Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Tahapan Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg Dalam


Sudut Pandang Islam
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah
Psikologi Perkembangan

Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Septi Gumiandari, M.Ag.

Oleh :
M. Fakri Islami Arif NIM 18086030020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PASCASARJANA IAIN SYEKH NURJATI
CIREBON 2019
TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL LAWRENCE KOHLBERG
DALAM SUDUT PANDANG ISLAM

M. Fakri Islami Arif


Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati
db.dilib@nuha.co.id

ABSTRAK
Konsep yang penting dalam memahami perkembangan moral adalah
internalisasi yaitu perubahan perkembangan dari perilaku yang awalnya
dikontrol secara eksternal menjadi perilaku yang dikontrol secara internal.
Lawrence Kohlberg adalah salah satu tokoh yang meneliti tentang
perkembangan moral. Tahapan-tahapan tersebut adalah (1) tingkat pra
konvensional (2) tingkat konvensional (3) tingkat pasca konvensional.
Moral merupakan wujud abstrak dari nilai-nilai, dan tampilan secara
nyata/kongkret dalam perilaku terbuka yang dapat diamati. Sikap moral
muncul dalam praktek moral dengan kategori positif/menerima, netral, atau
negatif/menolak.

Kata Kunci : perkembangan, moral, kohlberg, psikologi perkembangan

PENDAHULUAN
Salah satu upaya liberal-sekuler untuk membunuh agama adalah memisahkan moral
dari agama dengan menghancurkan salah satu pilar agama yaitu akhlaq. Para pegiat
sekulerisme berusaha menyamakan moral dengan akhlaq dan kelompok liberalisme berusaha
untuk menghapusnya. Lalu ada ungkapan populer yang sering mereka kumandangkan;
“It’s better to be moralist rather than religious”. "Lebih baik bersikap moralis ketimbang
religius". Bagi mereka "tidak penting beragama (Muslim atau Kristen) dan tidak perlu
berperilaku menurut salah satu ajaran agama tertentu, berbuat baik untuk sesama itu lebih
mulia" (Hamid Fahmy Zarkasyi, 2017).
Dalam kehidupan masyarakat Barat-sekuler, ajaran agama tidak harus memainkan
peran penting dalam prinsip bermoral (Basil Mitchell, 2000). Bahkan dengan berani tokoh
sekuler Nowell-Smith menyatakan bahwa " that religious morality is infantile " (“moralitas
religius kekanak-kanakan”). Menurutnya, manusia modren berkembang melalui serangkaian
pemahaman sadar akan moral, dan berinteraksi dengan moralitas orang dewasa. Dia
menambahkan bahwa moralitas Kristen hanya bisa dikategorikan sebagai peniru yang
merupakan salah satu tahap awal proses perkembangan manusia. Meskipun demikian
1
moralitas adalah serangkaian perilaku yang dipelajari dari lingkungan dan pengalaman,
pemahaman individu tentang moralitas berubah sepanjang proses kedewasaan dan oleh
karena itu tidak memerlukan bimbingan ajaran Tuhan. Dia berpendapat bahwa moralitas
Kristen terbelakang, sikap religius memiliki karakteristik yang diperlukan dalam
perkembangan anak-anak, namun tidak sesuai untuk orang dewasa. (Nowell-Smith,1967).
Mengacu pada uraian di atas maka mendarik untuk mendiskusikan tentang
perkembangan moral barat yaitu Lawrence Kohlberg dalam perspektif akhlaq islami, dalam
upaya menemukan solusi perbedaan moral pada akhlaq dalam bidang psikologi dalam rangka
mewujudkan gagasan membangun psikologi moral Islami. Hal tersebut juga sesuai dengann
ajaran Islam yang sangat perhatian terhadap aspek moralitas dalam kehidupan ummatnya
melalui aspek akhlaq (Nuryani & Hakam, 2013). Sebagaimana tujuan utama Nabi
Muhammad SAW diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak dalam kehidupan manusia.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif karena peneliti tidak
melakukan manipulasi atau memberikan perlakuan-perlakuan tertentu terhadap variabel atau
merancang sesuatu yang diharapkan terjadi pada variabel, namun penelitian ini
menggambarkan variabl secara apa adanya.1
Penelitian deskriptif kualitatif dalam penelitian ini merupakan penelitian yang
menggambarkan tentang konsep tahapan perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg.
Sedangkan jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau studi pustaka (library
research). Karena peneliti memanfaatkan sumber pustaka bukan hanya untuk menyiapkan
kerangka penelitian (research design) dan proposal guna memperoleh informasi penelitian
sejenis, memperoleh kajian teoritis, atau memperpanjang metodologi saja, melainkan
penelitian ini memanfaatkan sumber pustaka untuk memperoleh data atau jawaban
penelitiannya.2

HASIL PENELITIAN
A. Biografi Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg lahir pada tanggal 25 oktober tahun 1927 dan dibesarkan di
Brouxmille, New York. Pada tahun 1948, Kohlberg masuk universitas Chicago, setahun
kemudian dia mendapatkan gelar Bachelor dengan bidang yang diambil adalah psikologi,
1
JP. Chaplind, Kamus Lengkap Psikologi (Terjemahan), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 90.
2
Ibid., hlm. 65.
2
dan tertarik dengan teori Piaget. Pada tahun 1958 Kohlberg lulus S3 dengan disertasi: The
Development of Modes of Thinking and Choices in the year 10 to 16. Disertasi ini
merupakan landasan teori perkembangan moral.3
Teori perkembangan moral Kohlberg terinspirasi oleh hasil kerja psikologi Swiss yaitu
Jean Piaget (1896 – 1980) tentang perkembangan moral kognitif, selain Piaget, pemikiran
– pemikiran Kohlberg melalui tahap–tahap yang syarat dipengaruhi oleh John Dewey,
Baldwin, dan Emile Durkheim.4
Asal mula ketertarikan Kohlberg pada bidang moralitas berawal pada pengalamanya
dibawah masa tirani Nazi selama belajar di sekolah berasrama dan collage. Saat menjadi
mahasiswa di University of Chicago, dia mempelajari etika Kant dan filsafat politik Locke,
Jefferson dan John Stuart Mill yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia universal.
Selama mempelajari psikologi, dia mulai merumuskan teori perkembangan moralnya
berdasarkan pemikiran Piaget dan Dewey. Pada 1958 dia menyelesaikan program
doktoralnya di University of Chicago dengan menulis disertasi mengenai perkembangan
modus pemikiran dan pilihan moral pada remaja.
Setelah enam tahun dijurusan psikologi, dia pindah ke Graduate School of Education
di Harvard pada tahun 1968, dimana dia menyelesaikan sebagian besar tulisan dan
risetnya sampai meninggal pada tahun 1987. Selama di Harvard, Kohlberg mengajar
mahasiswa dan peneliti yang akan meneruskan, mengembangkan,dan mengkritik
pemikiranya. dia juga menjalankan program – program rintisan pendidikan moral
disekolah, penjara, dan institusi – institusi lainya. Dua fokus karyanya adalah riset empiris
dan teoritis tentang perkembangan moral dan penciptaan komunitas yang adil.
Menurutnya model – model sekolah dan penjara yang dibangun berdasarkan prinsip
justice dan fairness yang merepresentasikan tahap pemikiran moral paling maju.5
Sejak tahun 1971 secara pribadi Kohlberg melibatkan diri dalam praksis pendidikan.
Dia terlibat dalam sejumlah proyek pendidikan moral yang dirancangnya sendiri. Dia
mengadakan eksperimen pertamanya dalam bidang pendidikan moral dipenjara Niantic,
dan pada than 1974 dia menyelenggarakan eksperimen sekolahnya yang pertama dengan
sekelompok kecil siswa dari sekolah menengah alternative.

3
Asina Christina Rasito Pasaribu. Hubungan antara religiusitas dengan penalaran moral pada remaja akhir.
Bandung: Unpad Press.2008. hlm 681.
4
Febriyanti. Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset – Riset Akutansi. Palembang:
Jenius. 2011. hlm.65
5
Joy A. Palmer. Ide-ide Brilian 50 Pakar Pendidikan. Yogyakarta: IRCISOD. 2015. Hlm 361
3
Kohlberg sendiri seorang pria yang tidak suka formalitas. Saat mengajar dia sering
datang ke kelas hanya dengan mengenakan kaos ketat dan celana bagg, seolah olah itu
adalah hari liburnya. Dia biasanya memulai kuliah dengan melontarkan pertanyaan seolah
dia bertanya pada diri sendiri. Di hari-hari pertama kuliahnya, para siswa tidak tahu apa
yang membuat dosenya berbuat demikian. Namun siswa-siswa itu segera bisa melihat
kalau mereka sedang berada didalam kondisi pengajaran yang sesungguhnya. Di hadapan
mereka berdiri seorang pria yang telah merenung lama sekali dan sangat mendalam
tentang masalah-masalah kritis di dalam filsafat dan psikologi, dan Kohlberg mengundang
mahasiswanya untuk ikut memikirkan masalah-masalah ini bersamanya. Di dalam kuliah
dan tulisan-tulisanya dia banyak membantu orang lain mengapresiasi kebijaksanaan para
psikolog lama seperti “Rousseau, John Dewey, dan James Mark Baldwin”.6
Pada ahir tahun 1973 ketika Kohlberg berada dalam puncak kesuksesan dan pengaruh
ilmiah, pada saat ia melakukan perjalan ke Amerika Tengah dengan tujuan melakukan
riset lintas budaya ia terkena musibah yang fatal yaitu terkena infeksi parasite pada
ususnya. Infeksi tersebut berakibat fatal pada kehidupan Kohlberg karena sejak saat itu
kesehatan Kohlberg menurun drastis, setiap hari ia merasakan pusing dan mual. Meskipun
demikian sebagai orang yang memiliki sikap displin yang tinggi, ia berusaha sekuat
tenaga untuk mempertahankan kesibukanya. Namun karena sakitnya itu pula ia
mengalami depresi.7
Kesehatan dan staminanya menurun, dokter mendiagnosa bahwa ia terkena tumor otak
yang ganas. Kohlberg yang sedang mengalami depresi kini dilanda sakit yang
mengakibatkan ia tidak bisa berpikir, menulis bahkan membaca. Pada tanggal 17 Januari
1987 ia dilaporkan telah menghilang dan ditemukan mobilnya dekat dengan rawa-rawa
Boston Harbor dekat dengan Logan Airpot. Ternyata Kohlberg masuk sungai dan mati
tenggelam pada usia 59 tahun.8 Sepanjang karir ilmiahnya Kohlberg mendambakan tiga
hal:
1. Menyusun satu teori filosofis mengenai keadilan yang harus dihubungkan dengan
2. Teori psikologi mengenai proses perkembangan moral lewat urutan tahap invariant
untuk menghasilkan,
3. Suatu teori pendidikan yang dapat memberikan berbagai usulan yang berguna bagi

6
William Crain. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014. Hlm 228
7
Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Kanisius. 1995. Hlm 14
8
Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral…..ibid. hlm 15
4
pendidikan yang layak dan masuk akal. Dalam bidang pendidikan moral bagi
keluarga, sekolah, dan lembaga pendidikan lainya.9

B. Pemikiran Lawrence Kohlberg


Salah satu contoh riset yang menakjubkan di dalam tradisi Piagetian adalah karya
Lawrence Kohlberg (1927-1987). Kohlberg memfokuskan risetnya pada perkembangan
moral dan penyediaan teori pentahapan pemikiran moral yang menyempurnakan rumusan
awal Piaget. Dalam aliran psikologi kognitif, Piaget dan Kohlberg menyatakan bahwa
pemikiran moral seorang anak, terutama ditentukan oleh kematangan kapasitas
kognitifnya sementara lingkungan sosial hanyalah sebagai pemasok material mentah yang
akan diolah oleh ranah kognitif anak secara aktif.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukkan bahwa
sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-
hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral
terjadi dari aktivitas spontan pada anak-anak.
Sementara Kohlberg lebih menekankan penalaran moral sebagai konstruk. Istilah
konstruk serupa dengan konsep akan tetapi ada perbedaan. Konsep mengekspresikan
suatu bentuk abstraksi melalui generalisasi dari suatu yang spesifik. Dalam psikologi
konsep-konsep lebih abstrak, misalnya “achievement” merupakan abstraksi dari berbagai
observasi tentang tingkah laku anak yang ada hubungannya dengan penguasaan dan
belajar serta tugastugas sekolah. Tetapi sebagai suatu konstruk intelegensi mengandung
pengertian bahwa ilmuan menggunakannya dengan dua tujuan yaitu: pertama, dipakai
dalam suatu skema teoritis dan berhubungan dengan konstruk lainnya dalam berbagai
macam cara. Kedua, intelegensi didefenisikan secara sfesifik sedemikian rupa sehingga ia
dapat diobservasi dan diukur. Sehingga konstruk adalah konsep yang memiliki arti
tambahan.
Kohlberg mengutarakan bahwa konsep moralitas lebih merupakan konsep yang
filosofis (etis) daripada sekedar konsep tingkah laku. Dengan analisa filosofis Kohlberg
sampai pada suatu kesimpulan bahwa struktur esensial moralitas adalah prinsip keadilan
(the principle of justice) dan bahwa inti dari keadilan adalah distribusi hak dan kewajiban
yang diatur oleh konsep “equality” dan “reciprocity”. Kohlberg mengemukakan bahwa:

9
Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral….ibid. hlm. 17
5
“Juctice is not a rule or a set of rules: its is a moral principle. By a moral principle
we mean a mode of choosing which which is universal, a rule of choosing which we
want all people to adopt always in all situations. We know its all right to be dishonest
and steal to save a life because a man’s right to property. We know its sometimes
right to kill, because its sometimes just. The German who triad to kill Hitler were
doing right because respect for the equal values of lives demands that we kill
someone murdering others in orders in order to sasve their lives. There are
exceptions to rules, than, but no exceptions to principle. A moral obligations is an
obligations to respect the right or clime of another person. A moral principle for
resolving competing claims, yiu versus me, you versus a third person. There is only
one principles basis for resolving claims: justice or equality. Treat every man’s
claim impartially regardless of the man. A moral principle is not only a rule of action
but a reason for action. As a reason for actions, justice is called resfect for
persons”.1 0

Dari kutipan tersebut jelas bahwa prinsip moral adalah keadilan, juga jelas anggapan
Kohlberg bahwa prinsip moral bukan merupakan aturan-aturan untuk suatu tindakan,
tetapi merupakan alasan untuk suatu tindakan. Oleh karena itu Kohlberg memakai istilah
“moral reasoning” atau “moral judgment” secara bergantian dalam pengertian yang sama.
Istilah-istilah tersebut diterjemahkan oleh penulis dengan istilah “penalaran moral”.
Anggapan Kohlberg bahwa prinsip moral merupakan alasan untuk suatu tindakan, sesuai
dengan teori perkembangan kognitif yang dianutnya, ialah memandang penalaran moral
sebagai struktur, bukan isi (contens). Jadi penalaran moral bukannya apa yang baik atau
buruk, melainkan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu itu baik
atau buruk. Hal ini berarti bahwa penalaran moral merupakan suatu alasan atau
pertimbangan, mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk.
Salah satu kritik terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori tersebut terlalu
menekankan pada keadilan dan mengabaikan norma yang lainnya. Konsekuensinya, teori
itu tidak akan menilai secara adekuat orang yang menggunakan aspek moral lainnya
dalam bertindak. Carol Gilligan berargumentasi bahwa teori Kohlberg terlalu
androsentrik. Teori Kohlberg semula dikembangkan berdasarkan penelitian empiris yang
menggunakan hanya partisipan lelaki; Giligan berargumentasi bahwa hal tersebut
membuat tidak teori itu dalam menggambarkan pandangan seorangperempuan. Walaupun
penelitian secara umum telah menemukan tidak adanya perbedaan pola yang signifikan
antar jenis kelamin, teori perkembangan moral dari Gilligan tidak memusatkan

1 0
Kusdwirarti Setiono, Psikologi Perkembangan Kajian Teori Piaget, Selaman, Kholberg dan Terapannya
dalam Riset, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 41
6
perhatiannya pada norma keadilan. Ia mengembangkan teori penalaran moral alternatif
berdasarkan norma perhatian.
Psikolog lain mempertanyakan asumsi bahwa tindakan moral dicapai terutama oleh
penalaran formal. Salah satu kelompok yang berpandangan demikian, social intuitionists,
mengemukakan bahwa orang sering membuat keputusan moral tanpa mempertimbangkan
nilai-nilai seperti keadilan, hukum, hak asasi manusia, dan norma etika yang abstrak.
Berdasarkan hal ini, argumen yang telah dianalisis oleh Kohlberg dan psikolog rasionalis
lainnya dapat dianggap hanya merupakan rasionalisasi dari keputusan intuitif. Ini berarti
bahwa penalaran moral kurang relevan terhadap tindakan moral dibanding apa yang
dikemukakan oleh Kohlberg.
Disisi lain pembinaan moral merupakan suatu usaha untuk mencapai cita-cita yang
luhur, oleh karena itu memiliki dasar dan tujuan pembinaan tersendiri. Dalam pembinaan
moral tentunya banyak sekali tuntutan yang menjadi dasar hukum seseorang agar selalu
melaksanakan pembinaan moral dalam rangka ikut membentuk dan mewujudkan
manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur atau berakhlak mulia.
Teori perkembangan moral dapat dilihat dalam tiga paradigma. Pertama, teori genetik
determination yang memandang bahwa moralitas seseorang ditentukan secara genetik dan
dibawa sejak lahir. Kedua, teori social enforcement yang menyatakan bahwa masyarakat
dan kebudayaan menanamkan ideologi dan moralitas seseorang melalui pemaksaan dan
indoktrinasi. Ketiga, teori education and development, yang memandang bahwa
seseorang berkembang penalaran moralnya melalui lingkungan pendidikan (Lind G,
2002). Lawrence Kohlberg merupakan salah satu tokoh psikologi yang menaruh perhatian
terhadap masalah perkembangan moral dalam paradigma yang ketiga.
Salah satu pandangan yang provokatif mengenai perkembangan moral adalah
pandangan Kholberg yang berpendapat bahwa perkembangan moral di dasarkan pada
penalaran moral yang kemudian berkembang dalam enam tahap perkembangan. Keenam
tahap perkembangan tersebut dikelompokkan dalam tiga tingkat perkembangan yaitu:
prakonvensional, konvensional dan pascakonvensional.1 1

Kohlberg memliki keyakinan bahwa tahap-tahap ini merupakan sebuah rangkaian


dan berkaitan dengan usia. Sebelum usia 9 tahun, sebagian besar anak menggunakan cara
prakonvensional ketika dihadapkan pada dilemma moral. Dimasa awal remaja, mereka
bernalar secara lebih konvensional. Sebagian besar remaja bernalar pada tahap 3 yaitu

1 1
Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral….ibid. hlm 80
7
timbale balik dan relasi. Dimasa dewasa awal sejumlah individu bernalar ditahap
pascakonvensional.
Semua perubahan dalam penalaran moral yang berlangsung antara masa remaja akhir
dengan masa dewasa awal tampaknya berlangsung secara gradual. Sebuah studi
menemukan bahwa ketika orang-orang yang berusia antara 16 hingga 19 tahun serta
antara 18 hingga 25 tahun diminta bernalar mengenai dilemma moral dalam kehidupan
nyata dan diberi kode sesuai dengan tahapan kholbrg, tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan dalam penalaran moral mereka.1 2

C. Teori Perkembangan Moral Kognitif


Berawal dari Piaget (1932) adalah peneliti pertama yang mempublikasikan konsep
perkembangan moral (moral development) dalam monografnya, The Moral Judgment of a
Child. Dalam perkembangannya menurut Kohlberg (dalam id.wikipedia.org) teori
perkembangan moral berubah atau berkembang menjadi teori perkembangan moral
kognitif (cognitive moral development–CMD) modern yang dilahirkan oleh seorang
peneliti berkebangsaan Amerika yang bernama Lawrence Kohlberg pada tahun 1950an.
Penemuan tersebut merupakan hasil dari turunan ide dan gagasan Piaget yang tentunya
telah mengalami perluasan dan perluasan tersebut mampu mencangkup remaja hingga
orang dewasa. Dalam seluruh karyanya, Kohlberg mengakui ketergantungannya kepada
psikolog Swiss, Jean Piaget (1896-1980). Sepanjang karirnya sebagai Psikolog, Piaget
mempelajari perkembangan pengetahuan manusia, yang disebutnya "Epistemologi
Genetis".1 3

Teori perkembangan moral berusaha untuk menjelaskan kerangka yang mendasari


pengambilan keputusan individu dalam konteks dilema etika. Tujuan teori ini adalah
memahami proses penalaran kognitif seorang individu dalam mengatasi dilema etika,
bukan untuk menilai benar atau salah. Kohlberg bermaksud untuk menemukan secara
empiris bagaimana orang-orang memperoleh moralitasnya, dan diyakini cara terbaik
melakukannya adalah dengan menguji bagaimana orang-orang mengatasi masalahnya.
Metode Kohlberg adalah sebagai berikut, ia (bersama para pembantunya) mengemukakan
sejumlah dilema moral khayalan kepada subjek-subjek penelitian. "Khayalan" dalam arti :

1 2
John W. Santrock. Adolescence. (Jakarta: Erlangga. 2007), hlm. 307.
1 3
Bertens.. Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 84.
8
kasus-kasus itu tidaklah terjadi secara kongkret, tetapi pada prinsipnya bisa terjadi. Untuk
dilema-dilema itu tidak tersedia pemecahan dalam lingkungan anak-anak itu, sehingga
mereka harus mencari pemecahan sendiri. Jadi tidak mungkin mereka melaporkan saja apa
yang mereka saksikan di sekitarnya, mereka harus menyampaikan keputusan moral mereka
sendiri.1 4

Oleh karena itu, Kohlberg memberikan cerita kepada orang-orang yang memiliki umur
berbeda dan budaya yang menempatkan seseorang dalam posisi dan situasi tertentu
dikonfrontasi dengan masalah moral standar tertentu. Kohlberg kemudian menanyai orang-
orang ini bagaimana mereka akan mengatasi masalah ini dan memberikan alasan atas
solusinya. Pertanyaan pertama menyangkut isi keputusan moral, sedangkan kedua
menyangkut struktur dan bentuknya. Bisa saja bahwa dua subjek yang dihadapkan dengan
suatu dilema moral mereka mungkin saja menjawab sama akan pertanyaan pertama, akan
tetapi memiliki jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan ke dua.1 Temuannya yang
paling mengejutkan adalah bahwa untuk mengatasi masalah-masalah yang disajikan,
orang-orang menggunakan tiga pola, metode atau sistem yang jelas yang disebutnya
sebagai struktur, tiap struktur dapat dibagi ke dalam dua sub struktur yang berbeda dan
ketiga (keenam) struktur ini dapat dikarakterisasi sebagai tiga tingkat (level) atau enam
tahap (stages), yang dapat disamakan dengan tiga tingkat (enam tahap) perkembangan
kedewasaan moral individu atau masyarakat. Terdapat tiga aspek yang membedakan
pertim- bangan etis dengan semua proses mental lainnya. Aspek-aspek tersebut adalah : (1)
kognisi (cognition) berdasarkan pada nilai dan bukan pada fakta yang tidak nyata, (2)
penilaian didasarkan atas beberapa isu yang melibatkan diri sendiri dan orang lain, dan (3)
penilaian disusun sekitar isu "seharusnya" daripada berdasarkan kesukaan biasa atau urutan
pilihan. Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral individu didasarkan pada
penalaran moral dan perkembangannya secara bertahap.
Kesimpulan tersebut Kohlberg dapatkan setelah 20 tahun melakukan wawancara yang
unik dengan anak-anak. Dalam wawancara, anak-anak diberi serangkaian cerita di mana
tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Setelah membaca cerita, anak-anak
yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral.
Berdasarkan penalaran- penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespons dilema

1 4
Ibid., hlm. 85.
1 5
Ibid.,
9
moral, Kohlberg percaya terdapat tiga tingkat perkembangan moral, yang setiap tingkatnya
ditandai oleh dua tahap, konsep kunci untuk memahami perkembangan moral.
Kohlberg menyatakan bahwa proses perkembangan penalaran moral merupakan
sebuah proses alih peran, yaitu proses perkembangan yang menuju ke arah struktur yang
lebih komprehensif, lebih terdiferensiasi dan lebih seimbang dibandingkan dengan struktur
sebelumnya. Melihat pentingnya perkembangan penalaran moral dalam kehidupan
manusia, maka berbagai penelitian psikologi di bidang ini dilakukan. Lawrence Kohlberg,
memperluas penelitian Piaget tentang penalaran aturan konvensi sosial, menjadi tiga
tingkat penalaran moral yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pasca
konvensional. Kohlberg menemukan bahwa perkembangan moral seorang anak
berlangsung menurut enam tahap atau fase. Akan tetapi tidaklah setiap anak mengalami
perkembangan yang cepat, sehingga tahap-tahapan ini tidak dengan pasti untuk dikaitkan
dengan umur-umur tertentu, bisa jadi seorang anak akan mengalami fiksasi dalam suatu
tahap dan tidak akan berkembang lagi.1 6

Dari hasil penelitian Kohlberg mengemu- kakan enam tahapan perkembangan moral
yang berlangsung secara universal dan dalam urutan tertentu. Tahap-tahap perkembangan
penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang terdiri dari prakonvensional, konvensional,
dan pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap).
a. Tingkat Prakonvensional
Dimana Pada tingkat yang pertama ini seorang individu akan sangat responsif
terhadap norma-norma budaya ataupun simbol-simbol kebudayaan lainnya, seperti
halnya yang berkaitan dengan baik, buruk, benar, salah dan lain sebagainya. Walupun
demikian biasanya individu akan mempresentasikan norma-norma tersebut sesuai
konsekuensi atau hasil akhir dari tindakannya hal ini dapat berupa hukuman dan
berbagai balasan lainnya. Selain daripada itu pada tahap ini individu juga cenderung
untuk menginterpretasikan norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari
mereka yang menerapkan norma tersebut. Sehingga dapat dikatakan dalam kondisi ini
berlaku prinsip "Might means right".1 7

Dalam tingkat pra konvensional ini terdapat 2 tahapan, yaitu Orientasi


hukuman dan kepatuhan serta Orientasi relativis instrumental. Tahap pertama Orientasi
hukuman dan kepatuhan, yang pada umumnya pada tahap ini Akibat-akibat fisik suatu

1 6
Ibid.,
1 7
Hari Cahyono Cheepy. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. (Malang: Pengembangan Perguruan Tinggi IKIP
Malang, 1986) hlm. 38
10
perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi
dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk
pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam
dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi
dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas, segala keputusan dari otoritas
dipandang sebagai refleksi dari tertib moral. Sehingga kalimat yang paling pas untuk
mencerminkan tindakan ini adalah "You do what you’re told". Tahap kedua adalah
Orientasi relativis instrumental. Dalam tahapan ini tindakan yang benar dibatasi
sebagai tindakan yang mampu mempu memberikan berbagai macam kepuasan kepada
diri sendiri 1 sehingga tidaklah mengherankan
8
jika tahapan ini juga biasa disebut
Hedonistic Orientation. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara
atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan
orang lain.
Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar di mana unsur-
unsur terus-terang dan rasa timbal balik memiliki kedudukan yang penting terdapat
elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi
ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal "Jika engkau
menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu", dan bukan
karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.Tahapan ini dapat dicerminkan melalui
kalimat "Let's make a deal" atau orientasi pada tahapan ini dapat pula dimengerti
dengan ungkapan "You Scratch my back and I'll scratch yours".1 9

b. Tingkat Konvensional
Individu pada tingkat konvensional menemukan pemikiran-pemikiran moral
pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang
individu ditengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat,
bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok
ini akan terisolasi. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan seseorang tanpa harus terikat
dengan akibat-akibat yang mungkin muncul, baik dalam jangka pendek ataupun jangka
panjang. Sikap seseorang bukanlah satu-satunya yang harus disesuaikan dengan

1 8
Ibid.,
1 9
Ibid.,
11
harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku, akan tetapi hal yang sama
dituntut pula dari loyalitas seseorang.2 0

Oleh karena itu, kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan
diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap
kelompok sosialnya. Kalau pada tingakat pra konvensional perasaan dominan adalah
takut, pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Biasanya tingkat ini berkisar
usia 10 sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap yakni tahap Orientasi
"Anak Manis" dan tahap Orientasi hukum dan ketertiban.
Tahap pertama dalam tingkatan ialah Orientasi kesepakatan antara
pribadi/orientasi "Anak Manis" di mana perilaku yang baik adalah yang menyenangkan
dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh anak. Terdapat banyak konformitas
terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau "alamiah".
Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan "dia bermaksud baik" untuk pertama
kalinya menjadi penting. Dalam tingkatan ini yang dimaksud dengan tindakan ataupun
prilaku bermoral adalah setiap prilaku ataupun tindakan yang dapat diterima dan diakui
oleh orang lain.2 Orang mendapatkan persetujuan1 dengan menjadi "baik" tergantung
penilaian dari teman, keluarga dan masyarakat. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan
dan rasa terima kasih haruslah digunakan. Individu mulai mengisi peran sosial yang
diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi harapan
masyarakat, dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial. Tahapan ini dapat
tercermin dalam kalimat "Be conciderate, nice and kind, and you’ll get along with
people".
Tahap kedua ialah Orientasi hukum dan ketertiban di mana pada tahap ini,
individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan dalam masyarakat
merupakan dasar baik atau buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan
penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan
bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan
kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan
dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri,
menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai
dalam dirinya sendiri. Dengan demikian tingkah laku yang dianggap bermoral sebagian

2 0
Hari Cahyono Cheepy. Tahap-Tahap Perkembangan... hlm. 39
2 1
Ibid., hlm. 40.
12
dibatasi sebagai tingkah laku yang dibatasi sebagai tingkah laku yang diarahkan untuk
pemenuhan kewajiban seseorang, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan
pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada
(Cheepy, 1986 : 40). Tahapan ini dapat tercermin dalam kalimat "Everyone in society is
obligated and protected by the law".
c. Tingkat Pasca-konvensional
Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada
tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral
yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau
orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi
individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada
keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis atau
kewenangan tokoh otoritas. Biasanya tahap ini sudah dimulai dari remaja awal sampai
seterusnya. Pada tahap ini sudah ada suatu usaha yang jelas bagi seorang anak untuk
kemudian menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas dan
diwujudkan tanpa harus dikaitkan dengan kelompok-kelompok yang disebutkan di
atas. 2 Ada dua tahap pada tingkat ini2 yakni Orientasi kontrak sosial legalistis dan
Orientasi prinsip etika universal. Tahap pertama yakni Orientasi kontrak sosial
legalistis. Pada umumnya, tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang
baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang
telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Pada tahap kelima
ini dalam skema Kohlberg boleh dikatakan sudah merupakan tingkataan moral yang
2 3
tinggi. Sehingga dengan kesadaran yang sedemikian tinggi individu
mempertimbangkan aturan-aturan proseduril yang memungkinkan tercapainya
konsesus. Selain itu terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan
pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan
prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara
konstitusional dan demokratis, hak adalah soal "nilai" dan "pendapat" pribadi. Dalam
tahap ini tercakup pula apa yang biasa disebut "Utilitarian". Hasilnya adalah penekanan
pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk
mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (dan

2 2
Ibid.,
2 3
Ibid., hlm. 41.
13
bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4). Tahap kelima
dalam skema Kohlberg ini dapat tercermin dalam kalimat "You are obligated by
whatever arrangement are agreed to by due procedd procedure".2
Tahap kedua Orientasi prinsip etika universal dimana hak ditentukan oleh
keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang
mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Dibanding
aturan-aturan moral yang kongkrit, prinsip-prinsip ini dipandang lebih baik, lebih luas,
dan lebih abstrak dan bisa pula mencangkup prinsip-prinsip umum tentang keadilan,
resiproritas, persamaan hak-hak manusia dan penghargaan terhadap martabat manusia
sebagai individu.2 Untuk sekedar contoh misalnya 5 penerimaan orang terhadap aborsi
bisa menunjukkan prinsip-prinsip hidup yang dianutnya sekitar kesucian hidup
manusia atau bahkan tentang hak-hak manusia sebagai individu untuk mengendalikan
dirinya sendiri.
Keenam tingkat penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg (1995)
tersebut dibedakan satu dengan yang lainnya bukan berdasarkan keputusan yang dibuat,
tetapi berdasarkan alasan yang dipakai untuk mengambil keputusan. Pada tahap ke
enam ini dapat tercermin dalam berbagai sifat yang menurut kalimat "How rational
and impartial people would organize cooperation is moral".

ANALISIS PERKEMBANGAN MORAL KOHLBERG DALAM SUDUT PANDANG


ISLAM
a. Prinsip Keadilan

Ada beberapa perbedaan dalam teori perkembangan moral oleh Kohlberg dan
pandangan Islam. Dalam buku The Psychology of Moral Development (1927), Lawrence
Kohlberg menyimpulkan terhadap hasil penelitian empiriknya terhadap perkembangan
moralitas anak-anak dari berbagai latar belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha,
dan Islam, bahwa agama dan institusi agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan
moral seseorang. Teori yang dihasilkan dari penelitian Kohlberg dikenal dengan teori
kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga) tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral
yang menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan
putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan

2 4
Bertens, Etika.., hlm. 66.
2 5
Hari Cahyono Cheepy. Tahap-Tahap Perkembangan... hlm. 50
14
prinsip keadilan. Menurutnya, prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam proses
perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral.

b. Lebih Menitikberatkan Interaksi Sosial

Pendekatan Kohlberg yang sangat empirik tersebut tidak mempertimbangkan potensi


suci (homo devinans and homo religious) yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat
berpengaruh dalam proses perkembangan moral dan pembentukan perilaku. Kohlberg lebih
menitikberatkan pada adanya interaksi sosial dan perkembangan kognitif seseorang. Ini dapat
dimaklumi sebagai tradisi ilmiah Barat yang hanya menumpukan pada konsep empirisme, apa
yang terlihat oleh analisis penelitian. Sementara potensi fitrah merupakan konsep keagamaan
yang dianggap tidak empirik karena di dalamnya memuat keyakinan tentang struktur jiwa
manusia, seperti ruh, akal, qalb dan nafs.

Teori Kohlberg tentang perkembangan penalaran moral lebih spesifik dan lebih
kompleks daripada Piaget. Teori Kohlberg memungkinkan kita memperoleh pengertian yang
lebih luas dan lebih kaya tentang hakekat perkembangan penalaran moral dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Selain itu juga memungkinkan penyusunan hipotesis yang lebih
spesifik, yang dapat dibuktikan.

Menahan godaan, reinforcement, punishment, dan situasi serta kontrol diri hanyalah
beberapa hal yang mempengaruhi apakah anak berperilaku sesuai moral atau tidak. Peran dari
faktor kognitif dalam ketahanan terhadap godaan dan kontrol diri menggambarkan bagaimana
kognitif menjembatani pengalaman dengan lingkungan dan perilaku moral. Hubungan antara
ketiga elemen ini sangat diperhatikan dalam teori kognitif sosial. Sedangkan pandangan Islam
sangat menekankan pentingnya rasa malu, akal, dan kekonsistenan tindakan sebagai dasar
terbentuknya moral seseorang.

Teori Kolhberg lebih banyak membahas tentang penalaran terhadap masalah-masalah


sosial khususnya mengenai perkembangan penalaran moral. Teori Islam membahas
pentingnya altruisme atau sikap tidak mementingkan diri sendiri, menyuruh kita menekan
agresivitas, dan bersikap adil terhadap sesama sesuai dengan apa yang tercantum di Al-Qur’an
dan hadis.

c. Lebih Empiris

Kohlberg lebih memandang manusia dari kaca mata empiristik. Sedangkan dalam
perspektif Islam, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki potensi fitrah dimana
15
terdapat daya-daya yang dapat memunculkan sebuah sikap dan perilaku yang tidak lepas dari
stimulus dari luar.

Kohlberg mengemukakan bahwa individu pada umumnya baru mencapai kematangan


moral pada usia 25 tahun atau malah lebih akhir. Lain halnya dengan teori Islam menyatakan
pada dasarnya seorang anak sekalipun sudah memiliki moral, karena menurut Islam, semua
manusia pada dasarnya baik dan suci.

Teori Kohlberg tidak bisa menjawab persoalan mengapa moral anak muda pada masa
sekarang dinilai bobrok dan sangat mengkhawatirkan. Islam mempunyai jawaban untuk
semua hal tersebut. Jawaban yang paling mendasar adalah tidak adanya keimanan. Dalam
teori ini tidak berangkat dari apa yang menjadi inti dari kebutuhan dan keperluan manusia.
Dasar yang dipakai adalah moral berdasarkan penstrukturan kognitif, namun hal yang paling
penting adalah keimanan yang menjadi dasar kehidupan manusia. Tinggi rendahnya moral
seseorang dilihat dari sikap dan perilaku dia menghadapi dilema atau masalah yang dihadapi.
Dalam Islam keimanan sangat menentukan pada perilaku dan sifat seseorang. Jika
keimanannya tinggi maka perilakunya akan baik dan moralnya pun akan tinggi. Namun jika
moralnya rendah maka dapat dipastikan perilaku dan moralnya pun akan rendah. Keimanan
juga yang menentukan kebersihan atau kekotoran hati.

PENUTUP
Teori moral development Lawrence Kohlberg adalah salah satu dari sekian banyak
teori-teori perkembangan moral yang dapat dijadikan rujukan dan penambahan wawasan
terkait perkembangan moral seseorang, di dalam teori Kohlberg ini terdapat salah satu point
yang di dalamnya berupa konsep tertulis untuk mengambil keputusan sesuai dengan kata hati
nurani, yang mana di dalam Islam serupa dengan konsep dasar hakikat manusia dan
pendidikan Islami yang menghendaki tumbuhnya seorang manusia menjadi manusia yang
baik yang memiliki ketakwaan dalam hatinya untuk menjadi tolak ukur dalam menimbang
baik dan buruk perbuatan yang akan dilakukan.
Moral development yang disebut sebagai salah satu potensi kecerdasan spiritual
seharusnya bukan hanya menjadi sebuah pengetahuan saja tanpa agama, justru kecerdasan
spiritual yang sempurna apabila disandingkan dengan agama akan melahirkan kedamaian dan
kebebasan dalam memilih dengan hati tentang keputusan-keputusan dalam hidup karena
memiliki kecerdasan baru yang lahir dari kedua irisan (kecerdasan spiritual dan agama), yaitu

16
kecerdasan ruhaniah sehingga mampu menjadi manusia yang tegas dan berani
mempertanggung jawabkan derajat kemanusiaan di hadapan Allah dan di mata manusia.
Pembahasan tentang perkembangan teori kognitivisme dilihat dari perspektif
pendidikan Islami, teori kognitivisme dan konstruktivisme hanya terbatas pada kemampuan
sebagian kecil dari fungsi akal. Teori kognitivisme memandang belajar adalah sebuah proses
seperti “instal” atau pemasangan perangkat lunak ke dalam kognitif seseorang. Yang mana
output-nya adalah manusia-manusia yang menguasai materi suatu bidang keilmuan namun
mereka miskin hati. Bahkan pengetahuan yang diperoleh melalui teori kognitivisme bersifat
lebih antroposentris, karena pada dasarnya kognitif adalah potensi intelektual semata. Hal
penting yang sering terlupakan setelah seseorang memiliki pengetahuan adalah “bersyukur”,
yaitu menggunakan semua potensi yang dimiliki sesuai dengan tujuan Allah.

17
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta:Penerbit PT. Rineka Cipta.

Asina, Christina Rosito Pasaribu. 2012. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Penalaran
Moral Pada Remaja Akhir. Skripsi diterbitkan. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Bertens.1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Cheepy, Hari Cahyono. 1986. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Malang: Pengembangan


Perguruan Tinggi IKIP Malang.

Darmadi, Hamid. 2009. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung: Alfabeta.

Dewi, Chayati Tresna. 2012. Program Bimbingan Pribadi Sosial Meningkatkan Penalaran
Moral Siswa. Skripsi diterbitkan. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia.

Dwiyanti, Retno. 2013. Peran Orang Tua Dalam Perkembangan Moral Anak. Skripsi
diterbitkan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Maharani, Laila. 2014. Jurnal Perkembangan Moral Pada Anak. Lampung : IAIN Raden
Intang Lampung.

Anda mungkin juga menyukai