Anda di halaman 1dari 3

Dispensasi Kawin,

Dua Mata Pisau Pencegahan Perkawinan Anak

Oleh : Martina Purna Nisa*


Belakangan aktivis perempuan mengkritisi meningkatnya angka pernikahan dini
di Indonesia yang bahkan menduduki peringkat dua di ASEAN. Menurut data Badan
Pusat Statistik, perkawinan anak berusia 17 tahun ke bawah paling tinggi ditemukan di
Kalimantan Selatan, yakni sebesar 27,82 persen. Tak ayal, pembahasan persoalan ini
gencar diketengahkan di berbagai segmen, tidak terkecuali dari sisi hukum dan
konstitusional. Dari jalur legislatif, spirit pernikahan anak di bawah umur tergambar
dengan dinaikkannya batas usia menikah dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan dari
16 tahun untuk anak perempuan menjadi 19 tahun, sama dengan batas usia menikah
bagi anak laki-laki. Mahkamah Agung pun dengan responsif mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No. 5 tahun 2019 sebagai pedoman dalam mengadili
permohonan dispensasi nikah.

Adanya “dispensasi nikah” yang kewenangannya diberikan kepada hakim


pengadilan agama menjadi dua mata pisau yang terkadang menjadi tantangan
tersendiri dalam pencegahan pernikahan dini. Sebagian aktivis menilai pemberian
dispensasi kawin bagi anak merupakan jalan mundur perjuangan melindungi anak dari
pernikahan dini. Sebagian lain menyudutkan hakim pengadilan agama yang dengan
mudahnya mengabulkan permohonan dispensasi nikah.

Tulisan ini adalah refleksi penulis sebagai salah seorang hakim pengadilan
agama yang turut mengadili permohonan dispensasi nikah. Tentu tulisan ini tidak lepas
dari subyektifisme penulisnya, namun paling tidak penulis mencoba mengupas problem
pernikahan dini dari sudut pandang penulis sebagai praktisi hukum. Tulisan ini sengaja
dibuat sederhana dan jauh dari kata-kata normatif, disasar untuk pembaca umum yang
pada akhirnya dipersilahkan menilai sendiri sejauh mana spirit pencegahan pernikahan
dini diupayakan, terutama di ruang sidang Pengadilan Agama.

Dimulai dari babak penasihatan, sebelum masuk pada substansi permohonan.


Disini proses “penggalian informasi” dimulai. Meraba-raba apakah sang Pemohon (ayah
dan ibu) si anak, berdiri di ruang sidang untuk kepentingannya sendiri atau benar-benar
untuk kepentingan sang anak. Beberapa terlihat awam, menunduk takut di depan hakim
tunggal yang telah bersertifikasi anak. Pandangan hakim menelisik dan mencari jawab,
wahai ibu, wahai bapak, jawab dengan jujur, pernikahan anak yang sampeyan ajukan
ini apakah jalan keluar terakhir?!

*
Hakim di Pengadilan Agama Banjarbaru
Tidak cukup disitu, tentu anak si Pemohon serta calon isteri/suaminya pun
dipanggil. Layaknya persidangan anak pada umumnya, sang Hakim tanpa toganya
berusaha menciptakan suasana ramah anak dan bahkan turun dari singgasana meja
hijau. Mendekati si anak yang belum cukup umur dan layaknya teman mencoba
menyentuh hatinya, mengingatkannya tentang cita, asyiknya sekolah dan rumitnya
sebuah pernikahan. Tak lupa juga mengisahkan sedikit hasil-hasil penelitian tentang
banyaknya calon ibu yang keguguran karena rahimnya belum siap. Mengisahkan juga
tentang potensi kdrt dari pernikahan dini. Sang anak terus menunduk, memilin ujung
jilbabnya, berulang kali mengatakan tidak ada paksaan, ini memang sudah pilihannya
karena dia dan calonnya sudah suka sama suka. Lirih ia juga berkata, tidak enak
dengan tetangga bu hakim. Karena calon saya sering antar jemput saya bahkan hingga
malam.

Belum lagi mendengar jawaban dari sang calon suami, jika terjadi apa-apa
dengan calon isteri saya (married by accident) apakah bu hakim yang tanggung jawab?
Kan pasti saya yang tanggung jawab bu! Sang hakim tentu sedikit tersentak dengan
jawaban itu, tapi tetap tak gentar menasihati.

“Pada akhirnya tanggung jawab kembali pada masing-masing, kedewasaan sikap dan
spiritual, kadang menjadi penentu arah hidup. Saya sebagai hakim juga punya
tanggung jawab saya sendiri, menasihati kalian, mengarahkan dan mengadili sesuai
prosedur.” Dan sang hakim masih setia dengan narasi-narasi yang meyakinkan sang
anak bahwa menikah tidak sesederhana yang mereka kira, apalagi di usia yang tak
seharusnya.

Masih mencoba meyakinkan anak mempertimbangkannya kembali. “Jika saat ini


kalian berani mengambil keputusan besar dalam hidup tanpa terpengaruh dengan
ucapan-ucapan masyarakat apapun itu, yakinlah, kamu akan bisa mengambil
keputusan-keputusan besar lainnya di masa depan dengan percaya diri. Masyarakat
akan terus dengan persepsi mereka, jalan apapun yang kalian tempuh, tapi jika kalian
komitmen bisa menjaga, berpegang teguh dengan syariat dan dewasa dalam bersikap,
tunggu delapan bulan lagi dan lakukan kegiatan positif, sungguh ini adalah prestasi
besar dan edukasi bagi tetangga tetangga kalian, ” (Dalam kasus ini sang anak sudah
berumur 18 tahun 4 bulan, cukup menunggu 8 bulan lagi untuk mencapai usia
pernikahan).

Namun tetap, si anak dan calon nya nampak kompak. Pihak keluarga pun hanya
sejenak terbuka hatinya. Bersikeras sudah menasihati tapi tak ada hasil, anak-anak
ngotot untuk segera menikah bu Hakim, kami tidak memaksa sedikitpun, tolong
dikabulkan, undangan sudah tersebar, tetangga sudah bicara macam-macam.
Belum lagi sebagian kasus lain, si anak sudah kebobolan. Duh gusti, para wakil
tuhan hanya bisa mengurut dada sambil tetap berpikir, nasihat yang seperti apa lagi
yang bisa menyentuh hati. Keputusan apa yang paling tepat dan benar-benar
berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak ini.

Dalam proses pemeriksaan alat bukti, sesuai pedoman, kami para hakim meneliti
ada tidaknya rekomendasi medis, ijazah pendidikan yang dicapai, serta penghasilan
calon imam. Tapi pada intinya semua terpulang pada banyak faktor. Masyarakat yang
teredukasi tentu diharapkan sepakat mendukung pencegahan pernikahan dini, di sisi
lain, ungkapan “takut zina” menjadi kata kunci agar hakim mengabulkan permohonan
pernikahan. Seolah jika zina terjadi itu adalah salah hakim yang tidak mengabulkan.
Ckckck, sekali lagi dipaksa mengelus dada. Dan ini hanyalah salah satu contoh maksud
ungkapan dua mata pisau yang diungkapkan di atas tadi.

Tapi tentu faktor kondisional setiap kasus berbeda-beda dan yang terpenting
pertimbangan hukum dalam penetapan hakim jangan dianggap proses yang main-main.
Beberapa permohonan dispensasi tentu harus ditolak jika kental faktor paksaan dan
tidak ada alasan mendesak. Hanya saja memang penafsiran “alasan mendesak” untuk
menikahkan anak di bawah umur belum bisa digeneralisir karena sarat faktor internal
dan eksternal yang memengaruhinya.

Pada akhir refleksi ini penulis mengajak kita semua di posisi apapun kita harus
memiliki spirit pencegahan pernikahan dini. Bahwa kesadaran masyarakat,
budaya,kebiasaan, agama tarik menarik dalam problem ini dan peran hakim saja tidak
cukup untuk mengendalikan laju pernikahan dini. Paling tidak, keseragaman prinsip
dalam mendukung pencegahan perkawinan anak untuk membangun nilai, norma dan
cara pandang yang mencegah perkawinan anak, akan menjadi faktor alami yang
mumpuni dalam menurunkan angka pernikahan dini di Indonesia. Semoga.

Anda mungkin juga menyukai