Anda di halaman 1dari 22

HIDUP ITU INDAH, YA KAN?

SALAH SENDIRI,
KAMU SIIIH MASIH SENDIRIAN AJAHH
Prodi Filsafat dan Teologi Institut Sosial Humaniora
Tiang Bendera ITB

MasChoi
17-09-2017

ABSURDISME
Ituloh Camus, masak kamu gak tahu

0
Daftar Isi
Pendahuluan................................................................................................................................ 2
Landasan Teori ............................................................................................................................. 4
Biografi ........................................................................................................................................ 6
Absurdisme Camus dalam Sampar (L’Peste) ................................................................................... 9
Absurditas dan Ketidakbermaknaan dalam Mitos Sisipus (le Mythe de Sysiphe) dan Orang Asing
(l’Etranger)................................................................................................................................. 11
Pemberontakan Metafisis ........................................................................................................... 17
Semoga Terakhir......................................................................................................................... 19

Daftar Gambar
Gambar 1 Barudaks Perancis Kala itu ........................................................................................... 10
Gambar 2 Sisipus Mengangkat Batu Sebelum Membeli Pisang Ke Pasar......................................... 12
Gambar 3 Kecelakaan Mobil ........................................................................................................ 12
Gambar 4 L’Etranger ................................................................................................................... 13
Gambar 5 Camus Merenung........................................................................................................ 18

1
“… Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah
untuk memecahkan persoalan, tetapi tidak tepat mengena inti
permasalahan, maka juga tidak efektif sebagai jalan keluar…”
~ Nietzsche

“…Penderitaan di dalam hidup ini semakin tidak dapat dipahami,


jika yang menderita adalah anak-anak kecil yang tak bersalah…”
~ Dostoyevsky

“…Hanya ada satu masalah filosofis yang benar-benar serius,


dan itu adalah bunuh diri. Menilai apakah layak hidup atau
tidak jumlah untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang
filsafat hidup…”

~ Camus

Pendahuluan

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi muda, dan yang tersial
adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Berbahagialah mereka yang mati muda.1

Kutipan diatas pasti sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Film Gie sudah sering
diagungkan untuk mewakili kegalauan masa muda yang ingin mengubah dunia layaknya
Madara Uciha. Kecemasan akan kehidupan entah datang darimana saja diamini sebagai bahan-
bahan untuk lebih mensubtilkan tiap pengalaman sang individu. Hidup ini memang penuh
dengan penderitaan. Terkadang, kesulitan datang bertubi-bubi, tanpa memberikan satu ruang
untuk bernafas barang seteguk pun. Kesulitan yang satu belum selesai, kesulitan yang lain
sudah datang menghadang. Kebahagiaan dan kesenangan pun datang hanya disela-sela deretan
kesulitan tersebut. Sebagai bahan pelepas dahaga sahaja.

1Ini adalah kutipan yang tidak setia sekaligus bernada triumvalis dari adegan yang diperankan oleh Midas ketika
bertanya kepada kepada Silenus nasib manakah yang terbaik bagi manusia; maka Silneus menjawab: “hai bangsa
malang, anak-anak bencana dan duka, mengapa aku mengucapkan sesuatu yang sebaiknya dipendam dan tak
dikatakan? Yang terbaik berada diluar jangkauan, tidak dilahirkan, menjadi tiada. Nomor dua adalah mati muda.
Nietzche (the birth of tragedy sebagaimana dikutip dalam will Durant, the story of philosophy, the lives and
opinion of the great philosopher, the pocket library, 1995, hal. 407)

2
Hidup ini absurd. Hidup ini sia-sia. Yang ada hanyalah penderitaan dan kekecewaan
terus menerus. Kesenangan hanyalah bagian kecil dari hidup. Atau bagian dari sempila n
akumulasi penderitaan. Bagi sebagian orang, tawa dan kebahagiaan itu amatlah mahal,
sehingga hampir tak terbeli lagi. Apakah hidup ini absurd? Apakah hidup ini bermakna?
Apakah hidup ini layak dijalani? Jika ya, mengapa kekecewaan, penderitaan, kesepian, serta
masalah selalu merongrong sebagian besar hidup kita? Jika tidak, mengapa kita tidak bunuh
diri saja? Toh hidup ini tidaklah bermakna. Hidup ini kan absurd. Pertanyaan-pertanyaa n
seperti itu memang khas pertanyaan orang yang sedang dilanda penderitaan berat, seperti
kehilangan orang tercinta, kehilangan harta benda, gagal dalam cita-cita, patah hati, dikhiana ti
oleh teman, dan sebagainya. Akan tetapi, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sangat
mendasar, baik bagi orang yang sedang dilanda penderitaan berat, ataupun yang sedang
berbahagia.

Bagi anak-anak kecil yang menjadi korban bencana, kejahatan apakah yang telah
mereka perbuat, sehingga mereka juga harus menjadi korban? Penderitaan di dalam hidup ini
semakin tidak dapat dipahami, jika yang menderita adalah anak-anak kecil yang tak bersalah.
Kematian jugalah menjadi salah satu tanda keabsurditasan hidup, jika orang tidak mampu
menerima kehadiran Tuhan. Menjelang kematian, setiap orang bertemu dengan kenyataan yang
tidak dinginkannya.

Kematian mungkin merupakan kunci terakhir untuk menilai makna kehidupan ini. Jika
kehidupan ini sungguh bermakna, mengapa ada kematian yang tiba-tiba datang dan
menghancurkan semua hal yang sudah dibangun manusia di dalam hidupnya? Apakah manusia
harus menyerah begitu saja ditelan oleh kematian, dan mengakhiri hidupnya yang sudah
dibangunnya sekian lama? Pertanyaan seperti itu tidaklah boleh dijawab dengan menyatakan
bahwa ada kehidupan setelah kematian. Itu ciri dari cara menjawab orang religius, yang
menunjukkan kelemahan dan kemalasan berpikir. Di samping itu, jawaban seperti itu tidak
mempunyai dasar logis yang kuat, tetapi hanya merupakan ungkapan optimisme emosiona l
belaka.

Bukan kematian benar menusuk kalbu


Keridaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
3
Apakah benar kematian menusuk kalbu? Puisi diatas dapat jadi santapan untuk
mengawali diskusi kita kali ini. Memang Choirul anwar menuliskan baris-baris puisi diatas
untuk seoarang nenek tua yang meninggal. Begitulah sebab memang bukan kematian yang
menusuk kalbu. Tapi kenyataan, bahwa yang mati hanya pasrah, dan maut datang sebagai
manifestasi kekuasaan. Jangan salah paham. Sekelompok orang bisa mengirimkan algojo atas
nama Tuhan.

Terasa pendeknya hidup memandang tapi terasa panjangnya karena derita/ maut, tempat
pemberhentian terakhir/ nikmat datangnya dan selalu diberi salam.

Atau kita bisa tinjau cerita Xerxes ketika memandang tentaranya yang beratus ribu, ia
sekonyong menjadi murung kemudian. Lalu ia berkata “10 tahun lagi takkan ada yang begini
banyak masih hadir di atas dunia”. Dan pamannya kemudian berkata “hidup itu sangat pendek,
hanya puluhan tahun, tapi karena hidup adalah penderitaan, terasa lama sekali”. Begitula h
menurut Heredotus. Ya, memang sangat pesimis dan murung. Ya, dan apa yang kita lakukan
sebagai manusia?

Landasan Teori

Pertanyaan tentang apa dan siapa manusia adalah pertanyaan yang kadang menggelitik,
namun sulit ditemukan jawaban yang rigid dan sekaligus univok. Pertanyaan itu menggelitik
bagi orang-orang yang merasa tidak perlu bertanya tentang dirinya sendiri karena dalam
kesehariannya, ia lebih memahami dirinya dengan penghayatannya sendiri. Oleh karena
penghayatan itulah, maka ketika kemanusiaannya dideskripsikan tidak ada lagi hal yang dapat
dihayati, karena telah ada proses pengambilan jarak dari diri sendiri. Bagaimana cara
mengambil jarak dari diri sendiri adalah proses yang menggelitik bagi mereka. Namun, tidak
sedikit orang yang mencoba berjarak dari dirinya sendiri dan berupaya mendeskrips ika n
hakekatnya sebagai manusia dan hubungannya dengan semua hal yang melingkupinya.

Manusia belum mengetahui seperti apakah dia itu, namun melalui alienasi dari dirinya
sendiri ia dapat mengetahui apa yang pasti bukan merupakan dirinya dan karenanya ia tidak
mau berada dalam kepalsuan. Deskripsi dari Ernst Bloch tersebut membuat kita mengira-ngira
tentang definisi pra-ada tentang kemanusiaan kita. Manusia adalah makhluk historis (bukan
sejarawan). Pertanyaan-pertanyaan klasik mungkin dapat lebih menguatkan tentang
kehampaan manusia terlebih manusia modern seperti sekarang ini. Siapakah yang dinamakan

4
manusia itu? Apakah adikku masuk neraka karena ia mati sebelum di khitan? Dimanaka h
polisi, ketika petrus menghukum Ananias dan Shaffirah hingga mati? Untuk apakah babi-babi
itu dinegeri yang melarang orang memakan babi? Mengapa yang tidak ada bukan merupakan
obyek filsafat? Seperti apakah waktu itu? Dan pastinya masih banyak pertanyaan-pertanyaa n
yang tidak mewajibkan adanya jawaban dalam benak sang manusia. Hakekat manusia sendiri
adalah suatu sejarah. Apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia
adalah suatu rangkaian anthropological constant 2 dan bukan suatu definisi pra-ada tentang
hakekat manusia. Antrhtopological constant ini adalah dorongan-dorongan dan orientasi tetap
manusia. Alexis Carrel (seorang peletak dasar-dasar humaniora di dunia bagian Barat),
misalnya, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat
keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian
tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.

Terkait dengan hal diatas, dalam setiap masyarakat kita menemukan suatu sistem
makna yang membuat keterbatasan, ketidaktetapan, penderitaan, kegagalan, kematian dan
berbagai pengalaman yang kontradiktoris menjadi berarti. Pendekatan empirisme3 Rene
Desrcrates sampai era positivisme4 August Comte tidak bisa menjawab makna-makna yang
memuaskan, terlebih ada yang dekaden dengan mengalihkan pemaknaan dengan memakai
chiffer-chiffer5 (simbol) untuk memaknai hal yang lampau. Sistem makna seharusnya

2 Sastraprateja, menambahkan bahwa ada enam anthropological constants yang dapat ditarik dari pengalaman
sejarah umat manusia, yaitu: (1) Relasi manusia dengan kejasmania n, alam dan lingkungan ekologis (2)
Ketertiban dengan sesama (3) Keterikatan dengan struktur sosial dan institusional (4) Ketergantungan
masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat (5) Hubungan timbal balik antara teori dan praktek (6)
Kesadaran religius dan para pemeluk agama. Keenam anthropological constants ini merupakan satu sitensis
dan masing-masing saling berpengaruh satu dengan lainnya

3 Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari
pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan
dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume,
George Berkeley dan John Locke.

4 Positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham
positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena
masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan -aturan, demikian juga alam. Secara
terminologis positivisme berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenaran”-nya
bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar -benar terjadi. Segala hal di luar itu, sama sekali tidak
dikaji dalam positivisme

5 Chiffer adalah simbol, bayang-bayang, gema dari transendensi. Sehingga, chiffer merupakan tanda rahasia
yang ditulis oleh keilahian dan mula -mula masih tanpa arti. Arti chiffer harus dicari oleh manusia sendiri. Yang
mempopulerkan istilah ini layaknya Karl Jaspers dalam bukunya Philosophische I-II-III

5
mengajarkan bagaimana orang harus mengalami kehidupan ini dan memberikan konteks
eksistensinya. Sistem makna mewujudkan pandangan yang menyeluruh yang bersifat religius
atau non-religius. Sistem makna ini mengungkapkan macam kemanusiaan yang dipilih, dan
menjelaskan bagaimana kehidupan ini bermakna.

Seperti halnya Nietzsche, Camus berpendapat bahwa dunia ini tak bermakna. Dunia
merupakan tempat dimana kematian, keterasingan, kesepian berkuasa. Apakah yang
transenden merupakan jawaban? Camus sependapat dengan Nietzsche bahwa manusia harus
menemukan jalan pemecahannya sendiri. Jalan yang dipakai camus bukan menjadi
Übermensch6 (adimanusia) seperti Zarathrustra-nya Nietszche, akan tetapi berupa
pemberontakan (rebellion), mungkin ini hanya sebagai alternatif buat represifnya keadaan
manusia modern.

Camus mengagumi tindakan “Gott ist tot” (Tuhan telah mati) seperti terdapat dalam
bukunya Nietszche, Die fröhliche Wissenschaft dan Also sprach Zarathustra, tindakan tersebut
bermoral agar manusia setia pada tempat tinggalnya sendiri. Tidak ada kuasa yang paling tinggi
kecuali manusia itu sendiri. Bagi Camus, mencari jawaban pada yang transenden atas
persoalan-persoalan duniwai ini adalah tindakan pemalas yang mau mencari gampangnya saja.
Kepercayaan akan hal transenden adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan
persoalan, tetapi kurang mengena.

Biografi
Lahir pada tanggal 7 November 1913 di Drean (selanjutnya dikenal dengan nama
Mondovi), di Algeria Prancis, Albert Camus merupakan salah seorang penulis besar dunia
sastra Barat modern. Lahir dari ibu berdarah Spanyol dan ayah Perancis, Camus kecil tidak
banyak merasakan kasih sayang orang tuanya karena sang ayah meninggal pada 1914 dalam
Perang Marne saat Perang Dunia Pertama. Camus yang sejak kecil telah sangat akrab dengan
kekurangan dan kemiskinan ini akhirnya diterima masuk perguruan tinggi Algiers dan bahkan
menjadi anggota dari tim sepakbola di kampusnya. Sayang, penyakit tuberkulos is
menghentikan karirnya di dunia olahraga, dan Camus remaja terpaksa mencari uang dengan

6 Übermensch diungkapkan dengan tafsir manusia unggul. Menurut Nietzche, tujuan hidup manusia mencapai
manusia unggul. Manusia unggul adalah kehendak berkuasa yang dijadikan semangat untuk motif -motif
mengatasi masalah diri. Übermensch adalah cara manusia untuk memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa
berpaling dari dunia dan menengok ‘keseberang dunia’. Maka manusia harus siap menghadapi kehidupannya,
apapun bentuknya dan tidak pernah gentar

6
bekerja serabutan semasa sekolah dengan menjadi tutor privat, pegawai bengkel, dan asisten
di Institut Meteorologi.

Setelah membanting semua tulang yang terdapat di tubuhnya, Camus menyelesa ika n
studi filosofi dan memperoleh gelar sarjananya pada 1935. Dan setahun kemudian,tepatnya
Mei 1936, Albert Camus memperoleh gelar akademik setara master untuk presentasi thesisnya,
Neo-Platonisme et Pensee Chretienne. Selama tahun-tahun kuliahnya, Camus menjadi
pendukung partai Komunis Prancis karena ia melihatnya sebagai kesempatan untuk
memperjuangkan kesetaraan antara warga Eropa dan warga asli Algeria.

Namun pada 1937, Camus dikeluarkan dari partai tersebut karena terlibat dalam
Algerian People’s Party. Sekitar satu dekade kemudian, tepatnya pada 1948, Camus mulai
berkenalan dengan ajaran dan ideologi anarkisme melalui Andre Prudhommeaux dan
partainya, Ikatan Pelajar Anarki. Keterlibatan Camus dalam ajaran dan ideologi anarkis
semakin dalam ketika ia mulai terang-terangan menunjukkan dukungannya atas pergolakan di
Jerman Timur pada 1953 melalui berbagi artikel, tulisan lepas dan berbagai opini publik yang
ditulisnya dalam berbagai surat kabar seperti Le Libertaire, La Revolution Proletarienne, dan
Solidaridad Obrera.

Albert Camus menikah dengan Simone Hie, seorang pecandu morfin. Pernikahan
pertamanya ini kandas setelah keduanya tidak bisa saling setia. Pada tahun yang sama ketika
Camus menyelesaikan pendidikan formal setingkat sarjana, ia mendirikan Theatre du Travail,
dan mengubah namanya menjadi Theatre de l’Equipe dua tahun berikutnya (pada 1937).
Camus juga aktif menulis untuk berbagai surat kabar lokal seperti Alger-Republicain di periode
1937-1939 dan di Soir-Republicain di 1939-1940. Pada 1940, Camus menikah kembali dengan
Francine Faure, seorang pianis dan ahli matematika.

Meski pernikahan ini didasari cinta Camus yang besar kepad Francine, namun Camus
tidak menganggap pernikahan sebagai sebuah ikatan yang sah. Berdasarkan pendapat ini,
Camus melanjutkan petualangan cinta gelapnya dengan banyak wanita lain, termasuk salah
seorang artis terkenal masa itu, Maria Casares. Dan gaya hidup Camus terus berlanjut hingga
istrinya melahirkan buah hati kembar mereka, Jean dan Catherine pada 5 september 1945.

Di awal Perang Dunia Kedua, Camus memilih untuk tidak berpihak, alias netral, kepada
negara manapun. Namun eksekusi yang dilakukan pemerintah Jerman terhadap Gabriel Perri
mengubah pandangan Camus dan menguatkan tekatnya menjadi anti Jerman. Pada 1945, atau

7
pada masa akhir Perang Dunia II, Camus menyelesaikan dua buku pertama dan yang kelak
mengabadikan namanya di dunia sastra modern barat, The Stranger dan The Myth of Sisyphus.

Pada 1944, Camus bekerja untuk Koran Prancis Combat dan mundur tiga tahun
berselang, tepatnya pada 1947. Camus termasuk salah satu jurnalis pertama yang secara
langsung menunjukkan kemarahannya atas peristiwa penjatuhan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki. Kedekatannya dengan filsuf dan budayawan Prancis terkenal, Jean-Paul Sartre,
dimulai sekitar 1948.

Mungkin dikarenakan kedekatan 'dua sejoli' ini, banyak kalangan yang kemudian
menganggap Camus sebagai penganut paham eksistensialisme, sebuah paham yang digadang-
gadang Sartre selama ini. Meskipun Camus sendiri selalu menyanggah dirinya sebagai seorang
eksistensialis, akan tetapi banyak teori dan pendapat Sartre yang kemudian dikaitkan dengan
pandangan dan pendapat Albert Camus. Adalah pemahaman kedua budayawan besar Prancis
atas dunia dan perkembangannya yang kemudian menjadi bukti perbedaan mereka. Karya
Camus seperti The Rebel pada 1951, serta The Stranger dan The Plague merupakan tonggak
pemisah yang menegaskan bahwa Camus bukan Sartre dan atau sebaliknya.

Pada pertengahan abad 20, Albert Camus mendedikasikan seluruh hidupnya untuk hak
asasi manusia. Selama periode tersebut, Camus banyak melakukan protes terhadap berbagai
isu dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di berbagai belahan dunia. Saat
pemberontakan Algeria atas pemerintahan Prancis pecah, Camus dihadapkan atas pilihan untuk
membela pemerintahan Jerman atau pemberontak Algeria yang merupakan asal orang tuanya.
Camus menulis untuk Koran L’Express antara periode 1955-1956.

Atas karya-karya dan dedikasinya, Camus dianugerahi salah satu penghargaan paling
bergengsi di dunia, Nobel untuk kategori sastra dan karya-karya Albert Camus dinilai paling
berkontribusi atas munculnya aliran atau paham baru dalam filsafat, Absurdisme. Filosofi
Camus seridn ditemukan sebagai ekspresi politik The Rebel, lalu muncul dalam editorial surat
kabar, esai politik, drama, dan fiksi. Hal tersebut membuatnya mendapatkan reputasi sebagai
seorang moralis yang besar. Pada 4 Januari 1960, Camus meninggal dalam sebuah kecelakaan
mobil.

8
Absurdisme 7 Camus dalam Sampar (L’Peste)

Dunia ini absurd kalau kata Camus. Absurditas ini dapat diungkapkan dalam berbagai
variasi, misalnya bahwa dunia ini indah, tetapi kehidupan manusia bersifat sementara saja.
Apakah nilai keindahan ini bila manusia kemudian mati dan tidak dapat menikmatinya.
Mengapa harus terjadi konflik jika hidup berdampingan lebih menyenangkan? Dunia ini absurd
karena tidak bisa menerangkan kontradiksi-kontradiksi yang ada padanya. Dunia ini irasiona l
karena tidak bisa menerangkan adanya kemalangan, bencana, ataupun tujuan hidup manusia.

Dalam karyanya sampar, Camus melukiskan absurditas dengan berjangkitnya wabah


sampar di kota Oran. Orang tidak bisa menjelaskan mengapa Oran yang sebelumnya menjala ni
kehidupan yang tenang tiba-tiba terkena musibah? Tidak ada alasan yang bisa mendasari
jawaban atas pertanyaan, mengapa Oran terkena musibah ini. Timbulnya wabah sampar di kota
secara mendadak adalah suatu yang pahit dan menyedihkan, yang membuat seluruh penduduk
kota menjadi cemas. Tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kenyataan ini.
Absurditas ini lebih kongkrit lagi dalam implikasi selanjutnya. Pastor Paneloux sendiri
misalnya, terpukul oleh peristiwa kematian anak Tuan Hakim Orthin yang masih kecil. Bagi
anak sekecil itu, kejahatan manakah yang telah diperbuatnya sehingga ia pun harus menderita
sampar sampai mati? Dalam khotbahnya yang kedua Paneloux berkata, “saudara-saudara,
cinta Tuhan adalah cinta yang sukar. Ia mengajak penyerahan diri total dan perendahan hari.
Tetapi hanya dari kanak-kanak, hanya dia sendiri yang menganggap semua ini perlu, karena
tak mungkin memahami ini semua dan tak mungkin berbuat lain kecuali menghendakinya.”

7Absurdisme adalah suatu paham atau aliran yang didasarkan pada kepercayaan bahwa usaha manusia untuk
mencari arti dari kehidupan akan berakhir dengan kegagalan dan bahwa kecenderungan manusia untuk
melakukan hal itu sebagai suatu yang absurd. Filsafat absurdisme berhubungan dengan eksistensialisme dan
nihilisme dan dipelopori oleh filsuf Denmark abad ke-19, Søren Kierkegaard

9
Gambar 1 Barudaks Perancis Kala itu

Ba ri san atas dari kiri ke kanan: Jacques Lacan, Cecile Eluard,


Pi erre Reverdy, Louis Leiris, Pa blo Pi casso, Fanie de Campan,
Va l entine Hugo, Si mone de Bea uvoir, Brassai
Ba ri san bawah: Jean-Paul Sartre, Albert Ca mus, Michel Leiris,
Jea n Abi er. Photo: Gi l berte Bra s s a i ]

Sumber:
https ://www.goodreads.com/book/show/15681.Al bert_Ca
mus

Sekilas absurditas tersebut mirip yang


ditemui Dostoevsky dalam bukunya The Brothers Kamazarov. “Penderitaan di dunia ini
semakin tak dapat dipahami jika yang menderita adalah anak-anak kecil yang tidak bersalah”.
Dengan amat meyakinkan absurditas Camus itu diungkapkan dalam kalimat ini: dalam
kesepian luar biasa ini, akhirnya tak seorang pun dapat mengharapkan bantuan dari
tetangganya. Setiap orang tinggal sendirian dalam kecemasannya. Kematian lagi dan lagi.
Moral dari wabah sampar sebenarnya tidak berguna untuk apapun dan siapa pun. Hanya
mereka yang telah disentuh oleh kematian sendiri atau lewat keluarga mereka, telah belajar
sesuatu daripadanya. Tetapi sebetulnya mereka sendiri telah melibatkan diri mereka. Tak ada
masa depan, ujar camus

Kematian itu sendiri absurd selama orang tak lagi menerima kenyataan yang
transenden. Menjelang kematian itulah setiap orang berhadapan dengan kenyataan yang
dinginkannya. Kematian merupakan kunci terakhir untuk menilai makna kehidupan. Jika
kehidupan itu bermakna, mengapa ada kematian yang tiba-tiba datang dan menghancurka n
seluruh proyek-proyek yang sudah dibangun manusia selama hidupnya? Apakah manusia harus
menyerah saja untuk ditelan oleh kematian dan mengakhiri hidupnya yang sudah dibangun
sekian lama? Pertanyaan ini dalam filsafat absurditasnya Camus tak boleh dikembalikan pada
jawaban akan adanya kehidupan dibalik kematian. Jawaban seperti ini tidak mempunyai dasar
yang logis, tetapi hanya merupakan optimisme psikologis. Menjadi manusia tangguh hanyala h
satu-satunya jalan dalam kebuntuan seperti itu.

10
Absurditas dan Ketidakbermaknaan dalam Mitos Sisipus (le Mythe de Sysiphe) dan
Orang Asing (l’Etranger)

The gods had condemned Sisyphus to ceaselessly rolling a rock to the top of a mountain,
whence the stone would fall back of its own weight. They had thought with some reason
that there is no more dreadful punishment than futile and hopeless labor.8

Pemikiran tentang kehidupan manusia yang dikemukakan oleh Camus melalui le Mythe
de Sysiphe meliputi absurditas dan bunuh diri. Bagi Camus, bunuh diri merupakan salah satu
jalan keluar dari absurditas karena rasa absurd tidak berada pada dunia atau pada manusia tetapi
pada pertentangan antara kesadaran manusia dan kenyataan dunia yang paling dalam.
Pernyataan … Je tire l’absurd trois conséquence qui sont ma révolte, ma liberté, ma passion.
Par le seul jeu de ma conscience je transforme en règle de vie ce qui était une invitation à la
mort-et je refuse le suicide sesungguhnya menegaskan bahwa pemberontakan, kebebasan, dan
gairah jiwa merupakan jalan hidup untuk menolak bunuh diri. Kehidupan Sisifus yang harus
berulang-ulang membawa batu di punggung mendaki bukit dan ia tahu bahwa batu tersebut
akan jatuh kembali memberi kesadaran bahwa mata rantai kehidupan yang mekanis
menyebabkan manusia memiliki kesadaran tentang pembebasan diri dari kehidupan tetapi
bukan dengan cara bunuh diri. Dengan bekal kesadaran yang dimiliki itulah manusia kembali
menjalani kehidupan dengan harapan dan gairah seperti Sisifus yang tidak pernah putus asa
meski kerja kerasnya menggotong batu akan sia-sia.

8
Itulah paragraf pembuka essai filsafat “The Myth Of Sisyphus” yang di tulis Albert Camus pada 1942: para dewa
telah menghukum Sisifus untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung;
dari puncak gunung, batu itu akan jatuh kebawah oleh beratnya sendiri. Tidak ada hukuman yang lebih
mengerikan daripada pekerjaan yang tak berguna, dan tanpa harapan itu.

11
Gambar 2 Sisipus Mengangkat Batu Sebelum Membeli Pisang Ke Pasar

Sumber: http://philosophicaldisquisitions.blogspot.co.id/2010/06/wiel enberg-on-mea ni ng-of-l i fe-pa rt-1.html

Ketika menulis Le Mythe de Sisyphe (1942) Albert Camus bersikeras membayangka n


benak Sisifus yang dipayungi bahagia walaupun putra Raja Aeolus dari Thessaly itu
ditakdirkan melakukan pekerjaan sia-sia. “Saya tinggalkan Sisifus di kaki gunung! Kita selalu
menemukan kembali beban kita, namun Sisifus mengajarkan kesetiaan lebih tinggi yang
menyangkal para dewa dan mengangkat batu-batu besar. Ia juga menilai bahwa semua baik
adanya…kita harus membayangkan sisifus bahagia.”

“Mereka (manusia) melupakan jika


perjalanan masih panjang dan
berhenti sampai kita tidak hidup.”

Bagi Camus, manusia sejatinya ialah


tokoh Sisipus. Kesadaran manusia
ialah bahwa kehidupan adalah
sesuatu yang tidak bermakna dan
bertujuan. Camus tidak meliha t
peristiwa ini sebagai kutukan akibat
perbuatan yang salah atau suatu
Gambar 3 Kecelakaan Mobil penderitaan, melainkan sebuah
http://www.robinsonlibrary.com/linguistics/romance/french/20th/ca m kehidupan yang dijalani oleh
us .htm
manusia. Manusia adalah Sisipus

12
yang memiliki sendiri masing- masing batunya dan memiliki hasrat untuk mendorongnya ke
puncak sampai melihat sendiri bahwa batu yang kita dorong ke atas menggelinding kembali ke
bawah, ketika mengetahui bahwa batu yang berada di puncak akan menggelinding lagi ke
bawah mengapa masih ada hasrat untuk mendorongnya kembali ke puncak? Camus menjawab
inilah ketidakbermaknaan hidup, ketika manusia hanya memenuhi kebutuhan hidup tanpa
mengetahui apa hidup itu sebenarnya.

Camus memang absurd, ia berpikir tidak wajar dan berlawanan dengan kultur
masyarakat. Banyak anggapan bahwa absurdisme Camus terkesan sedih, hopeless,
meaningless dan pesimistis. Melihat kisah Sisipus banyak yang berasumsi jika kutukan
mendorong batu adalah penyiksaan dan hanya bisa diselesaikan dengan bunuh diri. Namun
Camus menolak anggapan itu dengan mengatakan, “the struggle itself towards the heights is
enough to fill a man’s heart. One must imagine Sisipus happy.” Ketidakbermaknaan hidup
dapat dijalani ketika kita manusia menganggap kehidupan ini
menyenangkan. Penekanan Camus pada kisah Sisipus adalah
kita harus menyadari jika Sisipus senang mendorong batu.
Camus tidak menyerah pada kematian, dia menawarkan solusi
bagi ketidakbermaknaan hidup dengan menganggap bahwa
hidup adalah sesuatu yang menyenangkan.
Gambar 4 L’Etranger

Sumber: http://s a l on-


l i tteraire.linternaute.com/fr/res ume - Hidup senantiasa berjalan dan manusia ada pada alur
d-oeuvre/content/1862548-l -etranger-
kehidupan tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan apakah
de-ca mus -res ume
manusia benar-benar tahu mengapa ia hidup atau hidup sendiri
apa. Salah satu pertanyaan radikal namun tidak menemuka n
jawaban yang relevan, pertanyaan-pertanyaan seperti ini
mengungkapkan bahwa hidup itu absurd atau tidak bermakna. Karena hidup tidak bermakna
manusia berupaya memaknainya. Beberapa tragedi pada kehidupan memang absurd dan
irasional. Seperti mengapa kemalangan terjadi, mengapa depresi terjadi, mengapa kesenangan
bukan bukan hal yang abadi, mengapa ada penderitaan, mengapa ada pengharapan. Camus
mengajak kita untuk menyadari bahwa hal-hal tersebut hanya sementara dan hidup berlanjut.

“(Manusia) Menjadi alien dalam kehidupan yang absurd.”

13
Ketidakbermaknaan hidup juga disampaikan Camus melalui cerita pendeknya yang
terangkum pada buku yang ia tulis berjudul L’exil et le royaume (1957). L’exil et le royaume
merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh Camus sendiri yang semua cerpen mengisa hka n
tentang keterbelengguan manusia dan bagaimana mereka merasakan kemerdekaan. Dalam
buku ini, Camus menjelaskan kondisi manusia ketika terbelenggu oleh situasi sosial dan tidak
merasa merdeka atas dirinya sendiri, terbelenggu oleh situasi sosial dengan maksud adanya
tekanan pada situasi lingkungan terhadap seorang manusia dalam menyatakan eksistensinya.
Contoh sederhana ialah kondisi manusia depresi dalam menemukan jati diri, dalam upaya
pencarian jati diri banyak sekali yang diharapkan namun sering kali berlawanan dengan realitas
maupun kultur masyarakat. Pada kondisi tersebut manusia- manusia terbelenggu ini hanya bisa
diam dan menerima nasib apa adanya. Mereka membayangkan bagaimana kemerdekaan itu,
membayangkan suatu kondisi di mana mereka dapat menjadi seperti apa yang mereka
kehendaki. Dalam bahasa Camus, mereka menjadi raja atas kerajaannya sendiri.

Camus meyakini, sebuah rutinitas-sebagaimanapun absurd dan sia-sia, adalah sebentuk


perjuangan yang mampu membuat seseorang membetahkan diri berdiri lebih lama di atas dunia
yang acuh tak acuh ini. Tidak hanya sampai disitu, sampai ketika Camus menulis “Orang
Asing” (L’étranger) ia tetap berkeras bahwa Meursault bahagia dengan hukuman mati yang
diterimanya bahkan atas suatu tindakan pembunuhan yang tak sepantasnya. Dan ia tidak
perduli pada pengampunan, ia tidak membutuhkan keprihatinan dan apa lagi harus meratapi.
Ia menerima yang datang sebagai bagian yang absurd dari yang bernama kehidupan.

Dengan membayangkan diri yang mengada dan merasa bahagia di dalam absurditas,
mengatakan “ya” pada penderitaan yang mungkin pilihan satu-satunya yang tersisa di kolong
langit ini sebagai pilihan yang disadari sejak awalnya, dan karenanya berarti pilihan itu harus
juga dijalani dengan rasa bahagia; sekali pun pada saat yang sama hal itu disadari, hal yang
ironis dan tragis dimulai, “find happiness and peace of mind in an absurd universe.” (Fowler,
1987:81).

Hari itu ibu meninggal. Atau mungkin sehari sebelumnya, aku tidak tahu. Aku
menerima telegram dari panti wreda, “Ibu meninggal kemarin. Dimakamkan besok. Ikut
berduka cita.” Kata-kata itu tidak jelas. Mungkin ibu meninggal sehari sebelumnya

Meursault adalah seorang tokoh yang memiliki sifat melankolis, careless, pasif, atau
saya bahasakan seperti tidak memiliki semangat hidup. Sifat Meursault tercermin pada

14
bagaimana ia menjalani kehidupannya sehari-hari. Kutipan awal novel tersebut merupakan
contoh ketidakwajaran dan ketidakbermaknaan hidup Meursault, ketika kebanyakan orang
akan menangis dan sedih mendengar kabar orang yang dicintainya meninggal, tokoh Meursault
malah bersifat biasa saja dan seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Meursault menyadari bahwa
ketika ibunya ada ataupun tiada kehidupan akan tetap berlangsung, ia tetap menjala nka n
rutinitas, tidak ada yang berubah, dalam L’Etranger tertulis, “bahwa saat ini Ibu telah
dikuburkan dan bahwa aku akan melanjutkan pekerjaanku”. Contoh kedua bagaimana
Meursault melihat orang banyak dan realitas menurut persepsinya. Meursault memiliki hobi
untuk melihat kesibukan orang-orang di jalan melalui kaca apartemennya yang sempit.
Meursault memandangi mereka dan beranggapan bahwa lingkungan di jalan adalah pemain
teater dalam suatu pertunjukan, ya ini pertunjukan baginya. Meursault mengamati segala
sesuatunya seperti orang, binatang, kendaraan, gedung, bahkan suasana dan waktu juga ia
amati. Ia menilai sendiri karakteristik dari segala substansi yang ia lihat. Meursault yang
memandangi realitas di hadapannya, menilai dirinya sebagai “orang asing” di sana, karena ia
tidak menjadi manusia yang mengerjakan kesibukan di jalanan yang ramai (menyatu dengan
realitas), ia hanya mengamati jalan dan berpikir tentang mereka yang sedang dijalan maka
realitas juga tidak menganggap bahwa Meursault ada di tengah-tengah kehidupan kala itu.
Absurditas yang ingin ditunjukkan Camus adalah kesadaran Meursault yang merasa berbeda
daripada lingkungannya. Meursault seakan-akan berpikir mengapa masyarakat melakukan
rutinitas daripada menuruti suatu rutinitas yang harus dijalankan manusia. Ia satu-satunya yang
menolak lingkungan.

Kehidupannya monoton yang dijalani oleh Mersault membuat ia tidak memikirka n


keinginan maupun cita-cita di masa mendatang. Kematian ibunya maupun rasa cinta
kekasihnya, Marie, tidak mampu menyentuh perasaannya. Promosi jabatan yang ditawarkan
oleh direktur ditolaknya. Bagi Mersault perubahan dalam hidup tidak akan pernah terjadi dan
ia merasa cukup puas dengan kehidupan monoton yang dijalaninya sampai pada satu musibah
yang menimpanya ketika ia bersama Marie, pacarnya serta teman-temannya melewati akhir
pekan di pantai. Musibah tersebut terjadi begitu saja. Peristiwa diawali dengan terjadinya
pertengkaran antara teman Mersault bernama Raymond dengan seorang Arab. Mersault terlibat
dalam pertengkaran tersebut. Di bawah sinar matahari pantai yang menyilaukan mata dan
ancaman pisau, secara reflex Mersault menarik pelatuk pistol yang dipegangnya dan terjadilah
pembunuhan. Peristiwa tersebut membawa perubahan pada kehidupan Mersault… J’ai

15
compris que j’ai détruit l’equilibre du jour, le silence exepetionnel d’une plage où j’avais été
heureux.

Setelah peristiwa pembunuhan tersebut, Mersault ditangkap dan dibawa ke penjara.


Setelah ditahan selama satu tahun ia diajukan ke pengadilan. Di pengadilan, Mersault
berhadapan dengan orang-orang yang berpendirian teguh pada prinsip kemasyarakatan seperti
hakim, jaksa, dan pembela. Sebagai manusia yang polos (atau tak acuh?) Mersault tidak
memahami proses pengadilan yang dijalaninya. Ia begitu saja mengemukakan kebenaran yang
dipercayainya. Akibatnya Mersault dianggap membahayakan bagi masyarakat dan ia dijatuhi
hukuman mati.

Sebelum pelaksanaan hukuman mati, Mersault dikunjungi oleh seorang paderi. Paderi
tersebut berusaha meyakinkan Mersault bahwa meskipun vonis mati sudah dijatuhkan
pengadilan Mersault masih memikul dosa kepada Tuhan. Paderi juga berusaha memberi
harapan-harapan baru kepada Mersault tentang kehidupan di akhirat tetapi Mersault merasa
bahwa tindakan paderi tersebut telah melampaui batas sehingga meledaklah kemarahan
Mersault. Kemarahan tersebut merupakan wujud pemberontakan atas kesadaran tentang
kenyataan yang harus ia hadapi. Ia bersedia menjalani hukuman dan tidak mau lebih dari itu.

Dengan kemarahannya yang meledak Mersault merasa telah bebas dari segala beban
yang selama hidupnya ia rasakan sangat mengekang. Pemberontakan inilah yang kemudian
melengkapi kedirian Mersault sebagai manusia absurd sejati. Dengan pemberontakan itu pula
Mersault benarbenar menemukan kesadaran absurdnya kehidupan yang ia jalani selama hidup
dan bagaimana ia harus bersikap dalam menjalani kehidupan yang absurd. Sejak saat itu pula
Mersault merasa telah siap untuk menghadapi apapun yang akan terjadi, termasuk kematian
yang akan dihadapinya. Bagi manusia absurd setiap saat dalam hidupnya sangat berarti,
sebagaimana kata-kata Mersault berikut:

“Dan aku juga, aku merasa siap untuk memulai hidupku yang baru. Seolah-olah
kemarahanku telah membebaskanku dari segala derita dan membersihkan diri dari segala
harapan. Di hadapan malam yang penuh dengan isyarat dan bintang-bintang, untuk pertama
kali kubuka diriku bagi kemasabodohan dunia yang mesra. Untuk membuktikan bahwa begitu
pula aku rasakan begitu dekatnya dan bersaudara. Kurasakan bahwa selama ini aku hidup
bahagia dan sampai saat ini pun aku tetap merasa bahagia. Agar segalanya tercurahkan, agar
aku tak merasa terlalu kesepian lagi, hanya satu yang kuharapkan, agar pada hari eksekusiku

16
nanti akan berduyun-duyun orang datang menonton, dan mereka menyambutku dengan
teriakan-teriakan kebencian.”

Sebelum perjumpaannya dengan pengalaman absurd, Mersault menjala ni


kehidupannya dengan monoton tanpa adanya kesadaran. Baru setelah berlangsungnya
peristiwa pembunuhan yang diikuti oleh proses peradilan, ia mulai mempertanyakan tentang
nilai- nilai kehidupan. Tahap puncak sebagai manusia absurd sejati dicapai Mersault setelah ia
diprovokasi oleh paderi dengan tuntutantuntutan dan harapan yang irasional. Peristiwa ini
menyulut pemberontakannya yang membuktikan bahwa ciri-ciri manusia absurd sejati telah
tercapai.

Pada waktu itulah semua bergoyang. Laut meniupkan hembusan yang pekat dan
bergelora. Aku merasa seakan langit seluruhnya menganga untuk mencurahkan hujan
api. Seluruh tubuhku meregang dan aku menekankan tanganku pada pistol. Pelatuk tertekan,
aku menyentuh bagian tengah gagang pistol yang licin. Dan saat itulah, dalam suara yang
sekaligus kering dan memekakkan, semua ini dimulai. Aku mengibaskan keringat dan
matahari. Aku mengerti bahwa aku telah menghancurkan keseimbangan hari, kebisuan luar
bia sadari sebuah pantai tempat aku pernah merasa bahagia. Lalu, aku menembak lagi empat
kali tubuh yang tidak bergerak itu, tempat peluru-peluru menembus dan tidak keluar lagi. Dan
semua itu seperti empat letusan singkat yang kuketukkan pada pintu kesengsaraan

Pemberontakan Metafisis

Akhirnya, “Saya Memberontak Maka Saya Ada” itulah adagium dalam L’Homme
Revolte (1951) yang diteriakan Camus atas nama keber-ada-an manusia di kolong langit yang
absurd ini: sejarah yang sudah dipilih oleh manusia sendiri dan karenanya ia tidak boleh
mundur atau menyerah pada sejarah. Manusia dikolong langit ini adalah pemain utama dari
sejarah, tak lain tak bukan manusia bukan budak dari alam dan bukan pula mesin bagi
pekerjaanya.

Camus menyadari betul tidak perlunya masa depan. Bukan karena gagasan tentang
masa depan itu jelek, tetapi karena masa depan itu selalu absurd. Terlepas dari dialektika
tentang adanya masa depan. Masa depan tak pernah bisa dipahami, Camus amat konsekuen
dengan pandangannnya bahwa seorang tokoh yang absurd tak bisa berbuat selain mengge luti
absurditasnya yang dihadapinya saat ini. Ia mengkritik komunisme karena utopi “masyarakat
proletar” telah mengakibatkan perhatian manusia memberat ke masa depan. Komunis me

17
dengan demikian tidak menghapus penderitaan masa kini tetapi memanipula sinya demi masa
depan.

Karena absurditas kehidupan ini Camus telah menolak segala bentuk futurisme atau
ideologi- ideologi yang menjanjikan kebaikan masa depan. Dia sangat menyangsikan dan
pesimis terhadap segala bentuk –isme yang telah ada di dunia, nilai-nilai yang telah ada segera
dibalikkan layaknya seorang martir bagi pendahulu. Manusia absurd tidak mempunyai pretensi
moral. Moral yang formal adalah absurd. Orang tidak bisa menentukan mana yang baik dan
mana yang jahat sebab nilai-nilai selalu dapat diputarbalikkan demi kepentingan tertentu dari
suatu golongan. Nilai-nilai harus ditinjau bukan sebagai nilai absolut, tetapi sebagai yang selalu
bersesuaian dengan sejarah. Bagi camus yang berbicara adalah pengalaman indrawi, kongkret
masa kini. Karena itu sulit bagi Camus untuk berbicara mengenai perencanaan masa depan.
Jalani masa sekarang.

Manusia yang menyadari akan absurditasnya dapat menyerah atau putus asa, tetapi
dapat juga menjadi pemberontak. Alternatif kedua
inilah yang paling dipilih camus. Ada tiga hal terkait
dengan perumusan pemberontakan. Pertama,
pemberontakan ini harus konsisten yakni dengan
menyadari kodrat dunia seraya menolak untuk ikut
tercebur dalam tragedinya. Kedua, karena kematian
merupakan sindiran terhadap seluruh rencananya, maka
pemberontakan merupakan ekspresi kebebasan yang
sangat istemewa, yakni kebebasan dari seorang
tertuduh, dengan menyatakan diri benar kendati harus
menjalankan hukuman mati. Ketiga, karena kematian
merupakan akhir dari segalanya, maka yang paling
Gambar 5 Camus Merenung
pokok adalah mengumpulkan pengalama n
https ://fineartamerica.com/featured/4-a l bert-
ca mus -1913-1960-gra nger.html pemberontakan sebanyak-banyaknya. Pengalaman ini
harus dilihiat sebagai kuantitas daripada kualitas.
Dengan demikian pemberontakan dapat juga dianggap sebagai reaksi positif dari kemacetan
dunia karena absurditas itu.

Dari sudut pandang eksistensialis, nampak camus bertolak dari kenyataan dunia pahit,
yang penuh dengan penderitaan dan kemalangan. Hal ini tidak teramat aneh, banyak
18
eksistensialis yang bertolak dari anggapan ini termasuk Nietszche dan Kierkegaard, dua
perintis eksistensialisme. Dan datangnya penderitaan di dunia ini seperti datangnya penyakit
sampar tidak diduga dan dipikirkan. Penderitaan itu begitu saja ada dan menguasai kehidupan.
Akan tetapi mau apa dengan penderitaan, jika penderitaan itu adalah peristiwa duniawi yang
amat wajar? kita tahu bahwa didunia ada segi-segi keindahan yang harus dipertahankan, inila h
kerajaan manusia sendiri, yang membuat manusia betah dan membenci kematian. Bagaima na
kita memandang konflik sebagai hal yang positif atau bisa negatif. Tendensi terhadap suatu
nilai absolut. Pendek kata ada sikap mendua terhadap kenyataan di dunia ini, yang membuat
manusia sekaligus mencintai dan memberontak dunia.

Mungkin ada hal yang perlu dicermati tentang arti pemberontakan jika tidak diberi
imbangan dengan efektivitas perubahan. Camus membedakan pemberontakan (rebellion) dari
revolusi (revolution). Pemberontakan itu bersifat alamiah, primitif, sedang revolusi adalah
produk pikiran modern, yang mau mengubah dunia dengan janji-janji. Ya, pemberontakan tak
lebih dari suara yang berseru di padang gurun. Pemberontakan yang tidak mengejar implika s i
perubahan adalah sia-sia.

Semoga Terakhir

Berbicara tentang absurditas tidaklah berarti kita berbicara untuk sesuatu, tetapi kita
berbicara tentang pengalaman. Dan pengalaman, terutama pengalaman kematian, adalah
pengalaman yang paling pribadi dan tak terkomunikasikan, kecuali bagi orang yang
mengalaminya langsung. Titik tolak diskursus tentang absurditas adalah pengalaman akan
kehidupan yang pahit, yang penuh dengan penderitaan dan kemalangan. Pengalaman ini adalah
pengalaman yang wajar. Terjadinya penderitaan di muka bumi ini tidak dapat diperkirakan
ataupun dipikirkan.

Penderitaan itu ada begitu saja, dan kemudian mengambil tempatnya di dalam
kehidupan manusia. Akan tetapi, bagaimana kita bersikap terhadap penderitaan, sehingga
penderitaan itu menjadi tampak wajar? Camus, yang terang-terangan tidak mengakui
keberadaan Tuhan, tidak harus heran dengan pertanyaan ini. Ia sendiri terlibat di dalam
penderitaan, dan kemudian menyatakan pemberontakannya terhadap kenyataan yang pahit ini.

Akan tetapi, apakah kenyataan duniawi semacam itu haruslah dinilai melulu secara
negatif? Di dunia, ada segi-segi keindahan yang harus dipertahankan. Inilah dunia itu sendiri,
yang membuat manusia dan semua mahluk hidup berjuang untuk tetap tinggal di dalamnya,

19
serta membenci kematian. Dengan kata lain, ada sikap mendua terhadap segala sesuatu di dunia
ini, yang membuat manusia sekaligus memberontak, tetapi juga mencintai dunia.

Masa depan itu tidak pernah dapat dipahami. Seorang yang menyadari dunianya
sebagai absurd tidak pernah merasa bisa berbuat lain kecuali bergulat dengan hidupnya yang
absurd, yang ada di depan matanya. Karena hidup ini absurd, maka segala bentuk agama, cita-
cita ke masa depan, dan ideologi- ideologi yang menjanjikan harapan di masa depan jugalah
absurd. Manusia yang absurd tidaklah memiliki pretensi moral. Ia tidak mau sok membicaraka n
apa yang harus dilakukan oleh kita semua untuk dapat memaknai hidup ini.

Manusia yang menyadari bahwa dunia ini absurd tidak mau mengajarkan nilai- nila i
moral kepada orang lain. Moral yang formal jugalah dipandangnya sebagai absurd. Orang tidak
pernah mampu secara absolut menentukan apa yang benar dan apa yang baik, karena nilai- nila i
selalu berubah dan diputabalikkan demi kepentingan suatu pihak tertentu. Nilai disini harus
dilihat bukan sebagai sesuatu yang absolut, melainkan yang selalu bergerak menyesuaikan diri
dengan sejarah.

Manusia tidaklah dapat menganggap diri sebagai seorang pahlawan di dalam dunia
yang absurd ini, tetapi sebagai manusia absurd. Manusia absurd adalah manusia yang
menyadari keabsurditasan hidup ini, sehingga ia bertindak hanya untuk masa kini, dan dengan
itu meninggalkan masa lampau dan masa depan. Rumusan yang paling tepat dalam berhadapan
dengan absurditas hidup ini adalah memberontak. Manusia yang menyadari absurditas
hidupnya dapat menjadi menyerah dan putus asa, tetapi dapat juga menjadi pemberontak.
Dengan memberontak terhadap kehidupan yang absurd ini, kita dapat menjadi orang yang
memiliki pendirian moral kuat di tengah keputusasaan dan kesepian.

Ada dua hal yang dapat disimpulkan dari tesis tentang pemberontakan ini. Pertama,
pemberontakan ini haruslah dikobarkan terus menerus. Caranya, kita haruslah menyadari
kodrat dunia kita yang absurd ini, dan kemudian menolak untuk terhanyut di dalam tragedinya.
Kedua, pemberontakan juga harus diarahkan kepada kematian. Kita haruslah berani berteriak
bahwa kita ini hidup di hadapan wajah kematian. Begitu pula, kita harus berani berteriak bahwa
kita ini tetap bertahan, walaupun hidup tampak tidak bermakna.

20
Bacaan:

1. Walter Kaufmann, Exsittensialism from Dostoevsky to Sartre, Cleveland, 1967


2. E, Schillebeeekx. The Christian Experience in the Modern World, Londol 1980
3. Adele King, Camus, Edinburgh and London, 1968
4. Roberts, Tyler T. Contesting Spirit: Nietzsche, Affirmation, Religion Princeton
University Press, 1998
5. Alexis Carrel, Misteri Manusia, terj. Kamia Roesli, (Bandung: CV. Rmaja Karya, 1987)
6. M. Sastrapratedja, Manusia Multi Dimensional, 1983. Gramedia Pustaka
7. Albert camus, Carnets 1942-1951, London, 1966
8. Albert Camus, Sang Pemberontak, 1993
9. Albert camus, Sampar, 1985.

21

Anda mungkin juga menyukai