Anda di halaman 1dari 12

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Sastra Lisan

Mantra merupakan salah satu bentuk dari sastra lisan yang sampai saat ini

digunakan dan dilestrarikan di masyarakat. Adanya tradisi lisan masih eksis dan hidup

di masyarakat tidak terlepas dari adanya dukungan tradisi penuturan lisan (Sulistyorini,

2017: 4). Penuturan secara lisan pada acara kenduri dituturkan oleh seseorang yang

dianggap sebagai sesepuh desa. Artinya mantra yang berkembang di masyarakat

merupakan bagian dari tradisi leluhur dalam bentuk sastra lisan.

Sastra lisan pada dasarnya merupakan bentuk sastra yang sudah ada turun-

temurun dari pemiliknya. Sastra lisan merupakan bentuk sastra yang disampaikan

secara lisan, sastra tersebut lebih menitikberatkan pada pewarisan secara lisan kepada

generasi selanjutnya (Qoriah, dkk, 2018: 2). Oleh karena itu, sastra lisan selalu

berkaitan dengan konteks penuturannya. Pada kegiatan masyarakat Jawa seperti dalam

acara kenduri, metri, pitonan, slametan selalu menggunakan mantra dan diiringi dengan

doa secara Islam.

Mantra atau sastra lisan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda di setiap

daerah dan dapat mengalami perubahan. Tradisi lisan bukanlah sebuah produk akhir

yang diwariskan antar generasi tanpa melalui proses perubahan, akan tetapi tradisi lisan

merupakan buah produk dan proses yang terus terjadi dalam setiap generasi (Pratiwi,

dkk, 2018: 32). Artinya mantra atau sastra lisan diturunkan ke generasi selanjutnya bisa

mengalami perubahan, yang disesuaikan dengan perkembangan

10
11

zaman. Pemilik berhak merubah kata maupun kalimat yang dirasa tidak sesuai dengan

ajaran sebagai bentuk adaptasi dari kondisi saat ini.

Dalam penuturan mantra atau sastra lisan pastinya memiliki tujuan-tujuan yang

tersemat di dalamnya. Menurut Ahmadi (dalam Bahardur dan Ediyono, 2017: 26)

mantra merupakan bagian dari magis yang memiliki tujuan; produktif (bertujuan

menghasilkan, menambah kemakmuran seseorang), protektif (bertujuan melindungi

sesuatu dari hal-hal yang tidak diinginkan), destruktif (bertujuan menimbulkan

kerusakan bencana). Keberadaan mantra ini dapat dikatakan sebagai cerminan

animisme dan dinamisme masyarakat pemiliknya, serta keyakinan akan kekuatan

magis.

2.2 Ciri-ciri Sastra Lisan

Terdapat beberapa ciri-ciri khusus yang melekat pada keberadaan sastra lisan

dibandingkan dengan sastra konvensional lainnya. Ciri-ciri sastra lisan menurut Taum

(2011: 24) sastra lisan merupakan teks sastra yang dituturkan secara lisan, sastra lisan

ada dengan berbagai bahasa daerah, sastra lisan selalu hadir dengan versi yang berbeda-

beda, mempunyai fungsi atau kegunaan di masyarakat, dan sastra lisan memiliki

konvensi atau kesepakatannya sendiri. Dengan ciri-ciri tersebut, sastra lisan merupakan

bentuk yang sangat berbeda dengan karya sastra lainnya. Sastra lisan pada saat ini

masih eksis dan berkembang di masyarakat pemiliknya dengan versi yang berbeda-

beda di masing-masing daerah.

Pendapat lain mengemukakan sastra lisan memiliki ciri-ciri khusus yang dapat

membedakan sastra lisan dengan karya sastra lainnya. Ciri sebuah sastra lisan adalah
12

tergantung pada konteks (penutur, pendengar, ruang, dan waktu), antara penutur dan

pendengar terjadi kontak fisik, saran komunikasi dilengkapi paralinguistik, dan bersifat

anonim (Muslim, 2011: 127). Artinya dalam penuturan sastra lisan selalu diiringi oleh

konteks yang melatarbelakangi adanya penuturan sastra lisan seperti dalam acara

kenduri dan upacara adat. Adanya hubungan atau kontak langsung antara penutur dan

pendengar yang dilakukan dengan suara dan vocal dari tokoh agama sebagai penutur.

Ciri yang terakhir sastra lisan yakni anonim atau seseorang yang menciptakannya

sudah tidak diketahui.

2.3 Struktur Sastra Lisan

Dengan ciri-ciri sastra lisan di atas, terdapat bahan sastra lisan yang terdiri dari

tiga bahan. Pertama bahan yang bercorak cerita, bahan yang bercorak bukan cerita, dan

bahan yang bercorak tingkah laku (Muslim, 2011: 127). Bercorak cerita seperti halnya

mitos, legenda, dan cerita tutur. Bahan bercorak bukan cerita misalnya ungkapan,

nyanyian, perbahasa, teka-teki, dan puisi lisan. Bahan bercorak tingkah laku seperti

drama panggung dan drama arena. Dengan demikian jenis sastra lisan dapat dikatakan

sama banyaknya dengan sastra konvensional atau sastra tulis.

Mantra dapat digolongkan ke dalam kategori bahan bercorak bukan cerita atau

lebih tepatnya puisi lama. Mantra tergolong ke dalam jenis puisi lama karena

bentuknya yang tetap dan bersajak, mantra dapat terjadi dari satu, dua, tiga, atau lebih

yang berisi untaian kalimat berirama serta memiliki makna yang unik (Suwanto, 2004:

323). Artinya setiap mantra memiliki struktur dan bahasanya masing-masing, tidak
13

terikat dengan jumlah kata maupun kalimat, namun tetap memiliki irama yang enak

didengar karena memiliki persamaan bunyi.

2.4 Mantra

Mantra pada dasarnya berasal dari Bahasa Sanskerta yakni Man yang berarti

pikiran dan kata Tra yang berarti pembebasan, jadi mantra merupakan kegiatan

pembebasan pikiran untuk melakukan komunikasi atau permohonan dalam keadaan

hening (Aswinarko, 2013: 122). Artinya mantra pada hakikatnya digunakan sebagai

media untuk meminta permohonan kepada Tuhan. Mantra digunakan sebagai

penyambung antara manusia dengan Tuhan-Nya dengan harapan semua permintaan

akan cepat terkabulkan.

Mantra merupakan salah satu bentuk dari karya sastra berupa puisi lama yang

identik dengan kekuatan mistis. Mantra merupakan puisi lama yang berisikan pujian

pujian terhadap sesuatu yang gaib atau sesuatu yang dikeramatkan seperti dewa-dewa,

roh leluhur, roh binatang, atau bahkan Tuhan (Wijaya, 2016: 354). Dalam keyakinan

masyarakat Jawa, mantra selalu digunakan dalam acara-acara yang berkaitan dengan

spiritual. Mantra merupakan hal yang diturunkan turun-temurun secara lisan dan

diyakini memiliki nilai-nilai luhur di dalamnya. Keberadaan mantra di masyarakat pada

dasarnya merupakan bentuk doa Islam-Kejawen yang kemudian dilanjutkan dengan

doa secara Islam.

Mantra memiliki karakteristik dan bahasa yang berbeda-beda di masing-masing

daerah. Mantra berkaitan dengan sikap religius manusia untuk meminta sesuatu kepada

Tuhan dengan menggunakan kata-kata pilihan yang dianggap mempermudah


14

hubungan kepada-Nya (Suwanto, 2004: 320). Dengan demikian, mantra menjadi hal

yang sangat penting dalam setiap gelaran atau acara yang berhubungan dengan

spiritual. Mantra bersifat sakral dan tidak sembarangan orang bisa menggunakan

mantra, hanya dukun atau orang yang diberi wewenang oleh generasi sebelumnya.

Ciri-ciri ataupun karakteristik mantra yang diketahui secara umum adalah

berupa susunan kata yang diucapkan oleh seseorang yang diyakini memiliki kekuatan

magis. Mantra mempunyai karakteristik tersendiri yakni memiliki bahasa yang literer,

maksudnya mantra selain mempunyai nilai estetika atau keindahan juga diyakini

memiliki kekuatan magis di dalamnya (Aswinarko, 2013: 119). Nilai estetika tersebut

dituangkan dalam medium bahasa sebagai alat penyampainya kepada pendengar.

Karakteristik lain dari mantra adalah sesuatu yang bersifat mengajak dan

memengaruhi. Indikator sebuah mantra adalah bersifat sugestif-persuasif, selain itu

adanya penggunaan diksi magis yang bertujuan mendapatkan efek magis dan seringkali

diksi mantra sulit dipahami (Aswinarko, 2013: 122). Artinya penggunaan mantra pada

dasarnya memberikan sugesti ke dalam pikiran seseorang, agar orang tersebut mudah

untuk mempercayai sesuatu yang diinginkan. Seringkali diksi yang digunakan dalam

mantra sulit dipahami oleh pendengan atau pembaca. Maka dalam penelitian ini

pembedahan makna akan dikonfirmasi kepada sesepuh desa agar penelitian yang

dihasilkan valid dan dapat dipercaya.


15

2.5 Semiotika

Semiotika merupakan ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia,

semua yang ada di dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda yakni sesuatu yang

harus diberi makna (Hoed, 2011: 3). Semiotika memfokuskan kajian tanda sebagai

sesuatu yang memiliki makna. Melihat setiap kehidupan manusia sebagai tanda yang

memiliki makna, dan merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan

tertentu. Semiotika memandang adanya sistem tanda yang berkaitan satu sama lain

yang mempunyai makna di dalamnya. Makna yang dihasilkan merupakan seseuatu

yang bersifat konvensional atau berdasarkan kesepakatan.

Semiotika dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengkaji penelitian

sastra. Penggalian makna melalui tanda-tanda yang tergambar dan tersirat dalam karya

sastra sangat erat dengan semiotika yang berfokus pada sistem tanda. Semiotika

merupakan sarana yang digunakan untuk menghubungkan karya sastra dengan makna

dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya melalui tasebuah interpresi (Ambarini dan

Umaya, 2010: 19). Dengan memanfaatkan semiotika pada penelitian sastra, dapat

memudahkan memahami dan menginterpretasikan makna yang terkandung dalam

sebuah karya sastra. Melalui tanda-tanda yang muncul terdapat makna yang muncul

pada karya sastra.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji sebuah tanda,

yang pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal

(John, dkk, 2017: 36). Tanda merupakan tujuan utama dari kajian semiotika yang di

dalamnya memberikan makna tersendiri. Dalam penelitian karya sastra, akan

melibatkan bahasa sebagai alat atau media komunikasi yang memiliki banyak sistem
16

tanda. Semiotika juga mengemukanan adanya makna denotasi dan konotasi yang

digunakan dalam menganalisis suatu tanda. Makna denotasi dapat diartikan sebagai

makna permukaan sebuah teks. Sedangkan konotasi adalah makna yang ada dalam

sebuah teks yang disajikan secara implisit.

Pendapat lain mengemukakan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tentang

peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial, adanya relasi antara tanda dan

kehidupan sosial (Sulistyorini, 2017: 41). Dengan demikian keduanya saling berkaitan,

tanda yang merupakan bagian kehidupan sosial yang memuat aturan-aturan sosial yang

berlaku di masyarakat. Kajian semiotika dapat menemukan makna yang terdapat di

dalam tanda-tanda yang tersirat di dalam sebuah karya. Pada dasarnya karya sastra

memang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sosial masyarakat.

2.6 Semotika Roland Barthes

Semiotika memiliki beberapa pandangan dari beberapa ahli yang berbeda,

dalam kajian ini akan menggunakan semiotika Roland Barthes. Semiotika merupakan

memandang adanya hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified),

penanda mengungkapkan petanda, tidak hanya dua terma tersebut melainkan semiologi

terdapat tiga penanda, petanda, dan tanda (Barthes, 2006: 300). Dapat dipahami dari

pengertian tersebut, bahwa semiotika melihat adanya tiga terma yakni petanda,

penanda, dan tanda. Ketiga terma tersebut merupakan kesatuan yang memiliki korelasi

satu sama lain.


17

1. PENANDA II. PETANDA


III. TANDA

Barthes, Roland (2006: 303)

Dari paparan Barthes melalui gambar di atas, dapat dilihat adanya tiga terma

seperti yang dikatakan sebelumnya yakni penanda, petanda, dan tanda. Hubungan

antara penanda dan petanda tersebut akan membentuk tanda. Ketiganya membentuk

korelasi yang saling berhubungan. Penanda dan petananda memberikan tanda, yang

merupakan bentuk makna secara konotasi. Dengan pengertian penanda merupakan

bentuk formal yang menandai petanda, atau petanda merupakan sesuatu yang ditandai

oleh petanda.

Semiotika Roland Barthes memilikisignifikasi dua tingkatan pertandaan yakni

denotasi dan konotasi. Referensi yang terdiri dari first order of signification yaitu

mengacu pada tingkat denotasi, dan second order of signification yaitu mengacu pada

tingkat konotasi, tatanan pertama mencakup penanda dan petanda yang membentuk

tanda, tanda inilah yang dinamakan sebagai konotasi (Nuswantara, 2014:15). Artinya

dalam tingkat penanda, denotasi merupakan bentuk dari sebuah petanda. Petanda

berwujud makna, konsep, dan gagasan, sedangkan penanda merupakan yang gambaran

yang menjelaskan sesuatu yang ditandakan.

Pemaknaan dalam teori semiotika Roland Barthes terbagi menjadi dua tahapan.

Pemaknaan yang pertama denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat awal

sementara konotasi merupakan tingkat kedua (Rokhanyo, 2019: 24). Dapat diartikan
18

pemahaman tingkat pertama merupakan pemahaman makna secara langsung dari

bahasa itu sendiri. Dalam pengertian umum makna denotasi dikenal sebagai makna

harfiah atau makna yang sebenarnya. Sedangkan pemaknaan tahap kedua merupakan

hubungan antara penanda dan petanda yang membenetuk makna di dalamnya yang

tersampaikan secara tidak langsung atau tersirat. Faktor penting dalam pemaknaan

konotasi adalah penanda dan petanda yang saling berhubungan membentuk tafsiran

makna atau yang dapat dikatakan sebagai tanda.

Petanda dan penanda merupakan dua sistem pemaknaan yang berbeda yang

memiliki hubungan dan menghasilkan tanda sebagai sarana penyampaian makna.

Denotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara tanda dan

rujukan aslinya menghasilkan makna langsung atau eksplisit, sedangkan konotasi

merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan antara penanda dan petanda yang di

dalamnya terdapat makna tersirat atau implisit (Nuswantara, 2014:15). Makna tersebut

dapat dikatakan sebagai tanda atau simbol yang di dalamnya memiliki makna implisit

hasil dari hubungan dari penanda dan petanda.

Dalam kehidupan sosial budaya, pemakai tanda bukan hanya memaknainya

sebagai denotasi, atau makna yang telah dikenal secara umum. Denotasi disebut

sebagai sistem pertama, sedangkan sistem kedua biasanya pemakai tanda akan

mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah yakni penanda (E) dan petanda (C)

(Barthes dalam Hoed, 2011: 13). Pengembangan ke arah (E) atau yang disebut

metabahasa terjadi apabila pemakai tanda memberikan bentuk yang berbeda kepada

makna yang sama. Sedangkan pengembangan ke arah petanda (C) terjadi apabila

pengembangan makna secara konotasi.


19

Dalam penelitian kali ini, lebih menekankan pada pemaknaan tanda sebagai

konotasi. Konotasi merupakan makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai

dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru dalam

masyarakatnya (Hoed, 2011, 13). Dengan demikian, konotasi diberikan oleh pemakai

tanda, untuk menjelaskan bagaimana gejala budaya yang dilihat sebagai tanda

memperoleh makna khusus dari masyarakat. Tentu saja ada makna lain yang mungkin

muncul dari individu atau kelompok masyarakat lain.

Tanda merupakan fokus utama dari penelitian semiotika. Konotasi diberikan

oleh pemakai tanda, konsep konotasi ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana

gejala budaya yang dilihat sebagai tanda memperoleh makna khusus dari anggota

masyarakat (Barthes dalam Hoed, 2011: 4). Artinya gejala atau semua yang berkaitan

dengan budaya yang ada di masyarakat dilihat sebagai tanda yang memiliki makna

khusus bagi pemiliknya. Pemakai tanda memiliki kewenangan tersendiri dalam

menentukan makna yang timbul pada setiap tanda.

Tanda digunakan sebagai proses pemahaman menuju tahap interpretasi.

Interpretasi dilakukan terhadap tanda verbal dan tanda non-verbal, pemaknaan tanda

tersebut bukan hanya berbentuk tuturan oral, akan tetapi juga dapat berbentuk benda-

benda atau yang lain sebagaianya yang memiliki modus representasi (Sulistyorini dan

Andalas, 2017: 48). Tanda verbal mengacu pada unsur-unsur verbal yang mengandung

kaidah kebahasaan, mempermudah memahami tanda melaui simbol. Tanda non-verbal

mengacu pada tanda-tanda selain kata atau tuturan. Bahasa sebagai tanda verbal dalam

penelitian ini berbentuk tuturan oral yakni berupa mantra atau sastra lisan yang

dituturkan oleh sesepuh desa.


20

Tanda dapat ditemukan melalui simbol-simbol yang ada pada sebuah karya

ataupun upacara kegiatan. Sulistyorini, (2017: 44) menyatakan bahwa hubungan antara

simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) bersifat

konvensional. Artinya simbol tersebut ditafsikan dan dimaknai berdasarkan

kesepakatan oleh para pemiliknya. Pemberian makna tersebut mengacu pada tanda-

tanda yang memiliki kaitan dengan budaya, situasi, dan kondisi terkini.

Makna merupakan sebuah hal yang tersirat di dalam sebuah tanda atau simbol

baik verbal maupun non-verbal. Makna muncul dari hubungan khusus antara kata

sebagai simbol verbal dan manusia, makna tidak melekat pada kata-kata namun melalui

kata-kata akan membangkitkan makna dalam pikiran seseorang (Sulistyorini, 2017:

45). Dengan demikian, kata atau tanda dapat memberikan penafsiran makna dalam

pikiran orang yang melihat atau mendengarkan. Makna dapat dilihat dari tanda verbal

maupun non-verbal yang memiliki kekuatan untuk merepresentasikan maksud yang

hendak disampaikan.

Makna denotasi dapat juga dikatakan sebagai arti luar sebuah teks, sedangkan

makna konotasi merupakan sebuah makna yang disampaikan di dalam sebuah teks.

Denotasi merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan

yang lugas berdasarkan konvensi tertentu dan bersifat objektif, adapun konotasi

merupakan aspek makna sebuah atau kelompok kata yang didasarkan atas perasaan

yang ditimbulkan pada pembicara, penulis, pendengar ataupun pembaca (Kridalaksana,

2011: 46, 132). Sesuai kedua definisi di atas dapat dikatakan makna denotasi

merupakan makna langsung atau makna lugas yang bersifat objektif, sedangkan makna
21

denotasi merupakan makna dalam yang ditimbulkan oleh pembaca atau penulis yang

memiliki maksud tertentu.

Anda mungkin juga menyukai