Anda di halaman 1dari 53

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Putusnya perkawinan meskipun diperbolehkan dalam agama Islam, tetapi
perbuatan itu sangat dibenci oleh Allah Swt. Inilah yang sering disebut-sebut pada
tiap topik pembicaraan perceraian sebagaimana Rasulullah SAW telah Bersabda:

‫لل‬‫ض ابلعح ع‬
‫ اعبعغ ع‬: ‫صنليَّ الع ععلعبينه عوعسلنعم عقاَعل‬
‫ععنن ابنن عععمعر اعنن عرعسبو عل ال ع‬
(‫ُ )روه ابو داود ابن ماَ جه والحاَ كم و صححه‬.‫ناعلىَ الن ععنز عوعجنل اعنلطَّلعق‬1
Artinya :
“Dari Ibn Umar bahwa Rasulullah SAW Bersabda : Perbuatan halal
yang sangat dibenci oleh Allah Azza Wajalla ialah thalak.” (H.R.
Abu Daud, Ibn Majah dan Hakim dan disyahkan olehnya).

Hadist ini sering dijadikan rujukan agar isteri atau suami berfikir lebih
jernih dalam menghadapi permasalahan hidup dan mau mencoba untuk
mempertahankan rumah tangganya.
Dalam menjalani kehidupan berumah tangga, tentu ada masalah-masalah
yang baru dijumpai, mulai dari kebiasaan-kebiasaan pasangan yang sebelumnya
tidak pernah diduga, setelah memasuki rumah tangga dengan sendirinya terbuka
juga.
Menikah bukan hanya menghimpun dua pribadi yang berbeda, akan tetapi
lebih dari itu, dan terkait dengan pihak keluarga masing-masing. Sehingga tidak
aneh jika terjadi percekcokan kecil hingga terjadi keributan-keributan yang
mewarnai mitos rumah tangga.

1
Imam Muhammad bin Ismail Al-kahlani, Subulussalam, (Bandung : Dahlan, 1985), Juz 3, h.
168
2

Seiring dengan munculnya perselisihan dan kekisruhan (kekacauan) 2,


aroma perpisahan mulai menerpa jiwa pasangan suami isteri. hal ini dapat
mempengaruhi pola hubungan keduanya. Selain latar belakang (notabene) yang
berbeda, sifat manusia tidak tetap (selalu berubah-rubah/dinamis) dan akan
berpengaruh pada pembinaan ketentraman kehidupan berkeluarga.
Persoalan rumah tangga yang muncul dapat dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu faktor internal (diri sendiri) dan faktor ekternal seperti pengaruh yang
datang dari orang lain.
Saat masalah yang ada sudah tidak dapat dijumpai penyelesaiannya dan
upaya perdamaian pun tidak juga menyatukan hubungan keduanya, maka ajaran
Islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian.
Putusnya ikatan perkawinan (cerai) dapat terjadi atas keinginan suami atau
kehendak isteri. Undang-undang perkawinan mengklasifikasikan antara
perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas keinginan isteri. Sehingga
proses perceraiannya pun berbeda. Perceraian yang dilakukan atas keinginan
suami disebut cerai thalak dan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai
gugat.3
Mendengar “Suami tidak memberikan nafkah,” pastinya terlintas dalam
pikiran kita bahwa suami telah melanggar kewajibannya terhadap apa yang telah
diikrarkan dalam kutipan surat akta nikah berupa janji thalak (taklik thalak) 4,
padahal sudah jelas kewajiban seorang suami adalah memenuhi kebutuhan nafkah
terhadap isterinya, sesuai dengan ukuran (porsi) kemampuannya, dan dengan cara
yang ma’ruf. Sebagaimana Allah dalam Firman-Nya :

... ( ۲:۲۳۳\‫ُ )البقرة‬.ُ.ُ.‫عوعععلىَ ابلعمبو لعبو ند نربزعقعهنن عونكبسعو عتعهنن باَبالعمبععرنف‬


2
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1985),
cet. Ke VIII, h. 512
3
Mukti Arto., Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2004), cet. ke-1, h. 224-225
4
Taqlik Talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah
berupa janji talak yang digantungkan kepada keadaan tertentu yang mungkin akan terjadi dimasa
yang akan datang.
3

Artinya :
“ … Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu
dengan cara yang ma’ruf …”(Q.S. Al-Baqarah/2 : 233)
Apabila masalah yang ada sudah tidak dapat lagi diselesaikan selain
dengan perceraian dan sampai terjadi keadaan demikian (tidak memberikan
nafkah), yang dilatar belakangi oleh banyak fakor-faktor yang mempengaruhinya.
Salah satu diantaranya adalah semakin resah gelisahnya para lapisan masyarakat
khususnya kalangan kelas menengah ke bawah terhadap imbas dari kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak yang berlangsung pada bulan Oktober tahun 2005
yang telah silam, dimana pemerintah memberikan kebijakan melalui Bantuan
Langsung Tunai, dengan alasan untuk mengurangi angka kemiskinan guna
mensejahterakan rakyat, itu pun belum tentu dari Bantuan Langsung Tunai
menjanjikan bahwa nasib rakyat akan sejahtera. Dengan demikian imbas kenaikan
harga, penulis pun merasa betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh kepala
keluarga (suami). Selain itu juga faktor lain dimana suami tidak memberikan
nafkah adalah terjadinya pertengkaran, perselisihan yang terus-menerus dan
perbedaan kehendak (tabrakan ideologi) yang mengakibatkan tidak ada harapan
lagi untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.
Disinilah permasalahan kian bertumpuk, sementara apabila melihat pendapatan
sang suami sangat minim sekali, bahkan kebutuhan dan tuntutan keluarga pun
sudah tidak dapat dipungkiri lagi. 5
Permasalahannya adalah bagaimanakah apabila si suami tidak mampu
dalam menghadapi problematika rumah tangga tersebut (suami tidak lagi mampu
memenuhi kebutuhan nafkah sehari-hari terhadap isteri dan anak-anaknya, dan
pertengkaran pun tidak dapat diselesaikan dengan baik). Kemudian apakah dia
harus bercerai karena melihat kenyataan nasib suami seperti ini dan sangat sudah
tidak memungkinkan lagi untuk melangsungkan penghidupan keluarganya, atau
tetap masih mempertahankan perkawinannya sementara perselisihan dan
5
Ali Husain Muhammad Makki al-Amili., Perceraian Salah Siapa ? Bimbingan Islam dalam
mengatasi Problematika Rumah Tangga, (Jakarta : Lentera, 2001), cet. Ke-1, h.42
4

pertengkaran antara suami isteri terus berkepanjangan? inilah yang menjadi


sorotan penulis untuk dikaji pada bab berikutnya.
Oleh karena itu ketidaksanggupan seorang suami dalam memberikan
nafkah terhadap isterinya, dapat terjadi karena banyak faktor-faktor, baik itu
faktor internal maupun faktor ekternal. Sehingga atas peristiwa tersebut dapat
dijadikan sebuah alasan untuk memutuskan tali perkawinan. Disinilah hukum
perkawinan di Indonesia memberikan perlindungan bagi isteri.
Perlindungan tersebut terdapat dalam peraturan pemerintah nomor 9 tahun
1975 pasal 19 huruf (f) Jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. “ Bahwa
salah satu alasan perceraian adalah pertengkaran, perseselisihan yang terus
menerus dan tidak ada harapan lagi untuk membangun rumah tangga. 6
Berdasarkan uraian singkat latar belakang masalah di atas, penulis sangat
tertarik untuk mengetahui secara praktik tentang penyelesaian cerai gugat karena
suami tidak memberikan nafkah yang ditangani Pengadilan Agama. Pembahasan
ini penulis jadikan sebuah karya Ilmiah dengan judul
“ Penyelesaian Perceraian Karena Suami Tidak Memberikan Nafkah (Studi
Kasus di Pengadilan Agama Kota Sukabumi).”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
yang menjadi pokok permasalahan dalam karya ilmiah ini adalah lebih
ditekankan pada prosedur penyelesaian terhadap kasus perceraian karena
suami tidak memberikan nafkah, yang ditangani oleh Pengadilan Agama
Sukabumi. Sehingga dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :

6
DEPAG RI,Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), h. 171
5

1. Benarkah ketika suami tidak memberikan nafkah terhadap


isterinya menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian ?
2. Bagaimanakah prosedur penyelesaian perceraian karena suami
tidak memberikan nafkah di Pengadilan Agama Kota Sukabumi ?

C. Metode Penelitian dan Tujuannya


1. Metode Penelitian
Metode yang penulis tempuh dalam menyelesaikn skripsi ini, adalah :
1.1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan
metode ini yaitu pengkajian dari buku-buku yang mengacu dan
berhubungan dengan pembahasan karya ilmiah ini yang dianalisa
data-datanya, dengan cara ini penulis mengunjungi beberapa
kepustakaan yang dapat dijangkau penulis di wilayah Kota
Sukabumi.
1.2. Penelitian Lapangan (Field Research)
a. Observasi dengan mengadakan pendekatan terhadap kasus
yang berhubungan dengan judul skripsi ini di Pengadilan
Agama Kota Sukabumi. Adapun teknik pengumpulan
datanya adalah melalui telaah terhadap dokumentasi yang
terdapat di Pengadilan Agama Kota Sukabumi.
b. Wawancara atau Interview digunakan untuk memperoleh
data dan informasi kepada pihak yang terkait.
c. Analisa dengan menganalisa data yang diperoleh
selanjutnya dilakukan penggambaran terhadap permasalahan
penelitian.
6

Teknik penulisan karya ilmiah ini sesuai dengan buku Pedoman


Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Press,
dengan pengecualian : Penulisan terjemah Al-Qur’an dan Hadist ditulis satu
spasi, dan daftar pustaka Al-Qur’an ditulis di awal.

2. Tujuannya
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Memperoleh gambaran data dan informasi yang berkaitan dengan
judul skripsi ini.
2. Mengetahui prosedur perceraian di Pengadilan Agama Kota Sukabumi
3. Mengetahui secara praktek tentang penyelesaian perceraian karena
suami tidak memberikan nafkah di Pengadilan Agama Kota Sukabumi.

D. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang meliputi sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN ; Membahas tentang masalah yang melatar belakangi
skripsi ini yang meliputi ; Latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, metode penelitian dan tujuannya serta
sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN ; Menjelaskan
tentang ; pengertian perceraian dan dasar hukumnya, faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya perceraian, macam-macam perceraian
dan akibatnya.
BAB III SEKILAS TENTANG KEADAAN UMUM DI PENGADILAN
AGAMA KOTA SUKABUMI ; Merupakan sekilas tentang
Pengadilan Agama Kota Sukabumi sebagai objek penelitian yang
7

terdiri dari tiga bagian ; sejarah singkat tentang berdirinya Pengadilan


Agama Kota Sukabumi dan dasar hukum pembentukannya, Sarana
dan Prasarana kantor Pengadilan Agama Kota Sukabumi, wilayah
hukum Pengadilan Agama Kota Sukabumi, dan struktur organisasi
Pengadilan Agama Kota Sukabumi.
BAB IV PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA SUAMI TIDAK
MEMBERIKAN NAFKAH (STUDI KASUS DI PENGADILAN
AGAMA KOTA SUKABUMI) ; Menyajikan mengenai proses
penerimaan perkara, proses pemeriksaan perkara dalam persidangan,
dan Analisis Penulis Terhadap Putusan Nomor : 269/Pdt.G/2005/PA.
Smi. Tentang Penyelesaian Perceraian Karena Suami Tidak
Memberikan Nafkah.
BAB V PENUTUP ; yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran, penulis
juga melampirkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang
dianggap penting.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
8

BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN

A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya


1. Pengertian Perceraian
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga terkadang sering terjadi
percekcokan atau terjadi keributan-keributan kecil antara suami isteri.
Percekcokan tersebut terkadang sulit untuk didamaikan yang menyebabkan
pihak isteri ataupun suami menuntut untuk cerai. Ajaran Islam dalam hal ini
merupakan agama yang memberikan solusi atas setiap permasalahan-
permasalahan yang menerpanya. Sehingga problematika-problematika yang
menimpa keluarga seseorang dapat terselesaikan. Akan tetapi apabila
kenyataan berkata lain, maka apa boleh buat, misalnya terjadinya disharmonis
(percekcokan) antara suami dan isteri, ketika percekcokan dalam rumah
tangga tengah terjadi. Sementara pihak suami isteri ngotot ingin bercerai, dan
perdamaian diantara keduanya pun tidak juga terselesaikan. Maka dalam hal
ini cara penyelesaiannya harus diatasi oleh hakam terlebih dari pihak isteri
mendatangkan wakil, sebaliknya dari pihak suami pun harus mengutus
seorang hakam sebagai penengah untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Kemudian apabila upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakam tersebut
berhasil menyatukan kembali hubungan suami isteri, maka suami dan isteri
tersebut tetap harus melanjutkan hubungan perkawinannya. Akan tetapi
jikalau dengan upaya perdamaian yang telah dilakukan oleh hakam, tidak
menemukan titik temu, dan salah satu pihak suami ataupun isteri kekeh ingin
berpisah dan berambisi untuk bercerai. Maka perceraian merupakan langkah
yang paling tepat sebagai solusi agar tidak terjadi pertengkaran terus menerus,
9

karena walau bagaimanapun rasa cinta dan kasih sayang tidak lagi ada dalam
rumah tangga tersebut.1
Pada masa yang silam talak merupakan hak prerogatif (hak luar biasa
tentang hukum) bagi suami.2 Sehingga suami dapat menggunakan kapan saja
dan dimana saja, karena di zaman dahulu banyak disalahgunakan wewenang
talak. Sementara saat ini dengan dibentuknya hukum keluarga kontemporer
terdapat aturan-aturan pemakaiannya. Dengan kata lain hak talak itu tetap
berada di tangan suami, tetapi penggunaannya harus dilakukan di depan
pengadilan agama.3 Disisi lain isteri pun mempunyai hak untuk menginginkan
perceraian dari suaminya dengan membayar ‘iwad (tembusan) dengan cara
mengembalikan mahar yang pernah diberikan suami kepada isterinya, istilah
ini dikenal dalam fiqih yang disebut Khulu’.4
Adapun lebih jelasnya tentang pengertian talak menurut bahasa yaitu
diambil dari kata “itlaq” artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan
menurut istilah syara’ yaitu melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya
hubungan perkawinan.5 dalam pengertian hukum perkawinan bahwa talak
adalah ikrar suami dalam sidang pengadilan agama, yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan, ikrar ini harus diucapkan setelah sidang dibuka
berdasarkan penetapan pengadilan agama setelah terlebih dahulu mendengar
keterangan saksi-saksi, keluarga dan orang-orang yang dekat dengan kedua
belah pihak.
Dalam definisi lain, Al-Jaziri mendefinisikan bahwa talak menurut
istilah adalah :

1
Achmad Kuzari., Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,1995), cet.
Ke-1, h.148
2
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,1985),
cet. Ke-VIII, h. 768
3
Bahder Johan Nasution, et al., Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan Agama Tentang
Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, dan Shadaqah, (Surabaya : Mandar Maju, 1997), cet. Ke-1,
h. 30
4
Ibid., h. 33
5
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Al-Ma’arif, 1994), Jilid 8, cet. Ke-9, h.9
10

‫إ زا لةالنكاح أونقصان حله بلفظ ﻣﺧصوص‬2


Artinya :”Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata
tertentu.”

Sedangkan menurut Abu Zakaria Al-Anshori mendefinisikan bahwa talak


menurut syara’ ialah sebagai berikut :

‫حل عقد النكاح بلفظ الطل ق ونحو ه‬3


Artinya :“Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang
semacamnya.”

2. Dasar Hukumnya
Aturan main perceraian (talak) dalam Islam telah diatur melalui
koridor-koridor Al-Qur’an dan As-Sunah. Dengan adanya aturan-aturan
perceraian dalam kedua sumber tadi (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dapat
dijadikan landasan bahwa agama Islam membolehkan perceraian, adapun
lebih jelasnya dalil yang menjelaskan tentang talak adalah sebagai berikut :
a. Allah SWT berfirman dalam surat At-Talaq ayat 1 menyebutkan :

‫يايها النبي اذا طلقتم النساء فطلقتمو هن لعدتهن واحصو العدة وا تقو‬
( ۱: ۶۵\‫ )الطلق‬... ‫ا ربكم‬
Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu
iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu”… (Q.S.
At-Talaq/65:1)
b. Surat Al-Baqarah ayat 229 dalam pernyatan-Nya menyebutkan :

(۲:۲۲۹\‫ )البقرة‬...‫الطلق ﻣرتان فاء ﻣساك بمعروف او تسريح باء حسا ن‬


2
Abdur Rahman Al-Jaziri., Kitabul Fiqh ‘Alal Mazahibul Al-Arba’ah,(Beirut : Dar Al-
Irsyalittaba’ati Wannasari), Zuj, IV h. 249
3
Abd. Rahman Ghazaly., Fiqh Munakahat, (Bogor : Kencana, 2003), cet. Ke-1h. 191
11

Artinya :”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik “… (Q.S. Al-Baqarah/2 : 229)
c. Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, Berbunyi :

: ‫ قال رسول ا صلى ا عليه وسلم‬: ‫عن بن عمر رضى ا عنهما قال‬
‫ابغض الحل ل الى ا الطل ق )رواه ابو داود ابن ﻣا جه وصحه الحاكم‬
(‫ورجح ابو حاتم ارساله‬.4
Artinya : “Dari Ibnu Umar r.a. berkata : Rasulullah SAW, bersabda :
Diantara barang-barang yang halal yang dibenci oleh Allah
adalah talak.”
(Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan disahkan
oleh Hakim dan Abu Hatim menguatkan kemursalannya).

B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Perceraian


Undang-undang perkawinan di Indonesia Menyuarakan dengan tegas yang
termaktub dalam Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975, pasal 19 bahwa
alasan-alasan dasar untuk melakukan perceraian, adalah sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, penjudi dan lain-
lain.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

4
Muh Sjarief Sukandy, Tarjamah Bulugul Maram Fiqh Berdasarkan Hadist, (Bandung : Al-
Ma’arif,1976), cet. Ke-2, h.393
12

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan


pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116 disebutkan
mengenai alasan-alasan perceraian, dimana di dalam alasan yang
terdapat pada Kompilasi Hukum Islam mengikuti juga sebagaimana
yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
pasal 19 dari huruf (a) sampai (f). Akan tetapi Kompilasi Hukum
Islam pasal 116 menambahkan point (g) sampai (h) yaitu mengenai
alasan perceraian yang meliputi juga :
(g) Suami melanggar taklik-talak
(h) Terjadinya peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan antara suami
dan isteri di dalam rumah tangga.
Dari maksud taklik talak di atas yaitu perjanjian
yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah
berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu
keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan
datang.5
Hal-hal yang dapat menimbulkan taklik talak yang
telah dirumuskan pada umumnya, yaitu tersurat dalam buku
kutipan akta nikah yang berbunyi :
1. suami meninggalkan isteri selama dua tahun
berturut-turut
2. suami tidak memberikan nafkah wajib kepada
isterinya selama tiga bulan lamanya.
3. suami menyakiti badan jasmani isterinya.
5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : DEPAG RI, 2004), h. 127
13

4. suami tidak lagi memperdulikan isterinya selama


enam bulan lamanya.
Apabila sekali pelanggaran taklik talak terjadi
atau janji yang tidak dipenuhi suami dan bisa
dibuktikan, maka jatuhlah talak satu, yang sekaligus
menjadi talak ba’in sughra setelah isteri membayar
‘iwad, kemudian pembayaran ‘iwad tersebut diterima
pengadilan agama atas nama suami untuk keperluan
ibadah sosial. 6
Persoalan keluar dari agama Islam (riddah), dalam
hal seputar perceraian, itu merupakan alasan-alasan
putusnya perkawinan,7 bahkan masalah murtad ini akan
menjadi wajib untuk bercerai antara suami dan isteri.
Hal ini sangat jelas walaupun dan Undang-Undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38 tidak
dibunyikan, tetapi murtad dianggap sebagai sebagai
salah satu pemicu konflik. Dan jumhur ulama
mengatakan bahwa perkawinan lintas agama (Islam
dengan non Islam) adalah tidak sah. Sebagaimana
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.

C. Macam-Macam Perceraian dan Akibatnya


1. Macam-macam Perceraian
a. Talak ditinjau dari cara dan waktu menjatuhkannya terbagi
menjadi tiga yaitu :
1) Talak Sunni
6
Said Agil Husin Al-Munawar., Kutipan Akta Nikah ,(Jakarta : DEPAG, 2003)
7
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan ahlus-
Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1988), cet. Ke-1, h. 80-81
14

Talak sunni ialah talak yang berjalan sesuai dengan


ketentuan agama, dimana suami menjatuhkan talak kepada
isterinya sedang dalam keadaan dalam suci dan tidak
melakukan jima’.8
2) Talak Bid’I
Talak bid’I adalah talak yang tidak sesuai dan
menyalahi ketentuan agama, dimana suami menjatuhkan
talaknya kepada isteri sedang dalam keadaan haid atau dalam
keadaan suci dimana suami telah melakukan jima’ dengannya.
3) Talak La Sunni Wa La Bid’i
Talak la sunni wa la bid’I yaitu talak yang dijatuhkan
kepada isteri yang masih kecil, isteri yang sudah bersih dari
haid, isteri yang sedang hamil, isteri yang khulu’ dan suami
belum pernah menjima’nya. 9
b. Talak dilihat dari lafaz atau kata-kata yang digunakan, adalah
sebagai berikut :
1) Talak Sharih
Talak Sharih adalah talak yang dijatuhkan suami pada

isterinya dengan memakai kata ‫ سسسرا ح‬,‫ فسسراق‬,‫طلق‬


Misalnya suami mengucapkan kepada isterinya

‫طلقتسسك\زوجسستى‬ (saya talak engkau/saya talak isteriku),

‫فرقتك\فرقت زوجتى‬ (saya pisahkan engkau/saya pisahkan

isteriku), ‫سسسسسرحتك\سسسسسرحت زوجسسسستى‬ (saya lepaskan

engkau/saya lepaskan isteriku), dan misalnya ‫انت طسسالق‬


(engkau terpisah). Jika suami mengucapkan lafaz seperti itu
8
Imron Abu Amar, Terjemah Fathul Qarib, (Kudus : Menara Kudus, 1983), Jilid 2,h. 61
9
Ibid., h. 62
15

maka akan menyebabkan jatuhnya talak walaupun tanpa


niat.10
2) Talak Kinayah
Talak kinayah ialah talak yang dijatuhkan suami
dengan menggunakan kata-kata sindiran atau samar. Talak ini

sah apabila dibarengi dengan niat. Misalnya : ‫انت برية ﺧلية‬


‫الحق با هلك‬ (engkau adalah perempuan bebas yang kosong
(dari suami) dan bertemulah (kembalilah) kepada ahlimu).11
c. Talak ditinjau dari segi boleh atau tidaknya suami rujuk kembali
pada isterinya antara lain :
1) Talak Raj’I
Talak raj’I ialah talak yang dijatuhkan suami terhadap
isterinya yang sudah digauli (bersenggama), dan suami
masih boleh rujuk lagi.12
2) Talak Ba’in
Talak ba’in yaitu talak yang dijatuhkan suami yang
ketiga kalinya, dimana suami tidak boleh rujuk kembali
kecuali suami mengadakan akad nikah, rukun serta syarat
yang baru. Talak ba’in ini dibedakan menjadi dua, antara
lain :
a.1. Talak Ba’in Sughra ialah talak yang meniadakan
hak rujuk dari mantan suaminya tapi boleh akad
nikah baru dengan mantan suaminya meskipun
dalam iddah.13

10
Aliy As’ad, Tarjamah Fathul Mu’in, ( Yogyakarta : Menara Kudus, 1979), Jilid 3, h. 140
11
Imron Abu Amar., op. cit., h. 60
12
Abdul Qadir Djaelani, Keluaga Sakinah, (Surabaya : Bina Ilmu, 1995), cet. Ke-1, h.331
13
Lihat, Kompilasi Hukum Islam, Pasal 119
16

a.2. Talak Ba’in Kubra adalah sama saja hukumnya


dengan talak ba’in sughra, yaitu memutuskan tali
perkawinan tetapi talak ba’in kubra tidak
menghalalkan mentan suami merujuk isterinya
lagi, kecuali isterinya tersebut harus kawin
dengan laki-laki lain (muhallil).14
d. Talak dilihat dari segi cara menyampaikannya adalah sebagai
berikut :
1) Talak dengan Surat
Talak dengan surat yaitu talak yang dijatuhkan suami
terhadap isterinya, melalui tulisan dan tulisan tersebut
dimasukan ke dalam amplop surat yang ditujukan kepada
isterinya, serta diniatkan, maka jatuhlah talaknya.15
2) Talak dengan Isyarat
Talak dengan isyarat yaitu talak yang disampaikan oleh
suami tuna wicara (tidak bisa ngomong), maksud isyarat
disini adalah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk
menyampaikan maksud isi hatinya (mengakhiri
perkawinannya) antara suami /isteri.16
2. Akibatnya
Menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
pasal 41 menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan diantaranya
adalah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak ; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
keputusannya.
14
Sayyid Sabiq., op. cit., h. 68
15
Peunoh Daly., op. cit., h. 273
16
Peunoh Daly., op. cit., h. 273
17

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan


pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas
isteri.17
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Kompilasi
Hukum Islam pada pasal 156 yaitu :
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh ;
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2. ayah
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping
dari ayah.
a. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
b. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan pengadilan agama dapat memindahkan hak hadhanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula

17
lihat, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 14
18

c. Semua biaya hadhanah nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah


menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21) tahun.
d. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf, (a),
(b), (c) dan (d).
e. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut padanya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan bahwa akibat hukum


talak, yang bilamana terjadi putusnya perkawinan karena talak maka
bekas suami wajib :
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik
berupa uang ataupun benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla
al-dukhul.
b. Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri
selama dalam masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi
talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separoh
apabila qabla ad-dukhul
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur (21) tahun. (Lihat KHI pasal 149)

BAB III
19

KEADAAN UMUM DI PENGADILAN AGAMA BOGOR

A. Sejarah Singkat Berdirinya Pengadilan Agama Bogor dan Dasar Hukum


Pembentukannya.
1. Sejarah Singkat Berdirinya Pengadilan Agama Bogor
Pengadilan Agama Bogor terletak di jalan Sambu II Nomor 02
Bogor yang berdekatan dengan gedung Departemen Agama Bogor, dan
berhadapan dengan keramaian arus mobil yang berlokasi di Terminal Bus
Baranang Siang Bogor. Secara astronomi Kota Bogor terletak antara :106º
43’ 30’’ - 106º 51’ 00’’ Bujur Timur 6º 30’ 30’’ - 6º 41’
00’’ Lintang Selatan. Kemudian secara Secara Geografis/administratif,
Kota Bogor berbatasan :
a. Sebelah barat dengan Kec.Kemang dan Dramaga
b. Sebelah utara dengan Kec.Sukaraja, Bojonggede dan Kemang
c. Sebelah timur dengan Kec.Sukaraja dan Ciawi
d. Sebelah Selatan dengan Kec.Cijeruk dan Caringin
Gedung Pengadilan Agama yang terletak di jalan Sambu II Nomor
02 Bogor, dibangun pada tahun 1979 di atas sebidang tanah seluas 150
M², dengan hak guna pakai dan luas bangunan 150 M². Adapun anggaran
dana yang digunakan adalah meluncur dari DIP Departemen Agama tahun
1979/1980 Nomor 20/XX/1979 yang dilaksanakan oleh PT/CV MURNI
JAYA dengan porsi biaya sebesar Rp. 90.243. 000.
Setelah berjalan dua tahun kemudian dilaksanakanlah perluasan,
sehingga yang tadinya luas tanah seluruhnya 550 M², kemudian kini
perluasan bangunan seluruhnya menjadi 250 M².
Kemudian Pengadilan Agama Bogor beralih dan pindah lokasi ke
jalan Dadali II nomor 2 Tanah Sareal Warung Jambu Bogor, tepatnya
pada tanggal 01 Januari 2006, dengan alasan bahwasanya tempat yang
20

berada di Baranang Siang tersebut kurang mendukung untuk


melangsungkan acara berperkara. Adapun latar belakang beralihnya route
(lokasi) Pengadilan Agama yang dahulu tepatnya berlokasi di Barang
Siang kemudian kini pindah ke Jalan Dadali II nomor 2 Tanah Sareal
Bogor, adalah sebagai berikut :
1. Masalah gedung kantor, dimana gedung kantor yang ada
sekarang, sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan
perkembangan, sulit untuk dikembangkan karena keadaan tanah
yang sempit dan terletak pada pinggiran sisi tanah yang curam
dengan luas tanah kurang lebih 250 m2.
2. Tidak tersedianya lapangan parkir kendaraan para pihak
berperkara.
3. Kurang terpeliharanya gedung disebabkan kurangnya anggaran
untuk pemeliharaan.
4. Gedung kantor sangat memprihatinkan, sementara para pihak
berperkara banyak orang terhormat, banyak dikunjungi
pengacara dan advokat.
5. Sarana alat kantor masih kurang ;
6. Alat transportasi penyampaian surat panggilan sidang, motor
roda dua belum punya.
Kemudian setelah letak Pengadilan Agama Bogor mengalami
peralihan ke Jalan Dadali II Nomor 2, yang saat ini terletak di dekat
Kantor Pos Tanah Sareal yang diapit oleh perumahan kelurahan Tanah
Sareal, yang selanjutnya terkait dengan lokasi tempat Pengadilan Agama
Yang baru ini, pihak Pengadilan tersebut belum seutuhnya untuk
menyusun tentang berapa luas lokasi bangunan seluruhnya, dan
berapakah luas halaman parkir, itu semua masih dalam proses penyusunan
yang dilakukan oleh pihak pegawai Pengadilan Agama tersebut.
2. Dasar Hukum Pembentukannya
21

Adapun dasar hukum pembentukan Pengadilan Agama Bogor


adalah sebagai berikut :
a. Pengadilan Agama Bogor dibentuk berdasarkan Staatsblaad
1882 nomor 53 dengan nama Raad Agama/Penghulu Landraad.
b. Kemudian terjadi perubahan nama dan wilayah hukum serta
lokasi pengadilan Agama berdasarkan KEPRES nomor 85
Tahun 1996 tanggal 1 Nopember 1996.

B. Sarana dan Prasarana Kantor Pengadilan Agama Bogor


Keberadaan gedung Pengadilan Agama Bogor kini sudah memiliki gedung
baru dan strategis untuk melangsungkan acara berperkara. Tentunya untuk
melangsungkan kegiatan-kegiatan tersebut agar kondisinya lebih efektif dan
efisien, maka harus didukunng oleh sarana dan prasarana yang memadai. Adapun
sarana dan prasarana yang ada di pengadilan agama Bogor adalah sebagai
berikut :
1. Ruang Ketua Pengadilan Agama Bogor
Ruang ini terdiri dari beberepa peralatan diantaranya adalah :
- 1 buah perangkat unit komputer
- 1 set sice (kursi tamu)
- 1 buah meja biro
- 1 stel baju sidang (toga)
- 1 buah gambar Presiden dan Wapres
- 1 buah lambang Garuda
- 1 buah kursi lipat
- 1 buah filling cabinet
- 1 buah lemari kayu
- 2 buah kursi lipat
- 1 buah AC plit
2. Ruang sidang utama Pengadilan Agama Bogor
22

- 2 unit meja sidang


- 4 buah kursi sidang
- 6 buah kursi kayu
- 1 buah palu sidang
- 2 buah bendera
- 1 unit amplifier
3. Ruang Panitera/Sekretaris Pengadilan Agama Bogor
- 1 buah meja biro
- 1 buah kursi putar
- 1 set sice (kursi tamu)
- 1 buah lemari kayu
- 1 unit komputer
- 1 buah mesin printer
- 1 buah kipas angin duduk
- 1 buah filling cabinet
- 1 buah dispenser 1 buah globe
- 1 buah kursi kayu
4. Ruang Wakil Ketua Pengadilan Agama Bogor
- 1 buah meja biro
- 1 buah kursi putar
- 1 set sice (kursi tamu)
- 1 buah lemari kayu
- 1 stel baju sidang
- 1 buah kipas angin
- 2 buah kursi lipat
- 1 buah filling cabinet
5. Ruang Sidang II Pengadilan Agama Bogor
- 1 unit meja sidang
- 4 buah kursi sidang
23

- 1 buah kursi kayu


- 1 buah palu sidang
- 6 buah kursi besi
- 1 unit amplifier
- 1 buah mikropon
6. Ruang Kesekretariatan Pengadilan Agama Bogor
- 3 unit komputer
- 1 buah lemari kayu
- 3 buah filling cabinet
- 2 buah meja biro
- 4 buah meja ½ biro 4 buah kursi putar
- 1 buah kursi besi
- 1 buah lemari besi
- 2 buah kursi lipat
- 1 buah kipas angin gantung
- 2 buah mesin tik
7. Ruang Kepaniteraan Perngadilan Agama Bogor
- 3 unit komputer
- 2 buah mesin print
- 8 buah filling kabinet
- 1 buah meja biro
- 10 buah meja ½ biro
- 10 buah kursi besi
- 1 buah dispenser
- 2 buah mesin tik
- 1 buah kipas angin duduk
- 1 buah kipas angin gantung
8. Ruang Kasir Pengadilan Agama Bogor
- 1 buah filling kabinet
24

- 2 buah meja biro


- 2 buah kursi besi putar
- 1 buah kipas angin duduk

C. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bogor


Wilayah hukum pengadilan agama bogor adalah meliputi kota madya, dengan
rincian sebagai berikut :
1. Kecamatan Bogor Selatan
Untuk kecamatan Bogor selatan meliputi beberapa kelurahan
diantaranya :
- Kel. Mulyaharja
- Kel. Pamoyanan
- Kel. Ranggamekar
- Kel. Genteng
- Kel. Kartamaya
- Kel. Rancamaya
- Kel. Bojongkerta
- Kel. Harjasari
- Kel. Muarasari
- Kel. Pakuan
- Kel. Cipaku
- Kel. Lawanggintung
- Kel. Batu tulis
- Kel. Bondongan
- Kel.Empang
- Kel. Cikaret
2. Kecamatan Bogor Timur
Untuk kecamatan Bogor Timur meliputi beberapa kelurahan
diantaranya :
25

- Kel. Sindangsari
- Kel. Sindangrasa
- Kel. Tajur
- Kel. Katulampa
- Kel. Baranangsiang
- Kel. Sukasari
3. Kecamatan Bogor Utara
Untuk kecamatan Bogor Utara meliputi beberapa kelurahan
diantaranya :
- Kel. Bantarjati
- Kel. Tegalgundil
- Kel. Tanah baru
- Kel. Cimahpar
- Kel. CiLuar
- Kel. CiBuluh
- Kel. KedungHalang
- Kel. CiParigi
4. Kecamatan Bogor Tengah
Untuk kecamatan Bogor Tengah meliputi beberapa kelurahan
diantaranya :
- Kel. Paledang
- Kel. Gudang
- Kel. Babakan pasar
- Kel. Tegal lega
- Kel. Babakan
- Kel. Sempur
- Kel. Pabaton
- Kel. CiBogor
- Kel. Panaragan
26

- Kel. Kebon kalapa


- Kel. Ciwaringin
5. Kecamatan Bogor Barat
Untuk kecamatan Bogor Barat meliputi beberapa kelurahan
diantaranya :
- Kel. Pasirmulya
- Kel. Pasirmuda
- Kel. Pasirjaya
- Kel. Gunungbatu
- Kel. Loji
- Kel. Menteng
- Kel. Cilendektimur
- Kel. Cilendek barat
- Kel. Sindang Barang
- Kel. Marga Jaya
- Kel. Balungbang Jaya
- Kel. Situ Gede
- Kel. Bubulak
- Kel. Semplak
- Kel. Curug Mekar
- Kel. Curug
6. Kecamatan Tanah Sareal
Untuk kecamatan Tanah Sareal meliputi beberapa kelurahan
diantaranya :
- Kel. Kedung Waringin
- Kel. Kedung Jaya
- Kel. Kebon Pedes
- Kel. Tanah Sareal
- Kel. Kedung Badak
27

- Kel. Suka Resmi


- Kel. Suka Damai
- Kel. Cibadak
- Kel. Kayu Manis
- Kel. Mekar Wangi
- Kel. Kencana

D. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bogor


Struktur organisasi Pengadilan Agama Bogor terdiri dari ; Ketua, Wakil
Ketua, Hakim, Pansek, Wapan, Wasek, Panmud Permohonan, Panmud Gugatan,
Panmud Hukum, Kaur Kepegawaian, Kaur Keuangan, Kaur Umum,Panitera
Pengganti. Adapun nama-nama yang bersangkutan adalah sebagai berikut :
Ketua : Komari, SH, M. Hum
Wakil Ketua : Drs. H. Fachruddin, SH
Hakim-hakim : Drs. Sirojuddin
Dra. Isti’anah
Dra. Budi Purwantini
Drs. H. Ujang Sholeh, SH
Drs. Ahmad Zawawi
Drs. Nurhafizal, SH
Dra. Ratna Jumila
Drs. Endang Sofwan
Drs. Wawan Iskandar
Drs. Abdul Salam
Drs. Abid
Drs. Budi Purwantini
Pansek : Ahmad Majid, SH
Wapan : Drs. M. Ali Tuankotta
Wasek : Asep Nurdin, SH
28

Panmud Permohonan : Maksum, SA.g


Panmud Gugatan : Hilman Hidayat, SH
Panmud Hukum :-
Kaur Kepegawaian :-
Kaur Keuangan : Endang Purwaningsih
Kaur Umum : Moh. Nasir
Panitera Pengganti : Sumarni
Ai Salamah, SH
Iyus Moh. Yusuf , SA.g
Drs. Dedi Marzuki
Zainuri Jali, SA.g

BAB IV
29

PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA SUAMI TIDAK


MEMBERIKAN NAFKAH
(STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA SUKABUMI)

A. Proses Penerimaan Perkara


Sebelum penulis menjelaskan tentang proses penerimaan perkara di
Pengadilan Agama, tentunya perkara tersebut secara garis besar dapat
diklasifikasikan menjadi (2) dua macam antara lain :
1. Perkara yang sifatnya Permohonan (Volunteir)
2. Perkara yang sifatnya Gugatan (Contentiosa)
Dari kedua perkara di atas, pada dasarnya dalam proses penerimaan
penerimaan di Pengadilan Agama adalah sama, hanya saja memang terdapat
perbedaan sedikit yaitu ketika si pemohon yang mengajukan perkara yang
sifatnya permohonan maka mereka harus menyerahkan surat permohonannya
kepada panitera muda permohonan, begitu pun sebaliknya jika si penggugat
yang mengajukan perkara yang sifatnya gugatan maka mereka harus
menyerahkan surat gugatannya kepada bagian panitera muda gugatan.18
Memasuki kawasan proses penerimaan perkara pada Pengadilan
Agama, pertama-tama si penggugat atau pemohon membawa surat gugatan
atau permohonan, ditujukan langsung ke Pengadilan Agama, kemudian
menghadap pada ruang kasir untuk membayar Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) dan dilanjutkan datang menghadap pada ruang kepaniteraan untuk
mendaftarkan perkaranya. Namun untuk lebih khususnya lagi tentang proses
penerimaan perkara adalah sebagai berikut :

1. Pengajuan perkara di kepaniteraan

18
Fachruddin., Wawancara Pribadi, Pengadilan Agama Bogor, 14 Agustus 2006
30

Untuk mengajukan suatu perkara, baik perkara permohonan


maupun perkara gugatan, si penggugat atau pemohon harus
membawa surat gugatan atau permohonan yang telah dibubuhi
berupa tanda tangan penggugat atau pemohon, dan langsung
dibawa pada bagian kepaniteraan. Masing-masing surat tersebut
diberikan pada sub gugatan jika bentuknya Contentiosa, dan sub
permohonan jika bentuk suratnya permohonan. Setelah itu
menghadap pada kasir untuk membayar panjar biaya perkara.
2. Pembayaran panjar biaya perkara
Pembayaran panjar biaya perkara dilakukan oleh pihak yang
akan berperkara dengan menaksir beban biaya harus mencukupi
untuk melangsungkan persidangan. Kemudian penggugat atau
pemohon membawa surat gugatan atau permohonannya yang
disertakan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang di tujukan
kepada bagian kasir untuk melunasi seluruh beban biaya perkara
tersebut, setelah itu kasir menerima biaya tersebut dan dicatat pada
buku register jurnal biaya perkara, selanjutnya kasir
menandatangani dan memberi nomor perkara dengan tanda lunas
pada SKUM tersebut, dan dilanjutkan untuk didaftarkan pada
bagian pendaftaran perkara.
3. Pendaftaran Perkara
Untuk mendaftarkan perkara hendaknya penggugat atau
pemohon harus mendatangi panmud gugatan, jika bentuk
contentiosa dan panmud permohonan, apabila bentuknya volunteir.
Setelah itu masing-masing panmud tersebut akan memberi nomor
pada surat gugatan atau permohonan, dan membubuhi tanda tangan
sebagai bukti telah terdaftar bagian tersebut.
4. Penetapan Majelis Hakim (PMH)
31

Dalam jeda waktu minimal 7 (tujuh) hari, ketua menunjuk


majelis hakim untuk melakukan pemeriksaan dan mengadili perkara
dalam sebuah “Penetapan” majelis hakim (Pasal 121 HIR jo pasal 93
UU PA), kemudian ketua memberikan tugas kepada majelis hakim
untuk menyelesaikan surat-surat yang berhubungan dengan perkara
yang diajukan ke Pengadilan Agama.
Kemudian setelah itu ketua menetapkan perkara yang harus
diadili berdasarkan nomor urut, akan tetapi jika ada perkara yang
menyangkut kepentingan umum, maka perkara itu harus didahulukan
seiring dengan pasal 94 Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama, penetapan majelis hakim dibuat dalam bentuk
penetapan dan ditandatangani oleh ketua Pengadilan Agama dan
dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan.19
5. Penunjukan Panitera Sidang (PPS)
Agar persidangan dapat berjalan dengan lancar dan efektif
maka dalam hal ini ditunjuklah seorang panitera, wakil panitera,
panitera pengganti,untuk membantu hakim dalam menghadiri guna
mencatat jalannya persidangan, membuat berita acara persidangan,
penetapan, putusan dan melaksanakan semua perintah hakim dalam
menyelesaikan suatu perkara.
Jika pada suatu hari majelis hakim berhalangan, maka
langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain :
- Apabila anggota majelis hakim tidak hadir, maka ia
dapat diganti oleh anggota lain yang ditunjuk oleh ketua dan
dicatatkan dalam berita acara persidangan.
- Jika ketua majelis berhalangan maka sidang harus
ditunda pada hari lain.

19
Mukti Arto., Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2004), cet. v, h. 59
32

- Apabila ketua atau anggota majelis berhalangan,


dikarenakan pindah tugas atau wafat atau alasan lain, maka
harus ditunjuk majelis baru dengan penetapan majelis hakim
baru.
- Jika panitera sidang berhalangan maka ditunjuk
panitera lainnya untuk mengikuti sidang.
6. Penetapan Hari Sidang (PHS)
Setelah ketua majelis menerima berkas perkara tersebut
bersama hakim anggotanya, maka kemudian ditetapkanlah hari dan
tanggal serta jam kapan perkara tersebut dapat disidangkan juga
memerintahkan agar para pihak dipanggil untuk datang pada hari,
tanggal dan jam yang telah ditentukan.20
7. Pemanggilan pihak-pihak
Langkah selanjutnya dalam proses penerimaan perkara di
Pengadilan Agama, adalah pemanggilan pihak-pihak yang
dilaksanakan oleh jurusita atau jurusita pengganti, sebagaimana tugas
dan wewenang jurusita atau jurusita pengganti adalah menyampaikan
Relass (panggilan) kepada tergugat atau termohon dan penggugat atau
pemohon.
Relass (panggilan) harus disampaikan oleh jurusita atau
jurusita pengganti dengan cara patut dan resmi. Artinya patut berarti
surat panggilan tersebut harus sudah sampai kepada tergugat sebelum
3 (tiga) hari persidangan akan dilangsungkan. Kemudian resmi artinya
adalah pihak jurusita atau jurusita pengganti harus bertemu langsung
dengan pihak berperkara tergugat.
Dalam surat relass (panggilan) pihak jurusita atau jurusita
pengganti harus menandatangani surat panggilan tersebut dan pihak
tergugat pun harus menandatangani pada surat relass (panggilan).
20
Ibid., h. 62
33

Apabila jurusita/jurusita pengganti tidak menjumpai tergugat, maka


ada langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain :
- Jika yang dipanggil tidak dijumpai di
tempat tinggalnya maka panggilan disampaikan melalui
kepala desa/lurah setempat.
- Apabila yang dipanggil (tergugat) telah
wafat maka panggilan disampaikan kepada ahli warisnya.
- Seandainya yang dipanggil tidak diketahui
tempat tinggalnya atau tak dikenal maka panggilan
disampaikan melalui Bupati setempat yang akan
mengumumkannya pada papan pengumuman persidangan
tersebut.
- Apabila yang dipanggil berada di luar
negeri maka panggilan disampaikan melalui perwakilan R.I.
setempat atau melalui DEPLU R.I. di Jakarta, atau melalui
surat dan media mass.21

B. Proses Pemeriksaan Dalam Persidangan


Adanya proses pemeriksaan dalam persidangan tentunya harus
melewati tahap-tahap proses penerimaan perkara pada Pengadilan Agama.
Kemudian barulah sampai proses pemeriksaan akan berlangsung, untuk itu
penulis akan mencoba untuk menjelaskan mengenai langkah-langkah proses
pemeriksaan perkara dalam persidangan antara lain yaitu :
1. Perdamaian
Pertama-tama setiap awal persidangan majelis hakim sebelum
membacakan surat gugatan wajib mengadakan upaya perdamaian
diantara kedua belah pihak. senada dengan itu, Undang-undang telah

21
Taufiq Hamami., Hukum Acara Perdata Agama Teori dan Praktenya dalam Proses
Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Tata Nusa, 2004), h.125
34

mengatur dalam pasal 130 ayat (1) HIR dan pasal 154 ayat (1) R.Bg
menyebutkan bahwa :
“Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap,
maka Pengadilan Negeri (dibaca Pengadilan Agama berdasarkan
pasal 54 Undang-undang No. 7 Tahun 1989) dengan perantaraan
ketua berusaha mendamaikannya.”

Pada pasal 14 ayat (2) Undang-undang No. 35 Tahun 1999 dan


terakhir telah diganti oleh Undang-undang No. 4 Tahun 2004,
mengatakan bahwa
“ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.”

Sebagaimana prihal upaya perdamaian harus dilakukan oleh


majelis hakim pada setiap permulaan persidangan berlangsung dalam
sebuah Undang-undang, juga upaya perdamaian pun dilakukan agar
kedua belah pihak kiranya dapat bersatu kembali (islah), karena jika
perdamaian terealisasi dalam persidangan maka itu akan jauh lebih
baik dari pada diselesaikan melalui putusan pengadilan.
Sebaliknya jikalau suatu perkara yang masuk pada Pengadilan
Agama tanpa perdamaian bahkan persidangan pun terus berlanjut,
maka dikhawatirkan akan terjadi peristiwa putusnya tali silaturahmi,
dan pada umumnya rasa dendam pun akan berlarut-larut
menggenggam terhadap hati seseorang, terutama khususnya bagi
pihak keluarga yang kalah.22
Selanjutnya jika majelis hakim jelas-jelas dalam suatu
persidangan tidak menjumpai titik temu dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak, maka tindakan yang harus ditempuh
adalah hukum acara perdata harus tetap diaplikasikan yaitu pada
selanjutnya adalah pembacaan surat gugatan.

22
Ibid., h. 165
35

2. Pembacaan gugatan
Pada tahap pembacaan surat gugatan (sidang pertama), ada
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi antara lain yaitu :
1) Penggugat tidak hadir, dan tergugat hadir
Apabila penggugat tidak hadir dalam sidang, sementara
tergugat hadir maka hakim dapat ; menyatakan bahwa
gugatan dinyatakan gugur, atau menunda persidangan selama
satu kali lagi untuk menyampaikan surat panggilan kepada
penggugat.
2) Tergugat tidak hadir dan Penggugat hadir
Jika saat persidangan awal penggugat hadir sementara
tergugat tidak hadir maka hakim dapat ; menunda
persidangan untuk melakukan penggilan satu kali lagi, atau
menjatuhkan putusan verstek, karena tergugat dinilai ghaib.
Selanjutnya jika tergugat telah dipanggil lagi untuk
kedua kalinya atau lebih dan juga tetap tidak memenuhi
panggilan tersebut. Maka dalam hal ini dapat dijatuhkan
putusan verstek.23
3) Tergugat tidak hadir dan tetapi mengirim surat jawaban
Peristiwa yang terjadi tergugat tidak hadir hanya saja ia
melayangkan surat jawaban maka surat jawaban tersebut
tidak perlu didiperhatikan dan dianggap tidak pernah ada,
kecuali jika surat itu berisi perlawanan (eksepsi) bahwa
Pengadilan Agama yang bersangkutan tidak berwenang
untuk mengadilinya, dalam hal ini maka eksepsi tersebut

23
Sirojudin., Wawancara Pribadi, Pengadilan Agama Bogor, 15 Agustus 2006
36

harus diperiksa oleh hakim dan diputus setelah mendengar


dari penggugat (pasal 125 ayat (2) HIR).
Jika eksepsi tersebut diterima oleh hakim, maka hakim-
hakim menyatakan bahwa gugatan tidak diterima dengan
alasan bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang. Dan
apabila eksepsi tersebut tidak diterima karena dinilai tidak
benar maka memutus dengan verstek biasa.
Apabila dikemudian hari tergugat mengajukan verzet
dan di dalam verzet ini mengajukan eksepsi lagi, maka
eksepsinya tidak diterima kecuali eksepsi mengenai
kewenangan absolut. Dan jika ternyata perkara tersebut
bukan wewenang Pengadilan Agama melainkan pengadilan
lain, maka eksepsinya harus diterima dan hakim harus
menyatakan diri tidak berwenang.
4) Penggugat dan Tergugat tidak hadir dalam sidang
Seandainya penggugat dan tergugat tidak hadir dalam
sidang pertama, maka sidang harus ditunda dan para pihak
dipanggil lagi sampai dapat dijatuhkan putusan gugur atau
verstek atau perkara dapat diperiksa.
5) Penggugat dan Tergugat tidak hadir dalam semua sidang
Apabila para pihak hadir semua dalam sidang, maka
hakim sebelum memulai wajib berusaha mendamaikan para
pihak.24 Sementara setelah hakim berusaha untuk
mendamaikan para pihak tidak berhasil dan penggugat tetap
mempertahankan gugatannya maka sidang dilanjutkan pada
tahap jawaban tergugat.

3. Jawaban Tergugat
24
Mukti Arto., op cit., h. 95
37

Sesudahnya surat gugatan dibacakan dan dalam isinya masih


tetap dipertahankan oleh penggugat, kemudian majelis hakim
memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan
jawabannya, maka seiring dengan pasal 121 ayat (2) jo pasal 132 (1)
HIR yang berbunyi :
“Dalam panggilan si tergugat, diberikan kepadanya juga sehelai
salinan surat tuntutan dengan pemberitahuan, bahwa ia kalau mau,
boleh membalas tuntutan itu dengan surat.”

Jadi kiranya jelas inti sari dari pasal 121 ayat (2) jo pasal 132
(1) HIR. Bahwa tergugat dapat mengajukan jawaban secara tertulis
atau lisan, adapun prosedural pengajuan jawaban tersebut tergugat
harus hadir secara pribadi atau diwakilkan oleh kuasa hukumnya
ketika sidang berlangsung. Dan jika tergugat atau kuasa hukumnya
hadir, akan tetapi ia menyampaikan surat jawabannya maka jawaban
tersebut dianggap tidak diperhatikan (diacuhkan).25
4. Replik Penggugat
Pada tahapan selanjutnya tergugat menyampaikan
jawabannya, kemudian si penggugat diberikan kesempatan untuk
menanggapinya sesuai dengan pendapatnya. Hal ini dilakukan
mungkin penggugat akan tetap mempertahankan gugatannya dan
menghadirkan keterangan yang dipandang perlu untuk membuktikan
dalil-dalilnya, atau dimungkinkan penggugat merubah sikap dengan
membenarkan bantahan tergugat.26
5. Duplik Tergugat
Setelahnya penggugat mengutarakan repliknya, selanjutnya
majelis hakim memberikan kesempatan kepada tergugat untuk

25
Ibid., h. 100
26
Ibid., h. 108
38

menanggapi pula. Pada tahap ini mungkin tergugat bersikap sama


seperti penggugat dalam replik tersebut.
Pada tahap replik-duplik (jawab-menjawab) ini, tentunya
hakim membuka kesempatan terhadap penggugat dan tergugat dalam
menyampaikan pendapatnya sampai dengan bertemu benang merah
(titik temu). Dalam hal ini hakim pun harus mampu membatasi waktu
apabila sudah dianggap cukup.27
Jikalau pada tahap jawab-menjawab (replik-duplik), masih ada
sesuatu hal yang memang tidak disepakati oleh pihak penggugat dan
tergugat, sehingga perlu kiranya untuk dihadirkan buktinya, dan
proses persidangan pun dilanjutkan dengan tahap pembuktian.28
6. Pembuktian
Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberikan
kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti, sebagaimana
dalam pasal 164 HIR menyebutkan 5 (lima) macam alat-alat bukti
antara lain :
a. Bukti surat
Bukti surat merupakan salah satu alat bukti yang dapat
dijadikan pegangan hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Sebagai salah satu contoh surat tersebut adalah surat kutipan akta
nikah.29
b. Bukti Saksi
Istilah saksi dalam hukum Islam disebut syahid atau syahidah,
kata tersebut terambil dari kata musyhadah yang berarti
menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Dengan demikian
istilah saksi berarti orang atau orang-orang yang didengar

27
Ibid., h. 108
28
Taufiq Hamami., op cit., h.198
29
Fachruddin., Wawancara Pribadi di Pengadilan Agama Bogor, Senin 14 Agustus 2006
39

keterangan dibawah sumpahnya dimuka persidangan pengadilan


guna menguatkan kebenaran suatu peristiwa atau kejadian yang
dijadikan dalil-dalil gugatan maupun jawaban (eksepsi).
c. Bukti Persangkaan
Asal muasal dari istilah persangkaan disebut Vermoedens
(Belanda), penyebutannya dalam bentuk jamak, yang berarti
persangkaan-persangkaan. Sedangkan dalam praktek peradilan
Islam istilah persangkaan sebagai salah satu alat bukti dikenal
dengan istilah Qironah, yang berarti segala sesuatu yang
mempunyai hubungan atau pertalian yang erat sedemikian rupa
terhadap sesuatu sehingga memberikan suatu petunjuk.
Maksud dari pada persangkaan atau qarinah sebagai salah satu
alat bukti dalam praktek acara perdata agama adalah kesimpulan-
kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari
suatu peristiwa yang terang, nyata ke arah peristiwa lain-lain
yang belum terang kenyataannya, atas pengertian ini maka dapat
disimpulkan bahwa persangkaan atau qarinah sebagai alat bukti
adalah merupakan alat bukti yang bersifat tidak langsung,
melainkan harus didasarkan kepada bukti lain.30
d. Bukti pengakuan
Suatu peristiwa atau kejadian yang diakui oleh pihak lawan
tidak perlu lagi dibuktikan oleh pihak yang mengajukan peristiwa
atau kejadian tersebut di dalam suatu perkara. Hal ini mengingat
dengan diakuinya peristiwa atau kejadian, maka suatu perkara
yang sedang ditangani oleh majelis hakim dianggap telah jelas
kebenarannya.
Oleh karena itu keterbuktian didasarkan atas adanya pengakuan
dari pihak lawan, maka undang-undang tersebut mendudukan
30
Ibid., h. 232
40

pengakuan sebagai alat bukti. Ketentuan semacam ini seperti


tertuang dalam pasal 174 HIR dan pasal 311 R.Bg yang bunyinya
sebagai berikut :
“Pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim, cukup menjadi
bukti untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang
diucapkannya sendiri maupun dengan pertolongan orang lain
(kuasanya).”

Yang dimaksud dengan pengakuan sebagai alat bukti seperti


ditentukan undang-undang tersebut di atas adalah keterangan
“sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia
mengakui apa-apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.” Untuk
itu ia berarti merupakan keterangan yang membenarkan
peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan.
e. Bukti Sumpah
Sumpah merupakan salah satu alat bukti di persidangan jika
bukti-bukti yang telah diajukan kurang lengkap, sehingga tidak
memenuhi pembukian minimal. Maka penerapannya bisa atas
perintah majelis hakim untuk melengkapi bukti-bukti yang sudah
diajukan. Maksud penerapannya baik yang dibebankan oleh
majelis hakim kepada salah satu pihak lawan atau atas permintaan
salah satu pihak kepada pihak lawan, adalah untuk menyelesaikan
perkara (perselisihan). Dengan diucapkannya sumpah, maka apa-
apa atau dalil-dalil yang disampaikan oleh pihak yang bersumpah
itu adalah benar. Hal ini dikarenakan pada umumnya, orang yang
bersumpah tidak akan berani bohong, dimana apabila keterangan-
keterangan (dalil-dalinya) itu bohong, maka ia akan mendapat
hukuman dari Allah SWT. dengan demikian sumpah sebagai alat
bukti yang bersifat religius yang digunakan di dalam majelis
41

hakim, dan karenanya pengucapan sumpah harus sesuai dengan


ketentuan agama yang dianutnya, yakni Agama Islam.
7. Kesimpulan Para Pihak
Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberikan
kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang
merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung,
menurut pandangan masing-masing.31
8. Putusan
Sesudahnya majelis hakim memeriksa isi gugatan yang
diajukan dan berkesimpulan bahwa alasan yang diajukan cukup
beralasan dan dapat diterima terbukti serta tidak dimungkinkan lagi
tercapainya perdamaian antara keduanya, maka pengadilan agama
dapat memutuskan dengan suatu putusan.32
9. Biaya Perkara
Untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam
membayar biaya perkara maka dalam hal ini dibebankan kepada
penggugat. Hal ini berbeda dengan hukum acara perdata pada
umumnya, yang menetapkan bahwa biaya perkara dibebankan pada
pihak yang kalah. Oleh karenanya dalam sengketa perkawinan dan
perceraian tidak ada pihak yang kalah maupun yang menang, maka
biaya perkara dibebankan pada penggugat selaku pencari keadilan
(yudicial balance).33
Bagi yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, maka ia
dapat mengajukan perkaranya secara prodeo yang biayanya
ditanggung oleh negara. Dalam hal seseorang yang berkehendak

31
Mukti Arto., op cit., h. 109
32
Hamami., op cit., h. 247
33
Mukti Arto., op cit., h. 229
42

permohonan perkara secara prodeo maka akan dipenuhi jika ia


memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- Terbukti bahwa ia benar-benar tidak
mampu dan dibuktikan dengan surat keterangan dari kepala
desa/lurah yang dilegalisir oleh Camat setempat dan dikuatkan
oleh saksi-saksi
- Pihak lawan tidak keberatan atas
permohonan tersebut.
Apabila permohonan berperkara secara prodeo ini dikabulkan maka
hakim menjatuhkan “putusan sela” yang isinya mengabulkan
permohonan untuk berperkara secara prodeo dan mengizinkan kepada
para pihak untuk melanjutkan perkaranya. Jika kemudian ternyata
penggugat yang berperkara secara prodeo ini kalah dalam pokok
perkara, maka ia akan dibebaska dari biaya perkara tetapi apabila
penggugat menang, maka tergugat untuk membayar biaya perkara.
Namun jika tergugat mengajukan permohonan perkara secara prodeo
dan juga dikabulkan maka tergugat dibebaskan dari biaya perkara.34

C. Analisis Penulis Terhadap Putusan Nomor : 269/Pdt.G/2005/PA.Smi.


Tentang Penyelesaian Perceraian Karena Suami Tidak Memberikan
Nafkah
Dalam kasus cerai gugat yang diluncurkan oleh pihak penggugat (lilis
Sofiah) terhadap pihak tergugat (Abdul Malik), dimana alasan yang
dilayangkan oleh penggugat dalam positanya yang paling esensial adalah
antara suami isteri sering terjadi pertengkaran dan perselisihan yang
disebabkan karena terjadinya tabrakan ideologi (perbedaan pendapat)
terutama dalam masalah tempat tinggal, dan penggugat merasa tidak
diindahkan karena tergugat sudah tidak lagi menjalankan kewajibannya yaitu
34
Ibid., h.122
43

tidak memberikan nafkah selama ± 8 bulan lamanya, sehingga atas peristiwa


tersebut, akhirnya penggugat memilih jalan keluar dengan melayangkan surat
gugatannya ke Pengadila Agama.
Perbedaan pendapat antara suami isteri dalam mengarungi bahtera
rumah tangga, menurut hemat penulis bukanlah sesuatu hal yang baru. Akan
tetapi inilah kenyataannya bahwa dalam membina rumah tangga itu tidak
selamanya romantis dan harmonis terkadang ada saja permasalahan yang
ujug-ujug datang tanpa diundang. Sehingga disinilah letaknya tugas dan
kewajiban seorang suami sedapat mungkin harus dihadapi dengan kepala
dingin dan mampu dalam mengemas seluruh permasalahan yang ada.
Kelihaian seorang suami dalam meracik dan mencari solusi ketika
menghadapi permasalahan keluarganya sendiri memang sangat berimplikasi
terhadap keutuhan rumah tangga. Jika seorang suami berkompeten dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, maka Insya Allah keutuhan
rumah tangga akan selalu tercipta kapan pun, dimana pun mereka berada.
Akan tetapi jika seorang suami belum mampu dalam mencari alternatif atau
solusi suatu problematika keadaaan rumah tangganya sendiri, maka
kemungkinan pintu gerbang perceraian akan selalu menantinya.
Terkait dengan topik yang penulis persembahakan yakni masalah
proses penyelesaian perceaian karena suami tidak memberikan nafkah, itu
semua merujuk pada Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo Kompilasi Hukum
Islam.
Dari uraian di atas bahwasanya peristiwa cerai gugat antara penggugat
dengan tergugat, yang dikarenakan pihak penggugat (isteri) merasa tidak
diindahkan oleh tergugat yaitu tergugat tidak memberikan nafkah. Maka
dalam hal penulis mencoba untuk memberikan argumentasi ada apa dibalik
peristiwa yang terjadi ini. Berikut ini paling tidak ada 3 (tiga) point yang
44

menyebabkan tewasnya pasangan Abdul Malik dengan Lilis sopiah yang


masuk ke jurang perceraian yaitu :
Pertama terjadinya tabrakan ideologi antara penggugat dengan
tergugat, terutama dari kedua belah pihak ini sama-sama keras dalam
mempertahankan pendapatnya yang akhirnya diantara salah satu pihak (isteri)
dengan lancang langsung pulang ke rumah orang tuanya sendiri karena sudah
tidak kuat lagi menerima ucapan-ucapan dari suaminya, bahkan sebelum
terjadinya tabrakan ideologi ini, sering terjadi keributan dan perselisihan yang
semakin memuncak sampai-sampai suaminya pernah berkata “mendingan
kita cerai aja dari pada keadaan rumah tangga kita tidak ada keharmonisan
lagi.” Hal ini sejalan dengan dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1975
pasal 19 huruf (f) jo Kompilasi Hukum Islam pasal 116 huruf (f) berbunyi
yang menyebabkan terjadinya perceraian adalah antara suami isteri terjadi
perselisihan terus menerus dan tidak ada harapan lagi untuk mewujudkan
rumah tangganya.
Keributan-keributan yang terus-menerus diantara kedua belah pihak
memang sangat sulit untuk disatukan kembali, jika keadaannya sudah rawan.
Dan meskipun pihak keluarga lain mengadakan perdamaian yaitu hakam (juru
damai) tetapi pada kenyataannya rasa cinta dan kasih sayang sudah tidak
bersemi lagi, maka menurut hemat penulis dikhawatirkan akan menghasilkan
kemudharatan bagi kedua belah pihak, dan pada akhirnya salah satu dari
suami isteri akan sering saling membenci, mencaci-maki dan saling
menyalahkan antara satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan peristiwa di atas, bahwa peluang untuk bersatu kembali
dalam ikatan perkawinan rasanya tidak mungkin lagi akan terhimpun,
walaupun dengan berbagai macam cara dilakukan. Lagi pula penggugat sudah
rela dan bersedia untuk diceraikan dengan tujuan untuk kemaslahatan
bersama.
45

Eksistensi penggugat dalam persidangan mengenai perkara cerai gugat


yang digelar di Pengadilan Agama Bogor, beliau menghadirkan bukti-bukti
yang nyata, dua orang saksi yakni saksi pertama adalah adik ipar penggugat
dengan nama Ine menyatakan bahwa penyebab dari perselisihan dan
pertengkaran tersebut adalah terjadinya tabrakan ideologi yang kian
meruncing, misalnya adanya perbedaan keinginan antara penggugat
mempertahankan pendapatnya dengan keras dan tergugat pun kekeh tidak
mau kalah dalam mempertahankan aspirasinya. Sehingga implikasi dari
peristiwa tersebut kedua belah pihak menghasilkan saling membenci saling
menyalahkan satu sama lain dan saling memaki, akhirnya jurang perceraian
menghadangnya.
Kedua adanya intervensi pihak ketiga terhadap suami isteri dalam
urusan rumah tangga. runtuhnya suatu bangunan yang megah atau
tenggelamnya bahtera rumah tangga yang terjadi pada pasangan (suami isteri)
antara Lilis sopiah melawan Abdul Malik, penyebabnya adalah karena
adanya campur tangan orang ketiga dalam urusan rumah tangga. Hal ini
terjadi karena adanya intervensi orang ketiga terhadap pasangan suami isteri,
yang kini semakin menjadi-jadi atas pengaruh orang ketiga bahkan bumbu-
bumbu perpisahan mulai menebar secara nyata dan percekcokan pun kian
meruncing.
Hal ini berdasarkan realitas yang ada, eksistensi orang ketiga
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perceraian. Oleh karenanya
apa pun tutur kata yang diutarakan oleh orang ketiga belum tentu akan dapat
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
Kasus yang terjadi pada pasangan antara penggugat (Lilis Sopiah)
dengan tergugat (Abdul Malik), adalah salah satu korban yang tenggelam
dalam dunia perceraian. Adapun faktor penyebabnya adalah adanya campur
tangan orang lain yang belum becus dalam menghadapi seribu satu
permasalahan pada dunia perkawinan.
46

Permasalahan-permasalahan yang kian meruncing dan mengundang


kagentingan dalam lingkungan keluarga, seharusnya bukan lagi sesuatu hal
yang baru kita jumpai. Hal ini terbukti ketika seorang suami ingin
memecahkan suatu problematika bukan pada ahlinya atau tidak profesional
dalam mencari akar masalah yang ada, maka akhirnya jika hal tersebut
dilakukan bukan pada tempatnya, maka pintu gerbang perceraian akan
terbuka lebar-lebar.
Jurang perceraian akan selalu terbuka lebar-lebar bagi pasangan suami
isteri yang tidak pandai-pandai dalam mengemas suatu problematika yang
dihadapinya. Oleh karena itu menurut hemat penulis disatu sisi sebenarnya
orang ketiga bukanlah satu-satunya alternatif untuk mencapai perdamaian.
Akan tetapi jikalau “orang ketiga tersebut memang terbukti mampu dan bisa
mencari penyelasaian permasalahan, maka Insya Allah akan mencapai
terbukanya pintu perdamaian.
Adanya orang ketiga ketika seseorang sedang menghadapi
permasalahan-pemasalahan benar sangat dibutuhkan tetapi dengan catatan
bahwa personal tersebut adalah terbukti kepandaiannya dalam mengatasi
problemtika yang menjelma pada pasangan suami isteri. Akan tetapi untuk
menguji seseorang berbobot atau kurang berbobotnya, dapat diintrogasi
terlebih dahulu. Dan seorang suami dan isteri pun jangan terlena dengan kata-
kata yang manis dari orang ketiga tersebut. Sehingga dikhawatirkan jika
pasangan suami isteri ini terbujuk rayu dengan kata-kata yang gombal,
akhirnya pasangan suami isteri akan saling menyalahkan satu sama lain,
saling menyalahkan, saling mencaci dan berujung pada gerbang perceraian.
Ketiga ketidak sanggupan tergugat dalam membiayai anak bawaan dari
pihak penggugat. Masalah pembiayaan hidup atau kebutuhan-kebutuhan yang
primer harus dipenuhi oleh kepala keluarga (suami), lagi-lagi permasalahan
yang dihadapi dalam peristiwa perceraian ini adalah terletak pada beban
hidup yang tidak dapat dipungkiri eksistensinya. Karena tergugat memberikan
47

argumentasi bahwa salah satu latar belakang ketidaksanggupan dalam


memberikan biaya kelangsungan hidup terhadap 4 orang anak penggugat
adalah karena tidak adanya keseimbangan antara pemasukan dengan
pengeluaran, artinya pendapatan yang selama ini suami dapatkan tidak
memungkinkan untuk membiayai anak bawaan si penggugat. Belum lagi
tergugat pun punya anak bawaan 1 orang anak yang sama-sama
membutuhkan biaya hidup terutama biaya pendidikan sebagai modal masa
depannya.
Kemudian jika penulis amati tentang akar permasalahan dalam hal
penyebab tumbangnya hubungan perkawinan terjadi karena dipengaruhi oleh
dua faktor, dimana faktor pertama adalah faktor internal (faktor dalam) dan
yang kedua adalah faktor eksternal (faktor luar).
1. Faktor internal (faktor dalam)
Faktor internal (faktor dalam) artinya faktor-faktor yang
datangnya dari keluarga sendiri, sebagaimana kita ketahui bahwa
tanggung jawab kepala keluarga, bukan saja harus mampu dalam
meracik dan pandai harus pandai dalam mencari solusi cantik
ketika dihadapkan oleh suatu permasalahan, akan tetapi juga dilain
pihak masalah-masalah yang ada relevansinya dengan keluarga
seorang suami harus mampu memikirkannya sampai ketemu benang
merahnya.
Terpenuhi atau terlantarnya keluarga seseorang akan
bergantung pada kepala keluarga sebagai kepala keluarga (suami).
Tetapi jika penulis coba untuk meneropong tentang keadaan
penghasilan tergugat, memang pendapatan yang ia hasilkan hanya
cukup untuk menghidupi satu orang anak dan satu orang isteri.
Kemudian jika dihadapkan dengan keadaan zaman sekarang
sepertinya harga kebutuhan-kebutuhan hidup semakin drastis,
sementara itu suami hanya mengandalkan gaji PNS (Pegawai
48

Negeri Sipil), dan itu pun kenyataan yang penulis tahu bahwa gaji
tersebut sudah sangat menipis karena pengeluarannya lebih banyak
dari pada pendapatannya yang sangat minim.
Dengan keadaan yang sangat memprihatinkan ini, terutama
yang paling signifikan adalah kelangsungan hidup keluarga memang
sudah tak dapat dipungkiri lagi dan tidak bisa ditutup-tutupi lagi
atas kebutuhan hidup yang ada. Untuk itulah sudah sangat wajar
kalau tergugat memberikan posita (alasan-alasan) hukum yaitu
tergugat sudah tidak sanggup untuk membiayai kelangsungan hidup
terutama yang paling menonjol adalah pembiayaan bagi 4 (empat)
orang anak bawaan dari pihak penggugat.

2. Faktor Eksternal (Faktor luar)


Faktor Eksternal (Faktor luar) artinya faktor-faktor yang
menjelma secara tidak langsung dan itu biasanya datang dari luar
keluarga seperti orang ketiga. Pengaruh luar sebenarnya sangat
kental terhadap keluarga yang bersangkutan, hal ini terungkap
dalam isi putusan tersebut bahwa pihak penggugat menghadirkan
saksi menyatakan bahwa dalam ujarnya “adanya campur tangan dari
pihak orang tua tergugat dalam mengatur urusan keuangan.”
Barangkali jika penulis teliti tentang ketidaksanggupan suami dalam
memberikan nafkah selain dilatar belakangi yang telah disebutkan
di atas tadi, ternyata masih ada juga yang dapat mempengaruhi
keganjalan urusan keluarga yaitu adanya campur tangan dalam
memanajemen keuangan urusan keluarga penggugat dan tergugat.
Mengatur urusan keuangan dalam suatu keluarga, seharusnya
orang tua tergugat maupun penggugat tidaklah untuk intervensi, lagi
pula antara kebutuhan orang tua dengan kebutuhan pasangan suami
isteri jelas sangat berbeda. Jadi idealnya menurut hemat penulis
49

ketika seseorang keluarga (suami isteri) yang telah berkeluarga


harus terbebas dari campur tangan orang lain termasuk orang tua.
Hal ini penulis singgung kiranya dengan tidak adanya campur
tangan dalam urusan family, sehingga terbentuklah kemandirian
dalam berkeluarga dan tidak bergantung kepada orang lain.
Oleh karenanya eksistensi pihak ketiga, sudah sepantasnyalah
untuk tidak lagi intervensi dalam mengatur keuangan suatu
keluarga, dan kalau pun pihak ketiga yang intervensi tadi adalah
saudara sedarah, kiranya si saudara tersebut harus mampu
memahami tentang situasi dan kondisi keluarga tersebut. Bukankah
masing-masing keluarga berbeda akan porsi (ukuran) kebutuhannya.
50

BAB V
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab
terdahulu, baik dari kerangka teoritis dengan melalui pendekatan kepustakaan
maupun hasil dari lapangan. Maka penulis dalam hal ini dapat mengambil
kesimpulan sekaligus menjawab atas rumusan masalah, yaitu :
a. Salah satu faktor penyebab terjadinya perceraian adalah karena
seorang suami sudah tidak lagi menjalankan kewajiban sebagai suami
yaitu ia tidak memberikan nafkah terhadap isterinya. Hal ini
didasarkan atas hasil wawancara dengan pihak hakim Pengadilan
Agama Sukabumi, beliau menyatakan bahwa perceraian yang
diakibatkan karena suami tidak memberikan nafkah (nafkah lahir dan
nafkah bathin) terhadap isteri. Karenanya jikalau kepala keluarga
sudah tidak lagi dapat difungsikan sebagaimana status suami, yang
tentunya suamilah yang bertanggungjawab untuk memenuhi seluruh
kebutuhan-kebutuhan isteri dan anak-anaknya. Untuk itu kewajiban
suami dalam memberikan nafkah terhadap isteri dan sanak familinya
hukumnya wajib, dengan ketentuan harus sesuai dengan porsi (ukuran)
kemampuan suami. Selanjutnya dari ketidaksanggupan seorang suami
(tergugat) tidak memberikan lagi nafkah terhadap isteri dan familinya
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, paling tidak, ada point- point
yang perlu digaris besari yaitu ; pertama terjadinya tabrakan ideologi
antara penggugat dan tergugat dengan mempertahankan argumennya
masing-masing sehingga keretakan rumah tangga pun harus berakhir
51

dengan perceraian. Kedua adanya campur tangan dalam mengatur


urusan rumah tangga yang datangnya dari pihak ketiga terhadap
pasangan suami isteri (penggugat dan tergugat). Ketiga adanya
tuntutan dari pihak penggugat terhadap tergugat untuk membiayai
anak penggugat sebanyak 4 (empat) orang anak.
b. Dalam prosedur penyelesaian perceraian karena suami tidak
memberikan nafkah, adalah merujuk terhadap Undang-undang nomor
7 tahun 1989, dan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri
juga dipakai dan berlaku di Pengadilan Agama (hukum Formil),
sedangkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1975 jo Kompilasi
Hukum Islam itu sebagai pegangan Hakim untuk mengambil istimbath
hukum dalam memutuskan suatu perkara (hukum Materil). Kemudian
prosedur penyelesaian perceraian di Pengadilan Agama Sukabumi
adalah dalam hal ini harus melalui tahap-tahap sebagai berikut yang
meliputi proses penerimaan perkara yaitu: penggugat membawa surat
gugatannya yang ditujukan langsung ke Pengadilan Agama, setelah itu
penggugat menaksir biaya persidangan dengan membubuhi tanda
tangan pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), lalu penggugat
mendaftarkan gugatannya pada bagian Panmud Gugatan dengan
membawa surat gugatan disertai SKUM, kemudian Penetapan Majelis
Hakim (PMH), dilanjutkan dengan Penunjukan Panitera Sidang (PPS),
diteruskan Penetapan Hari Sidang (PHS), kemudian Pemanggilan
pihak-pihak. Memasuki proses pemerikasaan dalam persidangan
adalah meliputi: Perdamaian, Pembacaan gugatan, Jawaban Tergugat,
Replik Penggugat, Duplik Tergugat, Pembuktian, Kesimpulan Para
Pihak, Putusan.

2. Saran-saran
52

a. Bagi instansi Pengadilan Agama, hakim yang bertugas menerima,


memeriksa dan memutuskan suatu perkara, hendaknya dalam proses
persidangan upaya perdamaian harus lebih ditekankan lagi, dengan
harapan untuk mengurangi angka perceraian.
b. Sebagai bahan pelajaran bagi pasangan yang telah melangsungkan
pernikahan, hendaknya ia harus saling menyadari akan kesalahan yang
dilakukannya, saling memahami, saling mengerti, saling menutupi
akan kekurangan yang dimilikinya, saling menerima dan saling
memberi, dan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Karenanya
kalau misalnya ketika pasangan ini disaat pra pernikahan tidak
memahami secara utuh apa hakikat perkawinan yang sesungguhnya,
maka dikhawatirkan dilereng perjalanan sang suami isteri akan
terpeleset dan akhirnya jatuh ke dalam jurang perceraian.
c. Menikah dan bercerai, bukan hanya menyangkut diri suami dan isteri
saja, akan tetapi juga menyangkut soal anak. Sejak memutuskan untuk
menikah, jangan pernah berfikir akan bercerai, tapi usahakan agar apa
yang dicita-citakan dalam hubungan perkawinan dapat diwujudkan.
Bagaimanapun tujuan menikah adalah untuk membentuk keluarga
yang sakinah mawaddah warahmah, oleh karena itu keluarga sebagai
institusi masyarakat terkecil sangat menentukan lahirnya generasi-
generasi yang islami. Maka apabila seorang kepala keluarga tidak
memberikan pendidikan kepada anak-anaknya tentang pentingnya
sikap tanggung jawab jangan diharapkan generasi mendatang akan
lebih baik.
d. Lebih meningkatkan pemahaman terhadap ajaran agama, agar tidak
terjadi salah penafsiran terhadap hukum-hukum Allah. Kedudukan
suami dan isteri tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin atau
posisinya dalam keluarga. Kedudukan suami dan isteri adalah saling
melengkapi, suami sebagai kepala rumah tangga tidak dapat
53

sewenang-wenang dengan perannya dalam keluarga dan isteri


hendaknya membantu suami dalam melestarikan tujuan perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai