Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KELUARGA SUKHINAH

MENURUT AGAMA HINDU

OLEH:
NAMA: PUTU AYU LAKSMI DEWI ARYATI
KELAS : XI MIA 3
NO : 33

SMANEGERI 1 AMLAPURA
TAHUN PELAJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

“Om Swastiastu”
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmatnya
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang telah
ditentukan. Dalam makalah ini, saya membahas mengenai “Keluarga Sukhinah Menurut
Hindu”, yang saya buat berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, refrensi,
dan berita. Makalah ini saya buat dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
saya maupun dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan berkat bantuan dari pihak
terutama pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa akhirnya makalah ini saya dapat
selesaikan. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Bu Diniantari
yang telah memberikan saya waktu untuk mengerjakan makalah ini.
Saya menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu saya mohon
saran dan kritik dari pembaca demi menyempurnakan makalah ini di kemudian hari, agar
saya bisa memperbaiki kesalahan pada makalah - makalah yang akan buat selanjutnya
semoga bermanfaat, terima kasih.
“Om Shantih Shantih Shantih om”

Amlapura, 19 Februari 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..I
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………..
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………..
1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………………………………
1.4 Manfaat Penulisan………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………….II
A. Pengertian Keluarga ………………………………………………………………..
B. Tujuan dan Peran Keluarga…………………………………………………………
C. Pengertian Keluarga Shukinah………………………………………………………
D. Ciri-Ciri Keluarga Sukhinah………………………………………………………...

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………III


A. Kesimpulan………………………………………………………………………….
B. Saran…………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sejak awal kehidupan manusia, ternyata bersatunya antara seorang wanita dengan
seorang laki- laki yang disimbulkan akasa dan pertiwi sebagai cakal bakal sebuah kehidupan
baru yang diawali dengan lembaga perkawinan. Hendaknya laki-laki dan perempuan yang
telah terikatdalam ikatan
perkawinan selalu berusaha agar tidak bercerai dan selalu menyintai dan setia sampai hayat
hidupnya, jadikanlah hal ini sebagi hukum yang tertinggi dalam ikatan suami-istri. Keluarga
yang dibentuk hanya berlangsung sekali dalam hidup manusia, keluarga atau rumah tangga
bukanlah semata-mata tempat berkumpulnya laki dan wanita sebagai pasangan suami istri
dalam satu rumah, makan-minum bersama. Namun mengupayakan terbunanya keperibadian
dan ketenangan lahir dan bathin, hidup rukun dan damai, tentram, bahagia dalam upaya
menurunkan tunas muda yang suputra.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 Bab I pasal 1:
menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuahanan Yang maha Esa.
pasal 2 :
Menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian perkawinan menurut pandangan Hindu bukanlah sekedar legalitas
hubungan biologis semata tetapi merupakan suatu peningkatan nilai berdasarkan hukum
Agama, karena Wiwaha samkara adalah merupakan upacara sacral atau skralisasi peristiwa
kemanusiaan yang bersifat wajib.
Keluarga bahagia yang menjadi tujuan wiwaha samkara dalam terminology Hindu
disebut keluarga Sukhinah merupakan unsur yang sangat menentukan terbentuknya
masyarakat sehat (sane society).
Keharmonisan keluarga merupakan syarat penting dalam mengarungi kehidupan rumah
tangga agar mereka mampu menghadapi berbagai goncangan dan hempasan badai dalam
rumah tangga. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsep keharmonisan keluarga sangat
diperlukan karena kebanyakan keluarga yang gagal adalah keluarga yang tidak memahami
akan pentingnya keharmonisan keluarga.
Keharmonisan keluarga merupakan dambaan setiap orang yang ingin membentuk
keluarga atau yang telah memiliki keluarga, namun masih banyak yang kesulitan dalam
membangun keharmonisan keluarga. Dalam membangun keharmonisan keluarga sangat
dipengaruhi oleh tiga kecerdasan dasar manusia yaitu Kecerdasan Spiritual, Kecerdasan
Emosional, dan Kecerdasan Intelektual. Oleh sebab itu sangatlah penting bgi setiap individu
atau setiap orang yang ingin membangun sebuah rumah tangga ketiga pondasi atau dasar-
dasar kecerdasan tersebut harus lebih dimatangakan agara lebih siap lahir bathin dalam
berkeluarga nantinya.
1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya
adalah :
1. Bagaimanakah Ciri-ciri keluarga bahagia (sukinah) ?

2. Apa sajakah faktor-faktor agar tercapainya keluarga bahagia dan pedoman mencapai
keluarga bahagia ?
1.3 Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah yang telah disampaikan di atas maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah Ciri-ciri keluarga bahagia (sukinah).
Untuk mengetahui apa sajakah faktor-faktor agar tercapainya keluarga bahagia dan
2.
pedoman mencapai keluarga bahagia.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan dari makalah ini adalah :


1. Memberi pemahaman yang lebih mendalam lagi tentang bagaimana ciri-ciri keluarga
bahagia.
2. Memberi tambahan pengetahuan dan bekal kepada pembaca dalam mengarungi
bahtera rumah tangga.
BAB II
PEMBAHASAAN

Om Sarve bhavantu sukhinah Sarve śāntu niramayah


Sarve bhadrāni paśyantu Ma kaścid duhkha bhāg bhavet
Om, Hyang Widhi, semoga semuanya memperoleh
kebahagiaan Semoga semuanya memperoleh kedamaian
Semoga semuanya memperoleh kebajikan dan saling
pengertian Jauhkanlah kami dari segala kedukaan dan
halangan.

2.1 Ciri – ciri Keluarga Bahagia

Keluarga yang diidealkan setiap manusia adalah keluarga yang memiliki ciri-ciri
mental sehat demikian dengan perasaan tenang, cinta dan kasih sayang. Antar anggota
keluarga saling mencintai, menyayangi, dan merindukan. Sang ayah mencintai, menyayangi
dan merindukan anak dan ibu dari anak-anaknya. Sang ibu menyayangi, mencintai dan
merindukan anak dan ayah dari anak-anaknya. Sang anak pun demikian: menyayangi,
mencintai, dan merindukan ayah dan ibunya. Dengan demikian di antara mereka terdapat
kesatuan (unity) satu terhadap yang lain. Ciri-ciri pola hubungan yang melekat pada keluarga
yang bahagia adalah (1) kesatuan dengan Sang Pencipta, (2) kesatuan dengan alam semesta,
(3) komitmen, (4) adanya feedback, (5) keluwesan, (6) kesatuan fisik dan hubungan seks
yang sehat, (7) kerjasama, (8) saling percaya, dan lain-lain.
1. Kesatuan dengan Sang Pencipta

Setiap manusia dan unit kesatuan manusia semestinya memelihara keterikatan dengan
Tuhan Sang Pencipta. Keterikatan ini sesungguhnya bersifat alamiah. Antara manusia dan
Tuhan telah terjadi perjanjian primordial, yaitu manusia bertaqwa kepada tuhan yang maha
esa. Para ahli psikologi menyederhanakannya dengan istilah religious instinct. Bila keterikatan
alamiah ini dipelihara, maka manusia berada dalam posisi mempertahankan dan memelihara
fondasi kepribadiannya. Dalam kehidupannya, ia memperoleh ketenangan, rasa cinta, dan
kasih sayang.
Kesatuan dengan Sang Pencipta dalam masalah pernikahan ini disederhanakan dengan
ungkapan pernikahan merupakan ibadah. Artinya, ketika dilangsungkan dan dijalankan
roda kehidupan pernikahan (baca: dibentuk keluarga), maka yang dilakukan mereka
berdasarkan kerangka kesatuan dengan Tuhan

Dalam perjalanan hidup keluarga yang dijalaninya, mereka selalu berusaha untuk
mendapatkan kebaikan dan kesejahteraan dari Tuhannya. Bila ada problem yang menimpa,
mereka mengembalikannya kepada Sang Pencipta. Mereka sadar sepenuhnya bahwa Sang
Pencipta memuliakan pernikahan dan sangat membenci perceraian. Bagi keluarga yang
bahagia, menjalani hidup dalam kesatuan dengan Sang Pencipta adalah ciri yang melekat pada
mereka. Semakin tinggi kesatuan dengan Sang Pencipta semakin tinggi tingkat kebahagiaan
hidup keluarga.
2. Kesatuan dengan alam semesta (terutama manusia)

Setiap manusia dan unit kesatuan manusia semestinya memiliki keterikatan dengan
sesama manusia dan alam semesta. Kesatuan dengan alam semesta ini sesungguhnya
merupakan perwujudan dari amanat yang diterima setiap manusia untuk menjadi pengganti
Tuhan di bumi. Keluarga yang memiliki keselarasan dengan lingkungannya akan
memperoleh ketenangan, kecintaan, dan kasih sayang dari lingkungannya. Semua itu akan
memberikan sumbangan yang besar bagi ketenangan, cinta, dan kasih sayang dalam dada
mereka. Tanpa kesatuan dengan sesama manusia dan lingkungan alam, keluarga sering
berada dalam ancaman keresahan dan kekhawatiran.
Kesatuan dengan lingkungan diwujudkan dalam bentuk upaya menyelaraskan diri
dengan lingkungan dan memberi sumbangan bagi lingkungan. Penyelarasan terhadap
lingkungan terutama menyangkut adanya kenyataan bahwa lingkungan memiliki
kekuatannya sendiri dan karenanya yang dapat kita lakukan adalah menyesuaikan diri
dengannya. Berdasarkan pengamatan penulis, kesatuan dengan lingkungan yang terwujud
dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sering menjadi prasayarat bagi ketenangan hidup
dalam keluarga. Keterputusan dengan alam semesta (baca: lingkungan sosial) akan
menghadirkan ketidaktenangan, cinta, dan kasih sayang. Sebagai misal, bila kita sakit dan
tak satupun tetangga atau sahabat yang mengunjungi kita, maka kita akan sakit keloro-loro
(sakit yang sangat pedih).
Lebih dari sekadar menyesuaikan diri, manusia memiliki tugas menyumbang:
memperbaiki dan mengubah lingkungannya. Lingkungan yang tidak kondusif bagi
kehidupan makhluk Tuhan, keadaan sosial yang mencelakakan, lingkungan fisik yang penuh
dengan persoalan, adalah medan bagi setiap manusia untuk berkiprah memperbaiki dan
mengubahnya menjadi lebih baik. Bila tugas ini dilakukan dengan baik, maka manusia
menunjukkan kesatuannya dengan lingkungannya. Manusia-manusia yang hidup di masa
kini dan mendatang memiliki tantangan untuk menyumbang lingkungan dalam bentuk
perilaku memperbaiki dan mengubah. Bila sumbangan itu dapat kita berikan, maka
ketenangan akan kita peroleh. Bila kita acuh tak acuh, maka akan terasa tidak enaknya tidak
menyatu dengan lingkungan.
3. Komitmen Berkeluarga

Individu-individu yang pertama kali membentuk keluarga memiliki niat dan itikad untuk
membentuk, mempertahankan dan memelihara pernikahan. Komitmen utama adalah
bagaimana keluarga bertahan. Di sini suami dan istri memiliki niatan untuk mempertahankan
keluarga dalam situasi apapun dan juga berupaya mengoptimalkan fungsi keluarga untuk
memenuhi tanggung jawab vertikal maupun horisontal. Biar gelombang menerjang dan
gunung berguguran, komitmen mempertahankan pernikahan tetap dipegang teguh.
Sebagaimana diungkapkan Florence Isaacs (Hanna D. Bastaman, 2001), pernikahan yang
awet ditandai oleh niat dan itikad untuk mempertahankan pernikahan.
Komitmen yang lain adalah bagaimana keluarga mencapai posisi sebagai keluarga
yangpenuh kasih sayang,ketenangan, dan cinta kasih. Di sini ada keinginan, niat, dan
itikad untuk meningkatkan
mutu berkeluarga. Dengan komitmen itu mereka berusaha menghilangkan kebosanan satu
terhadap yang lain, selalu meningkatkan rasa fresh satu bagi yang lain, dan seterusnya. Bila
komitmen itu tidak dimiliki oleh orang-orang utama dalam keluarga, suami dan istri serta
juga anak-anak, maka keluarga itu dapat ambruk atau memasuki medan penghancuran.
Berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa keluarga yang pecah (broken home), yang
ditandai oleh percekcokan dan perceraian orangtua, akan menghasilkan anak-anak yang
pencemas, rendah diri, apatisme, dan sejenisnya.
4. Umpan Balik (Feedback) dan Nasihat

Setiap manusia dapat tergelincir ke hal-hal yang merugikan dirinya sendiri dan orang
lain, dan sebaliknya dapat pula berkembang secara optimal. Salah satu fungsi keluarga adalah
melakukan sosialisasi primer. Melalui sosialisasi primer ini anggota keluarga dapat
memahami apa yang patut dan tidak patut, baik dan tidak baik. Sosialisasi primer dilakukan
dengan kebiasaan memberi umpan balik (feedback) dan saling menasehati (tausiyah). Nasihat
dimaksudkan untuk menjaga orang-orang yang ada dalam keluarga dari kemungkinan
mengambil pilihan yang merugikan dan menyesatkan diri maupun orang lain.
Yang patut diperhatikan adalah fungsi saling menasehati ini banyak yang tidak berlangsung.
Salah satu kritik yang pernah dialamatkan pakar psikologi perkembangan Indonesia
Kusdwiratri Setiono terhadap orang tua (baca: pengendali keluarga) adalah mereka sangat
minim dalam menasehati anaknya dan terlalu percaya bahwa sekolahlah yang akan
menjadikan anak mereka pintar dan santun. Anak-anak dari orang berhasil ternyata tidak
memiliki kehidupan yang sukses, diduga keras karena tidak berjalannya proses komunikasi
yang berisi umpan balik. Karenanya umpan balik dan saling menasehati tampaknya menjadi
hal yang penting untuk menjaga keluarga agar tetap memiliki jalur yang benar.
Salah satu persoalan berkaitan dengan masalah ini adalah adab (tata krama) menasehati.
Mungkinkah anak menasehati sang ayah? Mungkin salah satu kenyataan budaya kita
menunjukkan bahwa ayah begitu perkasa dan berwibawa untuk diposisikan sebagai orang
yang
dinasehati. Sebenarnya, siapapun dapat berada dalam posisi yang benar dan sebaliknya bisa
dalam posisi salah. Orang yang yakin dengan kebenaran berada dalam posisi amar ma’ruf
nahi munkar, tidak peduli ayah, ibu, atau presiden sekalipun.
5. Keluwesan

Pada awal pembentukan keluarga umumnya orang memiliki harapan-harapan yang ideal.
Ke manapun pergi selalu bersamamu, begitu mimpi setiap pasangan baru. Dalam
kenyataannya harapan itu dan berbagai harapan lainnya, tidak mewujud. Dalam situasi seperti
ini, orang merasakan keadaan yang diidealkan tidak tercapai.
Bertindaklah realistis, kata orang. Artinya, orang tetap luwes dengan idealita yang
dipatoknya : menyesuaikan diri dengan kenyataan tanpa kehilangan harapan untuk
mencapainya di suatu hari kelak.
Keluwesan yang lain adalah keluwesan terhadap pasangan. Setiap individu yang
berkeluarga mengharapkan pasangannya bertindak dan bersikap baik seperti yang ada
dalam kerangka pikirnya. Dalam kenyataannya, banyak sikap dan perilaku yang tidak
menyenangkan dan menyesakkan dada. Dalam situasi seperti ini, toleransi terhadap hal-hal
yang berbeda dari pasangan menjadi amat penting. Yang patut dicatat, dalam toleransi ada
komitmen untuk menjadikan yang ada berubah menjadi lebih baik, tentu secara bertahap.
6. Kesatuan Fisik dan Hubungan Seks yang Sehat

Berbagai literatur mengungkapkan bahwa keluarga yang sehat mental ditandai oleh adanya
hubungan seks yang sehat antara suami dan istri. Seks merupakan bentuk hubungan yang
melibatkan kesatuan fisik dan psikologis dari suami istri. Adanya keberlangsungan hubungan
seks yang semestinya akan menjaga kesatuan dalam keluarga, menjadikan anggota keluarga
bahagia, dan puas. Berbagai temuan mutakhir menunjukkan bahwa terjaganya hubungan seks
suami istri (seminggu 2-3 kali) menjadikan suami istri puas dalam pernikahan yang secara
jangka panjang dapat memanjangkan umur. Sebaliknya, sebagaimana dapat dilihat dalam
kenyataan sosial, kegagalan hubungan seks, terlalu jarangnya kontak seksual, dan juga terlalu
berlebihannya hubungan seksual akan memiliki dampak kekisruhan dalam keluarga (semisal
perselingkuhan, dan seterusnya) dan ketidakstabilan emosi. Sebuah kasus di Rumah Sakit Jiwa
Magelang menunjukkan bahwa seks yang berlebihan menyebabkan seorang istri jadi pasien
rumah sakit jiwa.
Tidak kurang dari itu, kesatuan fisik antara anggota keluarga sangat berguna untuk
memupuk adanya keluarga yang kokoh. Kehadiran secara fisik orang yang kita cintai akan
menjadikan cinta terpelihara. Pernyataan ini bukan berarti anggota keluarga harus terus menerus
bersama. Maksudnya, adanya perpisahan yang bersifat sementara (misalnya karena kerja, studi,
atau bepergian beberapa hari) segera disusul oleh perjumpaan.
Berbagai kasus menunjukkan jarak yang jauh menyebabkan terjadinya berbagai macam
perselingkuhan dan perceraian.
7. Kerjasama

Agar keluarga dapat berjalan secara optimal, semestinya mereka saling bekerjasama. Suami
membantu istri dan anak. Istri membantu suami dan anak. Anak membantu bapak dan ibunya.
Masalah kerjasama atau kekompakan ini akan berkembang bila mereka mengupayakan untuk
melakukan berbagai kegiatan secara bersama-sama. Salah satu medan kerjasama atau
kekompakan adalah dalam hal mendidik anak. Kultur masyarakat masa lalu dan juga masa kini
sering menempatkan wanita sebagai pihak yang bertanggung jawab mendidik anak.
Kesalahkaprahan ini sangat sering terjadi. Laki-laki pun banyak yang merasa tidak bersalah saat
mereka bulat-bulat menyerahkan tanggung jawab mendidik anak kepada istri, atau malah kepada
baby sitter, pembantu rumah tangga, atau kepada televisi. Bahkan, pembantu pun menyerahkan
ke peminta-minta di jalanan (sebagaimana terjadi di Bandung beberapa waktu lalu).
Keadaan di atas tentu sangat tidak ideal. Yang semestinya diupayakan oleh setiap keluarga
adalah bagaimana terdapat kerjasama dalam mendidik anak.
Satu hal amat penting untuk diperhatikan dalam masalah kerjasama adalah peran ganda pria
(baca: suami). Kultur yang berkembang dalam masyarakat umumnya menempatkan laki-laki
bekerja dalam sektor publik dan sangat minim bekerja dalam sektor domestik, terutama
mendidik anak. Kerjasama dapat dioptimalkan bila laki-laki menyediakan diri untuk
mengerjakan wilayah domestik. Apabila ini dilakukan, maka babak kerjasama suami dan istri
mulai,menguat.
8. Saling Percaya

Pembentukan keluarga (baca: pernikahan) diawali oleh kesalingpercaya-an. Masing-masing


pihak – suami dan istri-- percaya bahwa satu sama lain akan melakukan usaha agar jalinan
kesatuan di antara mereka dapat mengantarkan mereka menjadi bahagia dan sejahtera. Bila
kepercayaan ini dijaga, maka
kehidupan berkeluarga dapat dipertahankan. Bila kepercayaan tidak dijaga, maka keluarga dapat
pecah (broken home).
Salah satu ajaran agama yang dalam kehidupan kongkrit bersifat kontroversial adalah
menikah lebih dengan seorang istri. Dalam keluarga yang demikian, satu istri bisa sangat
cemburu dan bahkan sangat curiga manakala sang suami tampak lebih akrab dan lebih cinta
terhadap istri yang lainnya. Kalau kecemburuan dan kecurigaan merajalela, maka yang bakal
terjadi adalah rusaknya bangunan keluarga. Artinya, sebagaimana ditemukan dalam banyak
kasus, poligami ternyata rentan terhadap upaya mempertahankan kesalingpercayaan suami istri.
Secara garis besar ciri-ciri keluarga yang bahagia bukan hanya tentang uang, kekayaan,
jabatan atau kesuksesan lainnya yang kita raih, tetapi juga keluarga yang harmonis. Ciri keluarga
sehat, bahagia juga harmonis berikut bisa kita jadikan cermin untuk melihat tanda-tandanya
dalam keluarga kia nanti. Ciri- ciri keluarga yang harmonis diantaranya adalah :
Menikmati kehadiran yang lain. Antara suami dan istri, orang tua dengan anak, dengan saudara
dengan mertua dan dengan anggota lain di dalam keluarga tidak berarti mereka harus selalu
bersama- sama, tetapi begitu bersama-sama mereka menikmati kebersamaan itu dan
menciptakan suasana kekeluargaan dan kebahagiaan.
Saling menghargai satu sama lain dan menemukan hal-hal positif pada diri masing-masing
anggota.
Meski tidak selalu, mereka sering melakukan rekreasi bersama-sama. Nonton konser, berlibur,
dan berjalan-jalan ke tempat yang sama tapi tetap merasakan arti kebahagiaan dalam
kesederhanaan.
Saling terbuka dan percaya satu sama lain, termasuk hal-hal yang sangat pribadi.
Bila salah satu tertimpa kesusahan, ia selalu bisa datang pada yang lain tanpa rasa sungkan dari
semua antar anggota keluarga.
Sering menertawakan satu hal yang sederhana bersama-sama, menyanyi lagu yang sama, dan
menikmati acara yang sama untuk menciptakan kebahagian melalui hal-hal yang kecil dan
sederhana.
Tidak pernah kehabisan acara atau ide untuk melakukan hal bersama-sama.
Bila hal-hal umum yang mencirikan keluarga bahagia diatas telah kita miliki, tentu arti
makna kehidupan pun sudah kita temukan. Mungkin selama ini banyak permasalah keluarga
yang salah satu penyebabnya adalah tidak adanya waktu luang untuk keluarga. Kita tentu ingin
tetap meraih kesuksesan dalam karir, kesehatan dan financial tanpa melupakan keluarga. Oleh
sebab harus ada keseimbangan dari berbagai aspek-aspek kehidupan yang kita jalani untuk
memperoleh kebahagian dalam hidup.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga

Ada banyak ahli yang mengemukakan tentang faktor-faktor yangmempengaruhi keharmonisan


keluarga. Di bawah ini akan dikemukakanbeberapa faktor yang mempengaruhi keharmonisan
keluarga menurut paraahli. Keluarga harmonis atau sejahtera merupakan tujuan
penting.Olehkarena itu untuk menciptakan perlu diperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Perhatian. Yaitu menaruh hati pada seluruh anggota keluarga sebagai dasar utama hubungan
yang baik antar anggota keluarga. Baik pada perkembangan keluarga dengan memperhatikan
peristiwa dalam keluarga,dan mencari sebab akibat permasalahan, juga terdapat perubahan pada
setiap anggotanya.
2. Pengetahuan. Perlunya menambah pengetahuan tanpa henti-hentinya untuk memperluas
wawasan sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan keluarga. Sangat perlu untuk
mengetahui anggota keluaranya, yaitu setiap perubahan dalam keluarga, dan perubahan dalam
anggota keluarganya, agar kejadian yang kurang diinginkan kelak dapat diantisipasi.
3. Pengenalan terhadap semua anggota keluarga. Hal ini berarti pengenalan terhadap diri
sendiri dan pengenalan diri sendiri yang baik penting untuk memupuk pengertian-pengertian.
4. Bila pengenalan diri sendiri telah tercapai maka akan lebih mudah menyoroti semua kejadian
atau peristiwa yang terjadi dalam keluarga.Masalah akan lebih mudah diatasi, karena banyaknya
latar belakang lebihcepat terungkap dan teratasi, pengertian yang berkembang
akibatpengetahuan tadi akan mengurangi kemelut dalam keluarga.
5. Sikap menerima. Langkah lanjutan dari sikap pengertian adalah sikapmenerima, yang berarti
dengan segala kelemahan, kekurangan, dankelebihannya, ia seharusnya tetap mendapatkan
tempat dalam keluarga.Sikap ini akan menghasilkan suasana positif dan
berkembangnyakehangatan yang melandasi tumbuh suburnya potensi dan minat darianggota
keluarga.
6. Peningkatan usaha. Setelah menerima keluarga apa adanya maka perlumeningkatkan usaha.
Yaitu dengan mengembangkan setiap dari aspekkeluarganya secara optimal, hal ini disesuaikan
dengan setiap kemampuamnmasing-masing, tujuannya yaitu agar tercipta perubahan-perubahan
danmenghilangkan keadaan bosan.
7. Penyesuaian harus perlu mengikuti setiap perubahan baik dari fisik orangtua maupun anak.

Dari sumber lain, Keluarga harmonis atau keluarga bahagia adalah apabila dalam kehidupannya
telah memperlihatkan faktor-faktor berikut:
1. Faktor kesejahteraan jiwa. Yaitu rendahnya frekwensi pertengkaran danpercekcokan di
rumah, saling mengasihi, saling membutuhkan, salingtolong-menolong antar sesama keluarga,
kepuasan dalam pekerjaan danpelajaran masing-masing dan sebagainya yang merupakan
indikator-indikatordari adanya jiwa yang bahagia, sejahtera dan sehat.
2. Faktor kesejahteraan fisik. Serinnya anggota keluarga yang sakit, banyakpengeluaran untuk
kedokter, untuk obat-obatan, dan rumah sakit tentu akanmengurangi dan menghambat
tercapainya kesejahteraan keluarga.
3. Faktor perimbangan antara pengeluaran dan pendapatan keluarga.Kemampuan keluarga
dalam merencanakan hidupnya dapatmenyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran dalam
keluarga

Kunci utama keharmonisan sebenarnya terletak pada kesepahaman hidup suami dan istri. Karena
kecilnya kesepahaman dan usaha untuk saling memahami ini akan membuat keluarga menjadi
rapuh. Makin banyak perbedaan antara kedua belah pihak maka makin besar tuntutan
pengorbanan dari kedua belah pihak.Jika salah satunya tidak mau berkorban maka pihak satunya
harus mau berkorban.Jika pengorbanan tersebut telah melampaui batas atau kerelaannya maka
keluarga tersebut akan
harus mau berkorban.Jika pengorbanan tersebut telah melampaui batas atau kerelaannya maka
keluarga tersebut akan terancam.Maka fahamilah keadaan pasangan, baik kelebihan maupun
kekurangannya yang kecil hinga yang tebesar untuk mengerti sebagai landasan dalam menjalani
kehidupan berkeluarga. Rencana kehidupan yang dilakukan kedua belah pihak merupakan faktor
yang sangat berpengaruh karena dengan perencanaan ini keluarga bisa mengantisipasi hal yang
akan datang dan terjadi saling membantu untuk misi keluarga.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan

Keluarga Bahagia Sejahtera (sukinah) adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan
yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertakwa kepada
TYME, memiliki hubungan serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan
masyarakat dan lingkungan.
Bahagia adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersitat kondisional. Kebahagiaan bersifat
sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka
hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut pandangan ini tidak ada kebahagiaan yang abadi dalam
jiwa manusia.
Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi
kejiwaan masyarakat yang senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa
merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan. Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang
dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.

3.2 Saran

1. Diharapkan dapat menambah pemahaman yang lebih mendalam lagi tentang bagaimana
ciri-ciri keluarga bahagia sukinah.
2. Diharapkan Memberi tambahan pengetahuan dan bekal kepada pembaca dalam
mengarungi bahtera rumah tangga.
3. Diharapkan Memberi masukan kepada mahasiswa dan dosen pengampu mata kuliah terkait.

DAFTAR PUSTAKA
http://ayuksumartini.blogspot.com/2015/06/keluarga-sukinah-hindu.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai