KAJIAN TEORI
Mantra merupakan salah satu bentuk dari sastra lisan yang sampai saat ini
digunakan dan dilestrarikan di masyarakat. Adanya tradisi lisan masih eksis dan hidup
di masyarakat tidak terlepas dari adanya dukungan tradisi penuturan lisan (Sulistyorini,
2017: 4). Penuturan secara lisan pada acara kenduri dituturkan oleh seseorang yang
Sastra lisan pada dasarnya merupakan bentuk sastra yang sudah ada turun-
temurun dari pemiliknya. Sastra lisan merupakan bentuk sastra yang disampaikan
secara lisan, sastra tersebut lebih menitikberatkan pada pewarisan secara lisan kepada
generasi selanjutnya (Qoriah, dkk, 2018: 2). Oleh karena itu, sastra lisan selalu
berkaitan dengan konteks penuturannya. Pada kegiatan masyarakat Jawa seperti dalam
acara kenduri, metri, pitonan, slametan selalu menggunakan mantra dan diiringi dengan
daerah dan dapat mengalami perubahan. Tradisi lisan bukanlah sebuah produk akhir
yang diwariskan antar generasi tanpa melalui proses perubahan, akan tetapi tradisi lisan
merupakan buah produk dan proses yang terus terjadi dalam setiap generasi (Pratiwi,
dkk, 2018: 32). Artinya mantra atau sastra lisan diturunkan ke generasi selanjutnya bisa
10
11
zaman. Pemilik berhak merubah kata maupun kalimat yang dirasa tidak sesuai dengan
Dalam penuturan mantra atau sastra lisan pastinya memiliki tujuan-tujuan yang
tersemat di dalamnya. Menurut Ahmadi (dalam Bahardur dan Ediyono, 2017: 26)
mantra merupakan bagian dari magis yang memiliki tujuan; produktif (bertujuan
magis.
Terdapat beberapa ciri-ciri khusus yang melekat pada keberadaan sastra lisan
dibandingkan dengan sastra konvensional lainnya. Ciri-ciri sastra lisan menurut Taum
(2011: 24) sastra lisan merupakan teks sastra yang dituturkan secara lisan, sastra lisan
ada dengan berbagai bahasa daerah, sastra lisan selalu hadir dengan versi yang berbeda-
beda, mempunyai fungsi atau kegunaan di masyarakat, dan sastra lisan memiliki
konvensi atau kesepakatannya sendiri. Dengan ciri-ciri tersebut, sastra lisan merupakan
bentuk yang sangat berbeda dengan karya sastra lainnya. Sastra lisan pada saat ini
masih eksis dan berkembang di masyarakat pemiliknya dengan versi yang berbeda-
Pendapat lain mengemukakan sastra lisan memiliki ciri-ciri khusus yang dapat
membedakan sastra lisan dengan karya sastra lainnya. Ciri sebuah sastra lisan adalah
12
tergantung pada konteks (penutur, pendengar, ruang, dan waktu), antara penutur dan
pendengar terjadi kontak fisik, saran komunikasi dilengkapi paralinguistik, dan bersifat
anonim (Muslim, 2011: 127). Artinya dalam penuturan sastra lisan selalu diiringi oleh
konteks yang melatarbelakangi adanya penuturan sastra lisan seperti dalam acara
kenduri dan upacara adat. Adanya hubungan atau kontak langsung antara penutur dan
pendengar yang dilakukan dengan suara dan vocal dari tokoh agama sebagai penutur.
Ciri yang terakhir sastra lisan yakni anonim atau seseorang yang menciptakannya
Dengan ciri-ciri sastra lisan di atas, terdapat bahan sastra lisan yang terdiri dari
tiga bahan. Pertama bahan yang bercorak cerita, bahan yang bercorak bukan cerita, dan
bahan yang bercorak tingkah laku (Muslim, 2011: 127). Bercorak cerita seperti halnya
mitos, legenda, dan cerita tutur. Bahan bercorak bukan cerita misalnya ungkapan,
nyanyian, perbahasa, teka-teki, dan puisi lisan. Bahan bercorak tingkah laku seperti
drama panggung dan drama arena. Dengan demikian jenis sastra lisan dapat dikatakan
Mantra dapat digolongkan ke dalam kategori bahan bercorak bukan cerita atau
lebih tepatnya puisi lama. Mantra tergolong ke dalam jenis puisi lama karena
bentuknya yang tetap dan bersajak, mantra dapat terjadi dari satu, dua, tiga, atau lebih
yang berisi untaian kalimat berirama serta memiliki makna yang unik (Suwanto, 2004:
323). Artinya setiap mantra memiliki struktur dan bahasanya masing-masing, tidak
13
terikat dengan jumlah kata maupun kalimat, namun tetap memiliki irama yang enak
2.4 Mantra
Mantra pada dasarnya berasal dari Bahasa Sanskerta yakni Man yang berarti
pikiran dan kata Tra yang berarti pembebasan, jadi mantra merupakan kegiatan
hening (Aswinarko, 2013: 122). Artinya mantra pada hakikatnya digunakan sebagai
Mantra merupakan salah satu bentuk dari karya sastra berupa puisi lama yang
identik dengan kekuatan mistis. Mantra merupakan puisi lama yang berisikan pujian
pujian terhadap sesuatu yang gaib atau sesuatu yang dikeramatkan seperti dewa-dewa,
roh leluhur, roh binatang, atau bahkan Tuhan (Wijaya, 2016: 354). Dalam keyakinan
masyarakat Jawa, mantra selalu digunakan dalam acara-acara yang berkaitan dengan
spiritual. Mantra merupakan hal yang diturunkan turun-temurun secara lisan dan
daerah. Mantra berkaitan dengan sikap religius manusia untuk meminta sesuatu kepada
hubungan kepada-Nya (Suwanto, 2004: 320). Dengan demikian, mantra menjadi hal
yang sangat penting dalam setiap gelaran atau acara yang berhubungan dengan
spiritual. Mantra bersifat sakral dan tidak sembarangan orang bisa menggunakan
mantra, hanya dukun atau orang yang diberi wewenang oleh generasi sebelumnya.
berupa susunan kata yang diucapkan oleh seseorang yang diyakini memiliki kekuatan
magis. Mantra mempunyai karakteristik tersendiri yakni memiliki bahasa yang literer,
maksudnya mantra selain mempunyai nilai estetika atau keindahan juga diyakini
memiliki kekuatan magis di dalamnya (Aswinarko, 2013: 119). Nilai estetika tersebut
Karakteristik lain dari mantra adalah sesuatu yang bersifat mengajak dan
adanya penggunaan diksi magis yang bertujuan mendapatkan efek magis dan seringkali
diksi mantra sulit dipahami (Aswinarko, 2013: 122). Artinya penggunaan mantra pada
dasarnya memberikan sugesti ke dalam pikiran seseorang, agar orang tersebut mudah
untuk mempercayai sesuatu yang diinginkan. Seringkali diksi yang digunakan dalam
mantra sulit dipahami oleh pendengan atau pembaca. Maka dalam penelitian ini
pembedahan makna akan dikonfirmasi kepada sesepuh desa agar penelitian yang
2.5 Semiotika
semua yang ada di dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda yakni sesuatu yang
harus diberi makna (Hoed, 2011: 3). Semiotika memfokuskan kajian tanda sebagai
sesuatu yang memiliki makna. Melihat setiap kehidupan manusia sebagai tanda yang
memiliki makna, dan merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan
tertentu. Semiotika memandang adanya sistem tanda yang berkaitan satu sama lain
sastra. Penggalian makna melalui tanda-tanda yang tergambar dan tersirat dalam karya
sastra sangat erat dengan semiotika yang berfokus pada sistem tanda. Semiotika
merupakan sarana yang digunakan untuk menghubungkan karya sastra dengan makna
dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya melalui tasebuah interpresi (Ambarini dan
Umaya, 2010: 19). Dengan memanfaatkan semiotika pada penelitian sastra, dapat
sebuah karya sastra. Melalui tanda-tanda yang muncul terdapat makna yang muncul
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji sebuah tanda,
(John, dkk, 2017: 36). Tanda merupakan tujuan utama dari kajian semiotika yang di
melibatkan bahasa sebagai alat atau media komunikasi yang memiliki banyak sistem
16
tanda. Semiotika juga mengemukanan adanya makna denotasi dan konotasi yang
digunakan dalam menganalisis suatu tanda. Makna denotasi dapat diartikan sebagai
makna permukaan sebuah teks. Sedangkan konotasi adalah makna yang ada dalam
peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial, adanya relasi antara tanda dan
kehidupan sosial (Sulistyorini, 2017: 41). Dengan demikian keduanya saling berkaitan,
tanda yang merupakan bagian kehidupan sosial yang memuat aturan-aturan sosial yang
dalam tanda-tanda yang tersirat di dalam sebuah karya. Pada dasarnya karya sastra
dalam kajian ini akan menggunakan semiotika Roland Barthes. Semiotika merupakan
penanda mengungkapkan petanda, tidak hanya dua terma tersebut melainkan semiologi
terdapat tiga penanda, petanda, dan tanda (Barthes, 2006: 300). Dapat dipahami dari
pengertian tersebut, bahwa semiotika melihat adanya tiga terma yakni petanda,
penanda, dan tanda. Ketiga terma tersebut merupakan kesatuan yang memiliki korelasi
Dari paparan Barthes melalui gambar di atas, dapat dilihat adanya tiga terma
seperti yang dikatakan sebelumnya yakni penanda, petanda, dan tanda. Hubungan
antara penanda dan petanda tersebut akan membentuk tanda. Ketiganya membentuk
korelasi yang saling berhubungan. Penanda dan petananda memberikan tanda, yang
bentuk formal yang menandai petanda, atau petanda merupakan sesuatu yang ditandai
oleh petanda.
denotasi dan konotasi. Referensi yang terdiri dari first order of signification yaitu
mengacu pada tingkat denotasi, dan second order of signification yaitu mengacu pada
tingkat konotasi, tatanan pertama mencakup penanda dan petanda yang membentuk
tanda, tanda inilah yang dinamakan sebagai konotasi (Nuswantara, 2014:15). Artinya
dalam tingkat penanda, denotasi merupakan bentuk dari sebuah petanda. Petanda
berwujud makna, konsep, dan gagasan, sedangkan penanda merupakan yang gambaran
Pemaknaan dalam teori semiotika Roland Barthes terbagi menjadi dua tahapan.
sementara konotasi merupakan tingkat kedua (Rokhanyo, 2019: 24). Dapat diartikan
18
bahasa itu sendiri. Dalam pengertian umum makna denotasi dikenal sebagai makna
harfiah atau makna yang sebenarnya. Sedangkan pemaknaan tahap kedua merupakan
hubungan antara penanda dan petanda yang membenetuk makna di dalamnya yang
tersampaikan secara tidak langsung atau tersirat. Faktor penting dalam pemaknaan
konotasi adalah penanda dan petanda yang saling berhubungan membentuk tafsiran
Petanda dan penanda merupakan dua sistem pemaknaan yang berbeda yang
Denotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara tanda dan
merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan antara penanda dan petanda yang di
dalamnya terdapat makna tersirat atau implisit (Nuswantara, 2014:15). Makna tersebut
dapat dikatakan sebagai tanda atau simbol yang di dalamnya memiliki makna implisit
sebagai denotasi, atau makna yang telah dikenal secara umum. Denotasi disebut
sebagai sistem pertama, sedangkan sistem kedua biasanya pemakai tanda akan
mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah yakni penanda (E) dan petanda (C)
(Barthes dalam Hoed, 2011: 13). Pengembangan ke arah (E) atau yang disebut
metabahasa terjadi apabila pemakai tanda memberikan bentuk yang berbeda kepada
makna yang sama. Sedangkan pengembangan ke arah petanda (C) terjadi apabila
Dalam penelitian kali ini, lebih menekankan pada pemaknaan tanda sebagai
konotasi. Konotasi merupakan makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai
masyarakatnya (Hoed, 2011, 13). Dengan demikian, konotasi diberikan oleh pemakai
tanda, untuk menjelaskan bagaimana gejala budaya yang dilihat sebagai tanda
memperoleh makna khusus dari masyarakat. Tentu saja ada makna lain yang mungkin
oleh pemakai tanda, konsep konotasi ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana
gejala budaya yang dilihat sebagai tanda memperoleh makna khusus dari anggota
masyarakat (Barthes dalam Hoed, 2011: 4). Artinya gejala atau semua yang berkaitan
dengan budaya yang ada di masyarakat dilihat sebagai tanda yang memiliki makna
Interpretasi dilakukan terhadap tanda verbal dan tanda non-verbal, pemaknaan tanda
tersebut bukan hanya berbentuk tuturan oral, akan tetapi juga dapat berbentuk benda-
benda atau yang lain sebagaianya yang memiliki modus representasi (Sulistyorini dan
Andalas, 2017: 48). Tanda verbal mengacu pada unsur-unsur verbal yang mengandung
mengacu pada tanda-tanda selain kata atau tuturan. Bahasa sebagai tanda verbal dalam
penelitian ini berbentuk tuturan oral yakni berupa mantra atau sastra lisan yang
Tanda dapat ditemukan melalui simbol-simbol yang ada pada sebuah karya
ataupun upacara kegiatan. Sulistyorini, (2017: 44) menyatakan bahwa hubungan antara
kesepakatan oleh para pemiliknya. Pemberian makna tersebut mengacu pada tanda-
tanda yang memiliki kaitan dengan budaya, situasi, dan kondisi terkini.
Makna merupakan sebuah hal yang tersirat di dalam sebuah tanda atau simbol
baik verbal maupun non-verbal. Makna muncul dari hubungan khusus antara kata
sebagai simbol verbal dan manusia, makna tidak melekat pada kata-kata namun melalui
45). Dengan demikian, kata atau tanda dapat memberikan penafsiran makna dalam
pikiran orang yang melihat atau mendengarkan. Makna dapat dilihat dari tanda verbal
hendak disampaikan.
Makna denotasi dapat juga dikatakan sebagai arti luar sebuah teks, sedangkan
makna konotasi merupakan sebuah makna yang disampaikan di dalam sebuah teks.
Denotasi merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan
yang lugas berdasarkan konvensi tertentu dan bersifat objektif, adapun konotasi
merupakan aspek makna sebuah atau kelompok kata yang didasarkan atas perasaan
2011: 46, 132). Sesuai kedua definisi di atas dapat dikatakan makna denotasi
merupakan makna langsung atau makna lugas yang bersifat objektif, sedangkan makna
21
denotasi merupakan makna dalam yang ditimbulkan oleh pembaca atau penulis yang