Skripsi 3
Skripsi 3
BAB III
INTERPRETASI
Melalui analisa kasus, nampak bahwa pengenalan Tiur akan Allah lebih kuat
sebagai Allah Penghukum dibandingkan sebagai Allah pemberi berkat atau Pengasih.
Semula, Bortha dan Tiur berpengharapan dan sabar untuk menantikan berkat
Keturunan, hanya atas pemberian Tuhan saja sambil mengupayakan berbagai usaha
pengobatan. Hal itu dapat kia lihat melalui ungkapan mereka dibawah ini, yang
mengatakan :
Tetapi karena yang mereka harapkan itu tidak kunjung tiba akhirnya pikiran Bortha dan
Tiur kembali pasrah dan memohon berkat kepada Tuhan dengan perantaraan para
Melalui ungkapan maupun upaya yang dilakukan oleh Bortha dan Tiur di
atas, nampaknya Bortha dan Tiur mengalami kebingungan akibat kegagalan mereka
krisis perceraian diantara Tiur dan Bortha. Ungkapan mereka dapat kita simak
B. Argumentasi
supaya mereka mendapatkan keturunan, namun toch tidak berhasil, maka apa yang
disarankan oleh ibu Bortha itu walaupun semula Bortha tetap berpegang teguh kepada
prinsip pernikahan menurut iman kristiani, ternyata anjuran ibunya itu menjadi pemicu
terhadap terjadinya krisis perceraian. Keadaan itu dapat kita lihat sebagaimana kita
kehadirannya dirumah orang tuanya terjadi perubahan itu. Yang sekaligus menolak
bahwa dirinya bukan bersekongkol atau sengaja mengatur skenario atau strategi dengan
orang tuanya sehingga ia menganjurkan perceraian itu kepada Tiur. Melainkan, bahwa
terjadi perubahan pikiran Bortha itu sesuai dengan pengakuan Bortha adalah merupakan
hasil proses pikirannya sendiri. Ungkpaan Tiur diatas sesuai dengan pengakuan Bortha
adalah merupakan tuduhan belaka yang tidak punya bukti yang autentik
keturunan masih mansiawi, sehingga Tiur menyangkal pendapat Bortha itu dengan
mengatakan :
berusaha untuk meyakinkan Tiur dengan mencoba untuk menjernihkan maksud dari
supaya mau untuk bercerai, namun Tiur tetap bersikeras menolaknya sambil menuduh
Bortha menuduh Tiur berpraduga yang negatif terhadap diri Bortha, yang
mana bahwa Bortha sesuai dengan pengakuannya bahwa peralihan pikirannya, yang
perceraian bukan karena pengaruh orang tuanya melainkan adalah merupakan hasil
perubahan pikiran Bortha itu merupakan pertanda bahwa diri Bortha bekerja sama
dengan ibunya, Bortha sendiri adalah dalang atau sutradara yang berada dibelakang
layar, sedang ibu Bortha diibaratkan sebagai pemain sandiwara itu atau sebaliknya.
Akan tetapi bila tuduhan Tiur ini tidak benar, dapatlah kita katakan bahwa peralihan
pikiran Bortha ini datangnya melalui hasil proses pertimbangan pikirannya sendiri yang
dapat kita katakan seperti istilah bahasa Batak Toba yang mengatakan bahwa Bortha
justru karena “pahusor-husorhon”1 apa yang dianjurkan oleh orang tuanya itu didalam
hatinya. Hasil pemikiran Bortha ini dapat kita katakan bahwa proses berpikir itu ada
kesamaan seperti cara berpikir yang dilakukan oleh Maria ketika Yesus lahir, (band Luk
2:19). Namun hasil proses berpikir Bortha ini adalah kebalikan dari hasil proses berpikir
Maria. Karena proses berpikir Maria melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi sesuai
dengan pengalamannya itu adalah membuat dirinya semakin dekat dan mengerti akan
rencana Allah, akan tetapi bahwa Bortha semakin tidak mengerti rencana Allah yang
terjadi kepada diri mereka melalui pernikahan itu, karena dirinya semakin jauh dari
pemahaman yang kristiani akan pernikahan itu. karena pemikiran dna pemahaman
Bortha akan pernikahan itu sudah sangat condong kepada pemahaman pernikahan
menurut adat Batak Toba. Hasil proses berpikir Bortha yang semakin jah dari rencana
tujuan dari pada pernikahan itu. Nampaknya Tiur tetap berpegang pada prinsipnya yang
1
Pahusor-husorhon, artinya ialah berpikir atau memikirkan kembali secara berulang-ulang
sehingga muncul pendapat atau pemikiran yang baru sebagai hasil pemikiran yang secara berulang-
ulang itu
113
sudah sudah menuduh dirinya bagaikan seorang isteri yang tidak memiliki harga diri
lagi layaknya sebagai seorang ibu ditengah-tengah rumah tangga, nampaknya perkataan
Bortha itu menghantarkan perasaan Tiur sudah berada pada klimaks krisis itu, akhirnya
Tiur :
akibat dari desakan perceraian yang datang dari pihak keluarga Bortha sendiri. Itu
dirinya sendiripun turut juga berupaya demi mendapat keturunan itu, walaupun hasilnya
yang ia gambarkan melalui pepatah yang mengatakan : “Habis manis, sepah dibuang”.
akhirnya, dirinya jatuh soch. Karena itu dibawah ini perlu kita uraikan pengertian krisis
perceraian itu.
1. Krisis Perceraian
2
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1986, hal 527
114
pandangan Webster, sehingga ia mengatakan bahwa krisis itu adalah sebagai titik
peralihan dari segala sesuatu. Sedangkan Widi Artanto, 4 yang menulis bukunya
”Menjadi Gereja Missioner : dalam Koteks Indonesia, memahami krisis itu ia katakan
adalah “menunjukkan adanya sesuatu yang berbahaya dan juga menunjukkan adanya
Maka melalui pandangan para pemikir diatas, penulis lebih condong kepada
pendapat Widi Artanto, sehingga bahwa yang dimaksud dengan krisis ialah
menunjukkan sesuatu kondisi yang berada didalam situasi kondisi yang berada dalam
keadaan berbahaya. Keadaan yang berbahaya ini timbul sebagai akibat terjadinya
ketegangan-ketegangan yang slaig tarik menarik. Akibat daya yang tarik menarik ini
hendak jatuh ke jurang dan hendak pulih kembali (stabil) sebagaimana biasa.
Demikianlah keadaan rumah tangga Bortha dengan Tius, rumah tangga mereka berada
di persimpangan jurang antara perceraian dan pulihnya kembali kepada keadaan semula.
fisik. Kedua, kebutuhan akan rasa aman (security). Ketiga, keutuhan aka dikasihi,
diperhatikan dan diterima. Keempat, kebutuhan akan harga diri, rasa berarti
3
Band : H. Norman Wtight, Crisis Counseling, san Bernandino: Here’s Life Publishers, 1985, hal 9
4
Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner : Dalam Konteks Indonesia, Kanisius-BPK-GM.
Yogyakarta, 1996, hal 21
5
Band: H. Norman Wiright, The Pillars of Marriage, Ventura Regal Book, 1980, hal 68, 72
115
krisis bagi seseorang ialah apabila salah satu dari kebutuhan dasar yang disebutkan oleh
H. Norman Wright diatas tidak terpenuhi. Jadi kebutuhan dasar bagi orang tua Bortha di
sini ialah masalah cucunya dari keturunan Bortha. Maka dalam hal ini ibu Bortha
merasa dirinya tidak aman (security) dan tidak memiliki harga diri. Sehingga ia
menganjurkan perceraian anaknya,. Jadi ibu Bortha merupakan pemicu terjadinya krisis
Dari pandangan kedua ahli diatas, perlu kita perhadapkan kepada pandangan
para ahli yang lain, misalnya A. A. Sitompul,7 yang membahas falsafah Batak itu dari
sudut budaya Batak mengatakan bawha Hugabeon (keturunan yang banyak, laki-laki
dan perempuan), Hamoraon (harta yang banyak) dan Hasangapon (wibawa atau
kemuliaan) yang kita sebut dengan istilah “3 H”. Dari ketiga unsur tersebut yang paling
pokok dari ketiga unsur cita-cita harapan suku atak ini adlah mengenai “Hagabeon”,
(keturunan yang banyak) terutama anak laki-laki. Karena suku Batak sebagaimana
dalam analisa telah kita singkapkan bahwa orang Batak menganut struktur “patriakhal”.
6
Lawrence J. Crabb, The Marriage Builder, Surref:Navress, 1982, hal 20
7
A. A. Sitompul, Opcit, hal 40
116
Di samping sistem patriakhal ini dikatakan bahwa cita-cita “hagaben” inilah yang
paling pokok dan penting dibandingkan dengan kedua unsur lainnya. Karena tanpa
anak, terutama anak laki-laki tidak mungkin yang kedua unsur lagi dapat ditemukan,
harta/kekayaan). Karena dengan adanya anak, terutama anak laki-laki “Hasangapin dan
Batak mengenai keturunan sebagai yang paling pokok dengan judul “Annakkon hi do
Hamoraon di ahu” (Anakku itulah kekayaan/yang termahal bagi saya). Hal itu juga
keturunan anak laki-laki itu, dan itulah yang lebih pokok, seperti dimuat dalam beberapa
8
H. Norman Wright, Konseling Krisis : Membantu orang dalam Krisis dan Stres, Yayasan Penerbit
117
bagaimana ia mengatasi suatu krisis. Jadi maksud Norman disini adalah bahwa
bagaimana kita percaya kepada Tuhan, apakah kita menaruh peuh kepercayaan dan
berpengharapan hanya kepada Than Allah saja atau tidak? Hal itu memberi pantulan
kepada seseorang untuk mengatasi krisis yang sednag terjadi kepada seseorang. Teologi
kita itu menentukan sikap kita. Dalam kasus, kita telah melihat melalui prinsip Tiur
menimpah dirinya itu sebagai akibat kesehatan yang kurang sempurna, ia penuh keragu-
sendiri maupun dosa-dosa orang tua dan neneknya (120-121; 241-242). Oleh karena itu
dapat kita katakan bahw teologi Tiur maupun Bortha teologinya tentang pernikahan itu
terlampau dipengaruhi prinsip budaya dan agama Batak tradisional yang bergabung
Melalui bahasan diatas dapat kita tarik kesimpulan, krisis perceraian yang
terjadi pada Bortha dan Tiur, dimana rumah tangga mereka terancam bubar disebabkan
oleh karena orang tua Bortha merasa kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi yakni karena
keturunan. Sehingga ibu Bortha menekankan perceraian kepada anak dan menantunya.
Hal ini juga menunjukkan bahwa pernikahan Bortha dan Tiur dimungkinkan untuk
pulih kembali melalui pelayanan pastoral yang dilaksanakan oleh para Pendeta.
118
orang Kristen.
Di atas telah kita bahas pengertian krisis itu. Karena itu dibawah ini perlu
Tuhan. Itu sebabnya Derek Prince, 9 mengatakan bahwa pernikahan yang tertua, anak-
anak tidak disebutkan sebagai tujuan dari pernikahan itu. Demikian juga Anne
kelahiran anak melalui pernikahan adalah merupakan anugerah tambahan, sebab tujuan
Derek Prince, hanya sampai disitu saja tujuan dri pernikahan itu. Jadi bukan harus
mendapatkan keturunan, barudapat kita katakan bahwa pernikahan itu sudah menjadi
Sejalan dengan pandangan diatas, Walter Trobisch, 11 juga menekankan hal yang
sama, bahwa tujuan pernikahan menurutnya adalah untuk meninggalkan ayah dan
ibunya, bersatu dan berdampngan dengan suaminya. Jadi bukan untuk beranak cucu
mengkultuskan kelahiran anak sebagai tujuan dari pada pernikahan itu. Dimana beliau
mengatakan bahwa soal keturunan atau anak cucu tidak boleh diekstrimkan.12
Jadi salah dan menyimpanglah dari prinsip pernikahan menurut Alkitab bila
dikatakan bawha pernikagan yang tidak mendapat anak dianggap cacat, bahkan tidak
9
Derek Prince, Jodoh PIlihan Tuhan,Yayasan Pekhabaran Injil Immanuel, Jakarta, 1994, hal 16
10
Anne Hommes, Perubahan Peranan Pria & Wanita Dalam Gereja & Masyarakat, Kanisius-
BPK GM, Yogyakarta, 1992, hal 169
11
Walter Trobich, Jodohku, Gandum Mas, Malang, 1996, hal 124
12
A. A. Sitompul, Opcit, hal
119
diberkati Tuhan. Alkitab tidka pernah mengatakan demikian. Anak merupakan berkat
tambahan dalam pernikahan, bukan sebagai tujuan utama. 13 Pernikahan tanpa anak
bukan karena dikutuk Allah, melainkan seringkali dalam rencana Allah yang tertentu.
Sebab banyak pasangan yang tidak dikaruniai anak telah menjadi orang tau anak-anak
terlantar dalam dunia masa kini termasuk anak yatim piatu maupun anak-anak yang
telah menjadi korban kehancuran rumah tangga. Hal seperti itu termasuk perbuatan
yang mulia. Jadi walaupun tidak ada anak dalm rumah tangga Kristen, Tuhan Allah
aturan Gereja HKI diyakini bahwa pernikahan itu adalah berdsasarkan restu dan
ajaran Tuhan Allah dan AnakNya Yesus Kristus dan Roh Kudus. Itulah sebabnya
Paulus menekankan bawha Yesus Kristus menjadi kepala ditengah-tengah keluarga itu.
Untuk pembentukan keluarga itu seorang laki-laki dan seorang perempuan mengikat
janji untuk membentuk rumah tangga di depan Pendeta dan warga yang diberkati oleh
Tuhan Allah. Oleh karena itu, Rudolf H. Pasaribu, 16 mempertegas apa yang ditekankan
oleh Alkitab diatas, yang mengatakan bahwa pernikahan yang dilaksanakan menurut
13
John White, Dosa, Seks, Dan Kita, Gloria Grafika, Yogyakarta, 2003, hal 8
14
J. Verkuyl, Etika Kristen Seksuil, BPK-GM, Jakarta, hal 54
15
Kolportase HKI, Opcit, hal 85-88
16
William T. Bassett, Counseling The Childless Couples, Fortress Press, Philadelphia,1963, hal
78-86
120
pernikahan untuk bercerai, entah oleh disebabkan penyakit yang serius, ketidakadaan
anak atau kemandulan, pengaruh orang tua sebagaimana yang terjadi dalam rumah
krisis perceraian itu adlah disebabkan kurang fahamnya arti pernikahan menurut
Alkitab, terutama ibu Bortha yang memicu krisis perceraian diantara Bortha dengan
Tiur. Mereka memahami pernikaan itu lebih kuat pengertian dan tujuan pernikahan itu
dari sudut budaya Batak yang bercampur aduk dengan pengetahuan teologi yang
kabur dan kehilangan bentuknya. Karena sudah mengalami kekaburan akan arti
pernikahan dari sudut Alkitab akhirnya Bortha dengan mudah terprovokasi terhadap
hasutan ibunya. Maka terjadilah ketegangan dan pertengkaran, yang pada akhirnya
krisis perceraian melanda rumah tangga Bortha dan Tiur. Oleh karena itu disini
perlu kita jelaskan bahwa pernikahan adalah merpakan dasar atau awal dari keluarga
itu.
suatu unit terkecil dalam masayrakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya. Yang
dalam Alkitab Perjanjian Lama disebut dalam bahasa Ibrani “Byit”, artinya rumah
tempat tinggal. Rumah, yang disebutkan untuk menjelaskan keluarga itudisebut dengan
kata “Misapahat” yang berarti keluarga, sanak saudara. Isitilah ini dialamatkan kepada
umat Israel sebagai rumah dan perubahan (Yes. 58:7; Kej. 24:38). 18 Sedangkan dalam
17
Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal 413
18
O. J. Baab, “Familiy”, The Interpreter Dictionary Of the Bible : ed Butrick, Vol II, New
York, Abingdom Press, 1957, hal 238
121
Alkitab Perjanjian Baru, untuk menjelaskan keluarga itu disebutkan, dengan kata
Yunani “Oikos”, yang artinya rumah yang menurut tradisi Alkitab disebut keluarga.
Dalam bentuk “Oikakos” yang diartikan dengan anggota keluarga (kaum), (Mat. 12:25;
Mark. 3:25). Sedangkan untuk menyatakan keluarga disebut “Matria”, artinya keluarga,
sepadan, (Kej. 2:18) dan bersekutu didalam pernikahan sebagai suami isteri. Didalam
saling mengnal, bersahabat, bersekutu dan saling melayani dalam hidup satu daging.
Jadi pertemuan seorang laki-laki dengan seorang perempuan mlalui pernikaan itu
adalah didorong oleh Allah sendiri. Dengan adanya persekutuan yang indah itu,
kasih yang indah, tidak memandang rendah satu dengan yang lain, saling melengkapi,
dan tidak mmandang kelemaan satu terhadap yang lain, tetapi saling mengajar dan
saling mengisi. Keindahan hubungan antara suami-isteri ini juga dipakai untuk
Kristus digambarkan sebagai pengantin laki-laki dan jemaat sebgai pengantin wanita.
Kiasan ini menandakan bahwa mempelai perempuan ada hubungan yang erat seperti
hubungan Kristus dengan jemaatNya. Dan dalam hubungan ini adanya ikatan kasih
yang kuat diantara mereka. Kasih yang menghidupkan, kasih yang menguduskan. 21
Dimana dalam Yesus kita mengnal sapaan Allah sebagai “Bapak” (bnd. Doa Bapak
19
Ibid, hal 238
20
J. L. Ch. Abineno, Buku Katekisasi Sidi, Nikah Peneguhan Dan Pemberkatannya, BPK-GM,
Jakarta, 1996, hal 56
21
Henk ten Napel, Jalan Yang Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru, BKP - GM, Jakarta, 1991,
hal 129
122
Kami), yaitu Allah yang menyatakn diri kepada umatNya dalam Yesus Kristus sebagai
Bapak.
hubungan suami-isteri serta hubungan antara orangtua dengan anak dibangun, tumbuh
dan dipelihara mlalui komunikasi. Tanpa ada saluran-saluran terbuka dan komunikasi
yang tulus seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam ep. 4:25-32. Pandangan Peulus ini
dikuatkan oleh Jay E. Adams22 yang mengatakan : bahwa Kristus adalah pusat yang
sunggung-sungguh didalam rumah tangga itu. Sejalan dengan itulah Eilson Nadeak 23
mengatakan :
dengan baik tanpa adanya murka, marah, keributan, fitnah dan dengki. Disamping itu
suami-isteri perlu juga saling memahami cara pikir pasangan masing-masing. Dengan
sikap saling memahami watak masing-masing pasangan menjadi dapat kita mengikuti
nasehat Paulus yang dia uraikan dalam Ep. 4:32, yang mengatakan :
22
Jay E. Adams, Masalah-maslah dalam Rumah Tangga Kristen, BPK-GM, Jakarta, 2002, hal 33
23
Wilson Nadeak, Seraut Wajah Pernikahan, Kanisius, Yogyakarta, 193, hal 38
123
Didalam Alkita, kasih itu selalu dimulai dengan pemberian, (nd. Yoh. 3:16;
Gal. 2:20; Rom. 12:20). Pendapat Alkiktab ini didukung oleh Charles A. Gallaghen,
yang mengatakan karena kasih yang didasari oleh pemberian itulah yang membawa
iklum dan suasana baru. Suasana inilah yang dapat menciptakan suasan yang baru,
Kristen dibentuk berdasarkan iman dan ajaran Kristus sebagai Kepala ditangah-tengah
keluarga itu. Dengan demikian keluarga Kristen menjadi dapat menunjukkan tanda
khadiran kerajaan (kingdom) Allah didunia ini. Karena keluarga Kristen yang
dan jujur tanpa curiga mencurigai tetapisaling membantu dan saling pengertian yang
harmonis.
demikian, bahwa ketika Allah enciptakan manusia itu seorang diri saja. Bahwa Allah
melihat manusia itu seorang diri saja, maka Ia mengatakan bahwa manusia yang
pertama seklai diciptakan itu memerlukan penolong yang sepadan baginya. Kemudian
Allah menempatkan mereka supaya beranak cucu dan menguasai dan menaklukkan
Pertemuan Adam dan Hawa manusia pertama yang dilakukan oleh Allah di
Taman Eden bertujuan untuk menciptakan keluarga yang bahagia yang penuh damai
sejahtera, yang dibangun atas cinta yang tdiak mementingkan diri sendiri yang sekaligus
24
Band: Charles A. Gallaghen, SJ, Anda Dapat Mengubah Dunia, Kiat Menata Hidup
Keluarga Bahagia, Obor, Jakarta, 1996, hal 17
124
oleh Allah itu dapat kita pahami adalah merupakan pemberkatan pernikahan yang
pertama. Melalui pemberkatan pernikahan yang pertama sekali yang dilakukan oleh
Allah ini manusia menjadi tidak kesepian karena Allah memberikan seorang penolong
Sekalipun secara psikologis maupun biologis laki-laki dan perempuan berbeda tetapi
mereka diciptakan segambar dengan Allah. Perbedaan ini hanya hal eksistensi saja,
yaitu satu bereksistensi laki-laki dan satu lagi bereksistensi perempuan. Tetapi keduanya
mempunyai derajat yang sama. Artinya, bahwa laki-laki tidaklah lebih tinggi atau lebih
mulia dibandingkan dengan perempuan itu. Perbedaan eksistensi tersebut adalah untuk
yang melayani.26 Perempuan bukan menjdi pelayan laki-laki. Perempuan adaah partner
atau mitra dari laki-laki karena sama-sama dan segambar dengan Allah mereka
diciptakan. Demikian berbeda jenis diciptakan adalah supaya mereka mnjadi sempurna.
25
Maurece Eminyan, SJ, Teologi Keluarga, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal 28
26
Garry Collins, Konseling Kristen Yang Efektif, Seminar Alkitab Asia Tenggara, Malang,
1990, Hal 126
27
TIM LaHAYE, Kebahagiaan Pernikahan Kristen, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hal 3
125
Karena itu bahwa perempuan sebagai seorang isteri dalam rumah yanga,
haruslah bertindak sebagai penolong yang sepadan keapda suaminya. Sebagai seorang
suami hidupnya lebih bersukacita dan mengasihi isterinya, sehingga dalam keluarga itu
tetap ada kasih sayang walaupun apa yang terjadi. 28 Misalnya tidak memiliki anak atau
keturunan laki-laki maupun perempuan, kegembiraan dan suka cita itu dapat kita lihat
seperti yang diungkapkan oleh Adam kepada Hawa dalam Kej. 2:23, yang mengatakan :
Melalui ungkapan diatas dapat kita ketahui bahwa Tuhan Allah menciptakan
penolongnya. Namun pada masa kini banyak perempuan bukannya sebagai penolong
bagi seorang laki-laki. Nilai “penolong” sudah terjadi pergeserannya, ada yang
sebaliknya yang mau hendak melangkahi kodradnya itu dan sebaliknya ada yang
merendahkan walaupun tetap kita akui ada memang yang tetap eksis terhadap
Seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui pernikahan itu adalah satu
didalam daging (Band. Kej. 2:24). Ayat ini menunjukkan pembagian laki-laki dan
bertumbuh bersama menuju kesatuan satu saging, dalam arti totalitas keberadaan
kesatuan mereka secar badani, akal budi dan emosi, disitulah terdapat kesatuan yang
28
Garry Collins, Opcit, hal 126
29
Jonahan A. Trisna, Pernikaan Kristen, Bandung, Kalam Kudus Pesat, 1987, hal 10
30
Anne Hommes, Perubahan-perubahan Peran Pria dan Wanita Dalam Gereja dan
Masyrakat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal 153
126
belum pernah ada sebelumnya. Mereka melebur menjadi satu kesatuan yang saling
melengkapi dan menjadi pasangan hidup yang serasi. Itulah sebabnya Amsal Sulaiman
mengatakan bahwa : Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik (Ams. 18:22).
Pernikahan yang sakral yang pertama ialah yang dilaksanakan oleh Tuhan
Allah di Taman Eden. Dan kata yang digunakan untuk menyatakan pernikahan itu
adalah istilah “Berit” (Ibrani) artinya Perjanjian. Kata “Berit” yang disebutkan ini
“perjanjian” ini ialah adanya kemajuan Allah untuk mengikatkan diri kepada umatNya,
demi kehidupan umat itu sendiri. Hubungan itu berpokok pada formulasi suatu
ungkapan perjanjian, “Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka menjadi umatKu”,
Ungkapan perjanjian itu secara nyata akan membawa berkat bila umat itu
keapda umat itu. F. W. Raintung, dkk,31 mengatakan bahwa apabila umay melaksanakan
isi perjanjian itu mereka akan mendaat “syaloom”, yaitu damai sejahtera. Sebab isi
perjanjian itu pada hakekatnya ialah kemauan Allah, yang menjadi semacam kuasa
AllahNya. Satu keunikan perjanjian itu ialah kesediaan Allah menyertai umatNya,
meskipun acapkali umatNya itu mengingkari isi perjanjian itu. Sekali Lalah berjanji,
31
Departemen Agama Republik Indonesia, ed. A. F. Raintung dkk, Penggembalaan Pernikahan Dalam
Rangka Keluarga Bertanggung Jawab, Biro Penerangan dan Motivasi, 1983, hal 21
127
Dalam kitab Maleaki juga dinyatakan bawha pernikahan itu suatu perjanjian.
Tuhan tidak menerima persembahan umatNya pada waktu itu. Dia mengatakan : “Oleh
sebab itu Tuhan telah menjadi saksi antara engkau dengan isteri masa mudamu yang
kepadanya engkau tidak setia, pada hal dialah teman sekutumu dan isteri perjanjianmu”
(Mal. 2:14). Karena itu jelaslah bawha pernikahan itu adalah suatu perjanjian yang
aspek yang dapat kita sima dari Kej 2:24; Ep. 5:31; Mat. 19:5; Mark. 10:7 yaitu :
atau hukum).
a. Harus ada perpisahan dengan ikatan yang lama (ikatan anak dengan orang tua).
baru. Karena laki-laki dan perempuan melalui pernikahan itu sudah satu.32
b. Meninggalkan orang tua bukan berarti putus hubungan dengan orang tua kedua
belah pihak, tetapi anak memperhatikan, menghormati dan mengasihi orang tua
yang harus dilakukannya. Untuk itu perlu kesadaran supaya dia bukan hanya
anak ditengah-tengah keluarga orang tuanya tetapi sudah hidup serumah. Jadi
c. Dari segi orang tua, artinya tidak bisa lagi campur tangan (mengintervensi)
pernikahan yang baru itu. Orang yang sudah menikah jika urusan rumah
32
J. J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001, hal
375
33
TIM LaHAYE, Opcit, hal 23-24
128
tangganya diurus dan dicampuri orang tuanya berarti anak yang sudah berumah
tangga itu tetap tidak dewasa sama seperti anak yang masih menyusui.
a. Dalam bahasa Ibrani bersatu disebut “Yada” yang artinya : terikat atau lengket
dalam kesatuan yang mendalam. Yang menurut Karl Feyerabend, 34 kata “Yada”
(Kid. 8:6)
Hubungan suami isteri tidak bsia erat jika tidak ada komunikasi yang baik dan
e. Suami-isteri menjadi satu seumur hidup mulai sejak diberkati sampai mati,
(Mat. 19:6).
isteri. Oleh sebab itu hubungan seksual tersebut harus kita hargai dan kita jaga.
34
Karl Peyarabend, Langenscheidts Pocket Hebrew Dictionary to the Old Testament,
Published in the British Commonwealth by Holder & Stoughton Limited. London E. C. 4, hal 127.
35
TIM LaHAYE, Opcit, hal 99
129
c. Supaya hubungan seksual selaku bagian ke 3 ini terbatas kepada orang yang
d. Suami isteri harus melihat hubungan seksual ini sebagai suatu hal yang
kehidupan yang membuat hubungan hati semakin erat dan semakin lama.
Melalui penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa yang menjadi dasar
dalam keluarga Kristen adalah merupakan ketetapan Allah untuk kehidupan manusia.
Dengan berkeluarga hidup manusia itu menjadi sempurna dalam menjalani hidup dan
memenuhi tugas yang diberikan Tuhan. Dalam keluarga itu terdapat cinta kasih yang
Kristus dan jemaat. Suami dan isteri tetap menjaga kekudusan pernikahannya dan
melaksanakan tugasnya sebagimana yang telah ditetapkan oleh Allah sehingga tercipta
hidup dengan tujuan supaya saling mengenal, saling melengkapi antara satu pribadi
dengan pribadi yang lain. Persiapan pelaksanaan pernikaghan sebenarnya dimulai sejak
lahir. Apa yang mereka lihat dengan tingkah laku suami-isteri dalam keluarga itu
36
E. P. Ginting, Gembala dan Penggembalaan, Abdi Karya, Kabanjahe, 2002, hal 72
130
Allah berkata tidak baik kalau manusia itu seorang diri. Allah menjadikan
manusia seorang perempuan seorang perempuan (Hawa) dari tulang rusuk Adam
lainnya
ii) Membebaskan segala ciptaan Allah yang terbelnggu oleh karena dosa (Kej.
suka cita, ketentraman dan kedamaian baik dalam suka maupun duka
37
B. P. Siregar, Masalah Perkawinan Dalam Suku Batak Toba, Disertasi, SEAGEST, Pematang
SIantar, 1989, hal 212.
131
Maka melalui pandangan para ahli diatas, sementara dapat kita simpulkan
bahwa tujuan pernikahan itu tidak selalu supaya mendapat keturunan, berkarya,
rekreasi, tetapi lebih dari itu adlah supaya Allah dimuliakan. Jadi bukan hanya orang
atau keluarga yang mendapat keturunan saja diberkati oleh Allah melainkan keluarga
yang tidak mendapat anak melalui pernikahannya juga tetap diberkati Allah.
a. Suami
dalam membentuk rumah tangga. Seorang suami adalah seorang yang memimpi rumah
tangga. Sheingga menurut Darien B. Cooper39 bahwa seorang suami dia sebut sebagai
kepala rumah tangga (kepala rumah tangga). Hal ini dapat kita perhatikan dalam
pernyatan Tuhan Allah ketika Ia mengukum manusia yang jatuh kedalam dosa itu,
demikian :
Prinsip yang sama dengan maksud nats diatas, dapat juga kita perhatikan dalam Ep.
38
Kaleb Manurung, In Analogi Of the Batak Familiy Strukture According To Adat And Its
Implication To Christian Ethichs. Thesis, Siliman University, 1996, hal 82-93
39
Darien B. Cooper, Menjadi Isteri Bahagia, Yayasan ANdi, Yogyakarta, 1994, hal 94
132
Melalui kedua nats tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa laki-laki (suami)
mempunyai kedudukan yang istimewa dalam kehidupan sebuah rumah tangga itu, yaitu
tangga untuk menciptakan kebahagian rumah tangga dan mengurus supaya semua
anggota rumah tangga terpelihara dengan baik. Bukan hanya disitu saja,
tempat tinggal dan semua kbutuhan lainnya. Sebagai suami pimpinan ia juga
keluarga, Penelaahan Isi Alkitab, berdoa, pergi ke Gereja, kesaksian kepada masyarakat,
dan hubungan langsung antara anggota keluarga kepada Tuhan didalam melaksanakan
pekerjaan yang telah Tuhan perintahkan kepada mereka sebagai pribadi maupun secara
keluarga.
pemimpin yang bukan hanya namanya “pemimpin”. Ia bukan saja mempunyai kekuatan
lahiriah tetapi juga kekuatan batiniah. Jadi seorang suami harus bertanggung jawab atas
segala hal yang terjadi di rumah tangganya, termasuk isterinya, karena suami bukan
hanya sebagai kepala buat anak-anak, tetapi juga kepala isterinya (Ep. 5:23). Ayat
ini menurut E. P. Gintings,42 beliau artikan bahwa seornag suami tidak boleh bertindak
40
Jay E. Adams, Opcit, hal 130
41
D. Scheunemann, Romantika Kehidupan Suami-isteri, Gandum Mas, Malang dan persekutuan
Injili Indonesia, 1987, hal 80-85
42
E. P. Gintings, Opcit, hal 51-52
133
sewenang-wenang terhadap isterinya sementara isteri harus tunduk dan berlutut kepada
suami. Melainkan suatu kepemimpinan suami yang berdasarkan kasih yang berusaha
Paulus dengan mengutip Kej. :24 dan menekankannya dalam Ep. 5:31, yang
menekankan kedekatan suami dengan isterinya, bahwa suami harus menganggap isteri
sebagai diri sendiri. Dan apabila suami mengasihi isteri sama halnya dengan mengasihi
diri sendiri. Dan apabila membencinya sama juga halnya dengan membenci diri sendiri.
Jadi hal itu berarti bahwa apabila isterinya bahagia berarti suami juga merasa bahagia.
Seorang suami yang mencintai isterinya akan menerimakash kembali dari isterinya itu.
Billy Graham,43 memahami ayat ini sebagai perintah yang mendasar bagi
seorang laki-laki yang sudah mempunyai siteri. Menurut dia, kalau seorang suami yang
berstatus Kristen tetapi tidak mengasihi siterinya, itu berarti bahwa dia bukan lagi
seroang Kristen. Seorang suami menurutnya harus memperhatikan kebutuhan dari isteri
Dengan demikian suami sebagai seorang pemimpin harus berusaha menjadi teladan dari
pola ksalehan dan kekudusan, belas kasihan, pengabdian dan kesetiaan kepada Allah.
43
Billy Graham, Keluarga Ynag Berpusatkan Kristus, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1972,
hal 35-37
134
Melalui ulasan diatas dapat kita ringakskan maksudnya, yaitu bahwa seorang
suami Kristen adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas segala
kebutuhan jasmani maupun rohani dari seisi eumahnya, anak-anak maupun isterinya
harus merasa terlindungan dan terpelihara. Suami sebagai pemimpin tidak boleh berlaku
isteri adalah teman pewaris dari kasih karunia yang dari Allah. Suami sebagai pemimpin
ditengah-tengah rumah tangga itu harus menjadi tladan pola kesalehan, kekudusan dan
b. Isteri
keluarga bahagia yang dpat mencerminkan keluarga Kristen. Seorang isteri diberikan
Tuhan keapda seorang suami sebagai “penolong”. 45 Kata penolong yang diberikan
kepada isteri, menurut Darien B. Cooper,46 menekankan bawha isteri harus mampu
untuk memimpin rumah tangga tersebut. Isteri menurut Cooper harus mampu menutupi
kelemahan suami dalam kehidupannya. Ini dapat dilakukan bila seorang isteri mau
memahami karakter atau sifat suami untuk dapat menemukan bagaimana dia dapat
memerlukan kecakapan, inspirasi dan fantasi untuk melakukan tugasnya dengan baik
sebagai isteri dalam memina kehidupan rumah tangga. Isteri yang cakap dapat
44
Jay E. Adams, Opcit, hal 98
45
Gelar “Penolong” diberikan oleh Allah sendiri (lih Kej. :18), dalam bahasa Ibraninya kata
penolong disebut “ezer”
46
Darien B. Cooper, Opcit, hal 23
135
Ia dapat melihat situasi dan suasana yang cocok untuk menyampaikan perasaannya
maupun yang merupakan kritikan kepada suami. Dengan demikian cara dan cikap isteri
tidak menimbulkan kesan bahw suami diserang atau langsung dipersalahkan dan isteri
perlu bertitik tolak dari kebutuhannya dan usul-usulna sendiri dikemukakan tanpa
menghidari pertengkaran yang lazim terjadi antara suami dan isteri akan dapat
dihindari dan rasa kasih sayng yang mesra tetap terjalin dengan baik. 47 Karena
pertengkaran yang sering terjadi antara suami dengan isteri adalah merupakan suatu
tinggal dipadang gurun” (Ams. 21:19), dari pada diam serumah dengan perempuan
bertengkar pada suami yang merusak kehidupan keluarga, karena bila isteri yang
bertengkar dengan suami dia mengatakn kehilangan rasa hormat dan penghargaan
terhadap suaminya. Sebagai isteri dia harus senantiasa mnaruh hormat kepada suami,
Istri juga disebut sebagai ibu rumah tangga. Sebagai ibu rumah tangga yang
baik ia senantiasa merawat rumah tangganya dengan baik dan penuh rasa kasih sayang.
Dia harus menciptakan suasana yang membuat semua anggota keluarga bahagia, 50 dan
merasa betah untuk tinggal dirumah. Suasana rumah yang penuh kesukaan, penuh
47
Isabel Emslie Notton, Petunjuk Kesehatan dalam Perkawinan, Penerbit Gayana Press,
Bandung, 1981, hal 67
48
Lih: 1 Kor. 11:3; Ep. 5:22 dan band 1 Pet. 3:1-7
49
Jay E. Adams, Opcit, hal 103
50
136
peduli satu keapda yang lain akan membuat suami suka kembali kerumah sehabis kerja.
Suasana rumah tangga ini dapat diciptakan oleh isteri sebagai ibu rumah tangga bila ia
sendiri sudah merasakannya terlebih dahulu dalam batinnya.Dan hal ini tergantung pada
persekutuan yang erat dengan Tuhan selain pada penghargaan oleh suami kepada isteri.
rumah, tetapi bukan sebagai hudak, melainkan sebagai penolong suami. Ia mencari bulu
doma dan jerami dan senang bekerja dengan tangannya. Ia bangun kalau masih malam
menyediakan makann untuk seisi rumahnya. Tangannya ditaruh pada jentera, jari-
jarinya memegang pemintal. Suaminya memuji dia, banyak wanita telah berbuat baik,
tetapi engkau melebihi mereka smeua. Kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut
Sebagai isteri yang bertanggung jawab dirumah akan menambah rasa cinta
dan kasih sayang suami kepada isteri, sehingga hubungan mereka dapat bertambah
berarti mengharapkan puji-pujian dari suami, tetapi bila si isteri melakukan semua
Isteri mempunyai andil yang sangat penting dalam membina rumah tangga
bahagia. Selain ia harus mengerti dirinya, ia juga sebagai penolong suami, sebagai ibu
dari anak-anak dan ia harus dapat mempunyai pengertian dan pemahaman kepada
suami, baik sifat maupun kepribadian. Untuk menekankan peran isteri ini ditengah-
iii) Sesuai degan Ep. 5:22, ia harus patuh kepada suami seperti suami
Diatas telah ditekankan oleh penulis ada tiga bagian peranan isteri dalam
menolong suami ditengah-tengah rumah tangga. Namun perlu ditambahkan satu lagi
peranan isteri yang tidak kalah pentingnya, yaitu bahwa siisteri harus tetap
mencurahkan hati dan pikirannya supaya ia jadi jangan lupa sebagai pencita kepada
suami. Jangankan karena semua kegiatannya yang banyak itu ia menjadi lupa
c. Relasi suami-isteri
Untuk menajga kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis sangat
diperlukan adanya relasi yang baik antara suami dan isteri. Relasi yang baik dan
harmonis yang terjalin diantara suami dan isteri akan mempengaruhi kepada semua
sendi-sendi kehiduan rumah tangga itu. Relasi yang baik diantara suami dan isteri
dapat terjadi. Menurut T. Gilarso,54 hal itu dapat terjadi bila suami dan isteri dapat
baik dan positip. Hanya melalui komunikasi ini dimungkinkan mereka dapat saling
dan karakter si isteri da demikian si isteri dapat mengetahui karater dan sifat-sifat dari
54
Band. T. Gilarso, Sj (ed). Membangun Keluarga Kristen, Pembinaan Persiapan Berkeluarga,
Kanisius, Yogyakarta, 1996, hal 4
138
si suami. Jadi waktu untuk berdiskusi sangat diperlukan untuk dapat saling mengenal
rumah tangga harus mencerminkan kasih Kristus kepada jemat dan isteri
mencerminkan dirinya sebagai hormat kepada suami sebagai jemaat tehadap Kristus.
Hanya dengan demikian tercipta komunikasi yang baikd ans ehat yang dapat
hanya melalui komunikasi yang baik keadaan yang kurang baik dapat teregah.
Didalam komunikasi ini bahwa suami dan isteri harus tetap mempedomani
apa yang digambarkan oleh Rasul Paulus dalam surat-suratnya, yang mana bahwa suami
adalah sebagai kepala harus tetap mengasihi isterinya dan isteri menjadi penolong
dalam arti harus tetap tunduk dan hormat, taat kepada suami.
Jadi dalam komunikasi yang sehat ini Cristy Lane dkk, 56 bahwa didalam
komunikasi itu harus dijauhkan sikap arogan seperti saling merendahkan, mencela, dan
menghina, mematahkan semangat. Maka dengan dmeikian menjadi dapat kita sipulkan
bahwa relasi yang baik yang terjadi didalam rumah tangga itu, akan sangat membantu
meneguhkan, memuji dan menghargai, maka satu sama lain akan saling menumbuhkan
55
Band Tonci R. Sulawancy, Apakah Keluarga Anda Bahagia, Lembaga Literatur Baptis, 1998, hal 48
56
Cristy Lane dkk, How To Save Your Troubeld Marriages, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal 47
139
Krisis perceraian yang terjadi diantara Bortha dan Tiur adalah disebabkan
ketidak adaan keturunan. Dan ketidak adaan keturunan inilah yang menjadi alasan ibu
Bortha untuk mendorong anaknya supaya kawin untuk kedua kalinya setelah
menceraikan Tiur menantunya. Keadaan ini dapat kita simak dalam kasih yang
mengatakan :
“Melihat keadaan isterimu, ibu tidak yakin lagi dia dapat melahirkan
anak. Karena itu, saya minta supaya kau kawin lagi dengan “pariban”
mu si “Bunga”, (25-27)
“Sekiranya ada anak saya, saya kira persoalan ini tidak terjadi”, (148-149)
Melalui ungkapan yang dikutip dari deskripsi kasus bahwa krisis perceraian
yang terjadi diantara Tiur dengan Bortha adalah disebabkan oleh karena kmandulan.
Oleh karena itu pada bagian ini perlu kita hahas mengenai ank sebagai buah kasih dari
sebuah pernikahan.
Volkhard dkk,57 mengatakan bahwa anak merupakan buah cinta kasih dari
suatu pernikahan dalam kelurga. Karena itu menurutnya bahwa anak diyakini
merupakan pemberian Tuhan kepada suami-isteri. Karena itu, kepada mereka yang telah
dikaruniakan anak, kepada mereka diserahi tugas untuk memelihara, merawat, mendidik
hingga si anak menjadi dewasa secara jasmani maupun rohani. Hal ini dapat kita
perhatikan ketika orang tau si anak membawa anaknya untuk menerima babtisan kudus.
57
Volkhard dkk, Hidup Sebelum dan Sesudah Nikah, Yayasan Persekutuan Injili Indonesia, Batu,
1994, hal 81
140
Pemeliharaan dan pendidikan yang ditujukan oleh orang tua kepada anak-
anak mereka harus didasari oleh kasih. Pendidikan dan pemeliharaan anak dari orang
tua yang didasari oleh kasih yang mendalam didukung oleh Tim Lahaye, 59 yang
mengatakan, sebab Allah menginginkan keluarga itu menjadi sorga kasih sayang di
dunia ini, dimana ayah-ibu dan ank-anak supaya hidup tenteram dan merasa diterima
sebagaimana adanya, dimana si anak menjadi merasa didekap oleh kasih sayang yang
Tuhan kepada suami-isteri. Karena itu ditegaskan bahwa kasih sebagai dasar untuk
mengajar dan mendidik anak itu ialah kasih yang panjang sabar dan penyayang, kasih
itu tiada dengki, kasih itu tiada memegahkan dirinya, tidak sombong, tiada melakukan
yang tidak senonoh ..., (1 Kor. 13:1-13). Sedangkan dalam Ep. 6:4, yang ditujukan
kepada orang tua, yaitu supaya jangan membangkitkan amarah si anak. Tetapi dididik
dan supaya diajari menurut nasehat yang dari Tuhan. Karena dengan dan melalui
pengajaran yang dari Tuhan kepada anak, si anak akan lebih menghargai orang tua dan
menerima pengajaran mereka.60 Hal ini juga dimaksudkan ketika orang tua mendidik
kehendak kepada anak. Tidak terlampau keras sehingga jangan sampai menimbulkan
amarah dalam hati si anak. Supaya hatinya jangan sampai tawar (Kol. 3:21; Ep. 6:1-4).
58
Kolportase, Agenda HKI, Pematang Siantar, 1990, hal 66
59
TIM LaHAYE, Opcit, hal 3
60
J. L. CH. Abineno, Tafsiran Alkitab Surat Epesus, BPK, Jakarta, 1982, hal 202