Anda di halaman 1dari 4

Hasil Wawancara Notaris Sepdiana Jaury

Sudah pernah menangani perjanjian kawin postnuptial.


Sudah

Apakah klien mengerti konsep perjanjian kawin itu?


Tahu. Rata-rata sudah tau. Intinya mereka datang ingin pisah harta. Mereka sudah tau arahnya
kemana.

Apakah mereka sudah tau konsekuensi hukumnya?


Kadang-kadang untuk konsekuensinya saya jelaskan ulang karena ada yang tahu tapi masih meraba-
raba.

Apakah ada yang setelah dijelaskan ingin membatalkan rencana membuat perjanjian kawin?
Tidak ada. Kalaupun mereka ragu-ragu, setelah dijelaskan dia tidak mundur.

Apakah mereka datang karena sudah ada masalah?


Selama ini antisipasi saja.

Apakah mereka datang berpasangan?


Ya. Datang berdua.

Apakah ada konflik pada pasangan tersebut?


Selama ini sejauh yang diliat tidak ada konflik. Mereka memang berencana

Apakah notaris boleh menggali motivasi?


Boleh saja. Supaya bisa dijelaskan resiko-resikonya apa.

Apakah notaris boleh memberikan advice?


Boleh. Tapi kita bertanya sambil melihat sikon. Tapi umumnya dijawab apapun pertanyaan dari
kami.

Adakah calon klien untuk membatalkan perjanjian kawin yang sudah dibuat?
Belum pernah saya menghadapi masalah seperti itu. Biasanya memang dari zaman saya magang,
tidak ada pembatalan. Karena orang yang pisah sudah merasa enak tidak perlu saling mengganggu
uang. Yang susahkan kalau memang hasil kerja sendiri giliran mau jual aset perlu tanda-tangan
berdua. Tapi kalau pisahkan, cukup siapa yang berurusan dia yang tanda-tangan.

Motivasi apa yang legal dibuatkan?


Susah melihat kalau motivasi. Paling dijelaskan ini yang terjadi kalau ada perjanjian kawin. Kalaupun
ada motivasi terselubung paling notaris hanya memberi pandangan tapi selebihnya keputusan klien.

Bolehkah notaris memberi advice untuk memisahkan harta?


Saya sendiri belum pernah memberikan advice seperti itu. Tapi umumnya kan bagaimana notaris itu
memberikan pandangan yang terbaik kepada klien. Walaupun dilematis. Umumnya kita melihat juga
kasus. Kalau memang ada potensi merugikan klien lebih dalam, maka kami usulkan pisah harta. Tapi
saya juga tidak pernah langsung menyarankan karena pernikahan kan harusnya suka duka bersama.
Tapi ada kondisi riilnya memang klien harus jalan sendiri, ya mau tidak mau pisah harta adalah
solusi.
Hasil Wawancara dengan Advokat Lusiana Palullungan

Bagaimana pendapat ibu tentang pelibatan agama dalam pengesahan perkawinan?


Soal pelibatan agama, saya tidak setuju. Kenapa? Agama itu kan hubungan manusia dengan Tuhan.
Nah di Indonesia, agama itu dilegalisasi. Bagaimana dengan agama yang belum diakui? Bagaimana
dengan pernikahannya? Padahal perkawinan itu pribadi sekali. Padahal dalam HAM yang tidak bisa
dibatasi adalah hak memilih kepercayaan dan memilih pasangan hidup. Makanya yang jadi
pertanyaannya kalau orang tidak beragama apakah tidak bisa mencatat agamanya? Padahal cinta itu
multidimensi dan tidak terbatas. Sementara dengan aturan-aturan itu kan jadinya membatasi. Itu
yang digugat oleh aktivis-aktivis ketika pernikahan itu dilakukan berdasarkan agama dan
kepercayaannya. Perkawinan itukan perikatan dua orang untuk hidup bersama, harusnya kan tidak
boleh ada intervensi agama yang penting konsensusnya. Implikasinya apa? Kalau pernikahan itu
adalah penyatuan seluruhnya, maka ini jadi persoalan sosial. Karena tidak selamanya orang
menyatu. Inikan bicara komitmen. Perjanjian hidup bersama. Kalau mereka sudah tidak berjanji lagi,
bagaimana? Harusnya agama tidak boleh menutup. Contoh, jika dalam rumah tangga ada KDRT
apakah korban harus bertahan karena alasan sudah dipersatukan Tuhan dan seterusnya kemudian
mengorbankan pilihannya untuk mengalami ketenangan hidup?

Ada opini yang berkembang bahwa agama Kristen hanya melihat kondisi ideal dari UU perkawinan.
Apa pendapat ibu?
Ya memang seperti karena dipengaruhi oleh konsep perkawinan dalam UU perkawinan yakni
membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, dan seterusnya. Kemudian semua melihat yang ideal
saja. Sehingga kalau ada masalah itu disebut pergumulan dan kemudian di sesuaikan dengan konsep
agama berdoa. Bagaimana kalau itu terjadi bertahun-tahun, apakah masih bisa disebut pergumulan.
Kalau negara menghendaki terbentuknya keluarga yang ideal, apa peran negara dan agama dalam
hal itu? Kalau kemudian negara dan agama hanya memberkati dan legalitas, maka tidak boleh
menuntut harus ideal karena agama dan negara tidak ada intervensi. Sekarang kalau seandainya ada
masalah KDRT apa peran gereja? Apakah mereka melayani? Apakah mereka menyediakan ruang-
ruang konseling? Kalau tidak ada intervensi, jangan menuntut keluarga yang ideal dan harmonis.
Kalau tetap begitu warga yang terbebani dengan konsep ideal akibatnya jika ada kekerasan, korban
menutup diri karena tidak boleh muncul percekcokan. Akibatnya kan panjang termasuk pada anak-
anak. Kalau dibiarkan saja artinya gereja berinvestasi pada kekerasan dimasa depan.

Menurut ibu, bagaimana kondisi rumah tangga Kristen sejauh yang pernah dialami?
Selama ini tidak semua keluarga Kristen yang tidak teredukasi tentang bentuk-bentuk kekerasan,
dimana harus mendapatkan pertolongan. Tidak semua keluarga kristen tahu ada UU KDRT. Kedua
karena gereja selalu membawa konsep ideal, maka korban sulit bicara apalagi kalau korban itu
aktivis gereja. Kalaupun dapat informasi, dia cari yang bisa membantu tapi tidak difasilitasi oleh
gereja. Bagaimana kalau korban ini miskin dan tidak terpelajar? Tidak ada yang membantu mereka
dan lebih bermasalah lagi.

Ada opini, karena konsep pernikahan tanpa cerai maka biasanya kalau ada masalah maka lama baru
muncul di permukaan bagaimana menurut ibu?
Benar. Saya punya banyak klien yang setelah berpuluh-puluh tahun mengalami kekerasan baru
berani bicara. Apa memang yang siklusnya pendek, tapi ada yang siklusnya panjang tergantung dari
jenis kekerasannya. Pengalaman saya, kalau Islam minimal 3 tahun baru berani bicara. Kalau Kristen,
paling cepat 10 tahun baru berani melapor. Mengapa bisa begitu? Karena banyak pengaruh salah
satunya pemahaman agama yang terakumulasi dengan masalah lainnya. Jadi kalau gereja sendiri
tidak punya media mengatasi hal itu, maka susah.

Dalam pengalaman ibu, apa saja yang menjadi pemicu masalah dalam rumah tangga?
Paling banyak itu perselingkuhan. Perselingkuhan itu diikuti oleh penelantaran karena sudah tidak
memberikan nafkah. Kalau KDRT biasa, tidak terlalu kuat karena hanya 1 tindakannya. Kalau
perselingkuhan itu akumulasi biasanya pemukulan, perselingkuhan, dan penelantaran terjadi
berbarengan. Makanya kalau soal pemisahan harta, harusnya memungkinkan dilakukan. Karena
pengalaman saya menangani kasus-kasus dimana kasus perceraian diikuti oleh penelantaran anak.
Bahkan ada kasus-kasus dimana harta bersama justru diambil bagi istri barunya. Jadi kepastian harta
bersama sebenarnya bukan hanya bagi istri tapi juga kelangsungan hidup bagi anak. Contoh kasus,
suami bercerai minta rumah bagi dua, sementara anak mereka ikut ibunya. Kemudian ibunya juga
tidak bekerja. Makanya menurut saya perjanjian kawin itu penekanannya itu bukan Cuma hak istri,
tetapi paling penting hak anak.
Kalau dalam UU kan disebutkan bahwa dalam perjanjian kawin itu harus memperhatikan pihak
ketiga termasuk anak. Jadi menurut saya, pembagian harta itu sebenarnya lebih pada kepastian
hukum pada hak istri dan anak pasca perceraian.

Perceraian kan ada 2, karena putusan pengadilan atau karena kematian. Biasanya hak-hak anak
dalam perceraian kematian. Tidak ada mekanisme yang mengatur sehingga seolah-oleh jika salah
satu meninggal, maka harta menjadi milik pihak lainya sehingga kemungkinan anak-anak menjadi
tidak terurus. Bagaimana menurut ibu?
Nah itulah yang harus masuk dalam klausul perjanjian perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai