The consolation of philosophy adalah suatu buku yang ditulis oleh Boethius yang menceritakan masa-masanya ada dalam penjara. Masa-masa di penjara dipandang sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dan menyakitkan hatinya. Akan tetapi, dalam masa- masa seperti ini pula, ia mendapatkan seorang “penghibur” yang ia disebutnya sebagai filsafat. Sampai saat ini, tidak diketahui pasti siapa dan seperti apa “filsafat” itu, namun banyak yang menggambarkan bahwa filsafat ini mempunyai rupa seorang gadis. Konon gadis ini memberikan “penyembuhan” sekaligus penghiburan serta kebijaksanaan kepada Boethius. Banyak percakapan yang dilakukan antara Boethius dan filsafat ini. Di antara sekian banyak itu, salah satu teks yang ditulis adalah teks ini. Teks ini sendiri adalah teks yang terdapat dalam buku pertama dari lima buku yang ia tuliskan. Dalam teks ini diceritakan bahwa “gadis” menanyakan kepada Boethius mengenai asal muasal dari alam semesta dan segala isinya. Selain itu boethius juga ditanya apakah mungkin segala sesuatu ini tercipta secara acak atau hanya kebetulan belaka. Boethius tidak menjawab pertanyaan itu dengan jawaban ya atau tidak. Dia menjawab bahwa segala sesuatu bisa saja tercipta secara teratur atau juga memang Tuhan sebagai pendiri alam semesta telah mengabaikan perkejaannya. Setelah dilontarkan pertanyaan itu, Boethius kembali dilontarkan pertanyaan. Ia ditanyai apa awal dan akhir segala sesuatu. Boethius mengaku bahwa ia tidak bisa menjawab pertanyan itu karena kesedihan yang sedang melandanya. Si Gadis itu pun akhirnya kembali bertanya apa yang menjadi sumber kesedihannya? Ia menjawab bahwa sumber kesedihannya adalah Tuhan. Namun si Boethius tetap tidak mengetahui akhir dari kesedihannya itu. Si Filsafat pun bertanya lagi, apakah boethius ingat jika dia adalah laki-laki. Pertanyaan ini yang mengantarkan kepada kesimpulan penyakit Boethius yakni Boethius lupa akan identitasnya. Hal ini dialami karena Boethius telah mengalami kedukaan yang besar seperti, kehilangan harta benda karena dirampok. Hal ini membuat Boethius berpikir bahwa alam semesta ini tidak ada yang memandu jadi seolah-olah nasib manusia juga dilemparkan begitu saja secara acak. Si Filsafat pun memberikan sebuah semangat bahwa dalam kesulitan apapun lihatlah kebenaran, pilih jalan yang lurus, lepaskan semua beban dan rantai yang mengikat jiwa. II. Makna Filosofis Makna filosofis yang bisa saya ambil sebagai suatu nilai kebijaksanaan adalah, jangan sampai lupa bahwa segala sesuatu memiliki awal dan akhir yang bersumber pada sang penguasa sendiri yakni Tuhan. Boethius yang mengalami kesedihan tidak menyadari hal ini. Bahkan ia disebut sampai melupakan dirinya sendiri. Menurut saya inilah gambaran jiwa yang tersakiti. Jiwa yang ditekan oleh kesedihan dan kesengsaraan yang mendalam. Jiwa yang tanpa arah dan tidak memiliki tujuan akhir. Jiwa yang bahkan tidak mengenali dirinya sendiri. Plato memang pernah mengatakan bahwa tubuh adalah penjara bagi jiwa. Akan tetapi, apa yang dialami Boethius seolah lebih berat dari itu. Boethius seolah menganggap bahwa hidupnya tidak berguna dan berputar seperti itu saja tanpa sang penguasa yang mengatur segalanya menjadi teratur. Hidup yang dipenuhi dengan kesedihan inilah yang membuat seseorang seolah sudah mati. Sudah lupa akan segalanya. Maka dari itu, seharusnya manusia dapat melihat kebenaran meskipun jalan yang dilalui sulit. Seharusnya manusia tetap percaya pada adanya sang penguasa yang mengatur alam semesta ini. Manusia percaya bahwa segalanya telah diatur dan berjalan sesuai dengan keteraturannya. Kesadaran ini akan membawa manusia untuk sungguh memaknai hidup sebagai hidup yang patut dijalani. Kesedihan yang mendalam jangan membuat manusia terkungkung dalam kesedihan itu. kesedihan yang berlarut sangat berbahaya bagi jiwa. Jiwa yang terkurung dalam kesedihan dan penderitaan kerapkali membuat mereka lupa akan semua hal di sekitar mereka termasuk diri mereka. Diperlukan kesadaran diri untuk senantiasa ingat bahwa Tuhan akan selalu mendampingi.