Anda di halaman 1dari 31

Ahmad Rifa’i Rif’an

Memilih
Teman Hidup
Selektif
Jangan sampai karena provokasi
dan semangat nikah yang sudah tak
terbendung, hingga membuat kita
menyerah dan akhirnya berkata,
“Jangankan untuk memilih, ada yang
mau aja sudah alhamdulillah.”

Jangan sampai berpikir seperti


itu. Lebih baik menunda sementara
waktu daripada tergesa-gesa
menikah dengan orang yang salah.

Prinsipnya, sebelum ada khitbah


(pinangan), Allah memberikan
kebebasan atau kemerdekaan penuh
bagi kita untuk menentukan pilihan.

Sebelum nikah, jangan


terlalu dalam
menjatuhkan cinta pada
seseorang, karena ada
satu alasan: dia belum
tentu jodohmu.

Urgensi Memilih Pasangan

Memilih pasangan hidup adalah


keputusan penting yang dapat
mempengaruhi banyak aspek dalam
kehidupan seseorang.
Apalagi pernikahan dalam islam
tidak hanya dalam rangka bersenang-
senang atau memenuhi kebutuhan
biologis belaka. Akan tetapi menjadi
jalan bagi hadirnya masyarakat kecil
yaitu rumah tangga yang menguatkan
semangat untuk beribadah kepada
Allah. Itulah mengapa harus selektif.

Ada beberapa alasan mengapa


selektif dalam memilih pasangan
hidup sangatlah penting.

Perjanjian Agung

Semua orang pastinya ingin


pernikahannya sekali seumur hidup.
Maka saat memilih seseorang sebagai
pendamping, sebenarnya kita sedang
memilih partner yang siap hidup
bersama seumur hidup.

Sebisa mungkin pasangan ini


adalah pilihan pertama dan terakhir
kita. Karena akad nikah adalah
perjanjian agung, yang sakral, gak
boleh dibuat coba-coba atau main-
main.

Pasangan hidup akan menjadi


teman dalam setiap aspek kehidupan.
Mulai dari membangun visi, pilihan
karier, pendidikan, mengatur
keuangan, mendidik anak-anak,
hingga menjalani sisa hidup bersama-
sama.

Jika kita memilih pasangan secara


selektif, kemungkinan besar kita akan
menemukan seseorang yang memiliki
nilai-nilai, tujuan, dan visi yang
sejalan dengan kita.

Ini akan memudahkan kolaborasi


dan kerja sama dalam menghadapi
segala tantangan yang ada.

Meminimalisir konflik

Konflik atau pertengkaran


hampir pasti ada dalam kehidupan
rumah tangga. Wajar saja, namanya
dua orang dengan perbedaan
karakter dan latar belakang tiba-tiba
disatukan saat mereka sudah dewasa.
Maka perbedaan pendapat itu
insyaAllah akan selalu ada. Yang tidak
wajar adalah saat semua perbedaan
itu tidak bisa dikomunikasikan atau
intensitas pertengkaran terjadi sering
sekali.

Memilih pasangan hidup yang


tepat berdampak besar terhadap
kesehatan mental dan psikologis kita.
Ketika kita berjumpa pasangan yang
tepat, maka kita akan memiliki
hubungan yang sehat dan saling
mendukung, kita cenderung lebih
bahagia, lebih termotivasi, dan lebih
kuat dalam menghadapi stres dan
tekanan hidup.

Sebaliknya, jika pasangannya tak


baik, akan menghasilkan hubungan
yang tidak sehat sehingga dapat
mengakibatkan stres, depresi, dan
bahkan masalah kesehatan fisik.
Inilah yang kemudian menjadi
sumber ketakutan bagi yang masih
sendiri sehingga mengira pernikahan
justru membuat hidup mereka
semakin tidak bahagia.

Demi Calon Anak

Memilih pasangan hidup berarti


memilihkan calon ayah atau ibu bagi
anak-anak kita. Jangan sampai kita
durhakai anak kita dengan
memilihkan ayah atau ibu yang salah
bagi mereka.
Maka selektif memilih pasangan
adalah sebagai sarana tanggung
jawab kepada calon anak kita. Ibu
yang durhaka kepada anak adalah
yang salah milih bapaknya. Ciri ortu
durhaka: milih pasangan dengan asal,
ngasih nama dengan asal,
menelantarkan anaknya (karena anak
adalah amanah), tidak mengajarkan
agama kepada anaknya.
Sebagaimana kisah seorang ayah
yang mengadukan anaknya yang
durhaka kepada Umar bin Khattab.
Saat sang anak dipanggil Umar
bertanya, "Anak muda, apakah kamu
tidak tahu kalau Allah
memerintahkan anak berbakti
kepada orang tuanya?"
Sang anak bertanya balik,
“Bukankah orang tua juga memiliki
kewajiban terhadap anaknya?"
Beliau menjawab, "Ya, tentu saja."
Anak itu pun bertanya lagi,
"Lantas, apa itu kewajiban orang tua
pada anaknya?"
Umar pun menjawab,
"Memilihkan ibu yang baik untuknya,
memberinya nama yang bagus, dan
mengajarkannya Al-Qur'an."
Mendengar jawaban itu sang anak
berkata. "Wahai Amirul Mukminin,
sungguh tak ada satu pun dari tiga itu
yang dilakukan oleh ayahku. Ibuku
adalah perempuan keturunan Majusi.
Ia menamaiku dengan buruk. Dan ia
tidak pernah mengajariku satu huruf
pun dari Al-Qur'an."
Tiga Saja Cukup

Saat memilih pasangan, tentu saja ada


beberapa hal yang perlu diperhatikan.

1. Seiman

Negeri kita mayoritas muslim.


Maka insyaAllah gak susah
mencari pasangan yang
seiman.

Sungguh terlalu banyak hal


yang harus dikorbankan
bahkan resikonya terlampau
tinggi jika kita nekad memilih
pasangan hidup yang berbeda
iman. Memilih yang seiman
akan sangat membantu
meminimalisir konflik yang
muncul karena perbedaan
keyakinan.

Pastikan Anda dan pasangan


memiliki fondasi moral dan
spiritual yang sama, yang
dapat menjadi landasan bagi
kehidupan yang harmonis. Dan
itu bisa dicapai hanya dengan
memilih pasangan yang
seiman.

2. Akhlak

Sebagaimana hadist
Rasulullah yang sangat
terkenal, “Seorang wanita
dinikahi karena empat hal:
harta, keturunan, kecantikan,
dan agamanya. Maka pilihlah
wanita yang agamanya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Mayoritas ulama’
mengungkapkan, yang
dimaksud ‘agamanya’ di hadist
tersebut adalah keimanan dan
akhlak yang baik.

Ya, hanya dua hal itu: iman


dan akhlak. Kalau dia seorang
muslim dan memiliki tanggung
jawab menjalankan aturan
dalam agama, maka insyaAllah
dia akan menjadi pasangan
yang mulia.

Lantas bagaimana cara


mengetahui akhlak seseorang?

Bisa kita lihat dari track


recordnya saat hidup bersosial.
Misalkan ia adalah teman dari
satu organisasi, kita bisa
melihat bagaimana ia
menjalankan tanggung
jawabnya, bagaimana saat
menghadapi konflik, dia
temperamental atau bisa tetap
bijak saat dalam tekanan.

Apakah dia bertanggung jawab


dengan tugas-tugasnya.
Apakah dia disiplin, apakah dia
menjaga shalatnya. Bagaimana
saat rapat dan diskusi, apakah
ia memaksakan pendapatnya
atau bersedia mendengar dan
menerima pendapat orang
lain.

Kita juga bisa mencari tahu


ketika orang tersebut sedang
membahas tentang keluarga
dan temannya. Sebab, biasanya
hubungan dia dengan orang
terdekatnya bisa menjadi
cerminan bagaimana dia
memperlakukan pasangannya
kelak.
3. Berilmu

Terutama ilmu agama. Kita


tentu ingin punya partner yang
memiliki semangat belajar
yang tinggi. Selain untuk
diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari, juga lebih mudah
mengajarkan kepada anak-
anak kita.

Maka agar rumah tangga


berjalan sesuai tuntunan
syariat, ada beragam ilmu yang
hendaknya dipelajari. Ada ilmu
tentang pelaksanaan nazhar,
khitbah, hingga akad nikah.
Ada ilmu tentang pelaksanaan
walimah. Ada ilmu tentang
berkomunikasi yang makruf
dengan pasangan. Ada ilmu
penataan keuangan yang baik.
Ada ilmu mengasuh dan
merawat buah hati.

Maka beruntunglah jika Anda


dipertemukan dengan
seseorang yang memiliki
semangat belajar yang tinggi,
yang gemar hadir di majelis
ilmu, yang rajin ikut seminar
dan pelatihan skill apapun
yang bermanfaat.

Apalagi jika ada calon


pasangan yang sebelum
menikah ternyata sudah
memiliki kesiapan dalam ilmu
parenting. Karena belajar
parenting bukan dimulai saat
anak lahir. Agar tidak
menjadikan anak pertama
sebagai kelinci percobaan.
Sehingga tidak asal-asalan
dalam menerapkan pola asuh.

Orang yang belajar parenting


juga akan memiliki standar
ilmu yang baik, sehingga saat
dikaruniai keturunan, ia tidak
sekadar ikut-ikutan, karena
sudah tahu ilmunya. Sehingga
tidak mudah tergoda dengan
metode lain yang tidak
terbukti secara sains maupun
agama.

Apalagi ilmu parenting tidak


bisa dikuasai instan. Ada
proses latihan yang tak ringan.
Apalagi menjadi ayah dan ibu,
untuk mempersiapkan mental
dan emosional itu butuh waktu
dan latihan. Gak instan.

4. Mapan

Boleh gak memilih pasangan


yang good rekening? Boleh
saja. Itu sangat realistis. Sebab
cinta memang butuh biaya.
Untuk walimah, mahar,
menafkahi anak istri, serta
untuk bekal ibadah.
Tak wajib punya penghasilan
tetap. Yang penting, tetap
punya penghasilan.

Gak harus yang karirnya sudah


mapan. Minimal punya
keseriusan dan rasa tanggung
jawab untuk menafkahi.

Gimana kita tahunya? Biasanya


dibuktikan dengan
kemandirian. Dia tidak
menjadi beban bagi orang lain.

Boleh juga memastikan di


awal, dia punya tanggungan
hutang atau tidak. Rumahnya
KPR atau cash. Jangan
canggung dan merasa ini
adalah hal yang tabu. Semua
itu bisa disampaikan saat
nazhar.

Karena ada banyak pasangan


yang menyembunyikan hal
tersebut sebelum nikah,
sehingga usai menikah, sang
pasangan merasa terjebak dan
terpaksa menerima berbagai
konsekuensi yang tidak
diketahuinya sebelum nikah.

Daripada menjadi bom waktu,


baiknya diantisipasi sebelum
nikah. Agar saat menikah,
tidak ada perasaan kecewa dan
dibohongi.
5. Dari keluarga baik-baik

Islam menyarankan konsep


sekufu, setara, sederajat, atau
sepadan. Keluarga pasangan
yang tidak memiliki perbedaan
terlalu jauh, baik tingkat
ekonomi maupun pendidikan,
bisa menjadi salah satu cara
untuk meminimalisir problem
akibat adanya gap atau shock
culture.

Bahkan terang-terangan Ibnu


Hajar pernah mengungkapkan
bahwa laki-laki yang baik
nasabnya hendaknya juga
memilih seorang perempuan
yang baik nasabnya pula.
Seorang laki-laki bangsawan
dianjurkan menikahi wanita
bangsawan juga.

Namun beliau tetap memberi


catatan: apabila wanita
bangsawan itu tidak baik
agamanya, maka pilih wanita
biasa yang baik agamanya,
sebab agama yang baik harus
didahulukan dari semua
kriteria yang lain.

6. Cakep

Wajar jika kita memilih yang


good looking atau enak
dipandang. Sebab manusia
selalu cenderung kepada
keindahan. Namun memilih
yang fisiknya menarik ini
diperbolehkan, tetapi jangan
jadikan prioritas utama.

Apalagi selera tiap orang


berbeda. Kecantikan atau
ketampanan seringkali relatif.
Ada yang kecantikannya
disepakati oleh banyak orang,
tetapi ada pula yang
kecantikannya hanya
disepakati oleh beberapa
orang saja.

Yang beruntung adalah jika


good looking-nya pasangan
kita hanya disepakati oleh
diri kita sendiri. Artinya,
terserah orang menilai
pasangan kita cakep atau
gak, yang penting bagi kita,
dia sangat nyaman
dipandang.

Bahkan ini pula yang


dianjurkan sebagian ulama
mazhab Syafii, bahwa kalau
bisa, calon pasangan itu tidak
terlalu cantik atau tidak terlalu
tampan. Sebab hal itu bisa jadi
malah menjadi beban, selalu
menjadi pembicaraan, selalu di
lihat-lihat pada saat lewat, dan
bisa jadi ada yang berusaha
merebutnya.
7. Mau dengan kita

Tentu saja ini yang paling


penting.

Apakah orang itu mau


menikah dengan kita atau gak.

Jadi kalau disimpulkan, jika


semua kriteria itu berkumpul
dalam 1 individu, masyaAllah,
betapa beruntung Anda.
Namun jika tidak, cukupkan
rasa syukur kita pada 3
kriteria utama:

1. Seiman
2. Akhlaknya baik
3. Mau dengan kita

Wallahu a’lam..

Semoga bermanfaat.
Curhat
Banyak yang nanya, “Mas Rifai
menerima curhat tentang
jodoh gak?”

Boleh, silakan sampaikan


melalui DM akun IG saya di
@ahmadrifairifan.

InsyaAllah setiap luang saya


akan menjawab DM yang
masuk.

Karena saya justru dapat


banyak ide menulis dari
curhatan teman-teman.
Misal pertanyaan, “Jodoh itu
takdir atau pilihan?” “Boleh
gak menjalin komitmen
dengan seseorang, tapi tanpa
pacaran?” “Apakah benar
introvert itu jodohnya adalah
teman lamanya?” Dan
pertanyaan-pertanyaan seru
lainnya.

Jangan Menikah sebelum


Selesai dengan Diri

Tentang jodoh dan


pernikahan, bulan lalu baru
saja terbit buku terbaru saya
berjudul “Jangan Menikah
sebelum Selesai dengan Diri
Sendiri.”
Buku itu bisa didapat di
Gramedia se-Indonesia. Untuk
edisi bertanda tangan dan
request pesan, bisa Anda
dapatkan melalui

WA: 0857-8593-6984

Shopee: tokomarsua

Atau link berikut:

https://shp.ee/tfl6nrq

Semoga membantu.

Anda mungkin juga menyukai