Anda di halaman 1dari 8

Masjid Setono Gedong,

Sejarah Syiar Islam di Kediri


Sebelum Islam masuk, daerah Setono Gedong sebelumnya menjadi tempat
sesembahan bagi warga Kediri menganut kepercayaan Animisme.

Makam Syekh Wasil Syamsudin yang berada di area Masjid Setono Gedong Kediri. (Foto: Tagar/Fendhi Lesmana)

Kediri - Masjid Sentono Gedong mempunyai sejarah dalam


dakwah penyebaran agama Islam di Kediri. Sebelum Islam masuk
di Kediri, wilayah Setono Gedong merupakan tempat sesembahan
bagi kaum kepercayaan tertentu.

Sejarah tersebut dapat dibuktikan dengan keberadaan situs-situs


atau arca yang terdapat disekitaran lingkungan Setono gedong.

Dipanggil Mbah Wasil karena beliau sering


memberikan Wasil (ahli bertutur sapa,
berpetuah yang baik).
Juru kunci makam Syech Wasil Syamsudin, Mochammad Yusuf
Wibosono mengatakan setelah perkembangan Islam di
Kediri, daerah Setono gedong menjadi tempat penyebaran agama
Islam dengan ditandai dibangunnya Masjid Setono Gedong dan
adanya makam Syech Wasil Syamsudin antara tahun 920 - 929 H
atau tahun 1514 - 1524 M.

Yusuf mengisahkan mbah Wasil masuk ke Kediri pada masa


Pemerintahan Kerajaan Sri Aji Joyobo. Syech Wasil Syamsudin
dikenal oleh masyarakat berasal dari Istanbul Turki. Masyarakat
kemudian memberinya gelar Pangeran Mekah. Namun
kebanyakan masyarakat lebih suka menyebutnya dengan nama
panggilan mbah Wasil.
"Dipanggil Mbah Wasil karena beliau sering memberikan Wasil
(ahli bertutur sapa, berpetuah yang baik)," ujarnya kepada Tagar,
Selasa, 28 April 2020.

Yusuf menceritakan saat masuk ke Kediri, Syech Wasil tidak


langsung melakukan syiar dan melakukan dakwah Islam kepada
masyarakat yang pada saat itu masih menganut kepercayaan
Animisme. Syech Wasil terlebih dahulu melakukan pendekatan ke
masyarakat.

"Setelah dilakukan pendekatan lambat laun masyarakat akhirnya


mau menerima ajaran Islam," ujarnya

Makam Syech Wasil pun sering dikunjungi peziarah berdoa


kepada Allah agar merasakan ketenangan batin dan segala
kesulitan yang dihadapi selalu menemukan solusi. Meski
demikian ditengah pandemi Covid-19, lokasi wisata religi Makam
Syech Wasil nampak lengang sunyi tanpa pengunjung.

Sepinya peziarah datang berkunjung ke makam Syech Wasil


lantaran adanya keputusan bersama warga lingkungan setempat
serta kebijakan dari Pemerintah Daerah untuk menutup sementara
lokasi wisata religi tersebut.

"Kita tutup sejak tanggal 19 Maret 2020 lalu. Warga di sini


sepakat untuk sterilisasi pengunjung sekitaran Masjid Setono
Gedong dan makam. Disamping itu kita ikuti anjuran dari
pemerintah, ujar Yusuf.

Pria asal Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri ini


membandingkan jika biasanya pada momentum bulan
suci Ramadan, pengunjung datang berziarah ke lokasi wisata
religi setiap bulanya mencapai 20 sampai 30 ribu orang.

Jumlah pengunjung masih bisa bertambah, terutama pada saat


memasuki malam ganjil Lailatul Qodar. Selain berziarah banyak
warga yang berkunjung ingin ngabuburit sambil menunggu
datangnya waktu berbuka puasa. Meski ditutup untuk umum,
masih juga ada sejumlah pengunjung nekat datang, terutama dari
ahli waris.
"Kita beri pemahaman untuk tidak berdoa di dalam makam,
melainkan di Masjid Setono Gedong saja. Akhirnya mereka mau
mengerti dan memilih berdoa di dalam masjid," kata Yusuf.

Penutupan dilakukan di lima titik akaes menuju wisata religi, dua


titik diantaranya setiap malam selalu mendapat penjagaan dari
warga. Sekitar pukul 20.00 WIB ditutup total. Hanya warga
sekitar saja yang diizinkan keluar masuk atau pun jika ada kerabat
dari masyarakat lingkungan sekitar.

"Lingkungan masih menyelenggarakan Salat Tarawih, cuma


jemaahnya hanya dari warga sekitar. Jemaah dari luar tidak boleh.
Meski jemaahnya dari warga sekitar, sebelum masuk masjid tetap
disemprot dan pakai masker," ucapnya.

Dari sekian banyak makam yang ada dilingkungan sekitar, makam


Syech Wasil Syamsudin bergelar Pangeran Mekah paling banyak
dikunjungi. Pengunjung yang datang tidak hanya dari dari
berbagai daerah, termasuk dari luar negeri diantaranya Brunei
Darussalam, Malaysia, Filipina, Thailand, bahkan dari benua
Eropa sekali pun seperti halnya Belanda.

"Ini kan makam sudah tua usianya, mereka yang datang dari luar
negeri biasanya masih ada hubungan kerabat dengan leluhur yang
ada di sini," tutur pria berkumis ini.

Karena memiliki nilai historis, maka wisata religi makam Syech


Wasil ditetapkan sebagai lokasi cagar budaya oleh BPCB
Trowulan Mojokerto Jawa Timur.

Selain makam Mbah Wasil, di wisata religi Setono Gedong juga


terdapat tokoh besar lainya seperti makam Wali Akba, Pangeran
Sumende, Sunan Bagus, Sunan Bakul Kabul, Kembang
Sostronegoro, Mbah Fatimah dan Amangkurat.
Kisah situs Setono Gedong dan
guru Ki Joyoboyo
Sabtu, 9 November 2013 06:47Reporter : Imam Mubarok

Situs Setono Gedong. ©2013 Merdeka.com

Merdeka.com - Perusakan situs Setono Gedong Kota Kediri oleh takmir masjid
setempat disayangkan berbagai kalangan di Kota Kediri. Dalam catatan sejarah
perjalanan, situs ini sudah cukup di kenal di Indonesia, salah satunya sebagai
situs makam guru dari Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya atau Joyoboyo.
Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo yang juga pengamat sejarah wali
songo, menceritakan banyak tentang situs Setono Gedong ini. Menurutnya
hasil survei epigraf Islam yang dilakukan Louis-Charles Damais dalam laporan
berjudul L’epigraphie Musulmane Dans le Sud-est Asiatique, inskripsi kuno di
makam Setono Gedong Kediri menyebutkan makam seorang Al-imam Al-Kamil
yang epitafnya diakhiri dengan keterangan al-syafii madzhaban al-arabi nisban
wa huwa taj al-qudha (t) namun tidak terdapat tanggal tepat tentang inskripsi
tersebut.

by Taboola

Sponsored Links

Jam Tangan Merek Swiss Dijual, DISKON 90% Hari IniCristino RollisterBeli Sekarang

Sidoharjo: Orang Indonesia Yang Lahir Sebelum Tahun 1981 Memenuhi Syarat
Untuk PembayaranSurvey Compare

"Menurut Claude Guillot dan Luvik Kalus dalam L’enigmatique Inscription


Musulmane du Maqam de Kediri, perusakan seperti itu disengaja terbukti dari
pukulan –pukulan yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam yang
paham bahasa Arab, karena para perusak tidak merusak nama Nabi dan al-
hijrah al-nabawiyah setelah tanggalnya. Namun apapun situs ini adalah situs
yang sangat penting, karena Syaikh Syamsuddin al-Wasil adalah seangkatan
Fatimah Binti Maimun yang makamnya di Leran Gresik," kata Agus Sunyoto
yang juga wakil ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi)
PBNU ini pada merdeka.com, Sabtu (9/11)
Masih menurut Agus, pandangan kisah tokoh Syaikh Syamsuddin dalam
hubungan dengan Sri Mapanji Jayabhaya, digambarkan sebagai hubungan
guru dengan murid. Hubungan tersebut disinggung dalam Kakawin
Hariwangsa pada epilog yang memaparkan keberadaan Mapanji Jayabhaya dan
guru penasehatnya dalam gambaran yang menyatakan bahwa Wisynu telah
pulang ke surga, tapi turun kembali ke bumi dalam bentuk Jayabhaya pada
Zaman Kali untuk menyelamatkan Jawa.

BACA JUGA:
Mercusuar Cimiring di Pulau Nusakambangan, Peninggalan Belanda yang Penuh
MisteriKisah Syekh Mudzakir, Ulama Asal Demak yang Makamnya Terapung di Tengah
Laut

"Sebagai titisan Wisynu Sri Mapanji Jayabhaya ditemani oleh Agastya yang
merintis dalam diri pendeta kepala Brahmin penasehat raja. Menurut Prof Dr
Poerbatjaraka dalam Agastya in den Archipel, memaparkan hubungan
Jayabhaya (titisan Wisynu) dengan gurunya (titisan Agastya) dengan mengutip
sajak Kakawin Hariwangsa yang ditulis oleh Mpu Panuluh," terang Agus.

Sebagian orang menafsirkan guru Sri Mapanji Jayabhaya adalah Mpu Sedah.
Sementara bagian yang lain menafsirkan bahwa Mpu Sedah adalah guru
Jayabhaya di bidang sastra, sedangkan bhiksu pandhita adhikara yang disebut
dalam Hariwangsa adalah Syaikh Syamsuddin al-Wasil.

"Syaikh Syamsuddin tidak sekadar mengajarkan ilmu perbintangan dan nujum,


melainkan menunjukkan pula karamah–karamahnya yang ditunjukkan seperti
kesaktian Rsi Agastya. Sebutan bhiksu dan kemudian pandhita, lazim
digunakan untuk menyebut tokoh-tokoh Islam pada zaman itu. Seperti makam
Fatimah binti maimun yang dalam prasasti Leran disebut susuk (tempat suci),
sebutan pandhita untuk Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan penyebutan Ali
Murtadllo sebagai Raja Pandhita di Gresik," ungkap Agus.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut, menurut Agus, pihak takmir Masjid Setono
Gedong tidak berhak merubah, merusak cagar budaya yang memang diakui
keberadaannya oleh BPCB Trowulan. "Mereka harus menghentikan, karena
mereka merusak dan itu bisa dituntut UU Cagar Budaya 10/2011. Selain itu
pemerintah setempat harus tegas," tandasnya.

Sejarah Masuknya Islam di Kediri, Kota yang Dianggap Wingit bagi Presiden
Lusiana Mustinda - detikNews
Rabu, 19 Feb 2020 06:35 WIB
0 komentar
BAGIKAN
URL telah disalin

Makam Syekh Al Wasil Syamsudin atau Mbah Wasil dan sejarah masuknya Islam di Kediri.
(Foto: Andhika Dwi)
Jakarta - Ada sebuah mitos berkembang di masyarakat yang menyebut bahwa, Kediri
merupakan daerah yang wingit untuk Presiden. Disarankan ketika seorang Presiden datang
ke Kediri, agar tak terjadi suatu apapun hendaknya berkunjung atau ziarah dan berdoa di
Makam Syekh Al Wasil Syamsudin atau Mbah Wasil Setono Gedong di Kota Kediri.
Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, KH Abdulloh
Kafabihi Mahrus mengatakan, Mbah Wasil merupakan penyebar agama Islam di Kediri jauh
sebelum para wali (wali songo). Siapa sebenarnya Mbah Wasil dan bagaimana sejarah
masuknya Islam ke Kediri ?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Baca juga:
Selain Wingit Bagi Presiden, Kediri Angker untuk Warga Lamongan?
Dikutip dari buku berjudul "Inskripsi Islam Tertua di Indonesia" oleh C. Guillot, Luvdik Kalus
dan Willem Molen, Mbah Wasil merupakan tokoh penyebaran agama Islam yang terkenal di
Jawa Timur, termasuk Kediri pada sekitar abad 10 Masehi.

Seorang petugas BPCP sekaligus juru kunci makam, Muhammad Yusuf Wibisono
mengatakan Syekh Wasil masuk ke Kediri pada masa pemerintahan Raja Sri Aji Joyoboyo
pada abad ke-10 Masehi.

Tak ada yang tahu pasti asal-usul Mbah Wasil. Sejumlah sumber meyakini Mbah Wasil
berasal dari Turki. Mungkin karena itulah dia juga dijuluki Pangeran Mekah. Namun
masyarakat ketika itu lebih kerap memanggilnya dengan nama Mbah Wasil.

"Dipanggil Mbah Wasil karena beliau sering memberikan wasil (ahli bertutur sapa, berpetuah
yang baik)," kata Yusuf kepada detikNews pada Rabu, 15 Mei 2019 lalu.

Hal pertama yang dilakukan Mbah Wasil saat menyebarkan Islam di Kediri adalah dengan
melakukan pendekatan ke warga. Tujuannya agar kehadirannya bisa diterima dengan baik
oleh masyarakat.

Metode dakwah diawali pendekatan ini dilakukan sebab sebelum Islam masuk, warga Kediri
sudah memiliki keyakinan lain. Di Kediri ketika itu sudah banyak situs-situs berupa arca
sebagai lokasi sembahyang.

Melalui pendekatan, Mbah Wasil berhasil menyebarkan Islam di Kediri. Islam pun
berkembang pesat di wilayah yang kini dikenal dengan Kota Santri itu. Sejumlah masjid pun
dibangun. Salah satunya Masjid Setono Gedong.
Setelah Mbah Wasil wafat, jenazahnya dikebumikan di area Masjid Setono Gedong. Selain
Syekh Wasil, ada juga beberapa tokoh Islam yang dimakamkan di sini. Mereka antara lain
Wali Akba, Pangeran Sumende, Sunan Bagus, Sunan Bakul Kabul, Kembang Sostronegoro,
Mbah Fatimah dan Amangkurat.

Menurut Yusuf, makam Mbah Wasil selalu ramai oleh peziarah di musim Ramadan.
Khususnya di waktu sore menjelang buka puasa. Selain bulan puasa, peziarah juga
memadati area makam di hari raya Idul Fitri. Tak hanya dari Kediri, peziarah juga datang
dari Jakarta, Bandung, Bali, Surabaya, Malang, Solo, Blitar dan Tulunganggung.

"Awal Ramadhan, di saat bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, pengunjung selalu
mengalami peningkatan, apalagi bagi para peziarah yang memiliki hubungan kerabat
dengan Syekh Wasil. Menjelang Idul Fitri atau malam ganjil 25,27,29 pengunjung yang
datang bisa mencapai 30 ribu orang," kata Yusuf.

Baca artikel detiknews, "Sejarah Masuknya Islam di Kediri, Kota yang Dianggap Wingit bagi
Presiden" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-4904713/sejarah-masuknya-islam-
di-kediri-kota-yang-dianggap-wingit-bagi-presiden.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Anda mungkin juga menyukai