Anda di halaman 1dari 22

SANDIWARA

Pengertian Sandiwara

Sandiwara yaiku nyetakake utawa maragake paraga ana ing sandiwara kuwi dhasare
numindakake utawa maragakake watak lan tindak-tanduk pawongan liya.

Unsur Intrinsik Sandiwara

Unsur-unsur ingkang kasusun ana ing njerone sandiwara yaiku:

a. Tema yaiku uderaning perkara kang arupa ide dhasar crita, tema sing dianggo ana ing
sandiwara dumadi saka bab-bab kerep diprangguli ana bebrayan.

b. Purusa/Paraga (tokoh) lan watake

Purusa utama yaiku paraga kang paling akeh gegayutane karo paraga liya.

Purusa pambiyatu yaiku parga kang mbiyatu paraga utama.

Watakwatune yaiku ciri-ciri utawa karakter paraga.

c. Alur (dalaning crita) yaiku urut-urutan lakune crita.

d. Amanat yaiku pesen moral kang ana ing njerone crita.

e. Gaya bahasa yaiku tata cara panganggone basa kang bisa awujud dialek, tata ukara lan majas.

Unsur Ekstrinsik Sandiwara

Unsur ekstrinsik sandiwara jawa yaiku unsur kang ana ing sakjabane karya sastra, ananging
unsur samenika gadahi pengaruh ing sistem organisme karya sastra.

Wujude Sandiwara

Dramatikal yaiku sandiwara kang diparagakake karo saperangan wong utawa paraga kang
dibarengi salah bawa.

Pantomin yaiku sandiwara kang diperagakake kaliyan gerak-gerik ananging boten wonten
dialog namung wonten musik lan ekspresi saking rupane lakon.

Komedi yaiku sandiwara kang diperagakake karo geguyonan kang sifate nyindir lan
pungkasane seneng-seneng.
Parodi yaiku salah satunggaling wujud dialog antarane naskah saha oposisi (kontras).

Sandiwara kudu migatekake babagan ing ngisor iki:

1. Nduweni kreasi nalikaning nindakake paraga

2. Maragakake kanthi wajar ora digawe-gawe

3. Paraga kang ditindhakake dipadhake kalawan tipe, gaya,34 jiwa lan ancas pementasane.

4. Paraga kang ditindhakake nganggo periode wektu lan watak.

Cara ingkang bisa ditindhakake nalikaning dadi paraga ana sawenehing lakon sandiwara:

1. Gladen olah watak

2. Gladen swara

3. Gladen observasi lan imajinasi

4. Gladen konsentrasi

5. Gladen teknik pementasan

6. Gladen sistem akting

7. Nglancarake keprigelan lan gladden


Wulang Reh

Serat Wulangreh, cetakan 1929.

Wulang Reh atau Serat Wulangreh adalah karya sastra berupa tembang macapat karya Sri
Susuhunan Pakubuwana IV, Raja Surakarta, yang lahir pada 2 September 1768. Dia bertahta
sejak 29 November 1788 hingga akhir hayatnya pada 1 Oktober 1820.

Naskah Wulang Reh saat ini disimpan di Museum Radya Pustaka di Surakarta

Kata Wulang bersinonim dengan kata pitutur memiliki arti ajaran. Kata Reh berasal dari bahasa
Jawa Kuno yang artinya jalan, aturan dan laku cara mencapai atau tuntutan. Wulang Reh dapat
dimaknai ajaran untuk mencapai sesuatu. Sesuatu yang dimaksud dalam karya ini adalah laku
menuju hidup harmoni atau sempurna. Untuk lebih jelasnya, berikut dikutipkan tembang yang
memuat pengertian kata tersebut :
Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya
pangekese durangkara
artinya ilmu itu bisa dipahami/ dikuasai harus dengan cara, cara pencapaiannya dengan
cara kas, artinya kas berusaha keras memperkokoh karakter, kokohnya budi (karakter)
akan menjauhkan diri dari watak angkara.

Berdasarkan makna tembang tersebut, laku adalah langkah atau cara mencapai karakter mulia
bukan ilmu dalam arti ilmu pengetahuan semata, seperti yang banyak kita jumpai pada saat ini.
Lembaga pendidikan lebih memfokuskan pengkajian ilmu pengetahuan dan mengesampingkan
ajaran moral dan budipekerti.[1]

Salah satu keistimewaan karya ini adalah tidak banyak menggunakan bahasa jawa arkhaik (kuno)
sehingga memudahkan pembaca dalam memahaminya [2]. Walaupun demikian, ada hal-hal yang
perlu dicermati karena karya tersebut merupakan sinkretisme Islam-Kejawen, atau tidak
sepenuhnya merupakan ajaran Islam, sehingga akan menimbulkan perbedaan sudut pandang bagi
pembaca yang berbeda ideologinya.[1]

Struktur
Struktur Serat Wulang Reh terdiri dari 13 macam tembang (pupuh), dengan jumlah pada/bait
yang berbeda, yaitu :[3]

1. Dandanggula, terdiri 8 padha/bait

2. Kinanthi terdiri 16 padha/bait

3. Gambuh terdiri 17 padha/bait

4. Pangkur terdiri 17 padha/bait

5. Maskumambang terdiri 34 padha/bait

6. Megatruh terdiri 17 padha/bait

7. Durma terdiri 12 padha/bait

8. Wirangrong terdiri 27 padha/bait

9. Pocung terdiri 23 padha/bait

10. Mijil terdiri 26 padha/bait

11. Asmaradana terdiri 28 padha/bait

12. Sinom terdiri 33 padha/bait


13. Girisa terdiri 25 padha/bait

Penelitian
Jika dilihat dari wujud tulisannya, Wulang Reh ditemukan dalam disertasi, thesis, skripsi,
makalah, bahkan dapat dijumpai di dunia maya. Tulisan-tulisan tentang Wulang Reh pada
umumnya mengupas isi atau maknanya yang kemudian bermuara pada interpretasi kandungan
Wulang Reh, seperti nilai-nilai luhur, moral dan budi pekerti (ada yang menyebut dengan istilah
etika), nilai-nilai religius, sampai pada ajaran tentang kepemimpinan. [2] Ada pula yang
melakukan secara khusus dari segi bahasa.

Yuli Widiyono [4] - melakukan penelitian Tema, Nilasi Estetika dan Pendidikan dalam Serat
Wulang Reh. Hasil kesimpulannya adalah :

Pertama, tema yang terdapat pada serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV
yaitu: ajaran untuk memilih guru, kebijaksanaan dan bergaul, kepribadian,tema tata
krama, ajaran berbakti pada orang lain, tema ketuhanan, berbakti kepada pemerintah,
pengendalian diri, tema kekeluargaan, tema keselamatan, keikhlasan dan kesabaran,
beribadah dengan baik, ajaran tentang keluhuran.

Kedua, Keindahan serat Wulangreh adanya ritma dan rima serta bunyi bahasa meliputi
purwakanthi swara, purwakanthi guru swara, dan purwakanthi lumaksita. Pemahaman
tentang diksi (Pemilihan kata), aliterasi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, dan
metrum terdapat dalam serat Wulangreh.

Ketiga, nilai pendidikan moral pada Serat Wulangreh adalah nilai pendidikan moral
kaitan antara manusia dengan Tuhan meliputi berserah diri kepada Tuhan, patuh kepada
Tuhan, nilai pendidikan moral kaitan antara manusia dengan sesama, nilai pendidikan
moral kaitannya manusia dengan diri pribadi, dan nilai tentang agama.

'Keempat, ajaran yang ada pada serat wulangreh merupakan ajaran tata kaprajan
ajaran tentang perintah memberikan pengajaran untuk mencapai keluhuran hidup,
ajaran pada serat Wedhatama merupakan ajaran tentang ilmu keutamaan.

Rukiyah [5], melakukan penelitian dari aspek kepemimpinan dalam Serat Wulang Reh.
Kesimpulannya:Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak memiliki sifat lonyo, lemer,
genjah, angrong pasanakan, nyumur gumiling, ambuntut arit, adigang, adigung, dan adiguna.
Sebaliknya seorang pemimpin haruslah mempunyai sifat jujur, tidak mengharapkan pemberian
orang lain, rajin beribadah, serta tekun mengabdi kepada masyarakat.

Serat Wulangreh karya besar Sri Susuhunan Pakubua IV yang sangat populer di
kalangan masyarakat Jawa sejak dulu hinga sekarang, digunakan oleh orang Jawa
sebagai pedoman hidup yang adiluhung karena di dalamnya terdapat nilai-nilai
yang arif dan dapat dijadikan panutan hidup masyarakat. Serat Wulangreh yang
konon sebagai lambang status kebangsawanan Jawa, kini dihadapkan pada budaya
alternatif (budaya massa) sebagai salah satu alternatif pelestarian. Serat Wulangreh
yang konon merupakan tembang yang digunakan sebagai wejangan (pengingat)
dan pituduh (petunjuk), kini Sera t Wulangreh hanya lantunan lagu yang sudah
tidak dikenal lagi oleh masyarakat banyak. Serat Wulangreh, bagi masyarakat Jawa
tentu memiliki arti tersendiri, bukan saja tentang nada ataupun makna, tetapi juga
pengaruh yang dimunculkan oleh Serat Wulangreh, sejarah dan filosofi yang sarat
makna, bahkan telah menjadi semacam Filosofi Hidup. Serat Wulangreh, pada
zaman dahulu telah menjadi suatu tembang yang menarik untuk didengarkan
sebagai tuntunan akhlak Jawa (unggah-ungguh), dipandang sebagai suatu bentuk
karya seni dan spiritual yang sangat indah untuk diperbincangkan dari berbagai
aspek. Bukan saja pada aspek lirik maupun makna, tetapi juga aspek sejarah dan
evolusi perkembangannya. Sebut saja, beberapa jenis tembang yang ada dalam
SeratWulangreh seperti Pucung, Sinom, pangkur, dhandanggula, gambuh,
maskumambang, durma, wirangrong, mijil, girisa, megatruh, kinanti, dan
asmarandana yang sampai sekarang masih dikenal oleh sebagian masyarakat kecil
walaupun hanya sebatas syair (dolanan) mainan saja. Serat Wulangreh adalah
senjata sekaligus karya seni yang bernilai tinggi. Nilainya terletak pada keindahan
syair dan makna yang terkandung dalam syair tembang, bahkan proses
pembuatannya yang memerlukan waktu yang lama dan pemikiran yang sangat
dalam serta ketekunan dan ketrampilan yang khusus. Orang yang memiliki cita
rasa (taste) seni tinggi niscaya mengagumi Serat Wulangreh sebagai seni budaya
yang berharga. sebagai seni budaya, Serat Wulangreh lazim digandrungi seluruh
masyarakat Jawa. Seiring berjalannya waktu, budaya Serat Wulangreh kemudian
menyebar keseluruhan Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Serat
Wulangreh termasuk jenis tembang Jawa, namun tidak semua tembang Jawa
adalah Serat Wulangreh. Setting Keraton Surakarta didirikan oleh Sunan
Pakubuana II (1725-1749) pada tahun 1745 sebagai penganti Keraton Surakarta
yang rusak parah akibat seranganpara pemberontak (geger pecinan ), yaitu
pertempuran antara Cina dengan VOC yang meletus di Batavia dan merambah ke
Jawa termasuk Kartasura, sehinga pertempuran itu memaksa Keraton Kartasura
untuk pindah. Ahirnya para petinggi keraton pun sepakat untuk mencari lokasi
pengganti keraton Kartasura yang telah rusak, diantara petinggi-petinggi keraton
itu ialah Patih llebet Adipati Sindurejo,patih Jawi Adipati Pringgoloyo, dan
beberapa wakil bari belanda. Dari pencarian lokasi itu ahirnya mendapatkan tiga
tempat yang di angap cocok, antaranya; desa Kalipada desa Sanasewu dan desa
Sala, dari ketiga desa itu di seleksi lagi oleh pihak keraton, berdasarkan penilaian
megis dan mistis serta tata letak desa secara geografis, maka desa sala yang di
jadikan tempat berdirinya Keraton sebagai penganti Keraton yang telah hancur.
Maka setelah berdiri Keraton baru di Sala maka munculah perjanjian Gayatri yang
di tandatangani pada tahun 1755 yang melibatkan tiga komponen, yaitu pihak
VOC, pihak Pakubuana III, dan pihak Mangkuubumi atau yang di kenal dengan
peristiwa Paliyan Nagari. Dalam perjanjian Gayatri tanggal 13 Februari 1755 berisi
tentang bembagian wilayah, yakni kekuasaan wilayah Mataram di bagi menjadi
dua yang sama besarnya yaitu antara kekuasaan Kasununan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta, yang masing-masing bebas dalam kewenangan
pemerintahan dan penyelengaraan kebudayaan Jawa. Akan tetepai seiring
berjalanya waktu Keraton Surakarta harus kehilangan sebagian wilayahnya sebesar
4000 karya, pada tangga 17 Maret 1757 untuk diberikan kepada Raden mas Said
(KGPPA Mangkunegaran I) atas kesediaanya mengahiri perlawananya terhadap
Kasunanan Surakarta. Tidak hanya sebatas itu pergolakan kekuasaan di Kerajaan-
kerajaan Jawa yang melibatkan Kasununan Surakarta, akan tetapi pergolakan itu
terus bermunculan, berganti dan berubah-ubah hingga masa kepemimpinan Sri
Susuhunan Pakubuana IV pada tahun 1788-1820 M yang mengantikan
kepemimpinan Sunan Pakubuana III. Pada masa kepemimpinan Sri Susuhunsn
Pakubuana IV inilah Kasunanan Surakarta bisa di katakan keadaanaya berubah
drastis mulai dari tradisi, kebiasaan, pola hidup, serta keadaan yang ada di
Surakarta, hal ini di karenakan nuansa keagamaan (religius) pada masa
kepemimpinan Pakubuana IV sangat menonjol, seperti halnya pakaian, kebiasaan,
serta bangunan-banguna di sekitar wilayah Keraton Surakarta mulai berubah.
Bahkan Pakubuana telah mendirikan Masjid di Kasununun Surakarta dan
mengajarkan nilai-nilai luhur agama, sosial, budaya, budi pekerti serta moral dan
prilaku yang baik melalui sastra-sastra jawa yang indah dan njawani sesuai dengan
prilaku wong jowo. Sosok Dalam suasana setting sosial yang semacam itu Sunan
Pakubuwana IV menggubah Serat Wulangreh. Sri Susuhunan Paku Buwana IV
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bagus, yang mewarisi darah kaprabon dan
kapujanggan ramandanya. Mendapat gelar demikian karena memang memiliki
wajah yang sangat tampan. Dalam usia yang masih muda, Sunan Bagus naik tahta
menggantikan ayahandanya Pakubuwana III. Sunan Bagus atau Pakubuwana IV
memegang kekuasaan pemerintahan Kraton Surakarta Hadiningrat sejak tahun
1788 sampai dengan 1820 M. Nama kecil Paku Buwana IV adalah Bendara Raden
Mas Sambadya. Beliau lahir dari permaisuri Sunan Paku Buwana III yang bernama
Gusti Ratu Kencana, pada hari Kamis Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2
September 1768 Masehi. Memegang pemerintahan selama 32 tahun (1788-1820),
dan wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820 M.
Kontemplasi Dalam Serat Wulangreh terdapat beberapa jenis tembang dan di
setiap tembang terdapat beberapa bait syair, di setiap tembang dan syair
mempunyai makna yang berbeda-beda. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin
menyelami makna yang terkandung didalam Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan
Paku Buana IV pada umumnya dan unsur-unsur Islam dalam Tembang
Dhandangula pada khususnya. Serat Wulangreh merupakan tembang klasik asli
Jawa, yang pertama kali muncul pada awal Kraton Surakarta dibawah kekuasaan
Sri Susuhunan Paku Buana IV, dimana Sri Susuhunan Paku Buana IV pada saat itu
ingin mengingatkan dan mengenalkan Islam melalui budaya. Diantaranya adalah
melalui syair tembang yang di tulis dalam Serat Wulangreh yang di ciptakanya.
Berdasarkan jenis dan urutannya Serat Wulangreh ini sebenarnya menggambarkan
perjalanan hidup manusia, yaitu tahap-tahap kehidupan manusia yang di mulai
alam ruh (di dalam kandungan Ibu) sampai dengan meninggal. Serat Wulangreh
disusun menggunakan tembang-tembang Jawa, yang jumlahnya mencapai 283 bait.
Diantaranya 8 (delapan) bait sekar Dhandanggulo,16 (enam belas) bait sekar
Kinanti,17 (tujuh belas) bait sekar Gambuh, 17 (tujuh belas) bait sekar Pangkur, 34
(tiga puluh empat) bait sekar Maskumambang, 17 (Tujuh belas) bait sekar
Megatruh, 12 (Sebelas) bait sekar Durma, 27 ( Dua puluh tujuh) bait sekar
Wirangrong, 23 (dua puluh tiga) bait sekar pucung, 26 (dua puluh enam) sekar
Mijil, 28 (dua puluh delapan) bait sekar Asmarandana, 33(tiga puluh tiga) bait
sekar Sinom, 25 (dua puluh lima) bait sekar Grisa Masing-masing tembang
mempunyai makna, sifat atau watak sesuai dengan penggunaan dan
kepentingannya. Oleh karena itu pemaparan atau penggambaran sesuatu hal
biasanya diselaraskan dengan sifat /watak tembangnya. Serat Wulangreh
mempunyai perbedaan dengan serat piwulang karya pujanga lainya karena Serat
Wulangreh mempunyai kecenderungan ajaran mistik, religius serta miitik berat kan
pada ajaran moral serta etika untuk memperbaiki prilaku hidup sesuai dengan
ajaran agama Islam.
Serat Wulangreh PUPUH II K I N A N T H I

Watak, Ciri dan Contoh Tembang Macapat Kinanthi

Di kalangan masyarakat suku Jawa, tembang macapat menjadi salah satu lagu daerah
yang sangat populer. Lagu atau tembang macapat sangat populer dan cukup dibanggakan di
kalangan pelestari budaya jawa.

Hal ini karena tembang macapat sendiri yang mendandung sebuah makna luhur yang
sering digunakan sebagai bentuk ungkapan yang dilagukan dan dipaparkan dalam sebuah pada
atau paragraf. Tembang macapat sering digunakan sebagai sebuah penggambaran tentang
kehidupan yang sekaligus berisi petuah atau nasehat yang baik untuk menjalani kehidupan.

Hingga kini, masyarakat suku Jawa melestarikan tembang macapat dengan jalan
mengajarkannya di sekolah - sekolah. Di sekolah sekolah di Jawa, mempelajari tembang
macapat menjadi salah satu hal yang sering diwajibkan. Terutama di sekolah dasar, anak anak
banyak yang diajarkan tentang ragam tembang macapat ini, meski masih dengan konsep yang
sederhana.

Dalam pelajaran tembang macapat, dikenal ada 11 jenis atau judul tembang macapat. 11
jenis lagu dalam tembang macapat ini masing - masingnya memiliki kharakteristik dan watak
yang berbeda. Kesebelas tembang macapat tersebut meliputi Maskumambang, Kinanthi,
Kinanthi, Sinom, Asmarandana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung.

Masing masing tembang macapat pada dasarnya memiliki karakternya sendiri yang
membedakannya dengan tembang lain. Karakteristik tembang macapat ini ada yang digunakan
sebagai aturan baku, seperti dalam jumlah guru gatra (jumlah baris), guru wilangan (jumlah suku
kata tiap barus), dan guru lagu (vokal akhir di setiap baris kalimat).

Masing masing ketentuan dalam karakteristik di tembang macapat ini digunakan dalam
membuat lirik tembang macapat. Jadi, dalam tembang macapat, memang tidak ada lirik lagu
yang tunggal atau baku sehingga setiap jenis atau judulnya dapat saja berbeda. Setiap orang
boleh saja membuat sendiri lirik lagu dalam tembang macapat ini, selama lirik tersebut
memenuhi kaidah atau ketentuan dari tembang macapat yang ada.
Selain memiliki ketentuan dalam hal guru gatra, guru wilangan dan guru lagu, tembang
macapat juga punya ciri tersendiri yang berbeda pada watak atau sifat umum tembangnya. Watak
tembang ini digunakan untuk menyesuaikan lirik tembang yang dibuat sehingga dapat sesuai
dengan karakter tembangnya.

Watak Tembang Macapat Kinanthi


Masing - masing tembang macapat mempunyai sebuah karakter dengan wataknya
masing-masing. Selain karakter, kesebelas tembang ini pun sebenarnya merupakan sebuah
rangkaian kisah yang apabila dibuat secara runtut, maka menjadi sebuah bentuk gambaran dari
perjalanan hidup manusia, yang dimulai dari dalam kandungan ibu, hingga manusia kembali
menghadap Tuhan Yang Maha Esa atau meninggal dunia

Kisah Tembang Kinanthi


Kata Kinanthi berasal dari kata kanthi yang berarti menggandeng atau menuntun.
Kinanthi merupakan sebuah kisah penggambaran mengenai kehidupan seorang anak yang masih
perlu untuk dituntun supaya dapat berjalan dengan baik di dunia ini.

Tuntunan yang diperlukan seorang anak tidak hanya untuk belajar berjalan, melainkan
juga tuntunan dalam mengetahui serta memahami berbagai norma dan adat yang berlaku dalam
masyarakat. Sehingga, mereka bisa mempelajari dan sekaligus mematuhinya dalam
berkehidupan.
Tembang Kinanthi memiliki kaidah / Wewaton: 8u 8i 8a 8i 8a 8i

Watak Tembang Kinanthi


Kinanthi juga memiliki makna yang sama dengan kata kanthi, gandheng, dan kanthil
dalam bahasa Jawa. Dimana dalam segi karakter atau sifat atau wataknya, Kinanthi ini
cenderung untuk mengungkapkan sebuah nuansa yang membahagiakan, kecintaan dan kasih
sayanng, juga keteladanan hidup.

Jadi, tembang kinanthi ini pun pas dan bisa digunakan untuk lirik lirik tembang yang
bertujuan untuk menyampaikan suatu nasehat hidup dan juga kisah tentang kasih sayang.

Contoh Tembang Kinanthi


Tembang Kinanthi memiliki kaidah / Wewaton : 8u 8i 8a 8i 8a 8i
Seperti contoh berikut ini :

PUPUH II
K I N AN T H I
01
Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, kaprawiran den
kaesthi pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling.
Kalian biasakanlah megasah kalbu, agar (pikiranmu) tajam menangkap isyarat, jangan hanaya
selalu makan dan tidur, jangkaulah sikap kepahlawanan, latihlah dirimu dengan mengurangi
makan dan minum.
02
Dadiya lakunireku, cegah dhahar lawan guling, lawan aja asukan-sukan, anganggoa sawatawis,
ala watake wong suka, suda prayitnaning batin.
Jadikan sebagai lelakon, kurangi makan dan tidur, jangan gemar berpesta pora, gunakan
seperlunya (karena) tabiat orang yang gemar berpesta pora adalah berkurangnya kepekaan
batin.
03
Yen wus tinitah wong agung, aja sira gumunggung dhiri, aja raket lan wong ala, kang ala
lakunireku, nora wurung ngajak-ajak, satemah anenulari.
Jika kau sudah ditakdirkan menjadi pembesar, janganlah menyombongkan diri, jangan kau
dekati orang yang memiliki tabiat buruk dan bertingkah laku tidak baik, sebab suka atau tidak
suka (hal itu) akan menular padamu.
04
Nadyan asor wijilipun, yen kelakuane becik, utawa sugih carita, carita kang dadi misil, iku
pantes raketana, darapon mundhak kang budi.
Sekalipun berasal dari keturunan kelas bawah, namun memiliki kelakuan yang baik atau
memiliki banyak cerita yang berisi (berguna), dia patut kau gauli, (hal itu) akan menambah
kebijaksanaanmu.

05
Yen wong anom pan wus tamtu, manut marang kang ngadhepi, yen kang ngadhep akeh bangsat,
nora wurung bisa anjuti, yen kang ngadhep keh durjana, nora wurung bisa maling.

Jika masih muda, biasanya mengikuti lingkungan, jika di lingkungan itu banyak penjahat, maka
jahatnla ia. Jika di lingkungannya banyak pencuri, maka ia pun pandai mencuri.
06
Sanadyan ta nora melu, pasthi wruh solahing maling, kaya mangkono sabarang, panggawe ala
puniki, sok weruha nuli bisa, iku panuntuning eblis.

Meskipun tidak ikut (mencuri) pasti mengetahui bagaimana cara mencuri. Demikanlah
(karakter) semua perbuatan jelek, awalnya hanya tahu, kemudian bisa melakukan, itulah
bujukan iblis.
07
Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung kalakyan, aras-arasen
nglakoni, tur iku den lakonana, mupangati badaneki.
Perbuatan yang benar itu akan mudah jika sudah dilaksanakan, terasa sulit jika belum
dilakukan, enggan melaksanakan, namun jika dilakukan (hal itu) akan bermanfaat bagi jiwa
raga kita.
08
Yen wong anom-anom iku, kang kanggo ing masa iki, andhap asor kang den simpar, umbag
gumunggunging dhiri, obral umuk kang den gulang, kumenthus lawan kumaki.
Para pemuda di masa sekarang meninggalkan sopan santun dan rendah hati, sebaliknya
mengumbar kesombongan dan tinggi hati.
09
Sapa sira sapa ingsun, angalunyat sarta edir, iku wewatone uga, nom-noman adoh wong becik,
emoh angrungu carita, carita ala miwah becik.
Tidak mengenal teman satu sama lain, kurang ajar, dan congkak, itu juga kebiasaannya, para
pemuda menjauhi orang yang berperilaku baik, tidak mau mendengar cerita yang baik maupun
cerita yang jelek.

10
Cerita pan wus kalaku, panggawe ala lan becik, tindak bener ala lan ora, kalebu jro cariteki,
mulane aran carita, kabeh-kabeh den kawruhi.
Adapun erita yang sudah terjadi, adalah perbuatan baik dan buruk, tingkah laku benar dan
tidak benar termasuk ke dalam jenis cerita, oleh karena itu disebu cerita, selurihnya harus kau
ketahui.
11
Mulane wong anom iku, abecik ingkang taberi, jejagongan lan wong tuwa, ingkang sugih kojah
ugi, kojah iku warna-warna, ana ala ana becik.
Oleh karena itu, sebagai pemuda seharusnya rajin berkomunikasi dan berembug dengan orang
tua yang banyak bicara. Ingat, bicara itu banyak macamnya, ada yang baik, ada pula yang
buruk.
12
Ingkang becik kojahipun, sira anggoa kang pasthi, ingkang ala singgahana, aja sira anglakoni,
lan den awas wong akojah, iya ing masa puniki.

Pastikan kau ikuti pembicaraan yang baik, yang kurang baik singkirkan, jangan kau lakukan,
meskipun begitu, di masa sekarang waspadalah setiap orang bicara.
13
Akeh wong kang sugih wuwus, nanging den sampar pakolih, amung badane priyangga, kang den
pakolehaken ugi, panastene kang den umbar, nora nganggo sawatawis.

Banayak orang yang pandai bicara namun pembicaraannya itu dibungkus dengan maksud untuk
mementingkan diri sendiri, hanya dirinya yang diuntungka, mengumbar kedengkian tanpa batas.
14
Aja ana wong bisa tutur, amunga ingsun pribadhi, aja ana ingkang memadha, angrasa pinter
pribadhi, iku setan nunjang-nunjang, tan pantes den pareki.

Jangan ada orang yang dapat berbicara kecuali dirinya sendiri dan jangan ada yang meyamai,
merasa paling pandai, itu adalah perilaku setan, tidak pantas kau dekati.
15
Sikakna di kaya asu, yen wong kang mangkono ugi, dahwen apan nora layak, yen sira sandhinga
linggih, nora wurung katularan, becik singkirana ugi.

Jika kau temui orang seperti itu, usirlah seperi kau menghalau anjing, dia tak patut kau dekati
apalagi menemaninya duduk, niscaya kau akan ketularan, lebih baik hindarilah.
16
Poma-poma wekasingsun, mring kang maca layang iki, lair batin den estokna, saunine layang
iki, lan den bekti mring wong tuwa, ing lair praptaning batin.
Bagi ayang membaca surat ini, perhatikan dengan sungguh-sungguh nasihatku ini, patuhilah
secara lahir dan batin, laksnakan apa yang tertulis dalam surat ini, dan berbaktilah terhadap
orang tua, lahir dan batin.

Padha gulangen ing kalbu

Mring sasmita amrih lantip

Aja pijer mangan nendra

Kaprawiran den kaesthi

Pesunen sarira-rira

Sudanen dhahar lan guling

Tegese: angurangi dhahar, sare, sarta sahwat/senggama

Kajaba iku kudunipun bisa nindakake 7 prakara kasebut ing ngisor iki:

1. 1. Ora kena nglarani

Tegese ing sesolah tindake, pangucap, lan pikiran ora kena nglarani wong liya lan awake dhewe
becik rogo utawa atine

1. 2. Ora kena goroh

Tegese kudu jujur marang awake dhewe lan ing liyan, lahir batin kudu padha

1. 3. Ora cidra

Tegese ora cidra ing janji, cidra ing pikiran lan tindakane

1. 4. Ora reged

Ora keno reged ing pangucap lan pamikir, lan tumindake

1. 5. Ora melikan

Tegese ora kena rumangsa ndarbeni dhewe, ana Ging kudu rumangsa kabeh mau asale saka kang
murbeng jagad.

1. 6. Ora kena jireh


Tegese ora kena was2 atine

1. 7. Ora kena kesed

Tegese kudu mbuwang sakabehe aras-arasen sarta kudu sregep tetulung mring sapadha-padha.

Tegese ora kena ing dhuwur mau ora ndadak diperintah ing liyan ananging kudu saka pakartine
dhewe.

Laku 7 perkara kasebut iku sejatine mengku surasa kang jero, ananging ora dak jarwakake marga
kena ing bebasan: kakehan isi kurang papan.

Kawruh sak jroning pitutur iki manawi gelem ngonceki mengku surasa kang gentur banget, sarta
manawi kabeh wis bisa ginayuh, sanajan pirang-pirang ngilmu kang wis diuntal ananging ora
bakal kroso sesak malah dadi manungsa kang mulya. Kaya klebu ing bebasan: ngilmu iku yen
digelar ngebaki jagad, yen digulung sak mrica jinumput.

TEMBANG DURMA
Durma merupakan salah satu bagian dari tembang Macapat atau dalam
bahasa sunda disebut pupuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
durma berarti merupakan bentuk komposisi tembang jenis macapat
(terdapat di Jawa, Sunda, Bali), biasanya untuk melukiskan cerita-cerita keras
(perkelahian, perang). (Sumber : KBBI) Durma juga berasal dari kata Jawa
Klasik / bahasa Kawi yang berarti harimau. Dur sendiri dalam bahasa Jawa
Kawi berarti ala (buruk). Sesuai dengan arti itu, tembang Durma berwatak
atau biasa diguanakan dalam suasana seram. Harimau adalah lambang dari
4 nafsu manusia, yaitu : 1. Ego centros nafsu angkara, 2. Polemos nafsu
mudah marah/berangasan, 3. Eros nafsu birahi/sofia, 4. Relegios nafsu
keagamaan, kebenaran dan kejujuran. Durma juga bisa diartikan sebagai
darma, yaitu sifat ingin memberi atau berderma yaitu keinginan untuk
menolong sesamanya yang sedang dalam kesulitan. Durma juga
menyiratkan hubungan yang sangat erat antar manusia sebagai makhluk
sosial. Dalam menjalankan kehidupannya, manusia senantiasa memiliki
ketergantungan pada manusia lainnya. Dengan adanya ketergantungan
tersebut, maka setiap individu dituntut untuk bertanggung jawab terhadap
diri sendiri ataupun orang lain. Terutama tanggung jawab dalam mengemban
tugas. Dalam arti nilai-nilai profesionalisme benar-benar dijunjung tinggi.
Tanggung jawab akan melahirkan rasa aman sekaligus rasa percaya
terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Dengan bertanggung-jawab
hubungan antara sesama manusia menjadi serasi dan harmonis, sehingga
menghilangkan rasa saling curiga dan buruk sangka. Dengan demikian maka
hubungan yang dilandasi saling percaya, saling ketergantungan, saling
bertanggung-jawab serta memiliki keterikatan yang kuat akan menjauhkan
manusia dari segala permusuhan. Berikut contoh tembang Durma yang
mengingatkan kita tentang kehidupan sosial dan profesionalisme: Lamon
dika epasrae panggabayan Ampon mare apeker Terang ka'eko'na Ad janji
maranta'a Pon pon brinto tarongguwi Anggap tanggungan Ma ta malo da
oreng (Asmoro, 1950 ; 19) Terjemahannya : (Jika kamu mendapat beban
pekerjaan, Sudah selesai dipikir, Tntang seluk-beluknya kerja, Usaha untuk
menyelesaikan, Jika demikian haruslah serius, Bekerja dengan penuh
tanggung jawab, agar tidak mengecewakan orang). Selain makna diatas
tembang Durma dapat juga diartikan sebagai berikut: Tembang durma bisa
dqqiuraikan bahwa Durma berarti munduring tata krama (kemunduran
etika/tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal banyak tokoh dari
kalangan hitam yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmogati,
Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan
suku kata dur/ dura ( nglengkara ) yang mewakili makna negatif ( awon)
seperti yang saya sebutkan diatas tadi bahwa dur adalah sesuatu yang
buruk. Sebut saja misalnya : duratmoko, duroko, dursila, dura sengkara,
duracara (bicaraburuk), durajaya ,dursahasya , durmala , durniti, durta,
durtama , udur , dst. Tembang Durma , diciptakan untuk mengingatkan
sekaligus menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk
atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benarnya
sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia
cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri ( nuruti rahsaning
karep ). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapak ibu
sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati.
Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka
berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah
keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali,
mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan
waspadha . Tembang durma ngemu sifat : galak, nesu. Inilah yang saya
maksudkan dengan kemunduran etika tata krama. Kemunduran itu sendiri
dewasa ini sangat nampak jelas kita rasakan. Tidak hanya pada golongan
muda, kaum alit, borjuis, religius, politikus, dan hampir disetiap golongan
lapisan masyarakat kita. Parahnya jika manusia itu sendiri telah merasa
bahwa dirinya adalah yang paling benar. Maka bisa dengan mudahnya ia
akan menyalahkan orang lain tanpa lebih dulu mengkajinya. Udur-uduran
(mengeyel dan berdebat) yang sebenarnya kadang tidak membawa guna
bahkan lebih sering memecah belah. Manusia tidak lagi menempatkan
empatinya, kemunduran rasa prihatin dan tepo seliro (toleransi) mulai
dikebiri. Layaknya bahwa ia adalah yang sepantas-pantasnya merasa ingin
dihormati namun enggan menghormati manusia lainnya. Inikah kemunduran
itu? Banyak kaum muda yang kurang menaruh rasa hormat kepada orang
tuanya, menjadi arogan dan menentang norma-norma sosial ataupun
beragama. Tidak hanya pemuda, kaum religi pun juga tak kalah mengalami
kemunduran etika. Etika untuk saling menghormati kepercayaan dan
kekhusyukan ibadah orang lain. Inikah kemunduran? Padahal dalam
kehidupan bermasyarakat etika itu sangat diperlukan, agar kita tidak mudah
terjebak dalam keakuan. Dalam perasaan yang merasa paling ingin
diunggulkan. Ujungnya akan terselip sebuah keinginan untuk disanjung dan
dielu-elukan. Ingin dipuji dan dinomorsatukan. Padahal jika kita sedikit saja
merenungkan, pujian adalah jebakan. Jebakan yang menjadikan kita kufur
tak tahu syukur atau justru akan berbalik membuat kita semakin interopeksi
diri. Mundurnya etika itu juga ditandai dengan sikap anti kritik. Menurut
sebuah pepatah "Raja akan menjadi bodoh bila tidak mau mendengar kritik
dari sang pembangkang, dan Pembangkang akan menjadi bodoh jika hanya
tahu mengkritik tanpa mau menelaah apa yang telah raja kerjakan." Orang
lebih suka mengkritik perbuatan orang lain, tampil ke depan menjadi polisi
moral tapi terkadang juga lupa akan dirinya sendiri. Mundurnya etika ini juga
sering ditunjukkan oleh orang-orang besar negeri ini. Saling tunjuk saling
tikam sepertinya lumrah dan wajar, adu argumentasi pembenaran. Media-
media cetak dan elektronik juga tak kalah dijadikan alat perhelatan ini.
Beberapa bulan ini malah kita hafal mulai dari Janji-janji mendukung soal
berantas korupsi tapi nyatanya justru ia pelakunya sendiri, sumpah monas,
sumpah pocong bahkan janji peti mati yang tak kalah ngeri-ngeri sedap
didengar telinga. Sumpah-sumpah ini terasa sangat enteng diucapkan,
bahkan berasa tak ada bebannya. Justru kesannya malah seakan berbicara
kepada anak-anak TK. Ini suatu kemunduran etika-kah? Berikut salah satu
tembang Durma yang lain: Mundur kang dadi tata krama Dur iku duratmoko
duroko dursila Dur iku durmogati dursosono duryudono Dur udur tan mampu
nimbang rasa Dur udur paribasan pari kena Maknane nglaras rasa jroning
durma Sinom dhandanggula kang sinedya Lali purwaduksina kelon
asmaradana Lali wangsiting ibu lan rama Mangkono werdine gambuh durma
Amelet wong enom ing ngarcapada Pan mangkono Jarwane paribasan
parikena Artinya:Mundur (menjauhi) dari etika Dur, itu pencuri, penjahat tak
beretika Dur, seperti Durmogati, Dursasana, Duryudana Dur, mau menang
sendiri, tak menimbang rasa Dur, perumpamaan sekenanyaItu
perumpamaan Durma Remaja dalam mimpi-mimpi indah Lupa segalanya
berpeluk asmara Lupa pesan Ibu Bapaknya Seperti perumpamaan Gambuh
dan Durma Yang selalu memikat semua kaum remaja dalam kehidupan di
muka bumi Seperti itu, maksud pengertian sekenanya. Inilah filosofi Durma
dan kemunduran etika yang dapat saya tuliskan. Tentu pembaca juga
bertanya apa hubungannya dengan kata KUNTILANAK pada judul artikel? Ada
kalangan yang menyebutkan bahwa tembang durma yang terdengar magic
dan mendayu merupakan sebuah mantra untuk memanggil kuntilanak. Tentu
kita tidak asing dengan salah satu tembang durma yang menjadi Soundtrack
film KUNTILANAK yang dibintangi oleh Julie Estelle. Berikut liriknya: "Lingsir
wengi sliramu tumeking sirno Ojo Tangi nggonmu guling awas jo ngetoro aku
lagi bang wingo wingo jin setan kang tak utusi dadyo sebarang Wojo lelayu
sebet..." artinya : Menjelang malam, dirimu(bayangmu) mulai sirna Jangan
terbangun dari tidurmu Awas, jangan terlihat (memperlihatkan diri) Aku
sedang gelisah, Jin setan ku perintahkan Jadilah apapun juga, Namun jangan
membawa maut. Dari lagu di atas, mari kita cermati liriknya lebih dalam lagi.
(Lingsir wengi sliramu tumeking sirno ojo Tangi nggonmu guling/ Menjelang
malam, dirimu(bayangmu) mulai sirna jangan terbangun dari tidurmu) Pada
bait diatas sudah sangat jelas bahwa si penyanyi meminta (entah siapa yang
diminta bisa jadi memang setan atau lelembut lainnya termasuk kuntilanak)
jangan bangun atau jangan bangkit dari peristirahatannya ketika malam
telah tiba. (awas jo ngetoro aku lagi bang wingo wingo/ Awas, jangan terlihat
(memperlihatkan diri) Aku sedang gelisah) Berikutnya dijelaskan bahwa Si
penyanyi memintanya jangan menampakkan diri sebab ia sedang gelisah.
Artinya tidak ingin diganggu. (Jin setan kang tak utusi dadyo sebarang wojo
lelayu sebet/ Jin setan ku perintahkan jadilah apapun juga, namun jangan
membawa maut) Nah, sangat jelas bukan pada bait ini bahwa si penyanyi
meminta jin ataupun si setan menjadi apapun asal tidak membawa maut
atau kekacauan. Jadi dapat kita simpulkan sendiri bahwa tembang Durma
Lingsir Wengi bukanlah tembang untuk memanggil Kuntilanak. Semoga bisa
saling memberikan manfaat dan sedikit menambah pengetahuan kita atau
memperdalam tentang tembang-tembang jawa (Macapat) yang disebut
Pupuh dalam bahasa Sunda. Sekiranya ada tulisan saya diatas yang tidak
sesuai dengan senang hati saya terima kritik dan sarannya untuk
melengkapinya. Terimakasih. Salam. sumber foto: Serat Sela Rasa
SERAT WULANGREH PUPUH DURMA

Dipun sami ambanting ing badanira, nyudha dhahar lan guling, darapon sudaa, nepsu kang
ngambra-ambra, rerema ing tyasireki, dadya sabarang, karyanira lestari.

Biasakanlah melatih dirimu untuk prihatin dengan mengurangi makan dan tidur agar berkurang
nafsu yang menggelora, heningkan hatimu hingga tercapai yang kau inginkan

02

Ing pangrawuh lair batin aja mamang, yen sira wus udani, mring sariranira, lamun ana kang
Murba, masesa ing alam kabir, dadi sabarang, pakaryanira ugi.

Janganlah ragu terhadap pengetahuan lahir batin. Jika kau memahami bahwa dalam kehidupan
ini ada yang berkuasa, mudah-mudahan keinginanmu terkabul

03
Bener luput ala becik lawan beja, cilaka mapan saking, ing badan priyangga, dudu saking wong
liya, mulane den ngati-ati, sakeh dirgama, singgahana den eling.

Benar salah, baik buruk, serta untung rugi, bukankah berasal dari dirimu sendiri? Bukan dari
orang lain. oleh karena itu, hati-hatilah terhadap segala ancaman, hindari dan ingat

04

Apan ana sesiku telung prakara, nanging gedhe pribadi, puniki lilira, yokang telung prakara,
poma ywa nggunggung sireki, sarta lan aja, nacat kepati pati.

Bukankah ada tiga perkara utama yang akan membesarkanmu? Ketiga perkara tersebut adalah
jangan menyombongkan diri, jangan mecela

05

Lawan aja maoni sabarang karya, sithik-sithik memaoni, samubarang polah, tan kena wong
kumlebat, ing masa mengko puniki, apan wus lumrah, uga padha maoni.

Dan jangan mengritik hasil orang lain, sedikit-sedikit mengritik, segala tingkah orang lain
dikritik. Memang zaman sekarang sudah lumrah orang mengritik

06

Mung tindake dhewe datan winaonan, ngrasa bener pribadi, sanadyan benera, yen tindake wong
liya, pasti den arani sisip, iku wong ala, ngganggo bener pribadi.

Hanya hasil karya sendiri yang tidak dikritik karena merasa paling benar. Meskipun benar, jika
perbuatan orang lain pasti dikatakan salah. Hal itu salah karena kebenarannya menggunakan
(ukuran) diri sendiri

07

Nora nana panggawe kang luwih gampang, kaya wong memamaoni, sira eling-eling, aja sugih
waonan, den sami salajeng budi, ingkang prayoga, sapa-sapa kang lali.

Tidak ada perbuatan yang lebih mudah daripada mengritik. Kau ingatlah, jangan terlalu sering
mengritik, selalulah berpikir baik. Barang siapa yang lupa

08
Ingkang eling iku padha angilangna, marang sanak kanca kang lali, den nedya raharja, mangkono
tindakira, yen tan nggugu liya uwis, teka menenga, mung aja sok ngrasani.

Dari yang ingat, maka ingatkan. Kepada sanak dan kerabat semoga bahagia. Begitu seharusnya
tidakanmu, namun jika tidak diturut, maka diamlah, namun jangan membicarakan

09

Nemu dosa gawanen sakpadha-padha, dene wong ngalem ugi, yen durung pratela, ing temen
becikira, aja age nggunggung kaki, meneh tan nyata, dadi cirinireki.

Kau akan berdosa pada sesame. Begitupun jika kau memuji yang belum kaubuktikan
kebenarannya, jangan terburu-buru memuji, Anakku. Karena jika tidak terbukti malah akan
menjadi celaan

10

Dene kang wus kaprah ing masa samangkya, yen ana den senengi, ing pangalemira, pan kongsi
pandirangan, matane kongsi malirik, nadyan alaa, ginunggung becik ugi.

Adapun yang sering terjadi pada zaman sekarang adalah jika ada orang yang disenanginya
maka dipuji setinggi langit sampai matanya melotot, meskipun jelek tetapi tetap dikatakan baik

11

Aja ngalem aja mada lamun bisa, yen uga masa mangkin iya ing sabarang, yen nora sinenengan,
den poyok kapati pati, nora prasaja, sabarang kang den pikir.

Kalau bisa, jangan memuji atau mencela. Namun kini, jika tidak disenangi maka akan dicela
habis-habisan, yang dipikirkan pun bermacam-macam

12

Ngandhut rukun becike ngarep kewala, ing wuri angarsani, ingkang ora-ora, kabeh kang
rinasanan, ala becik den rasani, tan parah-parah, wirangronge gumanti.

Pada awalnya berpura-pura baik, tetapi di belakang diomongkan yang bukan-bukan,


pembicaraan pun berganti (wirangrong merupakan isyarat pergantian pola tembang beirkutnya,
yaitu wirangrong)

Anda mungkin juga menyukai