Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Fikih Munakahat

Tentang

“Pendapat Serta Alasan Fuqaha Mengenai: Cerai Gugat Karena Tekanan


Ekonomi, Penganiayaan Suami, Cerai gugat Karena Suami Masuk Penjara dan
Cerai Gugat Karena Suami Mafqud ”

Disusun Oleh

Kelompok 12

Nelita Putri : 181204054

Trisdayanti : 1812040055

Dosen Pembimbing:

Dr. Fathur Rahmi, S.H.I,M.A

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

IMAM BONJOL PADANG

1441H/2020M
KATA PENGANTAR

‫ِبْس ِم ِهَّللا الَّرْح َم ـِن الَّر ِح يِم‬

Puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH SWT,serta shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada rasulullah SAW atas segala petunjuk dan karunia-NYA
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pendapat Serta Alasan
Fuqaha Mengenai: Cerai Gugat Karena Tekanan Ekonomi, Penganiayaan Suami, Cerai
gugat Karena Suami Masuk Penjara dan Cerai Gugat Karena Suami Mafqud”.

Penulis menyadari masih banyak ketidaksempurnaan dalam menyusun makalah


ini.Oleh karena itu diharapkan kritik maupun saran demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini mendapat ridho dari ALLAH SWT dan bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................
B. Rumasan Masalah.....................................................................................BAB II
PEMBAHASAN
A. Gugat Cerai Karena Tekanan Ekonomi.....................................................
B. Gugat Cerai Karena Penganiayaan Suami ................................................
C. Gugat Cerai Karena Suami Masuk Penjara ...............................................
D. Gugat Cerai Karena Suami Mafqud...........................................................

BAB III PENEUTUP

A. Kesimpulan...............................................................................................
B. Saran.........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

BAB l
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perceraian merupakan titik akhir dari suatu perkawinan yang tidak mampu
mampu mencapai tujuan yang mulia yakni kebahagian keluarga sebagaimana
yang diharapkan oleh setiap pasangan suami istri. Fenomena perceraian karena
faktor ekonomi yang kian sering terjadi, serta banyaknya perceraian karena
faktor-faktor tertentu. Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan dengan
sebab tertentu yang sesuai dengan aturan agama dan undang-undang
perkawinan.
Sebuah kata perceraian dimaknai sebagai sebuah jalan yang terbaik untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam ketegangan yang terjadi di dalam
hubungan suami istri. Dalam kaitan ini perceraian dapat dilihat dari sudut
pandang yang berbeda, yakni positif maupun negarif baik itu yang bersangkutan
atau dari masyarakat yang menilai permasalahan yang terjadi antara suami dan
istri yang bersangkutan. Serta berbagai alasan yang dilakukan oleh pasangan
suami istri untuk bercerai baik dari masalah ekonomi, kekerasan dalam rumah
tangga, suami di penjara dan suami mafqud. Perceraian merupakan sesuatu hal
yang halal dilakukan tetapi sangat di benci oleh Allah swt. dalam malalah ini
dijelaskan mengenai perceraian menurut fuqaha mengenai perceraian karena
tekanan ekonomi, kekerasan, suami di penjara dan suami mafqud.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanag Gugat Cerai Karena Tekanan Ekonomi ?
2. Bagaimana Gugat Cerai Karena Penganiayaan Suami?
3. Bagaimana Gugat Cerai Karena Suami Masuk Penjara ?
4. Bagaimana Gugat Cerai Karena Suami Mafqud ?

BAB ll

PEMBAHASAN
A. Cerai Gugat Karena Tekanan Ekonomi
Ekonomi berkaitan penghasilan yang didapatkan oleh suatu keluarga.
Keluarga dipandang sebagai unit yang mampu memberikan kepuasan lahir dan
batin sebagai pemenuh segala kebutuhan tiap anggota keluarga. Nafkah
(nafaqah) merupakan suatu kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk
materi. Nafqah menurut bahasa adalah keluar dan pergi. Nafqah menurut istilah
fiqih adalah pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh orang yang wajib memberi
nafkah kepada seseorang baik berbentuk makanan, pakaian, atau tempat tinggal
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan hidup. Pemberian
nafqah hukumnya wajib menurut Al-Qur’an dan sunnah.
Nafqah yang bersifat lahir, berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal
semuanya cara yang ma’ruf dan menurut kemampuan suami. Hal ini juga sesuai
dengan undang-undang perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) yang antara lain
menentukan dalam pasal 34 ayat (1) bahwa suami wajib melindungi istrinya an
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya. Adapun Al-Qur’an tentang kewajiban nafqah al-baqarah 233

‫َو َع َلى اْلَم ْو ُلوِد َلُه ِر ْز ُقُهَّن َوِك ْس َو ُتُهَّن ِباْلَم ْعُروِف اَل ُتَك َّلُف َنْفٌس ِإال ُو ْس َعَها اَل ُتَض اَّر‬

Yang artinya “dan kewajiban ayah member makan dan pakaian kepada para ibu
dengan ma’ruf, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya, janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya”.
Agama mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istrinya, oleh karena itu
adanya ikatan perkawinan yang sah seorang istri menjadi terikat semata-mata
kepada suaminya dan tertahan sebagai miliknya.1
Menurut fiqh bahwa kewajiban suami untuk membeikan nafkah kepada
keluarga (istri dan anak) merupakan saah satu sebab kepemilikan suami terhadap
otoritas kepemimpinan rumah tangga, sebagaimana diisyaratkan dalam Qs. Al-
Nisa ayat 34 :
‫ٱلِّر َج اُل َقَّٰو ُم وَن َع َلى ٱلِّنَس ٓاِء ِبَم ا َفَّض َل ٱُهَّلل َبْع َض ُهْم َع َلٰى َبْع ٍض َو ِبَم ٓا َأنَفُقوا‬ ۟

1
Slamet Abidin dan Aminnudin, Fikih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 164
Yang artinya “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh arena
itu Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari
ata mereka”
Ayat diatas mengandung makna bhwa Allah telah menciptakan laki-laki dengan
memiliki beberapa derajat kelebihan dibanding perempuan berupa fitrah fisik
dan kejiwaan yang menjadikannya siap untuk menjadi pemimpin keluarga dan
menjalankan berbagai urusan kehidupan yang ada dalam keluarga. Jumhur
ulama’ yang terdiri dari Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa
hakim boleh menetapkan putusnya perkawinan karena suami tidak memberi
nafkah kepada istri, baik karena memang tidak ada lagi nafkah itu atau suami
menolak member nafkah. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Ats-tsauri
berpendapat bahwa kedua suami istri tidak dipisahkan. Merekamengatakan
bahwa istri harus bersabar dan mengusahakan belanja atas tanggungan suami.2
Pemaknaan Istri Terhadap Cerai Talak Karena Alasan Tekanan Ekonomi
Istri memaknai keputusannya meminta cerai dari suami adalah sebagai berikut:
a. Ditelantarkan suami selama sekian lama merupakan bentuk perbuatan suami
yang tidak bertanggung jawab dan suami yang tidak menganggap istri
sebagaimana layaknya seorang istri.
b. Mengucapkan kata “cerai” dapat menyebabkan sulitnya mencari “sandang
pangan” atau memenuhi kebutuhan sehari-hari.
c. Suami yang malas bekerja atau tidak bekerja adalah tidak terhormat atau
kurang baik.
B. Cerai Gugat Karena Penganiayaan Suami

Perkawinan merupakan langkah awal bagi laki-laki maupun wanita


untuk membentuk sebuah keluarga. Terbentuknya keluarga bahagia, kekal,
mawaddah, dan warahmah adalah tujuan yang sebenarnya dari sebuah
perkawinan. Hal inilah yang menjadikan perkawinan sebagai sebuah perjanjian
sakral yang harus dijaga dan dipertahankan bagi setiap keluarga. Namun pada
2
Ibid, hlm:166
kenyataannya tidak semua perkawinan dapat mewujudkan tujuan dari
perkawinan itu sendri, bahkan perkawinan harus putus di tengah jalan. Hal ini
disebabkan karena banyak factor, diantaranya karena kekejaman atau
penganiayaan yang dilakukan oleh salah satu pihak baik itu dari suami maupun
dari istri dalam sebuah perkawinan. Tindakan dalam rumah tangga ini
disebabkan oleh beberapa factor seperti factor ekonomi, lingkungan, psikologi,
dan lain sebagainya.

Penganiayaan suami terhadap istri berupa kekerasan fisik bisa berupa


pukulan, tendangan, penganiayaan, atau perusakan pada anggota tubuh.
Sementara kekerasan psikologis dapat berupa, cemoohan, hinaan, ancaman, dan
segala hal yang menyakiti dan melukai persaan seseorang. Pada dasarnya
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tidak dibenarkan oleh norma-norma,
baik itu norma agama, norma hukum, ataupun norma susila. Sebab apapun yang
terjadi alasan dari timbulnya kekerasan dalam rumah tangga, sesungguhnya
hanya berdampak negatif dan menyebabkan trauma. Dalam Al-Qur’an telah
dijelaskan tentang tidak boleh melakukan kekerasan dalam surat

Mengenai hal ini ulama berbeda pendapat diantaranya : Imam Abu Hanifa,
Imam Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat bahwa istri tidak mempunyai hak
untuk meminta cerai. Tapi hakim mengancam suami dan melarangnya
menganiaya walaupun dengan menengahi antara keduanya, sampai suami tidak
lagi menganiaya. Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa istri
mempunyai hak untuk memilih apakah ia mau menetap terus bersama suami itu
dan merasa cukup dengan peringatan hakim terhadap suami, atau ia menuntut
cerai. Dalam hal kedua, kalau suami tidak mau menceraikannya, maka hakim
dapat menceraikannya.3

Di Indonesia masalah perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
3
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 191-192
Perkawinan ditentukan, bahwa baik suami maupun istri dapat mengajukan
perceraian berdasarkan alasan-alasan yang telah ditetapkan oleh Undang-
Undang tersebut, jika pemutus perceraian atas kehendak suami disebut dengan
cerai talak dan perceraian atas kehendak istri disebut cerai gugat.

Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan istri dalam gugatan perceraian


adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang
membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan. akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

C. Cerai Gugat Karena Suami Masuk Penjara


Dalam perkawinan masalah putusnya hubungan perkawinan, hal untuk bercerai
tidak tergantung kepada seorang laki-laki (suami), perempuan pun (isyeri) bisa
mengajukan gugatan perceraian apabila si istri sudah merasa tidak cocok dan
tidak tahan lagi dengan keadan suaminya, yang dikarenakan suami kasar,
pemabuk, pezina, pejudi dan sebagainya. Oleh karena itu perceraian bukan
hanya milik bagi kaum laki-laki saja melainkan perempuan (istri) bisa
menggugat cerai suaminya bila mana tidak ada kecocokan dari keduanya.
Gugat cerai terdiri dari lafazd Kha-la-a’ yang berasal dari bahasa Arab,
secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Dihubungkan
kata Khulu’ dengan perkawinan karena dalam Al-Qur’an disebutkan suami itu
sebagai pakaian bagi istrinya merupakan pakaian bagi suaminya.4
Para ahli fiqih selain mahzab Maliki tidak membolehkan pemisahan akibat
tertahannya suami, ditawannya suami atau ditangkapnya suami, karena tidak ada
dalil syara’ mengenai hal ini. Sedangkan menurut mahzab Maliki
memperbolehkan tuntutan pemisahan akibat kepergian (dalam hal ini termasuk
kepergian karena ditahan) yang berlangsung selama lebih dari satu tahun. Baik
dengan atau tanpa alasan. Jika masa penahanan berlangsung selama satu tahun
lebih, maka istri boleh meminta berpisah, dan hakim memisahkan keduanya
meski tanpa menuliskan surat atau tanpa memberikan peringatan kepada kepada
suami, perpisahan ini adalah talak ba’in.Menurut mahzab hanbali juga tidak
diperbolehkan, karena kepergian orang yang di penjara atau di tangkap sebagai
kepergian yang memiliki alasan.
Menurut Jumhur, tidak diperbolehkannya secara mutlak, walaupun
ditahannya dengan masa yang lama, baik sebab atau tempat dipenjara atau
ditahanya itu diketauhi atau tidak. Adapun menurut Hanafiyah dan Syafiyyah
suami yang ditahan tidak bisa disamakan dengan ga’ib dengan alasan jika
dipenjara dapat diketauhi keberadaan hidupnya. Sedangkan menurut Hanabilah
tidak dapat diqiyaskan dengan ga’ib karena suami yang dipenjara memiliki
alasan. Berbeda dengan pendapat lainnya, menurut Malikiyah apabila istri yang
meminta pisah dengan suaminya karena suaminya dipenjara diperbolehkan,
karena dikwatirkan dapat mengundang bahaya kepada sang istri, namun setelah
suami dipenjara selama satu tahun. Mereka mengatakan sesungguhnya dipenjara
sebagaimana ga’ib, perpisahan karena ga’ib baik dengan atau tanpa alasan tetap
diperbolehkan.5
Menurut Pasal 23 UU Perkawinan gugatan perceraian karena alasan salah
seorang dari suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

4
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Jakarta:Kencana,2006) h.231
5
Ibid, hal : 197
hukuman yang lebih berat, maka untuk mendapatkan putusan perceraian,
sebagai bukti penggugatan cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan
yang memutus perkara disertai keterangan yang mengatakan bahwa putusan itu
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,
Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut tidak tinggal dalam satu
rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat
atau tergugat, Pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan
anak.
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang barang
yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak
suami atau barangbarang yang menjadi hak isteri.
D. Cerai Gugat Karena Suami Mafqud
Al-maqfud dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna hilang. Dikatakan
faqadtu asy-syai’a idzaa adha’tuhu (saya kehilangan bila saya tidak mengetauhi
dimana sesuatu itu berada). Berkaitan dengan apa yang harus dilakukan seorang
istri dengan suami mafqud, terdapat beberapa perbedaan pendapat diantara
beberapa ulama mahzab.
1. Mahzab Hanafi dan Syafi’iy
Seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya hendaknya sabar dan
tidak boleh menuntut cerai, mereka berdalil bahwa asalnya pernikahan antara
kedua masih berlangsung hingga terdapat keterangan yang jelas, bahwa
suaminya meninggal atau telah menceraikannya, ini menurut mahzab hanafi
dan syafi’i. Mahzab hanifiah berpendapat bahwa orang yang hilang tidak
diketauhi rimbanya dapat dinyatakan sebagai orang yang sudah mati dengan
melihat orang yang sebaya di wilayahnya atau tempat tinggalnya. Apabila
orang-orang di tempat tinggalnya yang sebaya dengannya sudah tidak ada,
maka ia dapat diputus sebagai orang yang telah meninggal, dalam riwayat
lain dari Abu Hanafah, menyatakan bahwa batasnya adalah 90 (sembilan
puluh) tahun.
Selain itu mahzab syaf”i juga berpendapat bahwa batas waktu orang
hilang adalah 90 (sembilan puluh) tahun, yakni melihat umur dari orang yang
sebaya di wilayahnya. Pendapat yang paling shahih menurut anggapan Imam
Syafi’i ialah batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipatikan. Akan
tetapi cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian
divonisnya sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam syafi’i,
seorang Hakim hendaknya berjihad kemudian memvonis bahwa orang yang
hilang dan tidak diketauhi rimbanya sebagai orang sudah mati, sesudah
berlalunya waktu tertentu. 6
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam
mencari kejelasan status hukum bagi si Mafqudyaitu :
Pertama, berdarkan bukti-bukti yang otentik yang dibenarkan oleh syariat,
yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum. Misalnya, ada dua orang
yang adil da dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan
yang hilang telah meninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar
persaksian tersebut untuk memutuskan status kematian bagi si mafqud. Ia
ditetapkan seperti orang yang mati haqiqi.
Kedua berdasarkan kadaluawarsa. Dalam kondisi seperti ini, hakim
menghukuminya sebagai orang yang telah meninggal secara hukumi setelah
berlalunya waktu yang lama,,karena masih ada kemungkinan orang tersebut
masih hidup.7
2. Malikidan Imam Hambali
Seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya, dan merasa dirugikan
secara batin, maka dia berhak menuntut cerai, ini adalah menurut Imam
Hambali dan Maliki. Mahzab Hambali berpendapat bahwa yang menceraikan
anatara orang yang hilang dan istrinya adalah didasarkan pada menolak

6
Muhammad Ali Ash-Shabumi, 2013, Hukum Waris Dalam Islam, Jawa Barat :PT. Fathan Prima Media,
hal 177
7
Sayyid Sabiq, 2006, Fiqih Sunnah, Jilid 4, diterjemaahkan oleh Nor Hasanuddin dari “Fqh Al Sunnah”,
Jakarta: Pundi Aksara, hlm.87
kemelaratan terhadap istri yang suaminya sudah hilang dan meninggalkannya
dan berhadapan dengan kepahitan hidup sendirian, apabila istri itu masih
muda, tentu ia tidak dapat menjaga dirinya dari faktor-faktor yang berada di
sekelilingnya. Sedangkan menurut mahzab Maliki memiliki pendapat bahwa
batas seorang dinyatakan hilang atau mati adalah 70 (tujuh puluh) tahun. Hal
ini didasarkan secara umum yang menyatakan bahwa umur umat Muhammad
Saw, antara 60 (enam puluh) hingga 70 (tujuh puluh) tahun.
Mahzab Hambali juga berpendapat bahwa apabila yang hilang itu dalam
keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti terjadi peperangan atau
menjadi salah seorang menumpang kapal yang tenggelam maka hendaknya
dicari kejelasannya selama empat tahun. Apabila empat tahun juga belum
ditemukan maka hartanya boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian
juga dengan istri, ia dapat menempuh iddahnya dan ia boleh menikah lagi
setelah masa iddahnya selesai. Namun apabila hilangnya orang itu bukan
dalam kemungkinan meninggal sperti berniaga, melancong, atau untuk
menuntut ilmu maka Imam Ahmad dal hal ini memiliki pendapat.
Pertama, menunggu sampai diperkirakan umurnya mencapai 90 (sembilan
puluh) tahun sebab sebagian besar manusia umurnya tidak mencapai atau
tidak melebihi 90 (sembilan puluh) tahun.
Kedua, menyerahkan selurunya kepada ijtiad Hakim, kapan saja hakim
memvonisnya maka itu berlaku. 8
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 perkawinan dan
perceraian sudah diatur secara jelas mengenai dasar atau alasan perceraian.
Pada Pasal 38 Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, pasal 38 yang menyatakan bahwa : “Perkawinan dapat
putus karena a) kematian b) perceraian dan c) atas keputusan Pengadilan”.
Pasal 39 yang menyatakan bahwa : 1) Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2)Untuk melakukan

8
Muhammad Ali Ash-Shabuni,Op.Cit, hal 178
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami istri. Dalam kompilasi Hukum Islam pada
Pasal 114 yang berbunyi “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena
perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian”. Melakukan suatu perceraian sebagaimana halnya harus disertai
dengan alasan-alasan dapat diterima oleh penerima atau instansi Pengadilan
khususnya Pengadilan Agama, dimana telah diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam pada Pasal 116.9

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perceraian atau putusnya perkawinan adalah terputusnya ikatan perkawinan
antara seseorang pria dengan wanita, putusnya ikatan tersebut dapat di akibatkan
oleh salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan
wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara keduanya. Perceraian adalah
putusnya suatu ikatan perkawinan karena sebab tertentu dan sesuai dengan
aturan agama serta undang-undang perkawinan.
Sedangkan Nafkah menurut bahasa adalah keluar dan pergi. Menurut istilah ahli
fiqh adalah pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh orang yang wajib memberi
nafkah kepada seseorang baik berupa makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
masalah perceraian diatur dalam undang-undang Nomor 1 than 1974 tentang
9
Undang-Undang No. 1 thn 1974 tentang Perkawinan dan Perceraian
perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum
Islam.
B. Saran
Demikianlah isi makalah tentang Pendapat Serta Alasan Fuqaha Mengenai:
Cerai Gugat Karena Tekanan Ekonomi, Penganiayaan Suami, Cerai gugat
Karena Suami Masuk Penjara dan Cerai Gugat Karena Suami Mafqud. Dimana
menurut pemakalah telah disusun secara sistematis agar pembaca mudah
memahaminya. Dalam makalah ini banyak kekurangan dalam penulisannya.
Untuk itu diharapkan kepada pembaca bisa memberikan kritik dan saran yang
bersifat untuk membangun makalah ini.

Daftar Pustaka

Slamet Abidin dan Aminnudin, Fikih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010

Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta:Kencana,2006

Muhammad Ali Ash-Shabumi, Hukum Waris Dalam Islam, Jawa Barat :PT. Fathan
Prima Media, 2013

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, diterjemaahkan oleh Nor Hasanuddin dari “Fqh
Al Sunnah”, Jakarta: Pundi Aksara, 2006

Undang-Undang No. 1 thn 1974 tentang Perkawinan dan Perceraian

Anda mungkin juga menyukai