanen bagi kehidupan emosional si anak. Mempunyai orangtua yang
cerdas secara emosional itu sendiri merupakan keuntungan yang besar sekali bagi seorang
anak. Tiga gaya mendidik anak yang secara emosional pada umumnya tidak efisien adalah:
sama sekali mengabaikan perasaan. Terlalu membebaskan. Menghina tidak menunjukkan
penghargaan terhadap perasaan anak. Orang tua yang terampil secara emosional, dapat sangat
membantu anak dengan memberi dasar keterampilan emosional berikut ini: belajar
bagaimana mengenali, mengelola, dan memanfaatkan perasaan perasaan, berempati, dan
menangani perasaan perasaan yang muncul dalam hubungan mereka.

Orang tua yang terampil secara emosional memiliki anak-anak yang pergaulannya
lebih baik dan memperlihatkan lebih banyak kasih sayang kepada orangtuanya, serta lebih
sedikit bentrok dengan orangtuanya. Selain itu, anak-anak ini juga lebih pintar menangani
emosinya, lebih efektif menenangkan diri saat marah, dan tidak sering marah. Tujuh unsur
utama yang sangat penting berkaitan dengan kecerdasan emosional: 1. Keyakinan. 2. Rasa
ingin tahu. 3. Niat. 4. Kendali diri. 5. Keterkaitan. 6. Kecakapan berkomunikasi. 7. Koperatif.
Tiga atau empat tahun pertama dalam hidup merupakan periode di mana otak anak tersebut
tumbuh hingga kurang lebih dua pertiga ukuran normal usia dewasa. Masa kanak-kanak
merupakan saat istimewa yang paling tepat bagi pelajaranpelajaran emosi. Trauma dapat
meninggalkan jejak-jejak abadi di otak.

Bab 13 menguraikan tentang “Trauma dan Pembelajaran-Ulang Emosi”. Gejala utama


gangguan stress pascatrauma atau PTSD (post traumatic stress disorder). Trauma-trauma
parah seperti trauma PTSD dapat disembuhkan, dan bahwa jalan menuju penyembuhan
semacam itu adalah melalui belajar ulang. Pelajaran-pelajaran emosi, bahkan
kebiasaankebiasaan kanak kanak, dapat dibentuk kembali. Pelajaran emosi berlaku seumur
hidup.

Bab 14 menjelaskan tentang “Temperamen Bukanlah Suratan Takdir”. Temperamen


dapat dirumuskan sebagai suasana hati yang mencirikan kehidupan emosional kita: Hingga
tahap
tertentu kita masing-masing mempunyai kisaran emosi sendiri-sendiri; temperamen
merupakan bawaan sejak lahir, bagian dari undian genetik yang mempunyai kekuatan hebat
dalam bentang kehidupan ini. Temperamen bukanlah suratan takdir. Amigdala yang terlalu
mudah tergugah dapat dijinakkan dengan pengalaman-pengalaman yang tepat. Otak tetap
dapat dibentuk sepanjang hidup, meskipun tidak sampai sejauh seperti yang terlihat dalam
masa kanak-kanak.
Bab 15 menguraikan tentang “Kerugian Buta Emosi”. Ada kecenderungan
menurunnya tingkat keterampilan emosional anak-anak. Rata-rata, anak-anak semakin parah
dalam masalah spesifik berikut: menarik diri dari pergaulan masalah sosial, cemas dan
depresi, memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir, nakal atau agresif. Keterampilan
emosional mencakup kesadaran diri, mengindentifikasi, mengungkapkan dan mengelola
perasaan, mengendalikan dorongan hati dan menunda pemuasan, serta menangani stress dan
kecemasan. Sebuah kemampuan penting untuk mengendalikan dorongan hati adalah
mengetahui perbedaan antara perasaan dengan tindakan, dan belajar membuat keputusan
emosional yang lebih baik dengan terlebih dahulu mengendalikan dorongan untuk bertindak,
kemudian mengindentifikasikan tindakan alternatif serta konsekuensinya sebelum bertindak.
Banyak keterampilan yang merupakan keterampilan antarapribadi: membaca isyarat
emosional dan sosial, mendengarkan, mampu menahan pengaruh buruk, menerima sudut
pandang orang lain, dan memahami tingkah laku mana yang dapat diterima dalam situasi
tertentu.

Bab terakhir bab 16 menjelaskan tentang “Pendidikan Emosi”. Program keterampilan


emosi memperbaiki nilai akademis dan nilai kinerja sekolah anak. Kemampuan emosional
memperhebat kemampuan sekolah untuk mengajar. Program ini dapat membantu melawan
gelombang kemerosotan pendidikan dan dapat mendukung sekolah mencapai tujuan
utamanya. Buku Daniel Goleman Kecerdasan Emosional adalah buku yang sangat bagus bagi
mereka yang mempelajari Psikologi Kepribadian tingkat lanjut. Buku ini berisi banyak
penelitianpenelitian di klinik psikologi, sehingga data-data yang diajukan cukup akurat
karena memakai sampel pasien yang representatif di Amerika Serikat. Buku ini bukanlah
buku teks psikologi, tetapi berisi pengalaman-pengalaman empiris yang kemudian dibahas
sebagai bahan-bahan untuk menelaah kecerdasan emosional. Untuk menambah wawasan dan
sebagai buku teks dasar buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca oleh sidang pembaca. Hanya
saja, situasi dan kondisi pengalaman empiris psikologis di Amerika Serikat tempat Daniel
Goleman melakukan penelitian dengan praktek-praktek nyata di Indonesia adalah sangat jauh
berbeda. Oleh karena itu pembaca peru menyimak perbedaan latar belakang psikologis
masyarakat antara orang Barat dengan orang Timur. Hanya dengan cara demikian, maka
kecerdasan emosional bagi kita orang Indonesia akan sangat bermakna.
Resensi Buku: Emotional Intelligence

Penulis: Daniel Goleman


Berat: 600 g
Dimensi: 230 x 150 x 28 mm
ISBN 10: 602-03-1288-7
ISBN 13: 978-602-03-1288-0
Bahasa: Indonesia
Sampul: Paper Back
Halaman: 520

Apakah IQ merupakan takdir? Ternyata tidak sebagaimana yang lumrah kita pikirkan.
Goleman memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi mengalami kegagalan dan
orang yang ber-IQ sedang menjadi sangat sukses. Penyebabnya adalah "kecerdasan
emosional", yang mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat
dan motivasi diri, empati, serta kecakapan sosial.

Kecerdasan emosional merupakan ciri orang-orang yang menonjol dalam kehidupan nyata,
yaitu mereka yang memiliki hubungan dekat yang hangat dan menjadi bintang di tempat
kerja. Ini juga ciri utama karakter dan disiplin diri, altruisme, serta belas kasih - kemampuan-
kemampuan dasar yang dibutuhkan bila kita mengharapkan terciptanya masyarakat yang
sejahtera.

Sebagaimana ditunjukkan oleh Goleman, kerugian akibat rendahnya kecerdasan emosional


dapat berkisar dari kesulitan perkawinan dan mendidik anak hingga buruknya kesehatan
jasmani. Rendahnya kecerdasan emosional dapat menghambat pertimbangan intelektual dan
menghancurkan karier. Barangkali kerugian terbesar diderita oleh anak-anak, yang mungkin
bisa mengalami depresi, gangguan makan dan kehamilan yang tak diinginkan, agresivitas,
serta kejahatan dengan kekerasan.

Kabar gembiranya, kecerdasan emosional tidak ditentukan sejak lahir. Karena pelajaran-
pelajaran emosional yang diperoleh seorang anak akan membentuk sirkuit otaknya, Goleman
memberikan pedoman mendetail tentang bagaimana orangtua dan sekolah dapat
memanfaatkan kesempatan emas masa kanak-kanak itu dengan sebaik-baiknya.

Anda bisa mendapatkan buku ini di arratrrabooks.com, atau silhakan klik


Ini adalah buku yang sering saya ubek-ubek ketika mengerjakan skripsi, tapi sampai sekarang
saya belum betul-betul dapat memahami keseluruhan isi buku ini.

Intinya sih, buku ini berusaha menyadarkan kepada banyak orang bahwa IQ bukanlah satu-
satunya patokan atau tolok ukur keberhasilan seseorang. Menurut beberapa penelitian dalam
buku ini, 80% keberhasilan seseorang terletak pada Emotional Intelligence (kecerdasan
emosi).

Buku ini juga menjelaskan bahwa emosi dirasakan oleh manusia di otak kanan tepatnya di
amygdala, bukannya di hati seperti yang selama ini orang duga.

Kecerdasan emosional sendiri secara singkat dapat diartikan sebagai kecerdasan atau
kesadaran diri dalam mengelola emosi diri pribadi (kecerdasan intrapersonal) dan mengelola
hubungan dengan orang lain (kecerdasan interpersonal).

Kecerdasan intrapersonal yaitu kecerdasan mengelola diri sendiri berkaitan dengan emosi
yang dirasakannya, misalnya, kesadaran akan rasa marah, sedih, kecewa, bahagia, dan lain-
lain, serta dapat mengelola perasaan-perasaan tersebut. Sedangkan kecerdasan interpersonal
berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam membina hubungan dengan orang lain.
Kecerdasan ini penting dimiliki terutama dalam berinteraksi dengan orang lain berkaitan
dengan bisnis dan pekerjaan. Itulah mengapa selain kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi
penting dimiliki untuk meraih kesuksesan.

Itu sedikit yang bisa saya bagikan tentang buku ini, detailnya saya udah lupa-lupa
ingat..heu2..

Ada yang mau menambahkan atau mendiskusikan tentang buku ini? Marii… ^_^

Anda mungkin juga menyukai