Anda di halaman 1dari 32

109

BAB III

INTERPRETASI

A. Pokok Masalahan Bortha dan Tiur

Melalui analisa kasus, nampak bahwa pengenalan Tiur akan Allah lebih kuat

sebagai Allah Penghukum dibandingkan sebagai Allah pemberi berkat atau Pengasih.

Semula, Bortha dan Tiur berpengharapan dan sabar untuk menantikan berkat

Keturunan, hanya atas pemberian Tuhan saja sambil mengupayakan berbagai usaha

pengobatan. Hal itu dapat kia lihat melalui ungkapan mereka dibawah ini, yang

mengatakan :

”… harapan kami hanya kepada Tuhan saja”, (42-43)


mereka berdua pergi ke dokter untuk memeriksakan diri.
”dan semua dokter mengatakan bawha, kesehatan mereka
Berdua tidak ada yang perlu diragukan,”

Tetapi karena yang mereka harapkan itu tidak kunjung tiba akhirnya pikiran Bortha dan

Tiur kembali pasrah dan memohon berkat kepada Tuhan dengan perantaraan para

pelayan Jemaat dan ”hula-hula”, demikian upaya mereka :

”Memohon doa restu melalui pelayan Jemaat


maupun para ”hula-hula”. Kemudian pergi
ke ”sibaso”, (12, 17, 93)

Melalui ungkapan maupun upaya yang dilakukan oleh Bortha dan Tiur di

atas, nampaknya Bortha dan Tiur mengalami kebingungan akibat kegagalan mereka

memperoleh keturunan. Akhirnya ungkapan ibu Bortha menjadi pemicu terjadinya

krisis perceraian diantara Tiur dan Bortha. Ungkapan mereka dapat kita simak

melalui argumentasi dibawah ini.


110

B. Argumentasi

Bortha dan Tiur, walaupun melaksanakan berbagai upaya, dengan harapan

supaya mereka mendapatkan keturunan, namun toch tidak berhasil, maka apa yang

disarankan oleh ibu Bortha itu walaupun semula Bortha tetap berpegang teguh kepada

prinsip pernikahan menurut iman kristiani, ternyata anjuran ibunya itu menjadi pemicu

terhadap terjadinya krisis perceraian. Keadaan itu dapat kita lihat sebagaimana kita

uraikan dibawah ini, demikian :

“Ketika engkau pergi kerumah orang tuamu beberapa hari


yang lewat dugaanku kalian pasti membicarakan perceraian.
Berarti kalian sekongkol dan sengaja mengatur jalannya
”skenario” ini. Saya memperhatikan langkah bapak, bahwa
bapak bermain sandiwara. Dihadapan saya bapak menolak
perceraian, dihadapan orang tuamu tidak. Memang hebat
permainan ini”, (67-72).

Ungkapan Tiur di atas disangkal oleh Bortha. Bortha sesuai dengan

pengakuannya bahwa perubahan pikiran Bortha itu bukan karena disebabkan

kehadirannya dirumah orang tuanya terjadi perubahan itu. Yang sekaligus menolak

bahwa dirinya bukan bersekongkol atau sengaja mengatur skenario atau strategi dengan

orang tuanya sehingga ia menganjurkan perceraian itu kepada Tiur. Melainkan, bahwa

terjadi perubahan pikiran Bortha itu sesuai dengan pengakuan Bortha adalah merupakan

hasil proses pikirannya sendiri. Ungkpaan Tiur diatas sesuai dengan pengakuan Bortha

adalah merupakan tuduhan belaka yang tidak punya bukti yang autentik

sehingga Bortha mencoba memberi memberi penjelasan terhadap Tiur, demikian :

“Bukan demikian ibu….taraf manusiawi. Memang harus


diakui bawha permintaan orang tua saya itu memiliki
resiko yang berat karena menganggu keutuhan rumah
tangga kita yang telah lama kita pelihara secara baik-baik…
rukun dan damai”, (73-81)
111

Tiur nampaknya tidak dapat menerima penjelasan Bortha yang menekankan

bahwa hasil proses berpikirnya yang menekankan perceraian supaya mendapat

keturunan masih mansiawi, sehingga Tiur menyangkal pendapat Bortha itu dengan

mengatakan :

“Bapak mengatakan bahwa maksud orang tuamu itu masih


taraf manusiawi? Ini tidak masuk akal, saya kira tidak lagi
…bahkan sudah sebaliknya. Tidak manusiawi, dan sudah merusak
…istimewa kepada tatanan ajaran kekristenan, khususnya mengenai
…Jadi saya tidak setuju kepada pendapat kalian semua”, (82-87)

Walaupun Tiur menolak ungkapan Bortha diatas, Bortha masih terus

berusaha untuk meyakinkan Tiur dengan mencoba untuk menjernihkan maksud dari

perkataan masih dalam “taraf manusiawi”. Sehingga Bortha kembali mengatakan :

“Maksud saya masih manusiawi ialah bahwa wajar sajalah


setiap orang melalui pernikahannya pasti mengharapkan
keturunan sebagai generasi penerusnya, termasuk kita sendiri,
tetap apa boleh buat…tetap saja nihil. Itu yang saya maksudkan
dengan…dengan sekarang saya serahkan kepadamu”, (88-94)

Walaupun Bortha berusaha keras untuk menyakinkan dan megharapkan Tiur

supaya mau untuk bercerai, namun Tiur tetap bersikeras menolaknya sambil menuduh

Bortha sedang memainkan “skenario” bersama ibunya, sehingga Tiur mengatakan :

“Itu berarti bahwa bapak menerima atau menyetujui yang


diharapkan oleh orang tuamu itu…orang tuamu, berarti
bapak turut juga membuat “skenario”,…di antara kita”, (95-97)

Bortha menuduh Tiur berpraduga yang negatif terhadap diri Bortha, yang

mana bahwa Bortha sesuai dengan pengakuannya bahwa peralihan pikirannya, yang

semula adalah mempertahankan keutuhan pernikahan mereka menjadi menyetujui

perceraian bukan karena pengaruh orang tuanya melainkan adalah merupakan hasil

proses pemikiran/pertimbangan Bortha sendiri. Akan tetapi menurut Tiur bahwa


112

perubahan pikiran Bortha itu merupakan pertanda bahwa diri Bortha bekerja sama

dengan ibunya, Bortha sendiri adalah dalang atau sutradara yang berada dibelakang

layar, sedang ibu Bortha diibaratkan sebagai pemain sandiwara itu atau sebaliknya.

Akan tetapi bila tuduhan Tiur ini tidak benar, dapatlah kita katakan bahwa peralihan

pikiran Bortha ini datangnya melalui hasil proses pertimbangan pikirannya sendiri yang

dapat kita katakan seperti istilah bahasa Batak Toba yang mengatakan bahwa Bortha

justru karena “pahusor-husorhon”1 apa yang dianjurkan oleh orang tuanya itu didalam

hatinya. Hasil pemikiran Bortha ini dapat kita katakan bahwa proses berpikir itu ada

kesamaan seperti cara berpikir yang dilakukan oleh Maria ketika Yesus lahir, (band Luk

2:19). Namun hasil proses berpikir Bortha ini adalah kebalikan dari hasil proses berpikir

Maria. Karena proses berpikir Maria melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi sesuai

dengan pengalamannya itu adalah membuat dirinya semakin dekat dan mengerti akan

rencana Allah, akan tetapi bahwa Bortha semakin tidak mengerti rencana Allah yang

terjadi kepada diri mereka melalui pernikahan itu, karena dirinya semakin jauh dari

pemahaman yang kristiani akan pernikahan itu. karena pemikiran dna pemahaman

Bortha akan pernikahan itu sudah sangat condong kepada pemahaman pernikahan

menurut adat Batak Toba. Hasil proses berpikir Bortha yang semakin jah dari rencana

Allah melalui pernikahan itu ia katakan demikian :

“…Permintaan orang tua itu adalah merupakan realita


kehidupan yang manusiawi…”, (98-102)
Ungkapan Bortha diatas menunjukkan perubahan sikapnya yang sudah

semakin condong terhadap pemikiran ibunya yang menonjolkan keturunan sebagai

tujuan dari pada pernikahan itu. Nampaknya Tiur tetap berpegang pada prinsipnya yang
1
Pahusor-husorhon, artinya ialah berpikir atau memikirkan kembali secara berulang-ulang
sehingga muncul pendapat atau pemikiran yang baru sebagai hasil pemikiran yang secara berulang-
ulang itu
113

mempertahankan keutuhan pernikahan mereka. Namun karena permintaan Bortha ini

sudah sudah menuduh dirinya bagaikan seorang isteri yang tidak memiliki harga diri

lagi layaknya sebagai seorang ibu ditengah-tengah rumah tangga, nampaknya perkataan

Bortha itu menghantarkan perasaan Tiur sudah berada pada klimaks krisis itu, akhirnya

Tiur :

Ia menangis…,kemudian mengatakan “sebenarnya, setelah dua


tahun kita menikah,…kepada dokter spesialis kandungan
tanpa sepengetahuanmu. Kemudian kita berdua …dokter
mengatakan, kesehatan kita berdua normal…masih ada harapan
saya untuk dapat mengandung…sekarang situasinya sudah beda.
Masa haid saya sudah berlalu…Karena itu terserah kepadamulah,…
pepatah yang mengatakan “Habis manis sepah dibuang”?...,
tetapi saya tetap bersandar pada janji pernikahan kita itu…
Rupanya beginiah “sibaran ni boru adi lapung diturpukhon Debata”.
Tinggallah saya sendiri sebatangkara menjadi sampah masyaaaa…
rakat”. Lalu Tiur jatuh pigsan dan soch, (105-121)
Ungkapan Tiur diatas menunjukkan perasaan luka hati terdalam sebagai

akibat dari desakan perceraian yang datang dari pihak keluarga Bortha sendiri. Itu

sebabnya ia menderaikan air mata sambil menceritakan keprihatinannya bahwa

dirinya sendiripun turut juga berupaya demi mendapat keturunan itu, walaupun hasilnya

tetap saja jauh dari harapan atau nihil.

Akibat tekanan perceraian itu, Tiur mengibaratkan dirinya menjadi seperti

yang ia gambarkan melalui pepatah yang mengatakan : “Habis manis, sepah dibuang”.

Kemudian ia tambahkan bahwa dirinya sudah menjadi seperti “sampah masyarakat”,

akhirnya, dirinya jatuh soch. Karena itu dibawah ini perlu kita uraikan pengertian krisis

perceraian itu.

1. Krisis Perceraian

Poerwadarminta2 mengatakan bahwa krisis ia sebutkan sebagai keadaan

2
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1986, hal 527
114

Genting. Sedangkan H. Norman Wright,3 yang pandangannya ia kembangkan melalui

pandangan Webster, sehingga ia mengatakan bahwa krisis itu adalah sebagai titik

peralihan dari segala sesuatu. Sedangkan Widi Artanto, 4 yang menulis bukunya

”Menjadi Gereja Missioner : dalam Koteks Indonesia, memahami krisis itu ia katakan

adalah “menunjukkan adanya sesuatu yang berbahaya dan juga menunjukkan adanya

kesempatan untuk terjadinya suatu perubahan”.

Maka melalui pandangan para pemikir diatas, penulis lebih condong kepada

pendapat Widi Artanto, sehingga bahwa yang dimaksud dengan krisis ialah

menunjukkan sesuatu kondisi yang berada didalam situasi kondisi yang berada dalam

keadaan berbahaya. Keadaan yang berbahaya ini timbul sebagai akibat terjadinya

ketegangan-ketegangan yang slaig tarik menarik. Akibat daya yang tarik menarik ini

situasi ataupun kondisi menjadi berada di “persimpangan”, di persimpangan antara

hendak jatuh ke jurang dan hendak pulih kembali (stabil) sebagaimana biasa.

Demikianlah keadaan rumah tangga Bortha dengan Tius, rumah tangga mereka berada

di persimpangan jurang antara perceraian dan pulihnya kembali kepada keadaan semula.

2. Keturunan Merupakan Kebutuhan dasar

Menurut Pernikahan dari sudut Adat Batak Toba

Para ahli menyebutkan, seperti H. Norman Wiright5, menyebutkan bahwa

da sedikitnya lima faktor kebutuhan dasar manusa, diantaranya : Pertama, kebutuhan

fisik. Kedua, kebutuhan akan rasa aman (security). Ketiga, keutuhan aka dikasihi,

diperhatikan dan diterima. Keempat, kebutuhan akan harga diri, rasa berarti

3
Band : H. Norman Wtight, Crisis Counseling, san Bernandino: Here’s Life Publishers, 1985, hal 9
4
Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner : Dalam Konteks Indonesia, Kanisius-BPK-GM.
Yogyakarta, 1996, hal 21
5
Band: H. Norman Wiright, The Pillars of Marriage, Ventura Regal Book, 1980, hal 68, 72
115

(significant). Kelima, kebutuhan dapat mengembangkan potensi dan kemampuan untuk

mengasihi orang lain.

Melalui penelitian Lawrence J. Crabb6, mengatakan bahwa suami-isteri

melalui pernikahannya mengharapkan dan terpenuhinya kebutuhan akan rasa aman

(security) dan perasaan berarti (significant).

Berdasarkan pandangan diatas, yang menyebutkan kemungkinan terjadinya

krisis bagi seseorang ialah apabila salah satu dari kebutuhan dasar yang disebutkan oleh

H. Norman Wright diatas tidak terpenuhi. Jadi kebutuhan dasar bagi orang tua Bortha di

sini ialah masalah cucunya dari keturunan Bortha. Maka dalam hal ini ibu Bortha

merasa dirinya tidak aman (security) dan tidak memiliki harga diri. Sehingga ia

menganjurkan perceraian anaknya,. Jadi ibu Bortha merupakan pemicu terjadinya krisis

perceraian itu antara Bortha dan Tiur.

Dari pandangan kedua ahli diatas, perlu kita perhadapkan kepada pandangan

para ahli yang lain, misalnya A. A. Sitompul,7 yang membahas falsafah Batak itu dari

sudut budaya Batak mengatakan bawha Hugabeon (keturunan yang banyak, laki-laki

dan perempuan), Hamoraon (harta yang banyak) dan Hasangapon (wibawa atau

kemuliaan) yang kita sebut dengan istilah “3 H”. Dari ketiga unsur tersebut yang paling

pokok dari ketiga unsur cita-cita harapan suku atak ini adlah mengenai “Hagabeon”,

(keturunan yang banyak) terutama anak laki-laki. Karena suku Batak sebagaimana

dalam analisa telah kita singkapkan bahwa orang Batak menganut struktur “patriakhal”.

6
Lawrence J. Crabb, The Marriage Builder, Surref:Navress, 1982, hal 20
7
A. A. Sitompul, Opcit, hal 40
116

Di samping sistem patriakhal ini dikatakan bahwa cita-cita “hagaben” inilah yang

paling pokok dan penting dibandingkan dengan kedua unsur lainnya. Karena tanpa

anak, terutama anak laki-laki tidak mungkin yang kedua unsur lagi dapat ditemukan,

yaitu “Hasangapon” (kemuliaan/kehormatan) dan “Hamoraon” (banyak

harta/kekayaan). Karena dengan adanya anak, terutama anak laki-laki “Hasangapin dan

Hamoraon” dimungkinkan untuk didapati. Itulah sebabnya Nahum Situmorang

mengumandangkan sebuah lagu yang terkenal untuk menyingkapkan cita-cita orang

Batak mengenai keturunan sebagai yang paling pokok dengan judul “Annakkon hi do

Hamoraon di ahu” (Anakku itulah kekayaan/yang termahal bagi saya). Hal itu juga

ditunjukkan oleh banyaklah falsafah Batak yang menggambarkan sangat pentingnya

keturunan anak laki-laki itu, dan itulah yang lebih pokok, seperti dimuat dalam beberapa

peribahasa di bawah ini :

“Bintang na rumiris, ombun na sumorop,


anak pe riris, bori pe antong torop”.
Artinya :
Bintang bertaburan, embun bergumpal menutup padang
Anak laki-laki berbaris-baris, anak perempuan tak kurang.

“lak-lak ni singkoru na gantung di ginjang pintu,


maranak sampulu tolu, marboru sampulu pitu”.
Artinya :
Kulit saga-saga digantung diatas pintu,
Anak laki-laki tiga belas, anak perempuan tujuh belas.

“Langge so langge, tobu so tobu


Adong boru bulung tu ginjang, do adong anak urat tu toru”.
Artinya :
Keladi bukan keladi, tebu bukan tebu,
Ada anak perempuan daun (mengembang) keatas, tidak ada anak lelaki akar
(meluas) ke bawah.

H. Norman wright,8 mengatakan bawh teologi seseorang mempengaruhi

8
H. Norman Wright, Konseling Krisis : Membantu orang dalam Krisis dan Stres, Yayasan Penerbit
117

bagaimana ia mengatasi suatu krisis. Jadi maksud Norman disini adalah bahwa

bagaimana kita percaya kepada Tuhan, apakah kita menaruh peuh kepercayaan dan

berpengharapan hanya kepada Than Allah saja atau tidak? Hal itu memberi pantulan

kepada seseorang untuk mengatasi krisis yang sednag terjadi kepada seseorang. Teologi

kita itu menentukan sikap kita. Dalam kasus, kita telah melihat melalui prinsip Tiur

bahwa dirinya penuh keragu-raguan, ia tidak dapat memandang kemandulan yang

menimpah dirinya itu sebagai akibat kesehatan yang kurang sempurna, ia penuh keragu-

raguan, sehingga dirinya mengatakan sebagai akibat sibarannya dan dosa-dosanya

sendiri maupun dosa-dosa orang tua dan neneknya (120-121; 241-242). Oleh karena itu

dapat kita katakan bahw teologi Tiur maupun Bortha teologinya tentang pernikahan itu

terlampau dipengaruhi prinsip budaya dan agama Batak tradisional yang bergabung

dengan teologi Pietisme terutama teologi Calvin yang menekankan predistinasi,

sebagaimana kita sebutkan diatas.

Melalui bahasan diatas dapat kita tarik kesimpulan, krisis perceraian yang

terjadi pada Bortha dan Tiur, dimana rumah tangga mereka terancam bubar disebabkan

oleh karena orang tua Bortha merasa kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi yakni karena

melalui pernikahan anaknya Bortha bersama Tiur menantunya tidak diberkatinya

keturunan. Sehingga ibu Bortha menekankan perceraian kepada anak dan menantunya.

Hal ini juga menunjukkan bahwa pernikahan Bortha dan Tiur dimungkinkan untuk

pulih kembali melalui pelayanan pastoral yang dilaksanakan oleh para Pendeta.
118

3. Pernikahan menurut Pemahaman

orang Kristen.

Di atas telah kita bahas pengertian krisis itu. Karena itu dibawah ini perlu

kita bahas pernikahan menurut pemahaman orang Kristen.

Pernikahan menurut iman Kristen terbentuk berdasarkan kasih dan firman

Tuhan. Itu sebabnya Derek Prince, 9 mengatakan bahwa pernikahan yang tertua, anak-

anak tidak disebutkan sebagai tujuan dari pernikahan itu. Demikian juga Anne

Hommes,10 yang mempertegas ungkapan Prince diatas yang mengatakan bahwa

kelahiran anak melalui pernikahan adalah merupakan anugerah tambahan, sebab tujuan

pernikahan menurutnya adalah : meninggalkan, mencampingi, dan sedaging, menurut

Derek Prince, hanya sampai disitu saja tujuan dri pernikahan itu. Jadi bukan harus

mendapatkan keturunan, barudapat kita katakan bahwa pernikahan itu sudah menjadi

pernikahan yang direstui oleh Tuhan.

Sejalan dengan pandangan diatas, Walter Trobisch, 11 juga menekankan hal yang

sama, bahwa tujuan pernikahan menurutnya adalah untuk meninggalkan ayah dan

ibunya, bersatu dan berdampngan dengan suaminya. Jadi bukan untuk beranak cucu

menurut Trobisch. Itulah sebabnya A. A. Sitompul menentang orang yang

mengkultuskan kelahiran anak sebagai tujuan dari pada pernikahan itu. Dimana beliau

mengatakan bahwa soal keturunan atau anak cucu tidak boleh diekstrimkan.12

Jadi salah dan menyimpanglah dari prinsip pernikahan menurut Alkitab bila

dikatakan bawha pernikagan yang tidak mendapat anak dianggap cacat, bahkan tidak

9
Derek Prince, Jodoh PIlihan Tuhan,Yayasan Pekhabaran Injil Immanuel, Jakarta, 1994, hal 16
10
Anne Hommes, Perubahan Peranan Pria & Wanita Dalam Gereja & Masyarakat, Kanisius-
BPK GM, Yogyakarta, 1992, hal 169
11
Walter Trobich, Jodohku, Gandum Mas, Malang, 1996, hal 124
12
A. A. Sitompul, Opcit, hal
119

diberkati Tuhan. Alkitab tidka pernah mengatakan demikian. Anak merupakan berkat

tambahan dalam pernikahan, bukan sebagai tujuan utama. 13 Pernikahan tanpa anak

bukan karena dikutuk Allah, melainkan seringkali dalam rencana Allah yang tertentu.

Sebab banyak pasangan yang tidak dikaruniai anak telah menjadi orang tau anak-anak

terlantar dalam dunia masa kini termasuk anak yatim piatu maupun anak-anak yang

telah menjadi korban kehancuran rumah tangga. Hal seperti itu termasuk perbuatan

yang mulia. Jadi walaupun tidak ada anak dalm rumah tangga Kristen, Tuhan Allah

tetap memberkati pernikahan suami-isteri tersebut. Karena melalui pernikahan, Allah

sendirilah dipercayai yang mempertemukan kedua memplai. 14 Itulah sebabnya Allah

melalui Alkitab mengatakan :

“Karena itu, apa yang telah dipertemukan Allah, tidak boleh


diceraikan manusia”, (Mat. 19:6; Mark. 10:9)

Pandangan diatas, juga dipertegas oleh Agenda HKI,15 pernikahan menurut

aturan Gereja HKI diyakini bahwa pernikahan itu adalah berdsasarkan restu dan

ajaran Tuhan Allah dan AnakNya Yesus Kristus dan Roh Kudus. Itulah sebabnya

Paulus menekankan bawha Yesus Kristus menjadi kepala ditengah-tengah keluarga itu.

Untuk pembentukan keluarga itu seorang laki-laki dan seorang perempuan mengikat

janji untuk membentuk rumah tangga di depan Pendeta dan warga yang diberkati oleh

Tuhan Allah. Oleh karena itu, Rudolf H. Pasaribu, 16 mempertegas apa yang ditekankan

oleh Alkitab diatas, yang mengatakan bahwa pernikahan yang dilaksanakan menurut

pemahaman Alkitab/Kristen, tidak ada alasan apapun yang dapat menyebabkan

13
John White, Dosa, Seks, Dan Kita, Gloria Grafika, Yogyakarta, 2003, hal 8
14
J. Verkuyl, Etika Kristen Seksuil, BPK-GM, Jakarta, hal 54
15
Kolportase HKI, Opcit, hal 85-88
16
William T. Bassett, Counseling The Childless Couples, Fortress Press, Philadelphia,1963, hal
78-86
120

pernikahan untuk bercerai, entah oleh disebabkan penyakit yang serius, ketidakadaan

anak atau kemandulan, pengaruh orang tua sebagaimana yang terjadi dalam rumah

tangga Bortha dan Tiur dalam tulisan ini.

4. Kristus menjadi Kepala didalam Keluarga

Melalui analisa kasus, nampak kemungkinan yang menimbulkan terjadinya

krisis perceraian itu adlah disebabkan kurang fahamnya arti pernikahan menurut

Alkitab, terutama ibu Bortha yang memicu krisis perceraian diantara Bortha dengan

Tiur. Mereka memahami pernikaan itu lebih kuat pengertian dan tujuan pernikahan itu

dari sudut budaya Batak yang bercampur aduk dengan pengetahuan teologi yang

dipengaruhi teologi Pietisme Calvin, sehingga pernikahan menurut Alkitab menjadi

kabur dan kehilangan bentuknya. Karena sudah mengalami kekaburan akan arti

pernikahan dari sudut Alkitab akhirnya Bortha dengan mudah terprovokasi terhadap

hasutan ibunya. Maka terjadilah ketegangan dan pertengkaran, yang pada akhirnya

krisis perceraian melanda rumah tangga Bortha dan Tiur. Oleh karena itu disini

perlu kita jelaskan bahwa pernikahan adalah merpakan dasar atau awal dari keluarga

itu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,17 dikatakan bwha keluarga adalah

suatu unit terkecil dalam masayrakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya. Yang

dalam Alkitab Perjanjian Lama disebut dalam bahasa Ibrani “Byit”, artinya rumah

tempat tinggal. Rumah, yang disebutkan untuk menjelaskan keluarga itudisebut dengan

kata “Misapahat” yang berarti keluarga, sanak saudara. Isitilah ini dialamatkan kepada

umat Israel sebagai rumah dan perubahan (Yes. 58:7; Kej. 24:38). 18 Sedangkan dalam
17
Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal 413
18
O. J. Baab, “Familiy”, The Interpreter Dictionary Of the Bible : ed Butrick, Vol II, New
York, Abingdom Press, 1957, hal 238
121

Alkitab Perjanjian Baru, untuk menjelaskan keluarga itu disebutkan, dengan kata

Yunani “Oikos”, yang artinya rumah yang menurut tradisi Alkitab disebut keluarga.

Dalam bentuk “Oikakos” yang diartikan dengan anggota keluarga (kaum), (Mat. 12:25;

Mark. 3:25). Sedangkan untuk menyatakan keluarga disebut “Matria”, artinya keluarga,

sanak saudara, (Mat. 13:57).19

Manusia dengan berkeluarga berarti manusia itu mempunyai penolong yang

sepadan, (Kej. 2:18) dan bersekutu didalam pernikahan sebagai suami isteri. Didalam

pernikahan itu Allah mempertemukan laki-laki dengan perempuan sehingga mereka

saling mengnal, bersahabat, bersekutu dan saling melayani dalam hidup satu daging.

Jadi pertemuan seorang laki-laki dengan seorang perempuan mlalui pernikaan itu

adalah didorong oleh Allah sendiri. Dengan adanya persekutuan yang indah itu,

hubungan suami-isteri, menurut J. L. Ch. Abineno,20 akan berlangsung dalam hubungan

kasih yang indah, tidak memandang rendah satu dengan yang lain, saling melengkapi,

dan tidak mmandang kelemaan satu terhadap yang lain, tetapi saling mengajar dan

saling mengisi. Keindahan hubungan antara suami-isteri ini juga dipakai untuk

menggambarkan lambang persekutuan antara Kristus dengan umatNya (Ep. 3:25).

Kristus digambarkan sebagai pengantin laki-laki dan jemaat sebgai pengantin wanita.

Kiasan ini menandakan bahwa mempelai perempuan ada hubungan yang erat seperti

hubungan Kristus dengan jemaatNya. Dan dalam hubungan ini adanya ikatan kasih

yang kuat diantara mereka. Kasih yang menghidupkan, kasih yang menguduskan. 21

Dimana dalam Yesus kita mengnal sapaan Allah sebagai “Bapak” (bnd. Doa Bapak

19
Ibid, hal 238
20
J. L. Ch. Abineno, Buku Katekisasi Sidi, Nikah Peneguhan Dan Pemberkatannya, BPK-GM,
Jakarta, 1996, hal 56
21
Henk ten Napel, Jalan Yang Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru, BKP - GM, Jakarta, 1991,
hal 129
122

Kami), yaitu Allah yang menyatakn diri kepada umatNya dalam Yesus Kristus sebagai

Bapak.

Dalam keluarga Kriste peranan komunikasi juga sagat diperlukan, sebab

hubungan suami-isteri serta hubungan antara orangtua dengan anak dibangun, tumbuh

dan dipelihara mlalui komunikasi. Tanpa ada saluran-saluran terbuka dan komunikasi

yang tulus seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam ep. 4:25-32. Pandangan Peulus ini

dikuatkan oleh Jay E. Adams22 yang mengatakan : bahwa Kristus adalah pusat yang

sunggung-sungguh didalam rumah tangga itu. Sejalan dengan itulah Eilson Nadeak 23

mengatakan :

“Suami-isteri memerlukan waktu untuk saling membagi rasa


dan meminta pertimbangan. Membicarakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan kelajuan bahtera mereka. Mengindari
salah faham yang mungkin terjadi. Untuk membina dan meramu
kelanggengan rumah tangga. Dan diperluan juga pembicaraan itu
secara terus terang dan jujur sepenuhnya”.

Sikap terbuka dan jujur adalah demi tercitanya keharmonisan didalam

menyelesaikan masalah yang mungkin timbul, sehingga terselesainya masalah itu

dengan baik tanpa adanya murka, marah, keributan, fitnah dan dengki. Disamping itu

suami-isteri perlu juga saling memahami cara pikir pasangan masing-masing. Dengan

sikap saling memahami watak masing-masing pasangan menjadi dapat kita mengikuti

nasehat Paulus yang dia uraikan dalam Ep. 4:32, yang mengatakan :

“Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain,


penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagai Allah
didalam Kristus telah mengampuni kami”.

22
Jay E. Adams, Masalah-maslah dalam Rumah Tangga Kristen, BPK-GM, Jakarta, 2002, hal 33
23
Wilson Nadeak, Seraut Wajah Pernikahan, Kanisius, Yogyakarta, 193, hal 38
123

Didalam Alkita, kasih itu selalu dimulai dengan pemberian, (nd. Yoh. 3:16;

Gal. 2:20; Rom. 12:20). Pendapat Alkiktab ini didukung oleh Charles A. Gallaghen,

yang mengatakan karena kasih yang didasari oleh pemberian itulah yang membawa

iklum dan suasana baru. Suasana inilah yang dapat menciptakan suasan yang baru,

dimana komunikasi dapat tumbuh dan berkembang.24

Berdasarkan uraian diatas, menjadi dapat kita fahami bawha keluarga

Kristen dibentuk berdasarkan iman dan ajaran Kristus sebagai Kepala ditangah-tengah

keluarga itu. Dengan demikian keluarga Kristen menjadi dapat menunjukkan tanda

khadiran kerajaan (kingdom) Allah didunia ini. Karena keluarga Kristen yang

berpusatkan Kristus terwujudlah kasih, kedamaian, kesejahteraan yang saling terbuka

dan jujur tanpa curiga mencurigai tetapisaling membantu dan saling pengertian yang

harmonis.

a. Laki-laki dan Perempuan saling Membutuhkan

Keluarga merupakan dasar yang pertama bagi manusia. Saya katakan

demikian, bahwa ketika Allah enciptakan manusia itu seorang diri saja. Bahwa Allah

melihat manusia itu seorang diri saja, maka Ia mengatakan bahwa manusia yang

pertama seklai diciptakan itu memerlukan penolong yang sepadan baginya. Kemudian

Allah menempatkan mereka supaya beranak cucu dan menguasai dan menaklukkan

segala yang diciptakan Allah itu, (Kej. :18).

Pertemuan Adam dan Hawa manusia pertama yang dilakukan oleh Allah di

Taman Eden bertujuan untuk menciptakan keluarga yang bahagia yang penuh damai

sejahtera, yang dibangun atas cinta yang tdiak mementingkan diri sendiri yang sekaligus

24
Band: Charles A. Gallaghen, SJ, Anda Dapat Mengubah Dunia, Kiat Menata Hidup
Keluarga Bahagia, Obor, Jakarta, 1996, hal 17
124

merupakan perwujudan cinta Allah.25 Pemberkatan manusia pertama yang dilakukan

oleh Allah itu dapat kita pahami adalah merupakan pemberkatan pernikahan yang

pertama. Melalui pemberkatan pernikahan yang pertama sekali yang dilakukan oleh

Allah ini manusia menjadi tidak kesepian karena Allah memberikan seorang penolong

yang sepadan baginya.

b. Laki-laki dan Perempuan sama segambar dengan

Allah didalam Keluarga

Hawa (perempuan) diciptakan Allah dari tulang rusuk Adam (laki-laki).

Sekalipun secara psikologis maupun biologis laki-laki dan perempuan berbeda tetapi

mereka diciptakan segambar dengan Allah. Perbedaan ini hanya hal eksistensi saja,

yaitu satu bereksistensi laki-laki dan satu lagi bereksistensi perempuan. Tetapi keduanya

mempunyai derajat yang sama. Artinya, bahwa laki-laki tidaklah lebih tinggi atau lebih

mulia dibandingkan dengan perempuan itu. Perbedaan eksistensi tersebut adalah untuk

memungkinkan mereka untuk salingmemabntu, saling mengisi dan saling melengkapi

yang melayani.26 Perempuan bukan menjdi pelayan laki-laki. Perempuan adaah partner

atau mitra dari laki-laki karena sama-sama dan segambar dengan Allah mereka

diciptakan. Demikian berbeda jenis diciptakan adalah supaya mereka mnjadi sempurna.

Supaya seorang laki-laki untuk seorang perempuan dan demikian sebaliknya

supaya seorang perempuan untuk seorang laki-laki.27

25
Maurece Eminyan, SJ, Teologi Keluarga, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal 28
26
Garry Collins, Konseling Kristen Yang Efektif, Seminar Alkitab Asia Tenggara, Malang,
1990, Hal 126
27
TIM LaHAYE, Kebahagiaan Pernikahan Kristen, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hal 3
125

Karena itu bahwa perempuan sebagai seorang isteri dalam rumah yanga,

haruslah bertindak sebagai penolong yang sepadan keapda suaminya. Sebagai seorang

suami hidupnya lebih bersukacita dan mengasihi isterinya, sehingga dalam keluarga itu

tetap ada kasih sayang walaupun apa yang terjadi. 28 Misalnya tidak memiliki anak atau

keturunan laki-laki maupun perempuan, kegembiraan dan suka cita itu dapat kita lihat

seperti yang diungkapkan oleh Adam kepada Hawa dalam Kej. 2:23, yang mengatakan :

“Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.


Ia akan dinaai perempuan sebab dia diambil dari laki-laki”.

Melalui ungkapan diatas dapat kita ketahui bahwa Tuhan Allah menciptakan

seorang perempuan adalah karena justru laki-laki membutuhkan perempuan sebagai

penolongnya. Namun pada masa kini banyak perempuan bukannya sebagai penolong

bagi seorang laki-laki. Nilai “penolong” sudah terjadi pergeserannya, ada yang

sebaliknya yang mau hendak melangkahi kodradnya itu dan sebaliknya ada yang

merendahkan walaupun tetap kita akui ada memang yang tetap eksis terhadap

kodradnya itu sehingga kebahagiaan yang berkelimpahan di tengah-tengah rumah

tangga yang demikian itu.29

Seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui pernikahan itu adalah satu

didalam daging (Band. Kej. 2:24). Ayat ini menunjukkan pembagian laki-laki dan

perempuan menurut Anne Hommes30 adalah menunjukkan panggilan mereka untuk

bertumbuh bersama menuju kesatuan satu saging, dalam arti totalitas keberadaan

manusia. Mereka bersama-sama membentuk suatu kesatuan yang lengkap. Didalam

kesatuan mereka secar badani, akal budi dan emosi, disitulah terdapat kesatuan yang

28
Garry Collins, Opcit, hal 126
29
Jonahan A. Trisna, Pernikaan Kristen, Bandung, Kalam Kudus Pesat, 1987, hal 10
30
Anne Hommes, Perubahan-perubahan Peran Pria dan Wanita Dalam Gereja dan
Masyrakat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal 153
126

belum pernah ada sebelumnya. Mereka melebur menjadi satu kesatuan yang saling

melengkapi dan menjadi pasangan hidup yang serasi. Itulah sebabnya Amsal Sulaiman

mengatakan bahwa : Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik (Ams. 18:22).

Pernikahan yang sakral yang pertama ialah yang dilaksanakan oleh Tuhan

Allah di Taman Eden. Dan kata yang digunakan untuk menyatakan pernikahan itu

adalah istilah “Berit” (Ibrani) artinya Perjanjian. Kata “Berit” yang disebutkan ini

lazimnya disebut dan dikembangkan menunjukkan hakekat hubungan dengan karakter

“perjanjian” ini ialah adanya kemajuan Allah untuk mengikatkan diri kepada umatNya,

demi kehidupan umat itu sendiri. Hubungan itu berpokok pada formulasi suatu

ungkapan perjanjian, “Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka menjadi umatKu”,

(Yer. 31:33-34; Ibr. 10:11-17).

c. Pernikahan itu adalah Sakral

Ungkapan perjanjian itu secara nyata akan membawa berkat bila umat itu

berpegang teguh secara konsisten pada isi perjanjian-perjanjian yang disampaikan

keapda umat itu. F. W. Raintung, dkk,31 mengatakan bahwa apabila umay melaksanakan

isi perjanjian itu mereka akan mendaat “syaloom”, yaitu damai sejahtera. Sebab isi

perjanjian itu pada hakekatnya ialah kemauan Allah, yang menjadi semacam kuasa

Allah yang menyanggupkan umatNya mengenai hal-hal yang dikehendaki oleh

AllahNya. Satu keunikan perjanjian itu ialah kesediaan Allah menyertai umatNya,

meskipun acapkali umatNya itu mengingkari isi perjanjian itu. Sekali Lalah berjanji,

maka janji itu akan dipegang teguh dihadapan umatNya.

31
Departemen Agama Republik Indonesia, ed. A. F. Raintung dkk, Penggembalaan Pernikahan Dalam
Rangka Keluarga Bertanggung Jawab, Biro Penerangan dan Motivasi, 1983, hal 21
127

Dalam kitab Maleaki juga dinyatakan bawha pernikahan itu suatu perjanjian.

Tuhan tidak menerima persembahan umatNya pada waktu itu. Dia mengatakan : “Oleh

sebab itu Tuhan telah menjadi saksi antara engkau dengan isteri masa mudamu yang

kepadanya engkau tidak setia, pada hal dialah teman sekutumu dan isteri perjanjianmu”

(Mal. 2:14). Karena itu jelaslah bawha pernikahan itu adalah suatu perjanjian yang

dibuatkan oleh Allah melalui kehadiranNya pada upacara pernikahan itu.

Dalam pembentukan keluarga yang sesuai dengan kehendak Tuhan ada 3

aspek yang dapat kita sima dari Kej 2:24; Ep. 5:31; Mat. 19:5; Mark. 10:7 yaitu :

i. Meninggalkan rumah/berpisah dengan orang tua, (Mengandng segi resmi

atau hukum).

a. Harus ada perpisahan dengan ikatan yang lama (ikatan anak dengan orang tua).

Sebelum seorang manusia sungguh-sungguh bebas membuat hubungan yang

baru. Karena laki-laki dan perempuan melalui pernikahan itu sudah satu.32

b. Meninggalkan orang tua bukan berarti putus hubungan dengan orang tua kedua

belah pihak, tetapi anak memperhatikan, menghormati dan mengasihi orang tua

yang harus dilakukannya. Untuk itu perlu kesadaran supaya dia bukan hanya

anak ditengah-tengah keluarga orang tuanya tetapi sudah hidup serumah. Jadi

suami-isteri sudah didalam keluarganya sendiri. Demikian juga mereka harus

hidup mandiri dalam bidang perekonomian.33

c. Dari segi orang tua, artinya tidak bisa lagi campur tangan (mengintervensi)

pernikahan yang baru itu. Orang yang sudah menikah jika urusan rumah

32
J. J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001, hal
375
33
TIM LaHAYE, Opcit, hal 23-24
128

tangganya diurus dan dicampuri orang tuanya berarti anak yang sudah berumah

tangga itu tetap tidak dewasa sama seperti anak yang masih menyusui.

ii. Bersatu/berdampingan (mengandung segi pribadi/cinta)

a. Dalam bahasa Ibrani bersatu disebut “Yada” yang artinya : terikat atau lengket

dalam kesatuan yang mendalam. Yang menurut Karl Feyerabend, 34 kata “Yada”

itu juga memberi arti bersetubuh, menggambarkan realitas hubungan itu.

b. Saling mencintai dan mengasihi membuat suami-isteri saling tolong menolong

(Kid. 8:6)

c. Hidup bersama-sama dengan kejujuran dan keterbukaan yang saling mengasihi.

Hubungan suami isteri tidak bsia erat jika tidak ada komunikasi yang baik dan

lancar (ep. 24:25-32)

d. Suami-isteri hidup saling memberi dan menerima dan berusaha menyerahkan

kesenangan hidupnya untuk kepentingan bersama bukan hidup untuk diri

sendiri atau egoisme.35

e. Suami-isteri menjadi satu seumur hidup mulai sejak diberkati sampai mati,

(Mat. 19:6).

iii. Menjadi satu daging/tubuih (mengandung segi jasmani dan seks)

a. Istilah tubuh menyangkt aspek jasmani (persatuan tubuh). Dalam pernikahan

tetapi sudah terbatas dalam hubungan seksual saja.

b. Tuhan sendirilah yang sudah menguduskan hubungan seksual terhadap suami-

isteri. Oleh sebab itu hubungan seksual tersebut harus kita hargai dan kita jaga.

34
Karl Peyarabend, Langenscheidts Pocket Hebrew Dictionary to the Old Testament,
Published in the British Commonwealth by Holder & Stoughton Limited. London E. C. 4, hal 127.
35
TIM LaHAYE, Opcit, hal 99
129

c. Supaya hubungan seksual selaku bagian ke 3 ini terbatas kepada orang yang

sudah mengikuti peraturan yang 1 dan yang 2 saja.

d. Suami isteri harus melihat hubungan seksual ini sebagai suatu hal yang

kegunaannya dirasakan bersama-sama dan merpakan satu bagian dalam

kehidupan yang membuat hubungan hati semakin erat dan semakin lama.

Melalui penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa yang menjadi dasar

dalam keluarga Kristen adalah merupakan ketetapan Allah untuk kehidupan manusia.

Dengan berkeluarga hidup manusia itu menjadi sempurna dalam menjalani hidup dan

memenuhi tugas yang diberikan Tuhan. Dalam keluarga itu terdapat cinta kasih yang

tercermin dalam hubungan suami-isteri sebagaimana digambarkan dalam hubungan

Kristus dan jemaat. Suami dan isteri tetap menjaga kekudusan pernikahannya dan

melaksanakan tugasnya sebagimana yang telah ditetapkan oleh Allah sehingga tercipta

keluarga bahagia dan abadi.

5. Tujuan Pernikahan menurut agama Kristen

Pernikahan adalah merupakan pemberian Allah kepada manusia seumur

hidup dengan tujuan supaya saling mengenal, saling melengkapi antara satu pribadi

dengan pribadi yang lain. Persiapan pelaksanaan pernikaghan sebenarnya dimulai sejak

lahir. Apa yang mereka lihat dengan tingkah laku suami-isteri dalam keluarga itu

menjadi ide dalam pernikahan itu.

E. P. Ginting36 dalam bukunya membagi tujuan pernikahan yang terjadi

dalam kitab Kejadian 1 atas dua bagian, diantaranya :

a. Hubungan yang satu dengan yang lain (relasional).

36
E. P. Ginting, Gembala dan Penggembalaan, Abdi Karya, Kabanjahe, 2002, hal 72
130

Allah berkata tidak baik kalau manusia itu seorang diri. Allah menjadikan

manusia seorang perempuan seorang perempuan (Hawa) dari tulang rusuk Adam

(laki-laki) agar menjadi teman hidup (partner) bagi Adam.

b. Berkembang biak (prokreasional)

Allah memberikan mandat kepada manusia untuk mempunyai keturunan dan

berkembang biak untuk memenuhi bumi.

Berkaitan dengan pandangan E. P. Ginting diatas, B. P. Siregar37 dalam

disertasinya, yang menurutnya bahwa pernikahan bukan sebagai tujuan akhir

kehidupan, tetapi ia tekankan bawha pernikahan merupakan sarana untuk mencapai

tujuan agung, yakni :

1. Prokreasi, Melahirkan anak-anak atau berketurunan (Kej 1:28)

2. Kresi, berkarya mengemban tugas panggilan suami-isteri untuk melaksanakan

missi Allah ditempat masing-masing,diantaranya

i) Menaklukkan, mengerjakan dan memeliharakan bumi dan ciptaan Tuhan

lainnya

ii) Membebaskan segala ciptaan Allah yang terbelnggu oleh karena dosa (Kej.

3:18; 4:10-12; Rom. 8:20-22).

3. Rekreasi, saling membahagiakan dengan saling membagi rasa nikmat dan

suka cita, ketentraman dan kedamaian baik dalam suka maupun duka

(Kej. 2:24 c; Kidung Agung 1-8)

37
B. P. Siregar, Masalah Perkawinan Dalam Suku Batak Toba, Disertasi, SEAGEST, Pematang
SIantar, 1989, hal 212.
131

Searah dengan pandangan diatas, Kaleb Manurung, 38 dalam thesisinya

menekankan bahwa tujuan pernikahan, ia sebutkan adalah untuk berkembang biak

(prokreation), pemenuhan seksual atau keakraban (Sex Fulfilment or Intimacy),

persahabatan (copationship) serta kemuliaan Allah (Glirify God).

Maka melalui pandangan para ahli diatas, sementara dapat kita simpulkan

bahwa tujuan pernikahan itu tidak selalu supaya mendapat keturunan, berkarya,

rekreasi, tetapi lebih dari itu adlah supaya Allah dimuliakan. Jadi bukan hanya orang

atau keluarga yang mendapat keturunan saja diberkati oleh Allah melainkan keluarga

yang tidak mendapat anak melalui pernikahannya juga tetap diberkati Allah.

6. Unsur-unsur Keluarga Kristen

a. Suami

Suami adalah seorang laki-laki yang telah memperisteri seorang perempuan

dalam membentuk rumah tangga. Seorang suami adalah seorang yang memimpi rumah

tangga. Sheingga menurut Darien B. Cooper39 bahwa seorang suami dia sebut sebagai

kepala rumah tangga (kepala rumah tangga). Hal ini dapat kita perhatikan dalam

pernyatan Tuhan Allah ketika Ia mengukum manusia yang jatuh kedalam dosa itu,

demikian :

“Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak,


dengan kesakitan engklau melahirkan anakmu, namun engkau akan
birahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”, (Kej. 3:16)

Prinsip yang sama dengan maksud nats diatas, dapat juga kita perhatikan dalam Ep.

5:22-23, yang mengatakan :

“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,

38
Kaleb Manurung, In Analogi Of the Batak Familiy Strukture According To Adat And Its
Implication To Christian Ethichs. Thesis, Siliman University, 1996, hal 82-93
39
Darien B. Cooper, Menjadi Isteri Bahagia, Yayasan ANdi, Yogyakarta, 1994, hal 94
132

karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah


kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh”.

Melalui kedua nats tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa laki-laki (suami)

mempunyai kedudukan yang istimewa dalam kehidupan sebuah rumah tangga itu, yaitu

sebagai “kepala” atau “pemimpin”. Jay E. Adams,40 mengemukkan bahwa suami

sebagai pemimpin, menurutnya harus dapat mengaur perjalanan kehidupan rumah

tangga untuk menciptakan kebahagian rumah tangga dan mengurus supaya semua

anggota rumah tangga terpelihara dengan baik. Bukan hanya disitu saja,

D. Scheunemann,41 mengatakan bawha kesejahteraan jasmani, yaitu sandang, pangan,

tempat tinggal dan semua kbutuhan lainnya. Sebagai suami pimpinan ia juga

memberikan didikan kepada keluarganya. Mendidik rumah tangganya secara rohani

berdasarkan Alkitab. Untuk kepemimpinan itu dapat dilaksanakan didalam kebaktian

keluarga, Penelaahan Isi Alkitab, berdoa, pergi ke Gereja, kesaksian kepada masyarakat,

dan hubungan langsung antara anggota keluarga kepada Tuhan didalam melaksanakan

pekerjaan yang telah Tuhan perintahkan kepada mereka sebagai pribadi maupun secara

keluarga.

Seorang pemimpin harus dapat menunjukkan bawha ia adalah seorang

pemimpin yang bukan hanya namanya “pemimpin”. Ia bukan saja mempunyai kekuatan

lahiriah tetapi juga kekuatan batiniah. Jadi seorang suami harus bertanggung jawab atas

segala hal yang terjadi di rumah tangganya, termasuk isterinya, karena suami bukan

hanya sebagai kepala buat anak-anak, tetapi juga kepala isterinya (Ep. 5:23). Ayat

ini menurut E. P. Gintings,42 beliau artikan bahwa seornag suami tidak boleh bertindak
40
Jay E. Adams, Opcit, hal 130
41
D. Scheunemann, Romantika Kehidupan Suami-isteri, Gandum Mas, Malang dan persekutuan
Injili Indonesia, 1987, hal 80-85
42
E. P. Gintings, Opcit, hal 51-52
133

sewenang-wenang terhadap isterinya sementara isteri harus tunduk dan berlutut kepada

suami. Melainkan suatu kepemimpinan suami yang berdasarkan kasih yang berusaha

melakukan yang baik kepada isteri. Kepemimpinan suami harus meneladani

kepemimpinan Kristus keapda Jemaat. Dimana Kristus megasihi jemaatNya. Demikian

suami harus memelihara isteri didalam kasih.

Paulus dengan mengutip Kej. :24 dan menekankannya dalam Ep. 5:31, yang

menekankan kedekatan suami dengan isterinya, bahwa suami harus menganggap isteri

sebagai diri sendiri. Dan apabila suami mengasihi isteri sama halnya dengan mengasihi

diri sendiri. Dan apabila membencinya sama juga halnya dengan membenci diri sendiri.

Jadi hal itu berarti bahwa apabila isterinya bahagia berarti suami juga merasa bahagia.

Seorang suami yang mencintai isterinya akan menerimakash kembali dari isterinya itu.

Itulah sebabnya rasul Petrus menasihatkan para suami dengan mengatakan :

“Demikianlah juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana


dengan siterimu sebagai kaum yang lebih lemah. Hormatilah
mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia yaitu kehidupan,
supaya doamu jangan terhalang”, (1 Petr. 3:7)

Billy Graham,43 memahami ayat ini sebagai perintah yang mendasar bagi

seorang laki-laki yang sudah mempunyai siteri. Menurut dia, kalau seorang suami yang

berstatus Kristen tetapi tidak mengasihi siterinya, itu berarti bahwa dia bukan lagi

seroang Kristen. Seorang suami menurutnya harus memperhatikan kebutuhan dari isteri

dan anak-anaknya, ia harus menunjukkan rasa kasih sayangnya kepada keluarganya.

Dengan demikian suami sebagai seorang pemimpin harus berusaha menjadi teladan dari

pola ksalehan dan kekudusan, belas kasihan, pengabdian dan kesetiaan kepada Allah.

43
Billy Graham, Keluarga Ynag Berpusatkan Kristus, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1972,
hal 35-37
134

Melalui ulasan diatas dapat kita ringakskan maksudnya, yaitu bahwa seorang

suami Kristen adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas segala

kebutuhan jasmani maupun rohani dari seisi eumahnya, anak-anak maupun isterinya

harus merasa terlindungan dan terpelihara. Suami sebagai pemimpin tidak boleh berlaku

semena-mena terutama kepada isterinya seperti Kristus mengasihi jemaatNya. 44 Karena

isteri adalah teman pewaris dari kasih karunia yang dari Allah. Suami sebagai pemimpin

ditengah-tengah rumah tangga itu harus menjadi tladan pola kesalehan, kekudusan dan

belas kasihan, pengabdian dan kesetiaan kepada Tuhan Allah.

b. Isteri

Isteri juga mempunyai peranan penting dalam membina dan menciptaka

keluarga bahagia yang dpat mencerminkan keluarga Kristen. Seorang isteri diberikan

Tuhan keapda seorang suami sebagai “penolong”. 45 Kata penolong yang diberikan

kepada isteri, menurut Darien B. Cooper,46 menekankan bawha isteri harus mampu

membantu suami dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai kepala rumah tangga

untuk memimpin rumah tangga tersebut. Isteri menurut Cooper harus mampu menutupi

kelemahan suami dalam kehidupannya. Ini dapat dilakukan bila seorang isteri mau

memahami karakter atau sifat suami untuk dapat menemukan bagaimana dia dapat

membantu atau menolong dan melayani kebutuhan-kebutuhan secara optimal. Disini ia

memerlukan kecakapan, inspirasi dan fantasi untuk melakukan tugasnya dengan baik

sebagai isteri dalam memina kehidupan rumah tangga. Isteri yang cakap dapat

menyampaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dengan cara bijaksana kepada suami.

44
Jay E. Adams, Opcit, hal 98
45
Gelar “Penolong” diberikan oleh Allah sendiri (lih Kej. :18), dalam bahasa Ibraninya kata
penolong disebut “ezer”
46
Darien B. Cooper, Opcit, hal 23
135

Ia dapat melihat situasi dan suasana yang cocok untuk menyampaikan perasaannya

maupun yang merupakan kritikan kepada suami. Dengan demikian cara dan cikap isteri

tidak menimbulkan kesan bahw suami diserang atau langsung dipersalahkan dan isteri

perlu bertitik tolak dari kebutuhannya dan usul-usulna sendiri dikemukakan tanpa

menunjukkan kekurangan atau kesalahan suaminya. Tindakan isteri ini dapat

menghidari pertengkaran yang lazim terjadi antara suami dan isteri akan dapat

dihindari dan rasa kasih sayng yang mesra tetap terjalin dengan baik. 47 Karena

pertengkaran yang sering terjadi antara suami dengan isteri adalah merupakan suatu

penyakit berat yang menghinggapi rumah tangga. Itulah sebabnya Alkitab

mengumpamakan pertengkaran seorang isteri dengan suami dkatakan : “Lebh baik

tinggal dipadang gurun” (Ams. 21:19), dari pada diam serumah dengan perempuan

yang suka bertengkar (Ams. 21:24).

Begitu tegasnya Alkitab48 menggambarkan seorang isteri yang sering

bertengkar pada suami yang merusak kehidupan keluarga, karena bila isteri yang

bertengkar dengan suami dia mengatakn kehilangan rasa hormat dan penghargaan

terhadap suaminya. Sebagai isteri dia harus senantiasa mnaruh hormat kepada suami,

karena suami adalah kepala sang istri.49

Istri juga disebut sebagai ibu rumah tangga. Sebagai ibu rumah tangga yang

baik ia senantiasa merawat rumah tangganya dengan baik dan penuh rasa kasih sayang.

Dia harus menciptakan suasana yang membuat semua anggota keluarga bahagia, 50 dan

merasa betah untuk tinggal dirumah. Suasana rumah yang penuh kesukaan, penuh

47
Isabel Emslie Notton, Petunjuk Kesehatan dalam Perkawinan, Penerbit Gayana Press,
Bandung, 1981, hal 67
48
Lih: 1 Kor. 11:3; Ep. 5:22 dan band 1 Pet. 3:1-7
49
Jay E. Adams, Opcit, hal 103
50
136

peduli satu keapda yang lain akan membuat suami suka kembali kerumah sehabis kerja.

Suasana rumah tangga ini dapat diciptakan oleh isteri sebagai ibu rumah tangga bila ia

sendiri sudah merasakannya terlebih dahulu dalam batinnya.Dan hal ini tergantung pada

persekutuan yang erat dengan Tuhan selain pada penghargaan oleh suami kepada isteri.

Alkitab,51 mengajarkan bawha mahkota seorang isteri adalah pekerjaan di

rumah, tetapi bukan sebagai hudak, melainkan sebagai penolong suami. Ia mencari bulu

doma dan jerami dan senang bekerja dengan tangannya. Ia bangun kalau masih malam

menyediakan makann untuk seisi rumahnya. Tangannya ditaruh pada jentera, jari-

jarinya memegang pemintal. Suaminya memuji dia, banyak wanita telah berbuat baik,

tetapi engkau melebihi mereka smeua. Kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut

akan Tuhan akan dipuji-puji.52

Sebagai isteri yang bertanggung jawab dirumah akan menambah rasa cinta

dan kasih sayang suami kepada isteri, sehingga hubungan mereka dapat bertambah

hangat dan mesra. Namun isteri dalam melaksanakan tanggungjawabnya bukanlah

berarti mengharapkan puji-pujian dari suami, tetapi bila si isteri melakukan semua

tanggungjawabnya itu juga merupakan pelayanannya demi kemuliaan Tuhan Yesus,

yang sekaligus puji-pujian itu datang dari suami secara otomatis.

Isteri mempunyai andil yang sangat penting dalam membina rumah tangga

bahagia. Selain ia harus mengerti dirinya, ia juga sebagai penolong suami, sebagai ibu

dari anak-anak dan ia harus dapat mempunyai pengertian dan pemahaman kepada

suami, baik sifat maupun kepribadian. Untuk menekankan peran isteri ini ditengah-

tengah rumah tangganya E.P. Gintings53 mengatakan bahwa isteri :


51
Lih : Ungkapan Raja Salomo bin Daud dalam Ams. 31:10-31
52
Isabel Emslie Notton, Opcit, hal 67
53
E.P. Gintings, Opcit, hal 56
137

i) Jadi teman dan penolong terhadap suami

ii) Jadi ibu terhadap anak-anaknya

iii) Sesuai degan Ep. 5:22, ia harus patuh kepada suami seperti suami

patuh keapda Kristus

Diatas telah ditekankan oleh penulis ada tiga bagian peranan isteri dalam

menolong suami ditengah-tengah rumah tangga. Namun perlu ditambahkan satu lagi

peranan isteri yang tidak kalah pentingnya, yaitu bahwa siisteri harus tetap

mencurahkan hati dan pikirannya supaya ia jadi jangan lupa sebagai pencita kepada

suami. Jangankan karena semua kegiatannya yang banyak itu ia menjadi lupa

mencurahkan hati dan pikirannya kepada suami.

c. Relasi suami-isteri

Untuk menajga kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis sangat

diperlukan adanya relasi yang baik antara suami dan isteri. Relasi yang baik dan

harmonis yang terjalin diantara suami dan isteri akan mempengaruhi kepada semua

sendi-sendi kehiduan rumah tangga itu. Relasi yang baik diantara suami dan isteri

dapat terjadi. Menurut T. Gilarso,54 hal itu dapat terjadi bila suami dan isteri dapat

saling memahami karakter dan sifat-sifat masing-masing. Ada waktu-waktu yang

diperlukan untuk berkomunikasi.

Melalui waktu yang tersedia oleh suami-isteri untuk berkomunikasi yang

baik dan positip. Hanya melalui komunikasi ini dimungkinkan mereka dapat saling

mengetahui karakter ataupun sifat-sifat masing-masing. Si suami dapat mengetahui sifat

dan karakter si isteri da demikian si isteri dapat mengetahui karater dan sifat-sifat dari

54
Band. T. Gilarso, Sj (ed). Membangun Keluarga Kristen, Pembinaan Persiapan Berkeluarga,
Kanisius, Yogyakarta, 1996, hal 4
138

si suami. Jadi waktu untuk berdiskusi sangat diperlukan untuk dapat saling mengenal

sifat dan karakter masing-masing.

Bentuk komunikasi ini adalah berlandaskan kasih. Suami sebagai kepala

rumah tangga harus mencerminkan kasih Kristus kepada jemat dan isteri

mencerminkan dirinya sebagai hormat kepada suami sebagai jemaat tehadap Kristus.

Hanya dengan demikian tercipta komunikasi yang baikd ans ehat yang dapat

membangun keharmonisan dan kebahagiaan.

Dengan komunikasi inio, Tonci R. Salawancy, 55 menguatkan bawha

komunikasi satu-satunya berguna bagi suami isteri, sehingga ia mengatakan bahwa

hanya melalui komunikasi yang baik keadaan yang kurang baik dapat teregah.

Didalam komunikasi ini bahwa suami dan isteri harus tetap mempedomani

apa yang digambarkan oleh Rasul Paulus dalam surat-suratnya, yang mana bahwa suami

adalah sebagai kepala harus tetap mengasihi isterinya dan isteri menjadi penolong

dalam arti harus tetap tunduk dan hormat, taat kepada suami.

Jadi dalam komunikasi yang sehat ini Cristy Lane dkk, 56 bahwa didalam

komunikasi itu harus dijauhkan sikap arogan seperti saling merendahkan, mencela, dan

menghina, mematahkan semangat. Maka dengan dmeikian menjadi dapat kita sipulkan

bahwa relasi yang baik yang terjadi didalam rumah tangga itu, akan sangat membantu

dalam menciptakan keluarga bahagia. Dengan masing-masing pasangat sering

meneguhkan, memuji dan menghargai, maka satu sama lain akan saling menumbuhkan

harga diri yang sehat dan wajar.

d. Anak dalam Kehidupan Keluarga Kristen

55
Band Tonci R. Sulawancy, Apakah Keluarga Anda Bahagia, Lembaga Literatur Baptis, 1998, hal 48
56
Cristy Lane dkk, How To Save Your Troubeld Marriages, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal 47
139

Krisis perceraian yang terjadi diantara Bortha dan Tiur adalah disebabkan

ketidak adaan keturunan. Dan ketidak adaan keturunan inilah yang menjadi alasan ibu

Bortha untuk mendorong anaknya supaya kawin untuk kedua kalinya setelah

menceraikan Tiur menantunya. Keadaan ini dapat kita simak dalam kasih yang

mengatakan :

“Melihat keadaan isterimu, ibu tidak yakin lagi dia dapat melahirkan
anak. Karena itu, saya minta supaya kau kawin lagi dengan “pariban”
mu si “Bunga”, (25-27)

“Kepada Adam dan Hawa, Allah memerintahkan supaya beranak cucu.


Itu bukan dosa apabila kalian bercerai atau berpoligami”, (151-153)

“Sebaba yang dimintaka mereka itu masih taraf manusiawi”, (80-81)

“Sekiranya ada anak saya, saya kira persoalan ini tidak terjadi”, (148-149)

Melalui ungkapan yang dikutip dari deskripsi kasus bahwa krisis perceraian

yang terjadi diantara Tiur dengan Bortha adalah disebabkan oleh karena kmandulan.

Oleh karena itu pada bagian ini perlu kita hahas mengenai ank sebagai buah kasih dari

sebuah pernikahan.

Volkhard dkk,57 mengatakan bahwa anak merupakan buah cinta kasih dari

suatu pernikahan dalam kelurga. Karena itu menurutnya bahwa anak diyakini

merupakan pemberian Tuhan kepada suami-isteri. Karena itu, kepada mereka yang telah

dikaruniakan anak, kepada mereka diserahi tugas untuk memelihara, merawat, mendidik

hingga si anak menjadi dewasa secara jasmani maupun rohani. Hal ini dapat kita

perhatikan ketika orang tau si anak membawa anaknya untuk menerima babtisan kudus.

57
Volkhard dkk, Hidup Sebelum dan Sesudah Nikah, Yayasan Persekutuan Injili Indonesia, Batu,
1994, hal 81
140

Sebagai orang tua, mereka wajib memberikan pertanggungjawaban tugasnya untuk

mendidik, memeliharanya sebagai anak-anak Tuhan.58

Pemeliharaan dan pendidikan yang ditujukan oleh orang tua kepada anak-

anak mereka harus didasari oleh kasih. Pendidikan dan pemeliharaan anak dari orang

tua yang didasari oleh kasih yang mendalam didukung oleh Tim Lahaye, 59 yang

mengatakan, sebab Allah menginginkan keluarga itu menjadi sorga kasih sayang di

dunia ini, dimana ayah-ibu dan ank-anak supaya hidup tenteram dan merasa diterima

sebagaimana adanya, dimana si anak menjadi merasa didekap oleh kasih sayang yang

penuh dan mendalam.

Terutama Alkitab mnekankan bahwa anak adlah merupakan pemberian

Tuhan kepada suami-isteri. Karena itu ditegaskan bahwa kasih sebagai dasar untuk

mengajar dan mendidik anak itu ialah kasih yang panjang sabar dan penyayang, kasih

itu tiada dengki, kasih itu tiada memegahkan dirinya, tidak sombong, tiada melakukan

yang tidak senonoh ..., (1 Kor. 13:1-13). Sedangkan dalam Ep. 6:4, yang ditujukan

kepada orang tua, yaitu supaya jangan membangkitkan amarah si anak. Tetapi dididik

dan supaya diajari menurut nasehat yang dari Tuhan. Karena dengan dan melalui

pengajaran yang dari Tuhan kepada anak, si anak akan lebih menghargai orang tua dan

menerima pengajaran mereka.60 Hal ini juga dimaksudkan ketika orang tua mendidik

atau menasehati anak harus memperhatikan emosional anak, tidak memaksanakn

kehendak kepada anak. Tidak terlampau keras sehingga jangan sampai menimbulkan

amarah dalam hati si anak. Supaya hatinya jangan sampai tawar (Kol. 3:21; Ep. 6:1-4).

58
Kolportase, Agenda HKI, Pematang Siantar, 1990, hal 66
59
TIM LaHAYE, Opcit, hal 3
60
J. L. CH. Abineno, Tafsiran Alkitab Surat Epesus, BPK, Jakarta, 1982, hal 202

Anda mungkin juga menyukai