Anda di halaman 1dari 12

KELUARGA SUKHINAH

MENURUT AGAMA HINDU

Oleh;
NI WAYAN ARY PUTRIANI
34
XI MIPA 3

SMA NEGERI 1 AMLAPURA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak awal kehidupan manusia, ternyata bersatunya antara seorang
wanita dengan seorang laki-laki yang disimbulkan akasa dan pertiwi sebagai
cakal bakal sebuah kehidupan baru yang diawali dengan lembaga perkawinan.
Hendaknya laki-laki dan perempuan yang telah terikatdalam ikatan perkawinan
selalu berusaha agar tidak bercerai dan selalu menyintai dan setia sampai hayat
hidupnya, jadikanlah hal ini sebagi hukum yang tertinggi dalam ikatan suami-
istri. Keluarga yang dibentuk hanya berlangsung sekali dalam hidup manusia,
keluarga atau rumah tangga bukanlah semata-mata tempat berkumpulnya laki
dan wanita sebagai pasangan suami istri dalam satu rumah, makan-minum
bersama. Namun mengupayakan terbunanya keperibadian dan ketenangan lahir
dan bathin, hidup rukun dan damai, tentram, bahagia dalam upaya menurunkan
tunas muda yang suputra.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab I
pasal 1:
menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuahanan Yang maha Esa.
pasal 2 :
Menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian perkawinan menurut pandangan Hindu bukanlah sekedar
legalitas hubungan biologis semata tetapi merupakan suatu peningkatan nilai
berdasarkan hukum Agama, karena Wiwaha samkara adalah merupakan upacara
sacral atau skralisasi peristiwa kemanusiaan yang bersifat wajib.
Keluarga bahagia yang menjadi tujuan wiwaha samkara dalam
terminology Hindu disebut keluarga Sukhinah merupakan unsur yang sangat
menentukan terbentuknya masyarakat sehat (sane society).
Keharmonisan keluarga merupakan syarat penting dalam mengarungi
kehidupan rumah tangga agar mereka mampu menghadapi berbagai goncangan
dan hempasan badai dalam rumah tangga. Oleh karena itu, pemahaman terhadap
konsep keharmonisan keluarga sangat diperlukan karena kebanyakan keluarga
yang gagal adalah keluarga yang tidak memahami akan pentingnya
keharmonisan keluarga.
Keharmonisan keluarga merupakan dambaan setiap orang yang ingin
membentuk keluarga atau yang telah memiliki keluarga, namun masih banyak
yang kesulitan dalam membangun keharmonisan keluarga. Dalam membangun
keharmonisan keluarga sangat dipengaruhi oleh tiga kecerdasan dasar manusia
yaitu Kecerdasan Spiritual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Intelektual.
Oleh sebab itu sangatlah penting bgi setiap individu atau setiap orang yang
ingin membangun sebuah rumah tangga ketiga pondasi atau dasar-dasar
kecerdasan tersebut harus lebih dimatangakan agara lebih siap lahir bathin
dalam berkeluarga nantinya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah
diantaranya adalah :
1. Bagaimanakah Ciri-ciri keluarga bahagia (sukinah) ?
2. Apa sajakah faktor-faktor agar tercapainya keluarga bahagia dan pedoman
mencapai keluarga bahagia ?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang telah disampaikan di atas maka tujuan dari
penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah Ciri-ciri keluarga bahagia (sukinah).
2. Untuk mengetahui apa sajakah faktor-faktor agar tercapainya keluarga
bahagia dan pedoman mencapai keluarga bahagia.
1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan dari makalah ini adalah :


1. Memberi pemahaman yang lebih mendalam lagi tentang bagaimana ciri-
ciri keluarga bahagia.
2. Memberi tambahan pengetahuan dan bekal kepada pembaca dalam
mengarungi bahtera rumah tangga.
BAB II
PEMBAHASAN
Om Sarve bhavantu sukhinah
Sarve śāntu niramayah
Sarve bhadrāni paśyantu
Ma kaścid duhkha bhāg bhavet

Om, Hyang Widhi, semoga semuanya memperoleh kebahagiaan


Semoga semuanya memperoleh kedamaian
Semoga semuanya memperoleh kebajikan dan saling pengertian
Jauhkanlah kami dari segala kedukaan dan halangan.

2.1 Ciri – ciri Keluarga Bahagia


Keluarga yang diidealkan setiap manusia adalah keluarga yang memiliki
ciri-ciri mental sehat demikian dengan perasaan tenang, cinta dan kasih sayang.
Antar anggota keluarga saling mencintai, menyayangi, dan merindukan. Sang
ayah mencintai, menyayangi dan merindukan anak dan ibu dari anak-anaknya.
Sang ibu menyayangi, mencintai dan merindukan anak dan ayah dari anak-
anaknya. Sang anak pun demikian: menyayangi, mencintai, dan merindukan
ayah dan ibunya. Dengan demikian di antara mereka terdapat kesatuan (unity)
satu terhadap yang lain. Ciri-ciri pola hubungan yang melekat pada keluarga
yang bahagia adalah (1) kesatuan dengan Sang Pencipta, (2) kesatuan dengan
alam semesta, (3) komitmen, (4) adanya feedback, (5) keluwesan, (6) kesatuan
fisik dan hubungan seks yang sehat, (7) kerjasama, (8) saling percaya, dan lain-
lain.
1. Kesatuan dengan Sang Pencipta
Setiap manusia dan unit kesatuan manusia semestinya memelihara
keterikatan dengan Tuhan Sang Pencipta. Keterikatan ini sesungguhnya bersifat
alamiah. Antara manusia dan Tuhan telah terjadi perjanjian primordial, yaitu
manusia bertaqwa kepada tuhan yang maha esa. Para ahli psikologi
menyederhanakannya dengan istilah religious instinct. Bila keterikatan alamiah
ini dipelihara, maka manusia berada dalam posisi mempertahankan dan
memelihara fondasi kepribadiannya. Dalam kehidupannya, ia memperoleh
ketenangan, rasa cinta, dan kasih sayang.
Kesatuan dengan Sang Pencipta dalam masalah pernikahan ini disederhanakan
dengan ungkapan pernikahan merupakan ibadah. Artinya, ketika dilangsungkan
dan dijalankan roda kehidupan pernikahan (baca: dibentuk keluarga), maka
yang dilakukan mereka berdasarkan kerangka kesatuan dengan Tuhan.
Dalam perjalanan hidup keluarga yang dijalaninya, mereka selalu
berusaha untuk mendapatkan kebaikan dan kesejahteraan dari Tuhannya. Bila
ada problem yang menimpa, mereka mengembalikannya kepada Sang Pencipta.
Mereka sadar sepenuhnya bahwa Sang Pencipta memuliakan pernikahan dan
sangat membenci perceraian. Bagi keluarga yang bahagia, menjalani hidup
dalam kesatuan dengan Sang Pencipta adalah ciri yang melekat pada mereka.
Semakin tinggi kesatuan dengan Sang Pencipta semakin tinggi tingkat
kebahagiaan hidup keluarga.
2. Kesatuan dengan alam semesta (terutama manusia)
Setiap manusia dan unit kesatuan manusia semestinya memiliki
keterikatan dengan sesama manusia dan alam semesta. Kesatuan dengan alam
semesta ini sesungguhnya merupakan perwujudan dari amanat yang diterima
setiap manusia untuk menjadi pengganti Tuhan di bumi. Keluarga yang
memiliki keselarasan dengan lingkungannya akan memperoleh ketenangan,
kecintaan, dan kasih sayang dari lingkungannya. Semua itu akan memberikan
sumbangan yang besar bagi ketenangan, cinta, dan kasih sayang dalam dada
mereka. Tanpa kesatuan dengan sesama manusia dan lingkungan alam, keluarga
sering berada dalam ancaman keresahan dan kekhawatiran.
Kesatuan dengan lingkungan diwujudkan dalam bentuk upaya
menyelaraskan diri dengan lingkungan dan memberi sumbangan bagi
lingkungan. Penyelarasan terhadap lingkungan terutama menyangkut adanya
kenyataan bahwa lingkungan memiliki kekuatannya sendiri dan karenanya yang
dapat kita lakukan adalah menyesuaikan diri dengannya. Berdasarkan
pengamatan penulis, kesatuan dengan lingkungan yang terwujud dalam
penyesuaian diri dengan lingkungan sering menjadi prasayarat bagi ketenangan
hidup dalam keluarga. Keterputusan dengan alam semesta (baca: lingkungan
sosial) akan menghadirkan ketidaktenangan, cinta, dan kasih sayang. Sebagai
misal, bila kita sakit dan tak satupun tetangga atau sahabat yang mengunjungi
kita, maka kita akan sakit keloro-loro (sakit yang sangat pedih).
Lebih dari sekadar menyesuaikan diri, manusia memiliki tugas
menyumbang: memperbaiki dan mengubah lingkungannya. Lingkungan yang
tidak kondusif bagi kehidupan makhluk Tuhan, keadaan sosial yang
mencelakakan, lingkungan fisik yang penuh dengan persoalan, adalah medan
bagi setiap manusia untuk berkiprah memperbaiki dan mengubahnya menjadi
lebih baik. Bila tugas ini dilakukan dengan baik, maka manusia menunjukkan
kesatuannya dengan lingkungannya. Manusia-manusia yang hidup di masa kini
dan mendatang memiliki tantangan untuk menyumbang lingkungan dalam
bentuk perilaku memperbaiki dan mengubah. Bila sumbangan itu dapat kita
berikan, maka ketenangan akan kita peroleh. Bila kita acuh tak acuh, maka akan
terasa tidak enaknya tidak menyatu dengan lingkungan.
3. Komitmen Berkeluarga
Individu-individu yang pertama kali membentuk keluarga memiliki niat dan
itikad untuk membentuk, mempertahankan dan memelihara pernikahan.
Komitmen utama adalah bagaimana keluarga bertahan. Di sini suami dan istri
memiliki niatan untuk mempertahankan keluarga dalam situasi apapun dan juga
berupaya mengoptimalkan fungsi keluarga untuk memenuhi tanggung jawab
vertikal maupun horisontal. Biar gelombang menerjang dan gunung berguguran,
komitmen mempertahankan pernikahan tetap dipegang teguh. Sebagaimana
diungkapkan Florence Isaacs (Hanna D. Bastaman, 2001), pernikahan yang
awet ditandai oleh niat dan itikad untuk mempertahankan pernikahan.
Komitmen yang lain adalah bagaimana keluarga mencapai posisi
sebagai keluarga yangpenuh kasih sayang,ketenangan, dan cinta kasih. Di sini
ada keinginan, niat, dan itikad untuk meningkatkan mutu berkeluarga. Dengan
komitmen itu mereka berusaha menghilangkan kebosanan satu terhadap yang
lain, selalu meningkatkan rasa fresh satu bagi yang lain, dan seterusnya. Bila
komitmen itu tidak dimiliki oleh orang-orang utama dalam keluarga, suami dan
istri serta juga anak-anak, maka keluarga itu dapat ambruk atau memasuki
medan penghancuran. Berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa
keluarga yang pecah (broken home), yang ditandai oleh percekcokan dan
perceraian orangtua, akan menghasilkan anak-anak yang pencemas, rendah diri,
apatisme, dan sejenisnya.
4. Umpan Balik (Feedback) dan Nasihat
Setiap manusia dapat tergelincir ke hal-hal yang merugikan dirinya
sendiri dan orang lain, dan sebaliknya dapat pula berkembang secara optimal.
Salah satu fungsi keluarga adalah melakukan sosialisasi primer. Melalui
sosialisasi primer ini anggota keluarga dapat memahami apa yang patut dan
tidak patut, baik dan tidak baik. Sosialisasi primer dilakukan dengan kebiasaan
memberi umpan balik (feedback) dan saling menasehati (tausiyah). Nasihat
dimaksudkan untuk menjaga orang-orang yang ada dalam keluarga dari
kemungkinan mengambil pilihan yang merugikan dan menyesatkan diri maupun
orang lain.
Yang patut diperhatikan adalah fungsi saling menasehati ini banyak yang tidak
berlangsung. Salah satu kritik yang pernah dialamatkan pakar psikologi
perkembangan Indonesia Kusdwiratri Setiono terhadap orang tua (baca:
pengendali keluarga) adalah mereka sangat minim dalam menasehati anaknya
dan terlalu percaya bahwa sekolahlah yang akan menjadikan anak mereka pintar
dan santun. Anak-anak dari orang berhasil ternyata tidak memiliki kehidupan
yang sukses, diduga keras karena tidak berjalannya proses komunikasi yang
berisi umpan balik. Karenanya umpan balik dan saling menasehati tampaknya
menjadi hal yang penting untuk menjaga keluarga agar tetap memiliki jalur
yang benar.
Salah satu persoalan berkaitan dengan masalah ini adalah adab (tata
krama) menasehati. Mungkinkah anak menasehati sang ayah? Mungkin salah
satu kenyataan budaya kita menunjukkan bahwa ayah begitu perkasa dan
berwibawa untuk diposisikan sebagai orang yang dinasehati. Sebenarnya,
siapapun dapat berada dalam posisi yang benar dan sebaliknya bisa dalam posisi
salah. Orang yang yakin dengan kebenaran berada dalam posisi amar ma’ruf
nahi munkar, tidak peduli ayah, ibu, atau presiden sekalipun.
5. Keluwesan
Pada awal pembentukan keluarga umumnya orang memiliki harapan-
harapan yang ideal. Ke manapun pergi selalu bersamamu, begitu mimpi setiap
pasangan baru. Dalam kenyataannya harapan itu dan berbagai harapan lainnya,
tidak mewujud. Dalam situasi seperti ini, orang merasakan keadaan yang
diidealkan tidak tercapai.
Bertindaklah realistis, kata orang. Artinya, orang tetap luwes dengan
idealita yang dipatoknya : menyesuaikan diri dengan kenyataan tanpa
kehilangan harapan untuk mencapainya di suatu hari kelak.
Keluwesan yang lain adalah keluwesan terhadap pasangan. Setiap
individu yang berkeluarga mengharapkan pasangannya bertindak dan bersikap
baik seperti yang ada dalam kerangka pikirnya. Dalam kenyataannya, banyak
sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan dan menyesakkan dada. Dalam
situasi seperti ini, toleransi terhadap hal-hal yang berbeda dari pasangan
menjadi amat penting. Yang patut dicatat, dalam toleransi ada komitmen untuk
menjadikan yang ada berubah menjadi lebih baik, tentu secara bertahap.
6. Kesatuan Fisik dan Hubungan Seks yang Sehat
Berbagai literatur mengungkapkan bahwa keluarga yang sehat mental
ditandai oleh adanya hubungan seks yang sehat antara suami dan istri. Seks
merupakan bentuk hubungan yang melibatkan kesatuan fisik dan psikologis dari
suami istri. Adanya keberlangsungan hubungan seks yang semestinya akan
menjaga kesatuan dalam keluarga, menjadikan anggota keluarga bahagia, dan
puas. Berbagai temuan mutakhir menunjukkan bahwa terjaganya hubungan seks
suami istri (seminggu 2-3 kali) menjadikan suami istri puas dalam pernikahan
yang secara jangka panjang dapat memanjangkan umur. Sebaliknya,
sebagaimana dapat dilihat dalam kenyataan sosial, kegagalan hubungan seks,
terlalu jarangnya kontak seksual, dan juga terlalu berlebihannya hubungan
seksual akan memiliki dampak kekisruhan dalam keluarga (semisal
perselingkuhan, dan seterusnya) dan ketidakstabilan emosi. Sebuah kasus di
Rumah Sakit Jiwa Magelang menunjukkan bahwa seks yang berlebihan
menyebabkan seorang istri jadi pasien rumah sakit jiwa.
Tidak kurang dari itu, kesatuan fisik antara anggota keluarga sangat
berguna untuk memupuk adanya keluarga yang kokoh. Kehadiran secara fisik
orang yang kita cintai akan menjadikan cinta terpelihara. Pernyataan ini bukan
berarti anggota keluarga harus terus menerus bersama. Maksudnya, adanya
perpisahan yang bersifat sementara (misalnya karena kerja, studi, atau
bepergian beberapa hari) segera disusul oleh perjumpaan.
Berbagai kasus menunjukkan jarak yang jauh menyebabkan terjadinya berbagai
macam perselingkuhan dan perceraian.
7. Kerjasama
Agar keluarga dapat berjalan secara optimal, semestinya mereka saling
bekerjasama. Suami membantu istri dan anak. Istri membantu suami dan anak.
Anak membantu bapak dan ibunya. Masalah kerjasama atau kekompakan ini
akan berkembang bila mereka mengupayakan untuk melakukan berbagai
kegiatan secara bersama-sama. Salah satu medan kerjasama atau kekompakan
adalah dalam hal mendidik anak. Kultur masyarakat masa lalu dan juga masa
kini sering menempatkan wanita sebagai pihak yang bertanggung jawab
mendidik anak. Kesalahkaprahan ini sangat sering terjadi. Laki-laki pun banyak
yang merasa tidak bersalah saat mereka bulat-bulat menyerahkan tanggung
jawab mendidik anak kepada istri, atau malah kepada baby sitter, pembantu
rumah tangga, atau kepada televisi. Bahkan, pembantu pun menyerahkan ke
peminta-minta di jalanan (sebagaimana terjadi di Bandung beberapa waktu
lalu).
Keadaan di atas tentu sangat tidak ideal. Yang semestinya diupayakan
oleh setiap keluarga adalah bagaimana terdapat kerjasama dalam mendidik
anak.
Satu hal amat penting untuk diperhatikan dalam masalah kerjasama adalah
peran ganda pria (baca: suami). Kultur yang berkembang dalam masyarakat
umumnya menempatkan laki-laki bekerja dalam sektor publik dan sangat minim
bekerja dalam sektor domestik, terutama mendidik anak. Kerjasama dapat
dioptimalkan bila laki-laki menyediakan diri untuk mengerjakan wilayah
domestik. Apabila ini dilakukan, maka babak kerjasama suami dan istri
mulai,menguat.
8. Saling Percaya
Pembentukan keluarga (baca: pernikahan) diawali oleh kesalingpercaya-
an. Masing-masing pihak –suami dan istri-- percaya bahwa satu sama lain akan
melakukan usaha agar jalinan kesatuan di antara mereka dapat mengantarkan
mereka menjadi bahagia dan sejahtera. Bila kepercayaan ini dijaga, maka
kehidupan berkeluarga dapat dipertahankan. Bila kepercayaan tidak dijaga,
maka keluarga dapat pecah (broken home).
Salah satu ajaran agama yang dalam kehidupan kongkrit bersifat
kontroversial adalah menikah lebih dengan seorang istri. Dalam keluarga yang
demikian, satu istri bisa sangat cemburu dan bahkan sangat curiga manakala
sang suami tampak lebih akrab dan lebih cinta terhadap istri yang lainnya.
Kalau kecemburuan dan kecurigaan merajalela, maka yang bakal terjadi adalah
rusaknya bangunan keluarga. Artinya, sebagaimana ditemukan dalam banyak
kasus, poligami ternyata rentan terhadap upaya mempertahankan
kesalingpercayaan suami istri.
Secara garis besar ciri-ciri keluarga yang bahagia bukan hanya tentang
uang, kekayaan, jabatan atau kesuksesan lainnya yang kita raih, tetapi juga
keluarga yang harmonis. Ciri keluarga sehat, bahagia juga harmonis berikut bisa
kita jadikan cermin untuk melihat tanda-tandanya dalam keluarga kia nanti.
Ciri-ciri keluarga yang harmonis diantaranya adalah :
· Menikmati kehadiran yang lain. Antara suami dan istri, orang tua
dengan anak, dengan saudara dengan mertua dan dengan anggota lain di dalam
keluarga tidak berarti mereka harus selalu bersama-sama, tetapi begitu
bersama-sama mereka menikmati kebersamaan itu dan menciptakan suasana
kekeluargaan dan kebahagiaan.
· Saling menghargai satu sama lain dan menemukan hal-hal positif pada
diri masing-masing anggota.
· Meski tidak selalu, mereka sering melakukan rekreasi bersama-sama.
Nonton konser, berlibur, dan berjalan-jalan ke tempat yang sama tapi tetap
merasakan arti kebahagiaan dalam kesederhanaan.
· Saling terbuka dan percaya satu sama lain, termasuk hal-hal yang
sangat pribadi.
· Bila salah satu tertimpa kesusahan, ia selalu bisa datang pada yang
lain tanpa rasa sungkan dari semua antar anggota keluarga.
· Sering menertawakan satu hal yang sederhana bersama-sama,
menyanyi lagu yang sama, dan menikmati acara yang sama untuk menciptakan
kebahagian melalui hal-hal yang kecil dan sederhana.
· Tidak pernah kehabisan acara atau ide untuk melakukan hal bersama-
sama.
Bila hal-hal umum yang mencirikan keluarga bahagia diatas telah kita
miliki, tentu arti makna kehidupan pun sudah kita temukan. Mungkin selama
ini banyak permasalah keluarga yang salah satu penyebabnya adalah tidak
adanya waktu luang untuk keluarga. Kita tentu ingin tetap meraih kesuksesan
dalam karir, kesehatan dan financial tanpa melupakan keluarga. Oleh sebab
harus ada keseimbangan dari berbagai aspek-aspek kehidupan yang kita jalani
untuk memperoleh kebahagian dalam hidup.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga
Ada banyak ahli yang mengemukakan tentang faktor-faktor yangmempengaruhi
keharmonisan keluarga. Di bawah ini akan dikemukakanbeberapa faktor yang
mempengaruhi keharmonisan keluarga menurut paraahli. Keluarga harmonis
atau sejahtera merupakan tujuan penting.Olehkarena itu untuk menciptakan
perlu diperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Perhatian. Yaitu menaruh hati pada seluruh anggota keluarga sebagai dasar
utama hubungan yang baik antar anggota keluarga. Baik pada perkembangan
keluarga dengan memperhatikan peristiwa dalam keluarga,dan mencari sebab
akibat permasalahan, juga terdapat perubahan pada setiap anggotanya.
2. Pengetahuan. Perlunya menambah pengetahuan tanpa henti-hentinya untuk
memperluas wawasan sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan keluarga.
Sangat perlu untuk mengetahui anggota keluaranya, yaitu setiap perubahan
dalam keluarga, dan perubahan dalam anggota keluarganya, agar kejadian yang
kurang diinginkan kelak dapat diantisipasi.
3. Pengenalan terhadap semua anggota keluarga. Hal ini berarti pengenalan
terhadap diri sendiri dan pengenalan diri sendiri yang baik penting untuk
memupuk pengertian-pengertian.
4. Bila pengenalan diri sendiri telah tercapai maka akan lebih mudah menyoroti
semua kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam keluarga.Masalah akan lebih
mudah diatasi, karena banyaknya latar belakang lebihcepat terungkap dan
teratasi, pengertian yang berkembang akibatpengetahuan tadi akan mengurangi
kemelut dalam keluarga.
5. Sikap menerima. Langkah lanjutan dari sikap pengertian adalah
sikapmenerima, yang berarti dengan segala kelemahan, kekurangan,
dankelebihannya, ia seharusnya tetap mendapatkan tempat dalam
keluarga.Sikap ini akan menghasilkan suasana positif dan
berkembangnyakehangatan yang melandasi tumbuh suburnya potensi dan minat
darianggota keluarga.
6. Peningkatan usaha. Setelah menerima keluarga apa adanya maka
perlumeningkatkan usaha. Yaitu dengan mengembangkan setiap dari
aspekkeluarganya secara optimal, hal ini disesuaikan dengan setiap
kemampuamnmasing-masing, tujuannya yaitu agar tercipta perubahan-
perubahan danmenghilangkan keadaan bosan.
7. Penyesuaian harus perlu mengikuti setiap perubahan baik dari fisik orangtua
maupun anak.
Dari sumber lain, Keluarga harmonis atau keluarga bahagia adalah apabila
dalam kehidupannya telah memperlihatkan faktor-faktor berikut:
1. Faktor kesejahteraan jiwa. Yaitu rendahnya frekwensi pertengkaran
danpercekcokan di rumah, saling mengasihi, saling membutuhkan, salingtolong-
menolong antar sesama keluarga, kepuasan dalam pekerjaan danpelajaran
masing-masing dan sebagainya yang merupakan indikator-indikatordari adanya
jiwa yang bahagia, sejahtera dan sehat.
2. Faktor kesejahteraan fisik. Serinnya anggota keluarga yang sakit,
banyakpengeluaran untuk kedokter, untuk obat-obatan, dan rumah sakit tentu
akanmengurangi dan menghambat tercapainya kesejahteraan keluarga.
3. Faktor perimbangan antara pengeluaran dan pendapatan
keluarga.Kemampuan keluarga dalam merencanakan hidupnya
dapatmenyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran dalam keluarga
Kunci utama keharmonisan sebenarnya terletak pada kesepahaman hidup suami
dan istri. Karena kecilnya kesepahaman dan usaha untuk saling memahami ini
akan membuat keluarga menjadi rapuh. Makin banyak perbedaan antara kedua
belah pihak maka makin besar tuntutan pengorbanan dari kedua belah
pihak.Jika salah satunya tidak mau berkorban maka pihak satunya harus mau
berkorban.Jika pengorbanan tersebut telah melampaui batas atau kerelaannya
maka keluarga tersebut akan terancam.Maka fahamilah keadaan pasangan, baik
kelebihan maupun kekurangannya yang kecil hinga yang tebesar untuk mengerti
sebagai landasan dalam menjalani kehidupan berkeluarga. Rencana kehidupan
yang dilakukan kedua belah pihak merupakan faktor yang sangat berpengaruh
karena dengan perencanaan ini keluarga bisa mengantisipasi hal yang akan
datang dan terjadi saling membantu untuk misi keluarga.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Keluarga Bahagia Sejahtera (sukinah) adalah keluarga yang dibentuk
berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup
spiritual dan material yang layak, bertakwa kepada TYME, memiliki hubungan
serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan
masyarakat dan lingkungan.
Bahagia adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersitat kondisional.
Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada
kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut
pandangan ini tidak ada kebahagiaan yang abadi dalam jiwa manusia.
Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah
gambaran kondisi kejiwaan masyarakat yang senantiasa dalam keadaan mencari
dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu
keadaan. Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan
(iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.
3.2 Saran
1. Diharapkan dapat menambah pemahaman yang lebih mendalam lagi tentang
bagaimana ciri-ciri keluarga bahagia sukinah.
2. Diharapkan Memberi tambahan pengetahuan dan bekal kepada pembaca
dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
3. Diharapkan Memberi masukan kepada mahasiswa dan dosen pengampu
mata kuliah terkait.

Anda mungkin juga menyukai