Anda di halaman 1dari 14

ARTIKEL

ANALISIS STRUKTUR DAN AJARAN SUSILA


DALAM GAGURITAN BHIMA SAKTI
KARYA I KETUT RUMA

OLEH
I MADE ARNAWA
NPM: 16.2.034

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA BALI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
AGAMA HINDU AMLAPURA
2020
ANALISIS STRUKTUR DAN AJARAN SUSILA
DALAM GAGURITAN BHIMA SAKTI
KARYA I KETUT RUMA
oleh
I Made Arnawa
STKIP Agama Hindu Amlapura

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mendeskripsikan struktur forma, struktur


naratif, dan ajaran susila dalam Gaguritan Bhima Sakti karya I Ketut Ruma.
Penelitian ini merupakan penelitian sastra yang dikaji dengan metode formal dan
kualitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan ialah pendekatan mimesis dan
mitopoik. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder
dengan data yang bersifat kualitatif. Sedangkan metode yang digunakan dalam
pengumpulan data adalah metode pencatatan dokumen. Data dianalisis dengan
metode analisis deskriptif kualitatif dengan langkah-langkah berupa reduksi data,
klasifikasi data, display, interpretasi dan kesimpulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: 1) Struktur forma dalam Gaguritan Bhima Sakti, yaitu: (1)
kode sastra yang membangun Gaguritan Bhima Sakti adalah pupuh sejumlah 110
bait pupuh; (2) ragam bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Kawi dan bahasa
Bali (basa Andap, Alus Sor, Alus Singgih, dan Kasar); dan (3) gaya bahasa
terdiri atas majas simile dan esklamasio. 2) Struktur naratif dalam Gaguritan
Bhima Sakti, yaitu: (1) synopsis, (2) tema, (3) tokoh dan penokohan, (4) alur, (5)
latar, (6) amanat. 3) Ajaran susila yang terkandung di dalam Gaguritan Bhima
Sakti, yaitu Ajaran Tri Kaya Parisuda (manacika, wacika, dan kayika), Panca
Yama Brata (satya), Panca Nyama Brata (guru susrusa, aharalaghawa, dan
apramada), dan Catur Paramita (mudita).

Kata-kata kunci: Struktur, Susila, Gaguritan Bhima Sakti

I. PENDAHULUAN
Gaguritan Bhima Sakti karya I Ketut Ruma selesai tahun 2011. Geguritan
tesebut diadaptasikan dari cerita Mahabharata bagian pertama yaitu Adi Parwa.
Teks tersebutlah dicermati, dipahami, diramu, dan digubah dalam sebuah
geguritan. Di dalamnya sarat akan ajaran susila yang perlu dipedomani sebagai
umat beragama Hindu di era millenial sekarang ini. Tantangan kehidupan dalam
kehidupan masyarakat Bali sangat besar sehingga perlu ditopang oleh ajaran-
ajaran yang bersumber dari tattwa-tattwa Hindu yang divisualisasikan ke dalam
Gaguritan Bhima Sakti.
Perkembangan zaman di era millenial ini seolah-olah menggeser tradisi
mabebasan atau pasantian dalam masyarakat Bali. Dahulu, tradisi ini sangat
kental dengan jargon: “Magending sambil malajah, malajah sambil magending”
(Bernyanyi sambil belajar, belajar sambil bernyanyi). Artinya, melalui
melantunkan nyanyian yang bersumber pada teks geguritan sebagai ekspresi
estetis masyarakat Bali, juga sebagai wahana untuk meningkatkan pengetahuan
dan wawasan tentang ajaran-ajaran susila yang ada di dalamnya. Transformasi
ajaran-ajaran tersebut dilakukan melalui kegiatan pasantian.
Pasantian umumnya dilaksanakan setiap kali ada upacara keagamaan baik
dewa yadnya, manusa yadnya, pitra yadnya, butha yadnya, maupun rsi yadnya.
Namun, dewasa ini kegiatan pasantian telah mulai mengalami degradasi. Minat
generasi muda mempelajari geguritan dan berpartisipasi dalam pasantian
sangatlah minim. Di samping pengaruh budaya asing dan maraknya penggunaan
game online menjadi pemicu mengalihkan dunianya terhadap budaya adiluhung
masyarakat Bali. Dengan kurangnya membaca dan memahami sastra Bali yang
kaya dengan nilai dan ajaran agama Hindu itu, berdampak pada kurangnya
pemahaman ajaran agama itu kepada generasi muda. Selanjutnya, generasi muda
cenderung berprilaku di luar batas pemikiran, arogan, sensitif, pemarah, keras
kepala, pendendam, dan berbuat kriminal.

II. KAJIAN PUSTAKA


2.1 Struktur Karya Sastra
2.1.1 Struktur Forma
Padang (2011: 17) memaparkan bahwa “struktur forma dalam karya sastra
adalah susunan yang memperlihatkan tata hubungan antara unsur instrinsik dan
ekstrinsik yang menjadi satu kesatuan dalam keseluruhan karya sastra”.
Sedangkan Wisnu (dalam Ernawati, 2011: 7) menjelaskan bahwa: “Struktur forma
adalah salah satu bagian dari keseluruhan struktur karya sastra yang mengulas
tentang bentuk atau kemasan dalam menampilkan karya sastra itu sendiri, dan
memiliki hubungan yang signifikan dengan isi yang terkandung di dalamnya”.
Struktur forma mengulas tentang bentuk atau kemasan karya sastra itu sendiri,
yang meliputi: kode sastra (kesusastraan), gaya bahasa dan ragam bahasa (Agastia
dalam Ebayanti, 2006: 15).
2.1.1.1 Kode Sastra
Kode sastra adalah salah satu bagian dari struktur forma karya sastra.
“Kode merupakan variasi sebuah bahasa atau suatu bahasa dan berbagai bahasa
yang ada pada kosa kata bahasa sebuah masyarakat non monolingual yang sering
digunakan untuk menyampaikan arti-arti tertentu, untuk menyampaikan penuturan
dalam masyarakat pembacanya” (Soepomo, 1975: 1). Menurut Zaidan (dalam
Ekawati, 2014: 13), kode sastra mengacu kepada kode yang dapat dipakai sebagai
dasar pemberian makna suatu teks yang mencakupi bentuk ragam teks.
Sedangkan Damono (dalam Purnami, 2008: 14), menyatakan Kode Sastra adalah
kata-kata dalam karya sastra tidak sekedar berperan sebagai alat menghubungkan
pembaca dengan instuisi penyair, tetapi juga sebagai objek pendukung imajinasi.

2.1.1.2 Gaya Bahasa


Menurut Tim Penyusun (2005: 340), “Gaya bahasa adalah cara khas dalam
menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan”. Selain itu Kutha
Ratna (2006: 164) menjelaskan bahwa gaya bahasa atau yang lebih dikenal
dengan istilah majas adalah “pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis
atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan”. Dalam istilah
Inggris “majas dikenal danga figure of speech yaitu peristiwa pemakaian kata
yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari makna
harfiahnya. Majas yang baik akan menimbulkan citra tertentu di dalam pikiran
pembacanya” (Dewan Redaksi, 2004: 479).

2.1.1.3 Ragam Bahasa


Ragam bahasa adalah varian dari sebuah bahasa menurut pemakaian. Ragam
bahasa dalam hal ini tidak sama dengan dialek bahasa. Ragam bahasa biasanya digunakan
dalam sebuah karya sastra. Menurut Damono (1978: 40) “Bahasa merupakan sebuah
lembaga sosial yang berada diluar manusia yang memiliki sistem linguistik (kode) dan
sudah ada sebelum orang-orang menyampaikan pesan lewat tuturan”. Jadi bahasa sudah
ada sebelum manusia dapat berkomunikasi secara lisan. Kode-kode yang terdapat dalam
bahasa membantu pengguna untuk mempelajari bahasa itu. Seperti yang telah
diungkapkan oleh Raharjo, dkk. (1990: 42) bahwa: “Bahasa merupakan alat komunikasi
antar manusia yang berupa lambang bunyi suara, yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia”.

2.1.2 Struktur Naratif


“Naratif bersifat narasi yaitu menguraikan (menjelaskan) dan prosa yang
subyeknya merupakan suatu rangkaian kejadian” (Tim Penyusun, 2005: 774).
Selanjutnya, Wisnu (2001: 33) menyatakan bahwa: “Struktur naratif adalah salah
satu bagian dari keseluruhan karya sastra yang mengulas tentang bentuk dalam
menampilkan karya sastra”.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa struktur naratif
adalah salah satu struktur yang membangun sebuah karya sastra yang mengulas
tentang bentuk yang menampilkan suatu karya sastra sehingga dapat memudahkan
para pembaca untuk memahami isi dari suatu karya sastra dimana struktur naratif
ini terdiri dari sinopsis, tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan amanat.

2.2 Ajaran Susila


Menurut Swastika (2011: 110), “Susila berasal dari 2 (dua) kata yakni su
artinya baik dan sila artinya tingkah laku. Dengan demikian susila berarti
tingkkah laku yang baik”. Dalam agama Hindu ajaran susila sangat luas adanya.
Susila merupakan dasar dalam setiap gerak langkah dan perilaku manusia dalam
keseharian dan juga dalam kehidupan keagamaan. Ajaran susila dalam kehidupan
bermasyarakat akan tercermin dalam Tri Kaya Parisudha, Panca Yama Brata,
Panca Nyama Brata, Catur Paramitha.

2.3 Gaguritan Bhima Sakti karya I Ketut Ruma


Gaguritan Bhima Sakti merupakan salah satu karya I Ketut Ruma.
Gagguritan Bhima Sakti selesai ditulis pada Soma Sinta Sinta, sasih Jyesta, isaka
1934, atau tanggal 25 April 2011. Dengan demikian ini merupakan gaguritan ke-
11 yang dibuat oleh I Ketut Ruma, sejak mengawali menulis gaguritan pada tahun
1994. Secara garis besar, gaguritan ini menceritakan tentang tokoh salah satu
Pandawa, yakni Sang Bhima yang sangat sakti sehingga mampu mengalahkan
raksasa I Dhimba dan I Raksasa Baka di Eka Cakra.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian sastra, dengan metode formal untuk
mengkaji unsur formal dan naratif, sedangkan metode kualitatif digunakan untuk
mengkaji secara mendalam tentang ajaran susila yang terkandung di dalam
Gaguritan Bhima Sakti. Sementara itu, pendekatan pendekatan yang digunakan
yaitu pendekatan mimesis dan mitopoik. Jenis data yang dikumpulkan adalah data
primer dan data sekunder dengan data yang bersifat kualitatif. Sedangkan metode
yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode pencatatan dokumen.
Data dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Struktur Forma dalam Gaguritan Bhima Sakti
4.1.1 Kode Sastra
Gaguritan Bhima Sakti dikemas dalam bentuk macapat atau pupuh,
dengan aturan perpuisian berupa padalingsa. Adapun pupuh-pupuh yang
membangun Gaguritan Bhima Sakti adalah sebanyak 6 (enam) jenis pupuh,
meliputi: Pupuh Sinom, Pupuh Ginada, Pupuh Pangkur, Pupuh Durma, Pupuh
Ginanti, dan Pupuh Maskumambang.

4.1.2 Ragam Bahasa


Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam karya sastra
gaguritan. Umumnya, karya sastra gaguritan dikemas dengan menggunakan
bahasa yang beragam. Adapun ragam bahasa yang digunakan dalam Gaguritan
Bhima Sakti, yaitu bahasa Kawi dan bahasa Bali.
Bahasa Kawi yang digunakan yaitu kata hênu berarti ‘jalan’ (lihat
Mardiwarsito, 1981: 219), pranamya berarti memberi hormat (lihat Mardiwarsito,
1981: 433), umatur berarti ‘berkata’ berasal dari kata dasar atur yang berarti
‘kata’ (lihat Mardiwarsito, 1981: 97), muniwara berarti ‘pendeta’ (lihat
Mardiwarsito, 1981: 356), dan aksi berarti ‘mata’ (lihat Mardiwarsito, 1981:
namun dipadankan menjadi ‘lihat’. Kata hĕnu digunakan oleh penulis untuk dapat
memenuhi guru suara agar dapat bersuara /u/ di akhir baris, karena padalingsa
Pupuh Pangkur pada baris ke-3 adalah /8u/. Dalam bahasa Bali, kata hĕnu bisa
dipadankan dengan kata jalan (Kruna Andap) atau margi (Kruna Alus Mider),
namun tentu akan menyalahi aturan pupuh karena huruf vokal pada suku kata
terakhir kata tersebut adalah /a/ dan /i/. Demikian juga dengan penggunaan kata
umatur pada baris ke-5 digunakan untuk memenuhi padalingsa /12u/, kata
muniwara pada baris ke-6 juga digunakan untuk memenuhi padalingsa /8a/.
Sementara itu, kata aksi dan pranamya, secara umum lumbrah digunakan dalam
bahasa Bali. Namun, secara etimologi, kata aksi sesungguhnya berasal dari bahasa
Jawa Kuno (Kawi). Dalam bahasa Bali, kata aksi dapat dipadankan dengan
menggunakan kata ton (Kruna Alus Sor) dan cingak (Kruna Alus Singgih).
Sedangkan kata pranamya dalam bahasa Bali dapat dipadankan dengan kata
ngandap kasor, matur bakti (lihat Tim Penyusun, 1988: 226).
Adapun ragam bahasa Bali yang digunakan dalam Gaguritan Bhima Sakti,
yaitu basa Andap, Alus Sor, Alus Singgih, dan Kasar. Basa Andap yang
digunakan oleh I Dhimbi digunakan untuk berbicara dengan dirinya sendiri
(berbicara di dalam hati). Dalam hal ini I Dhimbi tidak menjalin interaksi dan
komunikasi dengan orang lain. Dengan demikian, maka bahasa Bali yang
digunakan adalah bahasa sehari-hari, sebagai bahasa kaum raksasa; oleh I Dhimba
kepada I Dhimbi; dan oleh Bhagawan Byasa kepada Dewi Kunti. Basa Alus Sor
digunakan oleh penulis (I Ketut Ruma) dalam penceritaan. Penulis menggunakan
basa Alus Sor ketika menceritakan perilaku raksasa I Dhimba dan semua hal yang
berkaitan dengannya, karena I Dhimba tergolong sang sor (kedudukan yang tidak
tinggi/terhormat selayaknya brahmana, ksatria atau wesia). Penggunaan basa
Alus Sor oleh penulis dapat dicermati pada kata-kata Alus Sor, seperti genahipun
‘tempatnya’, adekipun ‘diciumnya’, ipun ‘ia’, magenah ‘tinggal’. Sementara itu,
basa Alus Singgih digunakan oleh penulis (I Ketut Ruma) dalam penceritaan
untuk menyatakan semua hal yang berkaitan dengan tokoh Sang Pandawa. Hal ini
karena Sang Pandawa merupakan sosok ksatria terlahir di lingkungan kerajaan
(istana), mulia dan terhormat, sehingga patut dihormati dengan menggunakan
bahasa Bali yang hormat (alus). Pada kutipan di atas, basa Alus Singgih
ditunjukkan dengan banyaknya penggunaan kata-kata berbentuk hormat (alus
singgih), seperti ida ‘ia’, masiram ‘mandi’, makayunin ‘memikirkan’, dan
sameton ‘saudara’. Basa Kasar merupakan bahasa yang memiliki rasa bahasa
yang jelek dan kasar (lepas hormat). Sering digunakan dalam keadaan marah,
mencaci-maki, maupun berdebat. Basa Kasar dalam Gaguritan Bhima Sakti
tercermin pada penggunaan kata iba yang berarti ‘kamu’ (lihat Tim Penyusun,
2008: 355). Kata iba digunakan sebagai padanan kata cai/nyai (Kruna Andap),
Ida/Dane (Kruna Alus Singgih) atau jero/ragane (Kruna Alus Madia). Kata iba
digunakan untuk merendahkan raksasa yang memiliki sifat yang tidak manusiawi
(makan manusia).

4.1.3 Gaya Bahasa


Adapun gaya bahasa yang digunakan dalam Gaguritan Bhima Sakti, yaitu
simile dan esklamasio. “Simile adalah majas yang membandingkan sesuatu hal
dengan hal yang lainnya dengan menggunakan kata penghubung atau kata
pembanding. Kata penghubung yang digunakan contohnya seperti, bagaikan, bak,
layaknya, laksana, dll” (Wikipedia, 2020). Dalam bahasa Bali, simile dapat
disamakan dengan paribasa Bali jenis Sesawangan, yaitu segala sesuatu yang
dilihat lalu dirasakan dalam hati sama dengan perilaku atau keadaan manusia atau
benda. Majas simile yang dimaksud yakni pada kalimat “Déwék sĕlĕm kadi gulĕm
ngĕmu sabĕh” (Badan hitam seperti mendung mengulum hujan). Penulis
menggunakan majas tersebut untuk menyatakan warna kulit raksasa I Dhimba
seperti mendung mengulum hujan. Selain itu, I Dhimba juga dibandingkan seperti
Dewa Maut yang siap untuk mencabut nyawa Sang Bima. Hal ini sesuai dengan
kalimat “sawang kalantaka” (bagaikan Dewa Maut).
Majas esklamasio adalah salah satu gaya bahasa yang digunakan dalam
Gaguritan Bhima Sakti dengan penggunaan kata seru, seperti “ih”, “duh” dan
“udduh”.

4.2 Struktur Naratif dalam Gaguritan Bhima Sakti


Struktur naratif dalam Gaguritan Bhima Sakti, yaitu: (1) sinopsis
(Menceritakan tentang kesaktian Sang Bima yang mampu membunuh raksasa I
Dhimba dan I Detya Baka di Desa Eka Cakra); (2) temanya adalah cinta kasih; (3)
tokoh dan penokohan, yaitu: (a) tokoh primer dalam Gaguritan Bhima Sakti
adalah Sang Bima (tampan, memiliki otot yang kekar, berkulit hitam legam, dan
bermata biru; penyayang; menghormati ibunya; percaya diri; dan kuat dan sakti);
(b) tokoh sekunder dalam Gaguritan Bhima Sakti, yaitu Dewi Kunti (seorang ibu
dari Sang Pandawa yang memiliki sifat baik hati dan mulia, serta adil), I Dhimbi
(seorang raksasa perempuan yang memiliki sifat bijak dan jujur), I Dhimba
(seorang raksasa laki-laki yang menakutkan (seram) dan kuat (sakti)), Brahmana
Bheksa Karma (seorang pendeta yang penyayang, bijaksana dan berpengetahuan
luas), dan I Detya Baka (seorang raksasa yang sakti); dan (c) tokoh komplementer
dalam Gaguritan Bhima Sakti, yaitu Bhagawan Byasa (seorang pendeta yang
memiliki kemampuan untuk mengetahui masa depan), Sang Dharmawangsa
(seorang yang lemah lembut dan pengertian), Sang Arjuna (seorang yang suka
menolong), Sang Gatotkaca (seorang raksasa yang memiliki mulut lebar,
bertaring, perut besar dan kuat, pemberani, sakti, dan bisa terbang), istri
Brahmana Bheksa Karma (seorang istri yang memiliki sifat rela berkorban dan
setia kepada suami), dan anak Brahmana Bheksa Karma (berbakti kepada orang
tua); (4) alurnya menggunakan alur maju; (5) latar yang digunakan, yaitu latar
tempat (di Waranawata, hutan, telaga, goa, Gunung Srengga, tengah jalan, Desa
Eka Cakra, dan Tepi Sungai Yamuna) dan waktu (satu malam, berhari-hari, dan
berbulan-bulan); (6) amanat yang dapat dipetik dalam Gaguritan Bhima Sakti,
yaitu: (a) seorang anak wajib berbhakti kepada orang tua, (b) kebajikan akan
selalu menang, dan (c) menolong adalah perbuatan yang baik.

4.3 Ajaran Susila dalam Gaguritan Bhima Sakti


4.3.1 Tri Kaya Parisuda
Ajaran Tri Kaya Parisuda yang terkandung di dalam Gaguritan Bhima
Sakti, yaitu manacika, wacika, dan kayika.
Ajaran manacika yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran Sang Bima
terhadap keselamatan saudara dan ibunya masih tertidur lelap, namun
ditinggalkannya untuk mencari air dan mandi di telaga. Pikirannya itulah yang
membuat Sang Bima segera kembali ke Pohon Beringin di tengah hutan. Sebagai
saudara yang paling kuat diantara yang lainnya, Sang Bima selalu memikirkan
keselamatan keluarganya sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai anggota
keluarga.
Wacika dalam Gaguritan Bhima Sakti terkandung dalam perkataan I
Dhimbi kepada Dewi Kunti. Perkataan yang diucapkan oleh I Dhimbi berasal dari
ketulusan hatinya, sehingga tidak hanya omong kosong. Bersedia untuk
memperbaiki perilaku dari jahat menjadi perilaku yang baik dan mulia, seperti
yang dilakukan oleh Sang Pandawa.
Kayika yang dimaksud dalam penelitian tercermin pada perilaku Dewi
Kunti yang sangat adil dalam memperlakukan putra-putranya. Dalam kehidupan
yang sulit di masa-masa persembunyian, Dewi Kunti mampu mengasuh dan
membimbing putra-putranya untuk selalu harmonis, saling menjaga, menyayangi,
dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan yang ada.

4.3.2 Panca Yama Brata


Ajaran Panca Yama Brata yang terkandung di dalam Gaguritan Bhima
Sakti adalah satya. Satya yang dimaksud dalam geguritan ini adalah satya
wacana. Artinya, setia dan jujur dalam berkata-kata, tidak sombong, tidak
mengucapkan kata-kata yang tidak sopan, tidak berkata-kata yang menyakitkan
serta tidak memaki. Satya Wacana ditemukan pada perkataan Dewi Kunti yang
setia dan jujur bahwa Sang Bima sebagai putranya yang sakti akan dapat
mengalahkan raksasa Detya Baka serta menolong Brahmana Bheksa Karma dari
pungutan upeti.

4.3.3 Panca Nyama Brata


Ajaran Panca Nyama Brata yang terdapat dalam Gaguritan Bhima Sakti,
yaitu guru susrusa, aharalaghawa, dan apramada. Dalam geguritan ini
ditemukan ajaran guru susrusa terhadap orang tua (guru rupaka), yaitu rasa
hormat Sang Bima kepada Ibunya (Dewi Kunti) dan rasa hormat anak-anak
Brahmana Bheksa Karma kepada orang tuanya. Ajaran aharalaghawa dalam
geguritan ini tercermin pada aktivitas sehari-hari Sang Pandawa dan Dewi Kunti
di Desa Eka Cakra yang makan sederhana dari hasil mengemis. Ajaran apramada
dalam geguritan ini tercemin pada Sang Bima sebagai seorang ksatria yang
mampu melaksanakan kewajibannya untuk bertarung dan membasmi kebatilan
(adharma).

4.3.4 Catur Paramita


Ajaran Catur Paramita yang terkandung di dalam Gaguritan Bhima Sakti
adalah mudita. Mudita adalah turut merasakan kesusahan amupun kebahagiaan
orang lain. Terkait dengan penelitian ini, maka ajaran mudita tercermin pada
perilaku Dewi Kunti yang merasa iba dan kasihan dengan kesusahan yang dialami
oleh keluarga Brahmana Bheksa Karma.

V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Struktur
forma dalam Gaguritan Bhima Sakti, yaitu: (1) kode sastra yang membangun
Gaguritan Bhima Sakti adalah pupuh sejumlah 110 bait pupuh; (2) ragam bahasa
yang digunakan, yaitu bahasa Kawi dan bahasa Bali (basa Andap, Alus Sor, Alus
Singgih, dan Kasar); dan (3) gaya bahasa terdiri atas majas simile dan esklamasio.
2) Struktur naratif dalam Gaguritan Bhima Sakti, yaitu: (1) synopsis, (2) tema, (3)
tokoh dan penokohan, (4) alur, (5) latar, (6) amanat. 3) Ajaran susila yang
terkandung di dalam Gaguritan Bhima Sakti, yaitu Ajaran Tri Kaya Parisuda
(manacika, wacika, dan kayika), Panca Yama Brata (satya), Panca Nyama Brata
(guru susrusa, aharalaghawa, dan apramada), dan Catur Paramita (mudita).

5.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut.
V.2.1 Kepada generasi muda agar mengembangkan diri dalam bersikap dan
berprilaku yang baik sesuai ajaran susila yang terkandung di dalam
Gaguritan Bhima Sakti karya I Ketut Ruma.
V.2.2 Kepada masyarakat Bali agar mampu memanfaatkan hasil penelitian ini
sebagai sumber informasi dalam kegiatan mabebasan di pasantian-
pasantian. Selanjutnya, dipedomani dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari.
V.2.3 Kepada Lembaga STKIP Agama Hindu Amlapura agar meningkatkan
kuantitas dan kualitas pengembangan keilmuan dalam bidang sastra
tradisional khususnya geguritan.
V.2.4 Kepada peneliti agar mampu mengembangkan penelitian di program studi
dan pengembangan kepribadian diri yang lebih baik dan santun mengacu
pada ajaran susila yang diperoleh dalam penelitian ini.
V.2.5 Kepada peneliti lain agar menjadikan penelitian ini sebagai acuan dalam
melakukan penelitian yang sejenis.

DAFTAR PUSTAKA
Agastia, I. B. 1980. Geguritan Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali. Denpasar:
Makalah Dibawakan Dalam Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian II.
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Antara. 2008. Sastra Bali Purwa. Singaraja: FKIP, Undhiksa.
Azwar, 1997. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Damono, S. D. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Depdikbud.
Dewan Redaksi. 2004. Ensiklopedia Sastra Indonesia Jilid I. Bandung: Titian
Ilmu.
Dwija, I Wayan. 2006. “Metodologi Penelitian Pendidikan.” (Buku Ajar).
Amlapura: STKIP Agama Hindu Amlapura.
Ebayanti, I. A. W. 2006. “Kajian Struktur, Fungsi, dan Makna Geguritan
Padmareka Karya Anak Agung Istri Biang Agung Puri Agung
Karangasem.” (Skripsi Tidak Dipublikasikan). Amlapura: STKIP Agama
Hindu Amlapura.
Ekawati, 2014. Kode sastra
Ernawati. 2011. “Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Geguritan Burayut.”
(Skripsi Tidak Dipublikasikan). Amlapura: STKIP Agama Hindu
Amlapura.
Gautama, W. B, dkk. 2009. Kamus Bahasa Bali (Bali-Indonesia). Surabaya:
Paramita.
Gorda, I. G. N. 1997. Metode Ilmu Pengetahuan Sosial Ekonomi. Denpasar:
Widya Kriya Gematama.
Gunawan, I Komang Adi. 2020. “Pengertian dan Pembagian Catur Paramita.”
(Online). Dalam URL
https://www.sastrabalidanhindu.com/2020/01/pengertian-dan-
pembagian-catur-paramita.html. Diakses tanggal 3 Maret 2020.
Hardaniwati. 2003. Kamus Sastra. Bandung: Angkasa.
Iqbal, H. 2002. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bandung:
Ghalia Indonesia.
Irman, Mokhamad, dkk. 2008. Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen dan Kebudayaan.
Kutha Ratna, Nyoman. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Kutha Ratna, Nyoman. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsur
Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mardalis. 2004. Metode Penelitian (Suatu Pendekata Proposal). Jakarta: Bumi
Aksara.
Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Ende, Flores: Nusa Indah.
Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Ende, Flores: Penerbit
Nusa Indah.
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada
University Press.
Padang, Ida Bagus Nengah. 2011. “Nilai Pedidikan Agama Hindu dalam
Geguritan Datta Candra Bhanu.” (Skripsi Tidak Dipublikasikan).
Amlapura: STKIP Agama Hindu Amlapura.
Pandu, M. T. 2005. Metode Penelitian Geografi. Jakarta: Bumi Aksara.
Paryatna. 2006. Sistematika Karya Sastra. Denpasar: Yayasan Acarya Percetakan
Mandara Sastra.
Purnami, Ida Ayu. 2008. “Nilai pendidikan Agama Hindu dalam Gaguritan
Manukan”. (Skripsi). Amlapura: STKIP Agama Hindu Amlapura.
Raharjo, S. H, dkk. 1990. Bahasa dan Sastra Bahasa Indonesia. Semarang: PT
Intan Pariwara.
Riyanto. 2001. Metodologi Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Ruma, I Ketut. 2011. Gaguritan Bhima Sakti. Amlapura: UD. Santi, Bugbug.
Saini, K. M. 2013. “Kebudayaan Karya Sastra”. Dalam:
http://grms.multiply.com/2014/10/26 Kebudayaan-Karya-Sastra.
Diunduh tanggal 23 April 2019.
Semi, M. A. 1989. Anatomi Sastra. Padang: Yayasan Angkasa Raya.
Singer, I. W. 2013. Tata Susila Hindu. Surabaya: Paramita.
Soepomo,Poedjosoedarmo. 1975. Kode (code) Penataran Linguistik. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Subagyo, P. J. 2004. Metodologi Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta.
Sudjiman, P. 1998. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suhariyanto, S. 1982. Dasar-Dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sukada, I Made. 1987. Masalah Sistematisasi Analisis Cipta Sastra Prosa.
Denpasar: Lembaga Penelitian, Pusat Dokumentasi Publikasi Fakultas
Sastra Universitas Udayana.
Susila, I. B. M. S. 2008. “Aspek-Aspek Pendidikan Agama Hindu dalam Teks
Pademaning Mantra Sakotama.” (Tesis Tidak Dipublikasikan).
Denpasar: IHD Negeri Denpasar.
Teguh. 2001. Penelitian Ekonomi Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grapindo
Persada.
Tim Penyusun, 1988. Kamus Kawi – Bali. Denpasar: Dinas Pendidikan Propinsi
Bali Dati I Bali.
Tim Penyusun. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Bali – Indonesia Beraksara Bali dan Latin.
Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Aksara dan Sastra Bali Provinsi Bali.
Tinggen, I. N. 1994. Aneka Sari Gending-Gending Bali. Singaraja: Rhika
Dewata.
Warna, I Wayan, dkk. 1988. Kamus Kawi – Bali. Denpasar: Dinas Pendidikan
Dasar, Propinsi Dati I Bali.
Wikipedia. 2020. “Simile.” (Online). Dalam URL
https://id.wikipedia.org/wiki/Simile. Diakses tanggal 22 Oktober 2020.
Wisnu, I Wayan Gede. 2001. “Gaguritan Darma Santi Adnyana: Analisis Struktur
Semiotik.” (Skripsi Tidak Dipublikasikan). Denpasar: Fakultas Udayana.
Zaidan, A.R, dkk. 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai