BAB I
PENDAHULUAN
kearifan lokal berkembang di Pulau Jawa, Bali dan Lombok, ketiga pulau yang masih
memiliki hubungan kekerabatan ini menyimpan banyak kearifan yang menarik dan
dan Lombok, banyak karya sastra yang diciptakan pada masa itu diantaranya kakawin
lain.
Kakawin merupakan salah satu hasil karya sastra berbentuk puisi yang
menggunakan bahasa Jawa Kuna. Istilah kakawin berasal dari bahasa sansekerta yaitu
kawi, dan dalam sansekerta klasik berarti “seorang penyair”. Kata kawi diserap ke
dalam bahasa jawa kuna dan terbentuklah kata benda baru yang berakar pada kata
kawi yakni mengalami proses afiksasi dengan adanya penambahan konfiks ka- -ĕn,
selanjutnya vokal /ĕ/ pada sufiks ĕn luluh karena mengalami proses persandian
dengan vokal /i/ pada kata kawi sehingga terbentuk kata kakawin yang berarti “karya
(1982: 11-12) Kakawin ialah karya sastra berbentuk puisi Jawa Kuna. Kakawin
2
merupakan syair Jawa Kuna yang dibangun dalam bentuk wirama dan diikat oleh
aturan guru-laghu.
Tradisi penulisan karya sastra kakawin di Bali berlangsung pada kurun waktu
yang cukup panjang. Karya sastra kakawin pertama kali ditulis di Jawa pada peiode
Jawa Tengah hingga periode Jawa Timur sejak abad ke-9 sampai ke-15 (Zoetmulder,
menjadi dua yaitu kakawin mayor dan kakawin minor. Kakawin mayor adalah
kakawin yang dihasilkan pada abad ke-9 sampai ke-15 sebelum masa pemerintahan
kerajaan Majapahit. Adapun kakawin yang tergolong dalam kakawin mayor antara
lain–lain. Sedangkan kakawin minor adalah kakawin yang lebih muda dan
kemunculannya pada akhir jaman Majapahit hingga saat ini. Adapun yang tergolong
kakawin minor diantaranya Kakawin Subadra Wiwaha, Kakawin Partha Yajnya dan
pada masa Kerajaan Klungkung. Kakawin yang muncul pada masa kerajaan Gelgel
yaitu Kakawin Anyang Nirartha dan Kakawin Sarakusuma Karya Dang Hyang
Nirartha (Berg, 1927: 31). Sementara itu kakawin yang muncul pada masa kerajaan
Gde Pemeregan bersama Dewa Agung Istri Kanya. Abad 21 dewasa ini juga masih
karya sastra kakawin tersebut antara lain: Kakawin Ekadasa Siwa karya Made
(dari Kayu Mas, Denpasar); Kakawin Anda Buana karya I Wayan Seregeg (dari
Pengastulan Buleleng) dan Kakawin Bali Sabha Langő karya I Nyoman Adi Putra
Studi bahasa dan sastra Jawa Kuna khususnya dalam bentuk karya sastra
sarjana asing yang telah mengkaji karya sastra Jawa Kuna secara ilmiah. Hal ini
disebabkan karena karya sastra Jawa Kuna memiliki nilai-nilai budaya adiluhung
yang patut diketahui relevansinya dalam kehidupan masyarakat. Pada kesempatan ini
Setiap rentetan kalimat yang muncul tentu memiliki maksud yang ingin
disampaikan oleh penutur kepada lawan tutur, dan penulis kepada pembaca. Oleh
karena itu, sangat penting mengetahui struktur kewacanaan dalam Kakawin Putra
Śāsana. Wacana merupakan unsur kebahasaan yang kompleks dan paling lengkap
(Mulyana, 2005: 1). Teks bukan suatu ruang hampa yang mandiri, akan tetapi teks
Penelitian ini mengkaji struktur wacana menurut teori analisis wacana Teun A.
Van Dijk yang sering dikenal dengan critical discourse analysis atau analisis wacana
kritis. Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada
analisis karena teks juga merupakan suatu praktek produksi yang perlu diamati. Van
Dijk dalam Eriyanto (2006: 221) menggambarkan bahwa wacana mempunyai tiga
4
dimensi yaitu: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Pada tataran ini analisis
wacana termasuk ke dalam kategori paradigma kritis. Wacana di sini tidak dipahami
semata sebagai studi bahasa, meskipun analisis wacana menggunakan bahasa dalam
teks untuk dianalisis seperti pada linguistik tradisional, bahasa dianalisis bukan
Kakawin Putra Śāsana ini berisi tentang aturan-aturan dan tingkah laku yang
wajib diketahui dan dilakukan oleh seorang anak. Dijelaskan pula mengenai sikap
seorang anak yang wajib mengetahui tentang etika (susila) agar anak tersebut menjadi
manusia yang baik di mata orang tua, lingkungan, dan Tuhan. Dewasa ini, banyak
anak muda yang tidak memiliki budi baik disebabkan pergaulan yang semakin bebas
dan terbawa arus globalisasi. Semakin hari pola pergaulan tersebut semakin merusak
moral generasi muda. Tujuannya untuk menyikapi hal tersebut maka penelitian
kewacanaan beserta fungsi dan makna yang terkandung di dalam Kakawin Putra
Śāsana. Hal itu diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
karya sastra kakawin terutama informasi yang ada dalam Kakawin Putra Śāsana.
2. Fungsi dan Makna apa yang terdapat dalam Kakawin Putra Śāsana?
5
Sebuah penelitian tentu memiliki sebuah tujuan yang diharapkan dapat tercapai
setelah rumusan masalah sudah terpecahkan. Adapun tujuan penelitian ini terbagi
Kuna yang berbentuk kakawin. Penelitian ini bukan hanya bertujuan sebagai
penunjang bahan studi dalam penelitian sastra tradisional saja, tetapi juga bermanfaat
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur wacana dalam
Kakawin Putra Śāsana serta mengetahui fungsi dan makna yang terdapat dalam
dan tujuan penelitian di atas maka manfaat dari penelitian ini diuraikan sebagai
berikut.
pengetahuan dalam bidang bahasa dan sastra Jawa Kuna, khususnya dalam penelitian
6
sastra kakawin. Serta dapat dijadikan acuan untuk para peneliti pada penelitian
selanjutnya.
Kuna yang saat ini semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Hasil dari penelitian ini
akan bermanfaat bagi generasi muda dalam memberikan inspirasi agar ikut andil
dalam memperhatikan bahasa dan sastra Jawa Kuna sebagai salah satu khazanah
budaya nusantara. Serta bagi masyarakat luas agar dapat mengetahui nilai-nilai positif
yang terkandung dalam Kakawin Putra Śāsana dana dapat diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat.
1.5 Jangkauan
akan di teliti, sehingga nantinya dapat membatasi ruang lingkup penelitian agar tidak
jauh menyimpang dari masalah yang akan dikaji (Pratama, 2013: 7).
dalam tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Wacana dilihat dari
analisis teks terbagi ke dalam tiga tingkatan yaitu struktur makro yang berisi makna
global (tematik), seperstruktur yang merupakan kerangka suatu teks (skematik), dan
stuktur mikro yang meniliti makna wacana diamati dari bagian kecil suatu teks
(semantik, sintaksis, stilistik dan retoris) dan analisis kognisi sosial dan konteks sosial
penelitian (Pratama, 2013: 7). Adapun sistematika penyajian yang akan disajikan
Bab I merupakan bab pendahuluan. Berisi pokok bahasan yang meliputi, latar
Bab II berisi tentang uraian singkat mengenai kajian pustaka, konsep dan landasan
teori. Sedangkan dalam bab III berisi mengenai metode, teknik, dan sumber data
penelitian.
Putra Śāsana yang terbagi dalam tiga dimensi yaitu Wacana dilihat dari analisis teks
terbagi ke dalam tiga tingkatan yaitu struktur makro yang berisi makna global
(tematik), seperstruktur yang merupakan kerangka suatu teks (skematik), dan stuktur
mikro yang meniliti makna wacana diamati dari bagian kecil dari suatu teks
(semantik, sintaksis, stilistik dan retoris) dan analisis kognisi sosial dan konteks sosial
Bab V membahas Fungsi dan makna yang terdapat dalam Kakawin Putra
Śāsana yang meliputi fungsi pendidikan, fungsi sasana, dan fungsi etika (susila),
makna suputra dan makna pengendalian diri. Bab VI merupakan bagian penutup
BAB II
Kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis referensi seperti
buku, jurnal, paper, artikel, skripsi, tesis. Disertasi dan karya ilmiah lain yang dikutip
dalam penulisan proposal. Semua referensi yang tertulis dalam kajian pustaka harus
diangkat. Kakawin Putra Śāsana dalam perkembangannya belum ada yang meneliti
menggunakan model teori Teun A. Van Dijk. Analisis teks dilihat dari
struktur wacana Kidung Ruměksa ing Wěngi yang terbagi dalam tiga
dimensi yaitu, wacana dilihat dari analisis teks yang terbagi ke dalam tiga
struktur mikro yang meneliti makna wacana diamati dari bagian kecil
dilihat dari dimensi kognisi sosial dan konteks sosial untuk membongkar
9
makna yang terkandung dalam suatu teks. Serta membahas fungsi dan
makna yang terdapat dalam teks Kidung Ruměksa ing Wěngi. Penelitian
teori Teun A. Van Dijk sehingga dapat dijadikan sebagai acuan teori
masalah yaitu (1) bagaimana struktur wacana yang membangun teks Tutur
Tingkah Dadi Wwang dan (2) fungsi dan makna apa saja yang terdapat di
Tutur Tingkah Dadi Wwang. Dari kedua rumusan masalah ini didapat
suatu hasil berupa ajaran bhakti yang merupakan suatu tindakan hormat,
ajaran bhakti yang diuraikan dalam Tutur Tingkah Dadi Wwang ialah
bhakti terhadap tri guru yaitu bhakti kepada orang tua (Guru Rupaka),
dengan ajaran agama Hindu (Winaya, 2016: 37). Analisis wacana Tutur
Tingkah Dadi Wwang memiliki fungsi dan makna bagi masyarakat hindu
Kajian pustaka di atas digunakan sebagai pembanding pada acuan teori yang
2.2 Konsep
Konsep adalah istilah atau simbol yang merujuk pada suatu pengertian tertentu.
Konsep juga berarti sesuatu yang abstrak tetapi menunjuk pada sesuatu yang jelas
(Gulo, 2002: 8). Dengan demikian, maka konsep yang dikemukakan dalam Kakawin
2.2.1 Wacana
Wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling
lengkap (Mulyana, 2005: 1). Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta
wak/wac/vak, artinya ‘berkata’. Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup
morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III Parasmaepadam yang
bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kata tersebut kemudian mengalami
perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks
diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’ (Mulyana, 2005: 3). Sedangkan (Ratna,
2015: 244) mengatakan secara etimologis wacana berasal dari vacana (Sansekerta),
berarti kata-kata, cara berkata, ucapan, pembicaraan, perintah dan nasihat. Wacana
dalam (kridalaksana, 1993: 212) merupakan deretan kalimat, kata yang membentuk
Wacana dalam studi linguistik mengkaji tentang aspek kebahasaan dari kata,
analisis wacana terhadap sebuah teks, namun meneliti juga relasi atau hubungan
kalimat yang satu dengan kalimat lainnya. Wacana dalam studi sosiologi menunjuk
11
pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Wacana dalam studi
psikologi sosial diartikan sebagai suatu pembicaraan. Wacana di sini lebih mirip
dengan struktur dan bentuk wawancara atau praktik dari pemakaian bahasa. Wacana
dalam studi politik merupakan praktik pemakaian bahasa, terutama bahasa politik
(Eriyanto, 2006: 3). Dari definisi wacana dalam berbagai ilmu di atas dapat diketahui
dalam analisis wacana. Pandangan pertama diwakili oleh positivism empiris, titik
perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa itu secara gramatikal. Istilah itu
sering disebut dengan istilah kohesi dan koherensi. Pandangan itu disebut dengan
makna-makna yang ada dalam wacana. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai
sesuatu yang tidak memiliki makna, melainkan sesuatu yang disusun, dibuat,
diciptakan dengan tujuan tertentu. Pandangan itu sering disebut sebagai wacana
kritis. Pandangan itu mengoreksi kedua pandangan sebelumnya yang dinilai kurang
sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna. Wacana tidak hanya
konteks yang berarti bahasa digunakan untuk tujuan dan praktik tertentu.
12
2.2.2 Kakawin
Kakawin adalah nyanyian klasik yang terikat oleh guru laghu, yaitu aturan letak
matra pada tiap-tiap wrĕtta (suku kata) yang ditentukan sesuai dengan metrum
(wirama) yang digunakan dalam kesatuan pupuhnya. (Sugriwa, 1978: 12). Sedangkan
menurut Suarka (2009: 1) kakawin merupakan salah satu jenis karya sastra Jawa
Kuna yang berbentuk puisi dan diikat oleh aturan metrum guru laghu, sedangkan
bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuna. Istilah kakawin berasal dari bahasa
Sansekerta, yakni kata kawi. Pada mulanya, dalam bahasa sansekerta kata kawi
berarti “seorang yang mempunyai pengertian luar biasa, seseorang yang dapat melihat
Kata ‘Putra Śāsana’ terdiri dari dua kata yaitu ‘putra’ dan ‘śāsana’. Menurut
Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Zoetmulder, 1995: 893) kata ‘putra’ berasal dari
Bahasa Sansekerta yang diadopsi dalam Bahasa Jawa Kuna yang berarti seorang
anak, anak laki-laki, berbagai macam anak. Sedangkan kata ‘śāsana’ berarti perintah,
Dengan demikian kata ‘putra śāsana’ berarti ‘tingkah laku seorang anak’. Kakawin
Putra Śāsana ini menceritakan tentang aturan-aturan yang wajib dilakukan oleh
seorang anak. Dijelaskan pula mengenai sikap seorang anak yang wajib mengetahui
etika agar anak tersebut menjadi manusia yang baik dimata orang tua, lingkungan dan
Tuhan.
13
menganalisis objek (Ratna, 2010: 281). Dalam penelitian ini digunakan teori wacana
kritis Teun A Van Dijk dengan menggunakan model tiga dimensi yaitu teks, kognisi
proposisi yang satu dengan yang lainnya dalam kesatuan makna. Wacana merupakan
unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap (Mulyana, 2005:
1). Menurut Darma (2013: 3) wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian
tindak tutur yang mengungkapkan satu hal yang disajikan secara teratur, sistematis,
dalam satu kesatuan koheren, dibentuk oleh unsur-unsur segmental dalam sebuah
wacana yang paling besar. Wacana atau discourse merupakan satuan unit bahasa
terbesar dan terlengkap dalam tataran linguistik yang mengandung konteks sebagai
wacana yang berupa teks tidak dapat dilepaskan dari konteks produksi teks, konsumsi
teks dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks (Darma, 2014:6).
Membahas mengenai tindak tutur tidak akan lepas dari bahasa. Wacana dan
teks hanya dipegang oleh bahasa. Menurut Ratna (2015: 243) pengertian naskah sama
dengan karya. Naskah atau karya merupakan artefak, di mana wacana dan teks
mewujudkan identitasnya. Jika ujaran dan tuturan merupakan bagian dari wacana
lisan, maka teks dan naskah merupakan bagian dari wacana tulis dengan memegang
14
bahasa sebagai identitasnya. Wacana sering didefinisikan dalam dua cara, sebuah unit
bahasa khusus di atas kalimat, dan sebuah fokus khusus di luar kalimat, dua definisi
wacana ini dikenal sebagai analisis wacana strukturalis (formalis) dan analisis wacana
STRUKTURAL FUNGSIONAL
empiris, titik perhatian di dasarkan pada benar tidaknya bahasa itu secara
15
gramatikal. Istilah itu sering disebut dengan kohesi dan koherensi. Pandangan itu
Pandangan tersebut melihat wacana sebagai suatu tindakan membongkar maksud dan
makna-makna tertentu. Jadi bahasa tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang tidak
memiliki makna, melainkan sesuatu yang disusun, dibuat, diciptakan dengan tujuan
tertentu, pandangan ini sering disebut sebagai wacana fungsional yaitu bahasa sebagai
bahasa. Pandangan ketiga disebut pandangan kritis, pandangan ini ingi mengoreksi
kedua pandangan sebelumnya yang dinilai kurang sensitif terhadap proses produksi
kebahasaan semata, tetapi juga menghubungkan dengan konteks yang berarti bahasa
Analisis wacana kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi
penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh
tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya dalam sebuah konteks harus
disadari akan adanya kepentingan, di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang
Analisis wacana yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Teun A.
Van Dijk dengan model analisis yang dikenal Critical Discourse Analysis (analisis
16
wacana kritis). Teori Van Dijk meneliti wacana tidak cukup hanya di dasarkan pada
analisis teks semata, karena teksnya hanya hasil dari suatu praktik produksi yang
Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu: teks,
kognisi sosial, dan konteks sosial. Dijk menggabungkan ketiga dimensi wacana
tersebut kedalam satu kesatuan analisis. Bagaimana struktur wacana dipakai suatu
teks untuk menegaskan tema. Kognisi sosial mempelajari proses produksi teks yang
melibatkan kognisi individu. Sedangakan aspek yang ketiga yaitu konteks sosial
masalah (Darma, 2014: 126). Model analisis Van Dijk ini bisa digambarkan sebagai
berikut:
Konteks Sosial
Kognisi Sosial
Teks
a. Teks
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/ tingkatan yang
tingkatan, yaitu:
17
1. Struktur makro merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat
dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya
3. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis
kata, kalimat, preposisi, anak kalimat, paraphrase yang dipakai oleh suatu teks
b. Kognisi Sosial
Analisis wacana tidak hanya dibatasi pada struktur teks semata, tetapi
bagaimana suatu teks diproduksi. Hal ini disebabkan oleh struktur wacana itu sendiri
membongkar bagaimana makna dari teks, dibutuhkan suatu analisis kognisi dan
c. Konteks Sosial
sebagai studi bahasa, meskipun pada akhirnya analisis wacana menggunakan bahasa
dalam teks untuk dianalisis. Bahasa dianalisis bukan semata dari aspek kebahasaan,
tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa dipakai
untuk tujuan dan praktik tertentu. Titik perhatian analisis wacana ialah dengan
18
menggambarkan teks dan konteks secara bersamaan dalam suatu proses komunikasi.
Menurut Van Dijk meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut
merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya.
Prinsip ini dapat membantu dalam mengamati bagaimana suatu teks terbangun
melalui elemen-elemen yang lebih kecil. Berikut akan diuraikan elemen wacana
Fungsi terjadi dengan adanya proses antar hubungan. Oleh karena antar
hubungan terjadi baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, maka fungsi juga terjadi
baik dalam kaitannya dengan unsur-unsur dalam totalitas itu sendiri, maupun dengan
unsur-unsur di luarnya (Ratna, 2010: 348). Secara tidak langsung jika fungsi yang
dimaksud oleh Ratna di aplikasikan kedalam sebuah teks, maka fungsi itu ialah
sesuatu yang terjadi oleh adanya proses antar hubungan yang terdapat pada isi teks
tersebut terhadap makna yang terkandung dalam suatu teks dan relevansinya terhadap
Herbert Spencer ahli sosiologi yang berasal dari Inggris dan seorang ilmuan
sosial pertama yang memperkenalkan konsep fungsi dalam ilmu pengetahuan sosial.
Spencer membedakan antara struktur dan fungsi, dalam pembedaan itulah inti
tekstual. Fungsi ideasional merujuk pada fungsi bahasa sebagai wahana dalam
representasi atas sesuatu yang akan diekspresikan karena hanya melalui representasi
itulah penutur suatu bahasa dapat memahami gambaran makna kebahasaan. Fungsi
interpersonal, fungsi demikian merujuk pada fungsi bahasa yang dapat digunakan
Fungsi ideasional dan interpersonal tidak akan terealisasi tanpa adanya wahana
20
2010: 8).
21
BAB III
METODE PENELITIAN
Data adalah sumber penelitian yang mengandung objek penelitian dan konteks.
Pada tahap pengumpulan data, data yang diperoleh dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalahdata yang langsung
Kakawin Putra Śāsana yang di salin oleh Gusti Nengah Putu. Sumber data penelitian
ini berupa naskah bejudul Kakawin Putra Śāsana. Naskah ini berupa buku yang
terdiri dari 7 halaman dan sudah di alih aksarakan oleh I Made Subandia.
Awihnamāstu.
Wirat Jagatnātha.
Artinya:
Wirat Jagatnātha.
menjadi anak yang baik, terdapat ilmu pengetahuan yang dibuat oleh Guru
dijadikan sebagai pegangan dalam menjalankan sifat baik sebagai seorang anak.
Puput sinurāt kāla dina, bu, pa, wara, wariga, titi, tang, ping, 3, ṡaṡih, ka, 9,
Artinya:
ditulis pada hari Rabu. Pada Wara Wariga, ke-3, bulan ke-9, rahina ke-3,
dilakukan. Dalam hubungan ini, operasionalisasi teori, metode, teknik, dan instrumen
lain sebagai alat, dan data-data formal objek penelitian. Metode berasal dari kata
methodos, bahasa Yunani yang berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti
‘menuju, melalui, mengikuti, sesudah’, sedangkan hodos berarti ‘jalan, cara, arah’.
Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk
sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Teknik berasal dari kata
teknikos, bahasa Yunani, juga berarti ‘alat dan seni menggunakan alat’, teknik
bersifat paling konkret dan sebagai instrumen penulisan, teknik dapat dideteksi secara
Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini ada beberapa langkah
yaitu: metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta
pengumpulan data. Dalam penelitian sastra dan teks sebagai objek penelitian, untuk
memahami isi dari teks hanya dapat diperoleh melalui membaca. Membaca yang
tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya (Pradopo, 1995: 109). Teknik
yang mengacu pada penelitian analisis wacana kritis Kakawin Putra Śāsana.
wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi lain yang telah dikumpulkan (Emzir,
2011: 85). Setelah data terkumpul, langkah berikutnya ialah melakukan analisis. Pada
tahap analisis data, data yang diperoleh diolah dengan menggunakan metode
akan dikaji yang dibantu dengan teknik observasi. Tahap awal dalam teknik observasi
perasaan (Ratna, 2010: 218). Pengolahan data akan disesuakan dengan kerangka
analisis wacana pada teori wacana Teun A Van Dijk dengan model yang dikenal
dengan model tiga dimensi yakni analisis teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
25
Penyajian hasil analisis data merupakan tahap akhir dari seluruh rangkaian penelitian.
Penyajian hasil analisis data dapat dilakukan dengan dua cara yakni: (1) perumusan
penjelasan sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan (Mahsun, 2014: 123).
Kedua bentuk penyajian hasil analisis data tersebut sering disebut juga dengan
metode formal dan informal. Metode inilah yang digunakan dalam penyajian hasil
BAB IV
hortatori yang merupakan rangkaian tuturan yang isinya bersifat ajakan atau nasihat.
Berdasarkan jumlah penutur teks, Kakawin Putra Śāsana termasuk dalam kategori
wacana monolog. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya dialog atau bentuk
percakapan dalam teks tersebut. Jika dilihat dari sarananya, Kakawin Putra Śāsana
superstruktur (skematik) dan struktur mikro (semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris).
Struktur makro meliputi makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari
topik/tema yang diangkat oleh suatu teks. Tema sendiri berasal dari bahasa Yunani
yaitu tithenai yang berarti ‘meletakkan’. Tema merupakan gagasan inti dari suatu teks
27
yang menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh seorang penulis melalui
tulisannya dalam melihat atau memandang suatu peristiwa (Parera, 2004: 233). Teun
A. Van Dijk mendefinisikan tema sebagai struktur makro dari suatu wacana. Dari
tema kita bisa mengetahui masalah dan tindakan yang diambil oleh komunikator
dalam mengatasi suatu masalah. Tindakan, keputusan atau pendapat bisa diamati
Tema yang terdapat dalam Kakawin Putra Śāsana adalah bhakti. Bhakti adalah
suatu tindakan rasa hormat, bhakti kepada orang yang harus di hormati dan bhakti
kepada orang yang pantas dijadikan sebagai panutan. Rasa bhakti yang dimaksud
dalam Kakawin Putra Śāsana adalah rasa bhakti kepada orang tua (Guru Rupaka)
dan leluhur. Ide pokok tentang bhakti dapat ditemukan pada setiap bagian Kakawin
“Jika ada perintah dari beliau hendaknya turutilah perintahnya itu, seketika itu
kerjakanlah semua perintah dari beliau dengan segera dan jangan menolaknya,
demikian segeralah berjalan ke tempat ayah, setelah semua bhakti telah
dilaksanakan maka engkau akan menemukan kebahagiaan, kemakmuran dan
pemberian hal baik lain tanpa kekurangan” (KPS, 5b).
28
Ajaran bhakti dalam agama Hindu hendaknya di dasari dengan adanya Tri Kaya
Parisudha, yaitu berpikir (manacika), berkata (wacika), dan berbuat (kayika). Ajaran
bhakti kepada orang tua (Guru Rupaka) dalam Kakawin Putra Śāsana mengacu pada
Atmaja (2010: 75) menjelaskan bahwa Guru Rupaka adalah orang yang
melahirkan (orang tua). Tanpa orang tua kita tidak akan pernah ada di dunia ini. Oleh
karena itu betapa besarnya jasa-jasa orang tua dalam membimbing anak-anaknya
supaya menjadi anak yang baik (suputra). Hal tersebut dapat dibuktikan pula pada
“Lwir ning putra těběng ginarbakeni sang ibu sipi-sipi denikānglare, mingkin
tibra dahat pasungnia lara ring sang ibu duwěg ikodara cyuta” (KPS, 8a).
Artinya:
“Terlihat ibu yang sedang mengandung anak di dalam rahimnya, beliau sangat
tinggi derajadnya oleh karena sungguh perih rasa sakit yang dirasakan oleh
sang ibu saat buah hatinya keluar dari perutnya" (KPS, 8a).
(Kadjeng, dkk 1997: 186) Ajaran bhakti terhadap orang tua (Guru Rupaka) juga
“Jika ada orang yang berkhianat terhadap guru, terhadap ibu dan bapa, dengan
jelas perbuatan, perkataan dan pikiran, orang yang demikian perilakunya amat
bersalah dosanya, lebih besar dari dosa bhrunaha artinya menggugurkan
kandungan” (Sarasamuscaya, Sloka 234).
Terlihat pada setiap bagian Kakawin Putra Śāsana, jika anak telah menjalankan
bhakti kepada orang tua (Guru Rupaka), baik dari segi pikiran, perilaku dan
pemberian hal baik lain tanpa kekurangan. Beberapa data yang telah disebutkan
diatas dapat menunjukkan bahwa tema bhakti terdapat dalam setiap unsur teks
4.2.2 Superstruktur
teks sehingga suatu teks dapat tersusun secara utuh. Elemen yang terdapat dalam
superstruktur ialah skema atau alur, alur akan menunjukkan bagaimana bagian-bagian
dalam teks yang disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Van Dijk
membagi skema menjadi dua kategori besar yakni summary dan story. Summary
umumnya ditandai dengan dua elemen yakni judul dan lead. Elemen skema ini
merupakan elemen yang dipandang paling penting. Judul dan lead umumnya
menunjukkan tema yang ingin disampaikan oleh pengarang. Lead ini umumnya
sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum akhirnya masuk
dalam bagian isi. Kedua, story merupakan isi cerita secara keseluruhan (Eriyanto,
30
2006: 232). Judul dan lead dalam Kakawin Putra Śāsana dimunculkan pada kutipan
berikut:
Kutipan di atas menjelaskan secara ringkas isi dari Kakawin Putra Śāsana.
Kakawin tersebut menjelaskan tentang ajaran bhakti yang harus dimiliki seorang
anak. Skema cerita Kakawin Putra Śāsana dikategorikan dalam wacana monolog
karena tidak melibatkan suatu bentuk percakapan antara dua pihak atau lebih.
Berdasarkan pemaparan isi dan sifatnya, Kakawin Putra Śāsana termasuk wacana
hortatory karena isinya mengandung sifat ajakan atau nasihat. Nasihat yang
ini dapat dibuktikan karena tidak adanya dialog atau percakapan, Tanya jawab atau
bentuk lain sejenis. Wacana monolog dalam Kakawin Putra Śāsana adalah hubungan
sebab akibat. Rangkaian dalam analisis wacana monolog adalah segala bentuk
hubungan antar tutur, baik pada tataran kalimat dalam suatu kalimat, maupun dalam
leksikon pada satu kesatuan wacana monolog. Sedangkan kaitan yang dimaksud
disini diartikan dengan segala bentuk hubungan yang terjadi antara satu alenia lainnya
menjalankan kehidupan dengan cara berbhakti kepada orang tua serta menjalankan
semua perintah yang diberikan oleh orang tua. Pengarang mengemas pesannya
dengan alur campuran. Pengarang menulis secara urut pada awal cerita, kemudian
pada bagian berikutnya pengarang mengulang kembali cerita dengan beberapa contoh
sebab akibat yang berbeda. Berikut skematik atau story naskah Kakawin Putra
Artinya:
2a. Pengarang menjelaskan bahwa perilaku seorang ayah pasti akan ditiru oleh
anaknya. Oleh sebab itu seorang ayah tidak dianjurkan untuk memanjakan anaknya
“tuwi yan tan inajar ulahania ring hayu, kamūdha ni yayahnia len liwat i sihnia
karaṇan ika tan muwus ri ya, ta ya pwa pituturnia tan dwa t ikanang suta
manasarasing janā malěh, sadurwyaṡa nikang yayah t ikā pipangawaṡani doṡa
ning wěka. Yaning suta titik ti tar winarahing rahayu winuruking dayāhita,
lěwěs muwah i gӧng i sih ni jana kānia mawěka tuwiṡāstra pāraga, ya tā
němahakěn suṡīlaning anak ta ya manasarasing malěm …” (KPS, 2a).
Artinya:
“itu juga terdapat dalam diri seorang anak, jika tidak diajarkan tentang
kebaikan, oleh karena ayah tidak bijaksana dengan terlalu memanjakan
anaknya, itulah yang membuat anak menjadi tidak jujur dan pasti menyebabkan
kehancuran, sebab sifat / perbuatan buruk dari ayah itu yang ditiru oleh
anaknya. Jika anak tidak sedikitpun diajarkan tentang perbuatan baik. Oleh
karena kasih sayang berlebihan dari seorang ibu yang memiliki anak dan
mengajarkan dengan kesungguhan mengenai ilmu pengetahuan yang memiliki
keunggulan secara lengkap, yaitu hendaknya mengajarkan perbuatan yang baik
kepada anaknya dan janganlah terlalu dimanjakan …” (KPS, 2a).
33
2b. Pengarang menjelaskan tentang tugas-tugas seorang ayah serta perilaku anak yang
harus mematuhi segala perintah dari ayahnya, sebab jika anak enggan menjalankan
perintah tersebut maka ia tidak dapat disebut sebagai anak yang ber bhakti
“wawang suyaṡa ning yayah dadi těkāpi pangawaṡa nikang guṇā alěp. Tuhun
gawaya ning sutānutakěn eka kagawaya nikang yayah juga, ikā puhara ārṣa
ning yayah agěng ri gatini kataman salah gaway, samangkana kumawruhing
matanayarwyawak ika saguṇania tan ilang, těkapni gati ning sutā ngulahakěn
gawya guṇa sakala wruhing yayah. Hana pwa tanayā nda tan mulahakěn gati-
gati sakināptya ning yayah, nda tan wěka ngarania…” (KPS, 2b).
Artinya:
3a. Pengarang menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan oleh karena perilaku
anak yang enggan melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh orang tuanya
“begitulah cinta yang tidak diberikan oleh anak namanya. Berpikirlah ayah saat
melihat perbuatan anaknya. Tindakan anaknya sama sekali tidak berguna sebab
34
anak hendaknya melakukan perbuatan yang baik kepada ayahnya. Ketika semua
anak hanya memikirkan kesenangan dalam dirinya saja tanpa memperdulikan
perintah. Begitulah sebaiknya anak enggan melakukan tindakan yang keliru,
hendaknya dipikirkan perbuatan yang menimbulkan kesengsaraan, perilaku
buruk itulah yang menyebabkan anak merasakan kesengsaraan yang amat perih
di kemudian hari …” (KPS, 3a).
3b. Pengarang menampilkan contoh sebab akibat yang akan diterima jika ayah terlalu
memanjakan anaknya
“Doṣā kweh katěmū těkap nikang anak yapwan wineh lālana, salwar ning guṇa
tar wurung ya katěmū yapwan sinung tā dana, mangke pweki matangianing
tanaya yan durṡila septādanan, sangkṣepania sihing yayah karaṇa ning tan
lālaneng swātmaja. Doṣa mwang guṇa ning suteningět-ingět de sang mahā
paṇḍita yadyan putra suṡīla len jana ajěng was kawruhan de nira, yan ring
doṣa malit guṇādhika ilang tang doṣa yang mangkana …” (KPS, 3b).
Artinya:
“Itulah sebab sering memanjakan anak, seperti saat bertemu maka ayah tak lupa
memberikan uang. Hal serti inilah yang membuat anak menjadi serakah, oleh
sebab itu sebaiknya ayah tidak terlalu memanjakan anak. Dosa yang diperbuat
oleh anak selalu diingat oleh Sang Guru, demikian perilaku lain yang
hendaknya diketahui pula oleh anak. Jika telah melakukan dosa kecil kemudian
ditebus dengan kebajikan maka leburlah dosa yang diperbuat olehnya. Jika
melakukan dosa besar karena pelit maka akan sia-sia lah hidupnya …” (KPS,
3b).
4a. Pengarang menampilkan pesan untuk orang tua agar tidak terlalu memanjakan
anaknya dalam hal apapun karena akan membahayakan masa depan anaknya sendiri
“oleh karena itu orang tua hendaknya mengajarkan hal yang baik sejak putranya
kecil, itulah tujuannya hal yang telah diperoleh dan di dengar agar diikuti atau
diamalkan, supaya ketika anak telah remaja tidaklah merasakan siksaan itu, jika
telah melaksanakan apa yang dikatakan maka sangat beruntung, Demikianlah
sang Guru Lana mengajarkan kepada anak-anak, hendaknya dengarkanlah
perkataan ayahmu selanjutnya laksanakanlah …” (KPS, 4a).
4b – 5a. Pengarang menampilkan kembali pesan bhakti anak kepada orang tuanya
(Guru Rupaka)
“yan sampun karěngӧ těkapnia gěgěněn gawayakěna ta denia tan lupa, byakta
kāsuka len guṇādhika kapangguha těkap ika yan samangkana. Anwam pweki
wayahnia yogya kětikā lěkasa mangaji away tar těpět, tan hāro-hara tang
manah tuwi taman mangangěn-angěna len sakeng aji, āpan nirmala buddi nir
si suta tan hana wiṣaya kacita denika, āpan yan duwěging wayah katilinging
wiṣaya malina buddi cancala. Lawan teki muwah rěngěn pitěkěting bapa
kěkěsana ring dalěm ati, aywekā mawerādalen para lěwěs hala nika niyatā
těmah lara, towin away masiwa-siwa mapacěh-pacěhana kalawan param-para,
nghing nityānggawayěnia karma sakinahyuna nira sira sang mahājana.
Pranāta wijiling pranākara mangembangakěn tika ri jěng saraswati, nirantara
tělasnia mangkana těhěr jěněka ri kawicāraning ṡruti, asing ṡruti taman
tameriya tikang tama-tamaněn ika prihěn těměn prasidda makadon wināṡaha
nikang bhawa sakala sadā mangun guyu …” (KPS, 4b – 5a).
Artinya:
5b – 6a. Pengarang menampilkan hasil dari perbuatan bhakti yang telah dilakukan
“Nihan kagawayěn wawāsa gatining guru satata ta bhaktya tan saha, bhaṭāra
sakaleki pādha idhěpanta ri sira satatānggawe suka, sěkar sahasa midra wīja
nguniweh banyu rahu padulur wasěh suku, ikang srahakěnanta nityaṡa ri sang
guru tuhu-tuhu bhakti lakṣaṇa. Yadin hana pakon ira ng guru tuhun
sapangutusa nirekitanggapen, wawang tika lumampahe sapawěkas nira
larisakěnā nda tan wihang, apan gati nikang wwang anggěgě lumampahakěni
sanideṡa sang guru, prasidda tuměmung sukāgya paramārdhika saha dana
dadya tan kurang. Prahaṣiṇi. Hetu nikang aji kabeh tělas kapanggih, dening
janma maharěping guṇādhikāra, sih ning sang guru ya nimittaning samangkā,
mātangyan guru juga sewakā nda tan len. Yapwan pwekang aji huwus samapta
denia, dening gěng ni sih ira guru rī yawaknia, byaktāngmasukani manah
widhatra patnī …” (KPS, 5b – 6a).
Artinya:
“sebagai hasil karena telah menguasai semua perilaku maka akan selalu terlihat
tersenyum. Demikian hendak jadikanlah untuk menghormati ayah atau
siapapun yang lebih tua. Pada waktu yang sama pikiranmu kepada beliau
membuat kebahagiaan. Tergesa-gesa memberikan air bunga kepada saudaranya
untuk membasuh kakinya. Hyang Guru senantiasa menganugrahkan sifat baik
yang sesungguhnya. Jika ada perintah dari beliau hendaknya turutilah
perintahnya itu, seketika itu kerjakanlah semua perintah dari beliau dengan
segera dan jangan menolaknya, demikian segeralah berjalan ke tempat ayah,
setelah semua bhakti telah dilaksanakan maka engkau akan menemukan
kebahagiaan, kemakmuran dan pemberian hal baik lain tanpa kekurangan.
37
Praharsini. Sebab teks yang berisi mengenai peraturan itu semua telah jarang
ditemui, dalam kehidupan mengharapkan keunggulan melebihi yang lain. Sebab
kasih sayang kepada ayah. Demikian pula hendaknya ayah memberikan
peringatan, jikalau teks yang berisi tentang aturan itu telah di selesaikan
olehnya, oleh karena besarnya kasih sayang beliau kepadamu. Terbukti dalam
hati seorang ibu pula …” (KPS, 5b – 6a).
dapatkan oleh anak jika belum dan sudah menjalankan bhakti kepada orang tua (Guru
“Niang lampah rahayu lawan halā kalakwan, dening putra ya ta muwah rěngěn
ta mangke, yan mahyun kita ring inak prayatna hengkwan, tinggal tang gati
mahalā ajěng gěgěnta. Wirat Jagatnātha. Wantěn putra wimūdha těkwan
ikanang yayah atiṡaya ring guṇādhika, len tang putra widagda buddi gunawan
ndan ikang awěka mūdha tan sipi, wwantěn teki muwah sutātiṡaya mūdha
sakari jana kania nirguṇa, lyan tang putra mahotameng guṇa lěwih saka ri
yayah ikāti buddiman …” (KPS, 6b – 7b).
Artinya:
“inilah perbuatan baik dan perbuatan buruk anak yaitu hendaknya dengarkanlah
sekarang. Jika kamu menginginkan kesejahteraan maka berusahalah dengan
gigih, tinggalkanlah segala perbuatan burukmu. Wirat Jagatnatha. Ada anak
yang sangat bodoh datang kepada ayahnya yang memiliki sifat bijaksana jauh
melebihi yang lain. Namun beliau tidaklah mengetahui perilaku yang baik
untuk memperingatkan anaknya yang tidak bijaksana. Adalah ini dengan anak
yang unggul sebab manusia yang bodoh tidak akan berguna, beda dengan anak
yang memiliki keutamaan dalam ilmu pengetahuan yang melebihi ayahnya.
Itulah anak yang berbudi baik …” (KPS, 6b – 7b).
8a – 8b. Pengarang menampilkan penjelasan mengenai beban yang dirasakan oleh ibu
mengenai perbuatan – perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh anak kepada
orang tuanya
9a – 9b. Pengarang menampilkan kembali tentang hasil yang akan di dapatkan ketika
10a – 10b. Pengarang menampilkan nasihat kepada orang tua agar tidak berhenti
memberikan nasihat baik kepada anaknya dan jika anaknya tidak mendengarkan
“Nā tang wuwus liningakěn pirěngin ta mangke, dening suputra maharěp wikan
matangnika raṣa ning wacanati yukti, nāhan matangnika rasania sayogya
tūtěn. Yeking palambang inaměr suta ṡāsanakya, doniang sungang ita
suṡilahaning tanuja, hetunia yukti rěngěněn gawayěn sangahyun, tātan
pahīngan ika rakwa gěnging phalania. Sragdara Nānta pweking wuwus yogya
40
11a. Pengarang memberikan pesan dan simpulan akhir agar selalu memberikan
ajaran–ajaran yang baik kepada anak agar selalu memiliki sifat yang baik
“Donkwa mrākrěta putra ṡūsana tatan sakari guna mamin lumakṣaṇa, wetning
bhanta nimitaning wětu bhāṣa kasakitan angӧlakěn lara, markwing cita yan
āngrěngӧ jalada ṡabda tan arena pajang nikang wulan, lwir tan langgenga
ring purālěsama tinggalang anak-anakan pudhak sumar. Sronca. Ngwang
inājnyanme ṡri narendra, yan angadhěha nikanang dharma putra apan sih ira
mawruh ingwang, apan sira kang mūrtti ari tan len. Ajnya nira sumusupa
těmah wruha, ngwang anggita kalawan angidhunga, lwir tūs-tūsning amrětta
de bhūpati, mwang sang nātha sreddā ngampuneng mūdha …” (KPS, 11a).
Artinya:
bulan. Terlihat tak kekal dari pura Lěsasama, memberikan anak-anaknya bunga
Sumar. Sronca. Aku menghormati Sri Narendra, jika menginginkan tingkah
laku anak agar memperoleh kasih sayang darinya. Ketika ia tak berwujud.
Beliau menyusup tanpa diketahui, aku belajar serta bernyanyi, demikian yang di
perintahkan oleh bhupati saat merawat putranya yang masih kecil .,..” (KPS,
11a).
11b. Naskah Kakawin Putra Śāsana ditutup dengan biodata penulis naskah
“ditulis oleh, I Gusti Nengah Putu, dari Padangkrěta, Amlapura, selesai ditulis
pada hari Rabu. Pada Wara Wariga, ke-3, bulan ke-9, rahina ke-3, těnggěk ke-
12, tahun 1911 Isaka …” (KPS, 11b).
4.2.3 Struktur Mikro
Struktur mikro merupakan makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil
suatu teks yakni dari pilihan kata, kalimat, proposisi dan anak kalimat. Struktur mikro
dalam tek KPS dilihat sari semantic, sintaksis, stilistik, dan retoris.
1. Semantik
yakni makna, berada pada seluruh tataran linguistic (Chaer, 2012: 284).
Semantik dalam skema Van Dijk (Eriyanto, 2006: 228) dikategorikan sebagai
42
makna lokal (local meaning) yakni makna yang muncul dari hubungan antar
dan bagaimana orang menulis atau berbicara mengenai hal itu. Semantik tidak
tetapi juga menggiring kea rah sisi tertentu dari suatu peristiwa. Elemen-
Latar atau setting adalah peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam
cerita atau karya sastra. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret
dan jelas. Latar dalam karya sastra bukan hanya tempat, waktu, peristiwa,
lukisan tata karma, tingkah laku, adat dan pandangan hidup (2006: 105).
perilaku yang harus dikerjakan oleh anak yang meliputi pikiran, ucapan
dan perbuatan agar menjadi seorang yang memiliki safat yang baik. Hal
mampu memahami nilai dan norma untuk berbhakti terhadap orang tua
“Nā tang wuwus liningakěn pirěngin ta mangke, dening suputra maharěp wikan
matangnika raṣa ning wacanati yukti, nāhan matangnika rasania sayogya
tūtěn. Yeking palambang inaměr suta ṡāsanakya, doniang sungang ita
suṡilahaning tanuja, hetunia yukti rěngěněn gawayěn sangahyun, tātan
pahīngan ika rakwa gěnging phalania.” (KPS, 10a).
Artinya:
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana peran orang tua sebagai guru dalam
lingkungan keluarga agar tak henti – hentinya memberikan ajaran bhakti yang wajib
b. Detil
maksud dan tujuan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Seperti yang
“yan sampun karěngӧ těkapnia gěgěněn gawayakěna ta denia tan lupa, byakta
kāsuka len guṇādhika kapangguha těkap ika yan samangkana. Anwam pweki
wayahnia yogya kětikā lěkasa mangaji away tar těpět, tan hāro-hara tang
manah tuwi taman mangangěn-angěna len sakeng aji, āpan nirmala buddi nir
si suta tan hana wiṣaya kacita denika, āpan yan duwěging wayah katilinging
wiṣaya malina buddi cancala. Lawan teki muwah rěngěn pitěkěting bapa
kěkěsana ring dalěm ati, aywekā mawerādalen para lěwěs hala nika niyatā
těmah lara, towin away masiwa-siwa mapacěh-pacěhana kalawan param-para,
nghing nityānggawayěnia karma sakinahyuna nira sira sang mahājana …”
(KPS, 4b).
Artinya:
Kutipan di atas mengandung pesan moral, bahwa kita diajarkan untuk berbhakti
kepada orang tua yang dicontoh oleh anaknya dengan mengamalkan apa yang telah
diajarkan olehnya. Terbukti dari kutipan diatas menyatakan jika telah mendengarkan
45
nasihat dari orang tua maka hendaknya dikerjakan dan tetap disimpan di dalam hati
c. Maksud
disampaikan secara eksplisit atau tidak (Eriyanto, 2006: 227). Pada naskah
pembaca mengerti maksud dari isi cerita. Maksud yang ditampilkan oleh
“Nihan kagawayěn wawāsa gatining guru satata ta bhaktya tan saha, bhaṭāra
sakaleki pādha idhěpanta ri sira satatānggawe suka, sěkar sahasa midra wīja
nguniweh banyu rahu padulur wasěh suku, ikang srahakěnanta nityaṡa ri sang
guru tuhu-tuhu bhakti lakṣaṇa. Yadin hana pakon ira ng guru tuhun
sapangutusa nirekitanggapen, wawang tika lumampahe sapawěkas nira
larisakěnā nda tan wihang, apan gati nikang wwang anggěgě lumampahakěni
sanideṡa sang guru, prasidda tuměmung sukāgya paramārdhika saha dana
dadya tan kurang” (KPS, 5b).
Artinya:
“sebagai hasil karena telah menguasai semua perilaku maka akan selalu terlihat
tersenyum. Demikian hendak jadikanlah untuk menghormati ayah atau
siapapun yang lebih tua. Pada waktu yang sama pikiranmu kepada beliau
membuat kebahagiaan. Tergesa-gesa memberikan air bunga kepada saudaranya
untuk membasuh kakinya. Hyang Guru senantiasa menganugrahkan sifat baik
yang sesungguhnya. Jika ada perintah dari beliau hendaknya turutilah
perintahnya itu, seketika itu kerjakanlah semua perintah dari beliau dengan
segera dan jangan menolaknya, demikian segeralah berjalan ke tempat ayah,
setelah semua bhakti telah dilaksanakan maka engkau akan menemukan
kebahagiaan, kemakmuran dan pemberian hal baik lain tanpa kekurangan”
(KPS, 5b).
46
d. Praanggapan
ketika diterima khalayak (Eriyanto, 2006: 227). Elemen ini pada dasarnya
“Doṣā kweh katěmū těkap nikang anak yapwan wineh lālana, salwar ning guṇa
tar wurung ya katěmū yapwan sinung tā dana, mangke pweki matangianing
tanaya yan durṡila septādanan, sangkṣepania sihing yayah karaṇa ning tan
lālaneng swātmaja. Doṣa mwang guṇa ning suteningět-ingět de sang mahā
paṇḍita yadyan putra suṡīla len jana ajěng was kawruhan de nira, yan ring
doṣa malit guṇādhika ilang tang doṣa yang mangkana, yapwan doṣa magěng
guṇa pwa maděmit wyarthang guṇāwas ilang” (KPS, 3b).
Artinya:
“Itulah sebab sering memanjakan anak, seperti saat bertemu maka ayah tak lupa
memberikan uang. Hal seperti inilah yang membuat anak menjadi serakah, oleh
sebab itu sebaiknya ayah tidak terlalu memanjakan anak. Dosa yang diperbuat
oleh anak selalu diingat oleh Sang Guru, demikian perilaku lain yang
hendaknya diketahui pula oleh anak. Jika telah melakukan dosa kecil kemudian
ditebus dengan kebajikan maka leburlah dosa yang diperbuat olehnya. Jika
melakukan dosa besar karena pelit maka akan sia-sia lah hidupnya” (KPS, 3b).
47
2. Sintaksis
dalam kalimat (Veerhar, 2010: 11). Elemen wacana dalam sintaksis meliputi
a. Bentuk Kalimat
berfikir logis, yaitu prinsip kausalitas (Eriyanto, 2006: 251). Bentuk kalimat
dalam kalimat. Bagian mana yang diletakkan di awal kalimat dan di akhir
kalimat, hal ini menununjukkan dominasi dalam menonjolkan hal mana yang
Kakawin Putra Śāsana merupakan salah satu jenis karya sastra yang
keindahan dalam kalimatnya. Bentuk kalimat yang demikian ini sedikit lebih
sulit untuk menentukan preposisi yang lebih dominan yang dimunculkan oleh
dalamnya bisa saja lebih dalam. Berikut terdapat kalimat sederhana yang
S P Ket. Penyerta
Artinya:
S P Ket. Penyerta
memiliki subjek yang berupa tokoh sutā (anak). Predikat yang berupa
b. Kata ganti
wacana (Eriyanto, 2006: 253). Terdapat kata ganti orang pertama dan ketiga
yang digunakan dalam KPS yang dapat dibuktikan dalam kutipan sebagai
berikut:
“Doṣā kweh katěmū těkap nikang anak yapwan wineh lālana, salwar ning
guṇa tar wurung ya katěmū yapwan sinung tā dana, mangke pweki
matangianing tanaya yan durṡila septādanan, sangkṣepania sihing yayah
karaṇa ning tan lālaneng swātmaja. Doṣa mwang guṇa ning suteningět-
ingět de sang mahā paṇḍita yadyan putra suṡīla len jana, ajěng was
kawruhan de nira.” (KPS, 3b).
49
Artinya:
“Itulah sebab sering memanjakan anak, seperti saat bertemu maka ayah
tak lupa ia memberikan uang. Hal seperti inilah yang membuat anak
menjadi serakah, oleh sebab itu sebaiknya ayah tidak terlalu memanjakan
anak. Dosa yang diperbuat oleh anak selalu diingat oleh Sang Guru,
demikian perilaku lain yang hendaknya diketahui pula oleh anak. Jika
telah melakukan dosa kecil kemudian ditebus dengan kebajikan maka
leburlah dosa, hendak diketahui olehnya.” (KPS, 3b).
c. Koherensi
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata atau kalimat adalam
keselarasan antar kata dalam teks sehingga menimbulkan makna yang saling
jika, agar dan sebaiknya. Kata hubung (konjungsi) yang dipakai dapat
mempunyai fungsi sebagai kata penghubung antar kalimat satu dengan lainnya.
dari sifat baik memiliki keunggulan yang baik pula. Sedangkan kata ‘dan’
Seorang anak harus mendengarkan nasihat yang telah diberikan oleh ayahnya,
3. Stilistika
digunakan dalam karya sastra, dan (2) penerapan linguistic pada gaya bahasa
(1984: 20). Stilistika dalam teks sastra merujuk pada bentuk penggunaan
bahasa sebagai kode estetik, sebagai hasil karya seni yang memiliki ciri
religiusitasnya.
Karya sastra berbahasa jawa kuna masih mendapat posisi yang istimewa
serta fungsi budaya (2014: 186). Penggunaan bahasa dalam Kakawin Putra
ajaran bhakti sesuai dalam kitab Sarasamuscaya sebab kitab itulah yang
dipakai acuan dalam penulisan Kakawin Putra Śāsana. Seperti dalam kutipan
berikut:
“Ini Putra Śāsana. Wirat Jagatnātha. Terlihat olehku atas keindahan yang
terdapat di kaki beliau Dewi Saraswati, berkeinginan menuliskan
pengetahuan mengenai aturan untuk menjadi anak yang baik, terdapat
ilmu pengetahuan yang dibuat oleh Guru Wararuci yang dipakai sebagai
52
dikerjakan oleh anak yang berbhakti kepada orang tua. Seorang anak
itulah mereka akan mendapatkan sifat yang unggul. Sesulit apapun perintah /
aturan yang diberikan oleh orang tua hendaknya tetap dikerjakan. Pengarang
4. Retoris
Metafora merupakan elemen dari retoris. Metafora dalam suatu wacana dapat
dikatakan sebagai ornament dari suatu teks. Pemakaian metafora bisa menjadi
petunjuk untuk mengerti makna suatu teks. Retoris juga mempunyai fungsi
persuasif, dan hubungan erat dengan bagaimana pesan itu akan disampaikan.
sajak), sebagai suatu strategi untuk menarik perhatian, atau untuk menekan
sisi tertentu agar diperhatikan oleh pembaca. Pengarang dalam membuat suatu
pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan ungkapan yang diambil dari
anak memiliki sifat lembut diibaratkan seperti awan. Jika anak tidak diajarkan
tentang pendidikan moral dan budi pekerti baik maka anak menjadi redup
jiwanya yang diibaratkan seperti awan tanpa cahaya bulan, maka tidak akan
terlihat kekal.
Van Dijk dalam Eriyanto (2006: 260), menyatakan bahwa analisis wacana tidak
dibatasi hanya pada struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan
54
atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideology. Aspek mental ideology
seperti ide atau keyakinan, hubungan mereka dengan pendapat dan pengetahuan, dan
status masyarakat sebagai representasi sosial semua akan tercakup dalam label
mental.
didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu
diberikan oleh pemakai bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas
representasi kognisi dan strategi pengarang dalam membuat suatu teks. Pada analisis
ditafsirkan.
Judul Kakawin Putra Śāsana akan diketahui oleh masyarakat Bali yang artinya
aturan bagi anak. Namun masyarakat belum mengetahui secara utuh maksud dari
karya yang dibuat oleh pengarang sebelum membaca isi teks secara keseluruhan.
Kognisi sosial yang ditampilkan dalam kakawin tersebut adalah pendidikan moral
yang menerangkan tentang aturan-aturan yang wajib dipahami oleh anak. Hal ini
menjelaskan bahwa teks Kakawin Putra Śāsana menguraikan tentang ideology yang
berhubungan dengan keyakinan serta nilai-nilai moral, etika, dan susila. Ideology
masyarakat pada norma dan nilai yang merupakan dasar dalam bersikap dan
berperilaku.
55
menguraikan ajaran bhakti terhadap orang tua. Pengarang menggunakan bahasa jawa
kuna dalam membuat Kakawin Putra Śāsana dengan maksud ingin menyampaikan
petuah atau ajaran suci berdasarkan ajaran agama Hindu karena telah dijelaskan
bahwa karya sastra jawa kuna masih memiliki tempat yang istimewa di hati
masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Kognisi sosial yang ditampilkan
dalam teks Kakawin Putra Śāsana adalah mengenai bagaimana aturan atau tindakan
yang seharusnya dilakukan oleh anak sehingga memiliki perilaku baik dan memiliki
rasa bhakti terhadap orang tua berlandaskan ajaran agama. Wacana etika yang
bhakti terhadap orang tua dengan memberikan hubungan sebab akibat. Bagaimana
seharusnya anak berbhakti terhadap orang tua. Begitu pula sebaliknya bagaimana cara
orang tua dalam berperilaku agar menjadi contoh atau panutan untuk anak-anaknya.
Analisis wacana kritis menurut pandangan Van Dijk tidak hanya menguraikan
teks saja, tetapi juga menguraikan kognisi dan konteks. Konteks yang dimaksud
adalah memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan
56
teks tersebut diproduksi, situasi, peristiwa, kondisi, fungsi yang dimaksud, dan
sebagainya. Kakawin Putra Śāsana menuturkan ajaran bhakti anak kepada orang tua.
contoh sebab akibat jika menjadi anak yang memiliki sifat bhakti. Melalui Kakawin
menjalankan kewajibannya berbhakti kepada orang tuanya agar menjadi anak yang
suputra.
Pengarang juga memaparkan pesan moral sesuai dengan konteks sosial kepada
semua manusia yang akan menjadi penerus dalam mengamalkan ajaran moral dan
etika. Pengarang memberikan pesan moral sesuai dengan konteks sosial yang selalu
diingatkan untuk generasi muda. Seorang anak yang memiliki sifat yang baik dan
berbudi luhur dimulai dari orang tua yang mengajarkan kepada anak-anaknya sejak
Hal ini sesuai dengan fenomena saat ini sering disebut dengan jaman kaliyuga,
dimana manusia bisa lupa akan kebesaran Tuhan karena terlalu menukmati kehidupan
yang bersifat duniawi. Sehingga anak lupa akan jasa yang telah diberikan oleh orang
tua yang telah bersusah payah merawat dan mendidiknya. Hal inilah yang akan
membuat kebodohan dan terjerumusnya anak dalam perbuatan yang tercela. Oleh
karena itu pengarang berusaha mengingatkan kembali aturan yang wajib dilaksanakan
57
oleh seorang anak agar memiliki sifat bhakti terhadap orang tua melalui karyanya
BAB V
Konteks bahwa bahasa itu dipakai untuk tujuan tertentu. Konteks memasukkan semua
hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan
dalam bahasa, situasi di mana teks itu diproduksi (Eriyanto, 2006: 09). Fungsi yang
serta sarana humanis bagi anak. Pendidikan selalu memberikan ruang bagi pengajaran
etika maupun moral, dan segenap aturan luhur yang membimbing anak agar
manusia yang memiliki pikiran yang unggul baik dari segi intelektual, moral, maupun
59
sosial. Pendidikan dalam konteks ini merupakan bagian dari pemeliharaan budaya
karena mengacu pada teks-teks kuno sebagai bahan pembelajaran. Agama juga
maupun kelompok agar setiap individu tidak mudah dipengaruhi oleh individu lain
yang bertentangan. Penelitian teks Kakawin Putra Śāsana ini juga mengkhususkan
Śāsana disini memiliki peran penting karena di dalamnya berisi tentang ajaran beserta
aturan-aturan yang wajib dilakukan oleh seorang anak. Aturan yang dimaksud
“yan tan inajar ulahania ring hayu, kamūdha ni yayahnia len liwat i sihnia
karaṇan ika tan muwus ri ya, ta ya pwa pituturnia tan dwa t ikanang suta
manasarasing janā malěh, sadurwyaṡa nikang yayah t ikā pipangawaṡani
doṡa ning wěka …” (KPS, 2a).
Artinya:
“jika anak tidak diajarkan tentang kebaikan, oleh karena ayah tidak bijaksana
dengan terlalu memanjakan anaknya, itulah yang membuat anak menjadi tidak
jujur dan pasti menyebabkan kehancuran, sebab sifat / perbuatan buruk dari
ayah itu yang ditiru oleh anaknya …” (KPS, 2a).
Pada kutipan di atas, pengarang memberikan nasihat kepada orang tua agar
selalu memberikan contoh yang baik untuk anak-anaknya agar tidak menjerumuskan
yang telah dikatan untuk menjalankan bhakti kepada orang tua. Sebab segala sesuatu
yang dilakukan baik dalam menekuni nasihat dan ajaran kebaikan dalam
menghormati orang tua maka anak akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.
Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ethis yang berarti kesusilaan , atau lebih
tepatnya to ethos yang berarti kebiasaan, adat istiadat, kesusilaan. Etika adalah
perintah untuk berbuat sesuatu. Ajaran etika memuat pengetahuan tentang perbuatan
baik dan perbuatan buruk. Susila berasal dari kata ‘su’ dan ‘sila’, su berarti baik dan
sila berarti tingkah laku. Susila adalah aturan yang baik mengenai tingkah laku yang
harus dijadikan pedoman hidup oleh manusia. Tujuan tata susila adalah untuk
membina hubungan yang selaras atau hubungan yang rukun antar keluarga maupun
masyarakat serta keharmonisan antar manusia dengan Tuhan sebagai pencipta alam.
Anak sebagai calon penerus bangsa hendaknya memiliki perilaku dan sifat yang baik
61
sebagai berikut:
Kutipan di atas merupakan bentuk penekanan dari pengarang agar anak selalu
tidak lupa untuk mengajarkan perbuatan baik kepada anaknya sebab segala perbuatan
Hal ini selaras dengan ajaran agama Hindu yang disebut sesanti yaitu: Tat twam
asi yang artinya ‘itu adalah kamu’. Sesanti mengajarkan kita untuk mengutamakan
sifat cinta kasih yang seluas-luasnya. Menyakiti orang atu makhluk lain berarti sama
dengan menyakiti diri sendiri. Untuk itu manusia diajarkan agar tidak menyakiti
makhluk lain. Sebab semua makhluk adalah ciptaan Tuhan (Sukartha, 2017: 122).
Manusia terdiri atas badan kasar (stula sarira) dan badan halus (atma sarira). Atma
sarira terdiri atas roh dan jiwa. Roh semua makhluk merupakan energy Tuhan. Ini
berarti Tuhan ada pada setiap makhluk ciptaannya. Menyakiti makhluk ciptaan Tuhan
62
berarti menyakiti Tuhan itu sendiri. Untuk itu, sebaiknya agar menghindari perilaku
seperti demikian.
Selain hal yang disebutkan di atas, Agama Hindu juga mengenal tiga komponen
dasar sebagai tolok ukur karakter yang baik. Ketiga komponen dasar itu disebut
dengan Tri kaya parisuddha, seperti kayika parisuddha (perbuatan yang baik),
wacika parisuddha (berbicara yang baik), dan manacika parisuddha (berpikir yang
Sarasamuscaya 80 mengatakan:
Karena yang disebut pikiran itu bersumber pada semua indria, inilah yang
menggerakkan perbuatan baik atau buruk itu. Karena itu pikirkanlah yang
patut diusahakan untuk dikendalikan.
Manusia juga harus berhati-hati ketika berkata-kata sebab kata-kata akan menjadi
perbuatan. Berbuat juga harus berhati-hati dengan kebiasaan sebab kebiasaanmu akan
5.2 Makna
Menurut Charles Sanders Peirce dalam Heod, tanda adalah sesuatu yang
memungkinkan kita perpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna
pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta (2006: 19). Dalam berkomunikasi tidak
hanya berhadapan dengan kata tetapi dengan suatu rangkaian kata yang mengandung
amanat, maka ada beberapa unsur yang terkandung dalam ujaran yaitu pengertian,
Kakawin Putra Śāsana mengandung berbagai ajaran bhakti kepada orang tua
serta ajaran dalam proses menjadi manusia yang memiliki sifat unggul. Berikut
merupakan beberapa makna yang dapat dipetik dari Kakawin Putra Śāsana dan dapat
Suputra berasal dari kata ‘putra’ yang berarti anak, dan mendapatkan imbuhan
‘su’ yang berarti baik. Jadi dengan demikian “Suputra” berarti anak yang baik, dalam
hal ini anak yang berbhakti kepada orang tua dan leluhurnya. dalam kehidupan
sehari-hari anak wajib berbhakti kepada orang tua dengan cara mentaati segala
Pengarang menunjukkan sifat Suputra yang merupakan sifat unggul yang wajib
“wwantěn teki muwah sutātiṡaya mūdha sakari jana kania nirguṇa, lyan tang
putra mahotameng guṇa lěwih saka ri yayah ikāti buddiman …” (KPS, 7b).
Artinya:
“Adalah ini anak yang unggul sebab manusia yang bodoh tidak akan berguna,
beda dengan anak yang memiliki keutamaan dalam ilmu pengetahuan yang
melebihi ayahnya. Itulah anak yang berbudi baik …” (KPS, 7b).
pengetahuan melebihi ayahnya merupakan anak yang memiliki sifat unggul sesuai
menampilkan contoh tersebut agar anak dapat memahami isi cerita dengan baik tanpa
kesulitan.
dilatih sejak dini. Pengendalian diri merupakan sikap, tindakan, dan perilaku
65
seseorang secara sadar baik direncanakan atau tidak untuk mematuhi nilai dan norma
Menyibukkan diri dengan pikiran dan aktivitas yang positif. Pengendalian diri adalah
kemampuan seseorang untuk tidak melakukan hal yang tidak baik. Sebab hal ini
dapat menimbulkan seseorang terseret kedalam hal-hal negatif dan akan membuatnya
“Hana pwa tanayā nda tan mulahakěn gati-gati sakināptya ning yayah, nda
tan wěka ngarania ring tanaya mangkana trěṇa pangarania tar waneh,
prasida tikanang yayahnia umidhěptana wěka suguṇania tan padon, těkapni
tanayania nirguṇa taman mulahakěni sukarma ning yayah. Apan sahana ning
janā ngidhěpakěn suka magěng adhikāra tan sipi, susādhuning anaknia
hetuni mangkana tana arěping kaduskrětan, samangkana tikang wwang
āngidhěpakěn lara satata ya duhka kasyasih, kadurjana nikang anak ya ta
nimi nika maněmu duhka tar waneh …” (KPS, 3a).
Artinya:
Berdasarkan kutipan di atas, terlihat bahwa anak yang tidak tidak berbhakti
kepada ayahnya maka akan menemukan kesengsaraan dalam hidupnya. Hal inilah
yang seharusnya dapat menjadikan pedoman bagi anak agar selalu taat akan perintah
BAB VI
6.1 Kesimpulan
Kakawin Putra Śāsana merupakan satu dari sekian karya sastra tradisional Bali
yang menggunakan bahasa Jawa Kuna. Setelah melakukan analisis dan pembahasan
pada teks Kakawin Putra Śāsana, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Kakawin Putra Śāsana merupakan teks yang berisi tentang aturan-aturan yang
wajib diketahui dan dilaksanakan oleh anak. Kakawin Putra Śāsana termasuk dalam
nasihat atau petuah. Isi dari keseluruhan cerita Kakawin Putra Śāsana dikemas dalam
satu tema besar yaitu bhakti kepada orang tua. Skema cerita dari Kakawin Putra
Śāsana diawali dengan pemaparan sumber naskah yang mengacu pada kitab
Sarasamuscaya. Pemilihan bahasa, kata, bentuk kalimat, dan metafora yang dikemas
secara apik menambah keindahan isi dari kakawin tersebut. Dari segi kognisi sosial,
pengarang ingin menyampaikan beberapa aturan yang harus diketahui oleh anak agar
memiliki etika dan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama untuk berbhakti kepada
orang tua. Dari segi konteks sosial pengarang membuat Kakawin Putra Śāsana
dengan tujuan untuk memberitahukan kepada orang tua agar mampu menanamkan
etika yang baik kepada anak, agar anak mampu menjadi manusia yang suputra baik
Sebab jika dilihat fenomena yang sering terjadi saat ini, manusia melupakan bahkan
tidak mengerti tentang ajaran karmaphala, manusia sering berbuat seenaknya tanpa
memperdulikan hasil yang akan mereka dapatkan setelahnya sehingga pasti akan
Fungsi Kakawin Putra Śāsana dapat dijadikan pedoman hidup bagi manusia.
aturan-aturan yang wajib diketahui oleh anak untuk dapat berbhakti kepada orang
tuanya. Fungsi Sasana untuk mengetahui aturan dan perbuatan seperti apakah yang
fungsi etika (susila) agar anak mampu membedakan perbuatan baik buruk. Selain itu
6.2 Saran
awal yang tentunya masih jauh dari kata sempurna. Peneliti mengharapkan penelitian
lebih lanjut untuk mengungkap berbagai masalah yang masih terkandung dalam
DAFTAR PUSTAKA
Agustien, S, dkk. 2006. Buku Pintar Bahasa dan Sastra Indonesia. Semarang: Aneka
Ilmu.
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Cetakan ke-8. Bandung: Sinar
Baru Aglesindo.
Atmaja, I Made Nada, dkk. 2010. Etika Hindu. Surabaya: Paramita.
Berg, C.C. 1927. Kidung Sunda, Inleiding Tekst, Vertaling en aanteekeningen, BKI,
83, pp. 1-161. The Hague: KITLV.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Darma, Yoce Aliah. 2013. Analisis Wacana Kritis. Cetakan ke-2. Bandung: Yrama
Widya.
________________. 2014. Analisis Wacana Kritis dalam Multiperspektif.
Bandung: PT Refika Aditama.
Emzir. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Cetakan ke-2. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Eriyanto. 2006. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Cetakan ke-5.
Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu
Keraf, Gorys. 1980. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa dan Karakter
Bangsa. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.
Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya.
Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Medera, I Nengah. 1996. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Jurusan Sastra
Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis
Wacana. Cetakan ke-1. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.
Parera, ID. 2004. Teori Semantik, Jakarta: Erlangga.
Pradopo. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pratama, Putu Ari Suprapta. 2013. Kakawin Karṇnāntaka: Analisis Semiotik. Skripsi
Sarjana Denpasar: Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____________________. 2015. Teori, Metode dan Teknik Penulisan Sastra dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Cetakan ke-13. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar