Anda di halaman 1dari 71

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Indonesia sangatlah beragam, dari

budaya, adat, agama, kepercayaan, kesenian hingga kesusastraan. Sebagian besar

kearifan lokal berkembang di Pulau Jawa, Bali dan Lombok, ketiga pulau yang masih

memiliki hubungan kekerabatan ini menyimpan banyak kearifan yang menarik dan

unik terutama dalam bidang kesusastraan. Dengan berkembangnya kerajaan

Majapahit yang menjadi tonggak keemasan perkembangan kesusastraan di Jawa, Bali

dan Lombok, banyak karya sastra yang diciptakan pada masa itu diantaranya kakawin

Něgarakěrtagama, kakawin Sutasoma, kakawin Partayajña dan masih banyak yang

lain.

Kakawin merupakan salah satu hasil karya sastra berbentuk puisi yang

menggunakan bahasa Jawa Kuna. Istilah kakawin berasal dari bahasa sansekerta yaitu

kawi, dan dalam sansekerta klasik berarti “seorang penyair”. Kata kawi diserap ke

dalam bahasa jawa kuna dan terbentuklah kata benda baru yang berakar pada kata

kawi yakni mengalami proses afiksasi dengan adanya penambahan konfiks ka- -ĕn,

selanjutnya vokal /ĕ/ pada sufiks ĕn luluh karena mengalami proses persandian

dengan vokal /i/ pada kata kawi sehingga terbentuk kata kakawin yang berarti “karya

seoang penyair, syairnya” (Zoetmulder, 1985: 119). Sedangkan menurut Medera

(1982: 11-12) Kakawin ialah karya sastra berbentuk puisi Jawa Kuna. Kakawin
2

merupakan syair Jawa Kuna yang dibangun dalam bentuk wirama dan diikat oleh

aturan guru-laghu.

Tradisi penulisan karya sastra kakawin di Bali berlangsung pada kurun waktu

yang cukup panjang. Karya sastra kakawin pertama kali ditulis di Jawa pada peiode

Jawa Tengah hingga periode Jawa Timur sejak abad ke-9 sampai ke-15 (Zoetmulder,

1985: 18-25). Bedasarkan kurun waktu penulisannya kakawin dapat dibedakan

menjadi dua yaitu kakawin mayor dan kakawin minor. Kakawin mayor adalah

kakawin yang dihasilkan pada abad ke-9 sampai ke-15 sebelum masa pemerintahan

kerajaan Majapahit. Adapun kakawin yang tergolong dalam kakawin mayor antara

lain Kakawin Ramayana, Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Arjuna Wiwaha, dan

lain–lain. Sedangkan kakawin minor adalah kakawin yang lebih muda dan

kemunculannya pada akhir jaman Majapahit hingga saat ini. Adapun yang tergolong

kakawin minor diantaranya Kakawin Subadra Wiwaha, Kakawin Partha Yajnya dan

Kakawin Hari Wijaya (Zoetmulder, 1985: 480-507).

Perkembangan kakawin di Bali diawali pada masa Kerajaan Gelgel dilanjutkan

pada masa Kerajaan Klungkung. Kakawin yang muncul pada masa kerajaan Gelgel

yaitu Kakawin Anyang Nirartha dan Kakawin Sarakusuma Karya Dang Hyang

Nirartha (Berg, 1927: 31). Sementara itu kakawin yang muncul pada masa kerajaan

Klungkung antara lain: Kakawin Astikayana, Kakawin Irawantaka dan Basa

Wawatekan, Kakawin Prĕtuwijaya, dan kakawin Sakraprajaya karya Anak Agung

Gde Pemeregan bersama Dewa Agung Istri Kanya. Abad 21 dewasa ini juga masih

berlangsung kegiatan mengarang kakawin, walaupun tidak seproduktif dulu. Adapun


3

karya sastra kakawin tersebut antara lain: Kakawin Ekadasa Siwa karya Made

Degung (dari Sibetan Karangasem); Kakawin Chandrabañu karya I Wayan Pamit

(dari Kayu Mas, Denpasar); Kakawin Anda Buana karya I Wayan Seregeg (dari

Pengastulan Buleleng) dan Kakawin Bali Sabha Langő karya I Nyoman Adi Putra

(dari Susut Bangli). (Suarka, 2007: 43-45).

Studi bahasa dan sastra Jawa Kuna khususnya dalam bentuk karya sastra

kakawin mengalami perkembangan. Begitu banyak para sarjana Indonesia maupun

sarjana asing yang telah mengkaji karya sastra Jawa Kuna secara ilmiah. Hal ini

disebabkan karena karya sastra Jawa Kuna memiliki nilai-nilai budaya adiluhung

yang patut diketahui relevansinya dalam kehidupan masyarakat. Pada kesempatan ini

akan dikaji karya sastra kakawin yaitu Kakawin Putra Śāsana.

Setiap rentetan kalimat yang muncul tentu memiliki maksud yang ingin

disampaikan oleh penutur kepada lawan tutur, dan penulis kepada pembaca. Oleh

karena itu, sangat penting mengetahui struktur kewacanaan dalam Kakawin Putra

Śāsana. Wacana merupakan unsur kebahasaan yang kompleks dan paling lengkap

(Mulyana, 2005: 1). Teks bukan suatu ruang hampa yang mandiri, akan tetapi teks

dibentuk dalam suatu praktik diskursus.

Penelitian ini mengkaji struktur wacana menurut teori analisis wacana Teun A.

Van Dijk yang sering dikenal dengan critical discourse analysis atau analisis wacana

kritis. Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada

analisis karena teks juga merupakan suatu praktek produksi yang perlu diamati. Van

Dijk dalam Eriyanto (2006: 221) menggambarkan bahwa wacana mempunyai tiga
4

dimensi yaitu: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Pada tataran ini analisis

wacana termasuk ke dalam kategori paradigma kritis. Wacana di sini tidak dipahami

semata sebagai studi bahasa, meskipun analisis wacana menggunakan bahasa dalam

teks untuk dianalisis seperti pada linguistik tradisional, bahasa dianalisis bukan

dengan menggambarkan dari aspek kebahasaannya saja, tetapi juga

menghubungkannya dengan konteks tertentu (Eriyanto, 2006: 7).

Kakawin Putra Śāsana ini berisi tentang aturan-aturan dan tingkah laku yang

wajib diketahui dan dilakukan oleh seorang anak. Dijelaskan pula mengenai sikap

seorang anak yang wajib mengetahui tentang etika (susila) agar anak tersebut menjadi

manusia yang baik di mata orang tua, lingkungan, dan Tuhan. Dewasa ini, banyak

anak muda yang tidak memiliki budi baik disebabkan pergaulan yang semakin bebas

dan terbawa arus globalisasi. Semakin hari pola pergaulan tersebut semakin merusak

moral generasi muda. Tujuannya untuk menyikapi hal tersebut maka penelitian

mengenai Kakawin Putra Śāsana perlu dilakukan. untuk menggali struktur

kewacanaan beserta fungsi dan makna yang terkandung di dalam Kakawin Putra

Śāsana. Hal itu diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai

karya sastra kakawin terutama informasi yang ada dalam Kakawin Putra Śāsana.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dikemukakan

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur wacana Kakawin Putra Śāsana?

2. Fungsi dan Makna apa yang terdapat dalam Kakawin Putra Śāsana?
5

1.3 Tujuan Penelitian

Sebuah penelitian tentu memiliki sebuah tujuan yang diharapkan dapat tercapai

setelah rumusan masalah sudah terpecahkan. Adapun tujuan penelitian ini terbagi

menjadi dua, yaitu:

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan karya sastra Jawa

Kuna yang berbentuk kakawin. Penelitian ini bukan hanya bertujuan sebagai

penunjang bahan studi dalam penelitian sastra tradisional saja, tetapi juga bermanfaat

sebagai bahan bacaan bagi masyarakat penikmat karya sastra.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur wacana dalam

Kakawin Putra Śāsana serta mengetahui fungsi dan makna yang terdapat dalam

Kakawin Putra Śāsana.

1.4 Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian ilmiah pasti dapat memberikan manfaat terhadap masyarakat

maupun terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan rumusan masalah

dan tujuan penelitian di atas maka manfaat dari penelitian ini diuraikan sebagai

berikut.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan ilmu

pengetahuan dalam bidang bahasa dan sastra Jawa Kuna, khususnya dalam penelitian
6

sastra kakawin. Serta dapat dijadikan acuan untuk para peneliti pada penelitian

selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat untuk menumbuhkembangkan bahasa dan sastra Jawa

Kuna yang saat ini semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Hasil dari penelitian ini

akan bermanfaat bagi generasi muda dalam memberikan inspirasi agar ikut andil

dalam memperhatikan bahasa dan sastra Jawa Kuna sebagai salah satu khazanah

budaya nusantara. Serta bagi masyarakat luas agar dapat mengetahui nilai-nilai positif

yang terkandung dalam Kakawin Putra Śāsana dana dapat diterapkan dalam

kehidupan bermasyarakat.

1.5 Jangkauan

Jangkauan memiliki fungsi untuk membatasi permasalahan atau objek yang

akan di teliti, sehingga nantinya dapat membatasi ruang lingkup penelitian agar tidak

jauh menyimpang dari masalah yang akan dikaji (Pratama, 2013: 7).

Adapun jangkauan penelitian analisis wacana kritis Kakawin Putra Śāsana

meliputi analisis stuktur kewacanaan Kakawin Putra Śāsana yang digambarkan

dalam tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Wacana dilihat dari

analisis teks terbagi ke dalam tiga tingkatan yaitu struktur makro yang berisi makna

global (tematik), seperstruktur yang merupakan kerangka suatu teks (skematik), dan

stuktur mikro yang meniliti makna wacana diamati dari bagian kecil suatu teks

(semantik, sintaksis, stilistik dan retoris) dan analisis kognisi sosial dan konteks sosial

untuk membongkar makna yang terkandung dalam suatu teks.


7

1.6 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian berfungsi untuk memperjelas ruang lingkup

penelitian (Pratama, 2013: 7). Adapun sistematika penyajian yang akan disajikan

adalah sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan. Berisi pokok bahasan yang meliputi, latar

belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat, jangkauan dan sistematika penyajian.

Bab II berisi tentang uraian singkat mengenai kajian pustaka, konsep dan landasan

teori. Sedangkan dalam bab III berisi mengenai metode, teknik, dan sumber data

penelitian.

Bab IV merupakan bab pembahasan berisi tentang struktur wacana Kakawin

Putra Śāsana yang terbagi dalam tiga dimensi yaitu Wacana dilihat dari analisis teks

terbagi ke dalam tiga tingkatan yaitu struktur makro yang berisi makna global

(tematik), seperstruktur yang merupakan kerangka suatu teks (skematik), dan stuktur

mikro yang meniliti makna wacana diamati dari bagian kecil dari suatu teks

(semantik, sintaksis, stilistik dan retoris) dan analisis kognisi sosial dan konteks sosial

untuk membongkar makna yang terkandung dalam suatu teks.

Bab V membahas Fungsi dan makna yang terdapat dalam Kakawin Putra

Śāsana yang meliputi fungsi pendidikan, fungsi sasana, dan fungsi etika (susila),

makna suputra dan makna pengendalian diri. Bab VI merupakan bagian penutup

yang berisi simpulan dan saran.


8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis referensi seperti

buku, jurnal, paper, artikel, skripsi, tesis. Disertasi dan karya ilmiah lain yang dikutip

dalam penulisan proposal. Semua referensi yang tertulis dalam kajian pustaka harus

dirujuk dalam skripsi (Hermana, 2003: 46).

Sebuah penelitian memerlukan peninjauan terhadap kepustakaan untuk

mendapatkan sumber-sumber yang jelas dan pasti dengan pemasalahan yang

diangkat. Kakawin Putra Śāsana dalam perkembangannya belum ada yang meneliti

sehingga acuan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu:

1. Hasanah (2017) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Wacana

Kritis Kidung Ruměksa ing Wěngi”. Penelitian ini mengkaji wacana

menggunakan model teori Teun A. Van Dijk. Analisis teks dilihat dari

struktur wacana Kidung Ruměksa ing Wěngi yang terbagi dalam tiga

dimensi yaitu, wacana dilihat dari analisis teks yang terbagi ke dalam tiga

tingkatan yaitu: struktur makro yang berisi makna global (tematik),

superstruktur yang merupakan kerangka suatu teks (skematik), dan

struktur mikro yang meneliti makna wacana diamati dari bagian kecil

suatu teks (semantik, sintaksis, stilistik dan retoris). Kemudian wacana

dilihat dari dimensi kognisi sosial dan konteks sosial untuk membongkar
9

makna yang terkandung dalam suatu teks. Serta membahas fungsi dan

makna yang terdapat dalam teks Kidung Ruměksa ing Wěngi. Penelitian

Kidung Ruměksa ing Wěngi memiliki kesamaan pada penggunaan model

teori Teun A. Van Dijk sehingga dapat dijadikan sebagai acuan teori

dalam penelitian Kakawin Putra Śāsana.

2. Winaya (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Wacana

Tutur Tingkah Dadi Wwang”. Penelitian ini mengusung dua rumusan

masalah yaitu (1) bagaimana struktur wacana yang membangun teks Tutur

Tingkah Dadi Wwang dan (2) fungsi dan makna apa saja yang terdapat di

Tutur Tingkah Dadi Wwang. Dari kedua rumusan masalah ini didapat

suatu hasil berupa ajaran bhakti yang merupakan suatu tindakan hormat,

ajaran bhakti yang diuraikan dalam Tutur Tingkah Dadi Wwang ialah

bhakti terhadap tri guru yaitu bhakti kepada orang tua (Guru Rupaka),

bhakti terhadap guru yang mengajar dan memberi ilmu pengetahuan

(Guru Pengajian), serta bhakti kepada pemerintahan (Guru Wisesa) sesuai

dengan ajaran agama Hindu (Winaya, 2016: 37). Analisis wacana Tutur

Tingkah Dadi Wwang memiliki fungsi dan makna bagi masyarakat hindu

dalam memahami ajaran bhakti terhadap tri guru, pengagungan dan

pemuliaan kepada Tuhan (Guru Swadyaya), serta ajaran karmaphala.

Kajian pustaka di atas digunakan sebagai pembanding pada acuan teori yang

dipakai dan dapat diketahui bagaimana peneliti terdahulu mengaplikasikan teori

wacana terhadap objek kajian Kakawin Putra Śāsana.


10

2.2 Konsep

Konsep adalah istilah atau simbol yang merujuk pada suatu pengertian tertentu.

Konsep juga berarti sesuatu yang abstrak tetapi menunjuk pada sesuatu yang jelas

(Gulo, 2002: 8). Dengan demikian, maka konsep yang dikemukakan dalam Kakawin

Putra Śāsana akan diuraikan sebagai berikut:

2.2.1 Wacana

Wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling

lengkap (Mulyana, 2005: 1). Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta

wak/wac/vak, artinya ‘berkata’. Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup

morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III Parasmaepadam yang

bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kata tersebut kemudian mengalami

perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks

(akhiran), yang bermakna ‘membedakan’ (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat

diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’ (Mulyana, 2005: 3). Sedangkan (Ratna,

2015: 244) mengatakan secara etimologis wacana berasal dari vacana (Sansekerta),

berarti kata-kata, cara berkata, ucapan, pembicaraan, perintah dan nasihat. Wacana

dalam (kridalaksana, 1993: 212) merupakan deretan kalimat, kata yang membentuk

ujaran yang berupa bahasa tertulis yang disebut naskah.

Wacana dalam studi linguistik mengkaji tentang aspek kebahasaan dari kata,

frasa, kalimat secara independen (bentuk linguistik formal). Dalam perkembangannya

analisis wacana terhadap sebuah teks, namun meneliti juga relasi atau hubungan

kalimat yang satu dengan kalimat lainnya. Wacana dalam studi sosiologi menunjuk
11

pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Wacana dalam studi

psikologi sosial diartikan sebagai suatu pembicaraan. Wacana di sini lebih mirip

dengan struktur dan bentuk wawancara atau praktik dari pemakaian bahasa. Wacana

dalam studi politik merupakan praktik pemakaian bahasa, terutama bahasa politik

(Eriyanto, 2006: 3). Dari definisi wacana dalam berbagai ilmu di atas dapat diketahui

bahwa wacana berhubungan dengan studi bahasa atau pemakaian bahasa.

Eriyanto (2006: 5) memaparkan terdapat tiga pandangan mengenai bahasa

dalam analisis wacana. Pandangan pertama diwakili oleh positivism empiris, titik

perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa itu secara gramatikal. Istilah itu

sering disebut dengan istilah kohesi dan koherensi. Pandangan itu disebut dengan

wacana struktural. Pandangan kedua disebut konstruktivisme. Pandangan itu

memandang analisis wacana sebagai suatu tindakan membongkar maksud dan

makna-makna yang ada dalam wacana. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai

sesuatu yang tidak memiliki makna, melainkan sesuatu yang disusun, dibuat,

diciptakan dengan tujuan tertentu. Pandangan itu sering disebut sebagai wacana

fungsional yaitu bahasa sebagai suatu bentuk sentral yang menghubungkannya

dengan kehidupan sosial pengguna bahasa. Pandangan ketiga disebut pandangan

kritis. Pandangan itu mengoreksi kedua pandangan sebelumnya yang dinilai kurang

sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna. Wacana tidak hanya

menggambarkan aspek kebahsaan semata, tetapi juga menghubungkan dengan

konteks yang berarti bahasa digunakan untuk tujuan dan praktik tertentu.
12

2.2.2 Kakawin

Kakawin adalah nyanyian klasik yang terikat oleh guru laghu, yaitu aturan letak

matra pada tiap-tiap wrĕtta (suku kata) yang ditentukan sesuai dengan metrum

(wirama) yang digunakan dalam kesatuan pupuhnya. (Sugriwa, 1978: 12). Sedangkan

menurut Suarka (2009: 1) kakawin merupakan salah satu jenis karya sastra Jawa

Kuna yang berbentuk puisi dan diikat oleh aturan metrum guru laghu, sedangkan

bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuna. Istilah kakawin berasal dari bahasa

Sansekerta, yakni kata kawi. Pada mulanya, dalam bahasa sansekerta kata kawi

berarti “seorang yang mempunyai pengertian luar biasa, seseorang yang dapat melihat

hari depan, orang bijak (Zoetmulder, 1995: 28).

2.2.3 Putra Śāsana

Kata ‘Putra Śāsana’ terdiri dari dua kata yaitu ‘putra’ dan ‘śāsana’. Menurut

Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Zoetmulder, 1995: 893) kata ‘putra’ berasal dari

Bahasa Sansekerta yang diadopsi dalam Bahasa Jawa Kuna yang berarti seorang

anak, anak laki-laki, berbagai macam anak. Sedangkan kata ‘śāsana’ berarti perintah,

ajaran, doktrin, disiplin, aturan, kumpulan undang-undang (Zoetmulder, 1995: 1050).

Dengan demikian kata ‘putra śāsana’ berarti ‘tingkah laku seorang anak’. Kakawin

Putra Śāsana ini menceritakan tentang aturan-aturan yang wajib dilakukan oleh

seorang anak. Dijelaskan pula mengenai sikap seorang anak yang wajib mengetahui

etika agar anak tersebut menjadi manusia yang baik dimata orang tua, lingkungan dan

Tuhan.
13

2.3 Landasan Teori

Landasan teori adalah teori-teori yang dianggap paling relevan untuk

menganalisis objek (Ratna, 2010: 281). Dalam penelitian ini digunakan teori wacana

kritis Teun A Van Dijk dengan menggunakan model tiga dimensi yaitu teks, kognisi

sosial dan konteks sosial.

2.3.1 Teori Wacana

Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan dan menghubungkan

proposisi yang satu dengan yang lainnya dalam kesatuan makna. Wacana merupakan

unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap (Mulyana, 2005:

1). Menurut Darma (2013: 3) wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian

tindak tutur yang mengungkapkan satu hal yang disajikan secara teratur, sistematis,

dalam satu kesatuan koheren, dibentuk oleh unsur-unsur segmental dalam sebuah

wacana yang paling besar. Wacana atau discourse merupakan satuan unit bahasa

terbesar dan terlengkap dalam tataran linguistik yang mengandung konteks sebagai

unsur utama kemaknaannya. Dalam memahami realitas yang terkandung dalam

wacana yang berupa teks tidak dapat dilepaskan dari konteks produksi teks, konsumsi

teks dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks (Darma, 2014:6).

Membahas mengenai tindak tutur tidak akan lepas dari bahasa. Wacana dan

teks hanya dipegang oleh bahasa. Menurut Ratna (2015: 243) pengertian naskah sama

dengan karya. Naskah atau karya merupakan artefak, di mana wacana dan teks

mewujudkan identitasnya. Jika ujaran dan tuturan merupakan bagian dari wacana

lisan, maka teks dan naskah merupakan bagian dari wacana tulis dengan memegang
14

bahasa sebagai identitasnya. Wacana sering didefinisikan dalam dua cara, sebuah unit

bahasa khusus di atas kalimat, dan sebuah fokus khusus di luar kalimat, dua definisi

wacana ini dikenal sebagai analisis wacana strukturalis (formalis) dan analisis wacana

fungsionalis. Adapun perbedaanya menurut Schiffrin (2007: 25) sebagai berikut:

Perbedaan Wacana Struktural dan Fungsional

STRUKTURAL FUNGSIONAL

Struktur bahasa (kode) sebagai Struktur tuturan (tindak peristiwa)


1.
grammar (tata bahasa). sebagai cara bertutur.
Analisis penggunaan bahasa lebih
Penggunaan bahasa hanya pelengkap, diutamakan daripada analisis kode:
mungkin terbatas, mungkin organisasi penggunaan bahasa
2. berhubungan dengan apa yang menyingkap hubungan dan ciri
dianalisis sebagai kode: analisis kode tambahan: menunjukkan kode dan
mendahului analisis penggunaan. penggunaan bahasa dalam hubungan
integral (dialektis).
Fungsi referensial penggunaan secara Keseluruhannya merupakan fungsi
3.
semantik sebagai norma. sosial atau gaya bahasa.
Elemen-elemen dan unsur analitis
Elemen-elemen dan struktur-struktur
bersifat arbitrer (menurut pandangan
bahasa dianggap sebagai kecocokan
4. historis atau lintas budaya) atau
emografi (dari segi psikiatris dalam
bersifat semesta (menurut pandangan
pengertian sapir).
teoritis).
Kesamaan fungsional (adaptis) dari Perbedaan fungsional (adaptif) dari
5. bahasa-bahasa: semua bahasa pada bahasa-bahasa, varietas, gaya bahasa,
dasarnya sama. pada dasarnya belum tentu sama.
Masyarakat tutur sebagai matriks
Satu komunitas dan kode yang
6. repertoar-kode, atau gaya tutur yang
homogeny (replikasi keseragaman).
berbeda (organisasi keragaman).

Eriyanto (2006: 5) memaparkan terdapat tiga pandangan mengenai bahasa

dalam analisis wacana. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-

empiris, titik perhatian di dasarkan pada benar tidaknya bahasa itu secara
15

gramatikal. Istilah itu sering disebut dengan kohesi dan koherensi. Pandangan itu

disebut dengan wacana struktural. Pandangan kedua, disebut konstruktivisme.

Pandangan tersebut melihat wacana sebagai suatu tindakan membongkar maksud dan

makna-makna tertentu. Jadi bahasa tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang tidak

memiliki makna, melainkan sesuatu yang disusun, dibuat, diciptakan dengan tujuan

tertentu, pandangan ini sering disebut sebagai wacana fungsional yaitu bahasa sebagai

suatu bentuk sentral yang menghubungkannya dengan kehidupan sosial pengguna

bahasa. Pandangan ketiga disebut pandangan kritis, pandangan ini ingi mengoreksi

kedua pandangan sebelumnya yang dinilai kurang sensitif terhadap proses produksi

dan reproduksi makna. Wacana di sini tidak hanya menggambarkan aspek

kebahasaan semata, tetapi juga menghubungkan dengan konteks yang berarti bahasa

digunakan untuk tujuan dan praktik tertentu.

Analisis wacana kritis yang selanjutnya di sebut AWK (critical discourse

analysis) adalah analisis bahasa dalam menggunakan paradigma bahasa kritis.

Analisis wacana kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi

penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh

seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan

tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya dalam sebuah konteks harus

disadari akan adanya kepentingan, di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang

diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan (Darma, 2013: 49).

Analisis wacana yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Teun A.

Van Dijk dengan model analisis yang dikenal Critical Discourse Analysis (analisis
16

wacana kritis). Teori Van Dijk meneliti wacana tidak cukup hanya di dasarkan pada

analisis teks semata, karena teksnya hanya hasil dari suatu praktik produksi yang

harus juga diamati (Eriyanto, 2006: 221).

Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu: teks,

kognisi sosial, dan konteks sosial. Dijk menggabungkan ketiga dimensi wacana

tersebut kedalam satu kesatuan analisis. Bagaimana struktur wacana dipakai suatu

teks untuk menegaskan tema. Kognisi sosial mempelajari proses produksi teks yang

melibatkan kognisi individu. Sedangakan aspek yang ketiga yaitu konteks sosial

mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu

masalah (Darma, 2014: 126). Model analisis Van Dijk ini bisa digambarkan sebagai

berikut:

Model Analisis Van Dijk

Konteks Sosial
Kognisi Sosial

Teks

a. Teks

Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/ tingkatan yang

masing-masing bagian saling mendukung, Van Dijk membaginya kedalam tiga

tingkatan, yaitu:
17

1. Struktur makro merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat

dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya

isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.

2. Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen

wacana disusun dalam teks secara utuh.

3. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis

kata, kalimat, preposisi, anak kalimat, paraphrase yang dipakai oleh suatu teks

(Darma, 2014: 23).

Semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan

mendukung satu sama lainnya.

b. Kognisi Sosial

Analisis wacana tidak hanya dibatasi pada struktur teks semata, tetapi

bagaimana suatu teks diproduksi. Hal ini disebabkan oleh struktur wacana itu sendiri

menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat dan ideologi. Untuk

membongkar bagaimana makna dari teks, dibutuhkan suatu analisis kognisi dan

konteks sosial (Eriyanto, 2006: 260).

c. Konteks Sosial

Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) tidak dipahami semata

sebagai studi bahasa, meskipun pada akhirnya analisis wacana menggunakan bahasa

dalam teks untuk dianalisis. Bahasa dianalisis bukan semata dari aspek kebahasaan,

tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa dipakai

untuk tujuan dan praktik tertentu. Titik perhatian analisis wacana ialah dengan
18

menggambarkan teks dan konteks secara bersamaan dalam suatu proses komunikasi.

Menurut Van Dijk meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut

merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya.

Prinsip ini dapat membantu dalam mengamati bagaimana suatu teks terbangun

melalui elemen-elemen yang lebih kecil. Berikut akan diuraikan elemen wacana

menurut pandangan Van Dijk (Eriyanto, 2006: 228).

Struktur Wacana Van Dijk


Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen
Struktur Makro Tematik Topik
Tema/topik yang
dikedepankan dalam suatu
teks
Superstruktur Skematik Skema
Bagaimana bagian dan
urutan cerita diskemakan
dalam teks utuh
Struktur Mikro Semantik Latar, Detil, Maksud,
Makna yang ingin Praanggapan,
ditekankan dalam teks. Nominalisasi
Misalnya dengan memberi
detil pada suatu sisi atau
membuat eksplisit satu sisi
dan mengurangi detil sisi
lain
Struktur Mikro Sintaksis Bentuk Kalimat,
Bagaimana kalimat Koherensi, Kata Ganti
(bentuk susunan) yang
dipilih
Struktur Mikro Stilistik Leksikon
Bagaimana pilihan kata
yang dipakai dalam teks
Struktur Mikro Retoris Grafis, Metafora, Ekspresi
Bagaimana cara
penekanan dilakukan
19

2.3.2 Teori Fungsi

Fungsi terjadi dengan adanya proses antar hubungan. Oleh karena antar

hubungan terjadi baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, maka fungsi juga terjadi

baik dalam kaitannya dengan unsur-unsur dalam totalitas itu sendiri, maupun dengan

unsur-unsur di luarnya (Ratna, 2010: 348). Secara tidak langsung jika fungsi yang

dimaksud oleh Ratna di aplikasikan kedalam sebuah teks, maka fungsi itu ialah

sesuatu yang terjadi oleh adanya proses antar hubungan yang terdapat pada isi teks

tersebut terhadap makna yang terkandung dalam suatu teks dan relevansinya terhadap

kehidupan sosial kemasyarakatan.

Herbert Spencer ahli sosiologi yang berasal dari Inggris dan seorang ilmuan

sosial pertama yang memperkenalkan konsep fungsi dalam ilmu pengetahuan sosial.

Spencer membedakan antara struktur dan fungsi, dalam pembedaan itulah inti

fungsionalisme berada, struktur memiliki fungsi yang ditujukan untuk

mempertahankan keutuhan sosialnya (Turner & Maryanski, 2010: 20).

Halliday mengemukakan terdapatnya fungsi ideasional, interpersonal dan

tekstual. Fungsi ideasional merujuk pada fungsi bahasa sebagai wahana dalam

mengekspresiakan sesuatu. Pengekspresian sesuatu tersebut mestilah disertai

representasi atas sesuatu yang akan diekspresikan karena hanya melalui representasi

itulah penutur suatu bahasa dapat memahami gambaran makna kebahasaan. Fungsi

interpersonal, fungsi demikian merujuk pada fungsi bahasa yang dapat digunakan

untuk memberikan tanggapan, penilaian, penyikapan, maupun untuk meyakinkan.

Fungsi ideasional dan interpersonal tidak akan terealisasi tanpa adanya wahana
20

pembentukan teks, dengan demikian fungsi ideasional, interpersonal dan fungsi

tekstual saling berkaitan. Pengoperasian bahasa tidak dapat dilepaskan dari

penggarapan isi tuturan, gaya penutur, maupun konteks penuturnya (Aminuddin,

2010: 8).
21

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang ditujukan untuk

mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap,

kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual atau kelompok. Penelitian

kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil, sehingga menekankan makna

perbandingan dengan arti, gejala-gejala di balik data (Ratna, 2010: 102).

3.2 Sumber Data Penelitian

Data adalah sumber penelitian yang mengandung objek penelitian dan konteks.

Pada tahap pengumpulan data, data yang diperoleh dibedakan menjadi dua jenis,

yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalahdata yang langsung

ditemukan oleh peneliti di Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, yakni naskah

Kakawin Putra Śāsana yang di salin oleh Gusti Nengah Putu. Sumber data penelitian

ini berupa naskah bejudul Kakawin Putra Śāsana. Naskah ini berupa buku yang

terdiri dari 7 halaman dan sudah di alih aksarakan oleh I Made Subandia.

Teks Kakawin Putra Śāsana diawali dengan kalimat :

Awihnamāstu.

Iti Putra Śāsana.


22

Wirat Jagatnātha.

Panghyang ninghulung atpadeng kalĕngĕngan satata ri jĕng ira ng

Saraswatī, mahyun prākĕrta putra śāsana tĕhĕr nĕmahakĕna palambanging

damĕl nira ng parama paņḍita Wararuci tūtĕn inghulun, don hyang

dadyakĕnang sutā pagĕha lampah ika manuta dharma ning wĕka.

Artinya:

Semoga tiada halangan.

Ini Putra Śāsana.

Wirat Jagatnātha.

Terlihat olehku atas keindahan yang terdapat di kaki beliau Dewi

Saraswati, berkeinginan menuliskan pengetahuan mengenai aturan untuk

menjadi anak yang baik, terdapat ilmu pengetahuan yang dibuat oleh Guru

Wararuci yang dipakai sebagai acuan dalam tulisanku, hendaknya dapat

dijadikan sebagai pegangan dalam menjalankan sifat baik sebagai seorang anak.

Teks Kakawin Putra Śāsana diakhiri dengan kalimat:

Kasurat olih, I Gusti Něngah Putu, saking Padangkrěta, Amlapūra.

Puput sinurāt kāla dina, bu, pa, wara, wariga, titi, tang, ping, 3, ṡaṡih, ka, 9,

rah, 3, těnggěk, 12, Iṡaka, 1911.


23

Artinya:

ditulis oleh, I Gusti Nengah Putu, dari Padangkrěta, Amlapura, selesai

ditulis pada hari Rabu. Pada Wara Wariga, ke-3, bulan ke-9, rahina ke-3,

těnggěk ke-12, tahun 1911 Isaka.

3.2.1 Metode dan Teknik Penelitian

Keberhasilah suatu penelitian ditentukan melalui bagaimana suatu analisis

dilakukan. Dalam hubungan ini, operasionalisasi teori, metode, teknik, dan instrumen

lain sebagai alat, dan data-data formal objek penelitian. Metode berasal dari kata

methodos, bahasa Yunani yang berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti

‘menuju, melalui, mengikuti, sesudah’, sedangkan hodos berarti ‘jalan, cara, arah’.

Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk

memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk menyederhanakan masalah,

sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Teknik berasal dari kata

teknikos, bahasa Yunani, juga berarti ‘alat dan seni menggunakan alat’, teknik

bersifat paling konkret dan sebagai instrumen penulisan, teknik dapat dideteksi secara

indrawi (Ratna, 2015: 34-37).

Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini ada beberapa langkah

yaitu: metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta

metode dan teknik penyajian analisis data.

3.2.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data merupakan bagian terpenting dari suatu

penelitian. Pembacaan naskah merupakan metode yang digunakan dalam proses


24

pengumpulan data. Dalam penelitian sastra dan teks sebagai objek penelitian, untuk

memahami isi dari teks hanya dapat diperoleh melalui membaca. Membaca yang

dimaksud adalah membaca secara heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik

adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik

berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan sastra berdasarkan sistem semiotik

tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya (Pradopo, 1995: 109). Teknik

pencatatan digunakan dalam pengumpulan semua informasi dari beberapa literature

yang mengacu pada penelitian analisis wacana kritis Kakawin Putra Śāsana.

3.2.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan transkripsi

wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi lain yang telah dikumpulkan (Emzir,

2011: 85). Setelah data terkumpul, langkah berikutnya ialah melakukan analisis. Pada

tahap analisis data, data yang diperoleh diolah dengan menggunakan metode

deskriptif analitik yakni memfokuskan penelitian pada pokok permasalahan yang

akan dikaji yang dibantu dengan teknik observasi. Tahap awal dalam teknik observasi

ialah memperdayakan kemampuan yang dimiliki pengamat (observer) untuk

mengetahui makna tersembunyi melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, dan

perasaan (Ratna, 2010: 218). Pengolahan data akan disesuakan dengan kerangka

analisis wacana pada teori wacana Teun A Van Dijk dengan model yang dikenal

dengan model tiga dimensi yakni analisis teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
25

3.2.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data merupakan tahap akhir dari seluruh rangkaian penelitian.

Penyajian hasil analisis data dapat dilakukan dengan dua cara yakni: (1) perumusan

dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang

bersifat teknis, (2) perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-

lambang dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta serta memberikan pemaham dan

penjelasan sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan (Mahsun, 2014: 123).

Kedua bentuk penyajian hasil analisis data tersebut sering disebut juga dengan

metode formal dan informal. Metode inilah yang digunakan dalam penyajian hasil

analisis data yang dibantu dengan teknik pencatatan.


26

BAB IV

WACANA KAKAWIN PUTRA ŚĀSANA

4.1 Jenis Wacana

Berdasarkan bentuk atau jenisnya, Kakawin Putra Śāsana termasuk wacana

hortatori yang merupakan rangkaian tuturan yang isinya bersifat ajakan atau nasihat.

Wacana hortatori bersifat memperkuat keputusan agar lebih meyakinkan pembaca.

Berdasarkan jumlah penutur teks, Kakawin Putra Śāsana termasuk dalam kategori

wacana monolog. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya dialog atau bentuk

percakapan dalam teks tersebut. Jika dilihat dari sarananya, Kakawin Putra Śāsana

yang diteliti termasuk dalam kualifikasi wacana tulis.

4.2 Wacana Dilihat dari Analisis Teks

Analisis teks disini akan menguraikan wacana untuk menggambarkan peristiwa

tertentu, dengan cara menguraikan struktur kebahasaan secara makro (tematik),

superstruktur (skematik) dan struktur mikro (semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris).

4.2.1 Struktur makro

Struktur makro meliputi makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari

topik/tema yang diangkat oleh suatu teks. Tema sendiri berasal dari bahasa Yunani

yaitu tithenai yang berarti ‘meletakkan’. Tema merupakan gagasan inti dari suatu teks
27

yang menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh seorang penulis melalui

tulisannya dalam melihat atau memandang suatu peristiwa (Parera, 2004: 233). Teun

A. Van Dijk mendefinisikan tema sebagai struktur makro dari suatu wacana. Dari

tema kita bisa mengetahui masalah dan tindakan yang diambil oleh komunikator

dalam mengatasi suatu masalah. Tindakan, keputusan atau pendapat bisa diamati

pada struktur makro suatu wacana.

Tema yang terdapat dalam Kakawin Putra Śāsana adalah bhakti. Bhakti adalah

suatu tindakan rasa hormat, bhakti kepada orang yang harus di hormati dan bhakti

kepada orang yang pantas dijadikan sebagai panutan. Rasa bhakti yang dimaksud

dalam Kakawin Putra Śāsana adalah rasa bhakti kepada orang tua (Guru Rupaka)

dan leluhur. Ide pokok tentang bhakti dapat ditemukan pada setiap bagian Kakawin

Putra Śāsana. Seperti kutipan berikut:

“Yadin hana pakon ira ng guru tuhun sapangutusa nirekitanggapen, wawang


tika lumampahe sapawěkas nira larisakěnā nda tan wihang, apan gati nikang
wwang anggěgě lumampahakěni sanideṡa sang guru, prasidda tuměmung
sukāgya paramārdhika saha dana dadya tan kurang” (KPS, 5b).
Artinya:

“Jika ada perintah dari beliau hendaknya turutilah perintahnya itu, seketika itu
kerjakanlah semua perintah dari beliau dengan segera dan jangan menolaknya,
demikian segeralah berjalan ke tempat ayah, setelah semua bhakti telah
dilaksanakan maka engkau akan menemukan kebahagiaan, kemakmuran dan
pemberian hal baik lain tanpa kekurangan” (KPS, 5b).
28

Ajaran bhakti dalam agama Hindu hendaknya di dasari dengan adanya Tri Kaya

Parisudha, yaitu berpikir (manacika), berkata (wacika), dan berbuat (kayika). Ajaran

bhakti kepada orang tua (Guru Rupaka) dalam Kakawin Putra Śāsana mengacu pada

ajaran moral yang terdapat dalam kitab Sarasamuscaya.

Atmaja (2010: 75) menjelaskan bahwa Guru Rupaka adalah orang yang

melahirkan (orang tua). Tanpa orang tua kita tidak akan pernah ada di dunia ini. Oleh

karena itu betapa besarnya jasa-jasa orang tua dalam membimbing anak-anaknya

supaya menjadi anak yang baik (suputra). Hal tersebut dapat dibuktikan pula pada

kutipan Naskah Kakawin Putra Śāsana sebagai berikut:

“Lwir ning putra těběng ginarbakeni sang ibu sipi-sipi denikānglare, mingkin
tibra dahat pasungnia lara ring sang ibu duwěg ikodara cyuta” (KPS, 8a).
Artinya:

“Terlihat ibu yang sedang mengandung anak di dalam rahimnya, beliau sangat
tinggi derajadnya oleh karena sungguh perih rasa sakit yang dirasakan oleh
sang ibu saat buah hatinya keluar dari perutnya" (KPS, 8a).
(Kadjeng, dkk 1997: 186) Ajaran bhakti terhadap orang tua (Guru Rupaka) juga

disebutkan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 234 sebagai berikut:

“Upādhyāyaṁ pitaraṁ mātaraṁ ca ye


‘bidruhyanti manasā karmanā va,
tesāṁ papaṁ bhrunahtyāvicistāṁ
nanyastasmāt pāpakrccāstiloke” (Sarasamuscaya, Sloka 234).
Artinya:
29

“Jika ada orang yang berkhianat terhadap guru, terhadap ibu dan bapa, dengan
jelas perbuatan, perkataan dan pikiran, orang yang demikian perilakunya amat
bersalah dosanya, lebih besar dari dosa bhrunaha artinya menggugurkan
kandungan” (Sarasamuscaya, Sloka 234).
Terlihat pada setiap bagian Kakawin Putra Śāsana, jika anak telah menjalankan

bhakti kepada orang tua (Guru Rupaka), baik dari segi pikiran, perilaku dan

perbuatan baik maka anak akan menemukan kebahagiaan, kemakmuran dan

pemberian hal baik lain tanpa kekurangan. Beberapa data yang telah disebutkan

diatas dapat menunjukkan bahwa tema bhakti terdapat dalam setiap unsur teks

Kakawin Putra Śāsana.

4.2.2 Superstruktur

Superstruktur merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka

teks sehingga suatu teks dapat tersusun secara utuh. Elemen yang terdapat dalam

superstruktur ialah skema atau alur, alur akan menunjukkan bagaimana bagian-bagian

dalam teks yang disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Van Dijk

membagi skema menjadi dua kategori besar yakni summary dan story. Summary

umumnya ditandai dengan dua elemen yakni judul dan lead. Elemen skema ini

merupakan elemen yang dipandang paling penting. Judul dan lead umumnya

menunjukkan tema yang ingin disampaikan oleh pengarang. Lead ini umumnya

sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum akhirnya masuk

dalam bagian isi. Kedua, story merupakan isi cerita secara keseluruhan (Eriyanto,
30

2006: 232). Judul dan lead dalam Kakawin Putra Śāsana dimunculkan pada kutipan

berikut:

“Iti Putra Ṡāsana.


Wirat Jagatnātha.
Panghyang ninghulun atpadeng kalěngěngan satata ri jěng ira ng Saraswatī,
mahyun prākěrta putra ṡāsana těhěr němahakěna palambanging karas,
wwantěn ṡāstra daměl nira ng parama panḍita Wararuci tūtěn inghulun, don
hyang dadyakěnang sutā pagěha lampah ika manuta dharma ning wěka” (KPS.
1b).
Artinya:

“Ini Putra Śāsana.


Wirat Jagatnātha.
Terlihat olehku atas keindahan yang terdapat di kaki beliau Dewi Saraswati,
berkeinginan menuliskan pengetahuan mengenai aturan untuk menjadi anak
yang baik, terdapat ilmu pengetahuan yang dibuat oleh Guru Wararuci yang
dipakai sebagai acuan dalam tulisanku, hendaknya dapat dijadikan sebagai
pegangan dalam menjalankan sifat baik sebagai seorang anak” (KPS, 1b).

Kutipan di atas menjelaskan secara ringkas isi dari Kakawin Putra Śāsana.

Kakawin tersebut menjelaskan tentang ajaran bhakti yang harus dimiliki seorang

anak. Skema cerita Kakawin Putra Śāsana dikategorikan dalam wacana monolog

karena tidak melibatkan suatu bentuk percakapan antara dua pihak atau lebih.

Berdasarkan pemaparan isi dan sifatnya, Kakawin Putra Śāsana termasuk wacana

hortatory karena isinya mengandung sifat ajakan atau nasihat. Nasihat yang

dijelaskan oleh pengarang adalah bhakti terhadap orang tua.


31

Kakawin Putra Śāsana dikatan sebagai wacana bersifat monolog. Pernyataan

ini dapat dibuktikan karena tidak adanya dialog atau percakapan, Tanya jawab atau

bentuk lain sejenis. Wacana monolog dalam Kakawin Putra Śāsana adalah hubungan

sebab akibat. Rangkaian dalam analisis wacana monolog adalah segala bentuk

hubungan antar tutur, baik pada tataran kalimat dalam suatu kalimat, maupun dalam

leksikon pada satu kesatuan wacana monolog. Sedangkan kaitan yang dimaksud

disini diartikan dengan segala bentuk hubungan yang terjadi antara satu alenia lainnya

dalam satu kesatuan (Syamsuddin, 1997: 164).

Pesan yang ingin disampaikan adalah bagaimana seharusnya seorang anak

menjalankan kehidupan dengan cara berbhakti kepada orang tua serta menjalankan

semua perintah yang diberikan oleh orang tua. Pengarang mengemas pesannya

dengan alur campuran. Pengarang menulis secara urut pada awal cerita, kemudian

pada bagian berikutnya pengarang mengulang kembali cerita dengan beberapa contoh

sebab akibat yang berbeda. Berikut skematik atau story naskah Kakawin Putra

Śāsana berdasarkan halaman naskah.

1b. Lead atau Ringkasan cerita

“Awighnamāstu. Iti Putra Ṡāsana.


Wirat Jagatnātha.
Panghyang ninghulun atpadeng kalěngěngan satata ri jěng ira ng Saraswatī,
mahyun prākěrta putra ṡāsana těhěr němahakěna palambanging karas,
wwantěn ṡāstra daměl nira ng parama panḍita Wararuci tūtěn inghulun, don
hyang dadyakěnang sutā pagěha lampah ika manuta dharma ning wěka.
Kalěngěngan ikang tanaya sāwakania …” (KPS, 1b).
32

Artinya:

“Semoga tidak ada halangan. Ini Putra Śāsana.


Wirat Jagatnātha.
Terlihat olehku atas keindahan yang terdapat di kaki beliau Dewi Saraswati,
berkeinginan menuliskan pengetahuan mengenai aturan untuk menjadi anak
yang baik, terdapat ilmu pengetahuan yang dibuat oleh Guru Wararuci yang
dipakai sebagai acuan dalam tulisanku, hendaknya dapat dijadikan sebagai
pegangan dalam menjalankan sifat baik sebagai seorang anak. Keindahan puisi
itu juga terdapat dalam diri seorang anak …” (KPS, 1b).

2a. Pengarang menjelaskan bahwa perilaku seorang ayah pasti akan ditiru oleh

anaknya. Oleh sebab itu seorang ayah tidak dianjurkan untuk memanjakan anaknya

agar tidak menjerumuskan dirinya dalam kehancuran dikemudian hari

“tuwi yan tan inajar ulahania ring hayu, kamūdha ni yayahnia len liwat i sihnia
karaṇan ika tan muwus ri ya, ta ya pwa pituturnia tan dwa t ikanang suta
manasarasing janā malěh, sadurwyaṡa nikang yayah t ikā pipangawaṡani doṡa
ning wěka. Yaning suta titik ti tar winarahing rahayu winuruking dayāhita,
lěwěs muwah i gӧng i sih ni jana kānia mawěka tuwiṡāstra pāraga, ya tā
němahakěn suṡīlaning anak ta ya manasarasing malěm …” (KPS, 2a).
Artinya:

“itu juga terdapat dalam diri seorang anak, jika tidak diajarkan tentang
kebaikan, oleh karena ayah tidak bijaksana dengan terlalu memanjakan
anaknya, itulah yang membuat anak menjadi tidak jujur dan pasti menyebabkan
kehancuran, sebab sifat / perbuatan buruk dari ayah itu yang ditiru oleh
anaknya. Jika anak tidak sedikitpun diajarkan tentang perbuatan baik. Oleh
karena kasih sayang berlebihan dari seorang ibu yang memiliki anak dan
mengajarkan dengan kesungguhan mengenai ilmu pengetahuan yang memiliki
keunggulan secara lengkap, yaitu hendaknya mengajarkan perbuatan yang baik
kepada anaknya dan janganlah terlalu dimanjakan …” (KPS, 2a).
33

2b. Pengarang menjelaskan tentang tugas-tugas seorang ayah serta perilaku anak yang

harus mematuhi segala perintah dari ayahnya, sebab jika anak enggan menjalankan

perintah tersebut maka ia tidak dapat disebut sebagai anak yang ber bhakti

“wawang suyaṡa ning yayah dadi těkāpi pangawaṡa nikang guṇā alěp. Tuhun
gawaya ning sutānutakěn eka kagawaya nikang yayah juga, ikā puhara ārṣa
ning yayah agěng ri gatini kataman salah gaway, samangkana kumawruhing
matanayarwyawak ika saguṇania tan ilang, těkapni gati ning sutā ngulahakěn
gawya guṇa sakala wruhing yayah. Hana pwa tanayā nda tan mulahakěn gati-
gati sakināptya ning yayah, nda tan wěka ngarania…” (KPS, 2b).
Artinya:

“sebab mengawasi setiap perbuatan anak juga merupakan tugas ayah,


demikianlah hendaknya apa yang telah dilakukan oleh ayah harus ditiru juga,
itu hasil dari ayah yang terlalu besar memberikan kasih sayang. Begitulah
hendaknya diketahui bahwa perbuatan tersebut tidak ada gunanya untuk
dirinya. Memanjakan anaknya merupakan tindakan yang sering dilakukan oleh
ayah. Adalah anak yang enggan melakukan tindakan yang diperintahkan oleh
ayahnya. Itu bukanlah seorang anak namanya …” (KPS, 2b).

3a. Pengarang menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan oleh karena perilaku

anak yang enggan melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh orang tuanya

“ring tanaya mangkana trěṇa pangarania tar waneh, prasida tikanang


yayahnia umidhěptana wěka suguṇania tan padon, těkapni tanayania nirguṇa
taman mulahakěni sukarma ning yayah. Apan sahana ning janā ngidhěpakěn
suka magěng adhikāra tan sipi, susādhuning anaknia hetuni mangkana tana
arěping kaduskrětan, samangkana tikang wwang āngidhěpakěn lara satata ya
duhka kasyasih, kadurjana nikang anak ya ta nimi nika maněmu duhka tar
waneh …” (KPS, 3a).
Artinya:

“begitulah cinta yang tidak diberikan oleh anak namanya. Berpikirlah ayah saat
melihat perbuatan anaknya. Tindakan anaknya sama sekali tidak berguna sebab
34

anak hendaknya melakukan perbuatan yang baik kepada ayahnya. Ketika semua
anak hanya memikirkan kesenangan dalam dirinya saja tanpa memperdulikan
perintah. Begitulah sebaiknya anak enggan melakukan tindakan yang keliru,
hendaknya dipikirkan perbuatan yang menimbulkan kesengsaraan, perilaku
buruk itulah yang menyebabkan anak merasakan kesengsaraan yang amat perih
di kemudian hari …” (KPS, 3a).

3b. Pengarang menampilkan contoh sebab akibat yang akan diterima jika ayah terlalu

memanjakan anaknya

“Doṣā kweh katěmū těkap nikang anak yapwan wineh lālana, salwar ning guṇa
tar wurung ya katěmū yapwan sinung tā dana, mangke pweki matangianing
tanaya yan durṡila septādanan, sangkṣepania sihing yayah karaṇa ning tan
lālaneng swātmaja. Doṣa mwang guṇa ning suteningět-ingět de sang mahā
paṇḍita yadyan putra suṡīla len jana ajěng was kawruhan de nira, yan ring
doṣa malit guṇādhika ilang tang doṣa yang mangkana …” (KPS, 3b).
Artinya:

“Itulah sebab sering memanjakan anak, seperti saat bertemu maka ayah tak lupa
memberikan uang. Hal serti inilah yang membuat anak menjadi serakah, oleh
sebab itu sebaiknya ayah tidak terlalu memanjakan anak. Dosa yang diperbuat
oleh anak selalu diingat oleh Sang Guru, demikian perilaku lain yang
hendaknya diketahui pula oleh anak. Jika telah melakukan dosa kecil kemudian
ditebus dengan kebajikan maka leburlah dosa yang diperbuat olehnya. Jika
melakukan dosa besar karena pelit maka akan sia-sia lah hidupnya …” (KPS,
3b).

4a. Pengarang menampilkan pesan untuk orang tua agar tidak terlalu memanjakan

anaknya dalam hal apapun karena akan membahayakan masa depan anaknya sendiri

“yapwan doṣa magěng guṇa pwa maděmit wyarthang guṇāwas ilang. De yā


sang paramārdikā marahaneng putrā sěděng ning rare, nāhan donia
katěmwaning ṡruti těhěr meman gatinian tutūr, āpan ring suta yan duwěg were-
wěrěh mewěh kasikṣānika, yan sāmpun matuhā mapekawuwusěn mingkinia
mewěh těměn. Deniān mangkana sang pinaṇḍita lanā ngucapakěna warah ring
35

atmaja, mangkā putra ruměngwa ṡabdana yayah nika sawuwusireka tūtakěn


…” (KPS, 4a).
Artinya:

“oleh karena itu orang tua hendaknya mengajarkan hal yang baik sejak putranya
kecil, itulah tujuannya hal yang telah diperoleh dan di dengar agar diikuti atau
diamalkan, supaya ketika anak telah remaja tidaklah merasakan siksaan itu, jika
telah melaksanakan apa yang dikatakan maka sangat beruntung, Demikianlah
sang Guru Lana mengajarkan kepada anak-anak, hendaknya dengarkanlah
perkataan ayahmu selanjutnya laksanakanlah …” (KPS, 4a).

4b – 5a. Pengarang menampilkan kembali pesan bhakti anak kepada orang tuanya

(Guru Rupaka)

“yan sampun karěngӧ těkapnia gěgěněn gawayakěna ta denia tan lupa, byakta
kāsuka len guṇādhika kapangguha těkap ika yan samangkana. Anwam pweki
wayahnia yogya kětikā lěkasa mangaji away tar těpět, tan hāro-hara tang
manah tuwi taman mangangěn-angěna len sakeng aji, āpan nirmala buddi nir
si suta tan hana wiṣaya kacita denika, āpan yan duwěging wayah katilinging
wiṣaya malina buddi cancala. Lawan teki muwah rěngěn pitěkěting bapa
kěkěsana ring dalěm ati, aywekā mawerādalen para lěwěs hala nika niyatā
těmah lara, towin away masiwa-siwa mapacěh-pacěhana kalawan param-para,
nghing nityānggawayěnia karma sakinahyuna nira sira sang mahājana.
Pranāta wijiling pranākara mangembangakěn tika ri jěng saraswati, nirantara
tělasnia mangkana těhěr jěněka ri kawicāraning ṡruti, asing ṡruti taman
tameriya tikang tama-tamaněn ika prihěn těměn prasidda makadon wināṡaha
nikang bhawa sakala sadā mangun guyu …” (KPS, 4b – 5a).
Artinya:

“jika telah kau dengarkan hendaknya genggamlah, laksanakanlah dan jangan


engkau lupakan, terbukti hasil dari tindakan itu keunggulannya jauh melebihi
yang lain. Selagi usia masih muda sebaiknya bertindak dan janganlah hanya
berdiam diri. Tak henti-hentinya hati memikirkan yang dikatakan oleh ayahnya.
Jika anak tidak memiliki hati yang suci maka tak akan tertarik pada kebaikan -
kebaikan apapun olehnya, jika pada usia itu juga cenderung memiliki perilaku
yang buruk. Dengan inilah hendaknya nasihat yang dikatakan oleh ayahnya
36

agar disimpan di dalam hati. Janganlah memperbanyak perbuatan buruk sebab


hanya akan menimbulkan kesengsaraan, selain itu janganlah bermain-main dan
bersukaria dengan yang lain, sehingga tak memperdulikan keinginan yang di
perintahkan oleh ayah. Dengan rendah hati keluarlah sejumlah rahasia dan
berberkembanglah itu pada kaki Hyang Saraswati tak henti-hentinya,
demikianlah hendaknya tetap dalam pembicaraan yang telah di dengar sejak
awal, barang siapa telah mendengarkan dari awal maka usahakanlah agar di
laksanakan …” (KPS, 4b – 5a).

5b – 6a. Pengarang menampilkan hasil dari perbuatan bhakti yang telah dilakukan

anak kepada ayahnya

“Nihan kagawayěn wawāsa gatining guru satata ta bhaktya tan saha, bhaṭāra
sakaleki pādha idhěpanta ri sira satatānggawe suka, sěkar sahasa midra wīja
nguniweh banyu rahu padulur wasěh suku, ikang srahakěnanta nityaṡa ri sang
guru tuhu-tuhu bhakti lakṣaṇa. Yadin hana pakon ira ng guru tuhun
sapangutusa nirekitanggapen, wawang tika lumampahe sapawěkas nira
larisakěnā nda tan wihang, apan gati nikang wwang anggěgě lumampahakěni
sanideṡa sang guru, prasidda tuměmung sukāgya paramārdhika saha dana
dadya tan kurang. Prahaṣiṇi. Hetu nikang aji kabeh tělas kapanggih, dening
janma maharěping guṇādhikāra, sih ning sang guru ya nimittaning samangkā,
mātangyan guru juga sewakā nda tan len. Yapwan pwekang aji huwus samapta
denia, dening gěng ni sih ira guru rī yawaknia, byaktāngmasukani manah
widhatra patnī …” (KPS, 5b – 6a).

Artinya:

“sebagai hasil karena telah menguasai semua perilaku maka akan selalu terlihat
tersenyum. Demikian hendak jadikanlah untuk menghormati ayah atau
siapapun yang lebih tua. Pada waktu yang sama pikiranmu kepada beliau
membuat kebahagiaan. Tergesa-gesa memberikan air bunga kepada saudaranya
untuk membasuh kakinya. Hyang Guru senantiasa menganugrahkan sifat baik
yang sesungguhnya. Jika ada perintah dari beliau hendaknya turutilah
perintahnya itu, seketika itu kerjakanlah semua perintah dari beliau dengan
segera dan jangan menolaknya, demikian segeralah berjalan ke tempat ayah,
setelah semua bhakti telah dilaksanakan maka engkau akan menemukan
kebahagiaan, kemakmuran dan pemberian hal baik lain tanpa kekurangan.
37

Praharsini. Sebab teks yang berisi mengenai peraturan itu semua telah jarang
ditemui, dalam kehidupan mengharapkan keunggulan melebihi yang lain. Sebab
kasih sayang kepada ayah. Demikian pula hendaknya ayah memberikan
peringatan, jikalau teks yang berisi tentang aturan itu telah di selesaikan
olehnya, oleh karena besarnya kasih sayang beliau kepadamu. Terbukti dalam
hati seorang ibu pula …” (KPS, 5b – 6a).

6b – 7b. Pengarang kembali menampilkan hubungan sebab akibat yang akan di

dapatkan oleh anak jika belum dan sudah menjalankan bhakti kepada orang tua (Guru

Rupaka) beserta contoh

“Niang lampah rahayu lawan halā kalakwan, dening putra ya ta muwah rěngěn
ta mangke, yan mahyun kita ring inak prayatna hengkwan, tinggal tang gati
mahalā ajěng gěgěnta. Wirat Jagatnātha. Wantěn putra wimūdha těkwan
ikanang yayah atiṡaya ring guṇādhika, len tang putra widagda buddi gunawan
ndan ikang awěka mūdha tan sipi, wwantěn teki muwah sutātiṡaya mūdha
sakari jana kania nirguṇa, lyan tang putra mahotameng guṇa lěwih saka ri
yayah ikāti buddiman …” (KPS, 6b – 7b).
Artinya:

“inilah perbuatan baik dan perbuatan buruk anak yaitu hendaknya dengarkanlah
sekarang. Jika kamu menginginkan kesejahteraan maka berusahalah dengan
gigih, tinggalkanlah segala perbuatan burukmu. Wirat Jagatnatha. Ada anak
yang sangat bodoh datang kepada ayahnya yang memiliki sifat bijaksana jauh
melebihi yang lain. Namun beliau tidaklah mengetahui perilaku yang baik
untuk memperingatkan anaknya yang tidak bijaksana. Adalah ini dengan anak
yang unggul sebab manusia yang bodoh tidak akan berguna, beda dengan anak
yang memiliki keutamaan dalam ilmu pengetahuan yang melebihi ayahnya.
Itulah anak yang berbudi baik …” (KPS, 6b – 7b).

8a – 8b. Pengarang menampilkan penjelasan mengenai beban yang dirasakan oleh ibu

saat mengandung hingga melahirkan buah hatinya ke dunia. Tampak penjelasan


38

mengenai perbuatan – perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh anak kepada

orang tuanya

“Nāhan pat gatining sutengětakěneki kěkě-kěkěsane dalěm ati, yekang munggi


kaping rwa ning pada lawan wěkasan ika yatekā tutěn, yapwan mahyuna ring
sukirtti niyateka mamuhara katěmwa denika, nā ling sanghyang aji prasidda
pitutūr miyatika gěgěn těměn-těměn. Lwir ning putra těběng ginarbakeni sang
ibu sipi-sipi denikānglare, mingkin tibra dahat pasungnia lara ring sang ibu
duwěg ikodara cyuta, wrědda pwang tanayānma tan maharěping guṇa ning ibu
lumud salah gawe, yeki tan tanayā krětāghna pangarania. Padhanika purīṣa ta
waneh. Lāwan teki hana ng sutā ngrěngě warah ni yayah ika tatan linakṣaṇan,
denia tan sthiti ring atinia sawěkas-wěkas I yayah ika nia tan padon, hālasyeng
guṇa tan pakarya huměněng tan aharěpika těmwa ning ṡruti, tan pendah kayu
ring smasana pamadha wyawak ika ri gatinia nirgguṇa …” (KPS, 8a – 8b).
Artinya:

“Inilah empat tindakan untuk mengingatkan anak hendaknya di simpan di


dalam hati. Yaitu terletak di kedua kaki dan berikanlah pesan itu supaya diikuti.
Jika berkeinginan untuk memiliki perbuatan baik hendaknya berangkatlah
menyusuri muara sungai hingga bertemu olehnya. Begitulah perkataan Sang
Hyang Aji, hendaknya nasihat itu di dengar dan di jalankan dengan benar.
Terlihat ibu yang sedang mengandung anak di dalam rahimnya, beliau sangat
tinggi derajadnya oleh karena sungguh perih rasa sakit yang dirasakan oleh
sang ibu saat buah hatinya keluar dari perutnya. Ketika telah dewasa, anak yang
tak mengharapkan ibunya sungguh ia telah salah dalam berbuat. Itulah anak
yang tidak tahu balas budi namanya. Sama halnya dengan memberikan kotoran
kepada sang ibu. Bersamaan dengan ini, ada seorang anak yang mendengarkan
nasihat dari ayahnya namun tidak juga di laksanakan olehnya, tidak juga
dilanjutkan dalam hatinya semua pesan yang disampaikan oleh ayahnya, itulah
perbuatan yang tidak baik namanya. Perbuatan buruk hendaknya tidak
dikerjakan, begitulah yang diharapkan dan di tulis dari apa yang telah di dengar,
tidak juga terdapat kayu dalam makamnya untuk melindungi tubuhnya yang
tidak berguna itu …” (KPS, 8a – 8b).

9a – 9b. Pengarang menampilkan kembali tentang hasil yang akan di dapatkan ketika

menjadi anak yang taat kepada perintah orang tua


39

“Mātangyan tika salwiring warah-warah sangatanaya jugeki gěgwana, yan


sampun kagěgě pwa lampahakěnania sarasa nikanang warah ri ya, byaktang
tuṣṭa katemwa denia ri sěděngnia gumayisapājaring yayah, apan tang guru
ṡasanenulahakěnia makaphala katěmwaning guṇa. Yawat pwekang anak
prasida maguṇadhika winaya suṡīla ring praja, těkwan wākpaṭā ring sabhā
alěp anindita mangucapa mogha tan luput, sakweh sang sujanādhikā padha ra
ṡastra wihikana riye samangkana, tawat prartananing yayahnia ri ya sidda
maphala madulur yaṡā dhika. Yan putra pwa nukūla buddi nika yan
winarahani yayah nikengaji, aikā jnyāna ri sidyaning guna wawang ta ya
maněmu wiṡeṣa ning guṇa, sakweh ning jana mogha bhakti riyawaknia lagi ya
pinakonggwaning aji, byaktawas katěmu yaṡa parimiteya nguni-nguni sudra
kaniaka …” (KPS, 9a – 9b).
Artinya:

“itulah sebabnya macam-macam nasihat itu hendaknya juga diketahui oleh


anak, jika telah di mengerti maka kerjakanlah semua nasihat itu, terbukti setelah
mengerjakannya akan mendapatkan kebahagiaan olehnya saat menjalankan
semua yang telah diajarkan oleh ayahnya, karena ajaran yang menimbulkan
kebaikan. Setelah anak mengetahui serta menjalankan pendidikan moral yang
telah diberikan, maka ia akan memiliki sifat yang mulia dalam keluarga. Datang
waktunya untuk mengucapkan kesempurnaan. Semoga tidak keliru, banyak
orang shaleh memiliki ilmu pengetahuan, seketika itu juga segala hal yang
dilakukan oleh ayahnya berbuah kemuliaan. Jika anak tumbuh dengan
kemuliaan oleh karena diajarkan oleh ayahnya tentang kebaikan, jika bersedia
maka manusia akan menemukan sifat yang unggul. Kemudian semua orang
mempercayainya. Jelas terbukti dengan mendapatkan kehormatan yang
dibangun dari awal …” (KPS, 9a – 9b).

10a – 10b. Pengarang menampilkan nasihat kepada orang tua agar tidak berhenti

memberikan nasihat baik kepada anaknya dan jika anaknya tidak mendengarkan

supaya diberikan hukuman

“Nā tang wuwus liningakěn pirěngin ta mangke, dening suputra maharěp wikan
matangnika raṣa ning wacanati yukti, nāhan matangnika rasania sayogya
tūtěn. Yeking palambang inaměr suta ṡāsanakya, doniang sungang ita
suṡilahaning tanuja, hetunia yukti rěngěněn gawayěn sangahyun, tātan
pahīngan ika rakwa gěnging phalania. Sragdara Nānta pweking wuwus yogya
40

rasanika gěgěn de nikang putra sadhu, yan dening putra durṡila ya


tilarakěnang ṡabda munggwing palambang, sakweh sang panditā ngrěngwa
gurititanakūng mrākrětang putra dharma, lampuh kwehnika ṡabdania tuhun
apuraněn denirang labda ṡastra …” (KPS, 10a – 10b).
Artinya:

“Demikianlah setelah diberitahukan hendaknya dengarkanlah sekarang. Sebab


mengharapkan anak yang baik agar supaya mengetahui aturan yang seharusnya
dijalankan olehnya sebagai seorang anak, isi secara singkat ini hendaknya
diresapi dan di padukan dengan perbuatan. Itulah sebabnya sebaiknya dirasakan
dan diikuti, inilah aturan-aturan yang wajib diketahui oleh seorang anak.
Janganlah lupa memberikan pengetahuan tentang kebaikan kepada anak, oleh
sebab itu hendaknya dengarkan dan lakukan semua aturan tersebut. Perbuatan
itu akan sangat jelas hasilnya. Sragdara. Demikianlah olehmu, apa yang
dikatakan sebaiknya diberitahukan kepada anak agar mereka memiliki sifat dan
berbudi luhur, jika anak berkelakuan buruk maka tinggalkan perkataan sebagai
tanda (ingatkanlah). Banyak orang suci mendengar kemudian menulis
semuatentang aturan hidup atau tingkah laku anak, banyak diantara perkataan
itu diperoleh dari sastra …” (KPS, 10a – 10b).

11a. Pengarang memberikan pesan dan simpulan akhir agar selalu memberikan

ajaran–ajaran yang baik kepada anak agar selalu memiliki sifat yang baik

“Donkwa mrākrěta putra ṡūsana tatan sakari guna mamin lumakṣaṇa, wetning
bhanta nimitaning wětu bhāṣa kasakitan angӧlakěn lara, markwing cita yan
āngrěngӧ jalada ṡabda tan arena pajang nikang wulan, lwir tan langgenga
ring purālěsama tinggalang anak-anakan pudhak sumar. Sronca. Ngwang
inājnyanme ṡri narendra, yan angadhěha nikanang dharma putra apan sih ira
mawruh ingwang, apan sira kang mūrtti ari tan len. Ajnya nira sumusupa
těmah wruha, ngwang anggita kalawan angidhunga, lwir tūs-tūsning amrětta
de bhūpati, mwang sang nātha sreddā ngampuneng mūdha …” (KPS, 11a).
Artinya:

“Maka membuatlah kakawin putra sasana ini supaya diikuti kemudian di


laksanakan, sebab keturunanmu yang menyebabkan munculnya karya ini agar
bisa mendekatkannya kepada kebaikan jika di dengarkan. Awan tanpa cahaya
41

bulan. Terlihat tak kekal dari pura Lěsasama, memberikan anak-anaknya bunga
Sumar. Sronca. Aku menghormati Sri Narendra, jika menginginkan tingkah
laku anak agar memperoleh kasih sayang darinya. Ketika ia tak berwujud.
Beliau menyusup tanpa diketahui, aku belajar serta bernyanyi, demikian yang di
perintahkan oleh bhupati saat merawat putranya yang masih kecil .,..” (KPS,
11a).

11b. Naskah Kakawin Putra Śāsana ditutup dengan biodata penulis naskah

“Kasurat olih, I Gusti Něngah Putu, saking Padangkrěta, Amlapūra. Puput


sinurāt kāla dina, bu, pa, wara, wariga, titi, tang, ping, 3, ṡaṡih, ka, 9, rah, 3,
těnggěk, 12, Iṡaka, 1911 …” (KPS, 11b).
Artinya:

“ditulis oleh, I Gusti Nengah Putu, dari Padangkrěta, Amlapura, selesai ditulis
pada hari Rabu. Pada Wara Wariga, ke-3, bulan ke-9, rahina ke-3, těnggěk ke-
12, tahun 1911 Isaka …” (KPS, 11b).
4.2.3 Struktur Mikro

Struktur mikro merupakan makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil

suatu teks yakni dari pilihan kata, kalimat, proposisi dan anak kalimat. Struktur mikro

dalam tek KPS dilihat sari semantic, sintaksis, stilistik, dan retoris.

1. Semantik

Semantik adalah makna yang ingin di tekankan dalam suatu teks

berdasarkan hubungan antar kalimat, hubungan antar preposisi yang

membangun makna tertentu dalam sebuah teks. Semantik dengan objeknya

yakni makna, berada pada seluruh tataran linguistic (Chaer, 2012: 284).

Semantik dalam skema Van Dijk (Eriyanto, 2006: 228) dikategorikan sebagai
42

makna lokal (local meaning) yakni makna yang muncul dari hubungan antar

kalimat, hubungan yang membangun makna tertentu dalam suatu teks.

Analisis wacana banyak memusatkan perhatian pada dimensi teks seperti

makna yang eksplisit maupun implisit, makna yang sengaja disembunyikan

dan bagaimana orang menulis atau berbicara mengenai hal itu. Semantik tidak

hanya mendefinisikan bagian mana yang penting dari struktur kewacanaan,

tetapi juga menggiring kea rah sisi tertentu dari suatu peristiwa. Elemen-

elemen semantik adalah sebagai berikut:

a. Latar atau setting

Latar atau setting adalah peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam

cerita atau karya sastra. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret

dan jelas. Latar dalam karya sastra bukan hanya tempat, waktu, peristiwa,

suasana serta benda – benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga

suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka maupun

gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problem tertentu

(Aminuddin, 1995: 34). Agustien memaparkan bahwa latar sosial ialah

lukisan tata karma, tingkah laku, adat dan pandangan hidup (2006: 105).

Latar sosial dalam Kakawin Putra Śāsana memaparkan aturan dan

perilaku yang harus dikerjakan oleh anak yang meliputi pikiran, ucapan

dan perbuatan agar menjadi seorang yang memiliki safat yang baik. Hal

ini sangat ditekankan pada naskah karena seorang anak merupakan


43

pewaris dalam menjalankan kehidupan di kemudian hari. Anak diharapkan

mampu memahami nilai dan norma untuk berbhakti terhadap orang tua

maupun leluhurnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

“Nā tang wuwus liningakěn pirěngin ta mangke, dening suputra maharěp wikan
matangnika raṣa ning wacanati yukti, nāhan matangnika rasania sayogya
tūtěn. Yeking palambang inaměr suta ṡāsanakya, doniang sungang ita
suṡilahaning tanuja, hetunia yukti rěngěněn gawayěn sangahyun, tātan
pahīngan ika rakwa gěnging phalania.” (KPS, 10a).
Artinya:

“Demikianlah setelah diberitahukan hendaknya dengarkanlah sekarang. Sebab


mengharapkan anak yang baik agar supaya mengetahui aturan yang seharusnya
dijalankan olehnya sebagai seorang anak, isi secara singkat ini hendaknya
diresapi dan di padukan dengan perbuatan. Itulah sebabnya sebaiknya dirasakan
dan diikuti, inilah aturan-aturan yang wajib diketahui oleh seorang anak.
Janganlah lupa memberikan pengetahuan tentang kebaikan kepada anak, oleh
sebab itu hendaknya dengarkan dan lakukan semua aturan tersebut. Perbuatan
itu akan sangat jelas hasilnya” (KPS, 10a).

Kutipan di atas menjelaskan bagaimana peran orang tua sebagai guru dalam

lingkungan keluarga agar tak henti – hentinya memberikan ajaran bhakti yang wajib

diketahui oleh anak.

b. Detil

Detil merupakan kontrol informasi yang ditampilkan pengarang

(Eriyanto, 2006: 227). Detil merupakan strategi bagaimana pengarang

mengekspresikan tulisannya dengan cara yang emplisit. pada elemen detil

akan diketahui efek yang timbul akibat penguraian detil terhadap


44

pemahaman dan pemaknaan khalayak. Pengarang juga dapat

menampilkan detil pesan yang dimaksud secara berlebihan sesuai dengan

maksud dan tujuan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Seperti yang

terdapat pada kutipan berikut:

“yan sampun karěngӧ těkapnia gěgěněn gawayakěna ta denia tan lupa, byakta
kāsuka len guṇādhika kapangguha těkap ika yan samangkana. Anwam pweki
wayahnia yogya kětikā lěkasa mangaji away tar těpět, tan hāro-hara tang
manah tuwi taman mangangěn-angěna len sakeng aji, āpan nirmala buddi nir
si suta tan hana wiṣaya kacita denika, āpan yan duwěging wayah katilinging
wiṣaya malina buddi cancala. Lawan teki muwah rěngěn pitěkěting bapa
kěkěsana ring dalěm ati, aywekā mawerādalen para lěwěs hala nika niyatā
těmah lara, towin away masiwa-siwa mapacěh-pacěhana kalawan param-para,
nghing nityānggawayěnia karma sakinahyuna nira sira sang mahājana …”
(KPS, 4b).
Artinya:

“jika telah kau dengarkan hendaknya genggamlah, laksanakanlah dan jangan


engkau lupakan, terbukti hasil dari tindakan itu keunggulannya jauh melebihi
yang lain. Selagi usia masih muda sebaiknya bertindak dan janganlah hanya
berdiam diri. Tak henti-hentinya hati memikirkan yang dikatakan oleh ayahnya.
Jika anak tidak memiliki hati yang suci maka tak akan tertarik pada kebaikan -
kebaikan apapun olehnya, jika pada usia itu juga cenderung memiliki perilaku
yang buruk. Dengan inilah hendaknya nasihat yang dikatakan oleh ayahnya
agar disimpan di dalam hati. Janganlah memperbanyak perbuatan buruk sebab
hanya akan menimbulkan kesengsaraan, selain itu janganlah bermain-main dan
bersukaria dengan yang lain, sehingga tak memperdulikan keinginan yang di
perintahkan oleh ayah …” (KPS, 4b).

Kutipan di atas mengandung pesan moral, bahwa kita diajarkan untuk berbhakti

kepada orang tua yang dicontoh oleh anaknya dengan mengamalkan apa yang telah

diajarkan olehnya. Terbukti dari kutipan diatas menyatakan jika telah mendengarkan
45

nasihat dari orang tua maka hendaknya dikerjakan dan tetap disimpan di dalam hati

agar tidak mudah untuk dilupakan.

c. Maksud

Maksud merupakan elemen yang melihat apakah teks itu

disampaikan secara eksplisit atau tidak (Eriyanto, 2006: 227). Pada naskah

KPS, pengarang menceritakan maksud dari cerita secara eksplisit.

Pengarang juga memberikan beberapa contoh sebab akibat sehingga

pembaca mengerti maksud dari isi cerita. Maksud yang ditampilkan oleh

pengarang terlihat dalam kutipan berikut:

“Nihan kagawayěn wawāsa gatining guru satata ta bhaktya tan saha, bhaṭāra
sakaleki pādha idhěpanta ri sira satatānggawe suka, sěkar sahasa midra wīja
nguniweh banyu rahu padulur wasěh suku, ikang srahakěnanta nityaṡa ri sang
guru tuhu-tuhu bhakti lakṣaṇa. Yadin hana pakon ira ng guru tuhun
sapangutusa nirekitanggapen, wawang tika lumampahe sapawěkas nira
larisakěnā nda tan wihang, apan gati nikang wwang anggěgě lumampahakěni
sanideṡa sang guru, prasidda tuměmung sukāgya paramārdhika saha dana
dadya tan kurang” (KPS, 5b).
Artinya:

“sebagai hasil karena telah menguasai semua perilaku maka akan selalu terlihat
tersenyum. Demikian hendak jadikanlah untuk menghormati ayah atau
siapapun yang lebih tua. Pada waktu yang sama pikiranmu kepada beliau
membuat kebahagiaan. Tergesa-gesa memberikan air bunga kepada saudaranya
untuk membasuh kakinya. Hyang Guru senantiasa menganugrahkan sifat baik
yang sesungguhnya. Jika ada perintah dari beliau hendaknya turutilah
perintahnya itu, seketika itu kerjakanlah semua perintah dari beliau dengan
segera dan jangan menolaknya, demikian segeralah berjalan ke tempat ayah,
setelah semua bhakti telah dilaksanakan maka engkau akan menemukan
kebahagiaan, kemakmuran dan pemberian hal baik lain tanpa kekurangan”
(KPS, 5b).
46

d. Praanggapan

Praanggapan adalah strategi lain yang dapat memberi citra tertentu

ketika diterima khalayak (Eriyanto, 2006: 227). Elemen ini pada dasarnya

digunakan untuk memberi basis rasional, sehingga teks yang disajikan

komunikator tampak benar dan meyakinkan. praanggapan hadir untuk

memberikan pernyataan yang dipandang terpercaya dan tidak perlu

dipertanyakan kebenarannya karena hadirnya pernyataan tersebut.

Praanggapan dalam teks KPS dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Doṣā kweh katěmū těkap nikang anak yapwan wineh lālana, salwar ning guṇa
tar wurung ya katěmū yapwan sinung tā dana, mangke pweki matangianing
tanaya yan durṡila septādanan, sangkṣepania sihing yayah karaṇa ning tan
lālaneng swātmaja. Doṣa mwang guṇa ning suteningět-ingět de sang mahā
paṇḍita yadyan putra suṡīla len jana ajěng was kawruhan de nira, yan ring
doṣa malit guṇādhika ilang tang doṣa yang mangkana, yapwan doṣa magěng
guṇa pwa maděmit wyarthang guṇāwas ilang” (KPS, 3b).
Artinya:

“Itulah sebab sering memanjakan anak, seperti saat bertemu maka ayah tak lupa
memberikan uang. Hal seperti inilah yang membuat anak menjadi serakah, oleh
sebab itu sebaiknya ayah tidak terlalu memanjakan anak. Dosa yang diperbuat
oleh anak selalu diingat oleh Sang Guru, demikian perilaku lain yang
hendaknya diketahui pula oleh anak. Jika telah melakukan dosa kecil kemudian
ditebus dengan kebajikan maka leburlah dosa yang diperbuat olehnya. Jika
melakukan dosa besar karena pelit maka akan sia-sia lah hidupnya” (KPS, 3b).
47

2. Sintaksis

Sintaksis adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari susunan kata

dalam kalimat (Veerhar, 2010: 11). Elemen wacana dalam sintaksis meliputi

bentuk kalimat, koherensi dan kata ganti.

a. Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara

berfikir logis, yaitu prinsip kausalitas (Eriyanto, 2006: 251). Bentuk kalimat

menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit atau implisit dalam

teks. Bentuk kalimat menjelaskan bagaimana preposisi - preposisi diatur

dalam kalimat. Bagian mana yang diletakkan di awal kalimat dan di akhir

kalimat, hal ini menununjukkan dominasi dalam menonjolkan hal mana yang

dianggap lebih penting.

Kakawin Putra Śāsana merupakan salah satu jenis karya sastra yang

berbentuk puisi, puisi identik dengan kata kias untuk menggambarkan

keindahan dalam kalimatnya. Bentuk kalimat yang demikian ini sedikit lebih

sulit untuk menentukan preposisi yang lebih dominan yang dimunculkan oleh

pengarang, sebab pada kalimat-kalimat tertentu makna yang terkandung di

dalamnya bisa saja lebih dalam. Berikut terdapat kalimat sederhana yang

dapat dijadikan contoh,


48

sutā ngrěngěwarah ni yayah

S P Ket. Penyerta

Artinya:

anak yang mendengarkan nasihat dari ayahnya.

S P Ket. Penyerta

Kutipan diatas menempatkan preposisi yang digunakan dapat mempengaruhi

makna yang timbul dan ingin disampaikan kepada pembaca. Kalimat

sempurna sekurang – kurangnya memiliki subjek dan predikat. Kalimat di atas

memiliki subjek yang berupa tokoh sutā (anak). Predikat yang berupa

ngrěngěwarah artinya yang mendengarkan nasihat. Kata ni yayah artinya dari

ayahnya menunjukkan keterangan penyerta.

b. Kata ganti

Kata ganti merupakan elemen untuk memenipulasi bahasa dengan

menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata gantu merupakan alat yang

dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam

wacana (Eriyanto, 2006: 253). Terdapat kata ganti orang pertama dan ketiga

yang digunakan dalam KPS yang dapat dibuktikan dalam kutipan sebagai

berikut:

“Doṣā kweh katěmū těkap nikang anak yapwan wineh lālana, salwar ning
guṇa tar wurung ya katěmū yapwan sinung tā dana, mangke pweki
matangianing tanaya yan durṡila septādanan, sangkṣepania sihing yayah
karaṇa ning tan lālaneng swātmaja. Doṣa mwang guṇa ning suteningět-
ingět de sang mahā paṇḍita yadyan putra suṡīla len jana, ajěng was
kawruhan de nira.” (KPS, 3b).
49

Artinya:

“Itulah sebab sering memanjakan anak, seperti saat bertemu maka ayah
tak lupa ia memberikan uang. Hal seperti inilah yang membuat anak
menjadi serakah, oleh sebab itu sebaiknya ayah tidak terlalu memanjakan
anak. Dosa yang diperbuat oleh anak selalu diingat oleh Sang Guru,
demikian perilaku lain yang hendaknya diketahui pula oleh anak. Jika
telah melakukan dosa kecil kemudian ditebus dengan kebajikan maka
leburlah dosa, hendak diketahui olehnya.” (KPS, 3b).
c. Koherensi

Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata atau kalimat adalam

teks. Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana

seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu

fakta atau peristiwa (Eriyanto, 2006: 242). Koherensi sebenarnya melihat

keselarasan antar kata dalam teks sehingga menimbulkan makna yang saling

berkaitan. Biasanya dapat diamati dengan penggunaan kata penghubung

(konjungsi): dan, atau, namun, sebab, tetapi, karena, meskipun, demikian,

jika, agar dan sebaiknya. Kata hubung (konjungsi) yang dipakai dapat

menyebabkan makna yang berbeda ketika hendak menghubungkan kalimat

(Eriyanto. 2006: 242). Hal ini terlihat pada kutipan berikut:

“yan sampun karěngӧ těkapnia gěgěněn gawayakěna ta denia tan lupa,


byakta kāsuka len guṇādhika kapangguha těkap ika yan samangkana.
Anwam pweki wayahnia yogya kětikā lěkasa mangaji away tar těpět, tan
hāro-hara tang manah tuwi taman mangangěn-angěna len sakeng aji,
āpan nirmala buddi nir si suta tan hana wiṣaya kacita denika, āpan yan
duwěging wayah katilinging wiṣaya malina buddi cancala. Lawan teki
muwah rěngěn pitěkěting bapa kěkěsana ring dalěm ati.” (KPS, 4b).
Artinya:
50

“jika telah kau dengarkan hendaknya genggamlah, laksanakanlah dan


jangan engkau lupakan, jika demikian terbukti hasil dari tindakan itu
keunggulannya jauh melebihi yang lain. Selagi usia masih muda
sebaiknya bertindak dan janganlah hanya berdiam diri. Tak henti-
hentinya hati memikirkan yang dikatakan oleh ayahnya. Sebab anak tidak
memiliki hati yang suci maka tak akan tertarik pada kebaikan - kebaikan
apapun olehnya, Sebab pada usia itu juga cenderung memiliki perilaku
yang buruk. Dan dengan inilah hendaknya nasihat yang dikatakan oleh
ayahnya agar disimpan di dalam hati.” (KPS, 4b).

Penempatan kata ‘demikian’, ‘dan’, ‘dengan’ pada keterangan di atas

mempunyai fungsi sebagai kata penghubung antar kalimat satu dengan lainnya.

Fungsi dari kata penghubung ‘sebab’, ‘demikian’, mempertegas bahwa hasil

dari sifat baik memiliki keunggulan yang baik pula. Sedangkan kata ‘dan’

merupakan kata penghubung yang menjelaskan sesuatu yang berkaitan.

Seorang anak harus mendengarkan nasihat yang telah diberikan oleh ayahnya,

juga tidak lupa akan perilaku yang baik.

3. Stilistika

Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style). Menurut

Kridalaksana, stilistika ialah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang

digunakan dalam karya sastra, dan (2) penerapan linguistic pada gaya bahasa

(1984: 20). Stilistika dalam teks sastra merujuk pada bentuk penggunaan

bahasa sebagai kode estetik, sebagai hasil karya seni yang memiliki ciri

makna dan isi tertentu. Sistematika dalam penyajian KPS, pengarang


51

menggunakan pilihan kata yang membuat pembaca melihat ideology dan

religiusitasnya.

Karya sastra berbahasa jawa kuna masih mendapat posisi yang istimewa

bagi masyarakat Bali khususnya masyarakat yang beragama Hindu karena

bahasa jawa kuna masih digunakan dalam upacara keagamaan. Darma

menjelaskan ideologi merupakan aspek kesadaran tingkat kognisi seseorang

yang berhubungan dengan jenis keyakinan, kepercayaan sosial bersama,

pengetahuan sosial budaya, latar masyarakat, representasi sosial, nilai–nilai,

serta fungsi budaya (2014: 186). Penggunaan bahasa dalam Kakawin Putra

Śāsana menekankan pada pentingnya ajaran moral yang masuk kedalam

aspek budaya. Pengarang menekankan kepada pembaca untuk melaksanakan

ajaran bhakti sesuai dalam kitab Sarasamuscaya sebab kitab itulah yang

dipakai acuan dalam penulisan Kakawin Putra Śāsana. Seperti dalam kutipan

berikut:

“Iti Putra Ṡāsana. Wirat Jagatnātha. Panghyang ninghulun atpadeng


kalěngěngan satata ri jěng ira ng Saraswatī, mahyun prākěrta putra
ṡāsana těhěr němahakěna palambanging karas, wwantěn ṡāstra daměl
nira ng parama panḍita Wararuci tūtěn inghulun, don hyang
dadyakěnang sutā pagěha lampah ika manuta dharma ning wěka.” (KPS,
1b).
Artinya:

“Ini Putra Śāsana. Wirat Jagatnātha. Terlihat olehku atas keindahan yang
terdapat di kaki beliau Dewi Saraswati, berkeinginan menuliskan
pengetahuan mengenai aturan untuk menjadi anak yang baik, terdapat
ilmu pengetahuan yang dibuat oleh Guru Wararuci yang dipakai sebagai
52

acuan dalam tulisanku, hendaknya dapat dijadikan sebagai pegangan


dalam menjalankan sifat baik sebagai seorang anak.” (KPS, 1b).

Kutipan di atas menekankan bagaimana hendaknya perilaku yang wajib

dikerjakan oleh anak yang berbhakti kepada orang tua. Seorang anak

hendaknya memiliki pegangan dalam menjalankan kehidupan karena dengan

itulah mereka akan mendapatkan sifat yang unggul. Sesulit apapun perintah /

aturan yang diberikan oleh orang tua hendaknya tetap dikerjakan. Pengarang

menekankan agar anak selalu mengamalkan ajaran Dewi Saraswati yang

merupakan manifestasi dari dewi ilmu pengetahuan.

4. Retoris

Retoris adalah gaya yang diungkapkan pengarang untuk menyatakan

sesuatu dengan sebuah intonasi dan penekanan (Eriyanto, 2006: 229).

Metafora merupakan elemen dari retoris. Metafora dalam suatu wacana dapat

dikatakan sebagai ornament dari suatu teks. Pemakaian metafora bisa menjadi

petunjuk untuk mengerti makna suatu teks. Retoris juga mempunyai fungsi

persuasif, dan hubungan erat dengan bagaimana pesan itu akan disampaikan.

Pemakaiannya diantaranya dengan menggunakan gaya repetisi (pengulangan),

aliterasi (pemakaian kata-kata yang permulaannya sama bunyinya seperti

sajak), sebagai suatu strategi untuk menarik perhatian, atau untuk menekan

sisi tertentu agar diperhatikan oleh pembaca. Pengarang dalam membuat suatu

karya sastra menuangkan isi cerita dengan ungkapan sehari-hari, peribahasa,


53

pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan ungkapan yang diambil dari

ayat-ayat suci yang semuanya dipakai untuk memperkuat pesan utama.

Pengarang menyajikan KPS dengan memaparkan ungkapan (maksud) disertai

perumpamaan. Seperti dalam kutipan berikut:

“Donkwa mrākrěta putra ṡūsana tatan sakari guna mamin lumakṣaṇa,


wetning bhanta nimitaning wětu bhāṣa kasakitan angӧlakěn lara,
markwing cita yan āngrěngӧ jalada ṡabda tan arena pajang nikang
wulan, lwir tan langgenga ring purālěsama tinggalang anak-anakan
pudhak sumar.” (KPS, 10b).
Artinya:

“Maka membuatlah kakawin putra sasana ini supaya diikuti kemudian di


laksanakan, sebab keturunanmu yang menyebabkan munculnya karya
ini agar bisa mendekatkannya kepada kebaikan jika di dengarkan. Awan
tanpa cahaya bulan. Terlihat tak kekal dari pura Lěsasama, memberikan
anak-anaknya bunga Sumar.” (KPS, 10b).

Melalui ungkapan di atas, pengarang ingin menunjukkan bahwa seorang

anak memiliki sifat lembut diibaratkan seperti awan. Jika anak tidak diajarkan

tentang pendidikan moral dan budi pekerti baik maka anak menjadi redup

jiwanya yang diibaratkan seperti awan tanpa cahaya bulan, maka tidak akan

terlihat kekal.

4.3 Kognisi Sosial

Van Dijk dalam Eriyanto (2006: 260), menyatakan bahwa analisis wacana tidak

dibatasi hanya pada struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan
54

atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideology. Aspek mental ideology

seperti ide atau keyakinan, hubungan mereka dengan pendapat dan pengetahuan, dan

status masyarakat sebagai representasi sosial semua akan tercakup dalam label

mental.

Untuk membongkar bagaimana makna yang tersembunyi dari teks, kita

membutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif

didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu

diberikan oleh pemakai bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas

representasi kognisi dan strategi pengarang dalam membuat suatu teks. Pada analisis

kognisi sosial difokuskan bagaimana sebuah teks diproduksi, dipahami, dan

ditafsirkan.

Judul Kakawin Putra Śāsana akan diketahui oleh masyarakat Bali yang artinya

aturan bagi anak. Namun masyarakat belum mengetahui secara utuh maksud dari

karya yang dibuat oleh pengarang sebelum membaca isi teks secara keseluruhan.

Kognisi sosial yang ditampilkan dalam kakawin tersebut adalah pendidikan moral

yang menerangkan tentang aturan-aturan yang wajib dipahami oleh anak. Hal ini

menjelaskan bahwa teks Kakawin Putra Śāsana menguraikan tentang ideology yang

berhubungan dengan keyakinan serta nilai-nilai moral, etika, dan susila. Ideology

yang berhubungan dengan jenis keyakinan ini berdasarkan keyakinan oleh

masyarakat pada norma dan nilai yang merupakan dasar dalam bersikap dan

berperilaku.
55

Pengarang dalam Kakawin Putra Śāsana bertindak sebagai narrator yang

menguraikan ajaran bhakti terhadap orang tua. Pengarang menggunakan bahasa jawa

kuna dalam membuat Kakawin Putra Śāsana dengan maksud ingin menyampaikan

petuah atau ajaran suci berdasarkan ajaran agama Hindu karena telah dijelaskan

bahwa karya sastra jawa kuna masih memiliki tempat yang istimewa di hati

masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Kognisi sosial yang ditampilkan

dalam teks Kakawin Putra Śāsana adalah mengenai bagaimana aturan atau tindakan

yang seharusnya dilakukan oleh anak sehingga memiliki perilaku baik dan memiliki

rasa bhakti terhadap orang tua berlandaskan ajaran agama. Wacana etika yang

menguraikan bagaimana manusia harus bertingkah laku, pengarang dapat

menggambarkannya dalam Kakawin Putra Śāsana yaitu penyampaian pesan yang

bersumber dari nilai-nilai religi berdasarkan ajaran pada kitab Sarasamuscaya.

Pengarang menampilkan nasihat berdasarkan ajaran agama khususnya ajaran

bhakti terhadap orang tua dengan memberikan hubungan sebab akibat. Bagaimana

seharusnya anak berbhakti terhadap orang tua. Begitu pula sebaliknya bagaimana cara

orang tua dalam berperilaku agar menjadi contoh atau panutan untuk anak-anaknya.

4.4 Konteks Sosial

Analisis wacana kritis menurut pandangan Van Dijk tidak hanya menguraikan

teks saja, tetapi juga menguraikan kognisi dan konteks. Konteks yang dimaksud

adalah memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan
56

mempengaruhi pamakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana

teks tersebut diproduksi, situasi, peristiwa, kondisi, fungsi yang dimaksud, dan

sebagainya. Kakawin Putra Śāsana menuturkan ajaran bhakti anak kepada orang tua.

Pengarang dengan baik menjelaskan dengan mengkemas cerita dengan memberikan

contoh sebab akibat jika menjadi anak yang memiliki sifat bhakti. Melalui Kakawin

Putra Śāsana pengarang ingin menumbuhkan kesadaran seorang anak dalam

menjalankan kewajibannya berbhakti kepada orang tuanya agar menjadi anak yang

suputra.

Pengarang juga memaparkan pesan moral sesuai dengan konteks sosial kepada

semua manusia yang akan menjadi penerus dalam mengamalkan ajaran moral dan

etika. Pengarang memberikan pesan moral sesuai dengan konteks sosial yang selalu

diingatkan untuk generasi muda. Seorang anak yang memiliki sifat yang baik dan

berbudi luhur dimulai dari orang tua yang mengajarkan kepada anak-anaknya sejak

usia dini untuk selalu berbhakti kepada orang tuanya.

Hal ini sesuai dengan fenomena saat ini sering disebut dengan jaman kaliyuga,

dimana manusia bisa lupa akan kebesaran Tuhan karena terlalu menukmati kehidupan

yang bersifat duniawi. Sehingga anak lupa akan jasa yang telah diberikan oleh orang

tua yang telah bersusah payah merawat dan mendidiknya. Hal inilah yang akan

membuat kebodohan dan terjerumusnya anak dalam perbuatan yang tercela. Oleh

karena itu pengarang berusaha mengingatkan kembali aturan yang wajib dilaksanakan
57

oleh seorang anak agar memiliki sifat bhakti terhadap orang tua melalui karyanya

dalam teks Kakawin Putra Śāsana.


58

BAB V

FUNGSI DAN MAKNA WACANA


KAKAWIN PUTRA ŚĀSANA

5.1 Fungsi Kakawin Putra Śāsana

Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis), wacana tidak dipahami

semata sebagai studi bahasa, tetapi juga menghubungakannya dengan konteks.

Konteks bahwa bahasa itu dipakai untuk tujuan tertentu. Konteks memasukkan semua

hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan

dalam bahasa, situasi di mana teks itu diproduksi (Eriyanto, 2006: 09). Fungsi yang

dimaksud adalah penggunaan bahasa untuk tujuan tertentu. Pengarang berusaha

menyampaikan hasil pemikirannya berupa karya sastra yang di dalamnya tersimpan

tujuan yang hendak disumbangkan kepada pembaca atau fungsi keseluruhan

karyanya. Kakawin Putra Śāsana memiliki beberapa fungsi, sebagai berikut.

5.1.1 Fungsi Pendidikan

Pendidikan merupakan aspek dan kebutuhan penting bagi kehidupan manusia

serta sarana humanis bagi anak. Pendidikan selalu memberikan ruang bagi pengajaran

etika maupun moral, dan segenap aturan luhur yang membimbing anak agar

mencapai kehidupan yang humanis (Wibowo, 2013: 1).

Pendidikan merupakan kebutuhan yang penting bagi anak agar menjadi

manusia yang memiliki pikiran yang unggul baik dari segi intelektual, moral, maupun
59

sosial. Pendidikan dalam konteks ini merupakan bagian dari pemeliharaan budaya

karena mengacu pada teks-teks kuno sebagai bahan pembelajaran. Agama juga

dipakai sebagai landasan keyakinan dalam pembentukan moral setiap individu

maupun kelompok agar setiap individu tidak mudah dipengaruhi oleh individu lain

yang bertentangan. Penelitian teks Kakawin Putra Śāsana ini juga mengkhususkan

penelitian dari segi fungsi sasana dan fungsi etika.

5.1.2 Fungsi Śāsana

Śāsana dalam kamus Jawa Kuna-Indonesia (Zoetmulder, 1995: 1050) berarti

perintah, ajaran, disiplin, aturan, dan kumpulan undang-undang. Kakawin Putra

Śāsana disini memiliki peran penting karena di dalamnya berisi tentang ajaran beserta

aturan-aturan yang wajib dilakukan oleh seorang anak. Aturan yang dimaksud

terdapat dalam kutipan teks sebagai berikut:

“yan tan inajar ulahania ring hayu, kamūdha ni yayahnia len liwat i sihnia
karaṇan ika tan muwus ri ya, ta ya pwa pituturnia tan dwa t ikanang suta
manasarasing janā malěh, sadurwyaṡa nikang yayah t ikā pipangawaṡani
doṡa ning wěka …” (KPS, 2a).
Artinya:

“jika anak tidak diajarkan tentang kebaikan, oleh karena ayah tidak bijaksana
dengan terlalu memanjakan anaknya, itulah yang membuat anak menjadi tidak
jujur dan pasti menyebabkan kehancuran, sebab sifat / perbuatan buruk dari
ayah itu yang ditiru oleh anaknya …” (KPS, 2a).

Pada kutipan di atas, pengarang memberikan nasihat kepada orang tua agar

selalu memberikan contoh yang baik untuk anak-anaknya agar tidak menjerumuskan

anaknya kedalam kesengsaraan dikemudian hari. Sebab setiap perbuatan yang

dikerjakan oleh orang tua pasti akan ditiru oleh anaknya.


60

“Mātangyan tika salwiring warah-warah sangatanaya jugeki gěgwana, yan


sampun kagěgě pwa lampahakěnania sarasa nikanang warah ri ya, byaktang
tuṣṭa katemwa denia ri sěděngnia gumayisapājaring yayah, apan tang guru
ṡasanenulahakěnia makaphala katěmwaning guṇa …” (KPS, 9a).
Artinya:

“itulah sebabnya macam-macam nasihat itu hendaknya juga diketahui oleh


anak, jika telah di mengerti maka kerjakanlah semua nasihat itu, terbukti
setelah mengerjakannya akan mendapatkan kebahagiaan olehnya saat
menjalankan semua yang telah diajarkan oleh ayahnya, karena ajaran yang
menimbulkan kebaikan. Setelah anak mengetahui serta menjalankan
pendidikan moral yang telah diberikan, maka ia akan memiliki sifat yang
mulia dalam keluarga …” (KPS, 9a).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa anak wajib menjalankan segala nasihat

yang telah dikatan untuk menjalankan bhakti kepada orang tua. Sebab segala sesuatu

yang dilakukan baik dalam menekuni nasihat dan ajaran kebaikan dalam

menghormati orang tua maka anak akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.

5.1.3 Fungsi Etika (Susila)

Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ethis yang berarti kesusilaan , atau lebih

tepatnya to ethos yang berarti kebiasaan, adat istiadat, kesusilaan. Etika adalah

pengetahuan tentang kesusilaan. Kesusilaan berbentuk kaidah tentang larangan atau

perintah untuk berbuat sesuatu. Ajaran etika memuat pengetahuan tentang perbuatan

baik dan perbuatan buruk. Susila berasal dari kata ‘su’ dan ‘sila’, su berarti baik dan

sila berarti tingkah laku. Susila adalah aturan yang baik mengenai tingkah laku yang

harus dijadikan pedoman hidup oleh manusia. Tujuan tata susila adalah untuk

membina hubungan yang selaras atau hubungan yang rukun antar keluarga maupun

masyarakat serta keharmonisan antar manusia dengan Tuhan sebagai pencipta alam.

Anak sebagai calon penerus bangsa hendaknya memiliki perilaku dan sifat yang baik
61

agar mampu mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Seperti dalam kutipan

sebagai berikut:

“Nā tang wuwus liningakěn pirěngin ta mangke, dening suputra maharěp


wikan matangnika raṣa ning wacanati yukti, nāhan matangnika rasania
sayogya tūtěn. Yeking palambang inaměr suta ṡāsanakya, doniang sungang
ita suṡilahaning tanuja, hetunia yukti rěngěněn gawayěn sangahyun, tātan
pahīngan ika rakwa gěnging phalania …” (KPS, 10a).
Artinya:

“Demikianlah setelah diberitahukan hendaknya dengarkanlah sekarang. Sebab


mengharapkan anak yang baik agar supaya mengetahui aturan yang
seharusnya dijalankan olehnya sebagai seorang anak, isi secara singkat ini
hendaknya diresapi dan di padukan dengan perbuatan. Itulah sebabnya
sebaiknya dirasakan dan diikuti, inilah aturan-aturan yang wajib diketahui
oleh seorang anak. Janganlah lupa memberikan pengetahuan tentang kebaikan
kepada anak, oleh sebab itu hendaknya dengarkan dan lakukan semua aturan
tersebut. Perbuatan itu akan sangat jelas pahalanya …” (KPS, 10a).

Kutipan di atas merupakan bentuk penekanan dari pengarang agar anak selalu

menjalankan aturan-aturan. Pengarang juga berusaha mengingatkan orang tua agar

tidak lupa untuk mengajarkan perbuatan baik kepada anaknya sebab segala perbuatan

baik akan mendapatkan pahala yang baik pula.

Hal ini selaras dengan ajaran agama Hindu yang disebut sesanti yaitu: Tat twam

asi yang artinya ‘itu adalah kamu’. Sesanti mengajarkan kita untuk mengutamakan

sifat cinta kasih yang seluas-luasnya. Menyakiti orang atu makhluk lain berarti sama

dengan menyakiti diri sendiri. Untuk itu manusia diajarkan agar tidak menyakiti

makhluk lain. Sebab semua makhluk adalah ciptaan Tuhan (Sukartha, 2017: 122).

Manusia terdiri atas badan kasar (stula sarira) dan badan halus (atma sarira). Atma

sarira terdiri atas roh dan jiwa. Roh semua makhluk merupakan energy Tuhan. Ini

berarti Tuhan ada pada setiap makhluk ciptaannya. Menyakiti makhluk ciptaan Tuhan
62

berarti menyakiti Tuhan itu sendiri. Untuk itu, sebaiknya agar menghindari perilaku

seperti demikian.

Selain hal yang disebutkan di atas, Agama Hindu juga mengenal tiga komponen

dasar sebagai tolok ukur karakter yang baik. Ketiga komponen dasar itu disebut

dengan Tri kaya parisuddha, seperti kayika parisuddha (perbuatan yang baik),

wacika parisuddha (berbicara yang baik), dan manacika parisuddha (berpikir yang

baik) (Punyatmaja, 2015: 45). Dalam Kakawin Nītiṡāstra disebutkan:

Wasita nimittanta maněmu laksmi,


Wisita nimittanta pati kapangguh,
Wasita nimittanta maněmu duhka,
Wasita nimittanta maněmu mitra (Nītiṡāstra, Sargah 5, no 3).
Artinya:

Perkataan akan menyebabkan menemukan kebahagiaan,


Perkataan akan menyebabkan menemukan kematian,
Perkataan menyebabkan mendapatkan kesusahan,
Perkataan akan menyebabkan mendapatkan teman.

Sarasamuscaya 80 mengatakan:

Apan ikang manah ngarania ika witning indria, maprawěrtti ta ya ring


ṡubhāṡubhakarma, matangnian ikang manah juga prihěn kahrětania
sakarěng.
Artinya:

Karena yang disebut pikiran itu bersumber pada semua indria, inilah yang
menggerakkan perbuatan baik atau buruk itu. Karena itu pikirkanlah yang
patut diusahakan untuk dikendalikan.

Canakya Nītiṡāstra X.2 menyebutkan:

Dŗṣti pūtam nyasel pādam wastra pūtam pibejjalam,


ṡāstra pūtam waded wākyah manah pūtam samācaret.
Artinya:

hendaknya kita berhati-hati dimana kaki kita melangkah,


63

kita juga harus minum air dengan kain penyaring bersih,


kita harus cermat ketika berbicara tentang pengetahuan,
kita harus melakukan perbuatan yang telah kita pikirkan dengan cerdas.

Kakawin dan Sloka di atas telah diperoleh gambaran bahwa, manusia

hendaknya berhati-hati dalam berpikir, sebab pikiran akan menjadi perkataan.

Manusia juga harus berhati-hati ketika berkata-kata sebab kata-kata akan menjadi

perbuatan. Berbuat juga harus berhati-hati dengan kebiasaan sebab kebiasaanmu akan

menjadi karaktermu. Manusia harus berhati-hati dengan karakternya sebab karakter

akan menjadi takdirnya.

5.2 Makna

Menurut Charles Sanders Peirce dalam Heod, tanda adalah sesuatu yang

mewakili sesuatu (something that represents something else). Tanda-tanda

memungkinkan kita perpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna

pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta (2006: 19). Dalam berkomunikasi tidak

hanya berhadapan dengan kata tetapi dengan suatu rangkaian kata yang mengandung

amanat, maka ada beberapa unsur yang terkandung dalam ujaran yaitu pengertian,

perasaan, dan tujuan (Keraf, 1980: 25).

Kakawin Putra Śāsana mengandung berbagai ajaran bhakti kepada orang tua

serta ajaran dalam proses menjadi manusia yang memiliki sifat unggul. Berikut

merupakan beberapa makna yang dapat dipetik dari Kakawin Putra Śāsana dan dapat

dijadikan pedoman bagi kehidupan.


64

5.2.1 Makna Suputra

Suputra berasal dari kata ‘putra’ yang berarti anak, dan mendapatkan imbuhan

‘su’ yang berarti baik. Jadi dengan demikian “Suputra” berarti anak yang baik, dalam

hal ini anak yang berbhakti kepada orang tua dan leluhurnya. dalam kehidupan

sehari-hari anak wajib berbhakti kepada orang tua dengan cara mentaati segala

perintah dan nasihatnya.

Pengarang menunjukkan sifat Suputra yang merupakan sifat unggul yang wajib

dimiliki seorang anak, hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

“wwantěn teki muwah sutātiṡaya mūdha sakari jana kania nirguṇa, lyan tang
putra mahotameng guṇa lěwih saka ri yayah ikāti buddiman …” (KPS, 7b).
Artinya:

“Adalah ini anak yang unggul sebab manusia yang bodoh tidak akan berguna,
beda dengan anak yang memiliki keutamaan dalam ilmu pengetahuan yang
melebihi ayahnya. Itulah anak yang berbudi baik …” (KPS, 7b).

Berdasarkan kuipan di atas, terlihat bahwa anak yang memiliki ilmu

pengetahuan melebihi ayahnya merupakan anak yang memiliki sifat unggul sesuai

dengan karakter Suputra. Pengarang menguraikan sifat-sifat suputra dengan

menampilkan contoh tersebut agar anak dapat memahami isi cerita dengan baik tanpa

kesulitan.

5.2.2 Makna Pengendalian Diri

Pengendalian diri merupakan tingkah laku atau perbuatan yang dapat

membedakan perbuatan, kata-kata, maupun pikirannya. Pengendalian diri harus

dilatih sejak dini. Pengendalian diri merupakan sikap, tindakan, dan perilaku
65

seseorang secara sadar baik direncanakan atau tidak untuk mematuhi nilai dan norma

sosial yang berlaku.

Adapun beberapa cara mengendalikan diri sebagai berikut: 1. Mengendalikan

diri dengan menggunakan prinsip kemoralan, 2. Mengendalikan diri menggunakan

kesadaran, 3. Mengendalikan diri dengan perenungan, 4. Menggunakan kesabaran, 5.

Menyibukkan diri dengan pikiran dan aktivitas yang positif. Pengendalian diri adalah

kemampuan seseorang untuk tidak melakukan hal yang tidak baik. Sebab hal ini

dapat menimbulkan seseorang terseret kedalam hal-hal negatif dan akan membuatnya

semakin dekat dengan kesengsaraan. Pengarang berusaha menampilkan sifat

pengendalian diri pada kutipan berikut:

“Hana pwa tanayā nda tan mulahakěn gati-gati sakināptya ning yayah, nda
tan wěka ngarania ring tanaya mangkana trěṇa pangarania tar waneh,
prasida tikanang yayahnia umidhěptana wěka suguṇania tan padon, těkapni
tanayania nirguṇa taman mulahakěni sukarma ning yayah. Apan sahana ning
janā ngidhěpakěn suka magěng adhikāra tan sipi, susādhuning anaknia
hetuni mangkana tana arěping kaduskrětan, samangkana tikang wwang
āngidhěpakěn lara satata ya duhka kasyasih, kadurjana nikang anak ya ta
nimi nika maněmu duhka tar waneh …” (KPS, 3a).
Artinya:

“Adalah anak yang enggan melakukan tindakan yang diperintahkan oleh


ayahnya. Itu bukanlah seorang anak namanya. Begitulah cinta yang tidak
diberikan oleh anak namanya. Berpikirlah ayah saat melihat perbuatan
anaknya. Tindakan anaknya sama sekali tidak berguna sebab anak hendaknya
enggan melakukan perbuatan yang baik kepada ayahnya. Ketika semua anak
hanya memikirkan kesenangan dalam dirinya saja tanpa memperdulikan
perintah. Begitulah sebaiknya anak enggan melakukan tindakan yang keliru,
hendaknya dipikirkan perbuatan yang menimbulkan kesengsaraan, perilaku
buruk itulah yang menyebabkan anak merasakan kesengsaraan yang amat
perih di kemudian hari …” (KPS, 3a).
66

Berdasarkan kutipan di atas, terlihat bahwa anak yang tidak tidak berbhakti

kepada ayahnya maka akan menemukan kesengsaraan dalam hidupnya. Hal inilah

yang seharusnya dapat menjadikan pedoman bagi anak agar selalu taat akan perintah

dari orang tuanya serta meninggalkan kesenangan dirinya agar mendapatkan

kesejahteraan dalam hidup dikemudian hari.


67

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kakawin Putra Śāsana merupakan satu dari sekian karya sastra tradisional Bali

yang menggunakan bahasa Jawa Kuna. Setelah melakukan analisis dan pembahasan

pada teks Kakawin Putra Śāsana, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

Kakawin Putra Śāsana merupakan teks yang berisi tentang aturan-aturan yang

wajib diketahui dan dilaksanakan oleh anak. Kakawin Putra Śāsana termasuk dalam

klasifikasi wacana hortatori yang merupakan raingkaian tuturan bersifat memberi

nasihat atau petuah. Isi dari keseluruhan cerita Kakawin Putra Śāsana dikemas dalam

satu tema besar yaitu bhakti kepada orang tua. Skema cerita dari Kakawin Putra

Śāsana diawali dengan pemaparan sumber naskah yang mengacu pada kitab

Sarasamuscaya. Pemilihan bahasa, kata, bentuk kalimat, dan metafora yang dikemas

secara apik menambah keindahan isi dari kakawin tersebut. Dari segi kognisi sosial,

pengarang ingin menyampaikan beberapa aturan yang harus diketahui oleh anak agar

memiliki etika dan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama untuk berbhakti kepada

orang tua. Dari segi konteks sosial pengarang membuat Kakawin Putra Śāsana

dengan tujuan untuk memberitahukan kepada orang tua agar mampu menanamkan

etika yang baik kepada anak, agar anak mampu menjadi manusia yang suputra baik

dalam berpikir, berkata, maupun bertindak dalam menjalankan kehidupan di dunia.


68

Sebab jika dilihat fenomena yang sering terjadi saat ini, manusia melupakan bahkan

tidak mengerti tentang ajaran karmaphala, manusia sering berbuat seenaknya tanpa

memperdulikan hasil yang akan mereka dapatkan setelahnya sehingga pasti akan

mencelakai dan merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

Fungsi Kakawin Putra Śāsana dapat dijadikan pedoman hidup bagi manusia.

Fungsi tersebut diantaranya adalah fungsi pendidikan yang mengajarkan tentang

aturan-aturan yang wajib diketahui oleh anak untuk dapat berbhakti kepada orang

tuanya. Fungsi Sasana untuk mengetahui aturan dan perbuatan seperti apakah yang

wajib dilakukan dan ditinggalkan agar hidupnya mendapatkan kesejahteraan. Serta

fungsi etika (susila) agar anak mampu membedakan perbuatan baik buruk. Selain itu

terdapat makna suputra dan pengendalian diri.

6.2 Saran

Analisis wacana kritis Kakawin Putra Śāsana merupakan sebuah penelitian

awal yang tentunya masih jauh dari kata sempurna. Peneliti mengharapkan penelitian

lebih lanjut untuk mengungkap berbagai masalah yang masih terkandung dalam

Kakawin Putra Śāsana. Penelitian filologi tentunya diperlukan untuk mendapatkan

teks yang bebas dari korup.


69

DAFTAR PUSTAKA

Agustien, S, dkk. 2006. Buku Pintar Bahasa dan Sastra Indonesia. Semarang: Aneka
Ilmu.
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Cetakan ke-8. Bandung: Sinar
Baru Aglesindo.
Atmaja, I Made Nada, dkk. 2010. Etika Hindu. Surabaya: Paramita.
Berg, C.C. 1927. Kidung Sunda, Inleiding Tekst, Vertaling en aanteekeningen, BKI,
83, pp. 1-161. The Hague: KITLV.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Darma, Yoce Aliah. 2013. Analisis Wacana Kritis. Cetakan ke-2. Bandung: Yrama
Widya.
________________. 2014. Analisis Wacana Kritis dalam Multiperspektif.
Bandung: PT Refika Aditama.

Emzir. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Cetakan ke-2. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.

Eriyanto. 2006. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Cetakan ke-5.
Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Widasastra Indonesia.

Hermana, J. Tangahu, B. V. 2003. Metode Analisa. Surabaya: ITS.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu

Kadjeng, Nyoman, dkk. 1997. Sārasamuscaya. Surabaya: Paramita.

Keraf, Gorys. 1980. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa dan Karakter
Bangsa. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.
70

Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya.
Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Medera, I Nengah. 1996. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Jurusan Sastra
Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis
Wacana. Cetakan ke-1. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.
Parera, ID. 2004. Teori Semantik, Jakarta: Erlangga.
Pradopo. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pratama, Putu Ari Suprapta. 2013. Kakawin Karṇnāntaka: Analisis Semiotik. Skripsi
Sarjana Denpasar: Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____________________. 2015. Teori, Metode dan Teknik Penulisan Sastra dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Cetakan ke-13. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tanti Piṡācaraṇa. Denpasar: Pustaka Larasan.

_______________. 2009. Telaah Sastra Kakawin. Denpasar: Pustaka Larasan.

Sugriwa, I G.B. 1997. Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar: Pustaka Larasan.

Sukartha, I Nyoman, dkk. 2017. Pendidikan Moralitas dalam Kidung Manduka


Prakarana. Denpasar: Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Udayana.
Turner, Jonathan H, dan Alexandra Maryanski. 2010. Fungsionalisme. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Verhaar, J.W.M. 2006. Asas Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada.
71

Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penejemah
Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.
_____________ & S.O.Robson. 2011. Kamus Jawa Kuno Indonesiaa. Cetakan ke-6.
Jakarta: Gramedia.

http://id.wikipedia.org/wiki/etika [di akses, 04 November 2018].

Anda mungkin juga menyukai