Anda di halaman 1dari 7

2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat
dilihat, yang mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, atau dengan kata lain dapat
disebut sebagai hubungan formal. Ikatan bathin merupakan hubungan yang tidak formal
yaitu suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, dan ikatan ini harus ada dalam
suatu perkawinan karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahirakan menjadi
rapuh. Oleh karena itulah terjalinnya ikatan lahir dengan ikatan bathin
merupakan pondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Waluyo, 2020)
Perkawinan merupakan sunnatullah yakni hidup berpasang-pasangan, hidup
berjodoh-jodohan demikian ini merupakan naluri manusia yang diciptakan oleh Allah
SWT. (Abror, 2017)
Dalam firman Allah QS. Az- Zariyat (51) 49:

‫َوِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َخ َلْقَنا َز ْو َج ْيِن َلَع َّلُك ْم َتَذَّك ُروَن‬


“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah” (QS. Az- Zariyat (51) 49)
Dari ayat Al-Qur’an tersebut, bermakna anjuran untuk menikah dan bahwa Allah
menciptakan manusia secara berpasang-pasangan, yaitu sebagai suami isteri, yang
dimana perkawinan harus melalui suatu akad yang telah ditentukan menurut rukun dan
syarat perkawinan. Diantara manfaat dan hikmah perkawinan ialah bahwa perkawinan
itu menentramkan jiwa, dan meredam emosi, menutup dan menundukkan pandangan
dari segala yang dilarang Allah dan untuk mendapat kasih sayang suami istri yang
dihalalkan Allah sesuai dengan firman-Nya. (Abror, 2017)

Atas dasar itu, Islam sebagai agama yang komprehensif, meliputi segala dimensi
kehidupan manusia, memberikan aturan-aturan guna membimbing umatnya dalam
membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tersebut. Islam mengatur
3
tentang tata cara bergaul dalam rumah tangga, menentukan hak dan kewajiban suami
isteri, hingga tata cara menyelesaikan perselisihan yang bisa saja terjadi dalam setiap
hubungan suami-isteri
Salah satu penyebab perselisihan yang berakhir pada perceraian yang sering
terjadi ialah karena nusyuznya istri terhadap suaminya.Secara bahasa (terminologi)
nusyuz berasal dari kata nasyaza-yansyuzu-nusyuzan yang berarti : seorang isteri
mendurhakai suaminya.3
Secara etimologinusyuz diartikan sebagai perilaku durhaka yang
ditimbulkan oleh seorang isteri terhadap suaminya, atau meninggalkan
kewajiban selaku isteri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.4
Di dalam KHI, kata nusyuz disebut sebanyak 6 (enam kali). Kata-kata
nusyuz tersebut terdapat pada Pasal 80, pasal 84, serta pada pasal 152. Di
dalam Pasal 80 ayat (7), disebutkan bahwa jika seorang isteri berbuat
nusyuz, maka suaminya dibebaskan dari kewajiban menanggung
nafkah,pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
5
pengobatan bagi isterinya. Sementara itu, Pasal 84 berisi keterangan
tentang bagaimana yang dimaksud dengan nusyuz yang dilakukan oleh isteri
(pasal 84 ayat 1) yaitu ketika istri tidak menunaikan kewajibannya untuk
berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum
Islam. Sementara konsekuensi dan jangka waktu dicabutnya hak istri
akibat nusyuz diatur dalam pasal 84 ayat 2 dan ayat 3), serta pembuktian
tentang ada tidaknya tindakan nusyuz tersebut diatur dalam (pasal 84 ayat 4)
6
yaitu wajib didasarkan atas bukti yang sah. Sedangkan Pasal 152 memuat
ketentuan mengenai konsekuensi nusyuz yang dilakukan oleh seorang isteri
yang berakibat istri tidak berhak mendapatkan nafkah iddah dari suaminya.7
Namun, di dalam putusan Nomor 1496/Pdt.G/2021/PA.Cbn Majelis
Hakim Pengadilan Agama Cibinong memutuskan bahwa istri tidak tergolong
nusyuz meskipun ia meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya dengan
pertimbangan karena suami tidak mampu menyediakan tempat tinggal
bersama untuk istrinya dan masih tinggal dengan orang tua suami. Sehingga
istri tersebut masih berhak mendapatkan nafkah iddah dan mut’ah dari
suaminya.
Majelis hakim berlandaskan pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan “Suami istri harus mempunyai tempat
kediaman yang tetap, kemudian ayat 2 menyebutkan bahwa rumah tempat
4
kediaman yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini ditentukan oleh suami

istri bersama.” dan Pasal 81 Kompilasi Hukum Islam bahwa “suami wajib

menyediakan kediaman bagi istri dan anak-anaknya”

Pertimbangan majelis hakim yang tidak mengkategorikan istri

nusyuz hanya karena suami tidak mampu menyediakan tempat tinggal


5
terpisah menjadi bertentangan dengan Pasal 32 UU Perkawinan itu sendiri.

Karena menurut Pasal 32 UU tersebut bahwa rumah tempat kediaman

bersama ditentukan oleh suami istri bersama, dimana dalam perkara ini

istri tidak mengeluhkan bahwa ia tidak setuju tinggal dengan mertuanya

dan ia puntidak mempersoalkan bahwa terdapat perlakuan mertuanya yang

membuat ia tidak nyaman tinggal bersama, sehingga secara otomatis

suami tetap memenuhi Pasal tersebut.

Pun tidak ada ketentuan yang tegas dalam UU Perkawinan bahwa tempat

kediaman wajib bersifat pribadi dan tidak bercampur dengan mertua

karena para pembuat aturan memahami bahwa secara budaya, tingkat

ekonomi, dan karena alasan-alasan tertentu membuat tidak semua

pasangan suami istri ingin dan mampu untuk tinggal secara terpisah ketika

berumah tangga. Maka bagaimana mungkin dengan kondisi demikian yang

sejatinya pun telah disetujui oleh istri melegalkan istri untuk berbuat

nusyuz.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti “Analisis Terhadap

tentuan Nusyuz Istri Perspektif Hukum Positif Dan Fiqih(Studi

Putusan No. 1496/Pdt.G/2021/PA.Cbn)”

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada :

1. Nusyuz dalam perkawinan secara umum.

2. Kriteria seorang suami dan istri yang nusyuz.

3. Pertimbangan Hakim dalam memutuskan istri atau suami nusyuz.

4. Ketentuan terhadap suami atau istri nusyuz dalam perspektif hukum Islam.
6
7

A. Batasan Masalah

Pembatasan suatu masalah digunakan untuk menghindari adanya

penyimpangan maupun pelebaran pokok masalah agar penelitian tersebut

lebih terarah dan memudahkan dalam pembahasan sehingga tujuan penelitian

akan tercapai. Beberapa batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1.Luas lingkup hanya meliputi informasi seputar ketentuan nusyuz

2.Informasi yang disajikan yaitu : ketentuan nusyuz, perspektif kompilasi

hukum islam

3.Penelitian diambil dari studi kasus di Pengadilan Agama Surabaya

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk;

1. Untuk mengetahui apa nusyuz secara umum

2. Untuk mengetahui apa saja kriteria suami dan istri yang nusyuz dalam

perkawinan

3. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan

suami atau istri nusyuz

4. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan terhadap suami atau istri

nusyuz dalam perspektif hukum Islam.

C. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini berguna sebagai kontribusi

dalam rangka memperkaya ilmu pengetahuan, dan dapat menjadi bahan


8

referensi ataupun bahan diskusi bagi mahasiswa Fakultas ________

maupun masyarakat luas serta berguna bagi perkembangan ilmu

pengetahuan di bidang hukum Islam.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

masyarakat luas khususnya masyarakat yang sudah menjalani pernikahan.

Selain itu penelitian ini juga berguna untuk memenuhi salah satu syarat

akademik guna memperoleh gelar sarjana Hukum Islam.

D. Domain Penelitian

Teknik analisis domain digunakan untuk menganalisis gambaran

objek penelitian secara umum atau ditingkat permukaan, namun relatif utuh

tentang onjek penelitian tersebut. Tujuanmya untuk memperoleh gambaran

seutuhnya dari objek yang diteliti. Tanpa harus diperincikan secara detail

unsur-unsur yang ada dalam keutuhan objek penelitian tersebut.

Dalam penelitian ini domain yang terdapat didalam nya adalah

ketentuan nusyuz.

Anda mungkin juga menyukai